Mencari Ridha Allah Ta’ala

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis أيده الله تعالى بنصره العزيز (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) 08 Desember 2017 di Masjid Baitul Futuh, UK

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Terjemahan ayat ini ialah sebagai berikut: “Ditampakkan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah sebaik-baiknya tempat kembali.” (Surah Ali Imran, 3:15)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala menerangkan tentang orang-orang yang melupakan Allah Ta’ala dan capaian-capaian duniawi-lah yang menjadi satu-satunya tujuan mereka. Ketika manusia melupakan Allah Ta’ala maka ia dicengkeram oleh Setan. Semua benda diciptakan oleh Allah Ta’ala, termasuk kenikmatan-Nya dan kita harus mengambil manfaat dari itu semua.

Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam (as) juga bersabda kepada kita: “Memisahkan diri dari urusan-urusan dunia adalah suatu kesalahan juga. Menikah adalah suatu keharusan dan ini termasuk Sunnah. Begitu juga ada perbuatan-perbuatan lainnya yang para sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam lakukan. Sebagian mereka mempunyai properti seharga jutaan (milyaran) namun perhatian mereka kepada Allah Ta’ala tidak terbelokkan oleh urusan-urusan duniawi mereka. Mereka tidak tenggelam dalam keduniaan.”

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Ingatlah! Tuhan sama sekali tidak menghendaki kalian benar-benar memutuskan diri kalian dengan dunia ini. Sebaliknya keinginan-Nya adalah قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا yang artinya, ‘Orang-orang yang menyucikan jiwanya berarti mereka itulah yang mencapai tujuannya.’ [Asy-Syams, 91:10]

“Lakukanlah perniagaan, pertanian dan pekerjaan sebagai tenaga buruh atau sebagai tenaga ahli. Bekerjalah sesuai dengan apa yang kamu sukai. Tapi berusahalah sekuat tenaga mencegah nafs-mu (hasratmu) dari tidak menaati Allah Ta’ala. Lakukanlah penyucian sedemikian rupa supaya hal-hal tersebut tidak membuatmu lengah terhadap-Nya.”

Pada kesempatan lain Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “[Memenuhi] hak-hak diri sendiri itu diperbolehkan namun berlaku be i’tidaal (tidak seimbang, tidak wajar) pada diri sendiri itu tidak boleh.” Maka dari itu, seorang mukmin harus senantiasa mencamkan kata-kata ini dalam benaknya supaya kecintaan pada benda-benda duniawi tidak tumbuh sedemikian rupa yang membuatnya melupakan Tuhan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ “Telah ditampakkan kepada orang-orang keindahan kecintaan terhadap syahwat-syahwat.” Setelah itu, Dia rincikan pula benda-benda apa saja yang orang-orang bukan hanya sekedar memenuhi hajatnya saja bahkan mereka terlibat mendalam dalam keduniaan dan senantiasa berpikiran bagaimana mencapai tujuan-tujuan itu.

Syahwat maknanya ialah syadid khaawahisy (hasrat atau nafsu yang menggebu) terhadap sesuatu; atau kecintaan dan kekhawatiran yang terus-menerus setiap waktu terhadap sesuatu hal. Kata itu pun menunjukkan suatu hal atau tujuan, yang semata-mata didasarkan pada nafsu; dan bahkan sesuatu atau seseorang dengan rasa nafsu seksual yang bertambah juga dapat dijelaskan dengan menggunakan kata syahwat. Jadi, ketika Allah berfirman [dalam ayat yang disebutkan di atas] bahwa hasrat terhadap hal-hal semacam itu telah ditempatkan dalam hati manusia, bukan berarti kecintaan semacam itu berasal dari Allah, bahkan itu berasal dari setan. Hal demikian karena itu (syahwat) bukanlah kecintaan yang biasa atau elok melainkan kecintaan dan hasrat-hasrat amat sangat terhadap sesuatu yang indah sampai-sampai setiap waktu membuat seseorang cemas dan gelisah demi meraihnya.

Ia menyintai benda-benda duniawi melebihi batas kewajaran. Jika seseorang menenggelamkan diri dalam kecintaan terhadap benda-benda tersebut sampai sejauh itu maka benda-benda tersebut menjadi tidak terhitung ni’mat-ni’mat dari Allah, bahkan menjadi beban-beban setani yang membawa seseorang memuaskan diri dengannya secara yang tidak syar’i jika ia gelisah menginginkannya.

Hal tersebut merupakan sesuatu yang kita saksikan biasa terdapat di kalangan orang-orang duniawi (materialistik). Demi memperoleh kekayaan, status duniawi dan demi hubungan yang tidak sah dengan wanita, orang-orang ini menabrak semua batasan yang terlarang. Bahkan jika mereka menikah, mereka melakukannya untuk mendapatkan kekayaan atau mereka ingin menikah dengan yang kaya. Demikian pula, dalam hal-hal lain pun mereka hanya ingin meraih keuntungan duniawi.

