بسم اللہ الرحمن الرحیم
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 14 September 2018 (Tabuk 1397 HS/04 Muharram 1440 HQ) di Brussels, Belgia
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ.
(آمين)
Dengan karunia Allah Ta’ala mulai hari ini Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Belgia dimulai. Setelah berlalu sekian lama saya dapat ikut serta dalam Jalsah Anda. Dalam selang waktu tersebut jumlah Ahmadi di sini pun mengalami peningkatan. Seperti halnya Jemaat-Jemaat lainnya, dengan karunia Allah Ta’ala, Jemaat di sini pun berkembang. Banyak juga pendatang baru dari Pakistan yang hijrah ke negeri ini. Selain itu, banyak juga hal lainnya yang berkembang di sini. Misalnya, meningkatnya jumlah rumah misi, masjid dan shalat center. Mesjid Brussel yang tengah dibangun akan segera selesai dan mesjidnya bagus. Dua hari lalu saya telah meresmikan masjid di Alken [Provinsi Limburg, wilayah Flemish, mayoritas berbahasa Belanda].
Allah Ta’ala telah memberikan lahan luas dan bangunan besar kepada Jemaat sehingga secara lahiriah kita menyaksikan limpahan karunia tercurah pada Jemaat di sini. Namun, karunia Allah ta’ala ini seyogyanya menimbulkan kesadaran dalam diri para Ahmadi di sini supaya dalam memahami, meyakini dan mengamalkan hukum-hukum Allah Ta’ala tidak hanya secara lahiriah melainkan secara hakiki pun lebih baik dari sebelumnya.
Tidak juga setelah lebih baik lantas terhenti di sana melainkan setiap hari dan setiap langkah – dibanding hari sebelumnya dan tahapan sebelumnya – terus meningkat dalam kebaikan, ketakwaan dan memenuhi tujuan-tujuan pengutusan Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam (حضرت مسیح موعود علیہ الصلوۃ والسلام ); dan terlihat berkembang terus. Seyogyanya mereka juga telah meninggalkan keburukan-keburukan dan tengah menempuh tahapan baru dalam kebaikan. Jika hal ini tampak dalam diri para Ahmadi maka kita dapat mengatakan telah meraih tujuan pengutusan Hadhrat Masih Mau’ud (as) atau tengah berupaya untuk meraihnya dan tengah berupaya untuk melaksanakan hak-hak baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as).
Maka dari itu, dengan memahami hal ini perlu bagi kita untuk terus mengevaluasi diri setiap saat, khususnya bagi mereka yang hidup di negeri maju tempat mana tidak terikat dengan hukum-hukum keagamaan dan Allah Ta’ala. Mereka tidak ada kepedulian untuk melaksanakan hukum agama ataupun Allah Ta’ala, bagi mereka yang hidup di negeri-negeri tersebut secara khusus harus menaruh perhatian dan perlu adanya upaya untuk itu. Namun jika datang ke negeri-negeri ini atas nama agama lantas tidak menganggap penting hukum hukum Ilahi dan malah tenggelam dalam keduniawian, akan memancing murka Tuhan.
Kebanyakan Ahmadi yang datang kemari adalah atas nama agama. Anda datang kemari karena di negeri asal Anda tidak diberikan kebebasan untuk mengamalkan ajaran agama. Karena itu, hendaknya ingat selalu, Anda datang kemari atas nama agama lantas jika tidak mengamalkan perintah Allah Ta’ala maka akan membuat Allah Ta’ala murka. Namun, manusia lemah dan disebabkan kelemahan itu dia menjadi tunduk kepada duniawi.
Memberikan perhatian pada dunia sampai batas tertentu dan mencari nafkah dunia tidaklah berdosa namun jika tengelam dalam keduniawian seperti orang-orang duniawi, dilarang oleh Allah Ta’ala. Berkenaan dengan itu Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah menjelaskan secara gamblang kepada kita.
Di satu kesempatan Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Tuhan mengizinkan seseorang untuk melakukan kesibukan dunia – maksudnya pekerjaan dunia dan kesibukannya diperbolehkan – tidak berdosa jika melakukannya, karena jika itu tidak dia lakukan [tidak bekerja dan berusaha] maka dapat menimbulkan cobaan pada jalan ini (jalan menuju Allah Ta’ala); dan disebabkan cobaan itu [cobaan karena tidak mencari nafkah halal] manusia dapat menjadi pencuri, penipu dan dapat menempuh kejahatan-kejahatan lainnya. Namun, segala sesuatu memiliki batasan. Carilah kesibukan dunia sampai batas untuk menciptakan sarana penolong bagi kalian guna menempuh jalan Tuhan dan jadikanlah agama sebagai tujuan utama.”
Beliau bersabda, “Kami tidak melarang kalian dari kesibukan duniawi, tetapi terdapat syarat yaitu agama harus menjadi tujuan utama. Ini merupakan prinsip pokok bagi seorang saleh dan bagi orang yang mengamalkan hukum Tuhan, yaitu carilah dunia, penuhilah keperluan duniawi, penuhilah keperluan dan pengeluaran istri dan anak serta kewajiban berumah tangga, karena itu merupakan kewajiban kalian.
