Kemuliaan Nabi Muhammad dan Undang-undang Penodaan Agama

Kemuliaan Nabi Muhammad dan Undang-undang Penodaan Agama

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin

Hadhrat  Mirza Masroor Ahmad

  Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]

Tanggal  21 Sulh 1390 HS/Januari 2011

Di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.

أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ

وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦)  صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ  (٧)

Saat-saat sekarang ini, salah satu tema yang dijadikan topik perdebatan sangat alot oleh orang Muslim dan non Muslim dunia dalam surat kabar dan media elektronik lainnya, seperti internet, dll. adalah tentang menghormati kemuliaan nabi, atau undang-undang terkait penghinaan terhadap nabi. Bagi seorang Muslim sejati yang mengimani mulai dari nabi Adam as sampai kepada Hadhrat s.a.w., mereka menjadi sangat gelisah apabila salah seorang rasul, atau salah seorang utusan Allah dihina dan kehormatannya diserang. Sejauh berkenaan dengan [hinaan] terhadap pribadi Khatamul Anbiya, Hadhrat Muhammad Mustafa shallallahu ‘alaihi wa sallam—yang telah Allah Ta’ala tetapkan sebagai Rasul yang afdhal—maka  seorang Muslim yang hakiki menjadi gelisah karenanya. Ia rela lehernya sendiri terpenggal, ia sanggup menyaksikan anak-anaknya dibunuh dihadapannya, ia sanggup melihat harta bendanya dirampas. Tetapi jika ada kata-kata sekecil apapun yang mengandung penghinaan dan ketidakhormatan kepada junjungan dan majikannya, maka ia tidak sanggup untuk mendengarnya.

Alhasil, seperti yang telah saya katakan, kaum Muslim dunia—khususnya di Pakistan—sangat dipalingkan kepada topik ini karena beberapa kondisi. Karena itu pulalah perhatian dunia saat ini tertuju ke Pakistan. Selain banyak sebab-sebab yang lain, topik ini merupakan sebab yang sangat dominan. Beberapa pemerintah di negeri-negeri barat, dan Paus juga sedang menuntut pemerintahan Pakistan berkenaan dengan hal ini. Sekarang ini, negara-negara Barat atau yang disebut sebagai negara-negara terpelajar (civilised countries, negara-negara berperadaban) mengemukakan dalam media bahwa kaum Muslimin dan agama Islam merupakan kelompok atau agama yang menakutkan, menyukai kekerasan, dan tidak toleran. Pakistan, Afganistan, dan negara-negara Islam lainnya sering kali disebut sebagai contoh terkait hal ini.

Kendati demikian, saat ini saya tidak akan membahas mengenai seberapa penting undang-undang Penistaan Rasul ini menurut kaum Muslimin, atau seperti apa bentuk undang-undang ini, dan keuntungan-keuntungan apa yang berusaha didapatkan orang-orang non Muslim dari undang-undang ini.

Hari ini saya hanya ingin menyampaikan bahwa seandainya ada tangan yang sedikit saja berusaha [menghina] kemuliaan dan kehormatan tuan dan junjungan saya—Hadhrat Muhammad Mustafa s.a.w.—maka  ia akan tercengkram dengan firman Allah Ta’ala: إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ (٩٥)  “Sesungguhnya Kami memelihara engkau terhadap orang-orang yang berolok-olok.”  QS. Al-Hijr : 96).

Keadaan dunia dan akhirat mereka akan hancur. Kedudukan junjungan saya adalah demikian, yakni sedemikian rupa Allah Ta’ala menjaga kemuliaan dan martabatnya setiap saat, sehingga pikiran orang-orang dunia tidak bisa sampai kepada hal itu. Allah Ta’ala setiap saat akan meninggikan kedudukan, martabat, dan kehormatan beliau s.a.w.. Mengenai hal itu Allah Ta’ala berfirman dalam Quran Karim : إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ … Yakni, Allah Ta’ala dan para malaikat-malaikat-Nya mengirimkan shalawat kepada Nabi. (QS. Al-Hujarat : 57).

Alhasil, inilah maqam (kedudukan) yang hanya diperoleh oleh beliau s.a.w.. kata-kata ini tidak pernah digunakan untuk mengagungkan nabi lain manapun. Pada zaman ini, yang paling memahami maqam (kedudukan) Hadhrat s.a.w. tersebut adalah pecinta sejati beliau s.a.w.. [Hadhrat Masih Mau’ud a.s.]. Beliau menulis:

“Tengoklah kebenaran dan kesetiaan Tuan dan junjungan kita Hadhrat Muhammad Rasulullah s.a.w.. Beliau menghadapi segala macam rencana buruk. Kendati menanggung berbagai macam kesulitan dan penderitaan, beliau tidak mempedulikannya. Inilah kebenaran dan kesetiaan yang karenanya Allah Ta’ala menganugerahkan karunia-Nya. Karena itu Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (٥٦)  Yakni, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya mengirimkan shalawat kepada Nabi itu. Hai orang-orang yang beriman, kirimkanlah shalawat dan doa keselamatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab :57)

Dari ayat ini menjadi jelaslah bahwa amal-amal Rasul Karim s.a.w. adalah demikian, yakni Allah Ta’ala tidak menyebutkan kata khusus untuk membatasi pujian dan sifat-sifat beliau. Kata bisa saja ditemukan, tetapi Dia sendiri tidak menggunakannya.

Pujian terhadap amal-amal shaleh beliau itu tidak dibatasi. Ayat serupa ini tidak digunakan untuk mengagungkan nabi yang lain. Dalam ruh beliau s.a.w. terdapat kebenaran dan kesucian. Amal-amal beliau sedemikian rupa disukai dalam pandangan Allah Ta’ala, sehingga untuk selamanya Dia memerintahkan orang-orang guna mengirimkan shalawat sebagai bentuk syukur.”[2]

Jadi, inilah kebenaran dan kesetiaan yang contohnya telah ditampilkan dihadapan kita oleh Hadhrat s.a.w.. Dengan siapakah hubungan kebenaran dan kesetiaan ini beliau perlihatkan? Beliau perlihatkan hubungan ini dengan Tuhan yang telah menciptakan beliau sendiri. Jadi, jika kita mengikuti Hadhrat s.a.w. dan masuk di antara umat beliau s.a.w. yang memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai mukmin hakiki, maka kita harus mengamalkan—dengan kebenaran dan kesetiaan—perkara-perkara yang telah Allah Ta’ala perintahkan.

