Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
03 Maret 2017 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
Masalah pernikahan antara kaum wanita dan kaum pria dan kesulitan-kesulitan setelah pernikahan menjadi penyebab tumbuhnya perasaan tertekan dan kegelisahan di rumah-rumah tangga. Masalah-masalah keluarga yang muncul setelah pernikahan tidak hanya dapat menjadi penyebab kekhawatiran dan keprihatinan bagi pasangan itu sendiri, tetapi juga dapat menjadi sumber kecemasan bagi kedua pasang orangtua mereka. Bahkan, itu menjadikan anak-anak mereka cemas dan gelisah, jika mereka punya anak. Terkadang hal itu juga bisa menjadi penyebab kerusakan anak-anak dalam hal agama dan duniawinya yang selanjutnya menyebkan bertambah lagi kecemasan pada kedua orang tua dan keluarga mereka sehingga mata rantai kesedihan dan kegelisahan bermula.
Pada satu segi terdapat kesulitan dalam menikahkan para wanita. Setiap hari saya menerima surat maupun ketika mulaqat ada yang membicarakan mengenai hal ini. Ada orang tua tertentu tidak berhasil menikahkan putri mereka dengan alasan bahwa putri mereka tersebut sedang belajar, meskipun ia sudah memasuki usia perkawinan. Kemudian, ketika ia akhirnya menikah dengan seseorang yang meminangnya setelah ia selesai kuliah, pernikahan itu berakhir dengan perceraian karena mereka tidak mampu membentuk kesepahaman apapun karena perbedaan tabiat.
Masalah lain yang dihadapi oleh para wanita adalah bahwa teman-teman mereka menanamkan pada wanita itu bahwa di negara-negara ini (Barat) para wanita memiliki banyak hak, karena itu wanita tersebut harus membuat suaminya menerima tuntutan-tuntutannya, memberikan ini dan itu dan hendaknya jangan pasrah begitu saja pada semua hal terkait pernikahan. Selanjutnya, pada kesempatan-kesempatan tertentu orang tua wanita itu juga mengajarkan hal demikian pada putri mereka yang mana mengarah pada erosi kepercayaan diantara kedua suami-istri atau timbul keragu-raguan dan kecurigaan.
Sangat disayangkan bahwa para wanita yang berasal dari Pakistan di negara-negara Barat ini setelah menikah dan melihat kebebasan dan kemewahan di sini lalu mulai mewarnai diri dengan corak pemikiran di sini dan membuat tuntutan tidak syar’i (sesuai Syariat). Bahkan, malahan membatalkan perjodohan setelah sampai ke sini. Hal ini khusus bukan hanya wanita saja tapi kaum laki-laki juga seperti itu. Sebab di balik semua itu ialah kebanyakan para pemudi dan pemuda tidak secara bebas mengamalkan qaul sadid (perkataan yang lurus, sesuai fakta yang sebenarnya) terkait urusan perjodohan. Padahal ayat-ayat yang dibacakan saat Akad Nikah menegaskan dengan corak khusus mengenai qaul sadid tetapi kedua belah pihak tidak memberi tahu satu sama lain perihal semua kondisi mereka. Oleh karena itu, perkataan yang benar (qaulan sadidan) ini harus dikedepankan dalam perjodohan.
Terkadang orangtua tidak suka anak perempuannya menikah dengan pemuda tertentu berpkiran ia tidak dapat mengatasi situasi yang dihadapi setelahnya seiring dengan sifat kedua pasangan tidak cocok disebabkan perbedaan standar hidup dan budaya. Kadang pemuda tertarik dengan gadis selain yang dijodohkan dengannya oleh orang tua dan ia tidak bisa menentang keinginan orangtuanya. Mereka lalu menikah di Pakistan atau di sini di kalangan keluarganya sesuai keinginan orangtuanya. Kemudian setelah beberapa waktu ia mulai bersikap aniaya terhadap gadis tidak bersalah dan malang yang menjadi istrinya tersebut dan melakukan ketidakadilan terhadap dirinya. Mulanya sang suami yang berlaku aniaya lalu orangtua si pemuda yang awalnya senang dan bahagia atas pernikahan tersebut juga berlaku aniaya selanjutnya ialah kerabat si suami lainnya juga berlaku aniaya kepadanya. Ringkasnya, tidak mungkin situasi ini menjadi tanggungjawab satu pihak saja baik itu pihak laki-laki atau perempuan, ipar pihak perempuan atau pihak laki-laki. Dalam kasus-kasus seperti ini pada akhirnya adalah anak-anak yang paling menderita dan terpengaruh secara mental dan psikologis.
Kadang-kadang ketidakadilan oleh pihak pemuda dan kali lain itu dari pihak sang gadis. Kemudian masalah keluarga mempengaruhi anak-anak juga. Ketika dalam pikiran seorang laki-laki timbul hasutan setelah waktu yang lama menghabiskan hidup dalam pernikahan yang tenang dan memiliki anak-anak juga, mulai mengatakan, “Saya tidak bisa hidup dengan istri saya, jadi saya ingin menikah lagi atau menceraikannya.” Atau istri mengatakan, “Lama sudah pernikahan saya dengan laki-laki ini dan saya telah menjalani kehidupan yang keras dengannya. Saya tidak lagi bertahan saya. Jadi saya ingin mengajukan Khula’ (pengajuan cerai).”
