Syarat Baiat Ke 9: Ibadah yang Teramat Besar dan Sarana Meraih Ridha Ilahi ialah Kedermawanan terhadap Umat Manusia

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad

Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz

12 September 2003 di Masjid al-Fadhal, London, UK.

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)

 

Ajaran Islam merupakan sebuah ajaran yang elok dan sempurna (segenap aspek) yang tidak meninggalkan satu sisi pun dari kehidupan manusia sehingga dapat timbul suatu perasaan bahwa di dalam ajaran ini masih ada kekurangan yang tersisa. Maka dari itu, tentu saja, sudah merupakan tuntutan kebaikan-kebaikan Tuhan-lah apabila ajaran-ajaran yang turun pada Rasul yang dicintai-Nya itu kita jadikan itu sebagai bagian dari kehidupan kita, dan kita jabarkan dalam diri kita. Selanjutnya, bagi kita yang bergabung dalam Jemaat pecinta sejati, khadim atau murid sejati Rasulullah saw dan masuk dalam Jemaat Imam Zaman yang juga termasuk merupakan pendakwaan kita di dalamnya, tentu tanggung jawab itu menjadi tambah lebih besar lagi. Oleh karena itu, bila mana saja Allah mengingatkan kita untuk beribadah kepada-Nya dan menarik perhatian kita untuk menunaikan haq-haq-Nya (huquwquLlah), di sana seiring dengan menarik perhatian kita untuk melaksanakan huquwqul ’ibaad (hak-hak hamba-hamba-Nya), Dia juga memerintahkan pada kita untuk melaksanakan penunaian hak-hak terkait dengan pelbagai ikatan kekeluargaan dan pelbagai hubungan.

Dengan sebab kepentingan inilah Hadhrat Masih Mau’ud as dalam syarat kesembilan syarat-syarat baiat menyebutkan simpati pada makhluk Allah dan pelaksanaan penunaian hak-hak mereka. Jadi, seri syarat-syarat baiat yang tengah dibahas ini, dalam rangkaian inilah hari ini saya akan memaparkan syarat baiat yang kesembilan.

Syarat kesembilan ialah: ”Dalam simpati (belas kasih) terhadap makhluk Allah pada umumnya, semata-mata hanya demi Allah, akan senantiasa sibuk mendatangkan faedah pada umat manusia sejauh yang dapat dia lakukan dengan segenap potensi dan ni’matni’mat yang Allah anugerahkan kepadanya.” Allah di dalam Al-Quran berfirman, وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا “Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa-pun. Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat yang termasuk familimu dan tetangga yang bukan kerabat, dan teman sejawatmu, para musafir dan dengan mereka yang dimiliki tangan kananmu. Sungguh! Allah tidak menyukai orang yang congkak lagi membanggakan diri” (An-Nisa’, 4: 37).

Di dalam ayat ini Allah berfirman, “Janganlah berlaku baik dan simpati hanya kepada saudara-saudara saja, orang-orang yang kalian cintai, kerabat dekat, kenalan, dan terhadap tetangga yang jika mereka perlu bantuan kalian maka kalian menolong mereka dan sejauh kalian dapat mendatangkan faedah pada mereka kalian mendatangkan faedah itu, bahkan, lebih dari itu, terhadap para tetangga yang kalian tidak ketahui, yang tidak ada ikatan dengan kalian dan tidak ada jalinan kekerabatan, dan kepada mereka yang kalian jumpai untuk sementara pun, jika belas kasih dan simpati kalian serta mereka memerlukan bantuan kalian, dan jika kalian ketahui banyak dapat mendatangkan faedah, maka datangkanlah faedah pada mereka.” Dari itu akan dapat berdiri tegak sebuah masyarakat Islam yang indah.

Dengan demikian, jika menciptakan simpati (belas kasih) pada makhluk, menciptakan kebaikan (mendatangkan faedah) pada makhluk Allah di dalam diri kalian itu dilakukan dengan niat dan pemahaman lebih tinggi dari berbuat kebaikan, maka ini termasuk dalam kategori ihsaan. Ihsaan tidak dilakukan dengan niat, “Saya akan mendapatkan pahalanya”, tetapi ihsaan manusia lakukan murni hanya semata-mata untuk Allah. Jika cara ini dilakukan maka akan terbentuk suatu masyarakat yang demikian indah yang antara suami dengan istri tidak akan terjadi pertengkaran, menantu dengan mertua, saudara dengan saudara dan tetangga dengan tetangga; dan setiap kelompok akan berlaku ihsaan dan hak-haknya pun akan mereka bayar dengan semangat seperti itu dan murni akan mengamalkan hanya semata-mata untuk mencari cinta dan kasih sayang-Nya.

Dalam masyarakat dewasa ini kepentingannya menjadi tambah lebih besar lagi. Jika kamu tidak melaksanakan ini, sabdanya, maka kamu akan dianggap angkuh dan Allah tidak menyukai orang yang takabbur. Takabbur merupakan sebuah penyakit yang segenap fasad/kekacauan tumbuh dari itu… Di dalam syarat (baiat) berkenaan dengan itu sebelumnya telah disebutkan, karena itu disini berkenaan dengan takabbur tidak perlu diberikan rincian. Kesimpulannya, lakukanlah rasa belas kasih pada makhluk Allah supaya kamu diridhai pada pandangan Allah dan dapat meraih kesuksesan di ke dua alam.

Selanjutnya, dalam Surah Al-Dahr ayat 9, Allah berfirman, وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا. إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاء وَلا شُكُورًا. Salah satu tafsir ayat ini ialah meski mereka yang menyintai Allah itu memiliki banyak keperluan, namun hanya demi meraih kasih sayang Allah, mereka menaruh perhatian terhadap keperluan-keperluan orang-orang yang membutuhkan; mereka sendiri lapar, tapi memberikan makan pada yang lapar. Mereka tidak menunjukkan sifat kikir dengan memperlihatkan bahwa apa yang mereka berikan itu diperlukan juga oleh mereka; bahkan, sedapat mungkin memberikan bantuan. Ini mereka lakukan demi menjadikan diri mereka berbudi pekerti tinggi, bukan untuk mencari nama atau sanjungan.