Basahilah mulut kita dengan bershalawat kepada Hadhrat s.a.w., agar kita juga mendapatkan qurb (kedekatan) Ilahi. Agar kita juga mendapatkan karunia dari keberkatan-keberkatan yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada nabi tercinta-Nya. Seperti yang disabdakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. berkenaan dengan Hadhrat s.a.w., bahwa pujian untuk amal-amal shaleh beliau s.a.w. itu tiada batasnya. Karena itulah beliau s.a.w. mendapatkan kedudukan ini, yakni Allah Ta’ala dan para malaikat-Nya mengirimkan shalawat kepada beliau s.a.w.. Karena itulah diperintahkan juga kepada orang mukmin untuk mengirimkan shalawat.

Disamping mengirimkan shalawat, harus juga mengedepankan ihsan-ihsan yang telah diperbuat Rasulullah s.a.w. kepada kita. Kita telah mengetahui agama yang mempertemukan kita dengan Allah Ta’ala. Kerjakanlah akhlak-akhlak yang Allah Ta’ala sukai. Ketika beliau s.a.w. memberikan contoh-contoh untuk menegakkan ghairat dan tauhid Ilahi, maka beliau juga menjadi abd-e-kaamil (hamba yang sempurna) lalu melaksanakan hak-hak peribadahan.

Beliau telah memberikan contoh luhur mengenai kedudukan Allah Ta’ala kepada kita, beliau juga memberikan uswah (contoh) tiada tara dalam hal menyanjung dan bersyukur kepada Allah Ta’ala. Di dalam Quran karim, Allah Ta’ala memerintahkan orang beriman agar dalam kondisi apapun harus senantiasa berjalan di atas kebenaran, menunaikan amanat dan diyanat (kejujuran), menepati janji-janji, menjalin silaturahim, bersimpati kepada makhluk Allah dan memperlakukannya dengan cinta dan kasih sayang, memperlihatkan kesabaran dan kegigihan, berlaku pemaaf, memperlihatkan kerendahan hati, serta bertawakal kepada Allah Ta’ala dalam setiap keadaan.

Selain itu masih banyak lagi perintah-perintah-Nya, yang contoh-contoh luhur dalam pengamalannya telah ditampilkan juga oleh beliau s.a.w. kepada kita. Karena itu, merupakan kewajiban orang beriman agar ketika mengirimkan shalawat kepada junjungan dan majikan kita, juga berusaha keras untuk menegakkan uswah-uswah (contoh-contoh)nya. Barulah akan menjadi pemunculan kebenaran dan kesetiaan yang ditampakkan oleh seorang mukmin kepada junjungannya, Hadhrat Muhammad s.a.w.. Hubungan kebenaran dan kesetiaan dengan Allah Ta’ala ini adalah karena beliau. Shalawat yang dikirimkan kepada Hadhrat S.a.w. baru akan disebut shalawat jika [dikirimkan] sebagai bentuk rasa syukur.

Inilah hubungan kecintaan dan kesetiaan seorang mukmin dengan Hadhrat s.a.w.. Inilah penghormatan terhadap kemuliaan Hadhrat s.a.w., yakni untuk membungkan mulut ghair, hendaknya kita berusaha mengamalkan uswah (suri tauladan) Rasul S.a.w., bukannya malah menodai keadilan demi keuntungan pribadi dan memberikan kesempatan kepada ghair untuk menertawakan kalian. Bukan hanya menertwakan kalian, bahkan karena perbuatan-perbuatan kalian, kalian juga memberikan kesempatan kepada musuh-musuh untuk melontarkan kalimat-kalimat yang tidak pantas dan jauh dari etika. Jika karena kelemahan-kelemahan kita para penentang Islam mendapatkan kesempatan untuk mengatakan segala sesuatu tentang beliau s.a.w., maka kita juga akan berdosa. Kita juga akan diminta pertangungjawaban, yakni karena perbuatan kita, musuh menjadi berani untuk mengatakan hal ini.

Apakah kalian menyangka bahwa slogan-slogan kalian yang tanpa diiringi amalan akan menjadi perwujudan rasa cinta kepada Rasulullah s.a.w., atau kalian bisa menjadi orang yang mewujudkan kecintaan itu? Allah Ta’ala tidak menyukai hal ini. Allah Ta’ala menghendaki pengamalan.  Karena itu, ini merupakan perkara yang perlu menjadi perhatian kaum Muslimin. Terlepas dari itu, berkenaan dengan celaan dan penghinaan musuh dikarenakan permusuhan dan kedengkian mereka—apapun bentuk penghinaan itu—maka seperti yang telah saya katakan, Allah Ta’ala berfirman, “Cukuplah aku bagi orang-orang itu.”

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pun menerangkan kepada kita mengenai kedudukan Hadhrat s.a.w.. Untuk itu setiap Ahmadi juga hendaknya berterima kasih kepada beliau a.s.. Seandainya beliau tidak menunjukkan jalan yang benar kepada kita, maka pendzahiran hubungan kita dengan Hadhrat s.a.w. pun akan hanya sebatas qanun-qanun (undang-undang) secara lahiriah dan jalsah-jalsah (pertemuan-pertemuan) belaka. Ketika kita  mengucapkan kalimat “aali Muhammad” dalam shalawat, hendaknya muncul juga gambaran Mahdi tercinta Hadhrat s.a.w., yang telah memberi petunjuk kepada kita di zaman ini.

