Dialog Keberadaan Tuhan: Ateisme atau Teisme, Mana yang Berbasis Bukti?

dialog keberadaan Tuhan

Dialog antara Dr. Arif Ahmed (Ateis [tidak percaya keberadaan Tuhan]) dan Ayyaz Mahmood Khan (Teis [percaya keberadaan Tuhan dari Muslim Ahmadiyah])

Penerjemah: Dildaar Ahmad Dartono, Muballigh Muslim Ahmadiyah di cabang Piyungan-Bantul-Daerah Istimewa Yogyakarta

Ateisme atau Kepercayaan: Mana yang Berbasis Bukti?

“Dapatkah kita membuktikan bahwa Tuhan itu ada?” adalah pertanyaan yang sering terdengar di sekolah, universitas, tempat ibadah, dan tempat lainnya. Jawabannya tidak hanya memengaruhi perorangan tetapi juga budaya sosial, politik, dan ilmiah kita secara umum. Apakah kepercayaan kepada Tuhan terbatas pada ranah spekulasi dan iman, atau dapatkah itu didasarkan pada bukti yang objektif?

Pertanyaan-pertanyaan ini dan masih banyak lagi yang lain diungkap dalam acara “Real Dialogue” yang menarik dan menggugah pada tanggal 1 April 2015, dengan Dr. Arif Ahmed, Dosen Filsafat Senior di Universitas Cambridge dan Ayyaz Mahmood Khan, Teolog dan Sarjana Agama Komparatif, pada topik “Ateisme atau Teisme: Mana yang Berdasarkan Bukti?”

Acara ini dipimpin oleh Catrin Nye, reporter berita BBC dan pembuat dokumenter.


Ateisme atau Kepercayaan: Mana yang Berbasis Bukti?

(Pidato disampaikan oleh Dr. Arif Ahmed, bahasa Inggris)

Tentang Penulis: Dr. Arif Ahmed mempelajari matematika di Universitas Oxford dan filsafat di Sussex dan Cambridge. Ia pernah bekerja di Universitas Birmingham dan Universitas Sydney dan sekarang menjadi Dosen Senior Filsafat di Universitas Cambridge. Ia menulis terutama tentang teori keputusan, yang membahas tentang bagaimana orang bertindak dan bagaimana mereka harus membuat keputusan dalam menghadapi ketidakpastian. Ia juga tertarik pada agama dan pernah berdebat tentang subjek tersebut dengan William Lane Craig, Tariq Ramadan, Rowan Williams, dan lain-lain. Ia adalah seorang ateis dan penganut paham libertarian dan pandangan filosofisnya paling erat kaitannya dengan pandangan David Hume dan Friedrich Hayek.

Topik yang kita bahas malam ini adalah apakah bukti mendukung agama atau ateisme. Saya pikir saya harus mulai dengan mengatakan bahwa kita tidak membahas berbagai topik lain yang mungkin membingungkan pertanyaan ini. Pertama, kita tidak membahas pertanyaan apakah agama menjawab kebutuhan terdalam di dalam jiwa manusia atau apakah agama membuat kita menjadi orang yang lebih baik jika kita mempercayainya. Kita juga tidak membahas apakah agama itu baik bahkan bagi orang yang tidak percaya jika mereka berada di sekitar orang yang percaya pada agama. Ini semua adalah pertanyaan yang menarik dan berharga yang banyak dibahas, tetapi ini bukanlah pertanyaan yang bisa didiskusikan. Pertanyaannya adalah apakah kepercayaan pada agama didukung oleh bukti.

Hal lain yang perlu saya catat adalah bahwa ketika saya berbicara tentang agama, saya tidak bermaksud sesuatu yang metaforis. Dengan kata lain, saya tidak merujuk pada penafsiran metaforis atas klaim-klaim keagamaan yang telah terkuras dari konten supranatural apa pun dan hanya menjadi metafora untuk sesuatu yang lain. Hampir semua klaim palsu dapat dianggap sebagai ekspresi metaforis atas kebenaran dalam satu bentuk atau lainnya, tetapi beberapa hal terpenting tentang agama akan hilang jika kita menafsirkannya dalam istilah metaforis semata. Misalnya, jika Anda berpikir bahwa agama adalah salah satu sumber penghiburan saat menghadapi kematian—entah itu kematian diri sendiri atau kematian orang yang Anda cintai—tidak mungkin untuk dihibur oleh metafora—paling tidak, tidak mudah untuk dihibur oleh metafora. Yang membuat perbedaan adalah keyakinan sejati, misalnya, tentang kehidupan setelah kematian.

Demikian pula, jika Anda menganggap bahwa agama adalah sesuatu yang memotivasi orang untuk berperilaku baik terhadap satu sama lain, atau bahwa agama membuat kita menjadi baik dalam hal lain, Anda mungkin berpikir lebih masuk akal untuk menganggap bahwa orang berbuat baik karena mereka sungguh-sungguh percaya bahwa mereka menjalankan tugas mereka sebagaimana yang telah ditetapkan Tuhan, daripada bahwa mereka hanya bertindak sesuai dengan metafora. Jadi saya tidak akan peduli dengan penafsiran metaforis agama, tetapi lebih pada kebenaran literal dari klaim agama, yang akan dianut oleh Ayyaz dan banyak penganut agama lainnya, baik Islam maupun lainnya.

Sekarang, pertanyaan tentang apa isi klaim agama itu sendiri merupakan pertanyaan yang jawabannya sama banyaknya dengan jumlah agama. Mungkin ada 4000 agama di dunia. Semua orang di sini setuju, mungkin, bahwa sedikitnya 3999 dari agama-agama itu tidak didukung oleh bukti, dan bahwa agama-agama itu memang salah—dan dalam beberapa kasus menyesatkan dan jahat. Namun, sebagian dari kita percaya bahwa ke-4000 agama itu tidak didukung oleh bukti. Saya telah menyebutkan banyaknya agama untuk menyoroti kesulitan dalam mengisolasi klaim agama tertentu yang seharusnya.