Perlu saya ceritakan di sini bahwa tingkat Khula’ (pengajuan perceraian oleh pihak istri) dalam Jemaat itu lebih besar dari tingkat Thalaq (penjatuhan keputusan cerai dari suami). Maksud saya permintaan perceraian dalam gedung pengadilan Darul Qadha lebih banyak jenis Khula’. Atas semua ini, anak-anak yang terkena dampak dalam kasus tersebut, juga merupakan hal yang jelas dilihat dari statistik lingkaran duniawi berdasarkan berbagai penelitian, bahwa anak-anak setelah perpisahan orangtua mereka, terpengaruh secara psikologis dan moral dan dari segi kemampuan lain, baik itu apakah mereka hidup dengan ayah atau ibu mereka.
Singkatnya, siapa pun yang bertanggung jawab atas kasus yang menyakitkan ini, para pemuda menuduh para gadis dengan mengatakan, ‘Para perempuan sebenarnya yang menyebabkan keresahan ini demi mengamankan karir pekerjaan mereka, tidak memenuhi kewajiban keluarga, atau sejak awal ketika tinggal dengan orang tua saya (mertua mereka) untuk beberapa alasan tetapi mereka tidak rela setelahnya, atau tidak memiliki pengetahuan tentang agama, atau apa yang diharapkan dari kami para pemuda hal-hal yang kami tidak bisa, misalnya, meminta kami untuk segera membelikan rumah baru dan harus menjadi rumah milik dia.”
Kemudian orang tua gadis itu mencampuri urusan rumah tangga pasangan itu. Dengan demikian, keluhan muncul karena ketiadaan informasi kondisi riil, dank arena tidak mengamalkan qaul sadid (perkataan yang benar). Seperti yang saya katakan sebelumnya, qaul sadid adalah sangat penting namun mereka tidak menaatinya.
Demikian pula, para wanita juga membawa beberapa keluhan di hatinya untuk para pemuda dan keluarganya, misalnya, ibu sang pemuda atau kerabatnya memuji pemuda itu selalu di depan gadis itu dan mencoba untuk membuktikan dengan satu cara atau yang lain bahwa gadis itu lebih rendah daripadanya, misalnya, mereka mengatakan bahwa soal pendek-tinggi, gemuk-kurus, atau kulitnya tidak berwarna putih, dan sebagainya. Jika gadis itu (sang istri) bekerja untuk beberapa dasar yang beralasan, mereka juga menghadapi keberatan dan celaan. Kemudian keluarga si pemuda mencampuri urusan rumah tangga mereka. Sang istri pun mengeluh bahwa suaminya tidak melakukan tugas perkawinandan tidak memiliki rasa tanggung jawab.
Adapun orang-orang muda, jika mereka diberitahu pada usia 25 atau 26 tahun, “Sekarang kalian telah tumbuh.” Mereka mengatakan di bawah pengaruh masyarakat Barat, “Kami masih muda dan kami tidak layak untuk menikah setelah ini.” Penyakit (pemikiran) ini telah menyebar pada orang muda kita keturunan Asia di sini di bawah pengaruh masyarakat Barat. Mereka mengatakan, “Kami masih muda dan kami tidak bisa melakukan pekerjaan tanggungjawab rumah tangga kami. Jika kami masih muda dan tidak dapat melakukan tugas kami, apa yang perlu untuk menikah?” Singkatnya, serangkaian keluhan ini terus dari kedua belah pihak.
Demikian pula, setelah menghabiskan bertahun-tahun menikah, sementara anak-anak telah lebih dewasa mulailah keluhan. Tiada lain selain hal-hal yang kekanak-kanakan. Ini timbul sebagai akibat dari sikap terburu-buru dan pertemanan yang salah.
Jika kita ingin menjelaskan sebab mengapa masalah keluarga ini muncul di berbagai umur yang berbeda maka itu ialah karena menjauh dari agama, kurangnya keakraban dengan urusan agama dan keinginan/kesukaan untuk itu, dan keinginan dalam hal duniawi dan hal materi. Jika kita ingin solusi untuk masalah ini, kita harus mencari dalam terang ajaran agama. Anda mengatakan, “Kami para Ahmadi.” Kalian mengklaim, “Kami mengutamakan agama diatas duniawi.” Maka, Anda harus mencari penyelesaian masalah ini dalam terang penjelasan ajaran agama sebagaimana diuraikan oleh Al-Qur’an, Hadits-Hadits Nabi Muhammad saw dan penjelasan dari Hadhrat Masih Mau’ud as.
Kita beruntung telah menerima Islam dan kemudian menjadi Muslim dan pada saat ini telah beriman kepada Al-Masih yang dijanjikan, yang mengambil dari kita janji bahwa kita akan mendahulukan agama diatas dunia dalam semua hal, dan kita mengulangi lagi janji ini di berbagai kesempatan, tetapi saat waktu bekerja datang, kita lupa. Pada kesempatan pernikahan kita lupa bahkan mereka yang khusus dalam layanan keagamaan secara lahiriah padahal Nabi saw mengajarkan kita untuk mengutamakan agama diatas duniawi khususnya dalam hal perkawinan, dan jika kita mendapatkan duniawi setelah kita megutamakan agama diatas duniawi maka itu karunia Allah, dan kita mengatakan itulah keuntungan tambahan sesuai istilah orang di dunia ini.