Bekerja dan mencari nafkah bagi mereka adalah perlu namun jangan sampai pekerjaan dan pencarian nafkah tersebut sedemikian rupa membuat larut sehingga tidak tersisa lagi pemikiran untuk agama, malah berkutat untuk urusan duniawi semata. Jika kita harus mencari duniawi, itu karena berdasarkan perintah Tuhan, kita harus memenuhi tanggung jawab pada anak dan istri, melaksanakan kewajiban pada makhluk Allah dan harus mengkhidmati agama Allah. Jika itu yang menjadi tujuan, dunia pun akan diraih begitu juga agama.”
Lalu beliau (as) bersabda, “Jangan sampai siang malam sedemikian rupa tenggelam untuk urusan dunia sehingga ruangan untuk Tuhan pun dipenuhi oleh hal-hal duniawi. Jangan sampai bagian hak Allah Ta’ala dilewati dengan kesibukan dunia. Jika ada yang berbuat seperti itu, maka dia akan merugi dan ucapannya hanya sebatas di mulut saja.”[1]
Walhasil, jika kita tenggelam dalam keduniawian, maka kita luput dari agama dan jika kita luput dari agama, maka pernyataan baiat, pernyataan mendahulukan agama dan pernyataan keimanan kepada Tuhan, hanya tinggal ucapan saja, tidak lebih dari itu dan tidak ada hakikatnya. Kita menyatakan bahwa kita Ahmadi, namun jika kita tenggelam dalam keduniawian maka amal perbuatan kita sama dengan orang-orang di luar sana.
Lalu, beliau (as) menjelaskan lebih lanjut bahwa yang menjadi tujuan pencarian dunia haruslah agama, “Islam melarang Rahbaniyyat (menjadi rahib). Ini adalah perbuatan seorang pengecut. Memutuskan hubungan dengan dunia adalah perbuatan seorang pengecut. Hubungan seorang beriman dengan dunia harus sedemikian luas sehingga menjadi sarana untuk mendapatkan tingkatan yang tinggi karena yang menjadi tujuan utamanya adalah agama. Dunia dan segala khazanahnya sebagai pelayan bagi agama.”
Artinya, kehormatan dan kedudukan yang dia dapatkan di dunia ini, tidak menjadikan sarana penampakan keduniawian bagi seorang mukmin, melainkan semua itu berfungsi sebagai pelayan bagi agama. Kedudukannya untuk memberikan manfaat bagi agama dan hartnya pun demikian adanya. Mafhum atau (pemahaman)nya telah beliau jelaskan bahwa harta merupakan kendaraan yang menjadi sarana untuk sampai pada tingkatan agama yang luhur. Ia merupakan perbekalan yang dibawa oleh manusia untuk melakukan safar. Sebelum melakukan perjalanan, manusia mempersiapkan kendaraan yang baik demi kemudahan dengan tujuan supaya dapat sampai pada tempat tujuan dengan mudah. Raihlah dan gunakan dunia seperti itu dan jadikanlah ia sebagai pelayan agama bukannya diri sendiri menjadi budak dunia lalu meninggalkan agama.
Lalu beliau bersabda, “Doa yang Allah ajarkan, رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً ‘Rabbanaa aatinaa fiddunya hasanah wa fil aakhirati hasanah’ – ‘Tuhan kami, berikan kami kebaikan di dunia dan di akhirat.’ Dalam doa tersebut dunia didahulukan, namun dunia yang macam mana? Itu ialah hasanatud dunya (kebaikan dunia) yang didahulukan yang dapat memberikan حسنات الآخرة (hasanaatul aakhirah, kebaikan di akhirat).
Dengan doa tersebut dapat difahami dengan jelas bahwa ketika mencari dunia, seorang beriman harus memperhatikan hasanah (kebaikan) akhirat dan bersamaan dengan itu dalam kata hasanatud dunya mencakup juga segala sarana terbaik dalam meraih dunia yang harus ditempuh oleh seorang Muslim yang mukmin untuk meraih dunia. Carilah dunia dengan berbagai cara yang dengan mengupayakannya terdapat kebaikan, bukanlah cara-cara yang dapat menyebabkan penderitaan bagi umat manusia tidak juga yang dapat menyebabkan ketelanjangan dan rasa malu. Dunia yang seperti itu tentu akan memberikan kebaikan di akhirat.”[2]
Walhasil, setiap kita harus berupaya untuk mencari dunia yang dapat memberikan kebaikan akhirat bukannya malah ternggelam dalam gemerlap kehidupan di sini lalu melupakan tujuan hidupnya dan bukannya membawa kebaikan ke akhirat justru malah memancing murka Ilahi. Gemerlap duniawi dan segala kelezatannya justru dapat dapat menambah kegelisahan dalam diri manusia. Manusia beranggapan sendiri bahwa dia dapat meraih ketentraman di dunia, tetapi pada hakikatnya bukanlah ketentraman melainkan timbul kegelisahan.
