Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]
Tanggal 22 Agustus 2014 di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK.
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك لـه، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ*
Dengan karunia Allah Ta’ala, insya Allah, Jalsah Salanah Britania dimulai Jumat depan. Cukup banyak persiapan yang terjadi di Jalsah Gah atau tempat dimana Jalsah akan diselenggarakan, Hadiqatul Mahdi, dan para tamu pun sudah mulai berdatangan. Semoga Tuhan melindungi mereka semua yang berkunjung ke Jalsah demi mencari berkat dan memudahkan perjalanan mereka serta mengantarkan mereka kesini dengan aman! Dengan situasi global yang semakin buruk ini kita khawatir dengan para pengunjung. Doa kita ini ialah semoga Allah Ta’ala menempatkan mereka dalam keamanan dan perlindungan-Nya bukan hanya tertuju bagi para Ahmadi namun juga untuk semua orang yang ada di dunia ini supaya mereka meraih kedamaian dan keamanan ini untuk hal mana Allah Ta’ala telah mengutus Hadhrat Masih Mau’ud ’alaihis salaam pada zaman ini.
Telah kita ketahui bersama, bahwa persiapan Jalsah kita dilaksanakan secara sukarela dan sehubungan dengan itu seminggu sebelum Jalsah, Hadhrat Khalifatul Masih telah menyoroti hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut, sebagaimana yang memang beliau lakukan hari ini. Masalah pelayanan tidak hanya terkait dengan para sukarelawan Jalsah saja, tetapi juga setiap orang yang menampung tamu Jalsah di rumahnya. Bahkan, sebenarnya seorang mukmin sejati harus menghormati dan memperhatikan tamu di dalam situasi normal dengan sebaik-baiknya, namun hari ini fokus tersebut akan tertuju pada pelayanan tamu Jalsah.
Para tamu Jalsah murni datang untuk tujuan Jalsah karena tentu saja kehadiran mereka mestinya hanya demi tujuan agama. Oleh sebab itu hal ini jauh lebih besar kepentingannya terutama bagi para tamu tersebut karena Hadhrat Masih Mau’ud as telah menarik perhatian kita kepada kenyataan bahwa Jalsah Salanah murni untuk tujuan agama. Orang-orang datang ke Jalsah bukan untuk kepentingan pribadi atau untuk kesenangan duniawi dan jika seseorang menghendaki seperti itu, mereka menghapus ganjaran rohaniah mereka. Para tamu Jalsah tentu adalah orang-orang yang berkumpul demi untuk Tuhan dan demi mengukuhkan nizam yang telah Imam zaman dirikan. Terutama bagi mereka yang datang ke Jalsah UK dengan perhatian yang khusus, dan kadang kala dengan menghabiskan lebih dari yang mereka mampu sehingga mereka banyak meraih keberkatannya. Kecintaan kepada Khilafat memotivasi mereka untuk bertemu dengan Hudhur. Ketika Hudhur mengamati rasa kecintaan kepada Khilafat yang ada di mata para tamu Jalsah, baik Ahmadi baru maupun lama, dari negara-negara yang berbeda, beliau bersyukur kepada Tuhan karena kecintaan mereka merupakan rahmat Tuhan dan bukanlah sesuatu yang barangkali didapati dari upaya manusia.
Hal ini semata-mata didasarkan kepada kedatangan Hadhrat Masih Mau’ud as yang Tuhan utus untuk membangun jalan sekali lagi guna menyebarluaskan ajaran Islam yang sejati ke seluruh dunia serta membawa pesan kecintaan dan kedamaian di dunia ini, dan dunia ini diberitahu bahwa kedamaian dunia hanya terletak pada Islam yang hakiki. Hari ini banyak negara-negara yang juga menghadiri Jalsah Salanah Jerman dalam jumlah yang besar sehingga mereka bisa berjumpa dengan Khalifah. Sebagian besar orang yang datang ke Jalsah UK utamanya untuk mengambil faedah dari atmosfer spiritual Jalsah dan menerima doa-doa Hadhrat Masih Mau’ud as dan juga bertemu dengan Khalifah. Gairah seperti ini tidak didapati dalam hubungan keduniawian dan kondisi Baiat menarik perhatian terhadap masalah tersebut!
Para tamu yang datang ke Jalsah UK memiliki kedudukan dan makna yang istimewa dan berdasarkan hal ini pentingnya orang-orang yang mengkhidmati mereka pun perlu ditingkatkan. Para anggota Jemaat mengkhidmati mereka dengan menghargai arti tersebut. Orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dari segi keduniawian dan berpenghasilan tinggi diberikan tugas untuk memasak satu kuali besar makanan, membuat roti dan berbagai macam pekerjaan lainnya, bahkan mereka membersihkan toilet dengan riang gembira karena pengkhidmatan tersebutlah yang menjadikan mereka sebagai penerima doa.
