بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْم
Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz [1]
Tanggal 12 Syahadat 1392 HS/April 2013
Di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أَشْهَدُ أَنْ لا إِلٰهَ إلا اللّٰهُ وَحْدَهُ لا شَرِيْكَ لَهُ
وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
أَمَّا بَعْدُ فأعوذ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١) اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (٢) الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّيْنَ (٧)
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Terjemahan ayat ini adalah, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk mempercayakan amanat pada orang yang berhak mendapatkannya dan ketika kalian menghakimi diantara manusia maka hendaknya kalian menghakimi dengan adil. Sungguh baik apa yang Allah nasehatkan kepada kalian! Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (4:59)
Tahun Pemilihan Kepengurusan Jemaat;
Penjelasan Ayat tentang Dasar Pemilihan dan Penyerahan Amanat
Tahun ini seperti semua warga Jemaat ketahui adalah tahun pemilihan bagi semua Jemaat. Setiap tiga tahun ada pemilihan. Pemilihan umara (para Amir), Sadr (ketua), dan berbagai posisi kepengurusan lainnya. Di beberapa Jemaat pemilihan sudah dimulai. Di Jemaat besar dipilihlah Majlis-e-Intikhab (majelis pemilihan) yang memilih para pengurus Jemaat mereka sendiri. Pendek kata, mengadakan pemilihan adalah penting, untuk menjalankan struktur Jemaat dengan tertib, memajukan pekerjaan Jemaat dalam corak yang sebaik-baiknya, menunaikan hak kepengurusan dengan benar, maka sangat penting juga memilih orang yang tepat untuk memegang suatu jabatan. Sungguh masalah ini sangat penting sehingga dalam Al-Quran al-Karim, Allah Ta’ala menarik perhatian orang-orang mu’min kepada hal ini, merinci orang macam apa yang hendaknya dipilih untuk suatu jabatan, dan mengingatkan mereka yang telah dipilih, “Kalian tidak cukup hanya memegang jabatan semata. Penting juga berkewajiban melaksanakan tugasnya dan ketika kewajiban ini tidak dilaksanakan maka kalian akan menarik kemarahan Tuhan.”
Ayat yang saya tilawatkan ini mengandung penjelasan akan hal ini. Tanggungjawab pertama yang disebutkan di dalam ayat yang disebutkan diatas adalah, memegang sebuah jabatan adalah amanat, karena itu pilihlah seseorang yang terbaik dalam pandangan kalian. Berikanlah suara pada yang haknya. Sebelum memberikan suara, pertimbangkan apakah mereka – kepada siapa suara yang telah kamu berikan atau kamu akan berikan – pantas dan mampu memegang jabatan tersebut atau tidak. Apakah ia mampu menjalankan jabatan itu ataukah tidak? Semakin besar tanggung jawab yang mengenainya kalian berkumpul untuk memberikan pendapat kalian pada Khalifa-e-Waqt, semakin kalian perlu merenungkannya dan berdoa untuk itu. Bukan demikian yaitu saya menyukai orang ini maka suara saya, saya akan berikan padanya, atau si fulan adalah keluarga saya maka suara saya akan diberikan kepadanya. Atau si fulan adalah saudara saya, Syekh, Jutt (nama suku), Chaudri (tuan tanah), Sayyid (keturunan Nabi s.a.w.), Pathan, Rajput (bangsawan keturunan Raja), oleh karena itu suara diberikan padanya. Pemilihan hendaknya tidak dilakukan berdasarkan hubungan seseorang, pertemanan atau mengutamakan kelompok. Allah Ta’ala bukan hanya akan meminta pertanggungjawaban para pengurus yakni mengapa kamu tidak bekerja dengan benar bahkan para pemilih juga akan ditanyai mengenai kenapa mereka tidak memberikan suara dengan benar.
Di akhir ayat ini Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا Innallaha kaana samii’an bashiira “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” Ayat ini untuk mereka yang memberikan suara, kalau tidak mengetahui mengenai seseorang yang akan dipilih maka berdoalah kepada Allah Ta’ala yaitu, “Wahai Allah, berikanlah taufik padaku untuk memberikan suara bagi orang yang terbaik dalam pandangan Engkau, dan diberikan dengan niat baik.” Doa itu adalah bagi Allah Ta’ala yang Maha Mendengar, Maha Melihat. Dia Mendengar.