Tetapi jika kita hanya melihat duniawi saja dan mengabaikan agama maka itu menyebabkan masalah karena tidak ada di dalamnya kebenaran. Jadi, selalulah ingat perintah Nabi, yang harus kita berikan mereka prioritas ketika mencari pasangan dan yang mana itu diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ “Wanita itu dinikahi karena empat hal; kekayaannya, keturunannya, kecantikannya dan agama maka pilih agamanya. Jika tidak, Anda akan kesulitan.” (Sahih Bukhari, Kitab Pernikahan)
Jika keluarga para muda dan keluarga para gadis mempedomani perintah ini maka bagi mereka agama akan menjadi prioritas. Ketika agama diutamakan maka akan hilang banyak keluhan dan keberatan yang muncul mengenai para gadis dan mengenai para muda serta tentang orang tua mereka berdua. Pemuda yang mencari gadis yang beragama dan dengan mengutamakan agama maka itu membuat perbuatannya juga sesuai dengan ajaran agama.
Siapa yang secara teratur mengamalkan ajaran agama maka rumahnya kosong dari terjadinya hasutan dan kerusakan pada hal-hal yang paling sepele sekalipun, dan pasangan tersebut tidak akan menciptakan masalah bagi pasangannya agar berada dalam situasi itu.
Selanjutnya, meskipun Islam mengajarkan bahwa titik berat perspektif Anda ialah memandang dari aspek agama, tetapi tidak setiap laki-laki akan cocok bagi setiap perempuan. Jadi, karena itu Anda harus meminta bimbingan [melalui shalat istikharah] sebelum menikah, dan meminta Tuhan untuk membuat kebaikan dalam pernikahan ini, dan supaya Dia menjadikan pencegahan jika memang tidak terdapat kebaikan di dalamnya.
Khalifah Pertama telah mengatakan dalam hal ini dengan menakjubkan: “Kebaikan Nabi saw begitu besar dengan telah menunjukkan kepada kita jalan yang jika kita tempuh akan menjadikan pernikahan menjadi positif untuk kenyamanan, insya Allah, ketenangan dan kasih sayang yang telah disebut dalam Al-Quran sebagai hasil dari menikah. Tujuan perkawinan dan pernikahan ialah menjadikan setiap orang dari tiap pasangan saling memberi kenyamanan antara satu terhadap yang lain dan tercipta diantara mereka cinta dan kasih sayang.”
Beliau ra bersabda: “Hal pertama adalah untuk mengutamakan aspek agama. Janganlah menjadikan satu-satunya motif pernikahan itu pada ketampanan, kecantikan, kemewahan, uang, silsilah keturunan dan jabatan. Pertama, niat harus baik lalu seyogyanya beristikharah kepada Allah banyak-banyak sebelum menikah. Sebelum akad nikah, hendaknya seorang hamba Allah berdoa kepada Allah menyerukan permohonan untuk hidup yang penuh dengan ketenangan dan cinta, dan berdoa supaya menyempurnakan perjodohan dan pernikahan ini, yang jika itu ada kebaikan di dalamnya, maka pernikahannya akan berhasil dengan karunia Allah. Tapi Anda harus ingat bahwa setan banyak melontarkan serangan juga dengan sejumlah cara setelah menikah, untuk itu perlu bertahan dengan rajin pada doa ini bahwa semoga Allah memberkati pernikahan ini ketenangan, cinta dan kasih sayang senantiasa.”
Kemudian Khalifah pertama menjelaskan lagi pentingnya Istikharah sekali lagi dengan saran mengarahkan sebagai berikut: “Pernikahan termasuk hal yang sangat agung. (Ini bukan pekerjaan mudah dan kecil tapi merupakan salah satu hal penting). Banyak orang berpikir untuk menemukan seorang pemuda dari keluarga terkemuka, nasab keturunan yang mulia, kedudukan terhormat, menikmati uang, kekayaan, prestise dan kekuasaan, berwajah tampan dan muda, tapi Nabi kita bersabda supaya kita mencari seorang pria atau seorang wanita yang taat agama [untuk jodoh putri atau putra kita]. Dikarenakan merupakan hal yang sulit dalam waktu yang singkat untuk mengenali akhlak dan ciri-ciri yang sebenarnya, kejujuran dan lain-lain pada diri seseorang sehingga hal itu mengharuskan kita beristikharah kepada Allah. (perpisahan dari beberapa pernikahan disebabkan alasan yang sama ini. Salah satu pihak mengatakan, ‘Kami menikah atas dasar agama dan moral yang baik, tetapi kami akhirnya tahu bahwa itu tidak benar, karena tidak mudah bagi seseorang untuk mengetahui hal-hal ini begitu cepat.’ Atas hal itu kita diperintahkan untuk Istikhaarah).
Beliau ra bersabda: “Kami tidak tahu akibatnya selain Allah Yang Maha Mengetahui hal gaib, sehingga pertama-tama harus memperbanyak Istikharah. Mohonlah pertolongan Allah.”
Beliau ra bersabda dalam memberikan nasehat berdasarkan penjelasan terang ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa dibacakan dalam deklarasi (akad) pernikahan, “Anda sekalian harus menjaga ketakwaan, minat dalam hubungan silaturrahmi dan komitmen qaul sadid (mengatakan yang benar), dan memperhatikan apa yang Anda kerjakan untuk besok. Jika Anda ingin melihat keberhasilan hidup maka Anda harus komitmen untuk berpegang teguh pada ketakwaan.”
Dan pada saat pernikahan setelah Istikhaarah, Beliau ra bersabda: “Kita telah diperingatkan dalam khotbah nikah (yaitu dalam ayat-ayat yang dibacakan pada kesempatan ini) supaya seseorang mengamalkan doa-doa yang terkandung dalam ayat-ayat itu dan memikirkan konsekuensi hari-hari yang dilaluinya kemudian.”
