بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Khotbah Jum’at
Sayyidina Amirul Mu’minin
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Hadhrat Khalifatul Masih V Ayyadahulloohu ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]
Tanggal 30 Fatah 1390 HS/Desember 2011
Di Mesjid Baitul Futuh, London.
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihissh shalaatu wassalaam di satu tempat bersabda,
“Jemaat para sahabat jangan dianggap terbatas hanya kepada yang sudah berlalu, melainkan masih ada kelompok para sahabat yang disebutkan oleh Allah Ta’ala di dalam Kitab Suci Alqur’an. Mereka juga termasuk para sahabat yang akan hidup bersama buruuz (bayangan, kopi) Ahmad.” (Salah satu nama Hadhrat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam adalah Ahmad juga. Dan buruuz beliau saw adalah Hadhrat Masih Mau’ud as). Beliau as bersabda, “Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَآخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ Wa aakhariina minhum lamma yalhaqqu bihim, jangan menganggap jemaat para sahabat radhiyallahu ‘anhum sebatas itu (para sahabat hanya ada di zaman Rasulullah saw saja) melainkan, di zaman Jemaat Masih yang dijanjikan juga akan ada para sahabat.” (Yaitu orang-orang yang berjumpa dengan Hadhrat Masih Mau’ud as, berbaiat kepada beliau as dan memperoleh berkat-berkat dari pergaulan dengan beliau. Dan didalam iman serta keyakinan mereka telah meningkat. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa orang-orang itu juga adalah para Sahabat) Beliau as bersabda lagi, “Mengenai ayat ini, para Mufassirin mengakui bahwa itu adalah Jemaat Masih Mau’ud (Jemaat Al Masih yang dijanjikan). Dari perkataan minhum dapat diketahui bahwa perhatian batin dan rohani mereka itu tidak ubahnya seperti batin dan rohani para sahabat ra.” [2]
Maka orang-orang yang memperoleh keberkatan-keberkatan dari Hadhrat Masih Mau’ud as pasti mereka memiliki satu maqam (status, martabat). Dan setiap orang dari mereka merupakan contoh atau teladan bagi kita, yang kebaikan, ketakwaan dan perubahan suci diri mereka layak kita ikuti. Merupakan nasib baik kita bahwa kita dapat menerima beberapa kisah menarik kehidupan para sahabat Masih Mau’ud as. Dan melalui para Sahabat ini kita mengetahui kisah peristiwa-peristiwa penting dalam majlis-majlis Hadhrat Masih Mau’ud as Dari waktu ke waktu saya menyajikan kisah-kisah menarik para sahabat. Pada hari ini juga saya akan menyajikan kisah-kisah menarik beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum. Disebabkan tarbiyyat Hadhrat Masih Mau’ud as dan disebabkan melalui nur yang beliau as bawa dari Hadhrat Muhammad Mushthafa, Khairul Anbiyaa Rasulullah saw, Allah Ta’ala telah membuat perubahan besar di dalam wujud para sahabat beliau as sehingga setiap orang telah menjadi insan-insan yang berakhlaq luhur dan menakjubkan. Baik mereka itu orang miskin atau orang kaya, orang terpelajar atau buta huruf, semua menampakkan warna kehidupan yang sangat luar biasa indah dan mengagumkan bagi kita. Dalam segi tawakkal, mereka menunjukkan keistimewaan yang luhur dan menakjubkan sekali. Semangat dan keikhlasan pengkhidmatan mereka terhadap agama sangat luhur dan tanpa pamrih. Hubungan mereka dengan Alqur’an sangat erat dan dalam sekali dan mempunyai kecintaan yang sangat dalam. Dan kemudian Allah Ta’ala sendiri telah mengajarkan mereka ilmu dan rahasia Alqur’an dan Dia menganugerahkan ma’rifat kedalam kalbu dan akal-pikiran mereka yang memberi ciri khas sebagai anugerah Allah Ta’ala. Kemudian dalam urusan lainnya. Dalam setiap masalah Allah Ta’ala memperlakukan mereka sedemikian rupa sehingga membuktikan bahwa kedudukan mereka sangat dekat sekali dengan Allah Ta’ala. Lalu dari riwayat-riwayat tersebut, kita dapat mempelajari bagaimana Hadhrat Masih Mau’ud as mengajarkan di dalam majlis para sahabat beliau as mengenai pokok-pokok masalah. Bagaimana beliau as menyampaikan jawaban yang singkat dan spontan. Dari kalimat-kalimat ringkas ini sedemikian rupa menjadi tarbiyyat hal mana tidak dapat ditemukan dari para penentang.
Pendeknya alangkah baik nasib mereka dan alangkah beruntungnya mereka yang 14 abad setelah wafat Nabi saw telah mengalami zaman ghulam shadiq dan asyiq shadiq ini (pelayan dan pecinta sejati Nabi Muhammad saw yaitu Hadhrat Masih Mau’ud as). Seperti telah saya sampaikan, sekarang saya ingin menjelaskan beberapa riwayat dari ‘Register Riwaayaat Shahabah’ (buku berisi riwayat sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as).