Dalam menjelaskan hal tersebut Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Janganlah beranggapan harta duniawi, kekuasaan, kehormatan dan banyaknya anak dapat memberikan ketenangan, ketentraman dan kedamaian bagi manusia sehingga seolah-olah dia telah mendapatkan surga. Sama sekali tidak. Ketentraman, ketenangan, kedamaian yang merupakan bagian nikmat surgawi sebetulnya tidaklah didapatkan melalui hal-hal duniawi tadi, justru dapat diperoleh dengan hidup dan mati dalam wujud Tuhan yang untuk itu para Nabi ‘alaihimus salaam khususnya Ibrahim dan Yaqub telah menasihatkan secara khusus dengan menyatakan, وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ falaa tamuutunna illaa wa antum Muslimuun. Artinya, ‘Jangan sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan taat sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.’ (Surah Al-Baqarah, 2: 133) Maksudnya setiap saat kalian harus hidup dalam keadaan taat kepada Tuhan. Kematian tidak ditentukan waktunya, jangan sampai maut menjemput pada waktu kalian lepas dari ketaatan.”
Beliau (as) bersabda, “Kelezatan dunia dapat menimbulkan sejenis kerakusan yang kotor dan menambah rasa haus. Seperti orang yang berpenyakit kehausan, rasa hausnya tidak bisa hilang. Orang yang terjangkit penyakit tersebut, rasa haus akan air tidak bisa hilang bahkan dapat menyebabkan kematian. Walhasil, api keinginan dan hasrat duniawi pun termasuk kedalam api Jahanam yang tidak membiarkan hati manusia merasakan ketenangan dan ketentraman, bahkan berada dalam keraguan dan kekhawatiran.
Oleh karena itu, sekali kali jangan sampai terlepas dari pemikiran kawan-kawan bahwa janganlah sampai manusia sedemikian rupa tergila-gila dan mabuk dalam gejolak kecintaan pada harta kekayaan dan anak keturunan, sehingga tercipta hijab (penghilang) antara dirinya dengan Tuhan.”[3]
Artinya, jika kecondongan kita melebihi dari yang sewajarnya dan larut di dalamnya lantas akan timbul satu keadaan dimana timbul penghalang antara dirinya dengan Tuhan. Jika di tengah-tengah terdapat tabir maka hamba tidak akan dapat melangkah kepada Tuhan begitu juga sebaliknya. Allah Ta’ala berfirman, “Jika hamba lebih dulu berusaha datang pada-Ku maka Aku akan datang padanya.” Seperti yang disabdakan dalam hadits, أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً “…Jika hamba melangkah satu langkah maka Aku akan melangkah dua langkah. Jika seorang hamba datang dengan berjalan maka Aku akan datang dengan berlari.”[4]
Jadi, jika ingin menghilangkan batas penghalang ini, maka dapat dihilangkan dengan menjadikan dunia sebagai pelayan agama.
Beliau lebih lanjut bersabda, “Oleh sebab itulah, harta dan anak keturunan disebut sebagai fitnah karena keduanya dapat menjadi penghalang antara hamba dengan Tuhan. Beliau bersabda, “Harta dan anak keturunan pun dapat menciptakan neraka bagi manusia, karena ketika manusia dipisahkan dari kedua hal itu, dia akan sangat menderita dan khawatir. Dengan adanya jalinan dan pergesekan antar dua benda maka akan menimbulkan panas.”
Jika kita menggesekkan kedua tangan maka akan menimbulkan panas, begitupun dua buah batu.
Begitu juga jika terjadi pergesekan antara kecintaan pada manusia dengan duniawi maka akan timbul panas dan kecintaan Ilahi akan terbakar. Kecintaan kepada Allah Ta’ala menghilang dari diri orang itu. Jika kecintaan kepada manusia dan kecintaan terhadap duniawi digesekkan, lantas apa yang terjadi? Kecintaan kepada Tuhan akan sirna dan terbakar.”
Hati menjadi gelap dan terjauh dari Tuhan dan akan menjadi sasaran berbagai jenis kesia-siaan. Namun jika hubungan dengan kebendaan dunia dijalin dengan tanpa melupakan Tuhan, apa yang akan terjadi, kecintaan kepada mereka akan menjadi kecintaan kepada Tuhan. Cintailah hal-hal duniawi dengan didasari karena Tuhan mengizinkan untuk mencintainya sampai batas tertentu dan setelah menyintai Tuhan.
Beliau (as) bersabda, “Pada saat itu disebabkan oleh pergesekan keduanya, kecintaan kepada wujud selain Tuhan menjadi terbakar dan hilang. Jika timbul pergesekan maka pada tempat itu dipenuhi dengan cahaya dan nur, lalu keridhaan Tuhan akan menjadi keridhaannya dan juga sebaliknya keridhaannya akan menjadi keridhaan Tuhan yakni apa yang dia inginkan akan menjadi kehendak Tuhan. Sebaliknya dari itu, apapun yang dimiliki manusia merupakan jahanam jika mengarungi hidup untuk selain wujud Tuhan. Itu merupakan Jahannam juga.”[5]
Beliau bersabda, “Allah Ta’ala menghendaki supaya kalian menjadi Muslim seutuhnya. Kata Muslim mengisyarahkan supaya tercipta inqitha (pemutusan hubungan dengan dunia) seutuhnya yakni taatlah kepada Allah Ta’ala sepenuhnya jangan sampai baru saja kita taat kepada Allah Ta’ala lantas ketika melihat keuntungan duniawi kemudian lari menuju dunia dan melupakan Tuhan.”