Berfirman, Dia juga Melihat. Dia melihat amalan perbuatan kamu dengan pandangan mendalam. Oleh karena itu Allah Ta’ala tidak dapat ditipu, dan Dia mengetahui hingga kedalam lubuk hatimu yang dalam. Oleh karena itu apabila Jemaat orang-orang mu’min berdoa saat memilih pengurus maka Allah Ta’ala akan menjadi penolong orang-orang mumin untuk memilih para pengurus. Ini adalah kebiasaan Jemaat kita untuk berdoa sebelum setiap tugas dan pemilihan juga didahului dengan doa. Kalau pemilihan dijalankan dengan penuh ketulusan setelah memohon bimbingan dari Allah Ta’ala maka Allah Ta’ala akan menurunkan karunia dan berkat-berkat-Nya.
Setiap pemberi suara harus menghargai pentingnya dan haknya dalam memberikan suaranya sendiri. Suara hendaknya diberikan kepada orang yang dalam pandangannya tepat memikul amanah bukan karena kecondongan pribadi, kesukaan pribadi dan hubungan personal seseorang. Para Ahmadi lama mengetahui hal ini, dan para mubayi’in baru serta orang-orang muda juga harus jelas tahu bahwa dalam intikhaabaat (pemilihan di Jemaat kita), ialah pemberian usulan-usulan. Adapun keputusan final dibuat oleh Khalifah-e-Waqt. Dalam kondisi tertentu walaupun seseorang mendapat suara mayoritas, jabatan itu diberikan [oleh Khalifah] kepada orang lain dengan beberapa pertimbangan. Hendaknya juga jelas, bahwa Qawaa-id (the Rule, peraturan) memberi ijin kepada Amir di suatu negara untuk menyetujui pemilihan sejumlah pengurus setempat dan juga punya hak untuk memilih seseorang yang tidak mendapat suara mayoritas. Sekalipun beliau (Amir) memiliki hak berbeda dari suara terbanyak, akan tetapi pada umumnya para Amir hendaknya menghormati suara mayoritas, dan hendaknya menggarisbawahi hal ini, khususnya kepada Inggris, negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada dan Australia, bahwa dalam pemilihan pengurus setempat, Amir Nasional diijinkan bila ia ingin merubah Qawaa-id (the Rule, peraturan), ia dapat melakukannya. Akan tetapi jika para Amir di negara-negara yang saya sebut tadi ingin mengadakan suatu perubahan dalam pemilihan kali ini, mereka harus menanyakannya kepada saya (Hadhrat Khalifatul Masih) dan mendapatkan persetujuan saya terlebih dahulu. Tidak boleh para Amir itu merubahnya sendiri. Selainnya, yaitu Pakistan, Bharat (India) dan negara-negara lainnya boleh menjalankan pemilihan pengurus setempat sesuai dengan Qawaa-id, dan setiap negara yang ada National Amilahnya, dan sebagian lainnya yang ada kepengurusannya, pendek kata bagi mereka semua, memohon persetujuan dari sini, dari Markaz. Memohon persetujuan dari Khalifah-e-Waqt.
Ayat tersebut menyatakan: تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا tu’addul amaanaati ila ahlihaa’ “…serahkanlah amanat pada orang yang berhak menerimanya…” dan ini berlaku untuk para pengurus juga. Sebagian orang yang ditunjuk untuk kedudukan dan tugas tertentu tanpa melalui pemilihan. Sebagai contoh sekretaris Ristha Nata dan tugas-tugas lainnya yang diberikan kepada orang-orang di dalam departemen. Ketika menunjuk orang untuk posisi-posisi semacam ini, Amir Jemaat, atau Sadr Jemaat atau Sekretaris terkait hendaknya tidak mengikuti keutamaan dan hubungan pribadi. Sebaliknya mereka hendaknya menilai dengan detail para anggota Jemaat dengan sungguh-sungguh dan menunjuk orang yang nampak terbaik, jika tidak, ini akan menjadi nepotisme yang Islam tidak menyukainya. Akan tetapi, jika seseorang menunjuk seorang kerabat atau seorang teman untuk sebuah tugas dan memang ia pantas, maka sebagian orang yang punya kebiasaan mengkritik pun mengajukan keberatan. Tanpa alasan mereka menyampaikan keberatan yang tidak perlu, “Lihat! Dia ditunjuk karena keluarganya!” Mereka hendaknya berhenti melakukan hal itu. Menjadi keluarga atau dekat dengan seorang Amir atau seorang pengurus bukanlah suatu dosa, dan seseorang hendaknya tidak dimahrumkan dari mengkhidmati Jemaat didasarkan hal ini. Masalah ini saya jelaskan karena beberapa orang mengajukan keberatan-keberatan semacam ini.
