Esensi Istighfar dan Sattaari (Sifat Menutupi Kelemahan Orang Lain)

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad,

Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz

31 Maret 2017 di Masjid Baitul Futuh, London, UK

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)

Tidak ada seorang manusiapun di dunia yang terlepas dari setiap macam kekurangan dan kelemahan dilihat dari semua segi. Sifat Allah yaitu as-Sattaar menutupi kelemahan kita. Jika kesalahan, kekurangan dan dosa-dosa seseorang diungkap secara terbuka, maka ia tidak akan mungkin menyelamatkan mukanya di depan siapapun sama sekali. Allah Yang merupakan Sattaarul ‘uyuub (Menutupi Aib-Aib) dan Ghaffarudz dzunuub (Mengampuni dosa-dosa) telah mengajarkan kita doa berikut ini sebagai karunia dari-Nya, “Kalian seharusnya juga terus berusaha menjauhi kesalahan-kesalahan kalian dan kekurangan-kekurangan kalian dan dalam waktu yang sama beristighfar (meminta ampun) kepada-Ku maka Aku akan mengampuni dosa-dosa kalian, menyembunyikan kesalahan-kesalahan kalian dan mendengarkan doa-doa kalian.”

Umumnya, Allah Ta’ala menutupi kesalahan semua dalam banyak hal. Namun, mereka yang beristighfar kepada-Nya maka secara khas Dia akan menutupi kesalahan mereka. Arti kata غفر “Ghafr” [akar kata Istighfar dalam Bahasa Arab] adalah untuk menutupi dan menyembunyikan dan kurang lebih sama artinya dengan kata ستر “Satr”.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda di satu kesempatan, “Tuhan yang dikemukakan Islam dan Tuhan yang orang-orang Islam imani adalah Dia Yang ar-Rahiim (Maha Penyayang), al-Kariim (Maha Mulia), al-Haliim (Maha Penyantun), at-Tawwaab (Maha Penerima taubat) dan al-Ghaffaar (Maha Pengampun). Barangsiapa yang benar-benar bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya dan memaafkan dosa-dosanya. Tetapi di dunia ini, kendati sebagai saudara kandung, kerabat dekat dan keluarga sekalipun, apabila mereka satu kali melihat satu kesalahan, maka kendati telah berhenti sekalipun, namun tetap menganggapnya sebagai aib. (Orang-orang di dunia menganggap orang itu bersalah dan memandangnya dengan pandangan ragu meski pun orang itu telah berhenti dari dosa dan kesalahannya)

Tetapi, betapa mulia-Nya Allah, meski manusia setelah melakukan ribuan aib sekalipun lalu bertaubat kepada-Nya, maka Dia menerima taubat hamba-hamba-Nya dan memaafkannya. Di dunia ini, tidak ada manusia kecuali para Nabi yang diwarnai dengan warna Tuhan, yang sedemikian rupa menutup kelemahan orang. (Artinya, tidak mungkin ada seorang pun di dunia yang sanggup memaafkan dan menutupi kelemahan sebagaimana Allah Ta’ala. Kecuali, setelah Allah, para Nabi yang paling banyak menutupi kesalahan orang-orang lain. ) Tetapi sebaliknya, kondisi orang pada umumnya adalah sebagaimana Sa’di berkata, ‘Tuhan, kendati mengetahui, namun Dia tetap menutupi kelemahan. Tetapi, sebaliknya seorang tetangga [seorang manusia], kendati mengetahui itu sedikit saja [perihal sesamanya], dia menyebarkan (menggembar-gemborkannya).’”

Itu adalah bait syair Sa’di yang dinukil oleh Hadhrat Masih Mau’ud as dalam sabdanya itu yang mana beliau as juga jelaskan di tempat lain, “Sesungguhnya Allah Maha menutupi. Dia Maha mengetahui dosa dan kesalahan para hamba-Nya, tetapi Dia terus saja menyembunyikan kelemahan mereka karena sifat-Nya ini hingga sampai batas yang dapat ditoleransi secara keseimbangan. Namun sebaliknya, manusia mengetahui pun tidak, dia terus menceriterakan ke sana ke mari perihal sesamanya.”