Pengkhidmatan mereka juga menjadi sumber Tabligh terhadap orang-orang di luar Jemaat. Bahkan, anak-anak yang memberikan air minum kepada para tamu pun adalah sumber tabligh secara diam-diam. Pengkhidmatan mereka menjelaskan kepada dunia bahwa kita bukanlah pembuat keonaran; kita memfasilitasi air jasmaniah maupun rohaniah bagi dunia. Beruntunglah mereka yang berkhidmat secara sukarela demi melayani para tamu di Jalsah dan demi mencari ridho Tuhan.
Al-Quran secara khusus mengatakan pentingnya pengkhidmatan. Kitab itu menjelaskan mengenai pengkhidmatan Hadhrat Ibrahim as dimana disebutkan tentang kedudukan dan kualitas beliau as dalam berkhidmat. Tuan rumah yang melayani para tamu tanpa pamrih dan melakukannya dengan segera setelah menerima tamu akan dimuliakan oleh Tuhan, karena mereka mengerti bahwa dengan mengkhidmati tamu mereka akan mendapatkan ridha Tuhan. Mereka tidak mengharap untuk menerima ucapan terimakasih atau sesuatu yang lainnya. Tidak ada contoh lainnya di dunia ini bagi para tamu yang melakukan perjalanan mereka semata-mata demi Tuhan, dan tidak ada tuan rumah yang menerima para tamu tersebut semata-mata karena Tuhan selain daripada Jalsah ini. Bahkan mereka mulai mempersiapkannya beberapa hari sebelum tibanya para tamu guna membuat lahan logistik yang layak huni dan beroperasi. Mereka melakukan demikian karena mereka telah menerima Imam Zaman sesuai dengan yang dinyatakan Tuhan dan Rasulullah saw dan mereka disatukan dibawah naungan Khilafat dan berusaha memenuhi janji mereka!
Pengalaman setiap tahun menjelaskan kepada kita bahwa setiap yang muda dan tua, pria dan wanita secara sukarela berkhidmat pada Jalsah Salanah dengan gairat yang khusus. Laporan Wiqar-e-Amal tahun ini memberitahukan kita bahwa orang-orang muda yang ikut bergabung di tahun ini melalui Waqf Arzi adalah orang-orang yang tidak memiliki pengalaman sebelumnya. Hudhur bersabda bahwa beliau selalu mengatakan mengenai mereka yang mengasosiasikan diri mereka dengan Jemaat dan yang menyebut diri mereka Ahmadi bahwa jika ada ketidakperhatian pada bagian mereka terhadap setiap tugas Jemaat ini hal itu dikarenakan mereka yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas tersebut tidak mengerjakan pekerjaan mereka dengan benar. Tidak mungkin bagi seorang yang menyebut dirinya Ahmadi untuk tidak muncul ketika ia diperlukan dan diminta untuk datang dan membantu.
Memberikan bimbingan kepada mereka dengan tepat adalah tugas kita dan inilah mengapa Tuhan mengingatkannya supaya petunjuk yang tepat diberikan. Tentu saja, konteks perubahan akan datang melalui arahan yang tepat dan dilakukan dengan cara yang tepat bersama dengan sarannya. Arahan tidak hanya dibutuhkan oleh orang-orang yang lemah dan tidak mempunyai perhatian tapi juga penting bagi para pendatang baru. Mereka harus menjelaskan fakta mengenai ruh pengkhidmatan walaupun mayoritas besar pendatang baru berusaha meniru model praktek yang baik dan menawarkan pengkhidmatan mereka. Demikian pula, perhatian terhadap anak-anak perlu diambil ketika mereka pertama kali terlibat. Juga perlu untuk menasehati para pendatang baru yang masih muda tentang pentingnya pengkhidmatan. Inilah sebabnya mengapa diperintahkan: وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ “Dan berilah selalu nasehat, karena sesungguhnya nasehat itu penting bagi orang-orang beriman.” (Surah adz-Dzaariyaat; 51:56) Nasehat yang diingatkan ini tidak boleh dianggap sebagai pengulangan yang tidak penting. Banyak sekali hal-hal yang terlupakan yang memerlukan perhatian kendati demikian nasehat yang diingatkan sebelumnya dan sesudahnya membantu ingatan mereka dan beberapa mengakuinya bahwa ingatan tersebut amat bermanfaat.
