Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa, seri 5)

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis أيده الله تعالى بنصره العزيز (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 16 Maret 2018 di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK (Britania Raya)

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.

Seraya menyebutkan status para sahabat Rasulullah saw, Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam (as) menyampaikan dalam satu kesempatan, “Para sahabat (ra) yang mulia – semoga Allah berkenan dengan mereka semua – merupakan bukti-bukti yang bercahaya atas siirah (perjalanan hidup dan karakter) Rasulullah (saw). Siapa pun yang menyia-nyiakan dalil-dalil ini, berarti ia menyia-nyiakan kenabian Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Maka dari itu, hanya seseorang yang benar-benar memuliakan Rasulullah (saw) lah yang dapat menghargai para sahabat beliau yang terhormat tersebut.

Seseorang yang tidak memuliakan para sahabat Rasulullah saw, maka ia sama sekali tidak akan pernah bisa memuliakan Rasulullah (saw). Jika dia mengatakan mencintai Nabi (saw) maka dia bohong dalam klaimnya karena sama sekali tidak mungkin seseorang mengaku mencintai Nabi (saw) dan dalam waktu yang bersamaan memusuhi sahabat beliau (saw) juga.”[1]

Kemudian beliau (as) berkata: “Para Sahabat adalah sekelompok orang suci yang tidak pernah memisahkan diri dari Nabi mereka, dan tidak segan, bahkan tidak pernah sedikit pun segan mengorbankan jiwa mereka di jalan beliau. Mereka begitu fana taat kepadanya sehingga mereka selalu siap menanggung setiap kesulitan dan penderitaan karenanya.”[2]

Jadi, ini adalah kedudukan para Sahabat, – semoga Allah berkenan dengan mereka -, yang setiap Ahmadi harus selalu taruh di depan matanya sebagai pedoman. Ketika kita membaca Sirah para sahabat dan melihat model praktis mereka, tampak jelas status mereka yang hebat. Posisi ini harus menjadi alasan untuk menarik perhatian kita pada fakta bahwa biografi mereka, teladan mereka, ketaatan mereka, tingkat ibadah mereka, dan contoh mereka menjadi panduan bagi kita yang harus dijadikan bagian dari kehidupan kita.

Sekarang saya akan menceritakan beberapa kisah dari beberapa sahabat Rasulullah (saw). Hadhrat Abu Dujanah Al-Ansari radhiyAllahu ‘anhu merupakan sahabat yang menerima Islam sebelum hijrahnya Rasulullah (saw) ke Madinah. Beliau dari kalangan Anshar dan merupakan penduduk asli Madinah. Beliau juga memiliki kehormatan untuk turut serta dalam perang Badar bersama Rasulullah (saw) dan beliau berjuang dengan amat gagah berani. Demikian pula beliau pun berkesempatan ikut serta dalam perang Uhud.

Ketika perang Uhud, setelah umat Muslim diserang balik. Maksudnya, pada awalnya umat Islam mendapatkan kemenangan, namun kemudian diserang balik oleh orang-orang kafir dikarenakan beberapa Sahabat meninggalkan pos (tempat tugas) mereka sehingga orang-orang kafir menduduki pos-pos yang ditinggalkan tersebut dan berbalik menyerang mereka. Dari antara para sahabat yang tetap berdiri di dekat Rasulullah (saw) salah satunya adalah Hadhrat Abu Dujanah(ra), dan beliau mengalami luka yang parah saat melindungi Rasulullah (saw). Namun, beliau tidak mundur meski penuh luka-luka.[3]

Ada sebuah riwayat yang menyebutkan suatu ketika Rasulullah (saw) mengangkat sebilah pedang beliau dan bersabda: “Siapa yang akan menunaikan hak pedang ini?” Seketika itu juga Hadhrat Abu Dujanah ra menyambut seruan Rasulullah saw, “Saya. Wahai Rasulullah.” Rasulullah (saw) pun menyerahkan pedang itu kepadanya. Ia bertanya: “Ya Rasulullah saw, apa maksudnya menunaikan hak pedang ini?” Rasulullah (saw) bersabda: “Tidak ada darah orang Muslim yang akan mengalir karena pedang ini. Dan kedua, tidak ada orang yang memusuhi yang akan selamat dari pedang ini.”[4] Artinya, wajib untuk menggunakan pedang ini hanya untuk memerangi orang-orang kafir yang datang memerangi Islam dan ingin melenyapkan Islam.

Dalam sebuah riwayat menyebutkan seketika itu Hadhrat Abu Dujanah ra dengan penuh semangat maju diantara barisan Muslim dan kuffar dan sambil membusungkan dada terjun ke medan perang. Hadhrat Rasulullah (saw) ketika melihatnya bersabda, “Ini tindakan yang jika dilakukan dalam keadaan biasa dibenci Tuhan kecuali situasi seperti ini (medan perang).”[5]

Hadhrat Abu Dujanah ra syahid ketika perang Yamamah saat memberantas Musailamah Al-Kazzab. Beliau berkata kepada teman-temannya supaya melemparkannya ke dalam benteng dari atas pagar (perhatikan bahwa tembok itu sangat tinggi) dan saat mereka melemparkannya, lalu ia jatuh di seberang tembok dan kakinya patah, namun tetap berjuang dengan segenap keberanian dan membuka pintu benteng demi masuknya pasukan Muslim. Abu Dujanah menunjukkan keberanian yang besar dan menjadi syahid dan berperang dengan sangat berani.[6]

Suatu ketika saat beliau sakit, beliau berkata kepada sahabatnya, “Mungkin hanya dua amalan saya saja yang diterima Allah Ta’ala. Pertama, saya tidak pernah membicarakan keburukan orang lain serta bicara yang sia-sia. Kedua, saya tidak menyimpan dendam atau kebencian di dalam hati saya kepada orang Islam lainnya.”[7]

Lalu, sahabat lain adalah Hadhrat Muhammad bin Maslamah (ra). Beliau termasuk kalangan Anshar yang awal masuk Islam. Beliau pemberani. Beliau juga ikut dalam perang Uhud dan tetap berdiri berjuang dengan berani di samping Rasulullah (saw) dengan sangat gigihnya. Satu yang istimewa darinya adalah Rasulullah (saw) menyampaikan nubuatan pada dirinya dan itu terjadi.

Pada satu kesempatan seraya menyerahkan pedang beliau (saw) kepadanya, Rasulullah (saw) bersabda, “Selama bertempur melawan orang-orang Musyrik, maka kamu harus terus memerangi mereka dengan pedang ini. Namun, ketika tiba waktunya saat orang-orang Islam saling berperang satu sama lain, kamu harus mematahkan pedang ini, dan tetap diam di rumah sampai seseorang membunuhmu atau kematian menghampirimu.”

Beliau melaksanakan nasehat Nabi (saw) tersebut. Hadhrat Muhammad bin Maslamah (ra) mematahkan pedang logamnya itu setelah terbunuhnya (syahidnya) Hadhrat Utsman bin Affan. Beliau mengambil pedang kayu untuk berjaga-jaga.