Makna ayat tersebut juga adalah mereka memberikan sesuatu yang mereka sendiri perlukan, pemberi memerlukannya, menyukainya untuk dirinya sendiri dan kemudian mereka senantiasa mencamkan perintah Tuhan dalam pikirannya, yakni, “Berilah demi Allah apa yang kalian sendiri senangi untuk diri kalian sendiri, bukan seperti sejumlah orang yang menolong saudara-saudaranya yang memerlukan dalam rangka mendapatkan pujian. Bahkan, ada juga sejumlah orang berkarakter aneh yang memberikan hadiah dari barang-barang mereka atau pakaian-pakaian yang sudah digunakan (bekas). Oleh karena itu, orang-orang semacam itu seyogianya memperhatikan kehormatan saudara-saudara laki-laki dan perempuan mereka. Lebih baik jika tidak ada taufik memberi, janganlah memberikan hadiah. Atau, sekurang-kurangnya berilah sambil memberitahukan, “Ini barang yang pernah saya gunakan, jika Anda suka, saya akan berikan.”

Sebagian orang menulis kepada saya, “Kami ingin memberikan pakaian-pakaian bagus untuk pernikahan anak-anak perempuan miskin, yaitu pakaian yang telah kami pakai sehari atau setengah hari, yang kekecilan atau karena suatu sebab tidak dapat dipakai.”

Dengan demikian, jelas terkait dengan hal seperti itu, jika ingin memberikan maka lewat Badan-badan Jemaat seperti Lajnah Imaillah dan lain-lain atau diberikan lewat Khuddamul Ahmadiyah atau itu diberikan secara pribadi. Dan kepada Badan-badan itu inilah yang dikatakan, jika orang-orang seperti itu memberikan barang-barangnya, seyogianya memperhatikan kehormatan orang-orang miskin. Berikanlah barang-barang itu dalam kondisi masih layak pakai. Jangan memberikan yang terkena noda dan masih berbau keringat menyengat.

Dengan demikian, orang-orang miskin pun mempunyai kehormatan. Seyogianya perhatianlah hal itu. Pakaian yang ingin diberikan terlebih dahulu sudah dibersihkan, dicucikan, atau dijahitkan [mana yang perlu dijahit], baru diberikan. Sebagaimana sebelumnya telah saya katakan, Badan-badan Jemaat kita, seperti Lajnah Imaillah dan lainnya juga memberikan pakaian-pakaian. Maka dari itu, supaya hendaknya jelaskan juga kepada orang yang ingin diberi bahwa itu merupakan barang-barang bekas supaya penerimanya menerima dengan senang hati. Setiap orang punya rasa harga diri. Sebagaimana telah saya katakan, itu sangat perlu mendapat perhatian dan seyogianya harus diperhatikan.

Hadhrat Masih Mau’ud as dalam mengomentari ayat وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا bersabda: “….Simaklah, Tuhan sangat menyenangi kebajikan dan Dia menghendaki agar dilakukan belas kasih terhadap makhluk-Nya. Jika Dia menyukai keburukan, tentu akan Dia tegaskan untuk melakukan keburukan, tetapi kebesaran Allah bersih dari hal itu. (Maha Suci Dia Yang Maha luhur)… Maka kalian yang memiliki ikatan dengan saya, ingatlah, perlakukanlah setiap orang dengan belas kasih, baik ia berkaitan dengan mazhab/agama apapun, berbuat baiklah pada setiap orang tanpa membeda-bedakan karena inilah ajaran Al-Quran, وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ‘Mereka berikan makanan kepada orang miskin, yatim dan para tawanan karena cinta kepada-Nya’ Para tahanan dan tertawan (pada masa Nabi saw) kebanyakan bukan orang beriman. Kini cermatilah, betapa tinggi rasa simpati/belas kasih Islam.

Menurut sudut pandang saya ajaran akhlak yang sempurna kecuali Islam siapapun tidak ada yang memilikinya. Jika saya sehat, — sabda beliau saat itu sedang sakit — maka saya akan menulis artikel khusus mengenai ajaran akhlak-akhlak; sebab saya menginginkan supaya apa yang saya inginkan itu menjadi terealisasi dan itu menjadi ajaran yang sempurna untuk Jemaat saya dan di sana ditampilkan jalan-jalan untuk mencari ridha Allah.

Saya sangat sedih bila setiap hari melihat dan mendengar seseorang terlibat ini dan seseorang terkena dengan itu. Naluri saya tidak menyukai hal-hal itu. Saya mendapatkan Jemaat ini seperti seorang anak yang melangkah dua langkah lalu terjatuh empat langkah. Tetapi saya meyakini Allah akan menyempurnakan Jemaat ini. Oleh karena itu, kalian tetaplah sibuk dalam upaya-upaya, mujahadah dan doa-doa, semoga Allah memberkati, sebab tanpa karunia-Nya tidak ada sesutu yang dapat terjadi. Apabila karunia-Nya ada maka semua jalan-jalan Dia akan bukakan.”[1]

 Dengan karunia Allah, dengan kekuatan daya penyucian Hadhrat Masih Mau’ud as dan dengan mengamalkan ajaran beliau banyak sekali penyakit yang beliau khawatirkan pada waktu itu telah habis dalam Jemaat. Dan, dengan karunia Allah terdapat suatu bagian besar dari mereka yang benar-benar bersih (murni) dan mereka itu ada. Tetapi, sejalan dengan bergesernya waktu, dengan zaman itu kita jauh bergeser, setan terus melakukan serangan bersama keburukan-keburukan masyarakat. Karena itu, sesuai kekhawatiran yang Hadhrat Masih Mau’ud as utarakan, sesuai dengan ajaran beliau lah dengan upaya-upaya dan dengan doa sejalan dengan permohonan karunia-Nya, kita seyogianya terus berupaya menghindar dari keburukan-keburukan itu, supaya Allah senantiasa tetap menyempurnakan Jemaat Hadhrat Masih Mau’ud as.