Sekarang saya mengemukakan sabda-sabda Hadhrat Masih Mau’ud a.s., yang darinya akan nampak seperti apa kedudukan luhur Hadhrat s.a.w. berdasarkan pemahaman dan pandangan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Pada suatu tempat beliau menulis:

“Nur paling luhur yang diberikan kepada manusia, yakni kepada Insan kamil (manusia yang sempurna), nur itu tidak ada pada malaikat, tidak ada pada bintang, tidak terdapat pada bulan, tidak pula pada matahari. Tidak pula pada samudra dan lautan di bumi. Tidak pula nur itu terdapat pada batu merah delima, atau yaqut (batu merah delima), atau zamrud, atau berlian, atau permata.

Pendek kata, nur itu tidak terdapat dalam benda-benda bumi maupun langit. Hanya ada pada manusia. Yakni, dalam diri insan kamil, yang merupakan manusia paling sempurna, paling tinggi dan luhur, sayyid dan maula kita, sayyidul anbiya, sayyidul ahya Muhammad Musthafa s.a.w.. Jadi, nur itu diberikan kepada insan itu. Dan sesuai dengan kedudukannya, [diberikan] juga kepada semua orang yang memiliki warna yang sama, yakni kepada orang-orang yang sampai batas tertentu memiliki warna tersebut……kedudukan yang paling tinggi, paling sempurna dan lengkap ini dijumpai di dalam diri majikan, pelindung, dan pembimbing kita, nabi ummi shadiq dan mashduq Muhammad Musthafa s.a.w..”[3]

Kemudian pecinta sejati itu [Hadhrat Masih Mau’ud a.s.] memberikan satu contoh lain pengungkapan kefanaan dan kesungguhan dalam kecintaan terhadap Rasul. Beliau menulis:

“Saya selalu menyaksikan dengan pandangan yang takjub. Nabi dari Arab yang bernama Muhammad s.a.w. ini, betapa ia merupakan nabi yang bermartabat luhur. Batasan maqam (kedudukan) luhurnya tidak dapat diketahui, dan untuk memperkirakan pengaruh qudsiyah (penyucian) nya bukanlah pekerjaan manusia. Sungguh sayang, martabat (kedudukan) beliau tidak dikenali sebagaimana seharusnya dikenali. Dialah pahlawan yang telah membawa kembali Tauhid yang telah hilang dari dunia ini. Ia mencintai Tuhan dengan puncak derajat kecintaan dan dalam puncak derajat simpati terhadap manusia, jiwanya sedemikian bersedih.

Oleh karena itu, Tuhan yang mengetahui rahasia hatinya telah menganugerahkan kepadanya keunggulan dari seluruh nabi dan para awalin serta akhirin, memberikan keinginan-keinginannya di dalam kehidupannya. Dialah sumber mata air setiap karunia. Orang yang mendakwakan suatu keunggulan tanpa mengakui kelebihan beliau, maka dia itu bukanlah insan (manusia), melainkan dzurriyyati syaithon (keturunan setan), karena kunci setiap keunggulan telah diberikan kepada beliau [s.a.w.] dan setiap khazanah makrifat telah dianugerahkan kepada beliau [s.a.w.], siapa yang mendapatkan [keunggulan] tanpa melalui beliau [s.a.w.] maka ia selamanya menjadi mahrum.

Siapalah kita ini? Dan apa hakikat kita ini? Kita akan menjadi kufur nikmat jika kita mengingkari bahwa melalui nabi inilah kita mendapati tauhid yang hakiki. Kita dapat mengenal Tuhan Yang Maha Hidup melalui nabi kamil ini dan karena nuur-nya. Kehormatan untuk berwawancakap dengan Tuhan, yang dengannya kita dapat melihat-Nya, dianugerahkan kepada saya melalui Nabi yang mulia ini. Sinar matahari hidayat (petunjuk) ini mengenai kita. Kita akan tetap tersinari selama kita berdiri di hadapannya.”[4]

Kemudian beliau menulis:

“Ketika kita melihat dengan pandangan yang adil, maka dalam seluruh silsilah kenabian, nabi yang paling pemberani, dan hidup serta paling dicintai Tuhan, kita hanya mengetahui satu nabi. Dialah penghulu para nabi, kebanggaan para rasul, mahkota semua mursal (utusan), yang namanya Muhammad dan Ahmad Mujtaba (yang terpilih) s.a.w., yang dengan berjalan sepuluh hari dalam naungannya akan mendapatkan cahaya yang tidak dapat dijumpai ribuan tahun sebelumnya.”[5]

Kemudian beliau menulis:

“Jika Rasulullah s.a.w. dipisahkan dan semua nabi yang telah berlalu sampai saat ini disatukan lalu hendak melakukan pekerjaan dan ishlah (perbaikan) yang telah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w., maka sekali-kali tidaklah mereka dapat melakukannya. Pada nabi-nabi itu tidak terdapat hati dan kekuatan sebagaimana yang didapat oleh nabi kami. Jika ada yang mengatakan bahwa ini—naudzubillah—penghinaan terhadap para nabi, maka orang bodoh itu mendustakan saya. Saya anggap memuliakan dan menghormati para nabi sebagai bagian dari iman. Tetapi keunggulan Nabi Karim s.a.w. atas semua nabi merupakan bagian terbesar keimanan saya, dan merupakan perkara yang dijumpai dalam aliran darah sayau. Di luar kemampuan saya untuk mengeluarkannya. Apa yang ingin dikatakan para penentang yang malang dan tak memiliki mata itu maka katakanlah. Nabi kita s.a.w. telah melakukan pekerjaan yang tersendiri. Tidak ada yang dapat melakukannya meskipun bersatu. Ini merupakan karunia Allah Ta’ala.”[6]

Beliau menulis:

“Di permukaan bumi saat ini, tidak ada lagi kitab bagi umat manusia kecuali Al-Quran. Dan untuk seluruh keturunan Adam, saat ini tidak ada Rasul dan pemberi syafaat selain Muhammad Musthafa s.a.w.. Maka berusahalah kalian untuk mencintai nabi yang mulia dan agung ini, dan janganlah [lebih] memuliakan  [yang lain] selain beliau. Agar di langit kalian ditulis sebagai yang mendapatkan keselamatan. Ingatlah, najat (keselamatan) itu bukanlah sesuatu yang nampak setelah kematian, melainkan najat (keselamatan) yang hakiki adalah yang memperlihatkan cahayanya di dunia ini.