Seseorang mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya: “Apa gunanya itu?” Beliau menjawab, قَدْ فَعَلْتُ مَا أَمَرَنِي بِهِ رَسُولُ اللَّهِ وَاتَّخَذْتُ هَذَا أُرْهِبُ بِهِ النَّاسَ “Ini untuk menimbulkan ru’ub (keseganan) di hati orang-orang saja. Saya telah melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. Saya tidak akan membawa pedang besi sesuai dengan nasehat Nabi, tapi pedang kayu tidak akan menyakiti siapapun.”

Para sahabah mengatakan bahwa setelah kemartiran Hadhrat Utsman, fitnah (penghasutan dan kerusuhan) mulai tampak tapi itu tidak mempengaruhi Muhammad bin Maslamah. Guna menjaga diri beliau dari kerusuhan saat itu, maka beliau pergi mengasingkan diri, dan beliau berkata, “Jika kerusuhan ini tidak berakhir saya akan menghabiskan hidup saya di pengasingan.”[8]

Sahabat-sahabat ini ketika mereka berperang, alasan di balik peperangan mereka ialah karena musuh menyerang agama, dan karena Rasulullah memerintahkan mereka untuk memerangi orang-orang kafir yang berusaha memerangi agama dan bermaksud untuk melenyapkannya. Selama kaum Muslim didasarkan pada hal itu, mereka tetap kuat dan menang, dan ketika mereka mulai berperang di antara mereka sendiri dan memotong leher antara satu terhadap yang lain karena tertipu oleh kata-kata orang munafik, maka mereka tidak lagi bersatu. Pemerintah mereka terlihat ada secara lahiriah namun perlahan melemah. Hari ini kita menyaksikan perselisihan diantara umat Islam sudah melampaui batas.

Maka dari itu nubuatan Rasulullah (saw) yang lainnya pun sudah tergenapi yaitu setelah era kegelapan, muncul-lah cahaya, yaitu ketika masa Al-Masih yang dijanjikan tiba, kalian harus menerima al-Masih tersebut dan bergabung dengan Jemaatnya, karena keberkatan ada di dalamnya. Tapi kita melihat umat Islam tidak percaya pada utusan ini sehingga itu telah menjadikan mereka haus bahkan terhadap darah warga setanah airnya sendiri. Hal ini berdampak pada dunia non-Muslim dalam praktiknya sekarang berkuasa atas umat Islam.

Kita menemukan kejadian yang mengatakan bahwa Muhammad bin Maslamah berpendirian lurus dan dalam banyak peristiwa sangat taat, dan karena itu, para Khalifah sangat mempercayainya, terutama Hadhrat Umar dan Hadhrat Utsman, semoga Allah berkenan dengan mereka, yang telah mempercayakannya beberapa tugas penting dan pekerjaan yang diperlukan. Hadhrat Umar mengutusnya untuk mencari fakta dan menyelidiki keluhan dan pengaduan yang beliau terima mengenai beberapa pejabat dari berbagai negeri dan wilayah.[9]

Salah satu sahabat yang paling awal adalah Hadhrat Abu Ayyub Al-Ansari (ra). Beliau beruntung mendapatkan kehormatan sebagai tuan rumah dan menerima Rasulullah (saw) saat hari-hari pertama beliau (saw) di Madinah setelah baru saja hijrah dari Makkah. Setiap orang berharap Nabi akan tinggal di rumahnya, dan setiap orang akan meminta Nabi (saw) untuk tinggal di rumahnya.

Sampai akhirnya Rasulullah (saw) memutuskan untuk melepas unta beliau dan dimana unta tersebut berhenti maka beliau (saw) akan tinggal di sana. Unta beliau (saw) berhenti di rumah Hadhrat Abu Ayyub Anshari ra. Inilah kebahagiaan beliau. Tapi orang-orang merasa tidak puas dengan mengatakan unta itu dekat rumah mereka juga. Hingga akhirnya sekali lagi unta dilepas oleh Nabi saw, tapi tetap saja rumah Hadhrat Abu Ayub ra yang terpilih. Beliau ra-lah yang beruntung.[10]

Nabi (saw) tinggal di rumah Abu Ayyub Al-Anshari (ra). Rumah Abu Ayyub Al-Anshari (ra) terdiri dari dua lantai. Lantai atas ditempati beliau sementara lantai bawah diperuntukan bagi Rasulullah (saw). Suatu malam sebuah gerabah berisi air pecah di lantai atas (diketahui gerabah digunakan untuk menyimpan air, dan sekarang juga di negara-negara miskin di Dunia Ketiga seperti Pakistan, menyimpan air di dalamnya) Singkatnya, bejana itu pecah. Beliau dengan sang istri pun sepanjang malam mengelapnya hingga kering dengan kain selimut mereka.

Pagi harinya, beliau menceritakan kepada Nabi (saw) apa yang terjadi pada malam hari dan meminta beliau (saw) untuk tinggal di lantai atas. Nabi (saw) menyetujuinya. Sekitar 6 atau 7 bulan Rasulullah (saw) tinggal di rumah beliau ra. Dan beliau ra mendapat karunia untuk memenuhi hak pengkhidmatan tamu terhadap Rasulullah saw. Beliau ra dan istrinya selalu makan dari sisa makanan Rasulullah (saw) yang beberkat. Kedua suami istri ini biasa makan dari tempat dimana jari-jari Nabi (saw) pernah berada di makanan tersebut.

Suatu kali Rasulullah (saw) tidak makan makanan yang disediakan. Ketika ditanya kenapa tidak makan maka beliau (saw) bersabda: “Saya tadi melihat ada bawang merah dan bawang putih (mentah) di masakan itu. Saya tidak suka, maka saya tidak memakannya.” Hadhrat Abu Ayyub Al-Anshari ra lalu berkata: “Jika begitu apapun yang Rasulullah (saw) tidak sukai maka saya juga tidak akan sukai.”[11] Inilah sebuah bentuk rasa cinta yang menakjubkan.

Hadhrat Abu Ayyub Ansari (ra) ikut serta dalam semua ghazwah (peperangan yang diikuti Rasulullah saw).[12]

Dalam Pertempuran Khaybar, pemimpin orang-orang Yahudi terbunuh dan Nabi menikah dengan putri orang itu, Shafiyah. Pagi hari saat Rasulullah (saw) hendak memimpin shalat subuh, didapatinya Hadhrat Abu Ayyub berjaga di luar tenda beliau semalaman. Nabi bertanya kepadanya mengapa menjaga beliau pada malam itu.

Beliau menjawab: “Kerabat Shafiyah menghadapi kekalahan di tangan kami, dan beberapa di antara mereka juga telah terbunuh. Jadi saya takut ada orang dari kalangan mereka yang datang ke sini dan mencoba membalas dendam, jadi saya datang ke sini sebagai penjaga.” Rasulullah (saw) pun kemudian mendoakan Hadhrat Abu Ayyub sebagai berikut: اللّهُمّ احْفَظْ أَبَا أَيّوبَ كَمَا بَاتَ يَحْفَظُنِي “Allahumma hfazh Aba Ayyuba kama baata yahfazhunii.”- “Wahai Tuhan! Jaga dan lindungilah selalu Abu Ayyub sebagaimana ia menjagaku sepanjang malam!”