Tuhan berfirman dalam ayat berikut agar para pengurus أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ‘an tahkumuu bil ’adl‘ – “kalian menjunjung tinggi keadilan dalam semua urusan yang dipercayakan kepada kalian dan dalam janji-janji kalian.“ Jika tidak adil, terjadi nepotisme [berat sebelah mengutamakan hubungan keluarga], atau lebih mengutamakan pengurus dibanding anggota biasa tanpa sebab yang penting, maka keadilan tidak tegak. Jika tidak ada keadilan dalam pekerjaan tersebut, maka akan kehilangan berkat, akibatnya bukan hasil yang baik tetapi hasil yang buruklah yang terjadi. Demikian pula bukan hanya dalam urusan para karyawan [pekerja Jemaat], melainkan keputusan yang berdasarkan keadilan hendaknya dilakukan berkaitan dengan setiap anggota Jemaat. Jangan sampai jika seseorang adalah teman fulan dan fulan, atau berasal dari keluarga fulan dan fulan, diberikan perlakukan yang berbeda, sementara keputusan [kebijakan] yang bertentangan diberikan kepada orang lain. Hal semacam ini menciptakan kegelisahan dalam Jemaat. Demikian pula, jika laporan akan dikirim kepada Khalifah-e-Waqt, laporan harus dibuat dengan [data dan informasi yang] benar, sebab telah diperintahkan, أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ‘an tahkumuu bil adl‘ “…kalian menghakimi dengan adil…“ Akan tetapi, jika laporan yang tidak benar diserahkan, boleh jadi berdasarkan hal ini Khalifah-e-Waqt akan membuat keputusan yang keliru dan dengan demikian terlibat dalam dosa orang yang memberikan laporan salah. Oleh karena itu, harus memperhatikan sepenuhnya hal-hal tersebut dalam setiap pekerjaan Jemaat. Setiap tugas, setiap pengkhidmatan yang diminta dari seseorang hendaknya dikerjakan dengan penuh perhatian dan kejujuran.
Ringkasnya, memegang jabatan bukanlah kebesaran, bahkan ini adalah tanggungjawab besar yang harus ditunaikan dengan doa-doa. Tuhan berfirman bahwa Dia adalah إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (النساء: 59) ‘…Maha Mendengar, Maha Melihat…’ Dia mendengarkan doa-doa, khususnya ketika doa dipanjatkan dalam rangka menjalankan perintah-Nya. Sebagaimana Tuhan memperhatikan dengan teliti para pengusul dan pemilih, Dia juga memperhatikan dengan teliti para pengurus. Jika pengurus tidak menjalankan tanggungjawabnya, tidak membuat keputusan [kebijakan] yang adil, tidak menunaikan kewajiban-kewajiban dalam tugasnya dengan benar, Tuhan menyatakan, mereka akan diminta pertanggungjawabannya. Ini menimbulkan kegelisahan yang sangat pada setiap orang yang telah diberi kepercayaan untuk berkhidmat dengan satu atau lain corak. Tentang orang-orang yang hasrat akan jabatan. Seandainya mereka mengetahui betapa besar tanggungjawabnya itu, dan gagal menghormatinya dapat mengundang kemarahan Tuhan dan akibat yang mengikutinya, maka, setiap pengurus hendaknya sibuk dalam istighfar siang dan malam, lebih dari pada manusia lainnya.