Kemudian Nabi Muhammad saw mengajarkan doa-doa yang diamalkan saat menyampaikan ucapan selamat pada kesempatan pernikahan, yaitu: بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ ‘Semoga Allah memberkati Anda, memberkati Anda dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.’[1] Pernikahan tidak akan diberkati kecuali jika kedua pihak berkomitmen untuk berdoa untuk baik dan keberkahan pada setiap fase pernikahan itu.
Beberapa orang sebagai akibat dari pengaruh pernikahan masyarakat Pakistan dan India masih membatasi menikah kaum mereka dan keluarga mereka saja, sedangkan Allah mengatakan bahwa jika Anda telah melihat kecocokan dalam kufu’ maka berdoalah kepada Allah dan beristikharah kepada-Nya, sukailah dari sisi agama. Sementara mereka tidak tertarik dalam doa dan mengutamakan sisi agama tapi mengutamakan sisi keluarga dan perkauman [kelompok etnis atau kebangsaan].
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Dalam hal pernikahan harus membatasi minat mengajukan pernikahan dengan orang yang putra/i-nya saleh dan bertakwa dan tanpa itu akan terjadi bencana yang menyebabkan fitnah. Perlu memperhatikan, bahwa Islam tidak peduli tentang kelompok etnis, tetapi hanya peduli pada ketakwaan dan kebahagiaan saja.” Maka, hal pokok mencerahkan dalam perkara ini ialah pemeliharaan ketakwaan sementara selain itu hanyalah tambahan saja.
Kita telah diperintahkan mencari yang satu kufu’ dan harus diingat, dalam perkara ini harus tanpa kecenderungan yang ekstrim dan berlebihan dalam penilaian. Sejauh mana harus mencari yang satu kufu’? Setelah seseorang mempertanyakan ada orang Ahmadi ingin menikahkan putrinya dalam keluarga Ahmadiyah yang tidak kufu’, sementara ada orang-orang yang sekufu’ di kalangan mereka. Apa penilaian tentang itu? Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Jika memungkinkan, lebih baik untuk menikah dengan yang sekufu’ daripada dengan yang tidak sekufu’, tapi ini tidak wajib, (bukan keharusan tapi lebih tepat seperti itu), tapi setiap orang lebih berpengetahuan dalam keadaannya dan kepentingan anak-anaknya terkait masalah seperti itu. Jika tidak melihat salah satu yang layak secara kufu’ maka tidak ada salahnya menikahkan putrinya dengan selain kufu’. Tidak diperbolehkan memaksa seseorang untuk menikahi putrinya dalam keluarga yang sama kufu’ dengan keluarganya.” (Al-Badr, No. 15, jilid 6, Edisi: 11 April 1907, h. 3)
Beberapa orang membual dengan bangga tentang keluarga mereka. Hadhrat Khalifah Pertama membungkam orang-orang yang mengaku diri sebagai sesuatu [merasa diri penting]. Hadhrat Khalifah kedua bersabda: “Suatu kali seseorang datang ke Khalifah Pertama dan mengatakan: ‘Saya dari kalangan keluarga Sadat (para Sayyid, keturunan Nabi saw) yang mulia. Saya ingin menikahkan putri saya. Saya mohon Anda membantu saya.’
Beliau mengatakan kepadanya: ‘Saya siap untuk memberikan apa saja bagi pernikahan putri Anda sesuai yang Rasul Karim saw berikan pada putri beliau, Fatimah ra.’ Pria itu mengatakan: ‘Apakah Anda ingin hidung (kehormatan) saya terpotong di depan orang-orang?’ (Ini adalah pembicaraan tentang perangkat pengantin, dan fokus bahasan itu menimbulkan banyak masalah). Beliau ra mengatakan kepadanya: ‘Apakah hidung Anda lebih baik dari hidung Nabi? Sesungguhnya orang-orang menghormati Anda karena Anda berasal dari Sadat, jika begitu banyak perangkat pengantin seperti ini tidak menyebabkan penghinaan apapun untuk Rasulullah saw lalu bagaimana itu menyebabkan Anda terhina? Jika Anda mengatakan bahwa Anda berasal dari kalangan Sadat maka penghinaan macam apa yang perlu Anda takuti?’
Tidak ada keraguan bahwa beberapa gadis yang mengalami celaan ini kadang-kadang bahwa mereka telah datang dengan beberapa jahiz (bekal, perhiasan dan peralatan rumah tangga sebagai bekal pernikahan) yang sedikit, dan dalam peristiwa ini terdapat pelajaran bagi orang-orang yang menyakiti gadis secara emosional, sebagaimana itu juga menglajarkan pada keluarga gadis itu juga agar membekali anak mereka sesuai ke mampuan membelinya dan tidak menanggung beban yang tidak semestinya dan sia-sia.”