Hadhrat Abu Ayyub Al-Anshari juga ambil bagian dalam perang melawan kekaisaran Romawi meskipun usianya sudah tua. Beliau ikut dalam peperangan tersebut hanya ingin menyaksikan pemenuhan nubuatan Rasulullah (Saw) mengenai Konstantinopel.[13] Kendati beliau di masa-masa penyerangan tersebut jatuh sakit. Ketika beliau ditanya keinginannya yang terakhir, beliau menjawab, “Sampaikan salam saya ke setiap umat Islam dan kuburkanlah saya sejauh mungkin yang dapat kalian mampu di negeri musuh.”

Maka mulai dari itu, saat kewafatannya di malam hari, jenazahnya dibawa sejauh mungkin di negeri musuh guna dikuburkan. Bahkan saat ini kuburan beliau berada di Turki, dan dikatakan oleh para peziarah bahwa orang-orang di sana telah membuat-buat beberapa bid’ah juga yang diantaranya yaitu siapa yang berdoa di kuburan tersebut maka hajatnya akan dikabulkan. Mereka tidak meminta kepadanya, namun percaya permohonan di makamnya akan dikabulkan.[14] Ringkasnya, kisah-kisah pun dibuat-buat dan bermunculan setelah itu.

Doa yang dimintakan oleh Nabi (saw) supaya semoga Tuhan melindungi Abu Ayyub telah dikabulkan. Beliau berpartisipasi dalam banyak peperangan dan kembali dengan selamat. Beliau pun hidup lama.

Selanjutnya, diantara Sahabat Rasulullah (saw), Hadhrat Abdullah bin Rawahah (ra) ialah seorang penyair termasyhur di Arabia, dan juga terkenal dengan julukan Sang Penyair Rasulullah (saw).[15] Setelah perang Badar berakhir, beliau salah seorang yang membawa berita kemenangan kepada orang-orang Madinah.[16]

Ada beberapa peristiwa yang menunjukkan jalinan, semangat dan kecintaan Hadhrat Abdullah bin Rawahah (ra) kepada Nabi saw. Contohnya, sebagai berikut: Usamah bin Zaid bin Haritsah meriwayatkan kepada Urwah ibn az-Zubair: Suatu kali sebelum peristiwa Badar, Rasulullah (saw) bersama Usamah pergi dengan mengendarai keledai ke satu tempat untuk menengok Sa’ad bin Ubadah yang sakit di Banu al-Harits bin al-Khazraj. Mereka melewati sekelompok orang yang adalah campuran dari orang-orang Musyrik (penyembah berhala, orang Yahudi dan orang Islam. Diantara mereka ada Hadhrat Abdullah bin Rawahah ra dan ketika itu juga ada Abdullah bin Ubay (seorang munafik). Beliau (saw) menyampaikan salam kepada mereka, turun dari kendaraan dan bertabligh di sana membacakan ayat-ayat Qur’an.

Abdullah bin Ubay berkata kepada Rasulullah saw: “Wahai saudara, anda tidak perlu datang menganggu Majelis kami. Meski benar, tidak baik apa yang Anda katakan. Kembalilah ke tempat perjalanan Anda dan sampaikan pesan itu hanya kepada orang-orang yang mana Anda akan ke sana.” Mendengar itu langsung Hadhrat Abdullah bin Rawaha ra berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah saw! Engkau silahkan terus datang ke majlis kami, kami sangat senang.”[17]

Maksudnya, tidak usah perdulikan Abdullah bin Ubay meskipun dia pemimpin di sini. Demikianlah bagaimana ghairat dan kecintaan kepada Nabi saw, beliau ra perlihatkan secara langsung tanpa mempedulikan para tokoh itu dan orang-orang duniawi tersebut.

Ada riwayat dari Abdullah Ibn Abbas yang menyebutkan beberapa sahabat ditugaskan oleh Nabi (saw) untuk sebuah ekspedisi, termasuk Abdullah bin Rawahah. Kebetulan hari itu pada hari Jumat. Para sahabat berangkat sementara beliau menunda berangkat, memisahkan diri untuk shalat berjamaah bersama Nabi (saw) lalu baru berniat bergabung dengan rombongan. Ketika shalat berjamaah telah selesai, Nabi (saw) melihatnya di Masjid lalu beliau bertanya, مَا مَنَعَكَ أَنْ تَغْدُوَ مَعَ أَصْحَابِكَ؟ ‘Apa yang menghalangi Anda berangkat bersama para Sahabat yang lain?’

Ia menjawab: ‘Saya ingin shalat berjamaah dengan Anda pada hari Jumat dan mendengarkan khotbah Anda lalu baru bergabung dengan mereka. Nabi berkata: لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَدْرَكْتَ فَضْلَ غَدْوَتِهِمْ ‘Jika Anda mengorbankan apa yang ada di bumi semuanya, baru Anda akan menyadari kebajikan dari keberangkatan mereka, karena mereka mengikuti perintah.’ [18]

Inilah pelajaran kita bahwa ketaatan ialah suatu keharusan. Hal ini diceritakan dalam riwayat bahwa Abdullah bin Rawahah setelah peristiwa ini menjadi yang pertama berangkat ketika ditugaskan dan yang terakhir pulang.[19]

Ada satu kisah dimana Urwah bin Zubair menceritakan bahwa Rasulullah (saw) menunjuk langsung Zaid bin Haritsah (ra) sebagai Panglima perang. Beliau (saw) bersabda, إِنْ أُصِيبَ زَيْدٌ، فَجَعْفَرُ بن أبِي طَالبٍ عَلَى النَّاسِ، فَإِنْ أُصِيبَ جَعْفرٌ، فَعَبْدُ اللهِ بن رَوَاحَةَ عَلَى النَّاسِ. فإن أصيب ابن رواحة فليرتضِ المسلمون رجلا. “Jika Zaid tertimpa sesuatu (syahid, terbunuh) maka Ja’far bin Abi Thalib yang akan menjadi panglimanya. Jika Ja’far pun syahid, maka Hadhrat Abdullah bin Rawahah (ra) yang akan mengambil kendali. Jika Abdullah (ra) juga mati maka umat Islam harus bermusyawarah dan memilih siapa yang mereka sukai sebagai panglima. Ketika tiba waktunya giliran Abdullah sebagai panglima.

Ketika pasukan berangkat dan menyampaikan perpisahan dengan pengantar, beliau pun menangis. Seseorang bertanya kenapa lalu beliau berkata, “Demi Allah saya benar-benar tidak mencintai ataupun berhasrat sedikit pun dengan dunia. Akan tetapi saya mendengar Rasulullah (saw) berkata mengenai ayat al-Quran: وَإِنْ مِنكُمْ إِلا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا (مريم: 72) ‘Dan, tiada seorang pun dari antara kamu melainkan akan mendatangi neraka itu. Inilah ketetapan mutlak Tuhan engkau.’

Di situ dikatakan setiap orang pasti menghadapi nerakanya. Jadi setelah melewati shiraath (jalan yang halus ini yaitu hari penghisaban), saya tidak mengetahui bagaimana keadaan saya nantinya.[20] Namun, difirmankan, Kemudian akan Kami selamatkan orang-orang yang bertakwa..”