Meskipun Allah Ta’ala menganugerahi umat Islam ajaran yang indah lagi murni dan juga memperingatkan mereka supaya melindungi diri dari hal-hal yang semacam itu, yaitu “Supaya kalian tidak berupaya mencari keduniaan sampai ke tingkat menjadikan itu tujuan kehidupan karena itu semua sementara; oleh karena itu, kalian harus berpikiran akan kembali kepada Allah Ta’ala dan hadir di hadapan-Nya suatu hari”; namun kita amati mayoritas dunia Muslim asyik dalam mengejar benda-benda duniawi dan melupakan tujuan kehidupan mereka.

Para ulama, para pemimpin dan setiap dari mereka yang mendapat kesempatan, berupaya memperoleh hal-hal materi ini bagaimana pun caranya yang mungkin. Ketika kegemaran duniawi ini muncul di kalangan para pemimpin kaum maka muncullah kerugian terhadap negara dan bangsa. Pada hari-hari ini di negara-negara Muslim berada dalam posisi terdepan di bidang kerusuhan dan fitnah yang penyebabnya ialah keadaan yang Allah Ta’ala sifatkan bagi mereka yang jauh dari agama dan kaum materialistik ada pada keadaan umat Muslim hari ini.

Para pemimpin memperoleh kursi di pemerintahannya dengan mengangkat slogan-slogan yang berbunyi untuk melayani rakyat. Namun, setelah itu, mereka merampas semuanya dengan kedua tangan mereka dengan cara yang tidak bisa dipahami (di luar dugaan). Para ulama kurang memperhatikan perbaikan masyarakat secara keagamaan. Malahan sebaliknya, mereka membuat masyarakat sebagai pengikut mereka dengan mengatas-namakan agama, dan meraih kursi di pemerintahan dengan cara apa pun atau mereka bisa mengeksploitasi pemerintahan demi kemanfaatan mereka, mengumpulkan kekayaan dan mempunyai properti.

Mereka berteriak-teriak membawa-bawa nama Allah Ta’ala tapi tidak tampak dari perilaku mereka bahwa mereka pribadi yang takut kepada Allah Ta’ala. Hal semacam ini kita dapat lihat di Pakistan. Mereka membunuh rakyat awam seperti halnya memotong sayuran lobak dan wortel. Mereka tidak menghargai nyawa manusia namun mereka tetap saja tidak melepaskan kekuasaan. Hal demikian terjadi di banyak negara. Tujuan mereka ialah terus berkuasa, menampakkan kekuasaan, mengumpulkan kekuasaan dan tidak kenyang (puas) dengan keadaan apa pun.

Apa sebabnya negara-negara Islam berada dalam keadaan mengerikan seperti itu, padahal mereka memiliki kekayaan, kekuasaan dan sumber daya alam. Kemiskinan sedang terjadi dan roti (bahan makanan pokok) sulit diperoleh. Hari ini, boleh dikatakan bahwa Arab Saudi adalah negara yang amat kaya. Namun, bahkan di sana pun, kemiskinan terus meningkat sekarang. Sebelumnya telah ada orang-orang miskin dan kini tengah bertambah lagi. Meski kaya minyak, tapi angka kemiskinan sedang memuncak. Hanya kondisi para pangeran, orang-orang kaya dan para pemimpin saja yang hidup dalam kemakmuran. Mereka dapat menghabiskan beberapa juta dolar hanya dalam satu hari. Orang-orang itu memperoleh kekayaan dengan cara yang tidak benar atau merampas hak-hak orang miskin; dan pembelanjaan uang mereka pun dengan cara yang tidak benar.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahi kebijakan kepada para pemimpin, raja dan semua orang yang menggerogoti kekayaan tersebut, sehingga bukan hanya sibuk menimbun kekayaan, tapi mereka mampu menjadi orang-orang yang memanfaatkan kekayaan mereka dengan cara yang benar dan pada tempatnya (mereka sebaiknya memikirkan hajat hidup orang banyak).

Dengan melakukan hal tersebut, mereka tidak hanya akan memperoleh ridha Allah Ta’ala, namun juga akan memperoleh kekuasaan dari segi duniawi. Dengan demikian, bukannya mengikuti perintah dari kekuatan non-Muslim dan bertindak sesuai keinginan mereka, malahan kekuatan non-Muslim yang akan mulai mendengarkan dan mengikuti mereka (para pemimpin Muslim).

Beberapa hari belakangan ini terjadi kegemparan besar karena Presiden Amerika Serikat yang mengumumkan bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Dia telah memerintahkan agar kedutaannya dipindahkan ke Yerusalem dan menyatakannya sebagai ibukota Israel. Secara praktis semua kantor Israel sudah berada di sana namun dunia luar tidak mengakui hal tersebut. Kini, setelah keputusan tersebut muncul protes penentangan dari pemerintahan-pemerintahan tertentu di seluruh dunia. Negara-negara di dunia terbelah dalam menyikapinya.