[Beliau a.s.] bersabda mengenai Allah, “Jadi renungkanlah, betapa luhur sifat kemuliaan dan sifat Pemurah-Nya. Sungguh benar bahwa jika Dia selalu mencengkeram dengan hukuman terhadap hamba-hamba-Nya, maka Dia akan menghancurkan semuanya. Tetapi, kemuliaan dan kasih-sayangnya sedemikian luas dan mendahului kemurkaan-Nya.” [1]

Jika kita paham perkara ini dan ketika pergaulan dengan kawan-kawan kita, saudara-saudara kita dan semuanya, niscaya kita takkan memata-matai dan takkan mencari-cari kelemahan orang lain lalu akan tercipta masyarakat aman damai yang penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang timbal balik. Ada banyak orang diantara kita, yang bukannya menyembunyikan kesalahan-kesalahan orang lain, malahan berkeliling membuka kesalahan-kesalahan yang ada pada orang lain. Namun ketika orang lain bicara buruk tentang mereka, atau mengetahui dari sumber tertentu bahwa seseorang telah mengatakan sesuatu tentang mereka, mereka jadi begitu sangat marah dan geram sampai pada tingkat siap untuk berkelahi atau bahkan membunuh orang tersebut. Tetapi, ketika mereka sendiri bicara buruk tentang orang lain, mereka akan membela diri mengatakan bahwa itu hal sepele dan tidak ada maksud apapun. Kita harus selalu ingat dengan pernyataan berikut dari Rasulullah saw: أَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ “Inginkanlah sesuatu bagi orang lain apa yang engkau inginkan bagi dirimu sendiri”[2]

Maka, jika kalian suka terhadap kalian diperlakukan sikap menutupi kesalahan maka kalian juga harus berlaku hal yang sama terhadap orang lain. Inilah prinsip mendasar guna penegakan kedamaian masyarakat. Jadi, ketika seseorang menyaksikan kelemahan dalam diri orang lain, alih-alih mempublikasikan kesalahan dan kelemahan tersebut, mereka harus fokus dalam beristighfar (memohon ampunan dari Allah). Sebab, Allah Maha Kaya. Mereka juga harus takut tersingkapnya aib mereka sendiri sebab mereka juga punya banyak kelemahan.

Jika seseorang dengan niat baik sempurna berusaha menutupi kesalahan orang lain maka itu akan menarik karunia Allah. mau tak mau kita harus ingat sabda Hadhrat Masih Mau’ud as, “Jika Allah Ta’ala selalu menampakkan penghukuman tentu semuanya akan hancur.” Maka, status rasa takut yang hebat membangkitkan keperluan untuk rajin beristighfar setiap waktu. Nabi saw bersabda, مَنْ سَتَرَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ ، سَتَرَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ كَشَفَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ ، كَشَفَ اللَّهُ عَوْرَتَهُ حَتَّى يَفْضَحَهُ بِهَا فِي بَيْتِهِ  “Siapa yang menutupi aurat (aib) saudara Muslimnya maka Allah akan menutupi auratnya di hari kiamat. Siapa yang menyingkap aurat saudara Muslimnya, maka Allah akan menyingkap auratnya hingga ia akan dihinakan di rumahnya sendiri.”[3]

Maka, ini adalah peringatan keras dan kondisi yang perlu ditakutkan sekali. Oleh karena itu, untuk menarik karunia Allah, kita harus focus pada aib-aib kita bukannya memandang atas aib-aib orang lain. Dengan begitu, kita bisa mendapatkan belas kasih dan berkat Allah.