Demikian pula, keluarga pengantin wanita tidak harus menempatkan beban yang tidak semestinya pada diri mereka sendiri dan berikanlah pemberian yang mereka yang terjangkau dengan mudah oleh mereka. Sebelum melakukan doa Istikharah, calon pasangan pria hendaknya melihat wanita yang hendak ia nikahi. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا قَالَ لَا قَالَ فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا “Saya sedang di sisi Nabi saw datanglah seorang laki-laki yang mengabarkan kepada beliau bahwa dia hendak menikahi wanita Anshar. Maka, Nabi saw berkata kepadanya: ‘Apakah kamu sudah melihatnya?’ Laki-laki itu menjawab: ‘Belum.’ Beliau bersabda: ‘Pergilah lalu lihatlah dia, karena pada mata orang Anshar ada sesuatu.’” (HR. Muslim No. 1424. Maksud dari “pada mata orang Anshar ada sesuatu” adalah shighar (kecil/sipit) dan zurqah (bermata biru). Rujukan Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/210)
Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika calon laki-laki mengunjungi rumah gadis itu dan bertemu dengannya. Namun, beberapa keluarga bersama dengan keluarganya
Namun, keluarga-keluarga tertentu dari calon pengantin laki laki menampilkan kesombongan yang ekstrim ketika mengunjungi bersama putra mereka ke rumah gadis (calon mempelai) dan membuat ucapan, “Kami datang kemari ingin melihat gadis yang telah disarankan pada kami untuk menjalin perjodohan.” Kemudian, karena ketakaburannya, mereka berbincang-bincang seputar bahasan yang ajaib dan aneh. Meski mereka telah melihat foto sang gadis dan saling bertukar informasi pribadi juga, seiring dengan itu mereka juga sengaja melama-lamakan status sebuah lamaran dan jika dalam waktu itu mereka menemukan seorang gadis lain yang lebih baik maka mereka menghentikan perjodohan yang pertama dan memilih yang kedua tersebut. Ini adalah praktek yang benar-benar salah. Mayoritas gadis Ahmadi menghormati orang tua dan menerima perjodohan sesuai yang disarankan oleh orangtua mereka. Namun, terkadang datang keluarga pihak laki-laki dan melihat sang gadis lalu mereka diam [tidak ada kepastian]. Jika mereka telah melihat foto sang gadis, telah mengetahui informasi-informasi pribadinya dan mengetahui tinggi fisiknya juga maka hendaknya tidak terjadi menunda-nunda dan menyakiti hati gadis itu melalui obrolan yang berbagai macam.
Jika seseorang benar-benar memahami dan berusaha memenuhi tujuan pernikahan sebagaimana yang dijelaskan oleh agama pada kita maka sebelum itu kaum perempuan tidak akan pernah tersiksa secara batin dan para lelakinya pun tidak akan menampilkan arogansi seperti itu yang menyakiti perasaan wanita.
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Al-Qur’anul Karim mengajarkan kita bahwa kita menikah untuk menjaga kesucian dan ketakwaan dan kita berdoa supaya dikaruniai keturunan yang saleh sebagaimana firman Allah: مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ (Surah Al-Maidah, 5:6) artinya, kita menikah demi menjaga kesucian dalam benteng ketakwaan dan kesalehan. Pada kata مُحْصِنِينَ (terjaga atau terbentengi) terdapat isyarat bahwa orang yang tidak menikah tidak hanya berada dalam bencana-bencana keruhanian saja, bahkan kerusakan jasmani juga. Jelas dari Al-Qur’an bahwa ada tiga manfaat menikah dan seseorang harus menikah untuk itu. Apakah itu ketiga manfaat tersebut? Pertama ialah kesucian dan kesalehan; kedua, menjaga kesehatan dan ketiga mendapatkan anak keturunan. Kalau ketiga tujuan ini senantiasa menjadi patokan maka takkan terjadi kesulitan saat mencari jodoh (suami atau istri). Seseorang hendaknya mencari mengutamakan pasangan jodoh yang beragama bukan berharta kemudian menikah demi ketiga tujuan ini.
Terkadang, penyebab perselisihan dalam pernikahan adalah karena ketiga sang istri pindah ke tempat suaminya, sang suami tidak memiliki rumah sendiri dan hidup dengan orang tuanya. Kadang-kadang sang suami terpaksa demikian karena mungkin mengalami kesulitan keuangan atau masih menempuh pendidikan sehingga belum mampu mempunyai rumah sendiri. Ini keterpaksaan sebenarnya dan dalam contoh yang demikian, sang istri harus pengertian dan memaafkannya karena belum membeli rumah sendiri disebabkan pendapatan yang kurang mencukupi. Selain itu, ia harus bersabar sementara waktu tinggi di rumah mertuanya sampai dia memperoleh sarana untuk. Dalam kasus tertentu, keluarga pihak wanita bersikap tergesa-gesa dan merusak pernikahan keduanya dan membuat mereka bercerai dengan hasutan tuntutan cerai karenanya. Praktek yang demikian benar-benar salah. Jika pihak istri tidak bisa hidup dengan mertua maka dia seharusnya menyuarakan keberatannya dari awal [saat perjodohan sebelum menikah]. Ia bisa mengakhiri perjodohan dengan melihat keadaan materi sang pemuda.
Namun, ada pemuda tertentu yang sebenarnya mampu membeli tempat sendiri tapi masih hidup serumah dengan orang tua mereka karena sifatnya yang tidak bertanggung jawab dan karena tekanan keluarganya dengan alasan orang tuanya telah tua sehingga ingin membantu orang tuanya dengan tetap tinggal bersama keduanya padahal ia mempunyai saudara-saudara dan saudari-saudari juga yang hidup bersama orangtuanya atau keadaan orang tuanya sehat bukan sakit yang membuat mereka tidak bisa hidup sendiri. Dalam banyak kasus, orang tua dari pihak laki-laki bersikap memusuhi tatkala menantu perempuannya tinggal bersama mereka.
Bagaimanakah pendapat Islam dalam hal ini? Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an (Surah An-Nur, 24: 62), لَّيْسَ عَلَى الْأَعْمَىٰ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلَا عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ أَن تَأْكُلُوا مِن بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أُمَّهَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ إِخْوَانِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخَوَاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَعْمَامِكُمْ أَوْ بُيُوتِ عَمَّاتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ أَخْوَالِكُمْ أَوْ بُيُوتِ خَالَاتِكُمْ أَوْ مَا مَلَكْتُم مَّفَاتِحَهُ أَوْ صَدِيقِكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَأْكُلُوا جَمِيعًا أَوْ أَشْتَاتًا ۚ فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya, atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.”