Hadhrat Rasulullah (saw) juga memberikan kabar suka akhir yang baik. Beliau bersabda: “Berkenaan dengan para panglima perang yang syahid di perang Mu’tah, saya melihat mereka di Surga duduk diatas takhta emas.”[21]

Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai tujuannya. Keinginan Abdullah bin Rawahah akan kesyahidan tertera dalam bait syairnya berikut ini:

لَكِنَّنِي أَسْأَلُ الرَّحْمَنَ مَغْفِرَةً

Namun, ku memohon ampunan dari Yang Maha Rahman

وَضَرْبَةً ذَاتَ فَرْعٍ تَقْذِفُ الزَّبَدَا

Dan mohon tebasan yang mengoyak dan mencungkil lemakku

أَوْ طَعْنَةً بِيَدَيْ حَرَّانَ مُجْهِزَةً

Atau tikaman di tangan seorang haus (musuh) dengan tombak yang dibidik

بِحَرْبَةٍ تَنْفُذُ الأَحْشَاءَ وَالْكَبِدَا

Mengeluarkan hati dan ususku sehingga Tuhan menerima kesyahidanku

حَتَّى يَقُولُوا إِذَا مَرُّوا عَلَى جَدَثِي

”Hingga dikatakan, bila mereka melewati pusaraku,

يا أَرْشَدَاللهُ مِنْ غَازٍ وَقَدْ رَشَدَا

Semoga Allah memberi kemuliaan pada pejuang yang telah syahid ini.”

 

Rincian pensyahidan mereka di perang Mu’tah ialah sebagai berikut. Orang-orang Ghassan (orang-orang Arab Kristen yang merupakan vasal atau kerajaan bawahan Romawi) meminta bantuan kepada Heraklius, kaisar Romawi yang kemudian mengirim bantuan kepada mereka untuk menghadapi umat Muslim. Kaisar mengirimkan 200.000 pasukan.

Ketika itu, para panglima orang-orang Muslim bermusyawarah. Mereka ingin agar menyampaikan pesan kepada Rasulullah (saw) soal jumlah pasuka yang kurang memadai dan meminta penambahan pasukan, atau apa pun itu keputusan beliau saw, mereka akan menerimanya. Tapi Hadhrat Abdullah bin Rawaha ra-lah yang menyemangati mereka untuk terus berderap maju menghadapi musuh. Di perang Mu’tah, pasukan Muslim yang berjumlah 3000 orang menghadapi 200.000 orang musuh [terdiri dari orang-orang Romawi, Arab dan lain-lain). Dalam perang itu Hadhrat Abdullah bin Rawaha ra menunjukkan keberanian yang sangat luar biasa.[22]

Hadhrat Zaid bin Arqam menyebutkan harapan Abdullah bin Rawahah untuk meraih Syahadah (kesyahidan): Abdullah bin Rawahah mendapat tugas sebagai pemimpin untuk Pertempuran Mu’tah. Abdullah bin Rawahah ialah wali (pemberi nafkah) Zaid bin Arqam, seorang yatim piatu dan beliau pula yang mendidiknya.

Zaid berkata, “Saya mendengar satu malam Abdullah bin Rawahah mengulangi bait-bait puisi berikut, yang menyebutkan keluarganya dan mengatakan tidak akan kembali kepada mereka. Ia melantunkan bait-bait ini dengan kebahagiaan dan membicarakan istrinya:

  إذا بلَّغتني وحملت رحلي … مسافة أربعٍ بعد الحساء

Kamis malam tatkala kau menuntunku yang di atas punggung untaku untuk berjihad.

Menempuh perjalanan jauh setelah meminum air segar di Hisaa’

فزادك أنعمٌ وخلاك ذمٌّ … ولا أرجع إلى أهلي ورائي

 Di dekatmu adalah kesenangan dan keberkahan…

pada dirimu tidak ada kehinaan dan kerusakan.

Namun, aku telah berada di medan perang

Dan tak akan kembali lagi kepadamu.

 

Seolah-olah bait-bait syair itu adalah pesan perpisahan bagi keluarganya tanpa mereka ketahui. Ketika anak bungsunya mendengar bait-bait syair ini, ia pun bersedih dan menangis. Dengan lembut dipukulnya anak itu dan berkata, ‘Hai orang yang tak paham! Tidak ada kerugiannya padamu jika Allah Ta’ala menganugerahi saya kesyahidan. Bahkan, nanti engkau sendiri dengan nyaman akan menaiki saya sebagai tunggangan [menuju surga].’ Beliau lalu bersiap untuk shalat malam. Di akhir shalat, beliau berdoa amat lama dan berkata kepada saya setelah itu, ‘Hai, Nak! Insya Allah saya syahid.’”[23]

Abdullah bin Rawahah memperlihatkan keberanian dalam medan jihad seperti yang dikisahkan oleh Abdus Salam bin Numan bin Bashir: “Ketika Ja’far bin Abi Thalib tewas (syahid), orang-orang memanggil Abdullah bin Rawahah, yang tengah berada di sisi pasukan. Ia pun datang dan bersyair mengenai diri sendiri:

 يا نفس إلا تقتلي تموتي … هذا حياضُ الموتِ قد صُليتِ

وما تمنيتِ فقد لقيتِ … إن تفعلي فعلَهُما هديتِ

Wahai diri, tidakkah engkau akan berperang hingga engkau tewas terbunuh (Bila engkau tidak tewas terbunuh, engkau pasti akan mati juga)

Inilah kematian sejati (kesyahidan) yang sejak lama engkau nanti

Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan selama ini

Jika engkau ikuti jejak keduanya yang mengorbankan jiwa, engkau berada dalam petunjuk.

(Dua orang yang telah mendahuluinya mencapai kesyahidan adalah Zaid dan Ja’far.)

Hadhrat ‘Abdullah bin Rawahah (ra) memperlihatkan mutiara pengorbanan yang besar dalam medan pertempuran. Mush’ab bin Syabiah meriwayatkan setelah kesyahidan Hadhrat Zaid (ra) dan Hadhrat Ja’far (ra), Hadhrat Abdullah bin Rawahah (ra) maju ke garis depan. Sebuah tombak melayang menghujam tubuh beliau, dan seketika itu juga darah mengucur keluar dengan derasnya. Beliau mengangkat tangan, menyeka darah tersebut dan melumurinya ke wajah beliau lalu terjatuh di tengah-tengah garis pertempuran musuh.

Namun sebagai panglima perang beliau bangkit dan terus memompa semangat umat Islam hingga nafas terakhir. Sambil meminta bantuan beliau membakar semangat umat Islam dengan mengatakan: “Lihatlah wahai umat Islam! Tubuh saudaramu ini tergeletak di depan musuh. Maju dan pukul mundur lah musuh tersebut dan lawan mereka.” Oleh karena itu, orang-orang Islam pun terus menerus melawan para musuh tersebut dengan begitu dahsyat. Dan Hadhrat ‘Abdullah pun meraih kesyahidan.[24]

Mengenai keistimewaan beliau, janda beliau yang kemudian menikah setelah kesyahidan beliau meriwayatkan bahwa suaminya bertanya: “Coba beritahu saya apa kekhususan dari kesucian Hadhrat Abdullah bin Rawahah ra (almarhum suamimu)?” Beliau berkata: “Abdullah bin Rawahah (ra) tidak akan meninggalkan rumah sebelum melaksanakan shalat sunnah dua rakaat. Demikian pula hal yang paling pertama beliau lakukan setelah masuk ke rumah adalah berwudhu terus melaksanakan shalat sunnah dua rakaat.”[25]

Inilah orang-orang yang setiap saat dan kesempatan senantiasa mengingat Allah Ta’ala.