Setiap pengurus hendaknya sadar bahwa setelah dipilih dan disetujui menduduki jabatan [oleh Amir], dia tidak bebas. Melainkan, dia sedemikian rupa terikat untuk berkhidmat sebaik kemampuannya dan gagal melakukannya akan mengundang kemarahan Tuhan. Setiap pengurus harus memberikan hak-hak individu setiap anggota Jemaat begitu juga hak-hak kolektif Jemaat.[2] Sebabnya, setiap pengurus hendaknya berpikir demikian, “Saya adalah seorang pengurus Jemaat. Sedikit banyak kelemahan saya dapat memberikan pengaruh pada Jemaat atau mencemari [membuat buruk] nama baik Jemaat.” Oleh karena itu, hendaknya menunaikan kewajiban-kewajibannyanya dan menegakkan teladan menjalankan kewajiban-kewajiban agama begitu juga kewajiban-kewajiban dunia. Tidak bisa mengatakan, “Ini adalah masalah pribadi saya. Saya melakukan yang saya suka. Tidak ada kaitannya dengan Jemaat, dan karena itu saya melakukan yang saya inginkan.” Setiap pengurus harus memahami bahwa pribadinya terikat dengan kepentingan Jemaat dalam setiap hal.
Pandangan ini harus ditanamkan dalam diri setiap pengurus dan orang yang memegang pandangan inilah yang hendaknya dipilih oleh para pemberi suara atau yang memberikan usul. Dengan kata lain, suara hendaknya diberikan kepada orang yang punya standar ketakwaan tinggi. Jika kita menyatakan bahwa dengan menerima Imam Zaman kita telah meningkatkan standar ketakwaan kita dan kita menjalankan amanat kita lebih dari yang lain [yang belum menerima Imam Zaman], maka dengan penuh gelisah memikiran bagaimana memenuhi tanggungjawab Jemaat yang harus dikerjakan dengan penuh perhatian dan ketekunan. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Quran:وَالَّذِينَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ “Dan orang yang menjaga amanat dan perjanjian mereka.“ (23:9) Perintah ini perlu diperhatikan oleh setiap orang dalam lingkungan mereka. Amanat hendaknya tidak dihormati secara sepintas lalu saja.
Hendaknya dipilih orang-orang untuk suatu jabatan, adalah orang yang serius dengan pekerjaan, dan orang yang dipilih hendaknya juga berusaha melaksanakan tugas mereka sepenuh kemampuan mereka. Para pengurus harus memegang kata-kata ‘mendahulukan kepentingan agama diatas masalah-masalah dunia’ lebih dari yang lain.
Seperti telah saya katakan, ada banyak orang yang mengharapkan jabatan dan dalam diri mereka terdapat gelora semangat untuk berkhidmat padahal hendaknya tidak menghasratkan jabatan [kepengurusan]. Hal demikian ini bertentangan dengan ajaran Islam. Bagaimanapun, jika ada semangat berkhidmat dan hendak berkhidmat, dan kemudian dia dipercaya untuk berkhidmat atau menjadi pengurus, maka hendaknya diingat bahwa tanpa memenuhi semua janji [kepengurusan] sepenuhnya, tugas tidak dapat dilaksanakan. Bagaimanakah memenuhi atau menyempurnakan janji? Dan, dalam standar apakah ia akan sempurna? Dalam standar apa ia seharusnya?
Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menguraikan masalah memenuhi perjanjian ini sebagai berikut, “Tuhan telah menyatakan ayat berikut ini: وَالَّذِينَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ ‘walladziina hum li–aamaanaatihim wa ’ahdihim raa‘uun.’ – “Dan yang menjaga amanat dan perjanjian mereka.” adalah orang yang bukan hanya memiliki keunggulan mengalahkan nafsu rendah nafs ammarah (jiwa yang menarik pada keburukan) dan dengan demikian telah mengalahkan nafsunya. Lebih dari itu, bahkan, mereka berusaha sejauh mungkin untuk berhati-hati pada setiap aspek semua amanat dan semua perjanjian dengan Tuhan dan makhluk-Nya dan menapaki seluk-beluk jalan ketakwaan. Mereka tetap di jalan ini sejauh kekuatan mereka mengizinkan…”[3]