Sebagian orang berkata, “Jika kita melihat keburukan seseorang dan tidak kita ceritakan maka bagaimana bisa terjadi perbaikan?” Selalulah ingat bahwa jika kesalahan dan pelanggaran seseorang membahayakan Nizam Jemaat atau benar benar merusak sebagian orang di masyarakat, maka perkara tersebut harus dilaporkan kepada pengurus dalam Jemaat seperti Amir Nasional atau Ketua Jemaat yang bersangkutan. Atau kalian dapat menulis kepada saya (Hudhur) sehingga reformasi (perubahan) dapat dimulai. Allah Ta’ala tidak menghendaki Nizam Jemaat yang telah Dia bangun menjadi hancur dan runtuh. Dia juga tidak ingin keburukan individu menjadi keburukan umum dan masyarakat.

Untuk itu, Allah membentangkan permisalan-permisalan seperti itu. Mereka yang tidak bersikeras mengungkapkan dosa-dosa yang mereka lakukan dan tidak pula menyebarkannya terus maka Allah – sebagaimana sabda Hadhrat Masih Mau’ud as – memandang dosa-dosa mereka dan kesalahan-kesalahan mereka lalu menutupi itu semua dengan sifat-Nya, as-Sattaar selama mereka tidak melampaui batas.

Tapi ketika seseorang membuat orang lainnya dipermalukan dan keluar dari batas-batas moderasi, bergeraklah sifat Allah Yang Menyerang mereka yang melampaui batas, dan ketika manusia Dia buka tirai sattar baginya maka Dia mencengkeramnya di dunia dan menghukumnya di akhirat juga. Mengumumkan keburukan orang lain dan memcemarkan nama baik mereka adalah dilarang dalam segala situasi, karena ini mengarah ke penyebaran perbuatan buruk bukan menghilangkannya.

Nabi Muhammad saw bersabda, “‏ إِنَّكَ إِنِ اتَّبَعْتَ عَوْرَاتِ النَّاسِ أَفْسَدْتَهُمْ أَوْ كِدْتَ أَنْ تُفْسِدَهُمْ ‏” “Jika engkau menyingkap aib-aib orang maka engkau telah merusak mereka atau engkau hampir menghancurkan mereka.”[4] Lalu, jika seseorang menyebut-nyebut soal itu di sini dan di sana maka itu membuat amal perbuatan mereka mundur dan selanjutnya merubah orang-orang lain menjadi seperti mereka juga. Dengan demikian, akan menjadi bertambah luas. Sebab, berita keburukan itu menghilangkan pagar atas mereka tanpa melakukan perbuatan buruk tersebut. Mempertahankan pagar ini [tidak menghibat] merupakan segi lain dari ishlaah.

Saya juga ingin menarik perhatian pada mereka yang telah dipercayakan dengan pekerjaan-pekerjaan Jemaat, terutama departemen-departemen yang diberikan tugas ishlaah/perbaikan. Mereka harus menjalankan pekerjaan reformasi ini yang dilakukan dengan sangat hati-hati dan juga dengan kasih sayang yang sangat besar dan juga Simpati. Tiada siapapun yang merasa bahwa kekurangan atau kelemahan mereka telah dibuka kepada orang lain oleh pengurus yang manapun. Sebab, jika perasaan ini tercipta maka seseorang akan menjadi kuat untuk berbalik [dari Jemaat].

Allah Ta’ala akan mengatakan kepada mereka, “Aku telah memberikan kalian kesempatan untuk melayani Jemaat. Hal demikian ialah demi menciptakan sifat-sifat-Ku pada diri kalian sebanyak mungkin. Namun, kalian dalam kenyataannya bertindak dengan cara berlawanan dari sifat-Ku yaitu “as-Sattaar” (menutupi kesalahan-kesalahan orang lain). Dengan demikian, kalian menjadi sarana dalam menciptakan kegelisahan dan kekacauan.”

Betapa Allah Ta’ala menyukai akhlak menutupi kesalahan orang lain! Nabi Muhammad saw bersabda, المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ “Seorang Muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya untuk disakiti.” Artinya, jangan menghinanya dan meninggalkannya sendiri. Namun sangat disesalkan akhir-akhir ini kita menemukan justru yang melakukan tindakan paling kejam dan ketidakadilan terhadap kaum Muslim adalah kaum Muslim itu sendiri. Mereka menumpahkan darah satu sama lain. Mereka tidak mengindahkan perintah Rasulullah saw yang ini.