[1] Hadhrat Maulwi Sufi Atha Muhammad Shahib radhiyallahu ta’ala ‘anhu mengatakan, “Pada suatu hari saya membaca di Surat Kabar bahwa Hadhrat Aqdas as akan datang ke kota Jhelum. Akan tetapi, saya tidak dapat memperoleh izin untuk pergi ke kota Jhelum. Saya seorang pegawai. Namun, tak ada waktu istirahat (libur). [Saya sangat kecewa bercampur sedih tidak dapat memperoleh izin dari tempat saya bekerja untuk pergi ke kota Jhelum, sedangkan hati saya sangat gelisah ingin sekali pergi dan berjumpa dengan beliau.] Saya beritahu keluarga saya, ‘Besok hari Ahad dan Hadhrat Aqdas as akan datang ke Jhelum. Jangan kasih tahu kepada siapapun saya akan pergi ke sana!’ Waktu sangat sempit sekali dan 3 mil perjalanan untuk sampai ke stasiun Kereta Api. Jalan ke sana berbukit-bukit dan hari sudah malam. Pada siang hari pun orang-orang susah sekali melewati jalan ini, apa lagi di malam hari akan lebih sulit lagi. Akan tetapi saya sudah bertekad bulat untuk berjalan terus.” Katanya, “Sambil tawakkal kepada Allah Ta’ala saya berjalan. Sudah jauh berjalan tiba-tiba saya lihat ada pancaran cahaya sepanjang jalan di depan saya. [Saya pikir] mungkin ada orang lain sedang berjalan ke arah yang sama. Dan sambil berdoa kepada Tuhan saya menempuh perjalanan di perbukitan dengan berlari. (Katanya, ‘Saya lihat di depan saya masih ada lagi pancaran cahaya barangkali ada orang lain sedang berjalan kearah yang sama dan dengan penuh tawakkal kepada Allah Ta’ala saya pun terus berjalan dengan tujuan untuk berjumpa dengan Masih dan Mahdi. Saya merasa heran sungguh Allah Ta’ala-lah yang telah mempersiapkan semua itu yakni di depan saya melihat ada cahaya terang kemudian sayapun berlari mengejarnya.) Katanya, “Ketika sampai di Stasiun, Kereta Api betul-betul sudah siap akan berangkat. Saya segera membeli tiket dan akhirnya dengan karunia Allah Ta’ala sampailah ke Jhelum dengan selamat dan di sana mendapat kehormatan untuk berjumpa dengan Hadhrat Masih Mau’ud as. Di sana ada seorang bernama Seth Ahmad Din. Beliau berkata kepada saya, ‘Alangkah baiknya sekarang tuan membacakan Nazam.’ Beliau (Maulwi Sufi Atha) telah menggubah sebuah Nazam yang dibacakan di waktu beliau baiat. Di dalam nazam itu terdapat kata-kata bernuansa doa yang di waktu baiat beliau tuliskan dan sertakan dengan surat baiat yang dikirim kepada Hadhrat Masih Mau’ud as. Nazam itu cukup panjang sekali dan beliau (Seth Ahmad) meminta, ‘Perdengarkanlah nazam itu!’ Beliau (Maulwi Sufi Atha) berkata, ‘Baiklah! Jika Hadhrat Sahib memberi izin saya akan membacakannya.’ Hadhrat Aqdas as langsung memberi izin. Katanya, “Saya pun segera berdiri dan membacakan Nazam itu dengan nada semangat dan bergelora sekali. Nazam itu sangat mengesankan para hadirin di waktu itu. Salah seorang berkata, ‘Berilah kepada saya catatan Nazam itu.’ Saya katakan kepadanya, ‘Nazam itu saya baca di luar kepala tidak memegang catatan.’ Setelah membacakan Nazam Hadhrat Masih Mau’ud as memberitahukan wazhifah (wirid) kepada saya yang harus saya baca, betul-betul sesuai dengan apa yang telah pernah diberitahukan kepada saya di dalam surat beliau. (Ketika beliau menulis surat baiat, beliau menyusun Nazam itu yang dikirimkan bersamaan dengan surat baiat dan juga di dalam surat tertulis, ‘Hudhur berikanlah kepada saya wazhifah. Apa yang harus saya lakukan.’ Kemudian Hadhrat masih Mau’ud as menuliskan wazhifah untuk beliau. Katanya, Tatkala saya meminta secara lisan maka Hadhrat Masih Mau’ud as memberitahukan seperti yang beliau beritahukan dalam surat itu.) Saya heran daya ingatan Hudhur as begitu kuat sekali, sejumlah wirid yang telah beliau tulis dalam surat kepada saya semua beliau beritahukan lagi kepada saya secara lisan.” [3]
Dan Hadhrat Masih Mau’ud as menuliskan untuk beliau wazhifah ini disamping juga beliau as bersabda, “Wazhifah yang tuan tanyakan tidak perlu wazhifah lain lagi. Bacalah durud (shalawat kepada Rasulullah saw) sebanyak-banyaknya. Bacalah Al-Hamd Syarif (al-Fatihah) sebanyak-banyaknya. Perbanyaklah membaca istighfar, dan bacalah Alqur’anul Karim dengan penuh telaah dan pemaknaan dan bacalah terus-menerus secara teratur. Itulah wazhifah (wirid) yang menjadi sarana bagi manusia untuk meraih semua kemajuan dan kejayaan.” [4]
Banyak orang yang menulis surat kepada saya (Hudhur V atba) menanyakan wirid yang harus dibaca. Maka kepada mereka saya menjawab seperti tersebut diatas dan ditambah dengan apa yang pernah Hadhrat Masih Mau’ud as juga telah memberitahukan ini kepada seseorang, “Banyak-banyaklah membaca ‘la haula’. Doa ini لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم laa haula walaa quwwata illa billahil aliyyil ‘azim juga harus banyak-banyak dibaca. [5]
Dan inilah yang mendorong manusia menjadi qurb (dekat) dengan Allah Ta’ala.
[2] Kemudian satu riwayat tentang Hadhrat Khalifah Nuruddin Shahib ra dari Jammu. Beliau ini tuan Khalifah Nuruddin, penduduk Jammu. Agar tidak salah paham beliau ini bukan Hadhrat Khalifatul Masih I ra (namanya mirip namun beliau ra bukan Hudhur I ra). Beliau ini seorang sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as juga. Beliau menulis, “Pada suatu hari saya pergi jalan kaki dari Jammu ke Kashmir melalui kota Gujarat. Di perjalanan dekat Gujarat saya menunaikan shalat kemudian membaca doa ini, اللهم إني أعوذ بك من الهمِّ والحزن “Allahumma a’uudzubika minal hammi wal huzni – “Ya Allah Tuhanku aku berlindung kepada Engkau dari pada kesusahan hati dan kesengsaraan fikiran.” Saya membaca doa ini dengan sangat khusyu disertai keperihan hati. Setelah banyak memanjatkan doa itu Allah Ta’ala selalu menyediakan perbekalan kehidupan saya sehari-hari demikian banyaknya sehingga tidak pernah mengalami kesulitan sedikitpun. Sekalipun saya tidak mempunyai kegiatan perniagaan yang khas namun Allah Ta’ala mengirim uang beribu-ribu rupees kepada saya.” [6]
Setelah baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as dengan quwwat qudsiyyah beliau as, sedemikian rupa timbul inqilaab (perubahan besar) di dalam diri orang-orang itu (para sahabat beliau as) sehingga Allah Ta’ala juga mengabulkan doa-doa mereka secara menakjubkan. Keadaannya sedemikian rupa seperti ini, “Saya berdoa agar tidak menadahkan tangan meminta-minta kepada siapa pun, agar saya tidak pernah merasa sempit dan susah, dengan karunia Allah Ta’ala, saya tidak lagi mengalami kesempitan keuangan.”