Beliau bersabda, “Allah Ta’ala telah menurunkan karunia tidak terhingga dengan menjadikan umat Muslim sebagai Muslim dengan syarat dia merenungkan dan memahami.”[6]
Seperti yang saya katakan bahwa manusia itu lemah. Terkadang ketertarikan duniawi berusaha untuk menariknya, lalu manusia lebih condong kepada duniawi dan lalai kepada Tuhan dan agamaNya atau dalam beberapa amalannya timbul kelemahan, tidak menaruh perhatian sepenuhnya pada segenap hukum Ilahi, tidak melaksanakan kewajiban, tidak melaksanakan kewajiban pada istri dan anak, menciptakan permasalahan rumah tangga, terjadi percekcokan di rumah atau tidak bersikap jujur ketika mencari nafkah atau banyak sekali hal hal atau meninggalkan shalat karena alasan pekerjaan. Untuk itu Allah Ta’ala telah memberikan sarana bagi kita untuk mengeluarkan kelemahan tersebut.
Kita para Ahmadi beruntung, karena kita telah diberikan taufik untuk beriman kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as) yang telah membimbing kita berkali-kali dalam berbagai kesempatan untuk terhindar dari ketersesatan arah.
Selanjutnya, atas izin Allah Taala beliau (as) menciptakan satu sarana untuk berkumpul satu kali dalam setahun dengan mengadakan Jalsah-Jalsah dimana didalamnya beliau berusaha untuk memberikan sarana perbaikan ruhani. Walhasil, setiap peserta Jalsah harus selalu memperhatikan tujuan Jalsah yakni agar kita semakin dekat kepada Allah Ta’ala, mendahulukan agama dan meskipun hidup di dunia semoga tetap menjadikan dunia sebagai pelayan bagi agama dan janganlah menciptakan ruh ini hanya terbatas pada diri sendiri saja, bahkan tiupkan juga ruh tersebut dalam diri anak keturunan kita yakni apa yang Tuhan harapkan dari kita dan apa tujuan hidup manusia.
Teruslah semaikan di dalam diri anak keturunan dari generasi ke generasi bahwa untuk menjadikan dunia sebagai pelayan, berusahalah untuk mengamalkan segala perintah Tuhan dan pada akhir zaman ini untuk membuat ishlaah pada diri kita Allah Ta’ala telah mencurahkan karunia atas kita dengan mengutus Masih Mau’ud dan Mahdi Ma’hud ‘alaihis salaam yang mana setelah baiat padanya semoga kita dapat mengamalkan segala perintahnya, itulah yang dapat menjaga keberlangsungan hidup kita dan anak keturunan kita.
Hadhrat Aqdas Masih Mauud as bersabda, “Segenap mukhlisin yang baiat kepada saya dan masuk kedalam Jemaat ini hendaknya memahami tujuan baiat adalah supaya kecintaan pada dunia menjadi dingin dan sebaliknya kecintaan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya semakin menguasai kalbu dan supaya tercipta inqitha’ (putus hubungan dengan duniawi) sehingga perjalanan menuju akhirat tidak dianggap sebagai sesuatu yang makruh (tidak disukai).”[7]
Dengan demikian, sebelum timbul kecintaan seutuhnya kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, kecintaan kepada dunia tidak mungkin dapat berkurang dan tidak juga manusia dapat meraih ketentraman hati ketika ajal tiba dan tidak juga kegelisahan pada saat kematian akan dapat hilang. Inilah tujuan yang untuk meraihnya Allah Ta’ala telah mendirikan Jemaat ini dengan perantaraan Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan telah memberikan taufik kepada kita untuk ikut serta di dalamnya yang mana untuk itu beliau (as) mengambil baiat dan menjelaskan tujuan tersebut kepada orang-orang yang baiat. Jika kita tidak berupaya untuk meraihnya, maka pernyataan baiat kita hanya di mulut saja, pada hakikatnya kita tidak mengenal Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan tidak juga mengimaninya dan tidak juga melaksanakan hak-hak baiat.
Dalam satu kesempatan pada awal-awal diadakan Jalsah, ketika Hadhrat Masih Mau’ud (as) mengetahui orang-orang tidak memenuhi tujuan Jalsah, beliau lantas memperlihatkan kemarahan yang dalam lalu menyatakannya dengan bersabda, “Tahun ini saya tidak akan mengadakan Jalsah.”
Memang pada tahun itu Jalsah tidak diadakan. Pada saat ini pun pengumuman perihal itu menimbulkan kegelisahan di kalangan orang-orang yang tulus dalam Jemaat dan memang seyogyanya seperti itu.