Siapakah yang mendapatkan petunjuk? Yaitu ia yang meyakini bahwa Tuhan itu benar dan Muhammad Musthafa s.a.w. merupakan perantara syafaat di antara Dia dengan seluruh makhluk. Dan dibawah kolong langit tidak ada rasul yang menyamai kedudukan beliau dan tidak ada kitab yang menyamai kedudukan al-Quran. Untuk yang lain Tuhan  tidak berkehendak agar mereka hidup selamanya, tetapi nabi pilihan ini hidup untuk untuk selamanya.”[7]

Kemudian beliau menulis seraya memuji mengenai selalu hidupnya Hadhrat s.a.w. :

“Merupakan perkara yang menakjubkan bahwa dunia nyaris berakhir, tetapi sinar karunia Nabi kamil ini sampai sekarang tiada berakhir. Jika kalam Tuhan, Quran Syarif tidak melarang, maka hanya Nabi inilah yang mengenainya kita dapat mengatakan bahwa sampai sekarang ia hidup di langit dengan tubuh jasmaninya, karena kita mendapat pengaruh yang jelas dari kehidupannya.

Orang yang mengikutinya menjadi hidup. Dan menemukan Tuhan dengan perantaraannya. Saya telah menyaksikan bahwa Tuhan mencintainya, mencintai agamanya, dan orang-orang yang mencintainya. Ingatlah bahwa sesungguhnya ia hidup. Maqam (kedudukan)-nya lah yang paling tinggi di langit. Tetapi bukan dengan tubuh jasmani yang fana ini, melainkan ia berada di langit—di sisi Tuhan beliau—dengan tubuh nur (cahaya) yang abadi.”[8]

Jadi, jika seseorang memandang dengan pandangan yang adil, maka ia tidak bisa tinggal diam tanpa mengatakan bahwa tidak ada yang bisa mengenal kedudukan Hadhrat S.a.w. seperti Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Beliaulah mujahid (pejuang) yang paling pertama mengangkat suara yang mengesankan dalam merespon serangan-serangan terhadap pribadi Hadhrat s.a.w..

Tahun 1897, diterbitkan sebuah buku yang menentang Islam dari para pendeta di surat kabar Mission Press Gujranwala, dan di dalamnya pribadi Hadhrat s.a.w. dihina serta kaum Muslimin berusaha diprovokasi, kemudian untuk menyakiti hati kaum Muslimin 1000 naskah buku itu dibagikan secara gratis kepada para ulama dan pemimpin-pemimpin Muslim. Satu kopi dikirimkan juga kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s..

Atas hal itu Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberikan sebuah selebaran dan menarik perhatian pemerintah bahwa tidak diragukan lagi undang-undang mengatakan, “Kalian juga diizinkan, dan menulis buku ini tidak termasuk kedalam penghinaan, kalian juga diperbolehkan menulis.” Tetapi beliau mengatakan bahwa kaum Muslimin mempercayai semua nabi, oleh karena itu beliau tidak menulis hal sia-sia dan tidak sopan seperti itu berkenaan dengan Nabi Isa a.s. atau nabi yang lain.

Beliau menyarankan kepada pemerintah untuk membuat suatu undang-undang yang di dalamnya setiap golongan hendaknya menguraikan keindahan-keindahan agamanya dan tidak diperbolehkan melontarkan hal kotor terhadap kelompok lain.  Inilah cara yang dapat menegakkan keamanan, kedamaian dan persaudaraan. Selain ini, tidak ada cara lain yang lebih baik. Beliau memiliki gelora semangat untuk melindungi kedudukan dan martabat Hadhrat s.a.w. dan untuk melawan serangan-serangan para penentang terhadap pribadi beliau s.a.w. dan Islam. Dalam setiap kesempatan beliau berdiri untuk membela. Dengan perasaan sedih, beliau juga memberikan pemahaman kepada kaum Muslimin tentang bagaimana cara untuk dapat mengalahkan serangan-serangan musuh-musuh? Sebagai Muslim kita harus mengupayakan cara apapun [yang dapat dilakukan], terlepas dari firqoh apakah kita berasal. Menjaga pribadi Hadhrat s.a.w. adalah pekerjaan penting yang untuk itu kaum Muslimin hendaknya bersatu.

Beliau menulis :

“Para penentang kami (yakni para penentang Islam) mengajukan ribuan keberatan dan berkeinginan agar cahaya dan keindahan wajah Islam menjadi nampak buruk dan dibenci. Kita hendaknya melakukan semua upaya untuk menyampaikan bukti-bukti keindahan sempurna, tanpa aib, dan keterjagaan agama yang suci ini. Sungguh pahamilah, keinginan baik yang hakiki dan sejati terdapat pada upaya untuk meluruskan keberatan-keberatan yang penuh dusta dan hina kepada mereka, dan memperlihatkan betapa wajah Islam itu bercahaya, penuh berkat, dan suci dari setiap noda.

Tugas yang harus kita laksanakan adalah mencabut sampai ke akar-akarnya kebohongan dan dusta yang karenanya bangsa-bangsa dibuat berprasangka buruk terhadap Islam. Tugas ini paling utama di atas tugas-tugas lain. Jika kita lalai di dalamnya, maka kita akan berdosa kepada Allah dan Rasul. Rasa simpati dan kecintaan sejati terhadap Rasul Karim s.a.w. terdapat dalam [upaya] kita untuk membuktikan dan memperlihatkan kesucian junjungan kita Rasulullah s.a.w. dan Islam dari kedustaan-kedustaan itu. Dan kita tidak memberikan peluang timbulnya keragu-raguan baru bagi hati-hati yang dipenuhi keraguan. Seakan kita hendak menghentikan para penyerang dengan suatu komando, dan menyingkirkan [kedustaan-kedustaan itu] dengan menulis jawabannya.