[3] Mian Sharafat Ahmad Sahib menjelaskan mengenai ayahanda beliau, Hadhrat Maulwi Jalaluddin Shahib radhiyallahu ta’ala ‘anhu dalam tulisannya, “Maulwi Shahib adalah seorang yang bertawakkal. Beliau selalu berkata, ‘Apa saja yang kita perlukan Allah Ta’ala sendiri menyediakannya. Kita tidak perlu berkata kepada siapapun bahwa kita memerlukan sesuatu.’ Beliau sering berkata, ‘Pada tahun 1918-1919, saya mulai bekerja di kantor Anjuman Ahmadiyyah. Allowance (tunjangan) pada waktu itu sejumlah 25 Rupees. Pada hari-hari itu harga-harga cukup mahal sekali.’ (yakni harga gandum dan lain-lainnya begitu mahal) Beliau bekerja dibawah pimpinan Khan Shahib Munshi Farzand Ali Khan Sahib, Nazir Baitul Mal. Pada suatu hari Khan Sahib berkata kepada Maulwi Jalaluddin Sahib sambil senda gurau, ‘Maulwi Sahib sekarang sudah mendapat tunjangan. Sekarang nampak Maulwi Sahib bekerja sangat giat sekali disebabkan menerima uang tunjangan itu.” Perkataan beliau itu sangat tidak menyenangkan hati Maulwi Sahib walaupun maksudnya senda gurau. Dan beliau berkata, ‘Apakah saya pernah meminta uang tunjangan kepada Jemaat? Saya sudah mewakafkan diri untuk mengkhidmati Agama. Uang tunjangan itu Jemaat sendiri yang telah menetapkannya. Saya tidak pernah meminta dan tidak pernah pula menuntut.’ Akhirnya beliau berkata kepada Munshi Khan Sahib Nazir Baitul Mal, ‘Sekarang saya tidak akan mengambil uang tunjangan itu.’ Khan Sahib berkata kepada beliau, ‘Apakah Maulwi Sahib akan bekerja seperti biasa atau akan bekerja sekehendak hati sendiri? Sekarang Maulwi Sahib tidak akan mengambil uang tunjangan, apakah akan bekerja seperti biasa atau akan bekerja sekehendak hati Mlv Sahib sendiri?’ Maka Maulwi Jalaluddin Sahib berkata, ‘Saya akan bekerja lebih giat dari sebelumnya dan akan bekerja dengan patuh sekali. Pekerjaan dan ketaatan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan uang tunjangan. Uang tunjangan ini dapat atau tidak saya tidak peduli tujuan saya hanyalah untuk berkhidmat.’ Sesudah mengatakan hal itu semua, beliau pergi ke daerah untuk bertabligh. Beliau pergi berjalan kaki karena pada waktu itu tidak ada sarana kendaraan. Pada umumnya pada waktu itu para muballigh pergi untuk bertabligh dengan berjalan kaki. Di tengah perjalanan itu tiba-tiba beliau teringat kepada uang tunjangan itu, berapapun uang tunjangan itu diterima sekurang-kurangnya harus cukup untuk membeli gandum. Dan gandum pada waktu itu sudah mahal sekali. Pada waktu itu kehidupan sangat sulit dan gandum sangat mahal sekali. Setelah timbul pikiran demikian dalam benak beliau, sekarang tengoklah bagaimana kemurahan Allah Ta’ala telah berlaku kepada beliau. Maulwi Sahib, yakni Ayah saya sering menceritakan peristiwa itu katanya, ‘Ketika sedang berjalan, tiba-tiba terdengar suara laksana guruh menggelegar yang menakutkan namun akhirnya hati saya menjadi tenang. Di dalam suara yang menggelegar itu terdapat sebuah pesan berupa pertanyaan katanya, “Apakah engkau sudah lama menerima uang tunjangan? Apakah engkau sudah menjadi besar karena makan uang tunjangan itu? Jadi maksudnya, apakah dengan menggunakan uang uang tunjangan itu sehingga sekarang engkau sudah menjadi besar?” Setelah mendengar suara itu hati saya menjadi sangat tenang dan tenteram sekali. Dan saya dengan sangat merendahkan diri berkata, “Ya Allah Pencipta hamba, apa perlunya uang tunjangan itu? Dibandingkan dengan Engkau apalah arti uang tunjangan ini? Setelah ini di masa yang akan datang tentu lebih dilewati dengan lebih baik.” (Katanya, setelah peristiwa itu, Allah Ta’ala demikian mendukung saya sehingga kehidupan saya terus-menerus berubah menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.) Selanjutnya Maulwi Sahib sering berkata, ‘Munsyi Khan Sahib adalah teman lama saya. Kata-kata beliau diatas itu begitu saja keluar dari mulut beliau (sebagai senda-gurau) yang akhirnya menjadi sarana bagi saya untuk memecahkan perasaan syirik.’ (Dengan perantaraan itu perasaan syirik telah keluar dari dalam diri saya.)” [7]
Kemudian tentang Hadhrat Maulwi Jalaluddin Sahib almarhum, putra beliau yang telah disebut sebelumnya menulis, “Maulwi Sahib melihat dalam mimpi bahwa Hadhrat Maulwi Nuruddin Sahib sedang bermain judi. Lalu Maulwi Jalaluddin Sahib memberitahu hal itu kepada Hadhrat Masih Mau’ud as. Hudhur as bersabda, ‘Maulwi Sahib! Memang Maulwi Nuruddin Sahib (Yakni Khalifatul Masih I ra) bermain judi, akan tetapi dengan Allah Ta’ala. Beliau juga seperti orang yang bermain judi yang meletakkan semua milik beliau [untuk dipertaruhkan]. Beliau sudah tidak memegang apa-apa lagi. Demikianlah, Maulwi Nuruddin Sahib menyerahkan semua kekayaan dan semua hak milik di jalan Allah Ta’ala, seperti orang-orang menyerahkan hartanya di depan bandar (bos) judi. Beliau as bersabda, ‘Maulwi Nuruddin membelanjakan semua harta untuk kepentingan dunia dan akhirat beliau.’” [8]
Yakni, ini adalah semacam jual-beli yang dilakukan oleh Hadhrat Khalifatul Masih al-Awwal (I) dan seorang pecinta dunia untuk kepentingan duniawi tidak mempertaruhkan hartanya. Beliau bersabda mengenai Hadhrat Khalifatul Masih al-Awwal (I), “Untuk mempersiapkan perbekalan bagi kedua kehidupan, dunia dan akhirat beliau, harta-benda beliau dibelanjakan di jalan Allah dan sebagaimana kita juga tahu betapa banyaknya peristiwa yang sangat mengesankan telah terjadi dalam kehidupan Hadhrat Maulwi Nuruddin Sahib. Bagaimana Allah Ta’ala selalu memenuhi setiap keperluan duniawi beliau, dan memenuhinya tanpa batas. Demikian juga dalam hal agama, kedudukan yang telah beliau terima tentunya semua orang mengetahuinya.”
[4] Kemudian Hadhrat Sufi Ghulam Muhammad Shahib putra Mia Wali Muhammad Shahib menulis, “Pada tahun 1912 saya lulus dalam ujian BA dari Punjab University. Setelah itu saya bertanya kepada Hadhrat Khalifah Awwal I ra, ‘Apakah saya harus menghapal Alqur’an sampai tamat atau saya harus meneruskan kuliah untuk mendapat gelar MA?’ Beliau menjawab, ‘Hapalkanlah Alqur’anul Karim, apa artinya MA itu.’ Maka saya menghapalkan Alqur’anul Karim dalam waktu enam bulan. Ketika saya ceritakan hal itu kepada Khalifah Awwal ra maka beliau pun melakukan sujud tanda bersyukur kepada Allah Ta’ala.” [9]
Demikianlah tarbiyat sahabat. Inilah ketaatan beliau. Ini adalah kecintaan beliau terhadap Alqur’anul Karim, beliau meninggalkan keperluan duniawi kemudian menghapal Alqur’anul Karim sampai tamat seluruhnya.