Beliau (as) bersabda, “Tujuan Jalsah ini supaya dengan mulaqat (perjumpaan) yang berkali-kali diharapkan para Ahmadi dapat meraih satu revolusi di dalam dirinya sehingga kalbunya tunduk sepenuhnya kepada akhirat dan timbul rasa takut kepada Allah Ta’ala dan supaya menjadi teladan bagi orang lain dalam kezuhdan, ketakwaan, rasa takut kepada Tuhan, menjauhi dosa, kelembutan hati dan dalam rasa cinta dan persudaraan terhadap sesama dan supaya tercipta kerendahan hati, tawadhu, kejujuran di dalam diri mereka dan menempuh upaya-upaya untuk tugas-tugas agama.”[8]
Lalu bersabda, “Jalsah ini tidaklah seperti perkumpulan duniawi yang sia-sia melainkan penyelenggaraannya disertai dengan niat baik dan berpondasikan pada hasil yang baik. Jika niatnya tidak maka sia-sia saja.” [9]
Jika niatnya tidak baik, tidak membuahkan hasil yang baik. Jika tujuan Jalsah tidak tercapai, berarti sama sekali sia-sia dan tidak ada manfaatnya.
Sabda beliau (as), “..dengan adanya mulaqat-mulaqat (perjumpaan) ciptakanlah perubahan”, maksudnya mulaqat dengan siapa? Yaitu, mulaqat dengan Hadhrat Masih Mau’ud (as). Jadi, jika ada orang yang disebabkan kelemahannya telah memancing kemarahan Hadhrat Masih Mau’ud (as) maka pada masa ini Allah Ta’ala lebih mengetahui dari sisi jumlah berapa banyak diantara kita yang termasuk orang-orang yang menjadi sasaran kemarahan Hadhrat Masih Mau’ud (as)?
Oleh karena itu, dari sisi ini hendaknya setiap kita mengevaluasi diri yakni jika tidak dapat meraih standar seperti yang diharapkan oleh beliau, lantas kita tidak akan berhak untuk ikut serta dalam Jalsah ini atau perhatikan, apakah kita berhak ataukah tidak? Ataukah kita ikut serta dalam Jalsah ini hanya semata-mata karena kita adalah Ahmadi keturunan atau Ahmadi lama, telah lama baiat atau keturunan para pendahulu Jemaat? Jika demikian berarti kita tidak memenuhi tujuan yang Hadhrat Masih Mau’ud (as) harapkan dari kita atau tidak datang dengan disertai niat untuk berupaya atau tengah berupaya dengan segenap kapasitas untuk meraih tujuan tersebut. Jika itu tidak ada maka kedatangan kita ke Jalsah ini tidak lain seperti datang ke perkumpulan duniawi saja. Oleh karena itu, hendaknya dalam setiap diri para Ahmadi yang mukhlis timbul pemikiran akan hal tersebut.
Saat ini setiap tahun berbagai negara mengadakan Jalsah Salanah. Saya terkadang ikut serta dalam beberapa Jalsah sedangkan sebagiannya lagi ikut serta melalui perantaraan MTA. Diantara Anda banyak sekali yang biasa menghadiri Jalsah-Jalsah Eropa. Saat ini pun yang duduk di hadapan saya banyak diantaranya yang telah menghadiri berbagai Jalsah. Setelah menghadiri Jalsah UK, mereka lanjutkan dengan Jalsah Jerman.
Dalam setiap Jalsah disampaikan perihal tujuan Jalsah, ilmu keagamaan dan hal-hal untuk peningkatan ruhani. Ada juga ceramah-ceramah. Banyak juga yang menulis surat kepada saya, “Dalam Jalsah kami menyaksikan suasana yang khas, pemandangan ruhani, kasih sayang dan persaudaraan antar satu sama lain.” Mereka pun menulis, “Kami hadir dengan membawa serta beberapa orang bukan Ahmadi yang terkesan setelah melihat suasana Jalsah.” Dengan demikian, disebabkan hal ini dan disebabkan oleh menghadiri Jalsah beberapa kali dalam setahun, seharusnya menciptakan satu perubahan dalam diri kita.
Telah tiba masa dimana Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Ikutilah Jalsah satu kali dalam setahun supaya tercipta satu perubahan suci dalam diri kalian sehingga perjalanan ke akhirat jangan sampai tampak menakutkan dan supaya timbul perhatian khusus untuk melaksanakan kewajiban kepada Allah Ta’ala dan makhluk-Nya.”
Saat ini keadaannya terkadang sebagian orang mengikuti Jalsah lebih dari satu kali dalam setahun. Maka dari itu, evaluasilah diri seberapa besar perubahan yang seyogyanya harus tercipta dalam diri kita?