Mengenai standar ketaatannya, Abu Laila meriwayatkan suatu kali Nabi (saw) berpidato di dalam Masjid. Abdullah bin Rawaha ra tengah dalam perjalanan hendak masuk ke Masjid. Saat itu ia mendengar Nabi (saw) bersabda kepada para Sahabat di dalam Masjid, “Duduklah!” Ia pun langsung duduk padahal masih di luar Masjid. Ketika Nabi (saw) selesai berpidato lalu bersabda kepada Abdullah bin Rawahah ra, زادك الله حرصا على طواعية الله وطواعية رسوله zaadakaLlahu ‘alaa thawaa’iyatiLlaahi wa thawaa’iyati Rasuulihi.’ – “Wahai Abdullah bin Rawahah! Semoga Allah meninggikan gairat ketakwaanmu kepada Allah dan rasul-Nya.”

Apakah tolok ukur mereka dalam bercakap-cakap soal agama, mengadakan majelis-majelis keagamaan, ikut terlibat dalam percakapan yang bermakna dan memenuhi hak-hak mereka satu sama lain? Mengenai hal ini Hadhrat Abu Dardaa’ (ra) meriwayatkan, “Saya berlindung kepada Allah bila menyadari hari-hari tanpa ingat Abdullah bin Rawahah (ra) di hari itu. Hal demikian karena tiap kali berjumpa saya dengan menepuk bahu saya dari belakang atau tiap kali berjumpa dari depan beliau meletakkan telapak tangannya di dada saya, ia biasa berkata kepada saya, تَعَالَ نُؤْمِنْ بِرَبِّنَا سَاعَةً ‘Mari kita mengimani Tuhan kita satu jam ini.’

Yang artinya, ‘Wahai Abu Dardaa! Mari duduk bersama-sama guna membangkitkan (memperkuat) dan menyegarkan keimanan kita. Ayo kita berbicara tentang agama (keimanan).’ Lalu kami duduk-duduk berbincang. Tiap kali ada kesempatan kami bercakap-cakap yang mengingatkan kami pada dzikr kepada Allah. Kemudian ia berkata kepada saya, يا أبا الدرداء هذه مجالس الإيمان inilah majelis keimanan.”[26]

Dengan demikian, beliau mempelopori keteladanan sebagai orang yang mengadakan majelis pembicaraan tentang keimanan. Hal ini patut kita contoh.

Bagaimana Nabi (saw) memandang pada perkataan Ibni Rawahah ini dan majelis-majelis yang ia adakan. Anas ibn Malik meriwayatkan bahwa jika Abdullah ibn Rawahah berjumpa dengan seseorang dari para Sahabatnya, ia biasa berkata, تَعَالَ نُؤْمِنْ بِرَبِّنَا سَاعَةً “Mari kita mengimani Tuhan kita satu jam ini.” Suatu hari beliau mengatakan hal tersebut kepada seseorang dan orang itu pun marah. Orang itu datang kepada Nabi (saw) dan berkata, “Wahai Rasulullah! Tidakkah Anda perhatikan bagaimana Ibn Rawahah mengubah iman kepada Anda menjadi iman hanya satu jam.”

Rasulullah (saw) bersabda: يَرْحَمُ اللَّهُ ابْنَ رَوَاحَةَ، إِنَّهُ يُحِبُّ الْمَجَالِسَ الَّتِي تُبَاهَى بِهَا الْمَلَائِكَةُ “Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat-Nya kepada Abdullah bin Rawhah (ra). Ia menyukai majelis-majelis seperti itu yang mana para malaikat pun menyukainya.”[27]

Abdullah bin Rawahah (ra) ialah penyair yang mahir. Ia termasuk tiga orang penyair Rasulullah. Kedua orang lainnya ialah Ka’ab bin Malik dan Hasan ibn Tsabit. Penulis buku Mu’jamusy Syu’ara mengatakan bahwa beliau berkedudukan tinggi diantara para penyair sebelum Islam dan sesudah Islam. Berikut betapa bagusnya madah yang beliau sampaikan kepada Rasulullah:

 لو لم تكنْ فيه آياتٌ مبينة … كانت بديهتُه تُنبيك بالخبرِ

‘Law lam takun fiihi aayaatun mubayyinatun…kaanat badiihatuhu tumbiika bil khabr.’ [28]

Jika tidak ada padanya ayat-ayat nan jelas

Sebuah kabar sudah cukup diberitahukan oleh wajahnya

Artinya, bahkan, jika Muhammad al-Mushthafa tidak ada tanda-tanda yang jelas dan terang yang menunjukkan kebenarannya maka wajahnya saja sudah cukup menjadi dalil pernyataan kebenarannya. Mereka itulah kaum yang merupakan pecinta sejati Hadhrat Rasulullah saw. Mereka mengenali kebenaran dengan hanya melihat wajah beliau saja.

Lalu, dari sejarah pun kita belajar mengenai keberanian dan kegagahan yang luar biasa dari dua pemuda bersaudara yaitu Hadhrat Mu’adz bin Harits bin Rifa’at dan Hadhrat Mu’awwidz bin Harith bin Rifa’at. Mereka berdua hadir dalam perang Badar dan juga berperan dalam membunuh Abu Jahl dalam perang yang begitu sengit.

Orang-orang Islam melihat sebuah laskar tentara musuh yang jumlahnya tiga kali lipat banyaknya dan dilengkapi dengan berbagai macam peralatan tempur. Mereka datang ke medan tempur dengan niat melenyapkan nama Islam. Mereka semua mahir berperang dan berkeinginan kuat untuk melenyapkan nama Islam. Sementara umat Islam sangat miskin ketika itu. Orang-orang Islam yang lemah ini jumlahnya sangat sedikit dengan peralatan tempur seadanya.

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad dalam buku ‘Sirat Khataman Nabiyyin’ menceritakan hal ini. Umat Muslim melewati kehidupan dengan kemiskinan dan kesusahan. Dari segi materi, mereka tidak ada apa-apanya di depan para penduduk Makkah. Jika dilihat dari segi duniawi maka mereka akan mudah dihancurkan musuh dalam beberapa menit saja.

Namun, kecintaan kepada Tauhid dan risalah Nabi (saw) telah mewarnai mereka dengan sebuah perasaan yang membuat mereka lebih kuat dari setiap sesuatu di dunia. Keimanan dalam diri mereka telah meniupkan kehidupan kuat yang luar biasa. Mereka mempersembahkan di medan perang demi agama suatu pengkhidmatan yang tidak ditemukan dalam pemandangannya di dunia. Kita temukan setiap orang dari mereka senang hati untuk berkorban jiwa di jalan agama. Setiap orang dari mereka ingin memperlihatkan pengorbanan jiwa di jalan Tuhan melebihi orang yang lain.

Semangat ikhlas kaum Anshar dapat kita temukan secara jelas dalam riwayat yang Abdur Rahman bin Auf (ra) ceritakan: “Ketika peperangan dimulai, saya menoleh ke kanan dan ke kiri, dan melihat tidak ada satu orang pun selain dua pemuda dari kalangan Anshar tersebut. Ketika saya melihat mereka berdua hati saya langsung jatuh, karena biasanya dalam setiap peperangan saya selalu didampingi para pejuang terlatih di kanan dan kiri.