Hadhrat Rasulullah saw lebih jauh bersabda, وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ “Orang yang sibuk dalam memenuhi keperluan saudara-saudaranya, Allah Ta’ala akan terus memenuhi segala keperluannya. Siapa yang meringankan kesulitan dan kesusahan sesama Muslim, Allah Ta’ala akan mengurangi satu penderitaan dari berbagai penderitaan di Hari Kiamat. Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat.”[5] Dengan demikian, agar bisa mendapatkan belas kasih dan kemuliaan dari Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Bajik, adalah perlu untuk menutupi dan menyembunyikan kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa orang lain. Hadhrat Rasulullah saw juga bersabda, “Siapapun yang menutupi dosa-dosa seorang Muslim, Allah akan menutupi dosanya pada Hari Kiamat.” Dengan kata lain, Allah Ta’ala pasti tidak meninggalkan seseorang yang menutupi dosa dosa orang lain tanpa memberi pahala dan ganjaran kepadanya.

Jadi, jika seseorang menerapkan sifat Al-Sattar ini dan menutupi kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan orang lain maka ia akan dicatat telah melakukan amal perbuatan baik dan akan mendapatkan pahala di hari kiamat dengan pengampunan dari Allah Ta’ala atasnya. Bahkan, ia mendapatkan rahmat dan berkat Allah Ta’ala, dinaungi dengan naungan kasih-Nya sampai ke tingkat yang disebutkan dalam satu riwayat bahwa Allah berfirman kepadanya, “Apakah kamu tahu telah melakuan dosa ini dan itu?” Hamba itu menjawab, “Iya, wahai Tuhan. Saya mengakui melakukannya.” Allah berfirman, “Aku menutupinya di dunia. Orang-orang tidak tahu aib-aib engkau. Aku tutupi juga sekarang di hari kiamat ini dan Aku mengampuninya.”

Demikianlah Allah memperlakukan para hamba-Nya. Maka sangatlah penting bahwa kita juga menerapkan sifat ini dan menutupi kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan orang lain. Tidak boleh ada yang merasa ia sendiri bebas dari kelemahan dan kesalahan sedangkan orang lain penuh dengan kelemahan; dan sebagaimana telah Hadhrat Masih Mau’ud as sabdakan di satu kesempatan, “Allah Ta’ala adalah Yang Maha Menutupi kesalahan-kesalahan manusia karena Dia sebenarnya as-Sattaar. Penutupan kelemahan dari Allah Ta’ala ini menjadikan banyak orang terhitung sebagai orang-orang saleh. Jika tidak, niscaya pasti tersingkaplah dari diri manusia segala kekotoran dan dosanya.”

Inilah hal yang harus selalu seseorang ingat dalam benak. Karena itu, suatu kewajiban tiap dari kita untuk beristighfar. Artinya, berdoa kepada Allah Ta’ala agar Dia menutupinya dengan selimut ampunannya di satu segi. Sementara di segi lainnya ia harus menutupi kelemahan orang lain dan tidak menyebarkannya.