Tentu satu kali mulaqat dengan Hadhrat Masih Mau’ud (as) lebih berat bobotnya dibanding dengan beberapa kali Jalsah dan setelah mulaqat dengan beliau dapat menciptakan satu perubahan, bagaimanapun Nabi memiliki maqam yang khas (kedudukan yang istimewa). Namun, dengan seringnya mengikuti Jalsah sekurang-kurangnya harus menciptakan perubahan suci dalam diri. Topik-topik dan kalimat yang disampaikan saat ini pun sumbernya sama dari Hadhrat Masih Mau’ud (as). Lebih dari itu disampaikan juga sabda-sabda Rasulullah dalam berbagai ceramah; dan lebih dari itu juga disampaikan juga tafsir-tafsir Al-Quran yang merupakan firman Tuhan. Jika saja manusia beriradah disertai dengan niat baik, maka sarana untuk mendapatkan perubahan suci masih ada saat ini pun.
Jika Khalifah mengatakan sesuatu, itu pun sebagai perwakilan dari Hadhrat Masih Mau’ud (as). Kabar suka pun diberikan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (as) yang beliau peroleh dari Allah Ta’ala berkenaan dengan kelanggengan sistem Khilafat dan jalinan hubungan dengan Khilafat yang mana dapat menegakkan mata rantai keberkatan beliau (as). Bahkan, hal itu dikabarkan juga oleh Hadhrat Rasulullah (saw). Berkenaan dengan itu Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Janji untuk keberlangsungan keberkatan-keberkatan ini – keberkatan Khilafat – berkaitan dengan (tergantung pada) kalian.” Karena itu, dari segi ini, saya tegaskan untuk menyimak MTA demi mengambil manfaat dari kesempatan dan topik pada hari ini.
Di Pakistan kita dilarang mengadakan Jalsah. Para Ahmadi di Pakistan luput dari sisi ini, untuk itu sekurang-kurangnya biasakanlah untuk menyimak khutbah dengan dawam melalui MTA, simak juga acara Jalsah dan berusahalah untuk mengamalkannya. Dalam hal ini Allah Ta’ala pun telah memberikan satu sarana pada kita sampai batas tertentu untuk mengobati rasa luput tersebut. Setelah melihat dan menyimak program-program Jalsah di MTA berusahalah untuk mengambil manfaat darinya, dengan demikian 60 sampai 70 persen rasa haus itu akan terobati dan jika ada keinginan maka perubahan suci dapat timbul 100 persen.
Namun, Anda yang saat ini datang di Eropa, saya katakan kepada Anda semua, Anda dapat hadir dalam berbagai Jalsah dan dapat hadir lebih dari satu kali dalam setahun, seperti yang saya katakan, para Ahmadi di sini sudah seyogyanya dapat menimbulkan perubahan suci dalam dirinya. Kedatangan kita dalam kamp-kamp pelatihan yang Allah Ta’ala berikan ini baru akan terjadi jika sesuai dengan kehendak Hadhrat Masih Mau’ud (as) kita menjadikan dunia sebagai pelayan lalu menciptakan perubahan suci dalam diri. Setelah datang di sini simaklah prosesi Jalsah dengan serius. Niatkanlah bahwa kita akan mengamalkannya supaya dapat menciptakan perubahan suci dalam diri.
Dalam menekankan untuk menyimak acara Jalsah dengan seksama, Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud (as) bersabda, “Semua peserta hendaknya menyimak dengan serius, simaklah dengan penuh perenungan karena ini merupakan perkara keimanan. Jika malas dan lalai dalam hal ini maka akan memberikan dampak yang sangat buruk. Orang yang bersikap lalai dalam keimanan, dan ketika mendengarnya tidak dengan serius, meskipun yang disampaikan oleh penceramah berkualitas tinggi dan berpengaruh, tetap tidak akan memberikan manfaat.
Berkenaan dengan orang seperti itu dikatakan, mereka memiliki telinga namun tidak mendengar, memiliki hati, namun tidak memahami. Dengan demikian, ingatlah apapun yang disampaikan simaklah dengan penuh perhatian karena orang yang tidak menyimak dengan serius, meskipun dia bergaul dengan wujud yang menebarkan manfaat sekian lama pun tetap tidak akan dapat meraih manfaat.”[10]
Walhasil, beliau memberikan nasihat bagi orang-orang yang meskipun ikut serta dalam Jalsah namun tidak mengambil manfaat darinya. Memang mereka meneriakkan narae takbir dengan suara keras, namun pernyataan dan yel-yel mengenai keagungan Tuhan tersebut hilang dari kalbu setelah beberapa saat. Untuk itu setiap orang harus mengevaluasi diri jangan sampai sesuai dengan sabda Hadhrat Masih Mau’ud (as), kita termasuk golongan yang tidak mendapatkan manfaat dari Jalsah.
Ketika kita datang kemari untuk menghadiri Jalsah, seluruh peserta Jalsah harus mengikuti setiap acara Jalsah. Duduklah dengan penuh kesabaran. Simaklah semua ceramah dan apapun yang disampaikan raihlah manfaat dari sisi ilmu dan amalan darinya.