Namun, untuk tujuan diskusi ini, saya akan mengidentifikasi klaim-klaim ini dengan apa yang saya anggap sebagai keyakinan umum semua Muslim dan sebagian besar penganut monoteisme (Muslim, Kristen, dan Yahudi): bahwa ada entitas yang cerdas, baik hati, dan berkuasa yang menciptakan alam semesta. Entitas ini adalah satu-satunya pemegang otoritas moral dan sumber semua legitimasi politik, dan entitas ini akan menghakimi kita semua di akhir dunia—semua yang masih hidup sekarang, semua yang sudah meninggal, dan semua orang yang belum lahir—dan akan memberikan pahala atau hukuman sesuai dengan Penghakiman-Nya. Jelas, ada lebih banyak hal tentang Islam dan agama-agama lain daripada itu, tetapi paling tidak kita dapat menganggap kebenaran literal dari klaim itu sebagai sesuatu yang dapat kita identifikasi dengan agama.

Jika kita harus menjawab pertanyaan, ” Bagaimana bukti-bukti tersebut memengaruhi kebenaran atau kepalsuan klaim ini ?” kita perlu memiliki gagasansi yang jelas tentang apa artinya bukti berbicara “mendukung” atau “menentang” sesuatu – dan kita memang memiliki gagasansi yang relatif jelas tentang bagaimana bukti-bukti tersebut memengaruhi klaim tertentu, yaitu sebagai berikut: Jika Anda ingin tahu apakah Anda memiliki sedikit bukti tertentu, dan apakah bukti tersebut mendukung hipotesis tertentu atau menentang hipotesis tertentu, Anda harus mengajukan dua pertanyaan. Pertanyaan pertama adalah: seberapa besar kemungkinan kita akan mengamati bukti ini jika hipotesisnya benar? Dan pertanyaan kedua adalah: seberapa besar kemungkinan kita akan mengamati bukti ini jika hipotesisnya salah? Bukti tersebut kemudian menjadi dasar untuk mempercayai hipotesis sejauh kuantitas pertama melebihi kuantitas kedua. Jadi, jika Anda memiliki beberapa bukti yang sangat mungkin terjadi jika hipotesis tertentu benar tetapi sangat tidak mungkin terjadi jika hipotesis tersebut salah, maka bukti tersebut memberi Anda alasan yang kuat untuk menerima hipotesis tersebut. Itulah yang saya maksud ketika saya mengatakan bahwa bukti mendukung sesuatu.

Mari saya beri contoh. Misalkan Anda sedang menguji sebuah obat dan ingin tahu apakah obat itu manjur atau tidak dalam membunuh infeksi atau menyembuhkan penyakit tertentu. [Jadi mari kita asumsikan bahwa] kita melakukan pengujian, dan kita menemukan bahwa dalam uji coba kontrol tersamar ganda, proporsi yang sangat besar – katakanlah, 95% – dari orang yang diobati dengan obat itu sembuh, dan hanya 10% atau mungkin 1% dari orang yang tidak diobati dengan obat itu sembuh.

Kita dapat bertanya pada diri sendiri: Seberapa besar kemungkinan itu terjadi secara kebetulan jika obat itu tidak manjur, dan seberapa besar kemungkinan itu terjadi jika obat itu manjur, dan jawabannya adalah bahwa pengamatan itu akan menjadi pengamatan yang kita harapkan akan terjadi jika obat itu bekerja. Namun, itu bukanlah pengamatan yang kita harapkan dan akan sangat tidak mungkin terjadi jika obat itu tidak bekerja. Jadi itu adalah ilustrasi metode yang ada dalam pikiran saya. Anda mengajukan dua pertanyaan, ‘ Seberapa besar kemungkinan kita memiliki bukti ini jika hipotesisnya (dalam kasus ini, bahwa obat itu bekerja) benar ?’, dan ‘ Seberapa besar kemungkinan kita memiliki bukti ini jika hipotesis itu salah ?’ Dan dalam contoh ini, dengan angka-angka yang saya berikan, kuantitas pertama jauh lebih banyak daripada kuantitas kedua, jadi tampaknya kita memiliki bukti yang memang berdampak sangat positif pada anggapan itu.

[Kebetulan,] saya tidak memilih contoh obat secara acak. Saya menyebutkannya karena obat, seperti halnya banyak hal lain yang bergantung pada hidup kita, kita memang sangat memperhatikan bukti-buktinya, [seperti contoh di atas]. Kita tidak membeli obat hanya karena keyakinan buta, atau karena obat itu membuat kita merasa senang, atau karena kita pikir obat itu akan membuat kita menjadi orang baik, atau karena obat itu menjawab kebutuhan terdalam jiwa manusia, atau semacamnya. Kita tidak membeli obat karena alasan-alasan itu. Kita membelinya karena bukti-bukti menunjukkan bahwa obat itu bekerja dengan cara yang telah saya jelaskan.

Dan jika Anda religius (bahkan mungkin jika Anda tidak), Anda mungkin berpikir bahwa pertanyaan tentang apakah akan mempercayai klaim agama atau tidak dan untuk memusatkan hidup Anda di sekitarnya bahkan lebih penting – jauh lebih penting – daripada pertanyaan tentang apakah Anda harus minum obat [tertentu] atau apakah Anda harus naik pesawat, dll. Lagi pula, jika Anda benar-benar percaya pada klaim agama ini, maka Anda harus berpikir bahwa itu adalah klaim terpenting di dunia; bahwa tidak hanya kehidupan Anda saat ini tetapi juga kehidupan masa depan Anda dalam kekekalan akan bergantung padanya, dan bukan hanya itu, tetapi juga bahwa keselamatan umat manusia dan makna dari semua kehidupan kita bergantung pada klaim ini. Jadi ini mungkin pertanyaan terpenting yang dapat ditanyakan siapa pun kepada diri mereka sendiri, dan oleh karena itu, kita harus sangat ketat dalam penerapan metode bukti yang baru saja saya jelaskan, sama seperti kita dalam pertanyaan hidup atau mati lainnya, seperti apakah akan minum obat.

Jika kita mengajukan kedua pertanyaan tersebut, kita dapat mempertimbangkan, untuk bukti-bukti tertentu, apa sebenarnya kaitannya dengan klaim-klaim agama.