Setiap orang mengikuti pendapat dan pikirannya sendiri, tetapi Allah Ta’ala telah membuka hati kita, bahwa saat ini dan pada zaman ini, pembelaan hakiki terhadap Islam adalah dengan mencabut dari akarnya, benih-benih hinaan yang ditanam dan keberatan-keberatan yang disebarkan di Eropa dan di Asia, kemudian sedemikian rupa memperlihatkan nur keindahan dan berkat-berkat Islam kepada bangsa-bangsa di luar [Islam]. Sehingga mata mereka menjadi tercengang keheranan dan hati mereka menjadi kesal terhadap kedustaan-kedustaan yang telah mereka sebarkan dengan tipu daya.

Aku juga menyayangkan pemikiran orang-orang yang meskipun mereka melihat sedemikian rupa keberatan-keberatan beracun disebarkan dan orang-orang awam ditipu daya, tetapi tetap saja mereka mengatakan bahwa tidak perlu untuk membantah keberatan-keberatan itu, dan hanya membawa ke pengadilan dan mengirimkan memo kepada pemerintah sudah cukup.”[9]

Sekedar menangkap seseorang atau menyidangkan atau mengirim memo tidaklah cukup. Melainkan perlu adanya upaya secara amalan, upaya yang dilakukan secara terus-menerus dan tetap. Jadi, inilah kesedihan yang sebenarnya, yakni bangkitlah dan berusahalah terus-menerus untuk membantah tuduhan-tuduhan itu, serta jadikanlah amalan-amalan kita sebagai amalah Muslim hakiki, bukan hanya mengirimkan memo, kemudian mengadakan pawai, atau membuat keramaian beberapa hari lalu duduk dan diam.

Ghairat yang dimiliki Hadhrat Masih Mau’ud a.s. untuk memuliakan dan menghormati Hadhrat s.a.w. dapat diukur dari  kutipan-kutipan yang saya kemukakan ini. Beliau menulis:

“Orang yang dengan tidak adil dan tanpa takut terhadap Tuhan menyebut-nyebut Nabi kami yang mulia, Hadhrat Muhammad Mushthafa s.a.w. dengan kata-kata yang buruk, dan menuduh beliau s.a.w. dengan tuduhan yang kotor, dan tidak jera dari berkata buruk, mengapa kita harus berdamai dengan mereka?

Sesungguhnya saya katakan, saya dapat berdamai dengan ular tanah yang sulit dijinakkan dan serigala-serigala yang liar. Tetapi saya tidak dapat berdamai dengan orang-orang yang melakukan serangan kotor terhadap Nabiku tercinta [Muhammad] s.a.w., yang lebih saya cintai daripada jiwa dan ibu bapak saya sendiri. Semoga Allah mewafatkan kita dalam Islam. Kita tidak ingin melakukan pekerjaan yang di dalamnya keimanan pergi terlepas.”[10]

Beliau menulis berkenaan dengan tuduhan-tuduhan para penentang seraya memperlihatkan ghairatnya:

“Tidak pernah ada hal yang menyakitkan hati saya lebih dari tertawaan dan cemoohan yang dilakukan orang-orang itu terhadap keagungan Rasul kami yang suci [Muhammad] s.a.w.. Celaan dan ejekan mereka yang mengesalkan dan bertentangan dengan sifat-sifat Sang khairul Basyar begitu melukai hatiku.

Demi Tuhan, jika semua anak-anak saya, dan anak dari anak-anak saya, serta seluruh sahabat dan semua orang-orang yang membantu saya dibunuh di hadapan mata saya, tangan dan kaki saya sendiri dipotong, dan biji mata saya dilemparkan keluar [dari kelopak], dan saya dimahrumkan dari semua keinginan-keinginan saya, saya kehilangan seluruh kebahagiaan dan ketentraman saya, maka dibandingkan dengan semua hal itu pun bagi saya lebih bersedih jika Rasul Karim s.a.w. diserang dengan serangan kotor seperti demikian. Karena itu, wahai Majikan Samawiku (Tuhanku)! Lihatlah kami dengan pandangan rahmat dan pertolongan Engkau, dan selamatkanlah kami dari ujian ini.”[11]

Dewasa inipun, sebagian penentang Islam dari kalangan pendeta-pendeta Kristen, mereka tidak berhenti dari menuduhkan tuduhan kotor terhadap Islam. Beberapa waktu yang lalu, seorang pendeta Amerika mengumumkan pembakaran Quran Karim, hari inipun ia berpikir untuk itu, pikirannya itu belum hilang. Ia memiliki program untuk datang ke Inggris. Beberapa hari lalu terdapat pengumuman juga. Suatu kelompok, atau mungkin parlemen telah memanggilnya.

Tetapi berita hari kemarin, pemerintahan Inggris berkomitmen bahwa, ‘di negeri kami ini terdapat pengikut agama yang bermacam-macam, dan kami tidak menghendaki adanya suatu kerusakan di negeri kami. Kami tidak dapat menanggungnya, oleh karena itu Anda tidak diizinkan untuk datang kemari.’ Ini merupakan langkah yang sangat baik dari pemerintahan Inggris. Semoga di masa yang akan datangpun Allah Ta’ala menganugerahkan taufik kepada mereka untuk memenuhi tuntutan keadilan, dan semoga pemerintahan-pemerintahan yang lainpun belajar dari itu agar fitnah dan kerusakan di dunia ini berakhir.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dalam beberapa kesempatan sedemikian rupa memperlihatkan ghairat dengan amalan [beliau]. Saya mengemukakan beberapa peristiwa tentang itu.

Peristiwa Lehram tentu semuanya sudah mengetahui. Yakni, bagaimana Hadhrat Masih Mau’ud memperlihatkan ghairat [penghormatan terhadap Rasulullah] di dalamnya. Beliau sedang berwudhu di stasiun, kemudian Lekhram datang dan mengucapkan salam. Beliau tidak memperhatikan dan terus saja berwudhu. Ia [Lekhram] mengira Hadhrat Masih Mau’ud a.s. tidak mendengar salamnya. Ia menghampiri dari sisi yang lain dan mengucapkan salam lagi. Tetap saja beliau tidak menjawab salamnya dan pergi. Setelah berwudhu seseorang berkata, “Tadi Lekhram datang dan mengucapkan salam.” Beliau menjawab, “Dia mencaci-maki Junjunganku, lalu mengucapkan salam kepada saya?”[12]

Inilah ghairat yang beliau perlihatkan dan inilah pendzahiran ghairat yang hendaknya diperlihatkan oleh setiap Muslim.