[5] Kemudian riwayat Hadhrat Sayyid Akhtaruddin Ahmad Sahib radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Beliau ra menulis, “’Dzikri habib kam nehi washli habib se’ – “Mengenang atau menyebut-nyebut kekasih (orang yang dicintai) tidaklah sepadan atau seimbang dengan [rasa bahagia] berjumpa dengan kekasih.” Hati seorang pecinta selalu teringat kepada orang yang dicintainya, suka menyebut-nyebutkannya dan hati sendu terganggu dengan dirinya. Saya sangat berminat (terkesan, hati ada yang mengganjal atau terganggu) untuk mengisahkan pengalaman saya bersama habiibuna (kekasih kami), muthaa’ina (yang kami taati) dan sayyiduna (junjungan kami), Hadhrat Masih Mau’ud as yang merupakan insan agung yang menjadi buruuzi kamil (bayangan sejati) dan mazhhar jamaal (manifestasi keindahan) dari utusan Tuhan Rahman dan Rahim, Sardari Anbiyaa (pemimpin para nabi), Aqa Mahbub o Muthaa’ (Junjungan tercinta yang ditaati), Hadhrat Nabi karim Muhammad Mushthafa saw sebagaimana seseorang yang tidak merasa sendu bila mengenang seseorang yang dicintai maka di sana tidak akan nampak kelezatan tatkala mengenangnya. Akan tetapi, saya mengkhawatirkan ingatan saya yang lemah sedangkan kebersamaan saya dengan Hudhur as telah lama berlalu. Yakni, dari akhir tahun 1902 hingga sekitar akhir tahun 1903 sekitar setahun waktu berbahagia ketika saya masih berusia 24 (dua puluh empat) tahun. Pada hari-hari itu, khaksar (hamba yang hina dan rendah) bersama pamanda, Sayyid Ahmad Husain Shahib almarhum, hanya kami berdua tamu orang Kathaki yang diterima Hadhrat Masih Mau’ud as, mungkin karena datang dari Kathak, kami pun akan merasa kesusahan bila selama beberapa bulan makan tanpa nasi. Sebab, kami berasal dari daerah Orissa yang penduduknya biasa sering memakan nasi. Maka makanan nasi selalu datang dan Hudhur as menekankan kepada Sayyid Najmuddin agar melakukan ‘mehman nawasi’ (penghormatan kepada tamu sebaik-baiknya) seperti yang biasa dijelaskan oleh almarhum Najmuddin kepada kami, ‘Mengenai kalian berdua, Hadhrat Ji sangat menekankannya.’”
Kemudian demikianlah perkataan Sayyid Akhtaruddin Shahib, “Khaksar ini ketika masih menjadi pelajar biasa mengikuti dars-dars yang disampaikan oleh Hadhrat Khalifatul Masih al-Awwal (I) radhiyallahu ta’ala ‘anhu. Beliau, Hadhrat Khalifatul Masih I dengan kasih sayang biasa berbincang-bincang dengan ‘ajiz (hamba yang lemah) ini. Tatkala Hadhrat Walid Majid ra (ayahanda) dan Hadhrat Walidah Majidah ra (ibunda) – رب ارحمهما كما ربياني صغيرا – ‘Rabbi arhuma kama rabayani saghira’ – “Ya Allah kasihanilah kedua-orang tua kami sebagaimana mereka telah memelihara diriku sewaktu kecil” memerintahkan saya untuk pulang ke rumah maka saya bertanya kepada beliau ra, ‘Perjalanan pulang ke rumah dan balik lagi ke sini memakan perongkosan yang begitu besar, untuk kembali lagi ke Qadian Darul Aman sepertinya nanti sangat berat.’ Hudhur ra berkata, ‘Jika tuan sudah siap untuk kembali lagi ke sini, beritahu saya segera lewat surat, agar saya dapat mengirim ongkos perjalanan.’ Kemudian ketika kedua orang tua menyuruh saya pulang ke rumah dan saya akan pulang ke rumah maka saya berkata kepada Khalifah Awwal ra, ‘Dikarenakan pengeluaran cukup besar maka saya akan kesulitan balik lagi ke Qadian.’ Maka Hadhrat Khalifah Awwal bersabda, ‘Berilah kabar kalau mau berangkat ke sini, saya akan mengirim biaya perjalanan.’ Pada waktu hamba yang lemah ini pada hari-hari itu Masjid Mubarak masih berukuran kecil dan di bagian pojoknya saya biasa mengerjakan shalat. Beliau ra datang dari arah timur bagian belakang meletakkan kedua tangan mubarak beliau ke bahu saya lalu berkata dengan penuh kasih, ‘Akhtaruddin! Saya mendengar, tuan sudah banyak belajar Alqur’an dari beberapa orang ustadz besar (saya waktu itu belajar ke banyak ustadz). Khalifah Awwal ra bersabda kepadanya, وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ‘wattaqullooha wa yu’allimukumullooh’ – “…bertakwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarkanmu (memberikanmu ilmu pengetahuan)..” [10]
Inilah syarat mendasar untuk memahami Alqur’an. Para sahabat sangat gemar membaca Alqur’an. Mereka biasa belajar juga dari Hadhrat Khalifah Awwal ra. Kemudian mereka mencari hal lainnya dengan niat untuk meningkatkan kemampuan. Akan tetapi Hadhrat Khalifatul Masih Awwal (I) menasehati agar banyak berdoa, supaya Allah Taala sendiri yang memberikan ilmu-Nya. Sehingga mereka pun memperoleh ma’rifat ilmu Al Qur’an]
[6] Kemudian riwayat tentang Hadhrat Khairuddin Sahib radhiyallahu ta’ala ‘anhu putra dari Mustaqim Shahib. Beliau baiat pada tahun 1906 dan pada tahun itu juga mendapat taufik untuk berjumpa dengan Hadhrat Masih Mau’ud as. Katanya, “Pada suatu hari setelah shalat Maghrib Hadhrat Masih Mau’ud as duduk-duduk bersama kami di dalam mesjid Mubarak. Kebetulan di mesjid itu tidak ada alat penerang (lampu). Beberapa orang duduk berdekatan dengan Hadhrat Sahib dan saya juga ada di sana. Seorang Sahabat berkata, ‘Hudhur, seorang Maulwi bukan Jemaat berkata, Hadhrat Isa Almasih as bisa menciptakan binatang.’ Hudhur as bersabda, ‘Shaikh Sahib! Tuhan adalah Khaliq (Pencipta) dan apakah Almasih juga Khaliq (pencipta)?’
Beliau hanya berkata satu kalimat saja. Periwayat ini menulis, “Saya tidak dapat mengenal siapa Sheikh Sahib yang tadi bertanya itu. (karena keadaan gelap) Kemudian Sheikh Sahib tidak berkata lagi. Hudhur as untuk kedua kalinya bersabda, ‘Para maulwi (dai, mubaligh) kita hendaknya mempergunakan kata-kata yang singkat dalam perdebatan atau diskusi (ringkas berisi).’ Yakni, beliau mengatakan adalah suatu hal yang ajaib bahwa Isa Almasih bisa membuat burung-burung, biasa menciptakan, biasa membuat binatang. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Tuhan adalah Khaliq (yakni Pencipta adalah sifat Tuhan) apakah Almasih juga khaliq atau pencipta? Katakanlah, setelah saudara menjadi Muslim namun [dengan mempercayai hal itu] tidak sadar telah terlibat dalam perbuatan syirik ini.” Kemudian bersabda, “Kadangkala jawaban yang singkat seperti itu sangat berguna di waktu melakukan tabligh.” Beliau as bersabda, “Dikarenakan pembahasan yang panjang topik bahasan malah menjadi semakin rumit.”