Ayat ini panjang dan Hadhrat Khalifatul Masih I ra telah menafsikan sebagian ayat ini dengan penjelasan yang cemerlang: “Banyak orang, terutama yang tinggal di subbenua India (terdiri dari India, Pakistan dan Bangladesh), mengeluh tentang sengketa antara menantu perempuan dan ibu mertuanya di rumah. Namun, jika orang benar-benar berpegang pada ajaran-ajaran Al-Quran, maka masalah tersebut tidak akan pernah muncul. Perhatikanlah! Allah Ta’ala telah memerintahkan di ayat ini dengan jelas bahwa masing-masing [pasangan suami-istri] harus tinggal di tempat terpisah mereka sendiri. Tempat ibu mertua terpisah dari tempat istri putranya. Allah Ta’ala telah mengizinkan makan di rumah-rumah tiap orang tersebut. Hal itu tidak mungkin tanpa rumah mereka itu sendiri-sendiri. Maka dari itu, kecuali keadaan terpaksa, seharusnya rumah-rumah itu sendiri-sendiri. Jika rumah-rumah tiap suami-istri itu sendiri sendiri maka tidak akan terjadi pertengkaran antara seorang istri seseorang dengan ibu mertuanya dan saudari iparnya. Demikian pula, hal itu [pemisahan rumah sendiri-sendiri] juga akan menciptakan perasaan tanggungjawab dalam diri suami-istri.”
Saya ingin mengatakan juga bahwa beberapa keluarga dari pihak para gadis sering bertanya sebelum menikah apakah calon mempelai pria memiliki rumah sendiri dan jika tidak maka mereka akan menolak dan tidak meneruskan proses perjodohan tersebut. Ini juga salah. Bukannya tamak akan hal-hal duniawi seseorang hendaknya melihat sisi agama sang pemuda. Mengenai rumah, dengan berjalannya waktu mereka akan mampu memperoleh rumah mereka sendiri jika cinta memenangkan kehidupan perkawinan. Demikian pula, telah sampai kepada saya berita bahwa keluarga-keluarga tertentu tidak mengizinkan anak-anak perempuan mereka menikah dengan para mubaligh karena mereka telah mewakafkan diri mereka untuk mengkhidmati agama (dan tidak mengejar urusan duniawi). Ini juga salah. Suatu keharusan untuk memandang dari segi agama.
Lantas, Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an telah memerintahkan para laki laki untuk tidak cepat bereaksi mengambil keputusan menentang istri dan agar tidak memperlakukan istri-istri mereka dengan buruk dan membenci sifat mereka. Allah berfirman mengenai itu: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا ” … Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”. (04:20)
Menjelaskan ayat ini, Hadhrat Khalifatul Masih I ra menulis, “Wahai orang-orang yang kusayangi, jika ada hal buruk dari kaum wanita kalian tetaplah kalian melalui berbagai cara untuk memperlakukan mereka dengan baik. Allah Ta’ala telah berfirman bahwa dalam hal itu terdapat kebaikan. mungkin Anda tidak menyukai sesuatu, padahal kenyataannya Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Laki-laki yang menjadi sebab ia meninggalkan istrinya, tidak memperlakukan mereka dengan baik atau tidak menjaga perasaannya membenci sebagian sikap istri mereka dan tidak memperlakukan mereka dengan baik, maka sesungguhnya Allah dalam hal ini menyuruh mereka memperlakukan dengan baik istrinya, tidak cepat-cepat mengambil keputusan berdasarkan sifat mereka yang tidak membuat kagum karena ada kebaikan tersembunyi dalam perilaku mereka yang buruk itu secara lahiriah. Kalian akan kehilangan kebaikan itu sebagai akibat ketergesa-gesaan dalam mengambil keputusan dan keburukan sifat mereka. Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memperlakukan dengan baik kaum wanita dengan berbagai cara. Setiap laki-laki harus menempatkan hal ini selalu di benak mereka.”
Selanjutnya, terdapat banyak masalah dan terciptanya pertengkaran disebabkan seorang suami menikahi istri kedua bahkan ketika hanya baru niat. Bagi para laki-laki harus senantiasa ingat, meskipun Islam telah mengizinkan menikah kedua kali tetapi izinnya ialah bersyarat dan demi kebutuhan yang sebenarnya. Hal ini tentu bukanlah timbul terkait pertemanan yang buruk demi memenuhi nafsu seseorang dengan menikah lagi terpengaruh oleh situasi Negara Barat yang bebas atau karena Allah Ta’ala telah menganugerahi kemakmuran dan kelapangan rezeki kepada mereka.