Hadhrat Syeikh Yaqub Ali Irfani ra menuliskan sebuah peristiwa :

“Saya bertemu dengan Dr. Padri White Breht pada tahun 1925 di London (yang saat ini yakni pada masa itu disebut Dr. Stonstin. Kata ini ditulis dalam bahasa Urdu, jadi mungkin saja bisa keliru). Padri Sahib adalah pendeta Missionaris di Batala dan pernah juga bertemu dengan Hadhrat Sahib [Hadhrat Masih Mau’ud a.s.]. Diceritakan bahwa di Batala ada perdebatan dengan Padri Fatah Masih Sahib mengenai ilham. Dalam perdebatan itu Pendeta Inggris ini ikut menghadirinya. Pendek kata, dalam sejarah Jemaat, ia memiliki sedikit keterkaitan. Karena itu timbul ketertarikan saya untuk bertemu dengan Padri itu. Dengan Padri dari Inggris itu kemudian saya bertemu ketika saya pergi ke Lodon.

Serangkaian percakapan berlangsung membahas mengenai Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan beberapa peristiwa dalam hidup  beliau. Padri itu mendengarkan lalu dalam suatu kesempatan ia mulai mengatakan, ‘Saya melihat satu hal yang tidak saya sukai dalam diri Mirza Sahib, yakni setiap kali disampaikan kritik-kritik terhadap Hadhrat [Nabi Muhammad] S.a.w., ia menjadi marah dan wajahnya menjadi berubah.’

(Maksudnya keberatan yang disampaikan dengan kata-kata tidak pantas. Keberatan-keberatan yang lain disampaikan juga saat perdebatan berlangsung. Ketika ada yang di luar batas kesopanan, maka seketika beliau a.s. menjadi marah dan wajah beliau berubah)

Irfani sahib menjawab, “Saya mengatakan kepada Padri Sahib, ‘Perkara yang tidak anda sukai, justru untuk hal itu saya berkorban. Karena dari hal itu, menjadi teranglah salah satu sisi kehidupan Hadhrat Mirza Sahib, hal itu memperlihatkan dengan nyata ghairat keimanan beliau serta kecintaan dan pengorbanan terhadap Hadhrat s.a.w.. Menurut Anda mungkin ini merupakan suatu aib (kelemahan), tetapi saya meyakini itu sebagai akhlak yang luhur dan setelah mendengar perkataan Anda, kecintaan dan keyakinan saya kepada Hadhrat Mirza Sahib semakin meningkat.’”

Pendek kata, beliau a.s. memiliki kecintaan yang tiada terhingga kepada Hadhrat S.a.w. dan tidak sanggup menahan jika ada orang yang tidak menghormati Hadhrat s.a.w..”[13]

Jadi, inilah pengungkapan ghairat [penghormatan] terhadap rasul yang karenanya orang lain dengan sendirinya merasa bahwa ia harus berkata mengenai Hadhrat s.a.w. dalam batas penghormatan.

Pendek kata, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. telah membuktikan kepada dunia melalui amalan beliau dan juga tulisan serta pidato beliau, seperti apakah kecintaan dan ghairat [penghormatan] yang hakiki kepada rasul. Kemudian meniupkan ruh ini kepada jemaat beliau. Perlihatkanlah ghairat [penghormatan] terhadap rasul, tetapi tetaplah berada dalam koridor hukum. Lakukanlah setiap proses, tetapi tetaplah berada dalam koridor hukum. Sebagai hasil dari ajaran inilah, ketika seorang Arya menulis sebuah buku yang mengesalkan hati, kemudian majalah Wartman juga menerbitkan sebuah selebaran mengenai hal itu, maka Hadhrat Khalifatul Masih ats-Tsani radhiyallahu ta’ala ‘anhu melakukan segala macam upaya untuk membantahnya.

Tetapi bersamaan dengan itu juga beliau memberikan nasihat ini,

“Orang-orang Muslim hendaknya memperlihatkan ghairat untuk menyelamatkan kehormatan Rasul Karim s.a.w., tetapi bersamaan dengan itu perlihatkanlah juga bahwa kaum Muslimin dapat mengendalikan dirinya dan tidak dikalahkan [emosi]nya. Ketika orang-orang Islam memperlihatkan hal ini, maka dunia dengan sendirinya akan lari ketika menghadapi mereka.”[14]

Beliau juga menerbitkan sebuah selebaran, jika kita melihat kata-kata [dalam selebaran itu], maka diketahuilah sedemikian rupa pendzahiran ghairat [penghormatan] yang beliau perlihatkan. Beliau juga bersedia untuk memperlihatkan ghairat ini kepada orang-orang Islam. Pada masa-masa sedang diajukan keberatan-keberatan atas Hadhrat s.a.w., beliau menulis,

“Apakah ada hari-hari ujian bagi Islam yang melebihi hari ini? Apakah para tetangga tidak mengetahui bahwa kami mencintai Rasul Karim s.a.w. dengan sepenuh jiwa dan sepenuh hati kami, dan setiap partikel tubuh kami berkorban untuk debu-debu di sepatu sang pemimpin orang-orang suci itu. Jika mereka mengetahui hal ini, maka apakah tujuan mereka dengan [membuat] tulisan-tulisan itu selain untuk melukai hati kami, dan menusuk dada kami, serta menunjukkan kehinaan dan kelemahan kami dalam bentuk yang sangat menakutkan di hadapan mata kami, dan ingin memperlihatkan kepada kami bahwa mereka tidak mempedulikan perasaan orang-orang Islam sebagaimana tidak pedulinya seorang yang kaya raya terhadap sepatu yang telah robek.

