Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad,
Khalifatul Masih al-Khaamis أيده الله تعالى بنصره العزيز (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz)
Pada Jumat, 29 September 2017 di Masjid Baitul Futuh, UK
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.
Dengan karunia Allah Ta’ala, hari ini Ijtima Majlis Ansharullah UK (United Kingdom of Britain, Britania atau Inggris Raya) dimulai. Dalam hal ini, saya ingin menarik perhatian para Anshar kepada hal yang bukan hanya penting namun sangat fundamental, yaitu Shalat. Shalat difardhukan (merupakan kewajiban) bagi setiap orang yang beriman. Tapi setelah usia 40 tahun, seseorang harus semakin sadar bahwa seiring dengan berlalunya waktu, hari-hari kehidupannya pun semakin menyusut (berkurang). maka dari itu, mereka hendaknya lebih banyak memperhatikan pada ibadah dan shalat dalam keadaan seperti ini yang terasa di dalamnya bahwa waktu untuk menghadap Allah Ta’ala mendekat dengan cepat dan di sana ada pertanggungjawaban atas setiap amal perbuatan. Oleh karena itu, setiap orang yang beriman dan siapa saja yang yakin akan adanya kehidupan setelah kematian, dan percaya akan Hari Akhir, harus benar-benar fokus untuk memenuhi kewajibannya terhadap Tuhan (huquuquLlah, hablum minaLlah) dan kewajiban terhadap hamba-hamba-Nya (huquuqul ‘ibaad atau hablum minan naas) serta berjuang untuk menunaikan kewajiban-kewajiban itu.
Setiap kali Allah Ta’ala telah mengarahkan perhatian pada shalat, Dia menekankan pada kedawaman, ketepatan waktu dan shalat berjamaah. Kita telah diperintahkan untuk menegakan Shalat (iqamatush shalah), dan secara harfiah berarti tegakanlah shalat tepat waktu dan secara berjamaah.
Tapi yang teramati – semoga Majlis Ansharullah dapat meninjau melalui laporan, dan harus melakukannya – , meskipun mereka telah mencapai usia lanjut dan itu usia yang serius, mereka tidak memberikan perhatian kepada shalat berjamaah sebagaimana semestinya.
Maka dari itu camkanlah kata-kata ini baik-baik, bahwa setiap anggota Majlis Ansharullah harus lebih banyak menaruh perhatian dibanding semua lainnya dalam kedawaman dan kedisiplinan melaksanakan shalat. Bahkan, setiap Naashir (individu Ansharullah) dari mereka harus menganalisa kondisi diri mereka masing-masing, dan berusaha keras untuk senantiasa dawam dalam melaksanakan shalat berjamaah. Ya Allah! Kecuali bila mereka sakit atau ada udzur (kendala). Dan semaksimal mungkin melaksanakannya di Masjid, Shalat Centre atau jika memang tidak memungkinkan lakukanlah shalat berjamaah dengan anggota keluarga di rumah. Hal tersebut pun guna membangun kesadaran tentang shalat berjamah dikalangan anak-anak dan para remaja.
AnsharuLlah tidak mungkin benar-benar menjadi AnsharuLlah (pendukung atau pembantu Allah) selama mereka tidak memainkan peran dalam penegakan agama Allah dan diri mereka sendiri mengamalkannya serta meminta orang lain mengamalkannya. Tetapi jika mereka tidak tertarik dalam mencapai tujuan penciptaan manusia — yaitu menyembah Allah ta’ala – dan di kalangan mereka yang dijadikan pengurus tidak menuntut demikian atau tidak berusaha melalui penyajian keteladanan mereka kepada para anggota maka mereka adalah AnsharuLlah sekedar nama saja. Tidak ada perang berkecamuk yang mana pedang-pedang dihunuskan dengan keras dan dimintakan kepada Anda untuk menjadi pendukung, tapi Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah menjelaskan bahwa senjata yang menuntun kita pada sebuah kemenangan adalah doa (Shalat). Jadi untuk menjadi seorang penolong Allah (Ansharullah) sesuai makna kalimat sepenuhnya, perlu untuk menggunakan senjata shalat. Pergunakanlah senjata doa dengan cara yang telah Allah Ta’ala beritahukan kepada kalian. Jika memenuhi hal itu maka kita akan menjadi orang-orang yang menunaikan hak baiat Hadhrat Masih Mau’ud as tapi jika tidak beliau as bersabda berkali-kali: “Jika kalian tidak mengindahkan kata-kata saya dan tidak menanamkan perubahan suci pada diri kalian serta tidak memenuhi hak-hak ibadah maka tidak ada gunanya baiat kalian.”
Masing-masing Naashir (individu Ansharullah) harus memeriksa dirinya sendiri secara tertentu untuk sejauh mana ia kokoh dalam shalat-shalat dan sejauh mana menyajikan keteladannya bagi anak-anaknya, lalu bagaimana keadaan shalat-shalatnya dan mutunya, apakah shalat-shalat dia lakukan seperti dikenakan secara paksa bagai menanggung beban-bebannya atau dia lakukan benar-benar untuk meraih ridha Allah ta’ala.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) dalam banyak kesempatan dan dengan berbagai cara berkali-kali menarik perhatian kita kepada pentingnya Shalat, menguraikan kewajiban shalat, hikmah pelaksanaan shalat, tujuan di balik penunaian shalat, falsafah dibalik shalat serta waktu pelaksanaan shalat tersebut. Hari ini saya hendak menyampaikan kutipan-kutipan sabda-sabda beliau yang menguraikan tema pentingnya shalat dan hikmah di balik itu.