Sekarang saya akan fokus pada tiga jenis bukti tertentu yang tampaknya memiliki pengaruh positif atau negatif terhadap klaim-klaim agama dan memberikan penilaian tentang apa pengaruhnya. Bukti jenis pertama, yang paling sering dikutip dalam diskusi dengan para pendukung agama Islam, adalah keberadaan kitab suci itu sendiri—keberadaan kitab suci Al-Qur’an. Kita memang memiliki Al-Qur’an sebagaimana yang telah sampai kepada kita sejak abad ke -7 dan memang mengklaim tentang sumber ilahinya sendiri dan sifat keilahian, termasuk [klaim utama banyak agama, yang saya jelaskan sebelumnya.] Yang harus kita tanyakan tentang bukti itu adalah ini: [apakah keberadaan dan klaim teks-teks ini] merupakan bukti positif yang kuat yang mendukung kebenarannya? Nah, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah: seberapa besar kemungkinan kita akan mematuhi ini jika Islam benar, dan seberapa besar kemungkinan kita akan mematuhinya jika Islam salah?

Terkait:   Penciptaan dan Firman Allah

Tentu saja, jika klaim utama Islam itu benar, maka sangat mungkin kita akan mengamati sesuatu seperti Al-Qur’an – lagipula, klaim utama Al-Qur’an adalah bahwa Anda tahu bahwa hanya ada satu Tuhan dan Dia mengungkapkan pesan-Nya kepada Muhammad [saw] melalui seorang malaikat, dan pesan itu kemudian seharusnya disebarkan ke seluruh dunia dan memang itulah yang terjadi. Jadi ini adalah apa yang kita harapkan terjadi jika doktrin Islam itu benar, tetapi menurut saya itu juga sesuatu yang kita harapkan terjadi jika Islam itu salah. Jika tidak ada Tuhan, jika tidak ada wahyu ilahi kepada Muhammad [saw] , jika semuanya adalah semacam delusi atau semacam penipuan, maka kita akan berharap untuk mengamati hal-hal seperti yang kita amati.

Alasan saya berpendapat demikian adalah karena kita memiliki banyak sekali wahyu ilahi yang diterima individu, yang semua orang sepakat bahwa itu salah. Kita semua sepakat, misalnya, bahwa ketika Joan of Arc mendengar suara-suara, dia sebenarnya tidak memiliki saluran telepon ke Tuhan. Atau pendeta wanita di Kuil Diana (di zaman kuno), atau orang di Bristol yang baru-baru ini mencekik neneknya sendiri karena mendengar suara-suara dari Tuhan—ini semua adalah contoh orang-orang yang mengaku menerima wahyu ilahi, yang mengaku telah mendengar pesan dari Tuhan dan bertindak berdasarkan pesan itu, mungkin dengan segala ketulusan. Namun, kita semua sepakat bahwa mereka tidak mendengar apa pun seperti itu dan bahwa klaim yang mereka buat itu salah. Jadi, keberadaan kitab suci yang membuat klaim-klaim ini adalah sesuatu yang seharusnya tidak terlalu mengejutkan kita, terlepas dari apakah klaim-klaim itu benar atau tidak. Jadi [ini bukanlah sesuatu yang] sangat tidak mungkin atau sulit dijelaskan, [dengan asumsi] hipotesis agama itu salah. Itulah bukti pertama yang ingin saya pertimbangkan.

Bukti kedua terkait, tetapi yang terkadang dikemukakan orang, yaitu keberadaan kepercayaan agama. Islam memang agama yang tersebar luas—lebih dari satu miliar orang mempercayainya, banyak di antaranya sangat taat, dan ketaatan penganutnya adalah sesuatu yang Anda harapkan akan ditemukan jika klaim agama itu benar. Namun sekali lagi, itu juga merupakan sesuatu yang Anda harapkan akan ditemukan jika klaim itu salah.

Perbedaan antara jenis bukti yang saya bicarakan sekarang dan jenis bukti pertama adalah bahwa [bukti itu berkaitan dengan keberadaan kepercayaan agama yang bertentangan dengan keberadaan kitab suci.] Mungkin ini adalah jenis bukti yang lebih sering dikutip oleh jenis orang Kristen tertentu daripada oleh para sarjana Muslim. Meskipun demikian, bukti itu dapat dianggap sebagai semacam bukti tidak langsung tetapi cukup lemah untuk kebenaran agama. Sekarang sekali lagi, seperti dalam kasus pertama, kita seharusnya tidak terlalu terkejut menemukan orang-orang yang memegang keyakinan yang salah. Kita seharusnya tidak terlalu terkejut menemukan kepercayaan yang sangat luas dan sangat taat pada agama, bahkan jika klaim agama itu salah.

Ada contoh-contoh spektakuler tentang hal ini. Contoh-contoh spektakuler ini tidak hanya mencakup semua agama dunia (kecuali [yang mana pun] yang disukai) yang [sudah] kita sepakati sebagai salah. Contoh-contoh yang sangat spektakuler mencakup misalnya, sesuatu seperti Jonestown—semacam gerakan kebangkitan Kristen sekaligus sosialis yang ada di Guyana pada akhir tahun 1970-an, yang terdiri dari sekitar seribu warga negara AS yang pindah ke Amerika Selatan untuk memulai aliran sesat semi-religius mereka sendiri, di mana mereka semua hidup bersama dan kemudian melakukan bunuh diri massal karena mereka mengira Amerika Serikat akan menghancurkan mereka. Ini adalah kasus di mana orang-orang tidak hanya memiliki keyakinan yang salah tetapi juga sangat salah.

Namun, poin yang ingin saya sampaikan sekarang bukanlah tentang kepalsuan keyakinan mereka, tetapi juga ketaatan yang mereka anut. Dengan kata lain, ini adalah keyakinan yang membuat semua orang ini tidak hanya bersedia mengambil risiko tetapi juga benar-benar mengorbankan hidup mereka, namun tidak seorang pun berpikir sejenak bahwa keyakinan ini lebih dari sekadar jaringan penipuan.

Inti masalahnya adalah bahwa tidak mengherankan jika Anda menemukan kepercayaan yang taat pada berbagai hal yang salah. Jadi, kepalsuan doktrin Islam, kepalsuan Yudaisme, atau kepalsuan Kristen tidak hanya konsisten dengan, tetapi juga membuatnya tidak mengherankan, bahwa ada kepercayaan yang sangat luas dan sangat kuat pada doktrin-doktrin ini.