Mengenai ini Hadhrat Masih Mau’ud as telah memberikan kita penjelasan rinci yang harus selalu kita jadikan renungan, “Hukum Allah tidak boleh digunakan bertentangan dengan tujuannya, juga tidak boleh digunakan sebagai tameng bagi pemanjaan nafsu syahwat diri. Jika melakukan hal ini, maka ini adalah sebuah ma’shiyat (dosa besar). Allah telah berulang kali memberikan peringatan agar jangan menyerah pada nafsu duniawi. Hanyalah ketakwaan saja yang seharusnya menjadi motif Anda untuk segalanya. Apabila terjadi kaum laki-laki yang menikah lagi demi pemuasan nafsu syahwat dengan membuat helah beralasan Syariat maka dampaknya tidak lain kecuali orang-orang dari umat agama lain menuduh, ‘Orang-orang Islam kerjanya hanya mengawini wanita saja.’ (Artinya jika kalian menikahi lebih banyak wanita dengan mengambil Syariat sebagai alat legitimasi demi memuaskan nafsu syahwat kalian maka ini tidak benar)
Suatu kesalahan mutlak bahwa demi hanya mengedepankan nafsu syahwat kalian tinggalkan istri kalian yang pertama lalu membuat pernikahan baru dengan wanita lain. Hal inilah yang membuka peluang orang-orang mengecam orang-orang Islam tidak ada kerjaan lain kecuali menikah saja.) Dosa bukan hanya zina saja. Bahkan, terjadinya nafsu syahwat dalam hati dalam corak jelas juga adalah dosa. Suatu keharusan bagi seseorang untuk menyedikitkan semampu mungkin dalam menikmati kesenangan duniawi. Ia harus menjadi pembenaran ayat, فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا ‘Banyak-banyaklah menangis dan kurangi tertawa.’ (Surah at-Taubah, 9:82)
Kalau kebanyakan aktifitas seseorang hanya menikmati kesenangan duniawi dan kesibukannya bersenang-senang dengan istrinya siang-malam maka kapan pula dia dapat menangis di hadapan Allah Taala. Ini jugalah keadaan terkait aktifitas laghau lainnya yang terjadi pada orang-orang. Kebanyakan orang berusaha keras dalam mengikuti dan menyokong pemikiran yang menjauhkan mereka dari kehendak sejati Allah. Meskipun Allah telah memperbolehkan bagi kita banyak hal duniawi, hal ini tidak berarti bahwa kita menghabiskan seluruh hidup kita memanjakan dan menikmatinya saja.
Allah Ta’ala telah berfirman mengenai kualitas para hamba-Nya, وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (Surah al-Furqan, 25:65) Bagaimana mungkin orang yang memberikan benar-benar semua waktu, energi dan perhatian hanya untuk menghabiskan waktu dengan istrinya menghabiskan malam dalam beribadah kepada Allah seperti yang Dia inginkan. Ia tidak hanya menikahi seorang wanita bahkan istrinya menjadi semacam sekutu Tuhan baginya. Nabi Muhammad saw memiliki 9 istri. Meski demikian, beliau melewati malam dalam ibadah kepada Allah.
Hadhrat Masih Mau’ud as kemudian bersabda: “Ingatlah dengan baik bahwa kehendak Allah ialah kalian tidak boleh sepenuhnya dikuasai oleh nafsu birahi. Jika pada kalian ada kebutuhan untuk menyempurnakan ketakwaan kalian maka kalian diperbolehkan untuk menikah dengan perempuan lagi.” (dasar sejati untuk menikah kedua kalinya adalah takwa. Jika demikian, maka menikah lagi diperbolehkan. Namun semua orang yang ingin menikah untuk kedua kalinya harus menilai diri apakah mereka melakukan hal itu berdasarkan taqwa atau hanya dari keinginan nafsu birahi mereka belaka?)
Kemudian Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Ketahuilah bahwa orang yang menikah dengan lebih dari satu istri demi memuaskan keinginan seksual semata adalah jauh dari esensi Islam yang sebenarnya. Ini adalah tanda yang rentan kerusakan seseorang jika setiap siang hari yang terbit dan malam yang jatuh, ia tidak hidup dengan cermat dan sederhana dan jika ia menangis sedikit atau tidak menangis sama sekali dan banyak tertawa.” [hanya ingin hidup enak]
Selanjutnya, Hadhrat Masih Mau’ud as telah menasihati kaum wanita juga bahwa jika suami mereka ingin menikah lagi untuk alasan yang benar dan murni, maka mereka tidak boleh protes atas hal itu. Namun, beliau as juga berkata kepada kaum perempuan bahwa merupakan hal yang benar bagi mereka untuk sejak awal berdoa agar Allah tidak pernah menyebabkan mereka menghadapi kesulitan tersebut [keadaan yang menyebabkan suami menikah lagi]. Sementara itu, pada sisi lainnya beliau as juga berkata kepada kaum pria juga bahwa mereka tidak boleh menikah lagi hanya dari keinginan penuh nafsu, tapi murni berdasarkan taqwa. Beliau as bersabda, “Kaum wanita di masa kita ini terlibat dalam bid’ah-bid’ah tertentu. Mereka memandang ta’adduduz zaujaat (pria menikahi lebih dari satu wanita) dengan pandangan sangat membenci seolah-olah mereka bukan kaum beriman. Syariat Allah mengandung obat bagi setiap jenis penyakit. Jika tidak ada ta’adduduz zaujaat dalam Islam maka pasti dalam Syariatnya tidak ada solusi bagi keadaan-keadaan yang terkadang membuat kaum pria terpaksa menikah lagi. Misalnya bila istri tertimpa penyakit kurang waras, sakit menahun yang membuatnya tidak bisa melakukan pekerjaan apa pun seterusnya, atau terkena kecacatan lainnya sehingga kondisinya menyedihkan atau membuatnya tidak bisa menjalani kehidupan pernikahan; sementara itu, suaminya dalam kondisi yang patut dikasihani karena tidak bisa menahan diri menjalani kesendirian. Merupakan sebuah jenis kekejaman bila seorang pria dalam kondisi itu tidak diperbolehkan menikah lagi.