Dalam satu pertemuan Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan alasan mengapa shalat itu harus dilaksanakan secara dawam dan tepat waktu, “Dirikanlah shalat secara teratur dan tepat waktu. Ada orang-orang yang merasa cukup dengan melakukan shalat hanya sekali dalam sehari. Mestinya mereka menyadari tidak ada manusia yang dikecualikan dari ketentuan tersebut, tidak juga para Nabi. Ada diutarakan dalam sebuah Hadits bahwa sekelompok orang yang baru saja baiat ke dalam Islam, memohon kepada Hadhrat Rasulullah saw agar dibebaskan dari kewajiban melakukan shalat. Beliau saw bersabda: ‘Agama yang tidak menuntut suatu kewajiban, bukanlah suatu agama sama sekali.’ Senantiasa ingatlah hal ini. Beramallah sesuai perintah Allah. Allah Ta’ala telah berfirman di dalam ayat-ayat-Nya bahwa langit dan bumi tegak atas perintah-Nya. (artinya, langit dan bumi tegak atas ridha Allah yang tanpa itu takkan bisa tetap tegak)
“Terkadang ada orang-orang yang condong ke naturalisme (paham kealaman) berpendapat paham itu lebih tepat untuk diikuti karena apa manfaat takwa dan kesucian jika diamalkan tanpa prinsip kesehatan? (Orang-orang duniawi mengatakan agar kita berlaku sesuai kaidah-kaidah terkenal dalam standar duniawi dan itu terkait kesehatan, dan seseorang tidak akan nyaman dalam kesehatan tanpa mengamalkannya, bagaimana mungkin menjaga ketakwaan dan kesucian jika beramal berdasar kaidah itu saja belum? Apa faedah ketakwaan tanpa beramal pada kaidah tersebut?) Hendaknya jelas bahwa dari ayat-ayat Allah, sarana-sarana fisik di banyak kesempatan tidak bekerja, begitu pula prinsip-prinsip kesehatan terkadang tidak bermanfaat. Obat dan dokter canggih juga terkadang tidak berguna [untuk memperoleh kesehatan yang baik]. Tetapi, jika Allah Ta’ala memerintahkan maka kondisi rusak pun Dia bisa perbaiki.”
Untuk mencapai hal tersebut perlu membangun hubungan dengan Allah Ta’ala. Cara yang terbaik untuk hal itu adalah ibadah. Cara terbaik dalam ibadah tersebut adalah Shalat.
Kemudian, beliau as menjelaskan hakikat shalat, kepentingannya dan bagaimana manusia memerlukan shalat dan bagaimana seharusnya, “Apa Shalat itu? Shalat merupakan bentuk doa yang khas. Namun orang-orang menganggapnya seperti pajak yang dibebankan oleh Raja (pemerintah). Mereka yang beranggapan seperti itu merupakan orang-orang yang tuna ilmu. Mereka tidak memahami bahwa Allah Ta’ala Yang tidak memerlukan siapapun dan apa pun, apa Dia perlu bila seseorang berdoa, bertasbih (menyatakan kesucian-Nya) dan untuk menyatakan tiada yang patut disembah kecuali Dia (tahlil)? Tidak demikian! Sebaliknya, ini adalah demi kebaikan dan faedah bagi manusia itu sendiri yang akan tercapai apa yang dimintakannya dengan cara ini.” (Artinya, manusia akan memenuhi keperluan-keperluannya dengan cara shalat-shalat; tujuan hidup dan apa yang dicarinya pun tercapai dengan cara ini)
Saya sungguh sedih melihat orang-orang pada masa ini tidak memberikan perhatian untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dan tidak ada lagi ketakwaan, kesalehan dan kecintaan terhadap agama di dalam diri mereka. Ini akibat pengaruh umum beracun sikap taqlid (beragama karena tradisi atau ikut-ikutan). Hal ini juga yang telah membuat beku kecintaan mereka kepada Allah Ta’ala. Orang-orang tidak memperoleh kenikmatan dalam beribadah kepada-Nya sebagaimana seharusnya. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang Allah Ta’ala tidak berikan unsur kenikmatan dan kelezatan di dalamnya. (Artinya, Allah Ta’ala menjadikan di tiap sesuatu kelezatan khusus dan jenis istimewa kenikmatan) Seperti halnya seseorang yang sedang sakit, ia tidak bisa menikmati makanan yang lezat bahkan malah merasakan pahit atau hambar. (makanan di mulut orang yang sakit berubah rasanya karena ia tidak mampu merasakan rasa makanan. Inilah yang kita perhatikan di kebanyakan orang sakit)
Oleh sebab itu, bagi yang bisa tidak merasakan kenikmatan di dalam ibadah kepada Allah Ta’ala, maka perhatikanlah penyakit rohani kalian. (Artinya, orang yang tidak merasakan kenikmatan dalam shalat berarti ia sakit ruhani) Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang Allah Ta’ala tidak berikan unsur kenikmatan dan kelezatan di dalamnya. Allah Ta’ala telah menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya, jadi bagaimana mungkin tidak terdapat unsur kelezatan dan kenikmatan di dalamnya! Kenikmatan itu sungguh ada hanya jika ada orang-orang yang menikmati dan merasakan kelezatannya. Allah Ta’ala telah berfirman: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan, tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [Adz-Dzariyat, 51:57]
Karena manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, maka pasti ada kelezatan dan kebahagiaan sampai batas tertinggi di dalam ibadah tersebut. (Hendaknya ada kenikmatan dan kegembiraan hingga ke derajat yang setinggi-tingginya dala beribadah. Jika tidak demikian, sedangkan jika Allah Ta’ala telah menciptakan manusia tanpa tujuan sedangkan manusia tidak merasakan kenikmatan dan keuntungan dalam beribadah kepada-Nya maka bagaimana mungkin manusia dapat beribadah.)
Hal ini dapat dipahami dengan baik melalui kesaksian dan pengalaman kita sehari-hari. Telah disediakan bagi manusia berbagai macam tanam-tanaman, makan-makanan dan minum-minuman. Apakah tidak ditemukan kenikmatan dan kelezatan di dalamnya? Tidakkah untuk bisa merasakan kelezatan berbagai jenis makanan itu, manusia pun diberikan indra perasa lidah. Demikian pula, bukankah manusia dapat memperoleh kenikmatan dengan melihat keindahan alam, hewan, manusia dan lain-lain? Bukankah manusia dapat merasakan kenikmatan dengan mendengar suara yang merdu? Lalu dalil apalagi yang diperlukan untuk membuktikan adanya kenikmatan dalam beribadah kepada-Nya?!