Seseorang harus bercermin yang dalam tentang keadaan dirinya sendiri dan juga tidak membuka kelemahan-kelemahan orang lain. Seseorang harus selalu memeriksa dan menilai dirinya sendiri, dan harus selalu ingat bahwa seperti halnya Allah Ta’ala yang telah menutupi kelemahan-kelemahannya, dengan cara yang sama ia harus menutupi kelemahan-kelemahan orang lain.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Kesempurnaan iman seseorang dicapai dengan berakhlak sesuai dengan akhlak Allah, artinya menyerap dan melakukan sifat-sifat Allah dan mewarnai diri dengan corak-Nya sekemampuannya. Misalnya, Allah Ta’ala bersifat Maha Pemaaf; maka seseorang pun harus memaafkan orang lain. Allah Ta’ala bersifat ar-Rahiim (Penyayang), al-Haliim (Maha Penyantun) dan al-Kariim (Maha Mulia). Maka, seseorang pun harus memperlakukan orang lain dengan sifat-sifat itu. Allah Ta’ala bersifat as-Sattaar, dan karena itu manusia juga harus mengambil sifat ini dan harus menutupi kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa saudara-saudaranya. Di kalangan manusia ada yang jika melihat satu keburukan atau kekurangan orang lain maka ia tidak bisa menahan diri kecuali menyebarkannya di kalangan orang-orang. Tercantum dalam Hadits, ‘Orang yang menutupi aib seseorang maka Allah akan menutupi aibnya.’ Umat manusia hendaknya tidak berlaku keras dan kasar serta tidak memperlakukan buruk sesama makhluk Allah, melainkan memperlakukan mereka dengan kecintaan dan kebaikan.”

Pada suatu kali di majelis Masih Mau’ud as, seorang menyebutkan kekurangan atau kelemahan seseorang lainnya. Mendengar itu beliau bersabda, “Anda semangat sekali menghitung kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya. Akan lebih baik Anda menyebutkan kebaikan-kebaikan dan keistimewaannya? Pasti padanya terdapat kebaikan-kebaikan juga.”[6]

Oleh sebab itu, agar dapat menegakkan masyarakat yang bebas dari keburukan-keburukan dan untuk mengembangkan kedamaian dan cinta kasih, adalah perlu untuk menutupi kesalahan-kesalahan orang lain dan sebaliknya, berbicara tentang kualitas-kualitas dan kebaikan-kebaikan orang lain. Membicarakan kebagusan-kebagusan orang lain itu memotivasi perbuatan baik. Termasuk jalan hidup orang Muslim hakiki untuk menyebarkan kebaikan dalam masyarakat. Merupakan dosa yang pedih untuk mempublikasikan dan menyebarluaskan kesalahan-kesalahan orang lain terlepas apakah itu demi mengubah rasa pembicaraan, berita palsu palsu atau karena untuk kebahagiaan demi menghibur khalayak. Mengolok-olok pihak lain di pertemuan ialah dosa besar yang mana setiap Ahmadi harus menahan diri.

Kita telah masuk dalam Bai’at Hadhrat Masih Mau’ud as dan telah berjanji untuk tidak menyakiti atau membahayakan orang lain dengan cara apapun, baik dengan tangan ataupun lidah kita sehingga sangat penting untuk menaati hal ini. Luka hati yang disebabkan oleh kata-kata dan ujaran seseorang, perolokan dan pembongkaran aib pribadi tidak akan sembuh dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, kita harus waspada dalam hal itu. Kita harus menciptakan dalam hati kita perasaan simpatik dan ketulusan sejati terhadap saudara/i kita. Simpati dan ketulusan sejati kita akan diketahui dari sikap kita yang menutupi aib-aib saudara-saudara yang lain dan tidak membongkarnya selamanya. Tetapi, merupakan tuntutan simpati sejati kepada orang lain jika kita melihat aib orang lain maka kita berusaha untuk memperbaikinya supaya menyingkirkan itu tanpa diketahui orang lain, tetapi jika kerusakan mencapai masyarakat kelalaian maka harus berusaha untuk menyelamatkan masyarakat dari bahaya juga. Ini adalah kebenaran nyata yang menarik pemiliknya dengan karunia Allah Ta’ala.