Dua bukti yang telah saya bahas sejauh ini merupakan bukti bagi agama. Bukti ketiga yang ingin saya pikirkan menentang agama dan ini bukanlah argumen baru. Ini adalah argumen mengenai keberadaan kejahatan. Kita tahu bahwa di dunia ini ada kejahatan yang tidak beralasan. Artinya, jika ada sesuatu yang jahat, maka hal-hal tersebut adalah jahat, buruk, dan salah, yang keduanya tidak beralasan dan alami. Hal-hal tersebut mungkin tidak dilakukan oleh manusia, mungkin tidak ada hubungannya dengan kehendak bebas, mungkin tampak tidak bermanfaat bagi siapa pun, tetapi tetap saja hal-hal tersebut ada. Dan hal-hal tersebut tidak hanya ada, tetapi juga mencirikan keadaan umat manusia hampir sepanjang sejarahnya. Sebagai contoh, setiap tahun setengah juta anak meninggal di Afrika karena malaria. Berdasarkan hipotesis bahwa Tuhan tidak hanya cukup kuat untuk menciptakan alam semesta tetapi juga sangat baik hati, ini bukanlah sesuatu yang seharusnya kita lihat. Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang seharusnya kita lihat. Ini adalah argumen yang terkenal. Ini adalah argumen dari kejahatan.

Berdasarkan hipotesis bahwa tidak ada Tuhan, apa yang akan kita lihat? Nah, kita akan melihat dunia yang terdiri dari bencana acak di mana orang meninggal tanpa alasan yang jelas; penderitaan yang tidak berarti, yang menjadi ciri sebagian besar keberadaan manusia; orang-orang yang jahat satu sama lain dengan pulau-pulau peradaban dan kebaikan sesekali – itulah yang seharusnya kita lihat jika kita tidak berpikir ada rencana ilahi yang mengatur baik konstitusi alam semesta maupun sejarah dunia – dan itulah yang memang kita amati. Jadi dalam kasus khusus ini tampaknya buktinya adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi pada hipotesis bahwa agama itu salah. Namun [bukti yang sama ini] tampaknya tidak hanya mengejutkan tetapi bahkan tidak mungkin terjadi pada hipotesis bahwa agama itu benar. Jadi bukti ketiga itu, menurut saya, adalah bukti yang sangat menentang agama.

Nah, seperti yang saya katakan, mungkin ada beberapa poin bukti lain yang ingin Ayyaz kemukakan, dan saya harap dia bisa membahasnya, tetapi poin-poin bukti utama itu, menurut saya, berbicara sangat kuat untuk mendukung klaim bahwa bukti tersebut tidak hanya tidak mendukung agama, tetapi sebenarnya mendukung ketidakberagamaan.

Saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal di akhir. Hal pertama yang ingin saya sampaikan adalah saya tidak ingin orang-orang mendapat kesan bahwa saya sendiri hanya mengganti satu keyakinan, yaitu Islam atau Kristen, dengan keyakinan lain, yaitu ‘keyakinan buta terhadap sains’. Salah satu cara saya untuk mengekspresikan penolakan saya terhadap gagasan itu adalah dengan memberikan Anda daftar hal-hal yang cukup jelas, dapat diuji, dan tepat yang akan meyakinkan saya bahwa suatu bentuk agama itu benar.

Anggaplah, misalnya, bahwa gempa bumi telah diprediksi di seluruh dunia pada tanggal tertentu dalam Al-Qur’an dan gempa bumi itu benar-benar terjadi dan tidak ada penjelasan tentang hal ini. Itu akan sangat meningkatkan keyakinan saya pada agama. Ambil contoh Hume: anggaplah ada suara yang berbicara dari awan dan setiap orang mendengar suara ini dalam bahasanya sendiri, tetapi suara itu mengatakan hal yang sama dan tidak ada penjelasan untuk ini – itu akan menjadi bukti yang sangat kuat yang dapat diuji untuk agama. Saya dapat memperbanyak daftarnya tanpa batas tetapi ada sejumlah besar hal yang saya cukup yakin tidak akan kita amati – tetapi jika kita mengamatinya, kita akan memiliki bukti untuk agama. Jadi itu bukan keyakinan buta pada ketidakberagamaan, itu adalah iman dan kepercayaan yang didasarkan pada bukti empiris.

Memang, saya pikir mungkin ada baiknya untuk membalikkan tantangan dan bertanya kepada orang yang religius: baiklah, bukti macam apa yang akan meyakinkan Anda bahwa Anda salah? Seberapa buruk keadaan harus terjadi sebelum Anda benar-benar mulai berpikir, ” Ya, ini adalah bukti yang menentang kebenaran Islam .”

Jika Anda bertanya kepada seseorang di zaman keemasan Islam, seseorang di tahun 1015, ” bukti macam apa yang akan meyakinkan Anda bahwa agama Islam itu salah ?”

Dia mungkin berkata, ” baiklah, jika dalam waktu 1000 tahun kita masih belum menaklukkan Eropa, dan Islam sebagian besar masih terbatas di Afrika Utara, Timur Tengah dan bagian-bagian tertentu di Asia, dan jika negara-negara Eropa atau Kristen telah menciptakan kerajaan yang luas dan maju dalam sains, dan jika negara paling kuat di dunia didirikan berdasarkan konstitusi sekuler. ” Dan jika dia berkata-dan ini adalah hal yang dapat saya bayangkan seseorang di tahun 1015 berkata-” Itu akan menjadi bukti yang sangat kuat bahwa sebenarnya saya salah .”

Tentu saja, rangkaian kejadian itu seharusnya cukup familiar bagi Anda semua. Jadi, saya kira itu satu pertanyaan yang ingin saya ajukan: bukti seperti apa yang akan mengubah pandangan Anda? Namun sekarang saya ingin mendengar apakah ada bukti lain yang dapat menyelesaikan kasus ini dengan cara yang tidak saya duga dan saya juga ingin berdiskusi dan bertanya jawab, jadi terima kasih banyak.


Ateisme atau Teisme: Mana yang Berbasis Bukti?

(Pidato disampaikan oleh Ayyaz Mahmood Khan, bahasa Inggris)

Tentang Penulis: Ayyaz Mahmood Khan menghabiskan tujuh tahun di Sekolah Tinggi Teologi Internasional Jemaat Muslim Ahmadiyah (atau dalam istilah internal ialah Jamiah Ahmadiyah) di London, tempat ia mempelajari bahasa-bahasa timur Persia, Arab, dan Urdu, serta agama-agama secara komparatif (perbandingan), yang mengkhususkan diri dalam literatur polemik Asia Selatan kolonial pada abad ke-19. Ayyaz telah memproduksi dan menyajikan banyak program televisi yang berfokus pada interaksi antara masyarakat modern dan agama. Ia telah memberikan kuliah di UCL dan Imperial College di bidang Syariah dan gagasan Islam tentang Khilafah.