Saya pun diliputi pemikiran tentang bagaimana cara dua (pemuda) ini dapat melindungi saya. Tiba-tiba salah satu pemuda tersebut berbisik dengan cara merahasiakannya agar tidak diketahui saudaranya, “Manakah yang bernama Abu Jahal yang sudah menyebabkan penderitaan Rasulullah (saw) di Makkah? Saya telah bersumpah atas nama Allah Ta’ala bahwa saya akan membunuhnya”. Atau dia berkata, “Saya akan berusaha sampai mati untuk bisa mendekatinya.”

Hadhrat Abdurrahman berkata: “Belum sempat saya menjawab tiba-tiba saudaranya yang satunya lagi di samping saya menanyakan hal yang sama kepada saya. Tingkat keberanian mereka berdua membuat saya kagum, sebab Abu Jahal merupakan Jenderal ternama yang dikelilingi para prajurit tangguh dan berpengalaman. Saya pun menunjuk orang yang bernama Abu Jahal tersebut. Sesaat setelah saya menunjuk orang yang dimaksud, kedua pemuda ini melesat bagaikan elang, membabat setiap musuh yang ada di barisan depan mereka hingga sampai ke tempat Abu Jahal.

Mereka pun menyerang Abu Jahal dengan sangat cepat, hingga membuat para panglima lainnya ‘melongo’ (terpaku) hanya menyaksikan dan tidak mampu berbuat apa-apa. Abu Jahal pun mereka berdua jatuhkan dan tersungkur ke tanah. Saat itu ada Ikrimah bin Abu Jahal juga disamping ayahnya. Ikrimah tidak bisa menyelamatkan Abu Jahal, ayahnya. Namun, Ikrimah dapat menebas tangan kanan Mu’adz. Tangan Mu’az yang ditebas pedang Ikrimah terkulai lemas namun tidak putus penuh. Lalu dia memutuskan tangannya sendiri agar tidak menyulitkannya untuk terus berperang.” [29]

Jadi, inilah dua pemuda yang memiliki semangat dan keluhuran akan keimanan mereka. Bentuk kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah (saw)-lah yang membuat mereka dengan tangan mereka sendiri tidak gentar untuk menghabisi Abu Jahal, seorang yang hendak melenyapkan Islam tersebut dan telah bertahun-tahun menganiaya Nabi saw. Para Sahabat itu tidak seperti orang-orang yang konon disebut Jihadis yang meradikalisasi para pemuda dan berkata kepada mereka agar berperang demi Islam.

Para Sahabat berperang dengan tujuan agung dengan berkata, “Mereka yang memusuhi kami tidak akan membiarkan kami hidup tenang dan damai padahal kami telah meninggalkan kampung halaman kami. Sekarang, terpaksa kami harus mempersembahkan pengorbanan demi mengokohkan kedamaian. Kami tidak menciptakan fitnah (menghentikan ketidakadilan).”

Sebaliknya hari ini, guna menggulingkan pemerintahan, para pemuda diculik dan kemudian diradikalisasikan (dibuat agar menjadi radikal dan berpandangan kekerasan). Beberapa hari lalu ada berita mengenai seorang remaja 14 tahun yang berhasil selamat melarikan diri dari para penculik itu. Ia menceritakan kisahnya bahwa ia dibawa paksa ke sebuah Madrasah. Mereka memaksanya melakukan latihan-latihan kekerasan. Jika tidak mau, ia akan diperlakukan dengan kekerasan hingga ia mau. Jadi, ia dipersiapkan secara paksa untuk berperang atas nama mereka namun telah berhasil susah payah menyelamatkan diri dan melarikan diri dari mereka.

Gerakan-gerakan dari kalangan Muslim ini bertindak dengan mengatasnamakan Islam padahal tindakan mereka berlawanan dengan ajaran Islam. Pada masa dahulu, kenapa peperangan dilakukan atas nama Islam dan kenapa orang-orang dengan mudahnya siap mengorbankan hidup mereka, hal itu dilakukan hanya untuk melindungi agama mereka dan demi menegakan perdamaian di dunia. Oleh karena itu ada perbedaan besar antara orang-orang yang berjihad dahulu dengan para Jihadis hari ini.

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Saya ingin melihat keteladanan para Sahabat Nabi Muhammad (saw) ini di kalangan para anggota Jemaat saya. Hal itu ialah mengutamakan Allah Ta’ala, halangan apa pun di jalan mereka tidak membuat mereka terhambat dan tidak menghitung-hitung harta-harta dan jiwa-jiwa mereka demi berkorban di jalan Allah. Kabar-kabar sampai kepada saya dari sebagian orang yang dari hal itu dapat diketahui bahwa jika sedikit saja mereka menderita kerugian dalam harta atau pekerjaan atau menghadapi ujian, terjadilah keraguan segera dalam diri mereka.” (Mereka mengira mungkin mengimani Hadhrat Masih Mau’ud (as) itu suatu kesalahan sehingga mereka menderita cobaan ini. Demikianlah yang terjadi dalam keraguan terkait agama, Allah Ta’ala dan terhadap Hadhrat Masih Mau’ud (as) juga.)

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda mengenai itu, “Dalam keadaan yang demikian oleh tiap orang baru dapat mengetahui seberapa jauh ia dari tujuan dan maksud hakiki. Pikirkanlah! Apa perbedaan antara mereka dan para Sahabat. Para Sahabat menginginkan ridha Tuhan dan bersamaan dengan itu mereka menghadapi berbagai musibah dan kesulitan di jalan ini.

Jika seseorang dari mereka tidak menghadapi kesulitan dan musibah untuk sementara waktu niscaya ia akan menangis dan tertekan.” (Sebagian Sahabat demikian kuat keyakinannya sampai-sampai peristiwa yang menimpa mereka dalam hal musibah, kesulitan dan kesabaran akan menambah kedekatan mereka dengan Allah.) “Mereka telah memahami bahwa dibawah ujian-ujian tersebut tersembunyi pemandangan ridha Allah dan perbendaharaannya.”

Dalam hal ini, beliau (as) menyebutkan bait syair dalam bahasa Farsi (Persia):

 ہر بلا كين قوم را حق داده است
زير آن گنج كرم بنهاده است

Har bala kiin qaum raa haq daadah ast

Zeer aan ganj karm nahaadah ast.[30]

Setiap kali Tuhan menguji satu kaum dengan sesuatu

Maka, Dia akan perlihatkan di akhirnya keadaan yang lebih baik dan karunia yang sangat banyak.

Selanjutnya, beliau (as) bersabda, “Al-Qur’an yang mulia mengandung pujian terhadap para Shahabat. Bacalah ia supaya kalian mempelajari bagaimana kehidupan para Shahabat merupakan bukti praktis (saksi hidup) kebenaran Nabi Muhammad saw. Kedudukan para Sahabat tercantum dalam ayat, مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُواْ مَا عَٰهَدُواْ ٱللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُۥ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُواْ تَبْدِيلًا ‘Minal mu`miniina rijaalun shadaquu maa ‘aahaduLlaha ‘alaihi faminhum man qadha nahbahu wa minhum man yantazhiru wa maa baddaluu tabdiilaa(n).’ – ‘Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).’ (Surah al-Ahzaab, 33:24).