Bersabda: “Makna kata رَاعُونَ ‘raa’uun’ dalam ayat ini ialah ri’ayat rakhna (menjaga penghormatan). Lafaz (kata) ini diucapkan dalam muhawarah (idiom) bahasa Arab ketika seseorang mengikuti jalan yang berliku-liku dalam suatu masalah sesuai dengan kekuatannya dan berharap untuk memenuhi setiap detail yang halus dan tidak ingin membiarkan segi apapun. Jadi, ayat tersebut berarti bahwa orang-orang mu’min…menapaki jalan halus ketakwaan sebaik kemampuan yang mereka miliki dan tidak ingin membiarkan hilang segi apapun yang berkaitan dengan amanat dan perjanjian, sementara perhatian mereka untuk memberikan kelonggaran kepada setiap orang. Mereka tidak merasa gembira karena menganggap bahwa secara umum mereka terpercaya dan jujur. Bahkan mereka merasa takut jangan-jangan mereka secara pribadi melakukan pelanggaran amanat. Mereka terus memikirkan sebaik yang mereka bisa dalam segala urusan mereka, jangan-jangan mereka punya cacat atau kekurangan di dalamnya. Nama penjagaan perkataan yang keduanya itu adalah takwa.“[4]
Kemudian bersabda;
“Pendek kata, orang-orang mu’min ialah mereka yang tidak bertindak sesukanya dalam urusan-urusan mereka, baik itu berkenaan dengan Tuhan maupun berkenaan dengan makhluk-Nya. Melainkan, mereka memberikan perhatian besar pada amanat dan perjanjian-perjanjian mereka karena merasa takut jangan-jangan mereka patut disalahkan dihadapan Allah Ta’ala. Mereka menjaga dengan cermat amanat dan perjanjian-perjanjian mereka, dan terus memeriksa kondisi batiniah mereka secara detail melalui ketakwaan karena takut bahwa secara tersembunyi amanat dan perjanjian mereka jangan-jangan punya kelemahan. Mereka menggunakan amanat yang telah diberikan kepada mereka oleh Allah Ta’ala, misalnya semua kemampuan mereka, anggota badan, nyawa, kekayaan dan kehormatan dan lain lainnya semaksimal mungkin pada waktu yang tepat, dengan berpegang pada ketakwaan dan dan penuh perhatian. Mereka selalu bersikap jujur dan sejauh mungkin berusaha dan memenuhi janji yang mereka buat dengan Allah Ta’ala ketika menerima agama ini. Begitu juga, sebaik yang mereka bisa, mereka menjalankan ketakwaan dalam amanat orang yang mereka pegang atau urusan-urusan yang masuk dalam wilayah amanat. Jika ada masalah, mereka memecahkannya dengan pandangan ketakwaan, meskipun jika hasilnya merugikan mereka.“
Bersabda‚ ‘‘……..Keindahan rohaniah seorang insan adalah dengan menjalani semua jalan halus [detail] ketakwaan. Itu adalah bentuk keindahan rohaniah yang menarik. Jelas bahwa berhati-hati terhadap amanat Allah Ta’ala dan memenuhi semua perjanjian keimanan serta menggunakan semua kemampuan dari anggota badan baik yang nampak, seperti mata, telinga, tangan, kaki, dan lain-lain yang serupa, maupun yang tersembunyi seperti pikiran dan semua kemampuan dan sifat lainnya dalam kesempatan yang tepat, dan menahannya dari bertindak pada kesempatan yang tidak tepat dan berhati-hati terhadap semua serangan halus sifat-sifat buruk dan berhati-hati terhadap hak-hak makhluk adalah cara untuk menyempurnakan keindahan rohaniah seseorang. Allah Ta’ala dalam Al-Quran Karim telah menyatakan ketakwaan sebagai pakaian. لِبَاسُ التَّقْوَى libas-ut-taqwa (pakaian ketakwaan) adalah istilah Al-Quran. Ini adalah sebuah isyarat bahwa keindahan rohaniah dan perhiasan rohaniah didapat melalui ketakwaan. Ketakwaan berarti bahwa seseorang harus berhati-hati [cermat mengamalkan] bahkan terhadap detail terkecil amanat dan perjanjian Ilahi dan juga semua amanat dan perjanjian dengan manusia, sedapat mungkin. Yakni, seseorang harus berusaha memenuhi, sesanggup kekuatannya, semua tuntutan sampai detail paling kecil.“[5]
Ringkasnya, selama standar ketakwaan tidak tinggi, maka kewajiban amanat dan perjanjian terhadap Tuhan dan manusia tidak akan dapat terpenuhi. Amanat ini seperti disabdakan oleh Hadhrat Masih Mau‘ud a.s., terkait amanat dari Tuhan maupun juga amanat para hamba-Nya. Para pengurus secara istimewa, harus terhitung ‘amiin‘ (tepercaya) dalam kedua segi amanat itu.