Apa yang Hadhrat Masih Mau’ud as harapkan dari kita dalam hal ini? Beliau bersabda, “Oleh karena itu, barangsiapa yang mendapatkan ada seseorang yang lemah [ruhani atau akhlaknya] hendaknya memberikan nasihat kepadanya secara terpisah [tidak diketahui orang lain]. Jika dia tidak siap menerima, maka doakanlah ia. Jika dengan dua hal itu tidak membuahkan hasil, maka anggaplah itu sudah merupakan ketentuan Allah. (anggaplah itu kehendak Allah) Apabila Allah telah menerimanya, maka begitu kalian melihat aibnya hendaknya janganlah kemudian segera menunjukkan gejolak emosi yang tidak benar. (Artinya, selama Allah Ta’ala sendiri menerimanya, yaitu memberinya taufik beriman kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dan memasukkannya kedalam Jemaat-Nya, sementara kalian lihat urusan dia belum sebagaimana mestinya, bahkan masih tersembunyi dalam satu dan lain corak, dan anda sendiri lebih tahu aib anda sendiri; maka janganlah ribut menghadapinya melainkan hendaklah anda diam. Allah Ta’ala sendiri yang akan menyediakan sarana bagi perbaikannya) Mungkin saja dia [suatu saat] dapat menjadi baik.”

Jelas dari itu bahwa imannya seseorang kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dan baiat terhadap beliau as merupakan dalil penerimaan Allah Ta’ala atas orang itu. Selama Allah Ta’ala sendiri menerimanya maka tidak ada seorang pun yang berhak mencari-cari aib-aib pribadinya dan menyebarkannya ke orang-orang, memata-matainya dan menerbitkannya ke orang-orang atau berpura-pura tidak ada apa-apa di kalangan orang-orang. Hadhrat Masih Mau’ud as telah bersabda bahwa Mungkin saja dia [suatu saat] dapat menjadi baik.

Beliau as bersabda pula terkait hal ini, “Para wali dan para abdal (wali pilihan) juga terkadang terlibat dalam perilaku melakukan aib. Artinya para Wali besar terkadang melakukan dosa. Bahkan, tertera sebuah catatan juga القطب قد يزني Alquthbu qad yaznii, ‘Seorang wali quthub ada yang pernah berzina.’ Banyak sekali para pelaku zina dan pencuri yang pada akhirnya menjadi wali dan abdal (wali pilihan). Meninggalkan orang-orang dengan cepat dan tergesa-gesa bukanlah cara kami.

Jika ada anak seseorang yang rusak, maka sang ayah dengan segala daya dan upaya akan memperbaikinya. Begitu jugalah seseorang jangan hendaknya meninggalkan saudaranya tetapi justru harus berusaha sepenuhnya untuk memperbaikinya. (Sebagaimana kalian menaruh perhatian guna perbaikan anak-anak kalian, berusahalah pula menghilangkan kelemahan saudara-saudara kalian dan berdoalah untuk mereka.) Bukan ajaran Al-Quran bahwa begitu seorang melihat aib seseorang lainnya, lalu menyebarkannya dan menjadikannya sebagai buah bibir ke mana-mana, melainkan Dia berfirman, وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْابِالْمَرْحَمَةِ yang artinya orang-orang beriman saling menasihati dengan sabar dan kasih-sayang. (QS Al-Balad, 90 : 18)”

Kata marhamah (kasih-sayang) di sini adalah: Setelah seseorang melihat aib yang lain, lalu memberikan nasihat kepadanya dan juga memanjatkan doa untuknya. Doa mempunyai pengaruh yang sangat besar. Dan sayang sekali, orang yang menerangkan satu aib [seseorang] ratusan kali, tetapi satu kalipun doa tidak pernah dia panjatkan [untuk orang itu]. Aib orang lain baru [layak untuk] diterangkan manakala telah berdoa terus-menerus dengan menangis-nangis untuknya paling sedikit selama empat puluh hari.

(Ini bukan berarti boleh menyebarkan aib orang lain sehingga diizinkan dengan begitu. Tidak demikian. Maksudnya ialah mereka yang ingin mengajukan keberatan terhadap orang lain dengan niat memperbaiki atas orang lain harus pertama-tama memperbaiki diri dan berdoa lalu barulah mengajukan keberatan atau keluhan)

Beliau as bersabda, “Bukanlah maksud kami supaya kalian menjadi pelindung aib-aib; dan kalian supaya memandang baik jika kalian melihat aib, kekurangan atau kelemahan pada seseorang. Tidak demikian! Maksud kami adalah janganlah bergunjing dan menyebarkan aib orang lain. Artinya, janganlah sebut-sebut kelemahan orang-orang di depan mereka maupun di belakang mereka. Sebab, sebagaimana telah tertera di dalam Kitab Allah bahwa hal itu merupakan dosa; yakni, kalian menyebarkan aib orang lain dan menggibatnya adalah dosa.”