Saya bertanya-tanya, apakah mereka tidak mendapatkan jalan lain untuk mengusik orang-orang Islam? Jiwa kami ada, jiwa anak keturunan kami ada. Seberapa ingin maka berikanlah penderitaan kepada kami, tetapi demi Tuhan! janganlah kalian menghancurkan kehidupan dunia dan akhirat kalian dengan menghina penghulu para nabi. Kami tidak dapat berdamai dengan orang-orang yang menyerang beliau. Berulang kali telah kami katakan, kemudian saya ingatkan kembali, kami bisa berdamai dengan hewan-hewan hutan yang buas dan ular-ular yang liar, tetapi sekali-kali kami tidak dapat berdamai dengan orang-orang yang menghina Rasul karim s.a.w..

Tak syak lagi, lakukanlah apapun yang kalian kehendaki di bawah lindungan undang-undang. Di bawah naungan putusan Majlis Tinggi Punjab, sebanyak apa yang kalian kehendaki, silakan kalian caci-maki Rasul kami yang mulia [Muhammad] s.a.w.. (pada saat itu telah dikeluarkan keputusan yang bertentangan dengan kaum Muslimin). Tetapi ingatlah! Di atas undang-undang pemerintah masih ada undang-undang yang lain, yakni undang-undang suci yang dibuat oleh Tuhan.

Dikarenakan kekuatan mereka, mungkin mereka bisa selamat dari sasaran undang-undang pemerintah, tetapi tidak akan bisa selamat dari sasaran hukum Qudrat, dan hukum Qudrat ini telah sempurna dengan tetap, tidak ada yang tertinggal, sehingga tidak ada orang yang berhak mengharapkan cinta dan perdamaian dengan kami setelah mereka berkata buruk terhadap pribadi yang kami cintai.”[15]

Ketika hal ini terjadi pada masa itu, sebagai hasilnya—berkat  karunia Allah Ta’ala—di Hindustan terjadi amandemen undang-undang, dan undang-undang yang melarang untuk mengatakan hal buruk terhadap para nabi dan juga para pemimpin agama atau golongan-golongan telah disahkan. Dalam sejarah Ahmadiyah, 20 atau 25 tahun sebelum ini, yaitu pada masa-masa penghinaan Salman Rusydi yang telah menulis kitabnya yang tidak disukai, pada saat itu Hadhrat Khalifatul Masih ar-Rabi sendiri menanggapinya dalam khotbah beliau. Kemudian ditulis juga sebuah buku untuk menjawabnya. Buku ini dalam bahasa Inggris, yang terjemahan Urdunya ‘Salman Rushdie bhuttong ke Aasiib me”.

Tahun 2005, ketika di Denmark dibuat gambar kartun yang tidak sopan mengenai Hadhrat S.a.w., maka misi disana telah menjawab dan saya juga telah menjawab melalui khotbah-khotbah. Proses-proses hukum juga ditempuh. Ada serangan dari anggota parlemen Belanda terhadap al-Quran dan Islam, maka jawaban-jawabannya telah diberikan. Jadi, pengungkapan ghairat [kecintaan terhadap rasul] yang tetap berada dalam koridor hukumlah yang merupakan modal bagi seorang mukmin hakiki. apapun tindakan yang kita lakukan di luar hukum, itu tidak ada kaitannya dengan kebenaran dan kesetiaan Hadhrat s.a.w..

Perkara sebenarnya yang mempertahankan keberlangsungan kebenaran dan kesetiaan itu adalan pesan-pesan beliau s.a.w.. Jika kaum Muslimin memahami hakikat pesan tersebut, dan menjadi orang yang memenuhi kewajiban untuk menyampaikan pesan yang indah itu, maka kondisi sekarang ini tidak akan terjadi. Jika sungguh-sungguh mereka mengamalkan uswah (suri tauladan) Rasul s.a.w., maka mulut para musuh akan terbungkam dengan sendirinya. Jika di antara kaum Muslimin ada beberapa orang yang gila keuntungan mengambil keuntungan yang tidak jaiz di bawah naungan undang-undang, maka undang-undang akan menyatakan ia bersalah dan akan mencabut kecintaan terhadap keuntungan itu dari akarnya. Tetapi semua pekerjaan ini adalah pekerjaan [yang memerlukan] ketaqwaan.

Jadi, jika kaum Muslimin ingin memperlihatkan penghormatan terhadap Nabi s.a.w., maka hendaklah mencari ketakwaan yang ingin diciptakan oleh Hadhrat Rasulullah s.a.w. itu. Dalam sejarah Jemaah Ahmadiyah, terdapat banyak sekali peristiwa mengenai ghairat [penghormatan] terhadap Rasul s.a.w.. Itu tidak akan bisa dibahas hanya dalam satu khotbah. Dalam beberapa khotbah pun tidak bisa.

Jika kita ingin membersihkan keberatan-keberatan dan penghinaan-penghinaan yang ditujukan kepada Hadhrat s.a.w., maka bukanlah dengan suatu undang-undang, melainkan dengan mengibarkan panji Hadhrat s.a.w. kepada dunia dan mengumpulkan mereka dibawah panji itu. Karena pada hakikatnya kerusakan dunia akan berakhir manakala kita menerapkan ajaran sejati Hadhrat s.a.w. atas diri kita, lalu mengumpulkan dunia dibawah bendera (panji) Hadhrat Rasulullah s.a.w.. Namun, jika hanya dengan membuat undang-undang kemudian kita berusaha mengambil keuntungan pribadi dari undang-undang itu, maka kita juga sedang menjadi pelaku Tauheen-e-Risaalat (penghinaan terhadap Rasul).