Haruslah diingat bahwa banyak dari antara para tamu Jalsah yang datang dari tempat-tempat yang jauh dan mengkhidmati para musafir tersebut adalah cara dan kewajiban orang-orang beriman. Keenam tamu Jalsah UK datang dari Negara-negara lain, termasuk Timur Tengah, Pakistan, India, Amerika, Afrika, Amerika Selatan dan lainnya, dan setengah dari mereka berasal dari kota-kota lainnya di UK. Mereka juga merupakan para tamu dan musafir. Bahkan bagi sebagian orang yang tua renta menganggap perjalanan dari London ke Hadiqatul Mahdi merupakan sebuah perjalanan yang sulit. Setiap para panitia, pria dan wanita, menyadari bahwa mereka adalah tamu kita dan kita harus melayani mereka dan berlaku sopan terhadap mereka dalam segala hal. Pada saat beberapa tamu berlaku tidak wajar terhadap kita, namun kita tetap harus selalu melaksanakan tugas kita dengan ketabahan.
Tuhan memberitahukan kita di dalam al-Quran dengan menganugerahi teladan seorang Nabi, bagaimana caranya mengkhidmati para tamu. Ucapan salam dari tamu harus direspon dengan ucapan yang hangat dan tulus, serta kehendak yang baik harus diutarakan kepadanya dan ia harus dibuat nyaman dan aman, dan mimik kegembiraan harus dieksperesikan kepada mereka. Para tamu kita bukan hanya para Ahmadi; para tamu yang lainnya pun memerlukan perhatian yang lebih besar. Mereka mengamati cara para Ahmadi melayani Jalsah secara keseluruhan dan bukan hanya sekedar bagaimana cara mereka diperlakukan.
Hal tersebut senantiasa terus diperlihatkan bahwa kita harus melayani para tamu dengan cara sedemikian rupa agar menjadi sumber kegembiraan bagi mereka dalam arti yang sesungguhnya, sama seperti kita mengkhidmati saudara-saudara kita sendiri. Jika kita melayani mereka dengan kegembiraan yang sama seperti kita melakukannya kepada keluarga kita sendiri, dengan sendirinya kita menunaikan pengkhidmatan pada mereka! Setiap orang dapat mengkhidmati keluarga mereka sendiri dan bahkan memberikan kesejukan dan rahmat dari orang-orang yang sangat mengasihi mereka. Ghairat nyata dalam berkhidmat dapat diukur ketika seseorang mengkhidmati mereka sedemikian rupa dengan seseorang yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Para tamu Jalsah harus merasa aman dan nyaman sebanyak mungkin serta seluruh komponen harus digunakan untuk memberikan mereka kemungkinan pelayanan yang terbaik. Pelaksana Jalsah harus selalu berpikir pada garis-garis tersebut.
Rasulullah saw yang memahami dan mengamalkan perintah Ilahi lebih daripada orang lain telah memandu kita bahwa kita mempunyai kewajiban untuk mengkhidmati para tamu kita. Beliau saw bersabda, “Para tamu mempunyai hak atas anda, tunaikanlah!”[2]
Kita mencatat banyak contoh dari kehidupan beberkat beliau dimana beliau menerima banyak sekali tamu, kemudian beliau saw menyebarkan para tamu tersebut kepada masing-masing para sahabat beliau saw. Beliau saw sendiri juga bertanggungjawab untuk melayani beberapa orang tamu tersebut.
Sebuah hadits menceritakan bahwa ketika beberapa tamu tiba, beliau bertanya kepada istrinya, Hadhrat Aisyah yang lalu memberitahukan kepada beliau bahwa tidak ada cukup makanan dan minuman di rumah beliau saw. Kalau pun ada itu pun sedikit makanan minuman yang telah dipersiapkan oleh Hadhrat Aisyah rha untuk berbuka puasa bagi mereka berdua. Beliau memakan sedikit makan tersebut dan kemudian memberikannya kepada para tamu. Beliau saw hanya sekedar mencicipi makan tersebut sehingga ada berkatnya dengan demikian para tamu beliau menjadi kenyang dengan jumlah makanan yang sedikit tersebut.[3]
Rasulullah saw pun melatih para sahabat beliau untuk mengkhidmati para tamu tanpa pamrih. Siapapun yang tidak memiliki masalah, hidup dalam kenyamanan dan dengan dikelilingi para pembantunya bisa mengkhidmati para tamu; namun pengkhidmatan yang sebenarnya adalah yang dilakukan dengan menempatkan dirinya melalui kesulitan. Rasulullah saw menetapkan hak-hak tamu dan memerintahkan orang-orang yang beriman agar menaatinya. Hal ini karena tarbiyat akhlak dan rohaniah beliau kepada para Sahabat sehingga para sahabat pun mengikuti teladan beliau dan menjalankan model pengkhidmatan yang diridhoi Tuhan serta Tuhan memberitahukan Rasulullah saw saat itu juga atas nikmat-Nya tersebut.