Beliau as menerangkan sebuah kisah, “Syekh Sa’di rahimahuLlah mempunyai dua orang murid. Satu dari keduanya biasa menerangkan hakikat-hakikat dan ilmu-ilmu makrifat” (yakni, lebih cerdas, lebih mudah memahami) “sementara yang kedua menjadi marah dan iri.” (Orang yang tidak punya kemampuan biasanya hanya bisa iri) Pada akhirnya, murid yang pertama mengadukan kepada Syekh Saidi, ‘Setiap kali saya menerangkan kepadanya sesuatu masalah pengetahuan maka dia menjadi marah dan iri.’ Maka, Syekh Saidi menjawab, ‘Seseorang telah memilih jalan neraka karena dia iri. Dia hasad (dengki) lalu akhirnya masuk ke dalam neraka. Dan engkau sendiri pun telah menggunjingnya. Karena ia dengki kepada engkau, [berarti] ia sedang pergi menuju ke neraka, dan engkau pun tengah pergi ke neraka karena telah menggunjingnya.’ (artinya, engkau berbicara dengan saya mengenai dia itu tidak ada kebaikannya sedikit pun karena engkau pun sedang berjalan menuju jahannam. Kalian berdua berdosa.) Singkat kata, Jemaat ini tidak dapat berjalan selama tidak ada sifat saling mengasihi, saling mendoakan, menutupi aib dan saling menyayangi di antara mereka.” [7]

Pada satu segi, setelah berbaiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as kita berjanji untuk berusaha keras melakukan perubahan suci pada jiwa kita. Pada sisi lain, jika kita terpengaruh oleh masyarakat yang materialis dan kita tidak berusaha mewarnakan sifat-sifat Allah dan perintah-perintah-Nya pada diri kita, maka kita melakukan dosa memecahkan janji kita, karena tidak menjadi Ahmadi yang sebagaimana diinginkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as. Apa itu sifat-sifat yang dengan senang hati ingin beliau as lihat dalam diri kita? Itu ialah kita membentuk akhlak saling menyayangi, saling mendoakan satu terhadap yang lain dan saling menutupi kelemahan.

Suatu kali beliau a.s. bersabda, “Warga Jemaat kami hendaknya berdoa apabila melihat aib saudaranya. Tetapi, jika dia tidak berdoa dan malah memaparkannya ke orang-orang lalu membuat suatu rangkaian mata rantai lagi dan memperdalamnya, maka itu dosa. Dosa yang manakah yang tidak dapat diperbaiki? Oleh karena itu, seyogianya senantiasa menolong saudaranya yang lain dengan perantaraan doa.”[8]

Ketika kita saling membantu satu sama lain dengan cara ini, dan alih alih mengungkap kelemahan dan kesalahan orang lain, kita mulai untuk berdoa bagi mereka, hanya dengan begitu kita dapat menjadi Jemaat hakiki yang diinginkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as. Sifat ini wajib kita warnakan oleh seorang Muslim hakiki sesuai pemerhatian dari Nabi Muhammad saw. Keadaan inilah yang menyebabkan ampunan bagi kita dan penutupan bagi kelemahan kita.