Dalam hal ini sehubungan dengan itu saya menyampaikan beberapa hadits bersumber dari Hadhrat Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي ‏.‏ قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ ‏.‏ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلاَنًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ ”Pada hari Qiamat Allah akan berfirman, hai Ibnu Adam! Aku dulu sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku.” Hamba (Allah) akan menjawab, ”Hai Rabb-ku! Bagaimana hamba menjenguk Engkau sedangkan Engkau adalah Pemelihara seluruh dunia.” Allah akan berfirman: “Apakah engkau tidak mengetahui hamba-Ku si fulan sakit tetapi engkau tidak menjenguknya? Apakah engkau tidak mengetahui jika engkau menjenguknya maka engkau akan mendapatkan-Ku di sampingnya.

يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي ‏.‏ قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ ‏.‏ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلاَنٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي

Hai anak Adam! Aku telah meminta makanan kepada engkau tetapi engkau tidak memberikan makan kepada-Ku.” Maka anak Adam akan berkata: “Hai Rabb-ku! Bagaimana hamba memberikan makanan kepada Engkau sedangkan Engkau adalah Rabbul-alamin Tuhan sekalian alam.” Allah akan berfirman: “Apakah engkau tidak ingat bahwa hamba-Ku fulan telah meminta makanan pada engkau, maka engkau tidak memberikan makan padanya. Apakah engkau tidak mengetahui bahwa jika engkau memberikan makan padanya maka engkau akan mendapatkan pahalanya di hadapan-Ku.

يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي ‏.‏ قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلاَنٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي Hai anak Adam! Aku telah meminta air padamu, tetapi engkau tidak memberikan minum pada-Ku.” Anak Adam akan berkata, ”Hai Rabb-ku! Bagaimana hamba memberikan minum kepada Engkau sedangkan Engkau adalah Rabb segenap jagad raya?” Maka Allah akan menjawab, ”Hamba-Ku fulan meminta air padamu, tetapi engkau tidak memberikan minum padanya. Jika kauberikan minum padanya, engkau akan mendapatkan pahalanya di hadapan-Ku.”[2]

Tertera sebuah riwayat yang bersumber dari Hadhrat ibn Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda, ” الْخَلْقُ كُلُّهُمْ عِيَالُ اللَّهِ ، فَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَى اللَّهِ مَنْ أَحْسَنَ إِلَى عِيَالِهِ “ ‘al-khalqu kulluhum ‘iyaaluLlahi fa ahabbul khalqi ilaLlaahi man ahsana ila ‘iyaalihi.’ – “Segenap makhluk adalah keluarga Allah. Maka yang Allah cintai dari antara makhluk-Nya ialah yang memperlakukan dengan baik terhadap keluarga-Nya (makhluk-makhluk-Nya) dan memperhatikan keperluan-keperluannya.”[3]

Lalu, tertera sebuah riwayat dari Hadhrat Ali ra bahwa Rasulullah saw bersabda, لِلْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ ”Ada enam haq orang Islam atas orang Islam lainnya, يُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِذَا لَقِيَهُ [1] Apabila dia berjumpa, seharusnya dia mengucapkan salam; [2] وَيُشَمِّتُهُ إِذَا عَطَسَ Apabila dia bersin maka dia akan menjawab yarhamukallaahu; وَيَعُودُهُ إِذَا مَرِضَ [3] Apabila dia sakit maka dia menjenguknya.” (Sejumlah orang mempunyai kebiasaan baik bahwa sebagai tanda perhatian atau kepeduliannya mereka sendiri pergi ke rumah sakit, pergi menjenguk yang sakit meskipun mereka kenal atau tidak kenal. Mereka membawa buah-buahan untuk mereka, membawa bunga. Nah cara ini merupakan cara khidmat khalq yang baik); وَيُجِيبُهُ إِذَا دَعَاهُ [4] “Apabila dia dipanggil maka dia menjawab; وَيَشْهَدُهُ إِذَا تُوُفِّيَ [5] Apabila dia wafat maka dia pergi ke acara jenazahnya; وَيُحِبُّ لَهُ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ وَيَنْصَحُ لَهُ بِالْغَيْبِ [6.] Dan baginya dia menyukai apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri. Dan saat dia tidak ada pun, dia bersikap simpati dan tulus padanya.”[4]

Lalu, tertera sebuah riwayat bersumber dari Hadhrat Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “‏ لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا ‏.‏ الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ ‏” “Janganlah saling hasad (dengki) antara satu dengan yang lain. Untuk mendatangkan kerugian satu terhadap yang lain janganlah saling mengungguli harga, dan janganlah saling benci membenci satu dengan yang lain, janganlah saling membelakangi (membuang muka) di antara satu dengan yang lain karena kebencian, yakni janganlah bersikap acuh tak acuh. Janganlah berjual beli pada jual beli orang lain, bahkan tinggallah bersama-sama sebagai hamba Allah dan tinggallah seperti di antara kalian bersaudara-saudara. Seorang Muslim tidak aniaya terhadap orang Muslim lainnya, tidak memandangnya hina, tidak mempermalukan atau menghinanya”.

التَّقْوَى هَا هُنَا ‏”‏ ‏.‏ وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ‏”‏ Sambil mengisyaratkan ke dada beliau, beliau bersabda,”Takwa itu ada di sini.” Tiga kali beliau mengulangi kata-kata ini, lalu bersabda, بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ ‏” “Suatu kesialan nasib seseorang cukuplah dengan dia melihat secara hina terhadap saudara Muslimnya. Darah, harta dan kehormatan seorang Muslim, haram bagi seorang Muslim lainnya dan wajib baginya untuk menghormatinya.”[5]

Kemudian tertera sebuah riwayat bersumber dari Hadhrat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, ‏ “‏ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ‏”‏ ‘Man naffasa ‘an mu-minin kurbatan min kurabid dunya naffasaLlahu ‘anhu kurbatan min kurabi yaumil qiyaamah.’ – “Siapa yang menjauhkan keresahan dan kesusahan duniawi orang Muslim, maka Allah akan menjauhkan kegelisahan dan kesusahan darinya pada hari Qiamat. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ‘Wa man yassara ‘ala mu’sirin yassarAllahu ‘alaihi fid dunyaa wal aakhirah.’ – “Dan barangiapa yang mendatangkan ketenteraman pada orang miskin (tak berdaya) dan untuknya dia menyediakan kemudahan, maka Allah akan menyediakan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat.” وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ‘Wa man satara Musliman satarahuLlahu fid dunyaa wal aakhirah.’ – “Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari di dunia dan di akhirat.”