Namun, semua penentangan ini merupakan akibat kelemahan umat Islam sendiri. Sesama negara Muslim sendiri tidak bisa bersatu dan saling memerangi. Keadaan internal mereka begitu lemah, sehingga memberi kesempatan kepada negara lain (semacam Amerika) untuk mengumumkan hal-hal semacam ini. Amerika serikat melakukan hal ini supaya keadaan keamanan di negara-negara Muslim tidak berjalan dan membuat mereka terpaksa tunduk kepada keputusan-keputusan Amerika.

Arab Saudi sekarang [pura-pura memprotes] menyatakan keputusan presiden Amerika Serikat (AS) sama sekali tidak dapat diterima selamanya. Namun, beberapa hari sebelumnya Saudi menampakkan sikap mengiyakan keputusan-keputusan Presiden Amerika ini (Trump).

Saudi Arab juga telah mendukung keputusan Amerika Serikat yang menentang Iran padahal saat itu waktu yang tepat bagi Saudi Arabia untuk mencegah AS dari hal tersebut dan mengatakan, “Kami bersama negara-negara Islam dan tidak menerima permusuhan terhadap umat Muslim dari pihak negara besar mana pun.”

Saudi Arabia telah meminta negara adi daya untuk membantu mereka terus-menerus menyerang Yaman. Saudi Arabia setuju terhadap keputusan-keputusan Amerika guna menampakkan kekuatannya, memperlihatkan wibawa kerajaannya dan demi keuntungan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat. Demi memperoleh ketentuan duniawi yang sementara, mereka meninggalkan perintah-perintah Allah Ta’ala. Maka, hal ini sebentar lagi akan memberikan dampak kepada mereka disebabkan tidak menaati perintah-perintah Allah Ta’ala, inilah yang sedang kita amati saat ini. Pada dasarnya orang-orang semacam ini sedang menyembelih diri mereka sendiri.

Hadhrat Masih Mau’ud (as) mengumpamakan seseorang yang kerjanya hanya ingin mendapatkan keuntungan dari dunia ini adalah seperti seorang pria dengan rasa gatalnya’, yang merasa enak dengan menggaruk gatal-gatalnya yang tanpa henti itu. Tapi garukan tersebut hanya memberikannya rasa enak yang sementara, setelah itu akan merusak kulitnya, meninggalkan goresan dan membuatnya berdarah.

Hal-hal materi yang didambakan seseorang melebihi kewajaran ini membawa sebab-sebab kegelisahan pada akhirnya. Mereka yang menyangka perilaku menambah kekuatan dan jumlah mereka ini sebenarnya tengah mengeluarkan darahnya sendiri disamping mengundang murka Ilahi. Allah Ta’ala telah menyebutkan hal ini di tempat lain sebagai berikut:  اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ    “Ketahuilah, kehidupan dunia ini hanyalah permainan-permainan sebagai sarana guna memenuhi keinginan-keinginan diri yang melalaikan dari tujuan agung, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Perumpamaan kehidupan di dunia ini seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Surah al-Hadid :21)

Oleh karena itu, adalah kewajiban bagi seorang mukmin untuk memohon ampun dan berserah diri kepada Allah Ta’ala daripada harus merasa bangga dengan harta duniawi dan sepenuhnya mencurahkan segala upaya mereka demi mengejar capaian-capaian duniawi. Mereka seharusnya tidak menghancurkan kehidupan duniawi dan kehidupan mereka setelah kematian mereka dengan bertindak layaknya seseorang yang menderita gatal-gatal.

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda di salah satu majelis tentang keadaan dan perbekalan kehidupan duniawi, “Semakin manusia terhindar dari keadaan penuh gejolak nafsu demi mencapai keinginan materi, semakin banyak keinginannya yang terpenuhi.” (Itulah perjuangan untuk menjauhkan diri dari hasrat (tak bermoral) duniawi.)

“Ada api yang menyala terus-menerus di dalam hati orang-orang yang ingin menjulur-julurkan lidah (amat menginginkan) demi mendapatkan benda-benda [duniawi], dan mereka diliputi dalam kesulitan yang permanen (kecemasan dsb). Ketentraman di dunia ini hanya dapat seseorang temukan dengan membebaskan diri dari kecemasan yang seperti ini.” (selamat dari segala hasrat yang terus-menerus untuk mendapatkan hal-hal duniawi).

“Suatu kali, seorang pria tengah mengendarai kuda. Dia melihat seorang Faqir (pengemis) yang mengenakan pakaian yang nyaris tidak menutupi tubuhnya. Penunggang kuda itu bertanya pada sang pengemis: ‘Hai tuan, bagaimana kabarmu?’ Si pengemis menjawab: ‘Sama seperti seseorang, yang semua keinginannya terpenuhi?’