Allah Ta’ala berfirman bahwa Dia telah menciptakan laki-laki dan perempuan berpasang-pasangan. Dia telah membuat kita kaum laki-laki cenderung suka akan kaum perempuan. Laki-laki melakukan itu tanpa paksaan dan tekanan bahkan dalam hubungan mereka (laki-laki dan perempuan) terdapat kelezatan. Jika tujuan perkumpulan mereka berdua hanya untuk memperoleh anak keturunan, maka tujuan tersebut tidak akan terpenuhi. …
Sejalan dengan itu, pahamilah dengan sebaik-baiknya bahwa beribadah kepada Allah Ta’ala bukanlah sebuah tanggungan atau beban melainkan, beribadah kepada-Nya ini merupakan hal yang menyenangkan dan penuh kenikmatan. Kelezatan yang ada di dalamnya jauh lebih besar daripada segala kenikmatan dan kelezatan duniawi. Seperti halnya seorang yang sakit tidak dapat merasakan kenikmatan makanan yang lezat, demikian juga keadaan orang-orang yang tidak beruntung tersebut yakni yang tidak dapat merasakan kenikmatan dan kelezatan di dalam ibadah kepada-Nya.
Inilah kelemahan manusia dan kurangnya perhatian terhadap shalat dan kehilangan karunia Allah, karena dia tidak merasa senang saat shalat. Maka dari itu, mereka yang keadaannya demikian harus berpikir. Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud as mengatakan apa itu shalat yang hakiki dan bagaimana seharusnya: “Ingatlah selalu bahwa shalat ialah perkara yang dapat memperbaiki dunia dan agama sekaligus. Namun, shalat yang dilakukan mayoritas orang mengutuki (melaknati) mereka sendiri ialah sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah Ta’ala, فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ * ‘Kehancuranlah bagi orang-orang yang shalat dengan lalai terhadap hakikat shalat’ (Surah Al-Ma’un, : 5-6).
Shalat ialah sesuatu yang jika ditegakkan membuat seseorang terlindungi dari segala jenis keburukan dan kekejian. Namun, seseorang takkan mampu menegakkan shalat dengan kekuatan yang membantunya. Itu takkan datang tanpa pertolongan dan naungan perlindungan Allah. khusyu’ dan kerendahhatian pun takkan dapat kontinyu tanpa doa. (untuk menunaikan shalat dan meraih kedudukan ini harus menghindari keburukan-keburukan, meraih karunia Allah Ta’ala, khusyu’ dan khudhu’) Maka dari itu, janganlah melewatkan siang hari dan malam hari kalian tanpa ada waktu untuk berdoa.”
Seseorang memerlukan karunia Ilahi untuk meraih kenikmatan dan kegembiraan dalam shalat. Untuk meraih karunia-Nya, seseorang perlu bersikap khudhu’ di hadapan Allah dan berdzikir kepada-Nya dalam posisi berdiri dan duduk dan meminta dari-Nya sikap khusyu’. Ketika keadaan ini timbul dalam diri seseorang, barulah ia merasakan kelezatan dalam shalat-shalatnya. Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan sebab hilangnya kenikmatan dalam shalat dan obat penyembuhnya,
“Saya amati orang-orang lalai dan malas dalam mendirikan shalat karena tidak mengetahui kenikmatan dan kelezatan yang telah Allah Ta’ala letakan di dalamnya. Inilas sebab terbesarnya. Para penduduk kota-kota dan kampong-kampung paling malas dan lalai dalam hal ini. (Mereka yang tinggal di wilayah yang makmur dan sibuk dalam berbagai pekerjaan lebih banyak yang mengabaikan shalat) Banyak orang tidak bersedia menundukkan kepalanya di depan Majikan mereka dengan keaktifan sempurna dan kecintaan yang jujur. Muncul pertanyaan mengapa orang-orang tidak menyadari hal ini dan mengapa tidak merasakan kenikmatan ini?! Jawabannya, mereka tidak tahu kelezatan shalat dan belum merasakan kenikmatannya. Agama-agama lain tidak terdapat perintah yang seperti ini. Terkadang yang terjadi adalah karena terlalu asyiknya dengan kesibukan sendiri, saat Muadzin mengumandangkan Adzan, mereka tidak ingin mendengarkannya, seakan-akan hati mereka benar-benar sakit. Ada para penjaga toko yang tokonya berada di dekat Masjid namun tidak hadir shalat ke Masjid. Oleh karena itu, saya ingin mengatakan bahwa kalian harus berdoa kepada Allah Ta’ala dengan penuh hasrat dan gairat, ‘Ya, Allah. Sebagaimana Engkau menganugerahi kami berbagai macam kesenangan dan kenikmatan berupa buah-buahan dan benda-benda lainnya, anugerahi kami juga sekali saja kenikmatan dan kesenangan dalam shalat dan ibadah!’ Ketahuilah sekali seseorang memakan sesuatu yang lezat, ia takkan melupakannya.
Misalnya, jika seseorang laki-laki melihat beberapa wanita cantik, dia selalu mengingatnya sembari merasa senang, dan jika dia melihat orang yang buta sebagai pemandangan yang mengerikan. Dia akan tidak tertarik dengan semua atributnya saat dia mengingatnya, jika dia tidak punya kepentingan dengan dia, tidak ada yang ia ingat darinya.” (Yaitu, seseorang mengingat kebaikan dan keburukan terkait hubungannya dengan mereka dan ketertarikannya terhadap mereka, jika tidak, dia tidak terpengaruh atau ingat apa-apa)
“Mereka yang tidak mendirikan shalat selalu menganggap shalat itu sebagai beban (hukuman) yang membuat mereka terpaksa harus bangun pagi-pagi sekali, mengambil wudhu dalam cuaca dingin, meninggalkan tidur nyenyak serta kenyamanan lainnya. Orang-orang seperti itu merasa bosan dan tidak mengenal kelezatan dan kenikmatan yang bisa ditemukan di dalam shalat. Bagaimana ia dapat menikmatinya?!