Terima kasih banyak, Catrin. Dr. Arif, terima kasih banyak atas ceramah Anda yang menarik. Saya sangat senang berada di sini dan menantikan diskusi yang mendalam malam ini.

Terkait:   13 Sifat Hamba Allah yang Saleh

Saya tidak bermaksud menyampaikan khotbah selama dua puluh menit hari ini dan memaksakan keyakinan saya kepada Anda. Saya di sini hanya untuk memberi Anda sedikit bahan untuk berpikir dan membiarkan Anda membuat pilihan sendiri sehingga mudah-mudahan, Anda bertanya pada diri sendiri apakah jenis bukti yang biasanya diminta untuk membuktikan keberadaan Tuhan itu tepat dan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai. Karena kita semua tahu bahwa ada berbagai bentuk bukti, dan masing-masing dapat diterima tergantung pada keadaan. Jadi, bukti seperti apa yang ada untuk keberadaan Tuhan, jika ada? Sebelum saya membahasnya, saya ingin menyinggung beberapa poin awal secara singkat.

Pertama, saya harus mengatakan sejak awal, bahwa saya merasa topik untuk acara hari ini agak aneh. Apakah kepercayaan itu? Jika kita mendefinisikan kepercayaan sebagai ‘ penerimaan sesuatu tanpa bukti ‘, yaitu kepercayaan buta, maka itu adalah bentuk kepercayaan yang tidak memiliki tempat dalam kehidupan saya sebagai seorang teis dan sebagai seorang Muslim khususnya, karena Islam tidak mengajarkan kepercayaan buta. Namun, jika kepercayaan berarti penerimaan sesuatu sebagai kebenaran yang belum diamati secara langsung, maka itu adalah sesuatu yang sama-sama dianut oleh para teis dan ateis. Dan saya akan menyinggung hal itu.

Kedua, apa yang kita klasifikasikan sebagai bukti? Apakah sesuatu berdasarkan bukti hanya jika dapat diukur dengan cara material atau peralatan fisik? Sering kali dikemukakan bahwa kaum teis pada dasarnya tidak rasional karena percaya pada Makhluk yang tidak dapat disentuh, dirasakan, atau dilihat dengan mata fisik. Akan tetapi, harus jelas bahwa kita semua, baik kita percaya pada Tuhan atau tidak, menganggap banyak hal sebagai kebenaran yang tidak dapat kita akses secara langsung dengan indera fisik kita.

Para ilmuwan banyak berbicara tentang materi gelap dan energi gelap, yang dikatakan membentuk sebagian besar alam semesta, tetapi kita tidak dapat mengamatinya secara langsung. Ketakutan, kemarahan, rasa sakit, dan bahkan cinta, misalnya, adalah hal-hal yang tidak dapat diukur oleh salah satu dari kelima indera.

Apakah kita semua gila karena mempercayai hal-hal ini? Tentu saja tidak, karena meskipun hal-hal ini tidak dapat diakses secara langsung oleh indera fisik kita, sangatlah rasional untuk menyimpulkan keberadaannya dari apa yang dapat kita amati. Dan bukti adanya Tuhan tidak berbeda – kepercayaan kepada Tuhan juga dapat diverifikasi melalui tanda-tanda yang jelas dan nyata di dunia sekitar kita dan saya akan membahasnya sebentar lagi.

Pada tingkat individu, mungkin 99% pengetahuan kita didasarkan pada bukti kesaksian dan bukan pada pengamatan atau eksperimen kita sendiri. Misalnya, kita menghabiskan seluruh hidup kita dengan menganggap seseorang sebagai ayah kita, semua berdasarkan kesaksian ibu kita tercinta. Saya tidak mengetahui banyak orang yang menyatakan bahwa ‘kematangan intelektual’ mengharuskan para ayah untuk membuat laporan DNA sebelum anak-anak mereka yakin akan identitas ayah mereka. Bahkan para ilmuwan sendiri mendasarkan seluruh pekerjaan hidup mereka pada temuan orang lain. Kita semua menganggap banyak hal sebagai pengetahuan umum meskipun faktanya kita belum mencoba dan menguji sendiri sebagian kecilnya. Kita melakukan ini karena kita menerima bahwa kesaksian dari begitu banyak orang yang dapat diandalkan dan yang merupakan ahli di bidangnya, juga merupakan bentuk bukti, dan itu cukup untuk membuatnya sepenuhnya rasional untuk percaya pada kemungkinan hal-hal ini dan setidaknya itu menjamin pencarian yang serius dan tulus.

Demikian pula, dalam hal mengenai Tuhan, selalu ada sejumlah besar kesaksian serupa yang hadir di semua zaman, di antara masyarakat yang benar-benar terisolasi, bahwa Tuhan Yang Mahatinggi itu ada. Semua kesaksian ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Saya baru saja menyebutkan kedewasaan intelektual. Sekarang, integritas intelektual menuntut bahwa banyaknya kesaksian di setiap zaman, oleh mereka yang dikenal waras, berlandaskan pada akal sehat, bijaksana, dan jujur ​​harus diselidiki secara serius.

Sering dikatakan bahwa temuan ilmiah dapat diverifikasi melalui eksperimen berulang dan itulah sebabnya kesaksian para ahli sains dapat dipercaya. Akan tetapi, meskipun hasil ilmiah dapat direproduksi melalui pengujian berulang, hal itu tetap tidak mengubah fakta bahwa orang-orang yang melakukan pengujian berulang ini biasanya adalah sebagian kecil ahli. Sebagian besar dunia menerima begitu saja penemuan sains tanpa melakukan penyelidikan nyata atas diri mereka sendiri. Namun, mari kita kesampingkan hal itu. Faktanya adalah bahwa bukti keberadaan Tuhan juga dapat diverifikasi, selama seseorang menuntut bentuk bukti yang tepat sebagai bukti keberadaan-Nya.