Setelah itu Hadhrat Khairuddin ra (ejaan Urdu dari nama ini ialah Khair Din) menulis, “Saya kembali ke kampung halaman saya. Saya sangat suka sekali belajar Alqur’an. Pada suatu ketika Hudhur as bersabda di dalam ru’ya (mimpi) kepada saya, ‘Datanglah engkau ke Qadian kami akan mengajar engkau Alqur’an!’ (Beliau melihat ru’ya itu ketika Hadhrat Masih Mau’ud as sudah wafat.) Setelah itu saya melihat sebuah mimpi lagi bahwa saya datang berhijrah ke Qadian ke tempat yang sekarang diberi nama Nasir Abad. Ketika saya sedang menurunkan barang-barang di tempat itu saya bertanya, ‘Apakah nama tempat ini?’ Maka terdengar suara dari langit dalam bentuk suatu benda, seakan-akan benda itu keras bentuk dan rupanya seperti sebuah bola (bola kaki). Suara keluar dari benda itu begini, ‘Tempat ini dimana engkau sedang menurunkan barang-barang namanya hutan Ibrahimi. Turunkanlah barang-barang engkau di sini.’ Seolah-olah Allah Ta’ala memberi tahu saya bahwa nama Hadhrat Shahib adalah Ibrahim. Pada waktu itu saya belum tahu bahwa Hadhrat Shahib as pernah bersabda,
‘Me kabhi Aadam, kabhi Musa, kabhi Ya’qub huu’, nez Ibrahim huu’ nasle hei’ meri be syumaar’ – “Kadang aku Adam, kadang aku Musa, kadang aku Yakub dan kadang aku Ibrahim, keturunanku tidak terhitung banyaknya.” [11]
Selanjutnya Hadhrat Khairuddin menulis, “Jadi Allah Ta’ala telah memberi pesan kepada saya melalui suara bahwa nama-nama itu juga adalah nama Hadhrat Masih Mau’ud as.”
Pemandangan dukungan ilham-ilham perihal Hadhrat Masih Mau’ud as dan nama-nama beliau itu, Allah Ta’ala memperlihatkannya melalui para Sahabat beliau as juga.
Hadhrat Khairuddin selanjutnya berkata, “Saya tidak menganggap diri saya suci bersih, saya orang yang mempunyai banyak dosa. Sekarang apa yang akan saya sampaikan sasungguhnya betul-betul berkat cahaya nubuwwah dari Hadhrat Masih Mau’ud as bukan dari saya sendiri, sebab beliau as telah bersabda,
‘Me woh huu nur-e-khuda jis se huwa din aasykar’ – “Aku adalah nur Tuhan yang karenanya hari menjadi terang.”
Suatu hal yang meyakinkan bahwa barangsiapa yang menjalin hubungan dengan nur ia pasti akan mendapat bagian dari nur itu. Tengoklah, betapa jelasnya perkataan saya. Nur itu dapat diraih sesuai dengan kemampuan setiap orang. Kami (Hadhrat Khairuddin) sebelumnya tidak tahu apa yang disebut ilham itu, apa yang disebut kasyaf itu, apa yang disebut ru’ya sadiqah. Sekarang dengan karunia Allah Ta’ala berkat bergandeng tangan dengan utusan Tuhan ini kita bukan hanya menjadi tahu apa artinya ilham itu dan bukan hanya tahu apa kasyaf itu, dan bukan hanya tahu apa arti ru’ya sadiqah itu, melainkan kami mengalami ketiga-tiganya telah terjadi pada diri kami.” [12]
Itulah revolusi (perubahan besar) yang ditimbulkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as dalam diri para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum. Tentang Hadhrat Khalifatul Masih I ra juga terdapat banyak kejadian yang telah kita dengar. Ada seorang yang bertanya kepada Hadhrat Khalifatul Masih I ra, “Sebelum ini Hadhrat Maulwi Sahib sangat saleh sekali. Sekarang apa yang telah Tuan peroleh setelah baiat kepada Mirza Sahib?” Hadhrat Khalifah I ra bersabda, “Perhatikanlah! Tentunya banyak sekali apa yang telah saya peroleh, saya sampaikan satu faedah saja. Sebelumnya, saya sering berjumpa dengan Hadhrat Rasulullah saw dalam mimpi. Namun, sekarang [setelah berjumpa dengan Hadhrat Mirza Sahib as] saya berjumpa dengan Hadhrat Rasulullah saw bukan dalam mimpi lagi tetapi dalam keadaan mata terbuka, dalam keadaan bangun, dalam keadaan kasyaf. Demikianlah sebuah perubahan besar dalam diri saya yang telah ditimbulkan oleh Hadhrat Mirza Shahib.” [13]
Hadhrat Khairuddin Sahib ra menulis lagi, “Sekarang kami dengan haqqul yaqin dapat menjelaskan kebenaran tentang kejadian itu semua. Misalnya ketika saya sedang duduk di mesjid Mubarak kira-kira waktu zhuhur saya menerima sebuah ilham, “أولئك هم المفلحون.” ’ulaaika humul muflihuun’ – “Mereka itulah orang-orang yang berjaya (berhasil).” Dalam ilham ini diberitahukan bahwa orang-orang Jemaat juga adalah orang-orang yang berjaya, memperoleh kemenangan.” Jadi, kita sedang menyaksikan orang-orang yang nampaknya sederhana namun akhir kehidupan mereka demikian baik. Dan mereka sedang melakukan pekerjaan yang baik-baik. Dan dalam doa-doa mereka itu mengandung kemaqbulan yang mengesankan.