Saya perhatikan seorang pemabuk tidak akan berhenti minum karena belum bisa mabuk, bahkan ia akan terus minum segelas demi segelas minuman keras hingga mulai merasakan pengaruh dan kenikmatan yang ia inginkan dari meminum minuman keras itu. Seorang yang bijak bisa mengambil pelajaran dari hal ini bahwa ia akan senantiasa terus mendirikan shalat dan tidak berhenti hingga ketika ia dapat merasakan kelezatan itu. Seperti halnya seorang pemabuk yang mencari kenikmatan dari minumannya dan memang itulah tujuanya, maka condongkanlah perhatian penuh kalian untuk meraih kenikmatan di dalam shalat lalu berdoalah dengan ketetapan dan keteguhan hati seperti seorang pemabuk yang gelisah dan penuh derita yang belum mendapatkan kenikmatannya. Dengan kondisi seperti ini, seseorang akan benar-benar memperoleh karunia untuk merasakan kenikmatan yang dimaksud.”
Selain itu, fokuslah untuk meraih faedah dari shalat ketika sedang melaksanakannya sebagaimana ia merenungi kebaikan-kebaikan. Allah berfirman إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ “… Sesungguhnya kebaikan-kabaikan menghapuskan keburukan-keburukan…” [Hud, 11:115] Jadi hendaknya seseorang dalam shalatnya berdoa supaya Allah memberi taufik mendapatkan kebaikan-kebaikan dan kelezatan-kelezatan ini dan mendirikan shalat seperti shalatnya orang-orang yang shiddiq dan muhsin. Allah Ta’ala berfirman: إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ “… Sesungguhnya kebaikan-kabaikan menghapuskan keburukan-keburukan…” [Hud, 11:115] Dia juga telah berfirman: إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ “… Sesungguhnya shalat mencegah dari kekejian dan kemungkaran …” [Al-Ankabut, 29:46] Meskipun demikian, kita mencatat ada orang yang berbuat kejahatan walaupun telah mendirikan shalat. Mengapa demikian? Hal ini adalah karena meskipun mereka mendirikan shalat, mereka tidak melakukanya dengan ruh dan kebenaran. Mereka hanya mengikuti gerakan-gerakannya sebagai suatu tradisi dan melakukannya dengan terpaksa. Jiwa mereka telah mati dan Allah Ta’ala tidak menyebut shalat mereka sebagai kebaikan. Tatkala Allah menyebut ‘hasanaat’ dan bukan ‘shalat’ maknanya satu yaitu menunjuk pada keistimewaan shalat, kebaikan dan keindahannya dan untuk menerangkan bahwa shalat yang menghapuskan kemungkaran adalah yang di dalamnya terkandung ruh kebenaran dan memiliki pengaruh untuk menimbulkan kebaikan. Shalat yang seperti itulah yang akan menghapuskan segala macam keburukan. Shalat itu bukanlah mengenai melakukan gerakan-gerakan saja seperti berdiri dan duduk melainkan intisari dari shalat adalah doa yang di dalamnya terdapat kelezatan dan kenikmatan.
Berkenaan dengan bagaimana cara meraih ruh dan tujuan shalat, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda bahwa rukun shalat yaitu Qiyam, Ruku, Sujud dan Qa’dah (posisi duduk antara dua sujud yaitu tahiyatul awwal dan akhir), seluruh gerakan tersebut telah dijadikan bagian dari shalat guna mencapai dan meraih ruh dan tujuannya.”
Lebih lanjut beliau (as) bersabda: “rukun shalat sebenarnya merupakan bentuk-bentuk ruhani dari duduk dan berdiri. Seseorang harus berdiri di hadapan Allah Ta’ala, dan Qiyam (berdiri) juga merupakan bentuk kesopanan yang ditampilkan seorang hamba (pelayan). Ketika seorang pelayan bertemu seseorang yang derajatnya lebih tinggi, maka serta merta ia akan berdiri untuk menunjukan rasa hormatnya. Dengan demikian Qiyam (berdiri) dalam Shalat merupakan tanda penghormatan. Ruku yang merupakan tahap kedua menunjukan kerelaan seseorang bahwa seberapa rendahnya ia tunduk untuk mematuhi perintah tersebut. Sujud menunjukan rasa penghormatan yang mutlak dan kepatuhan serta menyerahkan diri sepenuhnya, yang memanisfestasikan tujuan Ibadah.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Hal ini hanya dapat diraih ketika jiwa ada dalam keadaan fana, dan jatuh berserah diri sepenuhnya di hadapan Tuhan. Maka kegembiraan, kesenangan, kenikmatan, kebahagiaan dan cahaya akan diraihnya. Oleh karena itu untuk merasakan dan mengalami sebuah kegembiraan, kebahagiaan dan kelezatan dalam shalat hanya dapat diperoleh ketika hubungan antara hamba dan pencipta-Nya terbangun.”
Lebih jauh beliau (as) bersabda: “Pada tahap ini, ketika jiwa seseorang merendahkan diri sepenuhnya ke hadapan Tuhan, maka ia akan mengalir menuju Tuhan dalam rupa air mancur dan menghancurkan semua ikatan penghalang dengan apa yang ada selain Allah.” Yaitu ia menangkis dan memutuskan setiap ikatan dengan segala sesuatu yang ada selain Allah.’ sehingga saat itu kasih sayang Allah Ta’ala pun turun atas dirinya. Pada saat pertalian dua keadaan yang khas ini terjalin yang diakibatkan bertemunya dua ghairat, yaitu ghairat Allah Yang Maha mengayomi dari atas dan ghairat penyerahan diri seorang hamba dari bawah, maka keadaan ini disebut dengan Shalat.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Jadi, inilah shalat yang menghapus perbuatan-perbuatan buruk (jahat)…, ia diletakan dalam tempat yang bersinar dan bercahaya, sebagai cahaya mercusuar yang membantunya meninggalkan keburukan (kejahatan).”