Ajaran agama selalu menyatakan bahwa seseorang harus mencari Tuhan dengan menggunakan metode penyelidikan yang tepat. Siapa pun yang menuntut agar aroma mawar didengar, atau rasa gula dilihat, atau agar suara yang indah dicicipi, akan dijuluki sebagai orang gila yang sangat parah. Tuhan apa pun yang dapat Anda masukkan ke dalam tabung reaksi dan diukur secara fisik sama sekali bukan Tuhan; karena Tuhan bukanlah makhluk fisik.

Akan tetapi, jika menyangkut agama, bukti adanya Tuhan dapat lebih mudah diakses daripada bukti adanya sains, karena walaupun tidak semua orang dapat menjadi fisikawan atau matematikawan dan menemukan atau memverifikasi sendiri bukti ilmiah secara langsung, orang yang buta huruf pun dapat mengalami Tuhan jika ia menggunakan metode yang tepat untuk mencari-Nya.

Sekarang, saya pikir cukup adil untuk mengatakan bahwa logika umum banyak orang saat ini adalah bahwa ” karena saya belum melihat bukti adanya Tuhan, maka kemungkinan besar Dia tidak ada. ” Sikap ini tampaknya berdasarkan bukti, tetapi sebenarnya tidak. Hanya karena seseorang belum menyaksikan bukti untuk sesuatu pada tingkat pribadi, ini seharusnya tidak membenarkan ketidakpercayaan tanpa penyelidikan yang tepat dilakukan. Sikap seperti itu tidak kondusif untuk perolehan kebenaran dan pengetahuan dan sejujurnya, jika itu digunakan dalam sains, kita tidak akan pernah maju melampaui Zaman Batu.

Sangat menarik bahwa kita semua siap untuk melakukan upaya yang sangat besar untuk mendapatkan pengetahuan di bidang studi sekuler (duniawi) tetapi ketika menyangkut Tuhan, banyak orang menginginkan jawaban segera dan sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Tentu saja, seperti halnya semua penyelidikan yang jujur, kita harus mendasarkan pencarian kita pada mereka yang telah mendahului kita dan mengklaim telah menemukan bukti.

Pertanyaannya kemudian, apakah sifat bukti bagi Tuhan dan apakah itu cukup untuk meyakinkan kita tentang keberadaan-Nya? Pada titik ini, kaum teis (yang percaya adanya Tuhan) biasanya hanya menyajikan argumen yang bersifat filosofis dan berhenti di situ. Argumen yang terkait dengan kausalitas dan fine-tuning, argumen kosmologis, ini, itu dan yang lainnya. Saya yakin banyak yang pernah mendengarnya sebelumnya.

Namun, saya tidak akan menyajikan satu pun dari argumen ini dan membuat Anda percaya bahwa itu adalah bukti konklusif untuk keberadaan Tuhan. Karena, sederhananya, saya tidak berpendapat bahwa itu adalah bukti konklusif. Saya tidak percaya bahwa argumen-argumen ini adalah bukti yang cukup untuk membuktikan keberadaan Tuhan.

Argumentasi yang murni filosofis, yang sifatnya spekulatif, paling banter memberi tahu kita bahwa Tuhan seharusnya ada dan memberi kita alasan yang masuk akal untuk mendalilkan kemungkinan keberadaan Tuhan, tetapi tidak memberi kita bukti konklusif bahwa Tuhan memang ada. Hal ini dapat disamakan dengan seseorang yang melihat asap mengepul dari kejauhan. Ia menyimpulkan bahwa seharusnya ada api meskipun ia tidak dapat melihat api itu secara langsung.

Sekarang, yang saya anggap sebagai bukti keberadaan Tuhan adalah ‘wahyu’ atau penggenapan nubuat. Karena jika Tuhan tidak mati, jika Dia adalah Tuhan yang hidup, maka Dia harus mengekspresikan diri-Nya. Bagaimana mungkin ada bukti keberadaan-Nya jika Dia tidak berkomunikasi dengan kita?

Saya sebutkan sebelumnya bahwa kesaksian tentang keberadaan Tuhan hadir di semua zaman sejak dahulu kala dan di semua bangsa di dunia, bahkan di daerah terpencil yang tidak memiliki kontak dengan dunia luar. Kepercayaan kepada Tuhan ini, menurut pandangan saya, selalu ditegakkan oleh para Nabi Tuhan, yang membawa petunjuk dari atas dan yang bersama dengan berbagai cara lain, menegakkan keberadaan Tuhan melalui kekuatan nubuat. Sebab, jika seseorang meramalkan suatu kejadian sebelum kejadian itu terjadi, dan telah ditetapkan bahwa informasi yang diberikannya berada di luar jangkauan data yang tersedia, dan jika ramalan itu tidak begitu samar hingga tidak dapat dipalsukan sama sekali, maka ini akan menetapkan keberadaan Tuhan Yang Maha Tinggi, Maha Mengetahui, dan yang memberikan informasi masa depan itu kepada Nabi-Nya, sehingga menetapkan keberadaan-Nya sendiri.

Dalam setiap zaman, para Nabi Tuhan ini selalu menunjukkan keberadaan Tuhan melalui nubuat. Baik itu para Nabi seperti Abraham as , Konfusius as , Buddha as , Krishna as , Lao Tzu as , Socrates as atau Muhammad sa , semoga damai menyertai mereka semua – yang semuanya mengaku diutus secara ilahi oleh Tuhan untuk membimbing umat manusia menuju Pencipta mereka.

Meskipun ada banyak contoh sepanjang sejarah tentang nubuat yang terpenuhi sebagai bukti keberadaan Tuhan, saya ingin memberikan dua contoh. Faktanya adalah, bahwa pemenuhan nubuat dapat diamati dan disaksikan secara objektif oleh semua orang. Menyaksikan pemenuhan nubuat lebih dari sekadar melihat asap dan menyimpulkan api – itu seperti melihat api dengan mata kepala sendiri.

Terkait:   Cara Mengetahui Keberadaan Tuhan

Contoh pertama terjadi 1400 tahun yang lalu. Nabi Muhammad saw menubuatkan bahwa di masa depan akan tiba saatnya “ unta akan ditinggalkan sebagai alat transportasi cepat”.[1] Kita mungkin bertanya, apa yang akan menggantikan unta, yang telah menjadi moda transportasi utama di padang pasir sejak jaman dahulu kala? Nabi saw menggambarkan kemunculan seekor keledai yang tidak ada duanya – yang pasti tampak sangat fantastis bagi orang-orang pada zaman itu, tetapi sekarang sudah dapat dikenali sepenuhnya.