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ ‘WaLlahu fi ‘aunil ‘abdi maa kaanal ‘abdu fii ‘auni akhiihi.’ – “Dan Allah senantiasa siap membantu hamba-Nya yang senantiasa siap membantu saudaranya. وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ ‘Wa man salaka thariiqan yaltamisu fiihi ‘ilman sahhalaLlahu lahu bihi thariiqan ilal jannah.’ – “Dan barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah memudahkan jalan baginya menuju surga.”

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ ‘wa maa ijtama’a qaumun fi baitin min buyuutiLlaahi yatluuna kitaabaLlahi wa yatadaarasuunahu bainahum illa nazalat ‘alihimus sakiinatu wa ghasyiyathumur rahmatu khaffathumul malaa-ikatu wa dzakarahumuLlahu fiiman ‘indahu.’ – “Tidaklah suatu kaum (kumpulan orang) yang duduk-duduk di sebuah rumah dari rumah-rumah Allah untuk membaca kitab Allah dan sibuk dalam dars dan tadrisnya (belajar dan mengajarkannya), kecuali Allah akan turunkan ketenteraman dan kedamaian kedalam diri mereka dan rahmat Allah akan menyelimuti mereka, malaikat mengitari mereka dan Allah akan terus menyebut mereka di antara orang-orang yang dekat dengan-Nya.” وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ ‘wa man batha-a bihi ‘amaluhu lam yusri’ bihi nasabuhu.’ – “Dan siapa saja yang malas (tidak bersegera dan tidak sigap) dalam beramal, keturunannya dan keluarganya tidak akan dapat mempercepatnya, artinya, dia tak akan masuk surga meski kekuatan keluarganya.”[6]

Jadi, keterangan di bagian awalnya adalah Anda harus memperhatikan hak-hak orang-orang, menjauhkan kegelisahan-kegelisahan dan kesusahan-kesusahan saudara-saudara sendiri dan Allah pada hari Qiamat akan memperlakukan Anda dengan kasih sayang seperti itu, menjauhkan kegelisahan serta kesusahan Anda. Inilah ihsaan (jasa kebaikan) Rasulullah saw kepada kita yang bersabda, “Jika kalian ingin Allah menyelimuti kalian dengan jubah ampunan-Nya, sedapat mungkin datangkanlah ketentraman pada orang yang resah dan gelisah; datangkanlah ketentraman pada mereka yang susah, maka Allah akan memperlakukan kalian dengan kasih sayang-Nya. Tutupilah kelemahan-kelemahan saudara-saudara kalian. Apabila menangkap kelemahan-kelemahannya, janganlah kesana-kemari menyebarluaskan kesalahan-kesalahannya. Tidak diketahui di dalam diri kalian berapa banyak kelemahan dan aib yang catatannya akan kalian berikan pada hari akhirat.

Oleh karena itu jika kalian menutupi kelemahan saudara-saudara kalian di dunia setelah melihat kesalahan-kesalahannya bukannya menjadikannya sebagai buah bibir, tetapi setelah menjadi orang yang berbelas kasih padanya Anda berupaya memberikan pengertian padanya, maka Allah pun akan memperlakukan kalian dengan sifat Sattar-Nya. Jadi inilah huquwqul’ibaad (hak-hak hamba) yang jika kalian melakukannya maka kalian akan dinyatakan berhak untuk menjadi pewaris karunia-karunia-Nya. Tertera dalam sebuah riwayat bersumber dari Hadhrat Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Dengan sedekah tidak terjadi kekurangan dalam harta, dan siapa yang memaafkan kesalahan orang lain maka Allah akan menganugerahi lebih banyak lagi kehormatan dan memaafkan kesalahan seseorang bukanlah hal yang tak terhormat.[7]

Kemudian dalam sebuah riwayat bersumber dari Hadhrat Abdullah bin Amr ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “‏ الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ ‏”‏ar-raahimuuna yarhamuhumur Rahmaanu irhamuu ahlal ardhi yarhamkum man fis samaa-i.’ – ”Allah Tuhan Yang Maha Rahman akan mengasihani orang yang pengasih. Kamu kasihanilah orang-orang yang ada di bumi, maka Wujud yang tinggal di langit (Allah) akan mengasihi kamu.”[8]

Hadhrat Masih Mau’ud a.s bersabda, “Ingatlah, Allah memiliki dua perintah. Pertama, janganlah mempersekutukan-Nya dengan siapa pun, baik di dalam Zat-Nya, Sifat-sifat-Nya maupun dalam ibadat-ibadat. Kedua, lakukanlah sikap berbelas kasih pada umat manusia. Makna kata ihsaan (kebaikan) ialah melakukan kebaikan bukan hanya terhadap saudara-saudara sendiri dan keluarga sendiri, melainkan terhadap siapa saja, baik itu terhadap segenap anak Adam maupun makhluk-makhluk Allah lainnya. Janganlah memikirkan apakah ia seorang penganut Hindu ataukah Kristen.