Itu artinya, diantara mereka terdapat yang meraih martabat kesyahidan dan seolah-olah itu memenuhi cita-cita mereka. Sementara itu, diantara mereka terdapat yang menunggu supaya tercapai kesyahidan. Para Sahabat tidak pernah tergantung pada keduniawian. Mereka tidak pernah berhasrat sekali akan berumur panjang atau berharta dan makmur sejahtera. Tatkala saya merenungi teladan para Sahabat, saya harus mengakui kesempurnaan aliran karunia kekuatan penyucian Nabi Muhammad saw. Bagaimana beliau (saw) mengubah mereka dan mengarahkan perhatian mereka kepada Allah. Allahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammadin wa baarik wa sallim.”

Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik kepada kita untuk mencontoh suri tauladan para sahabat ra, Aamiin

Hadhrat Masih Mau’ud (as) mengatakan tentang para sahabat Rasulullah (saw): “Pada intinya, tugas kita adalah untuk tetap mencari ridha Allah Ta’ala dan tetap menjadikan hal tersebut sebagai tujuan pokok kita. Segala upaya dan perhatian kita harus demi mencari ridha Allah Ta’ala, bahkan baik dalam keadaan kesusahan dan kesulitan sekalipun. Ridha Allah lebih mulia dan lebih tinggi dari semua kelezatan duniawi.”[31]

Semoga Allah Ta’ala memberi kita taufik untuk menunaikan kewajiban ini. Aamiin.

Setelah shalat Jumat, saya akan memimpin shalat jenazah ghaib dari yang terhormat Al-Haaj Ismail BK Addo Sahib. Beliau seorang Ahmadi Ghana dan wafat tanggal 8 Maret di usia 84 tahun. إنا لله وإنا إليه راجعون Innalilahi wa innailahi rajiun.

Beliau lahir sebagai seorang Ahmadi. Ayah beliau, Ismail Kwabena Ado dan ibunya Janat Ado. Ayah beliau seorang Kristen dan baiat masuk Islam melalui Jemaat Ahmadiyah pada tahun 1928. Ibu Tn. Ismail Ado telah meninggal saat Tn. Ismail masih kecil. Tn. Ismail Ado bersekolah di Sekolah Menengah Talimul Islam di Kumasi yang dimiliki oleh Jemaat. Pada 1964 beliau menyelesaikan gelar BA di Inggris. Setelah itu, beliau menyelesaikan kuliah pelatihan sebagai guru dan ditetapkan Negara sebagai guru di beberapa tempat. Beliau juga menjadi asisten Kepala sekolah hingga 1980. Beliau dipindahtugaskan ke wilayah tengah Saltband dan menjadi guru bahasa Inggris.

Di sekolah mana saja beliau bertugas, selalu memberikan pengaturan kemudahan kepada para murid Muslim. Beliau memerintahkan pembangunan Masjid-Masjid untuk para murid Muslim. Beliau juga menjadi dosen bahasa Inggris di Universitas Sains dan Teknologi Nkrumah. Beliau juga mendapat kesempatan mengajar bahasa Inggris di berbagai tempat pendidikan tinggi. Beliau juga menulis buku mengenai pengajaran bahasa Inggris. Buku ini amat terkenal di Ghana dan Nigeria serta diajarkan di sana. Beliau mendapat beasiswa ke UK dan belajar lagi di sebuah Universitas di Wales. Di sana beliau mendapat gelar Diploma dalam bahasa Inggris.

Beliau berkhidmat di Ghana dalam berbagai bidang kepengurusan Jemaat. Pemerintah Ghana pada 1980 menugaskan beliau sebagai duta besar untuk Addis Ababa di Etiopia. Dalam kedudukan itu, UN menetapkan beliau sebagai Chairman di Komite Pembebasan dalam organisasi OAU. Sebagai konsekuensinya, beliau memenuhi tugas dengan mempromosikan kebebasan menyampaikan suara hati nurani di Mozambik dan Angola. Beliau juga mendapat tugas sebagai duta besar di Libya selama beberapa waktu. Keistimewaan beliau ialah dimana pun bertugas, selalu mengutamakan agama dibanding duniawi.

Setelah hijrah Hadhrat Khalifatul Masih IV rha dari Pakistan ke London, Inggris, Almarhum meninggalkan karir politiknya demi tinggal di London bersama putra/inya dan dekat dengan Khilafat. Beliau menjadi guru di sini. Beliau memiliki kecintaan yang mendalam dengan Khilafat dan menunjukan kecintaan, kasih sayang dan ketaatan yang besar kepada setiap Khalifah.

Beliau merupakan anggota Komite yang dibentuk oleh Hadhrat Khalifatul Masih IV (rh) untuk membuat buku guna merespon buku yang ditulis Salman Rushdie. Beliau pun memainkan peranan penting dalam bidang pertablighan. Beliau mendirikan kios tabligh di beberapa tempat. Beliau membuat program tabligh melalui radio. Beliau membuat pertemuan berisi majlis tanya-jawab di berbagai cabang Jemaat.

Pada tahun 1986, ketika Hadhrat Khalifatul Masih IV (rh) mendirikan Pan African-Ahmadiyya Muslim Association, beliau ditunjuk sebagai Presiden pertamanya. Beliau juga dipilih sebagai presiden pertama Jemaat Peckham. Pada tahun 1994, setelah peresmian MTA (Televisi Muslim Ahmadiyah), beliau merupakan siswa terkemuka untuk Urdu Class programme. Beliau berusaha sekuat tenaga untuk belajar bahasa Urdu, hingga ia dikenal dengan julukan “Bare Bache” (bocah besar). Beliau merupakan orang Ghana yang semua orang kenal dengannya. Beliau memiliki dua istri.

Beliau juga anggota Majelis Pemilih Khalifah setelah kewafatan Khalifah ke-4 rha. Ketika Jamiah Ahmadiyah di sini mulai dijalankan, Tn. Ado ditugaskan mengajar bahasa Inggris meski dalam waktu yang tidak lama. Beliau menjalani ketakwaan, beribadah, orang yang bersyukur, berjiwa penyayang. Beliau rajin beribadah.

Para anggota keluarganya mengatakan bahwa beliau dawam shalat tahajud dan tidak meninggalkannya meski dalam kondisi sakit. Beliau membaca al-Quran dengan suara yang merdu dan gairat yang tinggi. Beliau menghapal banyak sekali ayat Al-Qur’an yang juga beliau hapal terjemahan dan tafsirnya. Itu beliau gunakan pula dalam pertablighan dan tarbiyat. Saudara-saudara Jemaat dari Ghana memberitahukan bahwa mereka melihat di rumah Almarhum terdapat naskah Al-Qur’an yang di bagian bawah terdapat catatan kaki tulisan tangan Almarhum. Pada tahun 2005 beliau mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan Haji dengan kedua istrinya. Beliau orang yang selalu tersenyum, rendah hati dan sederhana.

Semoga Allah Ta’ala mengangkat derajatnya, menganugerahinya ampunan-Nya dan merahmatinya. Beliau meninggalkan 10 orang anak, baik laki-laki maupun perempuan, dan 23 cucu laki-laki dan perempuan. Semoga Allah Ta’ala menganugerahi anak keturunan beliau untuk terus berpegang teguh dalam kebaikan, takwa dan ikatan dengan Jemaat. (Aamiin)! Sebagaimana telah saya katakan, saya mengimami shalat jenazah gaib setelah shalat jamak Jumat dan Ashar.