Berkenan dengan orang-orang mukmin yang sejatinya tidak pernah bersujud (menyembah) sesuatu selain Allah Ta’ala, dan juga menahan diri untuk tidak menjadikan sesuatu itu menjadi titik pusat perhatian selain Allah. Maka Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Penting diingat bahwa shalat dalam maknanya yang hakiki itu tidak dapat diraih kecuali melalui doa. Meminta kepada wujud lain selain Allah Ta’ala sungguh bertentangan dengan ghairat dan kehormatan seorang mukmin sejati karena kehormatan shalat (penyembahan) tersebut hanya khusus untuk Allah saja. Sebelum seseorang meminta kepada Allah Ta’ala dengan kerendahan hati yang sempurna dan hanya meminta kepada-Nya saja, maka ia tidak layak disebut sebagai Mukmin yang benar dan Muslim sejati. Hakikat Islam ialah segala kemampuan lahir dan batin senantiasa tunduk di hadapan Allah Ta’ala. Seperti halnya suatu mesin yang besar yang dapat menggerakan seluruh komponen mesin yang banyak, begitu pula sebelum seseorang menjadikan segala amal perbuatannya – gerak dan diamnya – di bawah mesin yang Maha Agung, yakni Allah Ta’ala, lalu bagaimana ia bisa yakin sepenuhnya terhadap Kekuatan Allah Ta’ala dan benar-benar menganggap dirinya sebagai hanif [orang yang condong kepada Allah Ta’ala] tatkala mengucapkan: إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ‘Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi…’ Jika hatinya condong kepada Allah Ta’ala ketika mengucapkannya, lalu tidak diragukan lagi bahwa ia adalah seorang Muslim, seorang Mukmin sejati dan juga hanif. Tanpa diragukan lagi. Namun, ingatlah, orang yang berpaling meminta kepada wujud selain Allah Ta’ala adalah orang yang sangat tidak beruntung dan akan tiba masanya ketika ia tidak bisa kembali kepada-Nya dengan kepura-puraan.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Sebab-sebab seseorang berkebiasaan meninggalkan shalat dan malas-malasan dalam melakukannya yaitu karena orang tersebut condong kepada makhluk-makhluk selain Allah, hingga jiwa dan hatinya pun cenderung kepada mereka. Sebuah pohon yang tumbuh menghadap kearah tertentu, lambaiannya pun akan cenderung kearah tersebut. Orang-orang yang menjauh dari Allah, maka ia akan cenderung menyukai sesuatu yang lain selain Allah. Timbul dalam hatinya sejenis sikap keras menjadi seperti batu (mengeras) sebagaimana cabang batang pohon yang tumbuh menghadap ke arah tertentu. Lalu, ia tidak mampu condong ke arah lain. Ruh dan hati orang itu hari demi hari pun menjauh dari Tuhan. Ini adalah hal yang sangat serius dan membuat hati gemetar yaitu seseorang meninggalkan Tuhan dan harus mengiba di hadapan selain Tuhan. Inilah mengapa pentingnya seseorang menegakan dan menjadikan shalat sebagai sebuah corak konstan (tetap) dari kehidupannya. Kemudian dengan berjalannya waktu setahap demi setahap saat seseorang selalu memikirkan bagaimana kembali kepada Tuhan maka ia mewarisi cahaya kegembiraan dan kelezatan. Maka ia akan menjadi dingin (jauh) terhadap yang lainnya, lalu melepaskan semua ikatan tersebut dan hanya tunduk kepada Tuhan. Pada tahap ini seseorang dianugerahi dengan Nur dan memperoleh ketenangan (kedamaian).” (Ia melepaskan ketergantungan diri terhadap segala sesuati selain Allah dan fokus kepada ALlah saja maka ia memperoleh cahaya dan kelezatan.)
Hadhrat Masih Mau’ud (as) lebih lanjut bersabda: “Saya tekankan hal ini sekali lagi bahwa sangat disayangkan saya tidak menemukan kata-kata untuk menjelaskan betapa buruknya kondisi orang yang berpaling kepada wujud lain selain Allah Ta’ala. Orang-orang datang ke hadapan orang lain bersujud dan memuja-muji mereka. Ini senantiasa membangkitkan ghairat kehormatan Allah Ta’ala karena perilaku itu seperti sedang menyembah manusia. Dia akan membuang orang yang seperti itu.
Saya katakan dengan perkataan yang sederhana – meskipun tidak sama seutuhnya dari satu segi tapi dapat dipahami dari segi lain – bahwa sebagaimana kehormatan seorang pria akan terpancing dan tidak dapat menerima ketika melihat istrinya memiliki hubungan dengan orang lain sehingga ia memandang layak membunuh mereka, bahkan banyak terjadi peristiwa pembunuhan dalam keadaan seperti itu; begitu pula-lah permisalan ghairat kehormatan Allah Ta’ala. Allah amat Ghayyur. Hanyalah Allah Ta’ala Yang Berhak dan hanya kepada-Nya segala ibadah dan permohonan doa dipanjatkan. Dia tidak menyukai wujud selain-Nya dianggap layak disembah atau dimohonkan pemanjatan doa. Dengan demikian, ingatlah dengan baik bahwa berpaling kepada wujud lain selain Allah Ta’ala berarti memutuskan hubungan dengan-Nya. Shalat ialah pernyataan terhadap keesaan Allah Ta’ala dalam corak amal perbuatan namun berkat menjadi berkurang dan manfaat menjadi hilang jika tiada mengiringinya dengan ruh nan fana dan kerendahan hati serta hati yang haniif (kecenderungan terhadap Allah semata).
Berkenaan dengan munculnya pikiran-pikiran yang mengganggu saat shalat, sehingga terkadang seseorang cenderung kepada hal-hal lainnya. Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Pikiran-pikiran yang mengganggu takkan muncul kecuali pada orang-orang yang benar-benar tidak fokus perhatiannya secara sempurna kepada Allah Ta’ala saat shalat (ia banyak memikirkan hal-hal lain selain Tuhan). Perhatikanlah permisalan berikut ini! Apa yang dilakukan seorang kriminal saat berdiri di hadapan hakim, apakah ia memikirkan hal-hal lain selain hukumannya? (Seorang tersangka saat berdiri di depan hakim takkan mencari jalan untuk memikirkan hal lain) Sekali-kali tidak! Pikirannya takkan merisaukan hal lain bahkan akan focus pada sang hakim. Ia tetap akan gelisah memikirkan apa yang akan hakim putuskan pada kasusnya. Ia akan lalai pada dirinya sendiri. Demikian pula, bila seseorang ruju’ kepada Allah dengan hati yang sempurna dan bersujud di depan istana-Nya dengan jiwa yang jujur. Tidak mungkin setan mengganggu pemikirannya.”