Saya katakan dengan sebenar-benarnya, Allah telah mengambil keadilan kalian di tangan-Nya, dia tidak menghendaki yang melakukan itu kamu sendiri. Seberapa kalian bersikap lemah lembut dan seberapa kalian bersikap rendah hati dan tawadhu’ maka sebanyak itulah Allah akan senang kepada kalian. Serahkanlah musuh-musuh kalian kepada Allah. Qiamat itu dekat. Kalian jangan khawatir terhadap kesusahan-kesusahan yang musuh-musuh timpakan terhadap diri kalian. Saya menyaksikan kini masih banyak derita yang kalian akan dapatkan dari mereka; sebab orang yang menjadi keluar dari dunia beradab lidahnya sedemikian lancang seperti halnya bendungan pecah mengakibatkan sebuah banjir. Jadi, orang yang beragama seyogianya memelihara lidah mereka”[9]

Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud a.s bersabda, “Simaklah hal ini! Haq (penunaian kewajiban) itu adalah dua macam. Pertama, haq-haq Allah (huquuquLlah) dan kedua, haq-haq hamba-hamba (huquuqul ‘ibaad). Terkait dengan haq-haq Allah, para pimpinan (golongan elit, orang kaya dan lain-lain) menemui kesulitan dan perasaan takabbur dan egois (keakuan) mencegah mereka melakukan itu, misalnya pada saat shalat, berdiri di dekat orang miskin terasa buruk baginya. Mereka tidak bisa mendudukannya bersamanya di dekatnya, dan dengan cara seperti itu dia menjadi luput dari huquwqullah, sebab masjid pada hakekatnya merupakan rumah orang miskin, dan pergi ke sana mereka anggap bertentangan dengan kebesaran wibawa mereka dan dengan demikian mereka menjadi luput dari mengambil bagian dalam pengkhidmatan-pengkhidmatan hak-hak hamba yang istimewa.

Orang miskin senantiasa siap untuk segenap macam pengkhidmatan. Dia memijit kaki, dapat membawa air, dapat mencuci kain sehingga jika mendapatkan kesempatan untuk membuang kotoran sekalipun, dia tidak merasa segan (rendah) melakukannya. Tetapi para pimpinan (orang-orang kaya) menganggap aib pekerjaan seperti itu dan dengan demikian mereka senantiasa kehilangan dari itu. Singkat kata, kedudukan sebagai petinggi (pejabat) dapat menghalangi manusia untuk dapat meraih melakukan banyak kebaikan. Inilah sebabnya tertera dalam hadits orang miskin lima ratus tahun lebih dulu akan masuk surga dibandingkan orang-orang kaya”[10]

Bersabda, “Jadi, simpati terhadap sesama makhluk merupakan suatu hal yang jika itu manusia tinggalkan dan mulai menjauh dari itu, maka lama kelamaan dia menjadi binatang buas. Inilah tuntutan kemanusiaan seorang manusia. Seseorang tetap sampai sebatas itu menjadi manusia selama dia memperlakukan sesama yang lain dengan sopan santun, kebaikan dan kemurahan hati yang dalam hal itu tidak ada suatu sikap membeda-bedakan apapun. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Sa’di, بنی آدم اعضای یک دیگرند Bani Adam a’zaye yek digarand ‘Umat manusia seperti bagian-bagian dari satu tubuh.’”[11]

Bersabda, “Ingatlah, menurut taksiran saya, ruang lingkup sikap simpati sangat luas. Jangan memisahkan kaum mana pun dan siapa saja secara individu. Saya tidak ingin mengatakan seperti orang-orang jahil di zaman ini, ‘Khususkanlah simpati kamu hanya terhadap orang-orang Islam’. Tidak! Saya katakan, bersimpatilah kepada segenap makhluk Allah. Siapa pun dia, baik dia seorang penganut Hindu ataupun Islam atau siapa saja yang lainnya. Saya tidak menyukai perkataan orang-orang seperti itu yang ingin mengkhususkan rasa simpati hanya terhadap kaum (bangsa dan kelompok)nya saja.”

Bersabda, “Singkatnya, mengasihi dan bersikap simpati pada umat manusia merupakan ibadah yang sangat besar dan ini perantara yang luar biasa untuk dapat meraih ridha Allah. Tetapi saya melihat dalam sisi itu sangat banyak kelemahan yang diperlihatkan. Orang-orang lain dianggap hina, diolok-olok. Merawat mereka dan menolong mereka dalam kesulitan memang merupakan hal yang besar. Mereka yang tidak bersikap baik terhadap orang-orang miskin, bahkan menganggap hina, mengenai mereka saya cemas jangan-jangan mereka sendiri akan terjebak dalam musibah [kemiskinan] itu. Kepada siapa Allah telah menurunkan karunia-Nya metode pernyataan bersyukurnya ialah dengan bersikap baik terhadap makhluk-Nya; dan jangan takabbur atas keahlian yang telah Allah anugerahkan dan jangan menginjak-injak orang-orang miskin seperti binatang buas.”[12]

Beliau bersabda, “Betapa Al-Quran telah menerangkan hak-hak kedua orang tua, anak-anak, kerabat dekat lainnya serta hak-hak orang-orang miskin, yang saya perkirakan hak-hak senada tidak tertulis dalam kitab manapun. Sebagaimana Allah berfirman: وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا  “Sembahlah Allah dan janganlah mempersekutukan sesuatu dengan-Nya; dan berbuat baiklah terhadap kedua orangtua dan terhadap kaum kerabat…” Di dalam kalimat dzil qurbaa ini — anak-anak, saudara, keluarga jauh atau keluarga dekat — termasuk di dalamnya, dan berfirman, “Berbuat baiklah terhadap anak-anak yatim, terhadap orang-orang miskin, tetangga yang sesanak saudara, tetangga yang asing (tidak ada hubungan) dengan kamu dan terhadap rekan yang menyertai dalam pekerjaan atau dalam shalat atau dalam mencari ilmu agama dan terhadap mereka yang dalam perjalanan dan terhadap semua hewan yang ada dalam kepemilikan kamu, perlakukanlah kesemuanya itu dengan baik. Allah tidak menjadikan orang yang takabbur, orang yang membanggakan diri dan tidak berbelas kasih pada orang lain sebagai sahabat.”[13]

Hadhrat Khalifatul-Masih Awwal dalam kaitan itu bersabda, “Hendaknya tujuannya ialah, mereka إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا ‘inna nakhaafu min Rabbinaa yauman ‘abuwsan qamtharira’ ‘Sungguh, kami takut terhadap Tuhan kami suatu hari yang abuws dan qamtharir’ (Ad-Dahr. Al-Insan, 76 11) عَبُوسًا =’ abuws artinya juga adalah penuh kekerasan, kesukaran, kesempitan, dan قَمْطَرِيرًاqamtharir juga artinya adalah sangat lama. Maksudnya, hari Qiamat akan merupakan hari yang sempit dan panjang. Dengan menolong orang-orang lapar, Allah akan memberikan keselamatan juga dari penderitaan dan panjangnya lapar paceklik. Kesimpulannya ialah: فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُورًا  ‘fawaqaahumuLlahu syarra dzaalikal yaumi wa laqqaahum nadhrataw wa suruwra’ – ‘Allah akan selamatkan mereka dari keburukan hari itu dan akan Dia curahkan dengan sukacita dan kesegaran.’ (Ad-Dahr: 12)