Sebuah risalah (suratkabar atau majalah) bernama ‘Wartman’—yang mengenainya telah saya katakan sebelumnya bahwa  Khalifatul Masih Tsani ra menulis mengenai itu—dan mengatakan kepada kaum Muslimin agar mengajukan keberatan, kemudian semua umat Islam mengajukan keberatan, persidangan digelar, orang itu dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukuman. Ketika vonis telah diputuskan, Hadhrat Khalifatul Masih Tsani mengatakan dengan sangat jelas:

“Kemuliaan junjungan saya, Hadhrat Muhammad Mushthafa s.a.w. lebih tinggi dari itu, yakni dari nilai penetapan [hukuman] mati seseorang atau kelompok. Junjungan saya datang ke dunia untuk memberikan kehidupan, bukannya untuk mengambil nyawa.”[16]

Andai saat ini juga kaum Muslimin memahami perkara ini, bahwa pada hakekatnya jika ada fitnah, maka yang dilakukan undang-undang adalah memperbaiki fitnah secara lahiriah, tapi bukan memperbaiki hati. Bagi kaum Muslimin, kebahagiaan yang sejati adalah ketika timbul dalam hati orang-orang di dunia ini kecintaan kepada Hadhrat Muhammad s.a.w.. Saat ini, merupakan kewajiban para Ahmadi yang untuk itu kita semua harus berusaha sekuat tenaga. Jika kaum Muslim yang lain memperlihatkan pemaafan dan kecintaan ketimbang kekerasan, dan mereka memperlihatkan contoh yang diperlihatkan Hadhrat Muhammad s.a.w., maka ini akan menjadi pengkhidmatan untuk Islam.

Beliau s.a.w. telah [memaafkan] dua orang musuh Islam yang sangat kejam. Pada saat Fatah Mekah, mereka berniat untuk menghalang-halangi [untuk melawan], tapi setelah mereka melihat pasukan [Muslim], dan menyaksikan kecemerlangan Fatah Mekah mereka menjadi ketakutan. Mereka meminta perlindungan di rumah Ummi Haani ra, maka Ummi Haani ra memberikan perlindungan [kedua orang itu adalah keluarga suami Ummi Haani].

Kemudian Ia datang ke hadapan Hadhrat s.a.w. dan menceritakan bahwa ia memberi perlindungan kepada dua orang. Tetapi Ali, saudara laki-lakinya mengatakan bahwa ia akan membunuh mereka, karena mereka orang-orang aniaya [dulunya biasa menganiaya orang Muslim ketika jumlahnya masih sedikit]. Beliau s.a.w. menjawab, “Wahai Ummi Haani! Siapa yang engkau beri perlindungan, maka saya juga akan memberi perlindungan kepadanya.”[17]

Setelah perlindungan itu, kedua musuh tersebut berpikir, betapa Hadhrat Rasulullah s.a.w. telah memperlakukan mereka dengan kasih sayang dan kecintaan, sehingga mereka merasa malu untuk memperlihatkan wajah kepada beliau. Tetapi ketika secara kebetulan salah seorang dari mereka, Haarits bin Hisyaam bertemu dengan Hadhrat Rasulullah s.a.w. di dekat mesjid, maka sang Rahmatan lil ‘Aalamin itu dengan penuh cinta menemui mereka. Kemudian [beberapa tahun setelah itu], Harits ini syahid mengorbankan jiwanya pada perang Yarmuk [perang dengan bangsa Romawi].[18]

Jadi, kepada orang yang diberikan perlindungan oleh seorang perempuan pun, Hadhrat s.a.w. memberikan penghormatan. Sebagai hasilnya, mereka memeluk Islam. Sekarang inipun kita memerlukan uswah (teladan) ini. Kita harus menyampaikan pesan hakiki Islam kepada dunia, bukan membuat undang-undang lalu mengamalkannya dengan cara-cara yang keliru. Semoga Allah Ta’ala menganugerahi taufiknya kepada kita dan seluruh kaum Muslimin.

[1] Semoga Allah Ta’ala menolongnya dengan kekuatan-Nya yang Perkasa

[2] Malfuzhat jilid awal, hal. 23-24, cetakan Rabwah

[3] Ainah Kamalat Islam. Ruhani Khazain, Jilid 5, Hal. 160-162

[4] Haqiqatul Wahyi, Ruhani Khazain jilid 22, hal. 118-119

[5] Sirojam munir, Ruhani Khazain jilid 12, hal. 82

[6] Malfuzat, jilid awal, halaman 420. Cetakan Rabwah

[7] Kisyti Nuuh, Ruhani Khazain, jilid 19, halaman 13-14

[8] Haqiqatul Wahyi, Ruhani Khazain, jilid 22, halaman 118-119, Catatan kaki

[9] Al-balaa, faryaad dard, Ruhani Khazain jilid 13, hal. 382-383

[10] Paigaam-e-Sulh, Ruhani Khazain  jilid 23, hal. 459

[11] Tarjamah Arabiy ‘ibaarat Ainah Kamalat Islam, Ruhani Khazain jilid 5, halaman 15, dari Hadrat Mirza Basyir Ahmad MA, dari Sirat Thoyyibah, halaman 41-42

[12] dikutip dari Siratul Mahdi, jilid 1, bagian Awal, halaman 254, riwayat nomor 281, Edisi Baru, cetakan Rabwah

[13] Dikutip dari Hayat-e-Ahmad, karangan Hadhrat Yakub Ali Irfani Sahib ra. Jilid 1, halaman 265-266, Edisi baru

[14] Al-Fazl 5 Juli 1927, hal. 7 referensi dari sawanih Fazl Umar jilid 5, hal 41

[15] Tarikh Ahmadiyyat, jilid 4, halaman 597, Edisi baru, cetakan Rabwah

[16] Dikutip dari Tarikh Ahmadiyyat, jilid 4, halaman 606, Edisi Baru, cetakan Rabwah

[17] Sirah Nabawwiyyah karya Ibni Hisyaam, Bab man amara ar-Rasul saw biqotlihim, halaman 742-743, cetakan Darul Kutubil ‘alamiyyah, Beirut 2001

[18] Subulul Hudaa war Rasyaadi fi Siirati khairil ‘Ibaadi, karya Muhammadi bin Yusuf Syaami, dzikrul islaam il Haarits bin Hisyaam ra, jilid 5, halaman 249, Beirut-Lebanon, 1993; terdapat dalam buku tarikh lama ‘Usdul Ghaabah fi Ma’rifatish Shahaabah, jilid 1 h. 478, al-Harits bin Hisyam, Terbitan Darul Fikr, Beirut-Lebanon, 2003

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.