Menurut Abu Hurairah ra, seorang musafir datang kepada Rasulullah saw, kemudian beliau meminta keluarga beliau untuk menyuguhkan sesuatu kepada tamu tersebut untuk dimakan. Pihak keluarga menjawab mereka tidak mempunyai apa-apa kecuali air di rumah. Rasulullah saw bertanya ke para sahabat beliau siapa yang akan mengurusi musafir tersebut. Seorang sahabat menjawab bahwa ia akan menampungnya. Kemudian ia mengajak orang tersebut ke rumahnya dan meminta istrinya untuk menjamu tamu Rasulullah saw tersebut. Istrinya menjawab, ‘Kita tidak mempunyai apa-apa kecuali makan malam bagi anak-anak kita.’ ‘Oh, baiklah,’ ujarnya, ‘Siapkan makanan itu, nyalakan lampu, dan suruh anak-anak tidur dengan beberapa dalih.’ Maka istrinya menyiapkan makanan, menyalakan lampu, mengajak anak-anaknya tidur, kemudian, bangun seolah-olah untuk membetulkan lampu, namun ia memadamkannya. Sahabat dan istrinya tersebut kemudian menciptakan keadaan seakan-akan makan, padahal mereka menghabiskan malam itu dengan perut kosong. Esok harinya ketika sahabat tersebut hadir di hadapan Rasulullah saw, yang tersenyum dan memberitahukannya bahwa Tuhan tersenyum, takjub menyukai apa yang mereka berdua lakukan tadi malam. Riwayat-riwayat hadis menjelaskan ayat berikut ini diturunkan terkait peristiwa tersebut:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
‘Tetapi, orang-orang beriman yang suci batinnya dan ikhlas hatinya mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri meskipun mereka dalam kondisi membutuhkan dan lapar. Barangsiapa dapat mengatasi keserakahan dirinya, mereka itulah yang akan berhasil.”[4] Inilah upaya sahabat dan istrinya yang atas hal itu Allah senang, sang tamu dibuat tidak tahu kondisi mereka berdua yang sedikit makanan, sehingga bila tahu hal ini, tamu tersebut akan sungkan untuk memakannya. Tuan rumah memadamkan lampu dan membuat sang tamu tidak menyadari bagaimana mereka berkorban untuk dirinya – hal mana Nabi saw telah memberi perintah untuk mengkhidmatinya, terlebih lagi, hal kedua ialah beliau ini adalah tamu Rasulullah saw. Pendeknya, kita harus memberikan pelayanan yang baik bagi tetamu.
Contoh seperti ini harus terus tersimpan dalam ingatan kita bahkan sekarang sehubungan dengan para tamu Jalsah yang merupakan para tamu dari asyiq shadiq (pecinta sejati) Rasulullah saw dan yang melakukan perjalanan dengan tujuan agama. Dalam hal ini meskipun motifnya sama, namun sekarang situasinya berbeda. Ketika manajemen Jalsah menyeru kepada para panitia, mereka tidak meminta para panitia itu agar membawa para tamu ke rumah mereka untuk dilayani. Kita tidak berada dalam kondisi yang dihadapi oleh sahabat Rasulullah saw tersebut yang meskipun dalam kondisi terbatas tidak mempunyai apapun sama sekali atau hanya sedikit sesuatu di rumah mereka dan anak-anak mereka sendiri lapar tetapi mengorbankan makanan mereka untuk mengkhidmati tamu. Hari ini segala sesuatu diberikan kepada para panitia dan dikatakan, “Kalian hanya harus mempersembahkan kerja pelayanan kalian sesuai dengan berbagai pengaturan yang telah ada. Nizham Jemaat akan menyediakan kemudahan selebihnya.”
Seperti telah saya sampaikan, “Beruntunglah Anda sekalian baik itu pria, wanita dan anak-anak yang ditunjuk untuk mengkhidmati para tamu Hadhrat Masih Mau’ud as tanpa ada kesulitan kesempitan yang nyata. Kalian hanya harus menunaikan mehman nawazi saja!”
Ketika Jalsah Salanah diselenggarakan di Rabwah, orang-orang Rabwah mengorbankan tempat tinggal mereka sendiri yang nyaman untuk para tamu dan walaupun Langgar Khana selalu tetap berjalan, dan khususnya selama Jalsah bisa seminggu hingga 10 hari, sebagian warga Jemaat di Rabwah membawakan makanan-minuman sendiri untuk melayani tamu mereka. Bagaimanapun, kondisi yang dihadapi oleh para Sahabat ridhwanuLlahi ‘alaihim tidak akan dijumpai lagi bagi siapapun.