Suatu ketika saya (Hadhrat Khairuddin ra) berdoa, ‘Ya Allah! Bagaimanakah caranya untuk meraih qurb (kedekatan0 Engkau? (Hudhur atba: Perhatikanlah bagaimana keinginan-keinginan orang-orang itu, para sahabat ra. Bagaimana cara dan jalan agar hubungan dengan Allah semakin maju atau meningkat.) Maka Allah Ta’ala berfirman menjawab pertanyaan saya itu, ‘Untuk meraih qurb Kami Ada dua maçam cara yaitu, bayarlah candah dan kerjakanlah tabligh! Itulah dua maçam cara sebagai yang sangat Kami sukai.’ [Setelah jawaban Allah tersebut] Maka saya berkata lagi, ‘Wahai Allah! Saya tidak berpendidikan banyak, bagaimana saya bisa bertabligh?’ Allah Ta’ala berfirman kepada saya sebagai jawaban, ‘Kami sudah mengajarkan engkau Alqur’anul Karim.’ Setelah menerima jawaban dari Allah Ta’ala itu tiba-tiba maksud ayat berikut ini telah jelas sekali kepada saya, وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى ‘Wamaa romaita idz romaita walakinallah rama’ – “Bukanlah engkau yang melempar ketika engkau melempar melainkan Allah yang melempar.” (surah al-Anfal, 8 : 18) Dan pada waktu itulah maksud ayat ini sudah terpecahkan. Sebab, ketika saya berada di kampung saya melihat mimpi berjumpa dengan Hadhrat Masih Mau’ud as dan beliau as bersabda, ‘Datanglah engkau ke Qadian kami akan mengajar engkau Alqura’nul Karim.’ Sekarang perhatikanlah bagaimana yang berjanji Hadhrat Masih Mau’ud as akan tetapi yang menjawab Allah Ta’ala, ‘Kami telah mengajar engkau Alqur’anul Karim.’ Maka sekarang saya sedang menyaksikan, dengan karunia Allah Ta’ala sesuai dengan kemampuan saya siapa saja yang ingin belajar Alqur’anul Karim saya dapat mengajarnya. Maka sekarang di Mehman Khana (tempat tamu) pada waktu pagi saya mengajar Alqur’anul Karim beserta terjemahannya selama satu jam sampai satu jam setengah. Ketika Allah Ta’ala berfirman, ‘Kami telah mengajar engkau Alqur’anul Karim.’ Dia juga berfirman, ‘Apakah engkau tidak membaca kisah Ad dan Samud dalam Alqur’anul Karim? Bacalah satu ruku dan ajarkan kepada manusia bagaimana akibat orang-orang yang melawan para Nabi Allah?’ Demikian juga mengenai doa Janab Ilahi (Allah Ta’ala) berfirman, ‘Makanlah ghi (minyak samin) banyak-banyak.’ Lalu saya bertanya, ‘Apa yang dimaksud dengan memakan ghi (minyak samin) itu?’ Allah Ta’ala menjawabnya tiga hari kemudian kepada saya, firman-Nya, ‘Banyak makan ghi maksudnya banyak-banyaklah berdoa.’ Kalimat ini diturunkan kepada saya di dalam Bahasa Punjabi, ‘Di dalam rumah yang banyak memanjatkan doa rumah itu selalu maoj (Punjabi) sejahtera.’ Kemudian saya mendengar suara ini juga, ‘Orang yang tidak diajak bicara oleh Tuhan ia bukanlah orang Islam.’ (Hudhur atba: Maka kita juga jika ingin mendapat kesejahteraan harus penuhi rumah kita dengan doa.) Apakah orang seperti saya (Hadhrat Khairuddin) dapat menda’wakan bahwa hal itu timbul karena kekuatan saya? Bahkan jelas sekali bahwa ini berasal dari nur nubuwwah, maka untuk itu saya ulangi sabda Hadhrat Masih Mau’ud as beliau bersabda, ‘Me woh paani huu aya asmaan se waqt par. Me huu nur-e-khuda jis se huwa din asykar.’ – “Aku adalah air yang turun dari langit pada waktunya. Aku nur Tuhan yang karenanya hari (dunia) menjadi terang.” [14]
[7] Hadhrat Hafiz Nabi Baksy Shahib radhiyallahu ta’ala ‘anhu putra dari Hafiz Karim Baksy penduduk yang tinggal Faidhullah Cak. Beliau berjumpa dengan Hadhrat Masih Mau’ud as sebelum da’wa beliau as dan beliau baiat di waktu permulaan sekali. Putra beliau Hakim Fazlur Rahman muballigh Afrika menulis, ” Beliau sangat mencintai Hadhrat Masih Mau’ud as Beliau mempunyai tabiat sangat hati-hati yaitu apabila beliau berdiri untuk memperdengarkan keadaan Hadhrat Masih Mau’ud as beliau selalu berkata: Saya tidak percaya penuh terhadap daya ingatan-ku, jangan-jangan saya salah dalam mengutarakan sesuatu tentang Hudhur as Beliau bekerja sebagai pengawas irigasi (pengairan). Beliau bekerja keras setiap hari. Pada bulan Juni di kala musim panas sangat terik sekali beliau harus berjalan jauh berkeliling mengawasi daerah pengairan beliau. Oleh karena itu badan beliau menjadi sangat penat dan lelah, namun pada malam hari beliau pasti bangun untuk menunaikan shalat tahajjud. Kami anak-anak juga dengan tegas harus ikut bangun untuk shalat tahajjud. Dimusim panas yang sangat terik juga beliau tetap berpuasa dibulan Ramadhan dengan teratur. Dimusim dingin beliau bangun tahajjud dan biasanya beliau membaca ayat-ayat Alqur’an diwaktu tahajjud dengan suara keras dan anak-anak juga semuanya diajak shalat tahajjud bersama. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang Hafiz Alqur’an. Beliau sangat menekankan agar kami, anak-anak semua melaksanakan puasa Ramadhan dan menunaikan shalat. Dan beliau mengawasi kami dalam pelaksanaan kewajiban itu. Dan beliau sangat marah sekali jika melihat kami malas. Dengan teratur beliau mengajar kami Alqur’an dan apabila pada siang hari tidak ada waktu disebabkan sibuk dengan pekerjaan beliau maka beliau mengajar kami di waktu malam. Kami tiga bersaudara, yang paling besar Abdur Rahman ra beliau meninggal di Qadian pada tahun 1907 ketika masih belajar di Qadian. Kami berdua, saya dan Habibur Rahman juga belajar di Qadian. Ketika abang kami paling besar meninggal dunia kedua kakak perempuan kami sudah bersiap-siap akan melangsungkan pernikahan mereka. Dan untuk maksud itu kami semua sudah datang kekampung halaman kami dari tempat kerja orang tua kami. Barrat (besan) salah seorang kakak perempuan kami sudah datang dari Kampung Jalandhar. Ketika tiga hari lagi Barrat mau datang abang kami Abdurrahman meninggal dunia di Qadian. Disebabkan musibah kematian itu dari pihak lelaki meminta agar hari pernikahan diundurkan beberapa hari lagi. Mereka sendiri yang mangajukan permintaan. Akan tetapi ayah kami berkata: Kematian adalah taqdir Ilahi, pernikahan anak-anak tidak akan dirubah waktunya, datanglah Barrat beserta semua rombongan kemudian bawalah anak perempuan kami setelah Rukhstanah. Maka tiga hari setelah kematian anak paling besar itu dua orang perempuan beliau telah melangsungkan pernikahan mereka. Padahal tiga hari setelah ditinggal kematian seorang anak keadaan keluarga sangat sulit sekali dan menjadi suatu ujian atau percobaan bagi keluarga.