Dewasa ini, disebabkan pengaruh atheisme, orang-orang memiliki pertanyaan tertentu di benak mereka, seperti mengapa kita harus shalat atau apa perlunya Tuhan dengan shalat kita. Dalam menjelaskan hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Allah Ta’ala itu al-Ghaniyy (Maha Cukup) dan tidak memerlukan shalat kita, namun, kitalah yang memerlukan shalat tersebut.”
Kemudian beliau (as) pun bersabda: “Harap diketahui bahwa tidaklah benar kita menjaga shalat dan melakukan shalat karena Allah memerlukannya. Tidak demikian! Allah tidak memerlukan ibadah-ibadah kita bahkan Dia tidak memerlukan alam semesta sebagaimana Dia juga tidak memerlukan seorang pun melainkan manusia yang memerlukan Dia. Ada rahasia besar tersembunyi dibalik itu semua, sebenarnya manusia selalu mencari sesuatu yang akan menguntungkannya. Itulah mengapa ia mencari pertolongan Allah Ta’ala, karena tidak bisa dipungkiri bahwa menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala menjadi penyebab mendapatkan setiap kebaikan baginya. Kendati seisi dunia menjadi musuh orang-orang yang seperti itu dan berusaha menghancurkannya, namun tidak ada yang dapat melukainya. Demi orang-orang yang seperti itu, meskupun Allah Ta’ala harus membinasakan ratusan ribu manusia, niscaya Dia akan lakukan.”
Mengenai keunggulan para Sahabat Nabi, beliau menjelaskan, “Tidak ada pedang yang seperti keikhlasan guna melapangkan hati orang-orang. Para sahabat menang atas dunia karena keikhlasan mereka. Hanya dengan kata-kata tidak cukup. Pada hari-hari ini tidak ditemukan cahaya, keruhanian dan bagian makrifat dalam wajah-wajah. Sebab, mereka tidak mengetahui hakekat shalat bahkan menganggapnya sia-sia. (mereka tidak mendapat hakikat shalat yang menyebabkan meraih cahaya)
Allah tidak kejam melainkan keikhlasan tidak ada di hati orang-orang. Tidak akan sempurna sesuatu hanya dengan amal secara lahiriah saja yang diterapkan dalam corak ikut-ikutan dan kebiasaan belaka.” Termasuk karunia Allah kepada Jemaat kita bahwa sejumlah besar Jemaat mendirikan shalat dengan ikhlas. Apa yang disabdakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as dalam pada zaman beliau dalam corak umum yang terdapat pelajaran bagi kita dan juga teguran pada hal-hal ini. Beliau bersabda, “Jangan menduga bahwa saya meremehkan shalat. Tidak! Melainkan shalat yang disebut dalam Al-Qur’an ialah mi’raaj. Tanyakanlah kepada seseorang saja dari mereka yang shalat apakah mereka tahu arti makna dari Surah Al-Fatihah? Akan kalian temukan mereka yang shalat sejak 50 tahun namun jika ditanya arti shalat mereka tidak tahu padahal ilmu-ilmu duniawi tidak ada artinya dibandingkan pentingnya hal ini. Meskipun mereka mempelajari ilmu-ilmu duniawi dengan sepenuh daya upaya mereka dan berjuang keras demi tujuan ini tapi mereka lalai dari ilmu-ilmu ini hingga mereka shalat tanpa mengerti apa makna shalat itu sendiri. (inilah keadaan umumnya umat Islam hari ini)
Tapi saya katakan janganlah berhenti berdoa dalam bahasa sendiri baik itu bahasa Urdu, Punjabi atau Inggris. Berdoalah dalam bahasa sendiri kapan saja. Namun, bacalah kalam Allah (ayat Al-Qur’an) sebagaimana adanya dan jangan masukkan kata-kata kalian kedalamnya melainkan bacalah apa adanya dan pahamilah maknanya. Demikian pula biasakanlah membaca doa-doa ma’tsurat dalam bahasa aslinya. Selanjutnya, berdoalah dalam bahasa yang kalian sukai setelah membaca Al-Qur’an dan doa-doa ma’tsurat. Allah Ta’ala mengetahui semua bahasa, mendengar doa-doa dan mengabulkannya.”
Hadhrat Masih Mau’ud (as) lebih jauh bersabda: “Apabila kalian ingin menjadikan shalat kalian mempunyai kelezatan dan kebahagiaan, penting bagi kalian saat shalat berdoa dengan bahasa sendiri juga. Namun sering didapati bahwa shalat dilaksanakan dengan cepat-cepat dan setelah itu baru berdoa. (kebiasaan ini umum ditemukan di kalangan Muslim non Ahmadi di mayoritas Negara-negara Islam. Mereka shalat dengan cepat lalu setelah selesai baru berdoa sambil mengangkat tangannya) Hal ini mengungkapkan bahwa mereka shalat secara kaku karena tidak tampak keikhlasan kecuali setelah shalat. Mereka tidak mengetahui bahwa shalat ialah doa yang dilaksanakan dengan puncak kerendahhatian, merendahkan diri, keikhlasan dan keprihan. Kunci pencapaian-pencapaian pekerjaan agung ialah shalat. Doa adalah langkah pertama untuk membuat terbuka pintu-pintu karunia Allah.”