Kita melihat contoh dalam kehidupan Hadhrat Masih Mau’ud as dimana di dalam meneladani dan mengikuti Tuan dan Majikan beliau (Baginda Nabi saw), beliau pun mengorbankan kenyamanan beliau untuk melayani para tamu dan menghabiskan malam-malam dinginnya tanpa tempat tidur yang hangat[5], perhiasan istri beliau as, Hadhrat Amaan Jaan ra digunakan agar memperoleh uang tunai untuk makanan para tamu.[6]
Ruh pengorbanan seperti ini dapat ditemukan juga diantara para sahabat beliau as. Sahibzadah Pir Sirajul Haq Sahib menceritakan bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as memberikannya sebuah carpai (dipan tempat tidur) untuk digunakan secara perorangan. Ketika para tamu tiba mereka akan tidur diatas dipan beliau (Pir Sirajul Haq) dan beliau akan berbaring di lantai diatas sejadah beliau. Pada saat tamu menghampiri dan beristirahat diatas dipan beliau yang telah diberikan seprai diatasnya beliau sama sekali tidak pernah memiliki perasaan negatif mengenainya karena beliau menyadari para pengunjung adalah tamu, sementara beliau adalah pribumi di Qadian. Begitupun pada saat beberapa tamu melemparkan seprai beliau ke lantai, menggantinya dengan seprai milik mereka sendiri diatas dipan beliau untuk tidur.
Satu kali pernah kejadian ketika seseorang melaporkan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as bahwa Pir Sahib tidur di lantai. Hadhrat Masih Mau’ud as segera keluar dan bertanya kepada Pir Sahib mengapa ia tidur di lantai, sekarang sedang musim hujan dan ada bahaya ular dan kalajengking. Pir Sahib menjawab tak masalah baginya dan mengatakan bahwa ia tidak mengatakan apapun kepada para tamu karena mereka perlu perhatian. Hadhrat Masih Mau’ud as mengirim dipan yang lain untuk Pir Sahib agar dipakainya beberapa hari sebelum tamu lain mengambilnya. Kembali, seseorang memberitahu Hadhrat Masih Mau’ud as dan lagi, beliau mengirim kembali dipan yang lainnya untuk Pir Sahib. Dipan itu pun diambil lagi dan Hadhrat Masih Mau’ud as kembali diberitahu. Beliau berkata kepada Pir Sahib: ‘Tuan Sahibzada, apa yang anda lakukan adalah benar; hal seperti inilah yang harus dilakukan sahabat-sahabat kita. Namun, lakukanlah satu hal, rantailah dipan tersebut dan gantunglah di langit-langit.’ Mendengar hal itu Maulwi Abdul Karim Sahib tertawa dan berkata bahwa beberapa tamu begitu pintar mereka bahkan akan menurunkan dipan tersebut dari langit-langit! Hadhrat Masih Mau’ud as pun tertawa mendengarnya.[7]
Hudhur bersabda demikianlah terkadang kita pun mengalami ‘lathifah’ selama mengkhidmati tamu. Kadang kala beliau menggunakan kata-kata candaan tatkala berkaitan dengan sesuatu yang lucu. Dalam bahasa Urdu kata “لطيفة” ‘lathifah’ berarti sesuatu yang baik, yang mendalam, yang poinnya bermakna dan juga sesuatu yang lucu. Satu kali Hudhur mendengarkan terjemahan khotbah dan mencatat bahwa, meskipun poin tersebut dalam pembicaraan ‘lathifah’ (lucu), namun penerjemah menjelaskan dalam konteks sesuatu yang agung, mendalam dan mengandung pelajaran. Maka, kadangkala kesalahan dibuat dalam penerjemahan. Seperti disini, poin yang hendak disampaikan adalah bahwa seseorang harus menjaga apa yang ada padanya.
Peristiwa lainnya terkait dengan Sheikh Yaqub Ali Irfani Sahib. Ia berkata bahwa banyak tamu telah berkumpul selama peristiwa ‘Jang-e-Muqaddas’ [Perang Suci, peristiwa perdebatan Islam melawan Kristen, dari pihak Islam ialah Hadhrat Masih Mau’ud as, bahasan perdebatan ini kemudian dibukukan oleh beliau as] dan seharian itu ia lupa untuk menyiapkan makanan bagi Hadhrat Masih Mau’ud as. Irfani Sahib telah mengingatkan istrinya mengenai hal ini namun karena terlibat banyak pekerjaan, istrinya pun lupa. Sebagian besar malam telah berlalu dan setelah lama menunggu Hadhrat Masih Mau’ud as menanyakan tentang makanan. Semua orang merasa khawatir karena malam sudah larut dan toko-toko telah tutup serta tidak ada makanan yang tersedia. Tatkala Hadhrat Masih Mau’ud as diberitahu situasi tersebut beliau as mengatakan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan dicemaskan. Beliau as cuma menyuruh memeriksa isi dastarkhwan [kain tempat roti disimpan] untuk melihat apakah ada yang tersisa. Beberapa potong roti ditemukan di dalamnya, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa roti-roti itu memadai dan cukup dimiliki satu atau dua potong.