Beliau mengalami kehidupan dalam masa dua orang Khalifah yakni, Khalifah pertama dan Khalifah ke dua. Selama itu dengan karunia Allah Ta’ala beliau tidak pernah mendapat suatu kesulitan atau suatu ujian dari Allah Ta’ala. Dan tidak pula beliau merasa ragu atau goncang pikiran beliau setelah baiat kepada Khalifah pertama maupun kepada Khalifah ke II ra Dalam mencintai Khilafat beliau telah menunjukkan teladan yang baik kepada saya bahwa saya (Fadhlur Rahman) mendapat karunia dua kali pergi ke Afrika Barat untuk bertabligh, pertama kali ketika saya tinggal disana selama delapan tahun lamanya dan sekarang juga sudah tujuh tahun lamanya bertugas disana, beliau senantiasa memberi nasihat kepada saya: Jangan sekali-kali menunjukkan perangai tidak sabar. Apabila sudah diterima perintah dari Hadhrat Khalifatul Masih untuk kembali barulah engkau boleh kembali, yakni jangan berkata apa-apa tentang ini atau jangan mengajukan permohonan. Selama bekerja beliau selalu membeli surat-surat kabar Jemaat dan dengan teratur membayar candah setiap bulan. Beliau banyak membantu orang-orang miskin, sangat baik dan ramah melayani tetamu yang datang kerumah beliau dan dengan karunia Allah Ta’ala beliau telah berwasiyat, semua tanah milik beliau telah diwasiyyatkan.[15]
Sahabat yang telah saya sebutkan ini mempunyai seorang cicit beliau bernama Umair bin Malik ‘Abdur Rahim Shahib yang telah mendapat martabat syahid di Masjid di Model Town, Lahore ketika terjadi penyerangan teroris brutal ke masjid itu pada tanggal 28 Mei 2010. Beliau (Umair) mempunyai dua orang anak yang masih kecil-kecil. Semoga Allah Ta’ala menjadi pelindung dan penolong mereka ini. Bagi seluruh syuhada dan bagi para syuhada yang masih muda (pertengahan umur) harus didoakan semoga Allah Ta’ala menjadi penolong dan pelindung bagi anak-anak dan istri-istri mereka [yang telah menjadi janda]. Semoga mereka diberi kesabaran dan ketabahan. Dan bagi para janda yang masih muda semoga Allah Ta’ala menyediakan risyta (jodoh) bagi mereka.
[8] Hadhrat Muhammad Yaqub Shahib ra ayahanda Siraj Din Shahib yang baiat pada tahun 1900 dan pada tahun 1904 beliau mengunjungi Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau ra menulis, “Hadhrat Masih Mau’ud as sangat kasih sayang terhadap anak-anak kecil, beliau mengangkat dan memangku anak kecil lalu diletakkan diatas pangkuan beliau. Masih teringat ketika saya masih kecil bermain diatas pangkuan Hudhur as. Wajah Hudhur as bercahaya seperti nur ‘ala nur. Semenjak kecil kami mengetahui Hudhur as mencintai kami melebihi ibu bapak kami. Bila saja Hadhrat Masih Mau’ud as pergi ke Lahore, beliau datang ke rumah kami sehingga kami merasa gembira dan bangga, kedatangan beliau menjadikan rumah kami yang asing (sepi) menjadi terasa ramai. Pada suatu hari Hudhur as pergi berjalan-jalan keliling kota seperti kebiasaan beliau as dan kendaraan yang ditumpangi Hudhur as selalu tertutup. Pada saat kepulangan beliau as (saat-saat beliau as biasa sudah pulang dari jalan-jalan) seluruh keluarga yang diantara mereka ayahanda Sirajuddin Shahib almarhum, pamanda Mia Mirajuddin Shahib dan Mia Tajuddin Shahib serta anggota keluarga lainnya sedang menanti-nanti kedatangan Hudhur as. Di depan rumah kami ada taman milik negara. Jalan di taman itu mengarah langsung ke rumah kami di mana segerombolan orang bengal (jahat) yang diupah dari kelompok ‘Moji Darwazah Bhati Darwazah’ berkumpul. Ketika Hudhur as sudah sampai lalu menaiki tangga masuk ke dalam rumah kemudian gerombolan orang-orang nakal yang diupah mulai melempari rumah dengan batu. Dalam keadaan demikian ayah saya beserta paman-paman saya berunding apa yang harus dilakukan menghadapi mereka itu. Di waktu itu ayah menyerahkan saya (masih anak-anak) kepada seorang pembantu laki-laki guna dipegang sembari berkati, ‘Angkatlah anak kecil ini!’ waktu itu saya pun sedang sakit dan seorang pembantu lelaki mengambil saya dalam ikatan gendongan sementara ayah membalas segerombolan orang itu dengan berani [untuk menghalau mereka sampai mereka kocar-kacir]. Setelah ayah membalas, gerombolan orang tersebut cerai-berai berlarian maka Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Sekarang biarkanlah mereka pergi.”
Beliau menulis, “Suatu kali hamba yang lemah bersama ayahanda. Hudhur as sedang ada di rumah kami. Sembari berjalan beliau meletakkan kertas, pena dan tinta di satu tempat lalu menulis sesuatu. Ayahanda bertanya meminta nama untuk anak perempuan beliau, lalu beliau as bersabda, ‘Aminah Begum.’”
Kemudian salah satu riwayat beliau, “Apabila pergi ke Qadian bersama ayah saya pada waktu saya masih kecil, hamba yang lemah ini selalu pergi ke klinik (tempat pengobatan yang dikelola) Hadhrat Khalifatul Masih I ra dimana beliau biasa melakukan pengkhidmatan pengobatan. Hadhrat Khalifatul Masih I ra sering mengangkat saya ke atas pangkuan beliau dengan sayang. Beliau sering terlihat selalu membaca Alqur’an dan mengajar Alqur’an kepada anak-anak. (Hadhrat Khalifatul Masih I ra sering mengangkat anak-anak ke atas pangkuan beliau dengan sayang. Bila tidak ada orang sakit yang beliau periksa atau diobati, beliau sering terlihat selalu membaca Alqur’an dan mengajar Alqur’an kepada anak-anak.) Dari klinik Hadhrat Khalifatul Masih ra saya pergi ke Mesjid Mubarak di sana berjumpa Hadhrat Masih Mau’ud as dan beliaupun mendudukkan saya di dekat beliau as kemudian Hudhur bertanya tentang keadaan saya dan sebagainya. Pada waktu itu di masjid Mubarak ramai dengan para tamu. Qadian merupakan tempat atau kampung kecil saja. Adalah benar-benar tidak dapat dibayangkan bagaimana ilham Hudhur dapat sempurna secara gemilang. Ayahanda almarhum sangat mencintai Hudhur as. Beliau ra termasuk diantara para pembantu beliau yang awal. Ayahanda almarhum biasa berkata (mengabarkan) kepada saya mengenai zaman kemenangan dan pertolongan pada masa Hadhrat Khalifatul Masih II ra begitu banyak hal yang disampaikan ayahanda yang kata beliau akan kami saksikan. (yakni, beliau sebelumnya telah menyampaikan) Beliau meyakini Hadhrat Masih Mau’ud as dan dikarenakan yakin akan ilham-ilham beliau as bahwa hal tersebut akan sempurna lalu berkata bahwa kami akan menyaksikan kesempurnaannya ” [16]
Demikianlah kisah para sahabat yang setelah baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as mengadakan perubahan suci bersih pada diri mereka kemudian menjalin hubungan erat dengan Allah Ta’ala. Dan keimanan mereka kepada beliau as demikian kuat dan teguh sehingga tidak ada orang yang mampu menggoncang pendirian atau iman mereka itu. Mereka menjadi penggugah ingatan kita terhadap semangat keagamaan quruun aula (generasi pertama, para sahabat Rasulullah saw yang hidup di abad pertama Islam). Mereka telah menyerap dan meraih pemahaman atas apa yang telah disabdakan Hadhrat Masih Mau’ud as ini, “Apabila Allah Ta’ala telah mendirikan Silsilah Ahmadiyah ini dan Dia telah menzahirkan beribu macam tanda-tanda untuk mendukung kebenarannya, maka Jemaat ini telah menjadi Jemaat para sahabat sehingga nampaklah zaman khairul qurun (generasi terbaik, awwalin Islam). Orang-orang yang masuk ke dalam Silsilah (mata rantai) ini sesungguhnya mereka telah masuk ke dalam آخرين منهم ‘aakhariina minhum’ – “Kaum akharin dari antara mereka, yaitu para sahabat.”. Oleh sebab itu hendaknya mereka harus meninggalkan pakaian dusta yakni adat kebiasaan buruk di masa lampau kemudian pusatkanlah semua perhatian terhadap Allah Ta’ala.” [17]
Para sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as seperti telah saya sampaikan, telah menyempurnakan dan memperlihatkan ajaran dan harapan beliau as ini. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik kepada kita agar kita menjalani perubahan suci dalam diri kita dan menjadi orang yang memiliki keteguhan.