Mengenai keledai ini, Nabi Muhammad saw bersabda, “ Orang-orang akan naik ke perutnya dari lubang-lubang di sisinya. Perutnya akan terang benderang dari dalam dan akan dilengkapi dengan tempat duduk yang nyaman.[2]Keledai akan bergerak dengan kecepatan yang sangat cepat menempuh jarak yang jauh dalam hitungan hari atau jam.[3] Keledai akan berhenti secara teratur di jalan dan di setiap pemberhentian masyarakat akan diundang untuk datang dan duduk sebelum melanjutkan perjalanannya, dan setiap keberangkatan akan diumumkan dengan keras.[4] Tidak hanya ini, tetapi “ keledai ini akan memakan api dan api ini akan terbakar di perutnya tetapi mereka yang duduk di perut keledai akan tetap sepenuhnya terisolasi dari api ini.[5] Namun, nubuatan itu tidak berakhir di sana. Nabi Muhammad saw juga mengatakan bahwa ketika “ keledai ” ini diminta untuk melakukan perjalanan melalui laut, ia akan “ membengkak hingga ukuran yang sangat besar , dan bergerak dari satu benua ke benua lain dengan menunggangi gelombang laut.[6]Ia akan membawa tumpukan makanan di punggungnya melintasi lautan.[7] Namun keledai ini tidak hanya akan melakukan perjalanan melalui darat dan laut. Nabi Muhammad saw lebih lanjut mengatakan: “ keledai ini akan bergerak di udara pada ketinggian yang lebih tinggi dari awan[8], dan ia akan menjelajahi langit seperti awan yang didorong oleh angin.[9]Lebar antara kedua telinganya akan menjadi empat puluh meter.[10]

Saya serahkan kepada Anda, untuk memutuskan sendiri perkembangan zaman modern mana yang dimaksud di sini, dan akan membiarkan Anda merenungkan, bagaimana seorang laki-laki di Arabia nomaden pada abad ke -7 , yang tidak mampu membaca atau menulis, dapat melukiskan gambaran yang begitu jelas tentang dunia yang jaraknya lebih dari satu milenium, kalau bukan melalui wahyu dari Tuhan Yang Maha Mengetahui?

Pertanyaannya adalah, apakah Tuhan masih berbicara di zaman sekarang atau apakah para teis hanya berbicara tentang apa yang telah terjadi di masa lalu? Di zaman ini, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad , Pendiri Jemaat Muslim Ahmadiyah juga mengaku sebagai seorang Nabi Tuhan yang tujuannya, seperti semua nabi di masa lalu, adalah untuk membuktikan keberadaan Tuhan melalui kekuatan tanda-tanda Ilahi dan nubuatan.

Salah satu contoh terkenal dari sekian banyak nubuat yang terpenuhi adalah pada tahun 1905, ketika ia mengumumkan apa yang ia katakan sebagai wahyu Ilahi yang memperingatkan tentang bencana global yang akan datang, yang tak tertandingi dalam keganasannya, sebuah konflik yang akan memicu pertumpahan darah di seluruh dunia. Sebuah nubuat tentang Perang Dunia I. Banyak karakteristik mengenai nubuat ini telah dinubuatkan jauh sebelumnya dan masing-masing dari mereka terpenuhi dalam huruf [rincian] dan jiwanya [intinya].

Pertama, bencana itu akan bersifat global (mendunia) dalam cakupannya dan akan membawa revolusi di dunia, mengubah tatanan politik internasional sebagaimana yang diketahui dunia. Nubuat meramalkan bahwa bencana itu akan membawa: “ revolusi di dunia ”, memperingatkan bahwa “ terornya akan melelahkan semua orang – besar dan kecil.[11] Semua orang tahu bahwa Perang Dunia I adalah konflik global pertama yang sesungguhnya yang mengakibatkan runtuhnya empat kekaisaran besar – Kekaisaran Jerman, Austria-Hungaria, Rusia dan Ottoman – dan mengubah lanskap politik dunia selamanya.

Kedua, nubuatan itu mengatakan: “ tiba-tiba – sebuah malapetaka yang akan mengguncang mereka semua.[12] Merupakan fakta yang diketahui umum, bahwa tidak seperti kebanyakan perang yang diakibatkan oleh eskalasi perselisihan secara bertahap, Perang Dunia Pertama dipicu oleh pembunuhan mendadak pewaris tahta Austria-Hungaria Franz Ferdinand dan istrinya Sophie.

Ketiga, juga dinubuatkan bahwa “ aliran darah akan mengalir seperti air sungai kecil.[13] Ini bukan sekadar hiperbola puitis. Di Gallipoli, para saksi mengatakan bahwa laut “benar-benar merah karena darah hingga lima puluh meter jauhnya.[14]

Keempat, telah diramalkan (dinubuatkan) bahwa “ kapal-kapal akan berlayar untuk terlibat dalam pertempuran laut.[15] Setelah ini, sebuah teater perang baru kemudian digambarkan. “ Langit akan menyerang dengan pedang terhunus[16], dan ramalan ini dibuat pada tahun 1905, pada saat Wright Bersaudara bahkan belum selesai membangun pesawat pertama mereka yang berfungsi penuh. Mereka tidak tahu tentang pemboman yang sangat merusak yang akan segera digunakan untuk membawa penemuan mereka.

Kelima, dia mengatakan bahwa sehubungan dengan perang ini, “ Anak-anak Israel akan merasa lega.[17] Dan demikian pula yang kita lihat dalam Deklarasi Balfour yang dikeluarkan pada tahun 1917, di mana pemerintah Inggris menyatakan dukungannya terhadap pembentukan tanah air bagi orang Yahudi di wilayah Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan Ottoman.