Hadhrat Rasulullah saw telah mengajarkan kita sebuah doa yang dapat menarik perlindungan Allah Ta’ala kepada kita dan kita menjadi penerima berkat-berkat Illahi-Nya, karena itu kita harus selalu membaca doa ini terus-menerus. Doa tersebut adalah sebagai berikut: ‏”‏ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَاىَ وَأَهْلِي وَمَالِي اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَىَّ وَمِنْ خَلْفِي وَعَنْ يَمِينِي وَعَنْ شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي ‏”‏ “Ya Allah, hamba memohon perlindungan-Mu di dalam hidup ini dan di akhirat. Oh Tuhan hamba, Anugerahilah hamba keamanan dan lindungi hamba dalam iman hamba, urusan-urusan duniawi, harta kekayaan dan juga rumah tangga hamba. Ya Allah! Sembunyikanlah kesalahan-kesalahan dan kelemahan-kelemahan hamba dan berikanlah kedamaian pada hamba dengan menyingkirkan rasa takut hamba. Ya Allah! Lindungilah hamba dari segala bahaya, dan liputilah hamba dalam keamanan Engkau dari segala arah, baik di depan, belakang hamba, sebelah kanan, kiri atau bahkan dari atas hamba. Hamba mencari perlindungan Engkau Yang Mulia, jangan sampai hamba jatuh menjadi mangsa kesulitan kesulitan apapun yang tersembunyi.”[9]

Maka saat kita mengulang-ulang doa ini untuk kita maka kita juga menjadikan perasaan yang sama bagi orang lain dan saat keadaan ini tercapai maka Allah akan menjawab doa-doa kita juga. Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik untuk mendapatkan ridha-Nya.

Setelah Khotbah Jumat, Hudhur mengimami shalat jenazah untuk Almarhum Tn. Malik Salim Latif yang dulunya merupakan seorang pengacara dan juga Sadr Jemaat Nankana di Pakistan. Pada tanggal 30 Maret 2017, beliau meninggalkan rumahnya pada jam 9 pagi untuk ke persidangan, ditemani oleh putranya. Di jalan menuju ke sana, seorang musuh Ahmadiyah menembakan senjata dan beliau wafat menjadi martir. Kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.

Sang Almarhum memiliki banyak kualitas dan kebaikan. Beliau dulu sangat mudah bergaul dan ramah. Selain menunjukkan keramahan kepada para tamunya dari pusat, perasaan belas kasihan kepada orang orang miskin adalah bukti dari sifat beliau. Beliau selalu siap untuk menolong semua orang. Beliau sholat dan berdoa secara teratur dan memiliki hubungan yang khusus dengan Khilafat. Beliau adalah seorang pemberani. Bersama dengan para anggota Jemaat lainnya, beliau menghadapi penganiayaan yang parah. Pada 1989 banyak rumah para Ahmadi, termasuk rumah Almarhun, yang diobrak-abrik dan dibakar oleh para penentang. Meskipun semua keadaan itu, beliau selalu tetap tabah dan tegar dan menghadapi para penentang dengan berani. Pada tahun 2010 beliau memiliki kesempatan untuk membantu pembangunan masjid lokal.

Almarhum meninggalkan 2 putra dan 1 putri. Semoga Allah mengangkat derajat Almarhum dan semoga Dia memungkinkan anak-anaknya untuk meningkatkan perbuatan-perbuatan luhur mereka. Semoga Dia mengatur agar para penentang ditangkap dengan cepat.

Penerjemah          : Dildaar AD; Ratu Gumelar

Rujukan                : www.alislam.org

[1] Malfuuzhaat, Jilid IV, halaman 137-138, edisi baru

[2] Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad Madaniyyin, Hadits Asad ibn Karz al-Qasri, 16653

[3] Sunan Ibni Majah, Kitab tentang Hudud.

[4] Sunan Abi Daud, Kitab tentang Adab, bab perihal tajassus, no. 4888. Riwayat Muawiyah ra.

[5] Riwayat Ibn Umar. Dikutip dari Shahih al-Bukhari, Kitab al-Mazhalim, bab laa yuzhlim, 2442

[6] Dzikri Habib, dari Hadhrat Mufti Muhammad Shadiq r.a.

[7] (Malfuuzhaat, Jilid IV, halaman 60-61, edisi baru)

[8] (Malfuuzhaat, Jilid IV, halaman 60, Edisi Baru).

[9] Musnad Ahmad. Doa ini biasa Nabi saw baca tiap pagi dan petang.

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.