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Tidak ada keuntungan atas shalat dengan jalan sebagai ritual dan kebiasaan belaka. Bahkan, Allah Ta’ala telah menurunkan kata ‘celaka’ dan ‘laknat’ atas orang-orang yang shalat dalam corak itu. Jangan pedulikan olehmu soal shalat mereka. Allah berfirman, فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ * ‘Kehancuranlah bagi orang-orang yang shalat dengan lalai terhadap hakikat shalat’ (Surah Al-Ma’un, : 5-6). Perkataan ini menunjuk pada mereka yang shalat namun lalai dari hakikat shalat dan maknanya. Bahasa Arab ialah bahasa para Sahabat ra. Mereka paham betul hakikat shalat. Ada pun kita mau tak mau harus memahami kalimat-kalimat dalam shalat dan menciptakan kelezatan di dalamnya dengan cara ini. Namun, mereka (para pengkritik) menyangka seolah-olah Nabi baru telah datang dan menghapus perintah shalat.”
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Perhatikanlah! Allah Ta’ala tidak mendapatkan keuntungan dari shalat kalian, tetapi manusia itu sendiri yang mendapat keuntungan darinya dengan berkesempatan untuk menghadapkan dirinya di hadapan singgahsana sang Khalik, memuliakannya dengan permintaan-permintaan dan munajat-munajat hal mana itu akan dapat membuatnya selamat dari kesulitan-kesulitan dan bencana-bencanya yang banyak. Saya heran menyaksikan kehidupan kaum yang menghabiskan siang hari mereka dan malam hari mereka dalam keadaan tidak menyadari adanya Tuhan. Ketahuilah! Orang seperti itu akan hancur cepat atau lambat.”
Beliau bersabda, “Saya akan memberikan nasehat yang sangat penting bagi kalian, dan semoga masuk kedalam hati sanubari setiap orang. Perhatikanlah! Hidup ini singkat oleh karena itu singkirkanlah kemalasan, biasakanlah bertadharru’ dan sibukkanlah diri kalian dengan banyak berdoa. Berkhalwatlah (menyendirilah) dengan Tuhan agar Dia melindungi keimanan kalian dan meridhoi kalian.”
Berkenaan dengan realitas shalat, beliau (as) bersabda di kesempatan lain: “Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ ‘Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami, pasti Kami akan membimbing mereka pada jalan kami.’ (Surah al-Ankabut, 29:70) Janganlah melarikan diri dari usaha di jalan ini. Seseorang harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuan akhir mereka. Berusahalah dan berjihadlah. Taubat dan istighfar ialah dua sarana untuk sampai kepada Allah Ta’ala maka taruhlah perhatian pada keduanya. Allah Ta’ala berfirman, وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ yang artinya ‘Kami membimbingnya ke jalan-jalan Kami yang benar.’”
Selanjutnya, beliau as bersabda, “Allah tidak kikir kepada seorang pun. Di kalangan umat Muslim sendiri dulu terdapat banyak Quthb, Abdaal dan Ghauts. Pintu rahmat-Nya sekarang pun tidak terbatas. Datanglah kepada-Nya dengan hati baik. Perbaikilah penunaian shalat kalian. Berdoalah! Berperilakukan sesuai ajaran-ajaran kami! Kami pun akan mendoakan kalian juga. Ketahuilah manhaj kami ialah manhaj Nabi Muhammad saw dan para sahabat beliau nan mulia. Para Zahid dan ahli Tasawuf zaman sekarang telah banyak membuat-buat bid’ah. Kami membenci amat sangat I’tikaf-I’tikah 40an, berbagai jenis wirid dan dzikir yang mereka buat-buat sendiri.
Banyak orang yang berkata, ‘Beritahukanlah kepada saya dengan doa apa hendaknya saya berdoa?’ ‘Bisakah anda memberitahu kami tata cara shalat secara spesifik atau amalan-amalan tertentu dalam shalat sehingga kami bisa menerapkannya?’ Saya beritahu bahwa yang pokok adalah kalian dirikan shalat dahulu.” (Setiap para Ahmadi harus benar-benar fokus dalam shalat.) “Metode atau tatacara Islam hakiki ialah membaca al-Quran al-karim dengan tadabbur, kemudian memahami kandungannya dan mematuhi apapun yang diperintahkannya. Selain itu, tegakanlah shalat dengan penuh perhatian dan teruslah berdoa dengan khusyu dan memohon ampun atas semua kesalahan. Jadi hanya shalat yang seperti ini yang membuat seseorang meraih puncak tertinggi keruhanian. Jika tetap demikian maka segala sesuatu akan menetap. Shalat yang mencapai derajat mi’raaj ialah yang dilakukan hingga membuat hati larut mencair di hadapan Allah Ta’ala.”
Hadhrat Masih Mau’ud as mendorong pelaksanaan shalat tahajjud selain shalat fardhu. Para anggota Ansharullah harus menaruh perhatian amat khusus dalam hal ini, “Jika semua usaha hidup ini hanya habis untuk mengejar duniawi, lalu apa yang disisakan untuk akhirat? Jika setiap nafas kehidupan ini dihabiskan hanya untuk mengejar urusan duniawi, lalu apa yang telah didapatkan untuk akhirat? Bangunlah khusus untuk shalat tahajud dan dirikanlah dengan penuh kecintaan dan ghairat (penuh semangat) yang luar biasa. Terkadang, kesibukan dalam bekerja mengakibatkan timbulnya kesulitan untuk mengerjakan shalat di siang hari. (Artinya, terkadang ia tak mampu mengerjakan shalat pada waktunya)
Namun, Allah Ta’ala ialah Yang Maha Pemberi Rezeki. Oleh sebab itu, dirikanlah shalat tepat pada waktunya. Terkadang shalat Dhuhur dan Ashar dapat dijamak. Allah Ta’ala mengetahui orang-orang yang lemah diantara kalian sehingga Dia memberikan kemudahan seperti ini. Namun demikian, kalian tidak diizinkan menjamak 3 shalat sekaligus. Manusia bersedia membawa kesusaha demi bertanggungjawab dalam pekerjaan-pekerjaan mereka karena urusan-urusan duniawi mereka. Maka, apa susahnya menanggung kesulitan di jalan Allah! (Jika manusia menanggung kesakitan demi urusan duniawi maka apa keberatannya bila mereka menanggung sedikit rasa susah demi perbuatan mengamalkan perintah Ilahi dalam menunaikan shalat-shalat fardhu.)