Namun setelah itu, muncullah unsur yang paling menonjol dari nubuat tersebut. Nubuat tersebut menyebutkan satu nama, khususnya satu orang. Nubuat tersebut mengatakan, “ Bahkan Tsar, pada saat itu, akan berada dalam keadaan yang menyedihkan.[18]

Tsar Rusia, pada saat nubuat itu dibuat, adalah orang terkaya yang masih hidup. Ia memerintah seperenam daratan dunia. Ia adalah orang terkaya kelima dalam sejarah, dan mengaku memiliki dukungan Ilahi. Namun, pada tahun 1917, serangkaian kejadian malang membawa Tsar kembali ke ibu kotanya untuk meredakan ketidakpuasan yang semakin besar. Dalam perjalanannya, ia dipaksa turun takhta, menjadikannya Tsar terakhir yang pernah ada. Setelah menjalani tahanan rumah bersama keluarganya selama berbulan-bulan, kaum Komunis memutuskan untuk mengeksekusi mereka secara brutal di depan satu sama lain, dan membuat mayat mereka tidak dapat dikenali lagi.

Sungguh mengherankan bagaimana semua unsur unik dari nubuat yang sangat dapat dipalsukan ini terpenuhi dalam satu peristiwa. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as , yang memimpin komunitas ruhani dari desa terpencil di India, mengatakan bahwa nubuat ini akan membuktikan kebenarannya sebagai penerima wahyu dari yang tak terlihat, dan bagi saya, setidaknya, hal itu telah terjadi. Ini dan banyak nubuatnya yang terpenuhi lainnya, seperti yang ditemukan dalam Al-Qur’an Suci dan Sabda Nabi Muhammad saw , memberikan bukti kuat bagi keberadaan Tuhan. Ramalan-ramalan ini telah diterima sebagai kebenaran oleh puluhan juta orang di seluruh dunia, dan layak untuk dipelajari lebih lanjut.

Sahabat-sahabat saya yang terkasih, saya tidak hadir di sini hari ini untuk membuat Anda percaya dalam waktu dua puluh menit bahwa Tuhan memang ada. Namun, jika saya dapat meyakinkan Anda bahwa mungkin ada bukti yang belum Anda temukan, atau bahkan mendorong Anda untuk merenungkan kemungkinan keberadaan-Nya, saya akan merasa puas.

Bukti terbesar keberadaan Tuhan adalah ketika kita akhirnya mengalami-Nya sendiri dan Dia mulai berkomunikasi dengan kita pada tingkat pribadi – ketika Dia menjawab doa-doa kita. Namun, untuk ini kita harus berusaha untuk menemukan-Nya melalui doa terlebih dahulu, dengan cara yang sama seperti kita mendekati api untuk merasakan kehangatannya. Namun, pencarian tersebut harus tidak memihak dan tulus. Pencarian yang diliputi prasangka tidak akan pernah membuahkan hasil.

Jadi saya mendesak Anda untuk menerima tantangan saya – bukan demi saya, tetapi demi diri Anda sendiri. Anda berutang pada diri Anda sendiri untuk mengetahui kebenaran. Jika Tuhan memang ada, maka Anda berhak untuk mengetahuinya dengan pasti. Yang saya minta hanyalah agar Anda berdoa dengan tulus dan sungguh-sungguh bahwa “ Ya Tuhan! Jika Engkau memang ada! Aku mencari-Mu. Aku tidak tertarik pada filsafat kosong – aku tertarik untuk menemukan jawaban yang nyata. Wujudkanlah Diri-Mu kepadaku sehingga aku dapat menenangkan hati dan pikiranku untuk selamanya. Dan jika Engkau tidak menampakkan diri kepadaku meskipun aku telah berusaha dengan jujur, maka aku terbebas dari tanggung jawabku kepada-Mu. ”

Namun syarat untuk percobaan ruhani ini adalah ketulusan sejati, kerendahan hati, dan pikiran terbuka. Pastikan bahwa Anda jujur ​​kepada diri sendiri dan Anda adalah hakim terbaik untuk itu – saya tidak dapat menghakimi Anda – tidak seorang pun dapat menghakimi Anda. Cobalah, dan tunggu dan lihat. Lagipula, apa ruginya bagi Anda? Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an, ” Barangsiapa yang bersungguh-sungguh mencari-Ku, Aku sendiri yang akan menuntun mereka kepada -Ku. “

Terima kasih!

Sumber: Review of Religions


[1] Sahih Muslim, Kitabul-Iman, Babu Nuzuli ‘Isabin Maryam.

[2] Biharul-Anwar, ‘Allamah Muhammad Baqir Al-Majlisi, Babu ‘Alamati Dhuhurihi ‘Alaihis-Salam Minas-Sufyani Wad-Dajjal.

[3] Nuzhatul-Majalis, ‘Abdur-Rahman As-Safuri, Vol 1, p. 109, Maimaniyyah Press, Egypt.

[4] Biharul-Anwar, ‘Allamah Muhammad Baqir Al-Majlisi, Babu ‘Alamati Dhuhurihi ‘Alaihis-Salam Minas-Sufyani Wad-Dajjal.

[5] Ibid.

[6] Sahihul-Bukhari, Kitabul-Fitan, Babu Dhikrid-Dajjal; Nuzhatul-Majalis, ‘Abdur-Rahman As-Safuri, Volume 1, p. 109, Maimaniyyah Press, Egypt.

[7] Sahihul-Bukhari, Kitabul-Fitan, Babu Dhikrid-Dajjal.

[8] Kanzul-‘Ummal, ‘Allamah ‘Alaud-Din ‘Ali Al-Muttaqi, Volume 14, p. 613, 1979 Ed. Beirut.

[9] Sahihul-Muslim, Kitabul-Fitan, Wa Ashratis-Sa‘ah.

[10] Musnad Ahmad, Musnadul-Mukthirin.

[11] Hazrat Mirza Ghulam AhmadasBarahin-e-Ahmadiyyah, part 5, p. 120, Ruhani Khaza’in, Vol. 21, pp. 151–152.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Alan Moorehead, Gallipoli (n.p.: Hamish Hamilton Ltd., 1956), 143..

[15] Badr, Volume 2, No. 20, 17 May 1906, p. 2; Al-Hakam, Volume 10, No. 17, 17 May 1906, p.1.

[16] Hazrat Mirza Ghulam AhmadasBarahin-e-Ahmadiyyah, part 5, p. 120, Ruhani Khaza’in, Vol. 21, pp. 151–152.

[17] Announcement of 21 April 1905; Al-Hakam, Volume 9, No. 14, 24 April 1905, pp. 5-6; Majmu‘ah Ishtiharat, Vol. 3, pp. 525-534 (Tadhkirah, English translation, pp. 703-704, 2009 Edition).

[18] Ibid.

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.