Dari sini ada pelajaran untuk para panitia kita janganlah khawatir apabila kadang kala ada kekurangan makanan dan haruslah berkorban demi para tamu.
Syaikh Yaqub Ali Irfani Sahib menceritakan, peristiwa itu boleh jadi nampaknya biasa saja namun hal tersebut menjadi bukti sifat luar biasa sederhana dan ramahnya Hadhrat Masih Mau’ud as. Penataan makanan bisa saja dipersiapkan sejak awal saat itu dan semua orang pasti akan senang melakukannya namun Hadhrat Masih Mau’ud as tidak ingin merepotkan siapa pun pada jam selarut itu dan tidak peduli makanan yang dihidangkan untuk beliau itu tidak layak. Beliau tidak mempersoalkan atas kecerobohan serta kelalaian mereka dan tidak menunjukan ketidaksetujuan sedikit pun. Malah dengan begitu ramah dan hangat beliau menghapus kecemasan mereka![8]
Dengan karunia Tuhan sebagian besar para pekerja kita memperlihatkan akhlak yang baik, namun beberapa kali ada beberapa orang yang masih mengeluhkan. Bagaimanapun, hal itu adalah tanggung jawab dari panitia masing-masing seksi, khususnya seksi konsumsi dan penerimaan tamu untuk mengatur makanan bagi para pekerja mereka sehingga mereka dapat makanan setelah mengerjakan tugas mereka.
Hadhrat Masih Mau’ud as menasehati kita menenai mehman nawazi (penghormatan kepada tamu) sebagai berikut, hal mana para pekerja Jalsah harus senantiasa mengingatnya.
“Aku senantiasa memikirkan bahwa tamu tidak seharusnya terganggu. Bahkan, aku selalu menyarankan bahwa para tamu harus dibuat senyaman mungkin. Hati seorang tamu itu halus seperti kaca dan akan pecah apabila sedikit saja kena benturan. Sebelum ini aku telah mengatur untuk makan dengan para tamu. Namun dengan perkembangan penyakitku, aku telah menjaga pola makanku, sehingga susunannya tidak teratur. Disamping itu, jumlah tamu meningkat sehingga tidak ada cukup ruangan. Oleh karena itu, terpaksa aku harus makan terpisah. Aku mengijinkan setiap orang bahwa mereka bisa hadir sesuai dengan ketentuan pola makan mereka. Penataan makanan secara terpisah bisa dibuat bagi mereka yang kurang sehat.”[9]
Perlu diingat bahwa perasaan tamu jangan sampai terlukai. Sikap santun harus senantiasa diperlihatkan dalam berbagai kesempatan. Jika seseorang memiliki keluhan mereka tidak boleh ditangani dengan acuh tak acuh, sebaliknya problem mereka harus diatasi.
Kesimpulannya, dengan karunia Tuhan para pekerja di masing-masing seksi Jalsah kini terlatih dan memahami pekerjaan mereka dengan sebaik-baiknya serta bijak dalam melaksanakan tugasnya. Namun terkadang rasa percaya diri yang berlebihan melemahkan sistem tersebut. Ketika rasa percaya diri perlu dipertahankan, hal itu tidak seharusnya menyebabkan detail-detail kecil dari tugas yang ada di tangan terlantar dan terabaikan.
Hal kedua, seksi keamanan khususnya harus lebih aktif. Sama seperti halnya Jemaat yang maju dan berani menyanggah segala praktek yang salah oleh banyak kelompok garis keras yang membawa Islam kedalam kehinaan, pihak-pihak yang memusuhi kita pun bertambah disebabkan iri terhadap kita dan berupaya untuk menetaskan rencananya menentang kita. Oleh karena itu, seksi keamanan ini harus bertambah aktif dari sekarang hingga seterusnya.
Mereka harusnya tidak memulainya dengan menilai situasinya pada hari itu. Namun sebaliknya, pertemuan rutin harus dilaksanakan. Hal ini pun harus diingat bahwa dengan semua pengawasan yang ketat dari seksi keamanan tersebut, tidak seharusnya mengurangi sikap keramahtamahannya. Para panitia yang bertugas di semua titik dimana pemeriksaan dilakukan haruslah sopan dan di setiap sudut tersebut seharusnya tidak hanya anak-anak muda yang bertugas, namun perlu juga ada orang-orang dewasanya.