Saya kembali tegaskan bahwa ingatlah, di hari-hari dewasa ini, dengan memberikan bantuan pada orang-orang lapar dan orang-orang miskin, Anda akan dapat selamat dari sempitnya (penderitaan) hari-hari pada Hari Penghakiman. Semoga Allah memberi taufik pada saya dan Anda supaya berusaha keras meraih kemuliaan secara lahiriah, berupayalah juga untuk kebahagiaan dan kemuliaan Yang Abadi.”[14]

Pendeknya, ciri khas Jemaat Ahmadiyah adalah seberapa banyak taufik (kesempatan) yang ada, mereka ambil bagian dalam pekerjaan khidmat khalq dan dengan berbekal sarana-sarana yang tersedia, cukup dengan sarana apa yang ada. Mereka lakukan khidmat khalq dan pengkhidmatan terhadap kemanusiaan seberapa bisa mereka dapat melakukan itu, baik secara berjemaah maupun secara pribadi juga. Maka dari itu, warga Jemaat sejauh taufik yang mereka dapat, mereka berjuang menghapuskan kelaparan, mengobati orang-orang miskin, memberi bantuan pendidikan, bantuan pernikahan orang-orang miskin, dengan ikut serta dalam bantuan yang ditangani di bawah nizam Jemaat. Dengan demikian, mereka juga sedang memenuhi janji baiat mereka dan seyogianya mereka memenuhinya juga.

Semoga kita tidak seperti bangsa-bangsa dan pemerintahan-pemerintahan yang memusnahkan hasil-hasil panen mereka yang berlebih; bukannya mendermakannya demi derita kemanusiaan hanya karena mereka melihat tidak ada maksud-maksud dan kepentingan-kepentingan serta kemajuan politik mereka dalam menolong manusia lain yang menderita. Mereka pikir bangsa-bangsa miskin itu tidak menerima arahan-arahan dan mengiyakan sepenuhnya setiap perkataan dan dalam pendiktean mereka. Maka dari itu, sebagai hukumannya, mereka biarkan bangsa-bangsa miskin itu dalam keadaan lapar dan kekurangan. Semoga Allah menganugerahi taufik pengkhidmatan terhadap kemanusiaan pada Jemaat Ahmadiyah lebih dari sebelumnya.

Di kesempatan ini ada satu hal lain yang ingin saya katakan bahwa pada tingkat Jemaat sesuai taufik yang ada tengah dilakukan pengkhidmatan kemanusian. Allah senantiasa menganugerahkan taufik pada para warga mukhlis Jemaat yang dengan tujuan khidmat khalq mereka berikan juga uang-uang dalam jumlah yang banyak demi dilakukannya pengkhidmatan kemanusian. Dengan karunia Tuhan, di Afrika juga, di Rabwah dan Qadian juga dokter-dokter yang wakaf dan guru-guru yang waqaf tengah melakukan pengkhidmatan.

Tetapi saya katakan kepada dokter-dokter Ahmadi, guru-guru Ahmadi, segenap pengacara Ahmadi dan segenap Ahmadi yang dari segi mata pencaharian (profesinya) dapat melakukan pengkhidmatan kemanusiaan dalam corak apapun, dapat berguna bagi orang-orang miskin dan orang-orang yang memerlukan, saya katakan pada mereka, mereka harus berupaya agar dapat bermanfaat untuk orang-orang yang memerlukan dan orang-orang miskin. Maka, Insya Allah, di dalam harta dan jiwa kalian, Allah akan menganugerahkan keberkatan-keberkatan lebih dari sebelumnya. Jika kalian mungkin tengah melakukan pengkhidmatan dengan niat berikut ini, “Kami telah mengikat suatu perjanjian baiat dengan Imam Zaman yang memenuhinya merupakan kewajiban kami”, maka lihatlah, Insya Allah, betapa banyak akan turun hujan karunia dan berkah-Nya yang kalian tidak akan dapat tampung.

Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud as bersabda dalam menasehati supaya bersikap simpati dan dukungan pada umat manusia, pada suatu kesempatan beliau bersabda, “Kondisi saya sendiri apabila seorang menderita sakit saat saya sedang sibuk dalam shalat dan suaranya sampai di telinga saya, maka saya ingin bahwa jika dengan membatalkan shalat sekalipun pun, saya akan membatalkan shalat saya jika dengan itu dapat mendatangkan faedah padanya; dan sejauh mungkin saya bersikap simpati padanya. Merupakan suatu hal yang bertentangan dengan akhlak apabila tidak diberikan bantuan pada saudara manapun pada saat musibah dan kesusahan. Jika kalian tidak dapat melakukan sesuatu untuknya, sekurang-kurangnya berdoalah baginya. Jangankan dengan orang kita sendiri, saya katakan dengan sebenar-benarnya bahwa tunjukkanlah contoh akhlak seperti itu, baik terhadap orang-orang lain atau terhadap orang-orang Hindu sekalipun dan bersimpatilah dengan mereka. Janganlah seyogianya sama sekali menunjukkan sifat tidak peduli.