[1] Malfuzhat, Vol. 6, hal. 278, edisi 1985, UK.

[2] Malfuzhat jilid 6, h. 277, edisi 1985, terbitan UK

[3] Sirah ash-Shahabah, jilid 3, h. 207, Hadhrat Abu Dujanah al-Anshari, Darul Isya’at, Karachi, 2004; Al-Isti’aab, jilid 4, h. 1644, Abu Dujanah, Darul Jamil, Beirut, 1992.

[4] Shahih al-Bukhari, Kitab Fadhail ash-Shahabah, bab min fadhl Abu Dujanah, 6353

[5] Asadul Ghabah, jilid 6, h. 93, Samak ibn Haritsah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[6] Asadul Ghabah, jilid 2, h. 551, Samak ibn Haritsah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[7] Ath-Thabaqaat al-Kubra, jilid 3, h. 420, bab Abu Dujanah, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Beirut, 1990.

[8] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad, jilid 3, h. 340-338, bab Muhammad ibn Maslamah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990

[9] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad, jilid 3, h. 47, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990; Asadul Ghabah, jilid 5, h. 107, Muhammad ibn Maslamah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996. Hadhrat Muhammad bin Maslamah ra, mendapat kepercayaan dalam beberapa jabatan sejak zaman Khalifah Abu Bakr ra. Jabatannya semakin naik dan bertambah penting pada masa Khalifah Umar dan Khalifah Utsman. Namun, sejak syahidnya Khalifah Utsman, pada masa Khalifah Ali, beliau mengasingkan diri di bukit Uhud.

[10] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad, jilid 3, h. 369, bab Abu Ayyub al-Anshari, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990; Sirah ash-Shahabah jilid 1, h. 183, Khuruj Rasulullah saw, Darul Isya’at, Karachi, 2004.

[11] Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 7 h. 781, hadits 23966, Musnad Abu Ayyub al-Anshari, Alamul Kutub, Beirut; Shahih Muslim, Kitab al-Asyribah, bab memakan bawang, no. 5356; Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad, jilid 1, h. 183, bab Abu Ayyub al-Anshari, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990

[12] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad, jilid 3, h. 369, bab Abu Ayyub al-Anshari, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990

[13] Penyerangan lewat laut dan darat terhadap ibukota kekaisaran Romawi Timur, Konstantinopel dimulai pada masa Khalifah Utsman ra pada 32 Hijriyah. Penglima pasukan ialah Hadhrat Muawiyah ra, Amir/Gubernur Syam (Suriah dsk) saat itu. Setelah Khulafa-ur Rasyidin berakhir dan Muawiyah menjadi penguasa seluruh wilayah Muslim, pada tahun 42, 43, 44 dan 46 Hijriyah, Muawiyah juga mengirim pasukan ke sana. Antara tahun 49-55 (670-an M) dikirim lagi pasukan ke Konstantinopel dibawah pimpinan Sufyan bin Auf. Pasukan ini menderita penyakit dan berbagai masalah, dikirimkanlah bala bantuan di bawah pimpinan Yazid putra Muawiyah (berumur 20-an tahun). Pasukan bala bantuan ini diikuti oleh Husain bin Ali, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn az-Zubair (berumur antara 40-an dan 50-an tahun), dan Abu Ayyub al-Ansari (80 tahun). (Tarikh Madinah Dimashq karya Ibn Asakir dan Tarikhul Islam karya Adz-Dzahabi) Menurut riwayat Abu Ayyub berwasiyat: “Aku mendengar dari Nabi (saw) bahwa seorang yang sholeh akan dimakamkan di kaki dinding Konstantinopel, aku berharap orang itu adalah diriku.” (Ibnu ‘Abd Rabbih, al ‘Aqd al-Farid, jild. 5, hal. 116) “Sekiranya aku syahid di sini wahai Yazid (panglima Bani Umaiyyah), kalian kuburkan aku di tepi benteng Konstantinopel, karena aku ingin mendengar derapan tapak kaki kuda sebaik-baik raja ketika mereka nanti akan menaklukkan Konstantinopel seperti yang telah diisyaratkan oleh baginda Nabi.” Konstantinopel, ibukota Romawi Timur Bizantium (sekarang Istanbul, wilayah Turki di benua Eropa) ditaklukkan Sultan Mehmed II (al-Fatih, sang Penakluk), Raja Daulah Utsmaniyah (Ottoman) Turki pada 1453 Masehi.

[14] As-Siiratul Halabiyah jilid 3, h. 66, Ghazwah Khaibar, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002; Asadul Ghabah, jilid 2, h. 123, Khalid bin Zaid bin Kalib, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[15] As-Siiratul Halabiyah jilid 3, h. 409, Ghazwah Khaibar, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2002

[16] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’ad, jilid 3, h. 398, bab Abdullah bin Rawahah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1990; Hadhrat Abu Ayyub al-Anshari berusia 80 tahun ketika wafat. Beliau mengalami zaman Nabi (saw) sejak sebelum hijrah ke Madinah, mengalami 4 Khalifah Rasyidin (11-40 Hijriyah) dan mengalami zaman pemerintahan Muawiyah (40-61 H). Beliau baiat kepada semua Khalifah, termasuk Hadhrat Ali ra. Berpihak kepada Hadhrat Ali ra saat terjadi perbedaan pendapat dengan banyak Sahabat lainnya. Bahkan, menjadi Amir Madinah di pihak Ali. Namun, di zaman Muawiyah, ia ikut serta dalam program menghadapi Romawi.

[17] Shahih Muslim, Kitab tentang Jihad dan Perjalanan, bab doa Nabi saw, 4659

[18] Sunan at-Tirmidzi, abwaabul Jum’at, perjalanan di hari Jumat, 527.

[19] Asadul Ghabah, jilid 3, jilid 4, h. 236, Abdullah ibn Rawahah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[20] Asadul Ghabah, jilid 3, h. 237, Abdullah ibn Rawahah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[21] Asadul Ghabah, jilid 3, h. 238, Abdullah ibn Rawahah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[22] Asadul Ghabah, jilid 3, h. 237, Abdullah ibn Rawahah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[23] Asadul Ghabah, jilid 3, h. 236-237, Abdullah ibn Rawahah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[24] Asadul Ghabah, jilid 3, h. 237-238, Abdullah ibn Rawahah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[25] Al-Ishabah fi Tamyiizish Shahabah, jilid 4, h. 74, Abdullah ibn Rawahah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2005.

[26] Asadul Ghabah, jilid 3, h. 236, Abdullah ibn Rawahah, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1996.

[27] Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 4, h. 676, hadits 13832, Musnad Anas ibn Malik, Alamul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1998.

[28] Al-Ishaabah fi Tamyiizish shahaabah, jilid 4, h. 75, Abdullah ibn Rawahah,

[29] Sirat Khataman Nabiyyin, Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib MA, h. 362.

[30] Terjemahan bahasa Arab dari syair Farsi (Persia) ini ialah “كلما ابتلى الله قوما بأمر جعل وراءه أفضالا ونِعَما كثيرة”

[31] Malfuzhat jilid 8, h. 82-83, edisi 1985, terbitan UK

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.