Semua panitia harus berdoa agar tugas-tugas mereka bisa terlaksana dengan sebaik mungkin. Sesungguhnya semua pekerjaan kita dapat sempurna melalui pertolongan Tuhan dan bukan melalui kompetensi atau upaya seseorang. Doa amat penting guna menarik Rahmat Tuhan. Oleh karena itu, janganlah lalai berdoa. Orang lain pun harus berdoa semoga Tuhan memberikan karunia kepada semua penataan persiapan Jalsah agar bisa selesai sebelum waktu Jalsah dan semoga seluruh fasilitas tersebut tersedia bagi para tamu! آمين. (Yusuf Awwab)
[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa
[2] Sunan at-Tirmidzi, Abwab az-Zuhd (Kebersahajaan), bab nomor 63, hadits no. 2413
عن عون بن أبي جحيفة عن أبيه قال آخى رسول الله صلى الله عليه و سلم بين سلمان و بين أبي الدرداء فزار سلمان أبا الدراء فرأى أم الدرداء متبذلة فقال ما شأنك متبذلة ؟ قالت إن أخاك ابو الدرداء ليس له حاجة في الدنيا قال فلما جاء أبو الدرداء قرب إليه طعاما فقال كل فإني صائم قال ما أنا بآكل حتى تأكل قال فأكل فلما كان الليل ذهب أبو الدرداء ليقوم فقال له سلمان نم فنام ثم ذهب يقوم فقال له نم فنام فلما كان عند الصبح قال له سلمان قم الآن فقاما فصليا فقال إن لنفسك عليك حقا ولربك عليك حقا ولضيفك عليك حقا وإن لأهلك عليك حقا فأعط كل ذي حق حقه فأتيا النبي صلى الله عليه و سلم فذكرا ذلك فقال له صدق سلمان
Abu Juhaifah Wahb bin `Abdillâh Radhiyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan Salman al-Fârisi dan Abu Darda` Radhiyallahu anhuma.” Setelah itu Salmân Radhiyallahu anhu mengunjungi Abu Darda` Radhiyallahu anhu. Dia melihat Ummu Darda`Radhiyallahu anha memakai pakaian kerja dan tidak mengenakan pakaian yang bagus. Salman Radhiyallahu anhu bertanya kepadanya, “Wahai Ummu Darda`, kenapa engkau berpakaian seperti itu?”
Ummu Darda` Radhiyallahu anha (istri Abu Darda) menjawab, “Saudaramu Abu Darda` Radhiyallahu anhu sedikit pun tidak perhatian terhadap istrinya. Di siang hari dia berpuasa dan di malam hari dia selalu shalat malam.” Lantas datanglah Abu Darda` Radhiyallahu anhu dan menghidangkan makanan kepadanya seraya berkata, “Makanlah (wahai saudaraku), sesungguhnya aku sedang berpuasa” Salman Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku tidak akan makan hingga engkau makan.” Lantas Abu Darda` Radhiyallahu anhu pun ikut makan. Tatkala malam telah tiba, Abu Darda` Radhiyallahu anhu pergi untuk mengerjakan shalat. Akan tetapi, Salman Radhiyallahu anhu menegurnya dengan mengatakan, “tidurlah” dan dia pun tidur. Tak lama kemudian dia bangun lagi dan hendak shalat, dan Salman Radhiyallahu anhu berkata lagi kepadanya, “tidurlah.” (dia pun tidur lagi) Ketika malam sudah lewat Salman Radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Darda` Radhiyallahu anhu , “Wahai Abu Darda`, sekarang bangunlah”. Maka keduanya pun mengerjakan shalat” Setelah selesai shalat, Salman Radhiyallahu anhu berkata kepada Abu Darda` Radhiyallahu anhu, “ (Wahai Abu Darda`) sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu, Tuhanmu mempunyai hak atas dirimu, tamumu mempunyai hak atas dirimu, dan keluargamu (istrimu) juga mempunyai hak atas dirimu. Maka, tunaikanlah hak-hak mereka.” (selanjutnya) Abu Darda` Radhiyallahu anhu mendatangi Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Salman benar”
[3] Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 7, h. 794-795, hadits Takhfah al-Ghifari ra no. 23665, Alamul Kutub, Beirut, 1998.