Penunggang kuda heran mendengar jawaban itu dan bertanya: ‘Bagaimana bisa semua keinginanmu terpenuhi?’ Pengemis itu menjawab: ‘Ketika seseorang meninggalkan semua hasratnya, seakan-akan ia telah meraih semuanya.’

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Kesimpulannya, ketika seseorang menginginkan untuk mendapatkan segalanya, maka itu menjadi sumber ketidaknyamanan (penderitaan) baginya, namun, ketika seseorang qana’ah (merasa cukup atau puas) dan meninggalkan semua [keinginan], maka rasanya seolah-olah mereka telah meraih segalanya. Pengertian najaat (kebebasan dan keselamatan) adalah ketika seseorang merasakan kelezatan (sukacita, kebahagiaan) dan bukan dukacita (penderitaan). Kehidupan yang penuh kesusahan tidak baik di kehidupan ini dan tidak juga di kehidupan yang akan datang (akhirat).”

Beliau (as) bersabda, “… kehidupan ini walau bagaimana pun akan habis (berakhir), karena ia seperti sepotong es, bagaimana  pun kalian menyimpannya di dalam peti-peti dan dibalut dalam kain, tetap saja dia meleleh.” (Beliau (as) mengumpamakan kehidupan sebagai es mengingat begitu sedikit atau cepatnya berakhir)

“Seperti itu jugalah, betapa pun hebatnya upaya dilakukan untuk melindungi kehidupan, yang benar (pasti) adalah ia akan habis. Hari demi hari sedikit banyak akan terjadi perubahan padanya. Di dunia ini terdapat para dokter dan juga para tabib, namun tidak satu pun ada yang memberi resep umur kekal.”

(Tidak ada satu pun resep yang menuliskan bahwa seseorang akan hidup selamanya atau berumur sampai selama waktu tertentu.)

“Ketika seseorang mencapai usia tua, sebagian orang lain datang kepadanya untuk menghiburnya dengan mengatakan, ‘Anda belum tua. Anda masih muda kok. Kan belum 60 tahun atau 70 tahun. Umur itu bukan umur yang tua juga.’” (Mereka bercakap-cakap dengan corak mirip ini. Namun ini hanya percakapan sebentar saja.)

“Jiwa manusia menipunya dan mengangan-angankannya umur panjang. Kita lihat di dunia umur-umur manusia yang bersamaan dengan itu mulai melemah ialah setelah 60 tahun. Amat berbahagialah mereka yang telah mencapai umur 60 atau 62 dan sampai batas tertentu kekuatannya masih bagus. Namun, banyak dari mereka yang menjadi seperti kurang akal (pikun). Setelah itu mereka tidak masuk forum musyawarah. (maksudnya tidak diajak berdiskusi atau bermusyawarah)

Tidak ada lagi sisa akal cerdas mereka. Tidak ada lagi cahaya di pemikiran mereka. Terkadang kaum perempuan menganiaya juga mereka yang berada dalam usia lanjut ini sampai-sampai lupa memberikan makan kepada mereka. (Terkadang orang-orang di rumah memperlakukan tidak baik kepada anggota keluarga di rumahnya)

Kesulitannya ialah manusia ketika muda merasa akan muda terus dan lupa kelak akan tua dan mati.” (Demikianlah manusia yang merasa berkuasa melakukan apa saja yang dia inginkan. Mereka merasa kekuasaannya tersebut akan bertahan selamanya.)

“Ia terus-menerus melakukan keburukan dan pada akhirnya ketika ia menyadari akan perbuatannya itu, ia tidak dapat bertindak apa-apa. Maka dari itu, kita harus melihat tahun-tahun masa muda kita sebagai ibarat harta karun.”

(Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam memberi pengertian kepada teman beliau (as) yang beragama Hindu, Syarampat,) “Tidak diragukan lagi bahwa telah terpenuhi sebagian hal yang Anda niatkan untuk dicapai dalam kehidupan Anda. Namun, jika Anda renungkan sekarang, niscaya akan Anda rasakan itu seperti gelembung yang meletus segera dan tidak tersisa sedikit pun di tangan. Kenyamanan (kebahagiaan) di masa lampau tidak bermanfaat sedikit pun. Dengan menggambarkan tentangnya, kedukaan bertambah.” (Ketika seseorang telah melalui kenyamanan di masa lampau dan kemudian memasuk kesulitan-kesulitan, beliau (as) bersabda bahwa itu tidak berfaedah sedikit pun. Bila seseorang memikirkan masa lalu maka ia malah bertambah sedih.)

“Seorang yang berpikir dapat mengambil kesimpulan dari hal ini bahwa manusia harus menjadi ‘anak waktu’” (Artinya, ia sibuk tiap detik dari kehidupannya dan memperhatikan waktu serta berperilaku sesuai keadaan waktunya.)