Pada suatu saat saya keluar rumah untuk berjalan-jalan. Abdul-Karim, seorang akuntan ikut bersama saya. Dia berjalan di depan dan saya di belakang. Di jalan kami berjumpa dengan seorang tua uzur berusia 70 atau 75 tahun. Perempuan tua itu memberikan sepucuk surat untuk minta dibacakan, tetapi sambil menghardik dia menyingkirkan perempuan tua itu. Hati saya sedikit terasa terluka atas sikapnya itu. Perempuan tua itu lalu memberikannya kepada saya. Saya mengambil itu lalu berhenti. Kemudian setelah membaca itu saya menjelaskan apa isi surat itu dengan baik padanya. Atas kejadian itu dia mau tak mau menjadi sangat malu, sebab dia terpaksa harus berhenti juga dan diapun luput dari pahala.[15]

Bersabda, “Kasihanilah hamba-hamba-Nya; janganlah berbuat aniaya padanya baik dengan lidah, dengan tangan atau dengan upaya apapun dan teruslah berupaya keras untuk kebaikan makhluk. Janganlah bersikap takabbur pada siapapun kendatipun dia merupakan bawahan kalian. Dan janganlah mencaci maki siapapun meskipun dia melakukan itu. Jadilah kalian seorang yang sederhana, berperilaku lemah-lembut, saleh dan berimpati pada makhluk-Nya supaya kalia diterima disi-Nya… Bersikap kasihlah terhadap anak-anak jika kalian seorang yang sudah dewasa, bukan sebaliknya menghinakan mereka. Nasihatilah orang-orang yang jahil jika kalian seorang yang berilmu, bukan sebaliknya menghinakan mereka dengan bersikap pamer. Jika kalian seorang yang berharta khidmatilah orang-orang yang miskin bukan sebaliknya bersikap takabbur padanya dengan menganggap diri yang terbaik. Takutilah jalan-jalan kehancuran.”[16]

Bersabda, “Orang-orang akan menyakiti kalian dan akan mendatangkan kesakitan dengan segala macam cara. Tetapi warga Jemaat kita jangan terhasut menunjukkan sikap emosional. Dengan terbawa gejolak emosional janganlah menggunakan kata-kata yang menyakitkan hati, Allah tidak menyukai orang-orang semacam itu. Jemaat kita, Allah ingin jadikan sebagai sebuah contoh.” Beliau menambahkan, “Allah menyayangi orang yang bertakwa. Dengan mengingat kebesaran Allah, berbuat simpatilah pada semua dan ingatlah, semua orang adalah hamba Allah. Janganlah berbuat aniaya dan bersifat kasar pada siapapun. Dan, janganlah memandang siapapun secara menghina. Jika di dalam Jemaat terdapat seorang yang kotor maka dia akan mengotori semuanya. Jika tabiat kalian cenderung pada sifat pemarah, introspeksilah diri kalian dari mana timbulnya sifat pemarah ini karena ini merupakan saat yang sangat rawan.”[17]

Bersabda, “Jadilah kamu seperti seorang yang kemuliaan di sisi-Nya sedemikian rupa sehingga ketulusan, kesetiaan dan ratapan dan kekhusyu’an kalian sampai menjangkau langit. Allah melindungi orang seperti itu dan memberkati siapa yang Dia lihat dadanya penuh dengan ketulusan dan kecintaan. Dia melihat, meneropong sampai ke kedalaman lubuk hati, bukan hanya sekedar ucapan lahiriah belaka. Dia turun dan membuat rumah-Nya di dalam hati orang yang hatinya bersih dan suci dari segenap kekotoran dan ketidaksucian.”[18] Bersabda, “Saya kembali katakan, siapa pun yang bermanfaat bagi umat manusia dan sempurna iman, ketulusan dan kesetiaannya, maka mereka benar-benar akan diselamatkan. Oleh karena itu, ciptakanlah sifat-sifat ini di dalam diri kalian.”[19]

Bersabda, “Kalian tidak akan diterima di sisi-Nya selama kalian tidak murni, baik lahir maupun batin kalian. Jika kalian orang besar, bersikap kasihanlah terhadap orang kecil, bukan sebaliknya menghinakan mereka. Nasihatilah orang-orang yang tuna ilmu jika kalian berilmu, bukan sebaliknya menghinakan mereka dengan bersikap memamerkan pengetahuan kalian. Jika kalian berharta khidmatilah mereka yang miskin, bukan sebaliknya bersikap egois, bangga diri seraya menghinakan padanya.

Takutilah jalan-jalan kehancuran. Takutlah senantiasa pada Tuhan dan bertakwalah pada-Nya… betapa malangnya seorang yang tidak mengimani hal-hal yang keluar dari Mulut Tuhan (firman Tuhan), yang saya telah terangkan. Jika kalian menghendaki di langit Tuhan ridha padamu maka jadilah kalian menjadi satu sedemikian rupa sebagaimana layaknya dua bersaudara dari perut seorang ibu. Yang paling mulia di antara kalian ialah yang paling banyak memaafkan dosa saudaranya dan malanglah nasib orang yang bersikeras dan tidak mau memaafkan.”[20]

Bersabda, “Pada hakikatnya bersikap simpati (belas kasih) pada makhluk Allah merupakan perkara yang sangat besar dan Allah sangat mencintai itu. Apa lagi yang akan lebih besar dari itu bahwa seseorang mewujudkan rasa simpatinya pada makhluk-Nya. Di dunia ini pada umumnya inilah yang terjadi bahwa jika pembantu seseorang pergi pada seorang teman majikannya lalu sang teman majikannya itu tidak memperhatikan pembantu itu, apakah sang majikan itu akan senang pada temannya itu? Tidak akan senang. Padahal sang teman itu tidak menyakiti sang majikan itu, tetapi majikan itu tidak senang. Perhatian (pengkhidmatan) terhadap pelayan itu dan perlakuan baik terhadapnya seolah-olah perlakuan baik terhadap majikannya. Tuhan pun dengan cara demikian sangat murka tehadap seorang yang bersikap dingin terhadap makhluk-Nya, sebab Dia sangat menyintai makhluk-Nya. Jadi, barangsiapa yang bersimpati pada makhluk Tuhan maka dia seolah-olah menyenangkan Tuhan.”[21] Semoga Allah menganugerahi taufik pada kita untuk dapat mengamalkan nasehat-nasehat Hadhrat Masih Mau’ud as itu dan janji baiat yang telah kita ikrarkan dengan beliau itu kita dapat taufik untuk menyempurnakannya.