Dalam menekankan untuk menyimak ceramah-ceramah Jalsah Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Semua peserta hendaknya menyimak dengan serius. Hal ini jugalah yang saya harapkan dari diri saya, dari Jemaat saya dan dari jiwa saya supaya jangan hanya menyukai penyampaian secara lahiriah yang disampaikan dalam pidato-pidato saja lalu terhenti di sana yakni betapa memukaunya pidato yang disampaikan oleh penceramah, betapa dahsyatnya kalimat yang digunakan olehnya. Yang saya harapkan bukanlah hanya karena bobot ceramah dan kefasihan penceramah. Yang saya harapkan adalah bukan hal yang dibuat-buat dan berlebih-lebihan melainkan tabiat saya menghendaki supaya apapun pekerjaannya dilakukan karena Allah Ta’ala.[11]
Inilah yang menjadi penyebab terjadinya degradasi di kalangan umat Islam padahal begitu banyak konferensi, lembaga dan acara-acara yang diselenggarakan dimana di sana para penceramah handal menyampaikan pidatonya dan para penyair menangisi kondisi bangsa. Semua itu apa sehingga apa yang disampaikan tadi tidak berbekas sedikit pun. Bukannya maju, justru hari demi hari bangsa mengarah pada degradasi. Penyebabnya adalah orang-orang yang hadir dalam acara-acara tersebut tidak disertai dengan keikhlasan.” [12]
Hanya hal-hal yang bersifat lahiriah saja. Para orator (penceramah) hanya fasih berceramah sedangkan para pendengar hanya sebatas merasa kagum saja. Di dalamnya tidak ada keikhlasan.
Walhasil, inilah yang secara alami beliau (as) sukai. Beliau (as) menghendaki bagi para pengikut beliau (as) yakni jangan hanya terkesan sementara waktu dengan para penceramah yang berapi-api melainkan pahamilah ruh dari topik yang disampaikan dan jadikan hal tersebut sebagai bagian dari kehidupan. Jika hanya mendengarkan ceramah lalu setelah keluar dari jalsa gah melupakannya lagi, itu bukanlah kemajuan melainkan membawa pada penurunan.
Karena itu pulalah degradasi yang menimpa umat Muslim masa ini. Mereka mau mendengarkan para penceramah kondang, namun tidak mengamalkannya dan amalannya sama saja dengan nihil bahkan tidak ada sama sekali. Kaum yang di dalamnya tidak terdapat praktek amalan, kaum tersebut tidak akan pernah dapat maju. Kondisi umat Muslim dunia saat ini merupakan bukti nyata bahwa yang ada hanya ucapan saja, nihil dengan amalan. Jika seandainya amalan ada, maka keadaannya tidak akan seperti sekarang ini.
Jadi, ketika kita mengimani Hadhrat Masih Mau’ud (as) bertujuan supaya kelemahan yang timbul di kalangan umat Muslim dapat dijauhkan, jika tidak maka sia–sia saja keimanannya. Di satu sisi kita menyatakan bahwa kita harus menggiring dunia ke bawah panji Hadhrat Muhammad Rasulullah shalaLlahu ‘alaihi wa sallam (حضرت محمد رسول اللہ صلی اللہ علیہ وسلم), sedangkan di sisi lain kita semakin diliputi oleh duniawi dan kedatangan dalam Jalsah ini hanya bertujuan untuk berjumpa dengan beberapa kawan dan mendengar sebagian ceramah Jalsah.
Memang bertemu dengan kawan pun suatu hal yang baik, namun faedah yang didapatkan hanya bersifat insidentil saja seperti yang disabdakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud (as). Sementara Jalsah lain. Manfaat insidentil pun bukannya tidak berguna, melainkan bertujuan untuk menjalin persaudaraan dan supaya timbul kecintaan antara satu sama lain dan juga supaya timbul perhatian untuk melaksanakan kewajiban kepada sesama Ahmadi sehingga di setiap tempat akan tampak sebuah pemandangan Jemaat yang kokoh dan merupakan satu kesatuan.
Walhasil, perhatikanlah dengan baik tujuan utama kedatangan Anda di sini. Simaklah seluruh acara Jalsah dan amalkan. Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada kita semua untuk meraih tujuan tersebut, dapat meraih keberkatan Jalsah dan manfaat dari keberkatan doa-doa Hadhrat Masih Mau’ud (as), dapat menampilkan gambaran hakiki Islam kepada dunia melalui ucapan dan amalan kita. Semoga bagi para Ahmadi, duniawi menjadi prioritas kedua dan yang menjadi tujuan utama adalah agama dan ridha Ilahi.
Orang yang memahami hakikat keridhaan Ilahi, akan atau dapat melaksanakan kewajiban kepada hamba-hamba-Nya, dapat menciptakan kedamaian, rasa cinta, kasih sayang dan persaudaraan dan inilah yang diperlukan oleh dunia pada masa ini. Jika ingin menyelamatkan dunia dari kekacauan, hanya dapat dilakukan dengan cara memperkenalkan mereka kepada Tuhannya, dengan cara mengajak mereka untuk melaksanakan kewajiban kepada hamba-hamba-Nya. Inilah yang menjadi tanggung jawab besar bagi para Ahmadi saat ini. Dari sisi ini setiap kita harus menaruh perhatian akan hal itu.