“Kehidupan adalah apa yang ada di tangannya (sekarang). Waktu yang telah berlalu tidak bisa dikembalikan. Tidak ada gunanya membayangkannya. Betapa bahagianya seorang anak kecil di pangkuan ibunya. Semua orang menggendongnya. Masa itu ibarat surga baginya. Namun, pikirkanlah sekarang! Dimanakah masa itu?” (Waktu itu telah berlalu. segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya sementara. Sarana-sarana kemudahan hanya sementara. Oleh karena itu, bila siapa saja mendapatkan kenyamanan, kemudahan, kewenangan dan kekuasaan serta jabatan; maka senantiasalah merenungi hal ini.) “Apakah mungkin masa-masa yang telah berlalu dapat kembali?”

Selanjutnya Hadhrat Masih Mau’ud (as) menceritakan sebuah riwayat: “Suatu kali ada seorang Raja sedang berjalan-jalan dan menangis melihat anak-anak. Padahal dia sedang melihat anak-anak yang tertawa dan bermain tanpa beban. Sang raja teringat masa kecilnya yang tanpa beban apa-apa bermain bersama teman-teman masa kecilnya. Ia mengalami kesulitan-kesulitan besar setelah meninggalkan persahabatan tersebut.” (sang Raja menangis karena menyaksikan anak-anak kecil bermain-main tanpa beban dan penuh kebebasan. Karena hal ini, ia teringat masa kecilnya dan merindukan masa itu sementara keadaan yang ia alami masa kini berbeda lagi. Bahkan para raja sekalipun tidak tenang akan hidupnya dan tidak berbahagia secara hakiki meski mereka bergelingan berbagai sarana kenyamanan dan kenikmatan duniawi.)

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Seseorang harus menyadari masa tua adalah masa yang sulit. Pada waktu itu teman dekatnya bahkan keluarganya ada yang berharap agar ia meninggal saja. Sebelum orang itu meninggal dunia, kekuatannya telah meninggalkannya.” (Hati sebagian kerabat dan temannya menjadi demikian keras sampai-sampai melihat keadaan orang yang tengah sakit itu atau yang telah lanjut usia itu lalu berkata, “Ia menjadi beban besar bagi kami.”)

Berkenaan dengan kehidupan itu sendiri, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Gigi-giginya telah tanggal (ompong). Pandangan matanya telah kabur. Ia seperti patung batu. Bentuknya menjadi jelek. Sebagian orang lagi menderita penyakit-penyakit yang berbahaya sehingga membuatnya mengambil jalan bunuh diri.” (Inilah yang kita lihat di dunia ini. Terlepas dari semua itu, ketika seseorang itu masih muda dan penuh energi, ketika ia memiliki kekuatan untuk mendapatkan uang, ia masih tetap tidak sadar akan yang terjadi di masa depan.)

Ketika sadar, ia baru menyadari hidupnya telah dilalui dengan sia-sia. Inilah saatnya [kesadaran] itu dingat bahwa akan lebih baik jika ia mengikuti perintah-perintah Allah Ta’ala dan menjalani hidupnya sesuai dengan perintah tersebut, bukannya terkurung oleh dunia dan mengabaikan Allah Ta’ala.”

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Terkadang seseorang mendapat musibah yang membuatnya ingin melarikan diri. Jika keadaan anak-anaknya tidak baik, kesulitan-kesulitannya pun bertambah. Pada saat demikian barulah dia menyesal telah menghabiskan umurnya untuk hal-hal yang salah.” (Pada waktu itu ia baru ingat kebaikan mengamalkan perintah-perintah Allah. Seseorang hendaknya harus hidup sesuai dengan hal itu bukannya tenggelam dalam kesibukan-kesibukan duniawi dan melupakan Allah. Di dunia ini telah berlalu Fir’aun-Fir’aun besar dan banyak lagi Haman-Haman serta orang-orang kuat lain yang jika kita pelajari perjalanan hidup mereka akan diketahui bahwa keagungan duniawi dan kehebatan duniawi mereka tidak bermanfaat apa-apa bagi mereka. Pemerintahan-pemerintahan mereka lebih dari segi kebebasan kewenangan (kekuasaan) dibandingkan pemerintahan-pemerintahan saat ini namun mereka semua telah dihapuskan.)

Beliau (as) melanjutkan, “Orang yang berakal cerdas ialah yang bertawajjuh hanya kepada Tuhan saja dan mengimani-Nya tanpa sekutu. Kita telah menguji bahwa dewa-dewi tidaklah bermanfaat. Jika seseorang tidak tunduk kepada Tuhan Yang Tunggal tersebut, tentu satu pun tidak ada yang merahmatinya. Jika bencana datang kepadanya, tak satu pun yang bersimpati kepadanya. Ribuan musibah datang kepada manusia. Ketahuilah! Tidak ada bagi kalian kecuali Satu Yang Maha Pemelihara saja, tiada yang lain. Dialah yang meniupkan kecintaan ke dalam hati para ibu. Jika kecintaan seperti ini tidak Dia ciptakan di hati para ibu, tentu mereka takkan merawat anak-anaknya. Janganlah kalian menyekutukan Tuhan dengan siapa pun.”