Pada akhirnya saya menyampaikan sesuatu terkait dengan para karyawan (petugas) yang bekerja di Jemaat Ahmadiyah Jerman. Di Jerman, pada saat berkhotbah, karena suatu sebab saya tidak dapat mengungkapkannya. Dengan karunia Allah Ta’ala, para petugas (panitia) laki-laki maupun perempuan semuanya telah mengkhidmati para tamu dengan gejolak dan penuh semangat dari sejak permulaan saat persiapan-persiapan Jalsah dan pada bagian akhirnya juga tatkala membereskan semua pekerjaan serta saat pekerjaan yang sulit juga. Dengan sangat tekun, tepat waktu, bahkan sebelum waktunya para panitia terkait yang diberi tugas membersihkan semua lokasi dan –alhamdulillah– pemandangan inilah yang terjadi tiap kali Jalsah-Jalsah diadakan. Inilah pemandangan yang nampak dan hal yang paling menarik bagi saya ialah pada Jalsah Lajnah tahun ini peserta perempuan lebih banyak dari peserta kaum bapak dan kurang lebih sebanyak dua ribu orang jumlah selisihnya dengan kaum bapak. Nah, dari itu hati menjadi terhibur juga, Insya Allah generasi Jemaat Ahmadiyah yang akan datang akan tumbuh berkembang dengan membawa jalinan cinta dan kesetiaan dengan nizam Khilafat dan nizam Jemaat. Insya Allah.

Semoga Allah menganugerahi berkat yang tidak terhingga pada harta benda dan jiwa segenap pengurus, para karyawan dan peserta Jalsah dan dapat terus menambah jalinan kesetiaan dan hubungan kecintaan dengan Khilafat dan Dia menganugerahkan pahala dari sisi-Nya. Demikian pula Jalsah di Prancis dari segi kondisi (Jemaat) di sana sangat sukses. Para petugas di sinipun sangat perlu mendapatkan ucapan terima kasih dan keistimewaan. Jalsah di sini yang paling besar ialah karena di sini sedemikian banyak jumlah orang bukan keturunan Pakistan, termasuk di dalamnya orang-orang asal Afrika, Algeria, Maroko, Filipina dan lain-lain. Dan semuanya dengan semangat yang tinggi mereka menjalankan tugas mereka dengan baik. Dan sedemikian rupa mereka terus melaksanakan sebagaimana layaknya orang-orang yang sudah lama menjadi Ahmadi dan terlatih dalam tugas-tugas Jemaat. Semoga Allah menganugerahi keberkatan pada keimanan dan keikhlasan mereka. Kecintaan orang-orang itu terhadap Jemaat dan Khilafat pun tidak dapat diterangkan.

Semoga Allah terus memperbanyak jumlah mereka dan menganugerahi keteguhan langkah pada mereka. Dengan karunia Allah dalam Jalsah ini sepuluh orang yang bernasib baik bergabung dalam Jemaat Ahmadiyah. Semoga Allah meneguhkan langkah mereka. Para anggota Jemaat ingatlah dalam doa-doa kalian kedua tempat itu, yakni Jemaat Jerman dan Jemaat Perancis. Semoga Allah menganugerahi taufik pada mereka dan juga kepada kita semua taufik untuk dapat memenuhi janji baiat.

[1] (Malfuzhat jilid 4218-219 Cetakan Baru).

[2] Muslim, Kitabul-birri wa-shilah bab fazhlu ‘iyaadatil-mariidh

[3] Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir dan Mu’jam al-Ausath, al-Baihaqi dalam Syi’bil Iman dan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah. Riwayat lain, Abdullah ibn Masud dan Abu Hurairah menyebutkan, ” الخلق كلهم عيال الله ، فأحب خلقه إليه ، أنفعهم لعياله “ Mirqatul Mafaatih syarh Misykat, karya Mulla Ali al-Qari menyebutkan الخلق كلهم عيال الله

[4] Sunan Ad-Darimi Kitabul isti’dzan Bab fi haqqil Muslim ‘alal Muslim

[5] Muslim Kitabul birr washilah babb tahrim zhulmil-Muslim wa khadzalih

[6] Muslim Kitab adz dzikr bab fadhlul ijtima’ ‘ala tilawatil quran wa ‘a’adhikir

[7] Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 2 hal 235

[8] Sunan Abi Daud Kitabul-adab bab fir-rahmati

[9] Malfuzhat jilid 9 hal 165

[10] Malfuzhat jilid 3 hal 368 Cetakan Baru. Hadits dimaksud terdapat dalam Sunan ibni Maajah, Kitab az-Zuhd, no.4263; Abdullah ibn Umar r.anhuma meriwayatkan, para Muhajir faqir mengeluh karunia-karunia Allah kepada orang-orang kaya, sedangkan mereka tidak dapat berbuat banyak untuk agama, Rasulullah saw bersabda, ‏”‏ يَا مَعْشَرَ الْفُقَرَاءِ أَلاَ أُبَشِّرُكُمْ أَنَّ فُقَرَاءَ الْمُؤْمِنِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ ‏”‏

[11] Abu Muhammad Sheikh Muslihuddin Sa’di adalah seorang penyair sufi kelahiran Shiraz, Persia (1200-1291) yang menulis literatur klasik berjudul Bustan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh para penyair barat berjudul “The Orchard” dan buku lainnya Gulistan “The Rose Garden”. Karyanya mengandung ajaran-ajaran dan kisah-kisah cinta, agama, kebijaksanaan, anekdot-anekdot dan aspek kehidupan lainnya. Selain Sa’di, Pendiri Jemaat juga terkadang mengutip sajak Hafiz Shirazi, penyair Persia lainnya (1316-1390).

[12] Malfuzhat jilid 4 hal 448 Cetakan Baru

[13] Casymai Ma’rifat; Ruhani Khazain jilid 23208-209

[14] Haqaiqul-Furqan jilid 4 hal 290-291

[15] Malfuzhat jilid 4 hal 82-83 cetakan baru

[16] Bahtera Nuh; Ruhani Khazain jilid 19 hal 11-12

[17] Malfuzhat nomer 1 hal 8-9

[18] Malfuzhat jilid 3 hal.181, Ceramah 23 Maret 1903.

[19] Malfuzhat jilid 4 hal.184 Cetakan Baru

[20] Bahtera Nuh; Ruhani Khazain jilid 19 hal 11-12

[21] Malfuzhat jilid 4 hal 215-216 Cetakan baru

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.