Saya pun ingin menyampaikan beberapa hal mengenai pengaturan Jalsah. Pertama-tama, perhatikanlah lingkungan yang digunakan untuk Jalsah ini, jangan sampai panitia dan penduduk lokal (pribumi) mendapatkan kesulitan ketika menggunakan jalan. Ketahuilah! Saudara-saudara non Muslim baru akan mengenal Islam dengan baik jika tampak kepada mereka para Ahmadi menghormati tetangga, menaati peraturan dan meskipun berkumpul begitu banyak orang (dalam Jalsah ini) namun tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan.
Bahkan para panitia pun hendaknya memperhatikan dan mengatur yakni meskipun jika dibandingkan dengan Jalsah di beberapa negeri lainnya, jumlah yang hadir di sini sedikit, bahkan lebih sedikit dari jumlah peserta ijtima yang diadakan di beberapa negara yang jumlah Ahmadinya banyak, namun jika dilihat dari segi jumlah Ahmadi di negeri ini dan dari sisi pengaturan kepanitiaan di sini, jumlah kehadiran pada Jalsah kali ini cukup besar.
Begitu juga pada hari hari Jalsah, hendaknya fokus pada tujuan utama yakni doa-doa, banyak-banyaklah bershalawat, basahilah mulut dengan dzikir Ilahi.
Pada waktu-waktu shalat, jika shalat berjamaah tengah berlangsung di sini atau di tempat penginapan, biasakanlah untuk datang tepat pada waktunya. Saya perhatikan secara khusus bagi yang tinggal di penginapan, dalam dua hari ini saya perhatikan ternyata masih ada yang datang terlambat. Karena berjalan dengan tergesa-gesa dan karena lantainya terbuat dari kayu sehingga menimbulkan suara. Untuk itu biasakanlah datang lebih awal supaya shalat orang lain tidak terganggu.
Telah saya sampaikan juga sebelumnya bahwa simaklah dengan seksama ceramah-ceramah Jalsah dan tekadkanlah untuk mengikuti seluruh program Jalsah dan mendengarkan ceramah-ceramah dengan begitu Anda dapat memberikan tarbiyat kepada putra-putri dan anak keturunan, Anda akan dapat memberikan kesadaran didalam diri mereka akan keutamaan Jalsah sehingga kita harus menyimak seluruh pidato Jalsah. Untuk itu perhatikanlah dengan baik. Bisa saja timbul ketidakharmonisan selama Jalsah disebabkan ketidakakuran yang telah berlangsung sejak lama antara dua insan yang ketika saling bertemu muncul lagi perasaan itu. Untuk itu bersihkanlah lingkungan Jalsah ini dari hal-hal tersebut, jangan sampai terjadi hal-hal yang dapat menimbulkan ketersinggungan antara satu sama lain dan juga bisa memberikan kesan tidak baik kepada orang lain.
Saya tidak tahu apakah panitia sudah melakukan pengaturan bidang konsumsi dan lain-lain sesuai dengan jumlah kehadiran atau tidak, mungkin sudah. Jika dalam pengaturan tersebut terdapat kekurangan, mohon untuk bersabar. Insya Allah ta’ala pengaturan akan berjalan dengan baik, berikanlah sedikit waktu kepada para panitia. Menurut hemat saya, ini adalah Jalsah pertama dimana harus mengatur jumlah peserta yang sangat banyak setelah berlalu sekian tahun. Semoga Allah Ta’ala memberkati Jalsah ini dari berbagai sisi. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, kita semua harus terus memanjatkan doa sebanyak-banyaknya pada waktu Jalsah ini, perhatikanlah shalat-shalat dan semoga Allah Ta’ala menjadikan Anda semua sebagai pewaris doa-doa Hadhrat Masih Mau’ud (as). [aamiin]
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah : Mln. Mahmud Ahmad Wardi Syahid; Editor: Dildaar A. D.
[1] Malfuzhat jilid 2, h. 73, edisi 1985, terbitan UK.
[2] Malfuzhat jilid 2, h. 91-92, edisi 1985, terbitan UK.
[3] Malfuzhat jilid 2, h. 101-102, edisi 1985, terbitan UK.
[4] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab at-Tauhid (كتاب التوحيد), bab firman Allah (بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَيُحَذِّرُكُمْ اللَّهُ نَفْسَهُ} وَقَوْلِهِ جَلَّ ذِكْرُهُ {تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ}), no. 7405
[5] Malfuzhat jilid 2, h. 102-103, edisi 1985 terbitan UK
[6] Malfuzhat jilid 2, h. 304, edisi 1985 terbitan UK
[7] Asmani Faishlah, Ruhani Khazain jilid 4, h. 350.
[8] Syahadatul Qur’an, Ruhani Khazain jilid 6, h. 394.
[9] Syahadatul Qur’an, Ruhani Khazain jilid 6, h. 395.
[10] Malfuzhat jilid 2, h. 142-143, edisi 1985 terbitan UK
[11] Malfuzhat jilid 1, h. 398-399, edisi 1985 terbitan UK
[12] Malfuzhat jilid 1, h. 401, edisi 1985 terbitan UK