Inilah yang beliau nasehatkan kepada seorang Hindu.

Di beberapa agama orang-orang membuat dewa-dewi dan berhala-berhala secara fisik, namun beberapa orang lainnya mengambil benda-benda duniawi seperti anak-anak, kekuatan dan kekuasaan sebagai sekutu Tuhan. Lalu ada persekutuan atau seperti contoh yang telah saya berikan bahwa beberapa negara kecil ingin mencari perlindungan kepada negara-negara kuat lainnya. Mereka menjadikan negara-negara adidaya tersebut sebagai tuhan-tuhan mereka. Tapi semua hal ini pasti akan berakhir dan hancur. Sebagaimana Allah Ta’ala firmankan, jahiim (neraka) menjadi tempat tinggal mereka.

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Hendaknya diingat dengan baik, siapa pun yang menjadi milik Allah Ta’ala, maka Dia menjadi miliknya. Dan tidak ada satu pun orang yang dapat menipu Allah Ta’ala. Sungguh bodoh jika seseorang berpikiran dapat menipu Allah Ta’ala dengan kepura-puraan dan penipuan. Hal tersebut hanya menipu dirinya sendiri. Kecintaan dan keindahan duniawi merupakan asal berbagai pelanggaran. Hal tersebut telah membutakan manusia dan membuatnya lupa akan kemanusiaan dan ia tidak menyadari apa yang ia sedang lakukan dan apa yang hendaknya ia lakukan. Apabila manusia yang cerdas saja tidak tertipu oleh trik seseorang maka bagaimana mungkin Allah bisa ditipu?

Namun, akar perbuatan buruk tersebut ialah kecintaan terhadap dunia yang begitu kuat. Penyebab terbesar yang menimbulkan kehancuran bagi dunia Islam ialah dosa kecintaan terhadap dunia. Terlihat mereka terjerat dalam hal itu. Kecintaan terhadap dunia menjadi perhatian utama dan sebab kedukaan mereka dalam berdiri, duduk, tidur dan bangun mereka bahkan setiap momen dari malam dan siang tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelah mereka mati dan masuk ke dalam kubur. Andai saja mereka takut akan Allah, niscaya pada mereka terdapat kepedulian dan kesedihan demi agama yang akan sangat bermanfaat bagi mereka.”

Maka dari itu, kewajiban orang beriman untuk mengkhawatirkan keadaannya pada hari akhirat nanti dan juga agar dapat meraih kasih sayang Allah Ta’ala, bukan sebaliknya, sibuk mengkhawatirkan hal-hal duniawi. Ciptakanlah sifat qanaa’ah. Pergunakanlah benda-benda duniawi sembari menganggapnya sebagai kenikmatan dari Allah Ta’ala. Bukan sebagai sesembahan atau mengejar-ngejarnya sedemikian rupa. Sesembahan kita ialah Sesembahan kita yang hakiki.

Orang beriman harus lebih mencintai Allah Ta’ala. Kecintaan kepada Allah-lah yang akan membawa ketakwaan dan selanjutnya menimbulkan qanaa’ah (kebahagiaan) dalam diri manusia. Allah Ta’ala sendiri telah mengatakan kepada kita mengenai tanda orang beriman. Yaitu mereka terdepan dalam kecintaan kepada Allah Ta’ala. Dia berfirman: وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ  ‘walladziina aamanuu asyaddu hubbal Lillah…’ – “Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” Surat Al-Baqarah ayat 165

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda mengenai mata rantai kecintaan kepada Allah Ta’ala: “Ketahuilah! Ghiirah (kehormatan) Allah Ta’ala tidak menerima bila ada orang beriman menduakan-Nya dalam kecintaan pribadi. (Dia sangat cemburu dalam hal ini. Orang beriman hendaknya tidak menduakan kecintaan pribadinya kepada Allah dengan sesuatu apa pun) ketika ada orang yang.

Allah Ta’ala. Dia berfirman: وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗAdapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” Surat Al-Baqarah ayat 165

Itu artinya, orang Mu’min (beriman) adalah orang yang mencintai Allah Ta’ala melebihi apapun. Kecintaan yang demikian ialah haq Allah nan Maha Agung dan Perkasa saja dan siapa pun yang menyerahkan haq-Nya kepada selain-Nya maka ia lebih hancur.