عن الحرث بن عبد الرحمن قال بينا أنا جالس مع أبي سلمة بن عبد الرحمن إذ طلع علينا رجل من بنى غفار بن لعبد الله بن طهفة فقال أبو سلمة الا تخبرنا عن خبر أبيك قال حدثني أبي عبد الله بن طهفة ان رسول الله صلى الله عليه و سلم كان إذا كثر الضيف عنده قال لينقلب كل رجل بضيفه حتى إذا كان ذات ليلة اجتمع عنده ضيفان كثير وقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لينقلب كل رجل مع جليسه قال فكنت ممن انقلب مع رسول الله صلى الله عليه و سلم فلما دخل قال يا عائشة هل من شيء قالت نعم حويسة كنت أعددتها لإفطارك قال فجاءت بها في قعيبة لها فتناول رسول الله صلى الله عليه و سلم منها قليلا فأكله ثم قال خذوا بسم الله فأكلنا منها حتى ما ننظر إليها ثم قال هل عندك من شراب قالت نعم لبينة كنت أعددتها لك قال هلميها فجاءت بها فتناولها رسول الله صلى الله عليه و سلم فرفعها إلى فيه فشرب قليلا ثم قال اشربوا بسم الله فشربنا حتى والله ما ننظر إليها ثم خرجنا فأتينا المسجد فاضطجعت على وجهي فخرج رسول الله صلى الله عليه و سلم فجعل يوقظ الناس الصلاة الصلاة وكان إذا خرج يوقظ الناس للصلاة فمر بي وأنا على وجهي فقال من هذا فقلت أنا عبد الله بن طهفة فقال ان هذه ضجعة يكرهها الله عز و جل إسناده ضعيف لجهالة ابن عبدالله طهفة
Dari Al Harits bin ‘Abdur Rahman berkata: Saat aku duduk bersama Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman, tiba-tiba seseorang dari Bani Ghifar salah satu putra ‘Abdulloh bin Thakhfah datang lalu Abu Salamah berkata: Maukah kau memberitahu kami khabar dari ayahmu? Ia berkata: Telah bercerita kepadaku ayahku, ‘Abdulloh bin Thakhfah bahwa bila banyak tamu di rumah Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Hendaklah masing-masing orang berbalik/pulang dengan tamunya.” Kemudian pada suatu malam ada dua kelompok tamu banyak berkumpul di kediaman beliau, Rasululloh saw bersabda: “Hendaklah masing-masing orang berbalik dengan temannya.” Dan aku termasuk orang yang berbalik bersama Rasululloh saw. Saat beliau masuk, beliau bersabda: “Hai ‘Aisyah, apa ada sesuatu?” Aisyah menjawab: “Ya, sup yang sudah aku persiapkan untuk Tuan berbuka puasa.” Lalu Aisyah membawanya dalam tungku miliknya lalu Rasululloh saw mengambilnya sedikit dan memakannya kemudian beliau bersabda: “Ambillah, bismillaah.” Kami pun memakannya hingga tersisa seperti yang kami lihat. Setelah itu Rasululloh saw bersabda: “Apa kau punya minuman?” Aisyah berkata: Ya, susu yang telah aku persiapkan untuk Tuan.” Beliau bersabda: “Bawa kemari.” Aisyah membawanya lalu Rasululloh saw mengambilnya, beliau mengangkat didekat mulut beliau, beliau minum sedikit kemudian beliau bersabda: “Minumlah, bismillaah.” Kami pun minum hingga demi Alloh tersisa seperti yang kami lihat. Setelah itu kami keluar dan pergi ke masjid, aku menelungkupkan wajah lalu Rasululloh saw keluar, beliau membangunkan orang-orang: “Sholat sholat.” Bila beliau keluar, beliau membangunkan orang-orang untuk sholat, beliau melewatiku saat wajahku terkelungkup, beliau bersabda: “Siapa ini?” aku menajwab: Saya, ‘Abdulloh bin Thakhfah. Beliau bersabda: “Ini adalah telungkupan yang dibenci Alloh.”
[4] Surah Al-Hasyr (59:10). Hadits diatas ada dalam Shahih al-Bukhari, Kitab al-Manaqib, bab bahasan ayat tersebut.
[5] Ashhaab Ahmad, jilid ceharam (IV), 180, riwayat 76, terbitan Rabwah.
[6] Rejister Riwayat Shahabat, jilid 13, h. 364, riwayat Munsyi Zhafar Ahmad ra
[7] Sirat Hadhrat Masih Mau’ud as, karya Syaikh Yaqub Ali Irfani, j. 3, h. 344, Rabwah
[8] Sirat Hadhrat Masih Mau’ud as, karya Syaikh Yaqub Ali Irfani, j. 3, h. 333, Rabwah
[9] Malfuuzhaat, jilid 3, h. 292, edisi 2003, terbitan Rabwah.