Insya Allah, mulai hari lusa bahkan mulai dari besok pukul 12.00 tengan malam kita akan memasuki tahun baru. Semoga Allah Ta’ala menjadikan pada tahun ini akan membawa lebih banyak berkat bagi Jemaat melebihi sebelumnya, semoga Allah Ta’ala menahan tangan para penentang dan semoga Allah Ta’ala mengadakan taufik dan menciptakan bagi mereka sarana-sarana untuk mengenal kebenaran. Semoga Allah Ta’ala selalu menurunkan keberkatan yang tak terhingga kepada setiap Ahmadi secara perorangan maupun secara Jemaat.
Setelah shalat-shalat saat ini saya akan memimpin shalat jenazah untuk seseorang, Mukarram Jamaluddin Shahib, auditor Sadr Anjuman Ahmadiyah Pakistan. Mukarram Jamaluddin Shahib lahir di Qadian pada 15 Desember 1938. Beliau kelahiran Ahmadi. Beliau pada umur delapan belas tahun sudah berkhidmat kepada Jemaat. Beliau wafat pada 27 Desember 2011 pada umur 73 tahun. إنا لله وإنا إليه راجعون ‘inna lillaahi wa inna ilaihi raji’uun’.
Dengan karunia Allah Ta’ala beliau adalah seorang musi. Dikuburkan di pemakaman Bahisyti Maqbarah, Rabwah. Sekitar 55 tahun mendapat taufik terus-menerus berkhidmat dalam Jemaat. Pada berbagai waktu di berbagai kantor beliau bekerja yang diantaranya di bagian Jaidad, kantor Wasiyyat, Darudh Dhiyaafat, kantor Sekretaris Pribadi, termasuk juga di Nazhaarat Khidmati Darweisy. Pada bulan Juli 2003 ditugaskan sebagai Auditor Sadr Anjuman Ahmadiyah dan hingga wafat masih mendapat kesempatan berkhidmat di bagian itu. Dari April 2008 sampai Juni 2009 menjabat sebagai officer Muhasib dan Provident Fund. Seorang bertabiat pendiam, menjalani hidup dengan sederhana dan berjiwa mulia. Biasa memperlakukan teman sejawat (sekerja) dengan sangat baik. Menyampaikan sikap simpati dan penuh kecintaan kepada setiap orang. Selalu memperlakukan anak istri, keluarga dan kawan-kawan dengan kebaikan dan penuh cinta. Dengan karunia Allah, beliau seorang yang sangat berani. Rajin dan disiplin melaksanakan shalat, puasa dan tahajjud. Seorang pecinta Khilafat yang asyik dan luar biasa. Dengan karunia Allah, beliau seorang bekerja giat dalam tugas kewajibannya dan tidak pernah memperlihatkan kemalasan. Selalu memprioritaskan (mendahulukan) pekerjaan Jemaat dibanding kepentingan pribadi beliau dan dengan jiwa wakaf yang sejati beliau senantiasa mengerjakannya serta dengan penuh kerendahan hati mengerjakannya. Kepada siapa seorang atasan membawahi beliau, beliau selalu menaatinya. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat-derajat beliau; memperlakukan dengan penuh rahmat dan maghfirat. Istri beliau sebelumnya telah wafat. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada anak-anak beliau agar berlaku sabar, tabah, penuh pengharapan dan selalu dalam kebaikan. [aamiin]
Alihbahasa oleh Mln. Hasan Basri, Shd
Redaksi Khotbah Jum’at
[1] Semoga Allah Ta’ala mengokohkannya dengan pertolongan-Nya yang agung
[2] Malfuuzhaat jilid 1 halaman 431 Edisi 2003 terbitan Rabwah
[3] Register Riwaayaat Shahabah Hadhrat Masih mau’ud ghair mathbu’ah jlid 11 halman 209-210 riwayat Hadhrat Maulwi Shufi Atha Muhammad Shahib
[4] Ibid.
[5] Maktuubaat Ahmad jilid 2 halaman 291 Maktub banaam Hadhrat Nawab Muhammad Ali Khan shahib maktub nomor 80, terbitan Rabwah
[6] Register Riwaayaat Shahabah, op.cit., jlid 12 halaman 68, riwayat Hadhrat Khalifah Nuruddin
[7] Register Riwaayaat Shahabah, op.cit., jlid 12 h. 276-277, riwayat Hadhrat Maulwi Jalaluddin Shahib ra menurut penjelasan Mia Syarafat Ahmad
[8] Register Riwaayaat Shahabah, op.cit., halaman 280-281
[9] Register Riwaayaat Shahabah, op.cit., jlid 7 h. 285, riwayat Hadhrat Shufi Ghulam Muhammad ra
[10] Register Riwaayaat Shahabah, op.cit., jlid 7 h. 212-213, riwayat Hadhrat Sayyid Akhtaruddin Ahmad Shahib ra
[11] Register Riwaayaat Shahabah, op.cit., jlid 7 h. 154, riwayat Hadhrat Khair Din Shahib ra
[12] Register Riwaayaat Shahabah, op.cit., h. 154-155
[13] Hayaat-e-Nur oleh Abdul Qadir halaman 194, Terbitan Rabwah
[14] Register Riwaayaat Shahabah, op.cit., h. 155-156
[15] Register Riwaayaat Shahabah, op.cit., jilid 12 h. 1 s.d. 3, riwayat Hadhrat Hafizh Nabi Baksy Shahib ra
[16] Register Riwaayaat Shahabah ra Hadhrat Masih Mau’ud as, ghair mathbu’ah jilid 7 halaman 128-129 Riwayat Hadhrat Muhammad Ya’qub Shahib
[17] Malfuuzhaat jilid 2 halaman 67, edisi 2003, cetakan Rabwah