Semua keberkatan yang diperoleh para hamba Allah dan semua jenis pengabulan yang mereka dapatkan; apakah itu mereka peroleh dengan shalat dan puasa yang biasa-biasa saja? Sama sekali tidak. Melainkan itu diperoleh dengan ketauhidan dalam hati mereka yang menjadikan diri mereka sebagai demi Allah semata. Dengan tangan mereka sendiri, mereka korbankan selain Allah di jalan Allah. Saya tahu betul hakikat kepedihan yang menimpa seseorang  yang terpisah di suatu waktu dari apa yang ia sebut kehidupan baginya. Namun, janganlah hendaknya selain Allah, dia jadikan harus sebagai satu-satunya yang sebanding dengan Kekasih Hakiki.

Hati saya ini selalu memberikan fatwa bahwa lebih mencintai selain dari pada Allah Ta’ala, apakah itu cinta kepada istri, keluarga, teman dan lainnya maka ini adalah sejenis kekafiran dan dosa besar. Ini merupakan rahmat dan ni’mat Allah Ta’ala Yang menyediakan kesempatan-kesempatan demikian. Jika tidak berhati-hati dalam hal ini maka iman akan terjerumus dalam bahaya.”

Tidak mungkin seorang beriman sejati berpikiran mengikuti kecintaan terhadap kebendaan secara syahwati (amat berlebihan). Maka dari itu, kemajuan dalam keimanan dan Qana’ah (merasa cukup) adalah hal yang penting bagi seorang Mu’min. Karena itulah, Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda, كُنْ وَرِعًا ، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ ‘Kun wari’an takun a’badan naas.’ – “Jadilah kamu orang yang paling wara’ (bertakwa, hati-hati bertindak) maka kamu akan menjadi yang paling ‘abid (ahli ibadah) diantara manusia.” Jika hati seseorang itu penuh kecintaan kepada Allah dan ketakwaan maka ia akan kokoh dalam menunaikan hak penghambaan kepada Allah dan ibadah kepada-Nya. Seorang ‘abid sejati harus menjadi seorang yang qana’ah. Nabi saw bersabda, وَكُنْ قَنِعًا ، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ ‘wa kun qani’an, takun asykarannaas.’ – “Jika kalian menimbulkan qana’ah dalam diri kalian maka kalian akan mampu untuk melalui kehidupan dalam rasa syukur.”

Ketika seseorang Qana’ah maka dia akan menjadi hamba yang bersyukur dan rasa syukur ini begitu sangat penting bagi seorang Mu’min. Orang-orang beriman ialah yang paling banyak bersyukur dan memang hendaknya demikian. Orang-orang yang dengan mulut saja mengatakan bersyukur kepada Tuhan, namun pada waktu yang sama ternyata mengejar kenikmatan kehidupan dunia, kehormatan dan hal-hal memalukan; maka mereka sebenarnya berada dalam hubbusy syahawaat (terjerat dalam hasrat berlebihan terhadap duniawi). Mereka tidak pernah mampu bersyukur secara hakiki.

Dalam menggambarkan orang-orang materialistis ini, Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِيَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا، وَلَوْ أُعْطِيَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ، “Jika anak Adam memiliki satu buah lembah yang penuh dengan emas, dia ingin menambah lagi sehingga memiliki dua lembah, namun tidak ada yang dapat memuaskan hasratnya hingga ia masuk liang kubur.”

Beliau selanjutnya bersabda, وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ “Allah Ta’ala menerima tobat seseorang yang bertobat.” Jadi, kehidupan ini adalah waktunya bagi seseorang harus bertobat jika dia melakukan kesalahan.

Dalam hal menjelaskan tingkat Qana’ah (kebahagiaan dan merasa cukup) orang beriman, Rasulullah (saw) bersabda, « مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا بِحَذَافِيرِهَا» “Siapa di antara kalian berpagi hari dalam keadaan mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.”

Jadi, inilah tingkat Qana’ah (kebahagiaan dan merasa cukup) orang beriman. Semoga Allah Ta’ala menganugerahi dalam diri kita terciptanya Qana’ah (kebahagiaan dan merasa cukup) dan ketakwaan. Semoga tujuan kita adalah guna meraih kecintaan Allah Ta’ala bukan meraih kecintaaan hal-hal materi dan semoga kita menerima ampunan dan ridha Allah Ta’ala.

Setelah ini saya ingin mengalihkan perhatian kepada doa sebagaimana telah secara ringkas kami sebut bahwa para pemimpin negara-negara Muslim yang mana memendam hasrat-hasrat duniawi dan secara amal perbuatan bukannya menuhankan Tuhan malahan menuhankan kekuatan adidaya (negara-negara kuat). Mereka beranggapan berkawan dengan negara-negara adidaya dapat menjamin kekekalan kekuasaan mereka dan kemajuan mereka. Padahal perhatikanlah keadaan Amerika Serikat. Baru-baru ini dalam sebuah artikel di surat kabar di Jerman tertulis banyak hal yang diantaranya:

“Washington (ibukota AS) yang tadinya dianggap sebagai model dan percontohan yang harus diikuti bagi dunia, tampaknya sekarang sudah mulai ditinggalkan. Ia tengah berangsur-angsur tidak berkualitas seperti itu lagi. Sekarang ini Beijing, ibukota RRT, Republik Rakyat Tiongkok (Cina) tampaknya yang akan menjadi model dunia. Amerika telah menurun kedudukan dan kualitasnya.”