Pada kenyataannya, Syariat Allah telah membuat jalannya terbuka untuk para pria berdasarkan keadaan tertentu, Tuhan juga telah membuat sebuah jalan terbuka bagi kaum perempuan yang dalam keadaan mendesak jika misalnya suaminya tidak fit (tertimpa sebuah penyakit yang membuatnya tidak bisa bergerak), dia bisa mencari Khula’ melalui otoritas yang relevan yaitu Qadhi [perceraian yang diprakarsai oleh istri melalui pengadilan].
Hukum Allah adalah seperti sebuah toko medis yang tidak akan bisa berkembang jika tidak menyediakan pengobatan untuk semua penyakit. Bukankah benar bahwa kaum laki-laki terpaksa menanggung beberapa kesulitan yang membuatnya terpaksa menikah lagi? Apa manfaat Syariat yang tidak bisa mengobati semua dilema (situasi sulit) ini?
Injil hanya mengijinkan perceraian dengan bersyarat karena perzinaan tetapi tidak menjelaskan obat-obat lain bagi pertengkaran suami-istri yang menjadikan keduanya seperti musuh.
Namun Hadhrat Masih Mau’ud as memberi nasihat kepada kaum wanita, “Wahai kaum wanita! Janganlah khawatir! Sesungguhnya Kitab yang kalian ikuti tidak memerlukan campur tangan manusia seperti Injil, melainkan mempertahankan hak-hak perempuan seperti halnya laki-laki. Jika seorang perempuan tidak suka suaminya menikah lagi dengan perempuan lain maka dia bisa minta khula’ (pengajuan cerai) melalui Qadhi (hakim). Merupakan haq Allah untuk menyebutkan dalam Syariat-Nya semua situasi dalam berbagai peristiwa yang bisa saja terjadi di kalangan umat Muslim supaya Syariat-Nya tidak cacat.
Wahai kaum wanita! Kalau suami kalian ingin menikah lagi maka jangan mengkritik Tuhan. Tapi kalian harus banyak berdoa, supaya diselamatkan dari ujian dan musibah. (Artinya, jika suamimu ingin menikah lagi, sang istri diperbolehkan berdoa supaya diselamatkan dari hal itu, yaitu musibah dan ujian tersebut, yakni supaya jangan sampai suaminya menikah lagi.) Tak diragukan lagi, jika seorang laki-laki menikah lagi dan tidak memperlakukan kedua istrinya dengan tidak adil maka ia telah berlaku zalim dan pantas dihukum. Ada pun kalian janganlah menarik murka Allah atas kalian dengan berlaku dosa. Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Jika kalian dalam pandangan Allah termasuk wanita yang salehah maka Allah pasti akan menjadikan suami kalian saleh pula.
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat memberi izin untuk menikah lagi bagi seorang suami dengan berbagai hikmah. Namun, Qadha dan Qadar terbuka bagi kalian di depan kalian. Jika kalian tidak mengkritik tajam terhadap peraturan Syariat maka manfaatkanlah hukum Qadha dan Qadar melalui doa-doa karena Qadha dan Qadar (Keputusan Ilahi) lebih dominan dibanding peraturan Syariat. Bertakwalah diri pada Allah Ta’ala dan janganlah memandang abadi kehidupan dunia beserta kesenangannya.”
Apa itu memanfaatkan undang-undang Qadha dan Qadar? Maksudnya ialah dia harus berdoa supaya pikiran untuk menikah lagi dihapus dari pikiran suaminya. Memang benar menikah kedua kali diperbolehkan bagi seorang suami. Namun, jika sang istri berdoa ini dari hati maka doanaya dikabulkan dengan tidak akan mengalami musibah dan kesusahan itu yaitu kemungkinan suaminya menikah lagi bahkan tidak akan pernah muncul.
Kita berdoa kepada Allah supaya Dia menganugerahi akal dan kecerdasan kepada semua anggota Jemaat baik laki-laki maupun perempuan dan memberi taufiq pada mereka untuk dapat menyelesaikan masalah rumah tangga mereka berdasarkan perintah-perintah Ilahi dan mengutamakan agama diatas kesenangan-kesenangan duniawi serta takut dan takwa kepada Allah senantiasa. Lebih lanjut kita berdoa semoga semua kesulitan yang terkait pernikahan secara umum Dia hilangkan – karena banyak masalah yang timbul. Dan semoga semua dapat memahami tujuan hakiki pernikahan; yaitu tidak untuk memuaskan hasrat duniawi, melainkan untuk mendahulukan iman dan mendidik generasi mendatang agar selalu berjalan di jalan agama dan mendapatkan keturunan yang saleh/salehah supaya menjadi generasi mendatang pengkhidmat agama dan mewarisi karunia-karunia Ilahi. Aamiin
[Empat sholat jenazah setelah shalat Jumat, dua yang jenazahnya terdapat di sana yaitu Almarhum Tn. Muhammad Nawaz Momin, seorang Waqif-e-Zindagi; kedua, Almarhum Tn. Syed Rafiq Safir Ahmad dari UK, Sadr (Presiden) Jemaat Surbiton. Dua lagi yang jenazahnya in absentia/gaib yaitu: pertama, almarhum Tn. Dr Mirza Laiq Ahmad, putra Tn. Sahibzada Mirza Hafiz Ahmad dan cucu Hadhrat Muslih Mau’ud ra. Kedua, Almarhum Tn. Ameenullah Khan Salik, mantan muballigh Amerika Serikat.]
Penerjemah : Dildaar Ahmad Dartono dari teks Arab www.islamahmadiyya.net
Bantuan terjemahan dari teks bahasa Inggris oleh Ratu Gumelar
[1] Sunan Abi Daud, kitab tentang pernikahan, no. 2130