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Allah Yang Maha Agung telah memberikan karunia secara sempurna bahwa melalui Rasulullah (saw), Dia telah mengungkapkan kepada kita jalan keyakinan yang benar lagi sempurna tanpa kita harus bekerja keras atau melakukan usaha apapun. Jalan yang diperlihatkan kepada kita di zaman ini masih saja kebanyakan para ulama tidak mendapatkannya hingga sekarang. Bersyukurlah kepada Allah atas karunia-Nya dan kenikmatan-Nya ini. Cara untuk bersyukur kepada-Nya ialah laksanakanlah amal-amal saleh dengan kebenaran hati yang merupakan tingkat kedua setelah I’tiqaad-I’tiqaad (keyakinan) yang benar. Berdoalah kepada Allah bahwa Dia mengokohkan kalian dalam akidah-akidah yang benar ini. Dia memberi kalian taufik beramal saleh secara dawam. Bagian yang terkait ibadah-ibadah meliputi puasa, shalat, zakat dan lain sebagainya. Renungkanlah shalat sebagai contoh saat ini. Ia datang ke dunia tapi bukan dari dunia ini. Nabi Muhammad saw bersabda, ‘Penyejuk mataku berada dalam shalat.’”
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda guna menjelaskan bagaimana Tauhid hakiki disempurnakan, “Tauhid hakiki takkan sempurna kecuali jika seseorang beriman bahwa hanya Allah-lah Yang berhak atas semua tujuan dan Dia ialah Penyembuh semua keperihan dan Yang menghilangkannya. Inilah makna لا إله إِلاَّ اللَّهُ (tiada ilaah atau yang patut disembah kecuali Allah). Orang-orang dari kalangan Shufi mengatakan bahwa makna إله ilaah di kalimat ini artinya Habiib (Kekasih), Maqshuud (tujuan) dan Ma’buud (sesembahan).”
Beliau (as) bersabda, “Seseorang tidak akan dapat menyintai Islam dan keagungannya secara benar selama ia belum membiasakan diri dengan Tauhid hakiki. Saya kembali lagi ke tema pokok dan saya katakan, tanpa itu takkan diperoleh kelezatan dan kegembiraan dalam shalat. Ini hal mendasar. Seseorang takkan dianggap hamba sejati Allah kecuali kehendak jahat dan rencana liciknya dibakar dan menjadi abu; dan selama ia tidak menghilangkan keakuan dan kesombongannya dan mengisinya dengan kefanaan dan kerendahhatian. Pengajar terbaik dan jalan terbaik untuk mempelajari ubudiyyah secara sempurna ialah dengan shalat.”
Lebih lanjut beliau (as) bersabda: “Saya katakan lagi bahwa jika kalian ingin menjalin hubungan yang benar dan sejati dengan Tuhan, kerjakanlah shalat sedemikian rupa sehingga bukan hanya tubuh kalian dan lidah kalian saja melainkan jiwa kalian, niat kalian dan emosi kalian harus menjadi perwujudan sejati dari Shalat.”
Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik untuk berpegang teguh pada Tauhid hakiki, kita menjaga shalat-shalat kita dan menganugerahi kegembiraan dan kebahagiaan dalam melaksanakannya. Juga menjaga kita agar kita tidak menjadikan sesuatu yang lain sebagai sembahan melainkan kita senantiasa berpandangan hanya Allah yang layak menjadi sembahan.
Telah datang berita kepada saya bahwa tempat Ijtima Ansharullah belum bisa dipakai untuk shalat Maghrib dan Isya karena mereka menutup ruangan itu pada waktu-waktu tertentu di sore hari. Jika berita ini benar, para pengurus harus mengatur suatu tempat lain untuk shalat berjamaah di tempat Ijtima yang dapat diikuti para peserta. Di masa mendatang Majlis Ansharullah harus menyelenggarakan ijtima mereka di tempat yang dapat diadakan shalat berjamaah 5 waktu dengan mudah. Semoga Allah menjadikan Ijtima ini penuh kesuksesan dan semoga kita menjadi penyembah-penyembah sejati Allah Ta’ala. Amiin!
Penerjemah Dildaar Ahmad Dartono & Yusuf Awwab
______________________________
[1] Di dalam Sunan Abi Daud, Kitab al-kharaj, no. 3026, Musnad Abi Daud ath-Thayalisi: dari Utsman bin Abi Ash, delegasi kabilah Tsaqif mendatangi Rasulullah saw. Beliau menyambut mereka di Masjid dengan harapan hati mereka lebih terbuka. Kemudian mereka mengajukan syarat masuk Islam kepada beliau supaya mereka tidak diwajibkan berangkat jihad, tidak diwajibkan memberikan sepersepuluh harta mereka, tidak
diwajibkan shalat, serta tidak ditugaskan memimpin mereka selain dari kalangan mereka sendiri. Maka Nabi saw bersabda, “لَكُمْ أَنْ لا
تُحْشَرُوا ، وَلا تُعْشَرُوا ، وَلا تُجَبُّوا ، وَلا خَيْرَ فِي دِينٍ
لَيْسَ فِيهِ رُكُوعٌ ” “Kalian bisa meminta keringanan untuk tidak berangkat jihad, tidak memberikan sepersepuluh harta, dan tidak ditugaskan memimpin kalian selain dari kalian sendiri.” Kemudian beliau bersabda, “Namun, tidak ada kebaikan dalam satu agama yang tidak ada rukuk (kewajiban shalat) padanya.”
[2] Malfuzhat, Vol. I, hal 263 edisi 1985, UK.
[3] Malfuzhat, Vol. I, hal 159-160,
[4] Malfuzhat, Vol. I, hal 162-164
[5] Malfuzhat, Vol. I, hal 166-167, edisi 1985, UK
[6] do’a/dzikir yang memiliki atsar/menjadi sunna h Nabi saw
[7] Malfuzhat, Vol. I, hal. 6, edisi 1985, UK