Sarana-sarana duniawi itu hanya sementara. Apa yang muncul pada hari ini akan hilang pada hari esoknya. Orang-orang Islam harus paham hal ini. Pengumuman dibuat oleh Amerika Serikat soal pemindahan kedutaannya ke Yerusalem [dari Tel Aviv]. Hal itu dilakukan semata-mata anggapan demi memperbaiki dan memperkuat hubungannya dengan Israel serta juga supaya reputasinya tetap utuh.

Namun, jika Allah telah menetapkan kemunduran maka tidak akan bermanfaat persahabatan dan perjanjian duniawi. Hal itu telah mulai tampak atas kekuatan negara adidaya, khususnya Amerika Serikat. Bagaimana natijahnya (akibatnya)? Hanya Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui. Tapi, dalam keadaan seperti itu, mereka (Amerika) masih sempat saja berusaha dengan keras membuat orang-orang Muslim saling berperang diantara mereka sendiri (sibuk mengadu domba umat Islam). Oleh karena itu umat Islam juga seharusnya sadar. Inilah sebabnya mengapa kita harus berdoa untuk dunia Muslim agar Allah Ta’ala menganugerahi mereka pemahaman, mereka menjadi satu kesatuan dan supaya kemungkinan perang antar negara Islam dihindari.

Selain itu, semoga dijauhkan terjadinya pertempuran di dalam kalangan di negara-negara Islam yang membuat ribuan orang, bahkan menurut beberapa survei mengatakan hingga ratusan ribu nyawa hilang. Semoga Allah menganugerahi mereka pemahaman supaya itu dan memungkinkan mereka untuk hidup sebagai satu bangsa.  Semoga Dia mengakhiri perselisihan di dalam kalangan negara Muslim ini sehingga pihak-pihak yang memusuhi Islam tidak mengambil keuntungan apapun dari itu.

Selain itu semua, yang lebih penting lagi, marilah kita semua berdoa agar orang-orang Islam tersebut menerima Al-Masih dan Al-Mahdi yang diutus Tuhan, dan dengan mengikatkan diri mereka dengan beliau as, mereka akan dapat membangun kedamaian dan keamanan diantara mereka dan di dunia pada umumnya. Aamiin

Penerjemah : Dildaar Ahmad Dartono

 

________________________________

[1] Malfuzhaat, jilid 10, h. 260, edisi 1985, UK.

[2] Malfuzhaat, jilid 5, h. 248, edisi 1985, UK.

[3] Malfuzhat jilid 1, halaman 155, edisi 1985, terbitan UK.

[4] Malfuzhat jilid 3, halaman 422, edisi 1985, terbitan UK.

[5] Perbedaan antara Ahmadi dan bukan Ahmadi, Ruhani Khazain jilid 20,h. 483, edisi komputerisasi 2009, terbitan UK.

[6] Al-Hakam, 10 Agustus 1901, h. 9, nomor 29, jilid 5; Tafsir HadhratMasih Mau’ud ‘alaihis salaam, Surah al-Baqarah 166.

[7] Sunan ibn Maajah, Kitab tentang Zuhd, bab al-wara’ dan takwa, no.4217; “Dari Abu Huraira berkata, Rasulullah telah bersabda: بَاهُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا ، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ ، وَكُنْ قَنِعًا ،تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ ، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، تَكُنْ مُؤْمِنًا ، وَأَحْسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ ، تَكُنْمُسْلِمًا ، وَأَقِلَّ الضَّحِكَ ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُالْقَلْبَ. ‘hai Abu Hurairah Jadilah engkau wira’i, maka engkau akan menjadi orang yang paling berbakti (ibadat), dan jadilah engkau qana’ah, niscaya engkau menjadi orang paling bersyukur, dan cintailah manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu, engkau akan menjadi beriman, dan perbaikilah kehidupan bertetangga orang yang menjadi tetanggamu, engkau akan menjadi muslim, jadilah orang yang sedikit tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati.’”

[8] Abdullah ibnu Az Zubair pernah berpidato di Makkah, lalu ia mengatakan, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)

[9] Shahih al-Bukhari, Kitab ar-Riqaq, bab fiman fitnatil maal, no. 6438.

[10] Jami’ at-Tirmidzi, Abwaabuz zuhd, bab al-washf min hizah lahud dunya, no. 2346, Ibnu Majah no. 4141; dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al Anshary

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.