Kemudian saya memberi petunjuk kepada anggota Jemaat, yang hendak memilih pengurusnya supaya berdoa kepada Allah Ta’ala dan memilih orang-orang yang berkemampuan memenuhi hak amanat mereka di kedua segi [Tuhan dan makhluk]. Hal itu dapat terjadi, bila Jemaat memiliki standar tinggi ketakwaan di setiap seginya. Hal ini juga dapat terjadi, ketika para pemberi suara [pemilih] memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi. Oleh karena itu, setiap anggota Jemaat hendaknya senantiasa memperhatikan keadaan dirinya dan berusaha meninggikan standar ketakwaannya.
Sifat-Sifat Istimewa Orang Beriman, Secara Khusus Para Pengurus Jemaat Harus Bersifat Demikian:
Para pengurus, seperti yang saya katakan, telah dipilih oleh anggota Jemaat, dan dipilih dari antara anggota Jemaat. Untuk itu, berikut ini saya sampaikan beberapa sifat istimewa yang perlu dimiliki oleh setiap dari kita orang-orang mu’min pada umumnya dan khususnya para pengurus.
Pertama, saya ingin mengarahkan pada soal memenuhi perjanjian, bahwa jika standar pemenuhan janji itu tinggi di kalangan orang-orang Jemaat, ini juga akan lebih tinggi diantara para pengurusnya. Orang yang cacat dalam hal memenuhi hak-hak makhluk Tuhan, ia tidak akan sempurna dalam penunaian janji-janji, yakni dikarenakan tidak sempurna dalam memenuhi janji-janji, maka kewajiban-kewajiban tidak tertunaikan. Oleh karena itu, apabila seseorang dapat menahan diri sendiri dari kekasaran maka menahan diri tersebut juga berada dalam memenuhi kewajiban-kewajiban. Inilah yang diajarkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s., “Berusahalah untuk menunaikan hak-hak (kewajiban-kewajiban).“ Banyak sekali perjanjian yang bertalian dengan bisnis (perniagaan), ada orang-orang yang memprotes orang lain [yang menjadi mitranya] akan tetapi, dalam urusannya sendiri tidak bersih yang berakibat timbulnya kerusakan dalam masyarakat. Islam adalah agama yang suka perdamaian, agama yang mencintai keamanan. Meskipun Islam sangat menekankan cara-cara damai, pelanggaran perjanjian dan kekacauan menyebar luas diantara umat Muslim. Hal ini juga berpengaruh pada kita para Ahmadi.
Perjanjian yang perlu dipenuhi dan dihormati bukan hanya kesepakatan bisnis (perniagaan) saja, bahkan, lebih dari itu, setiap jenis perjanjian di setiap tempat, dengan setiap orang. Baik kedalam maupun keluar. Contohnya perjanjian dalam berumahtangga. Pernikahan pun merupakan sebuah perjanjian satu dengan yang lain antara suami dan istri. Sebagian orang saling menipu dalam urusan rumah tangga. Ada sebagian orang yang menjalankan pekerjaan Jemaat mereka dengan sangat baik, seperti pernah saya katakan beberapa kali sebelum ini. Akan tetapi mereka tidak memenuhi kewajiban rumahtangga mereka [terhadap orang-orang di rumah mereka]. Ini juga adalah pelanggaran perjanjian atau mereka melepas diri dari perjanjiannya, dan dalam pandangan Allah Ta’ala pantas dihukum. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا (الإسراء: 35) “…karena setiap perjanjian suatu hari nanti pasti akan ditanyakan“ (17:35) Allah telah menyatakan tanda orang yang bertakwa sebagai berikut, وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا (البقرة: 178) “…dan orang-orang yang memenuhi janji mereka ketika mereka berjanji…“ (2:178) Oleh karena itu jika para Ahmadi ingin memilih pengurus yang saleh, maka mereka juga harus menganalisa seberapa banyak mereka memenuhi amanat perjanjian mereka sendiri.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman, bahwa untuk menciptakan masyarakat yang suka damai maka berhati-hatilah terhadap perasaan orang lain. Untuk itu Dia berfirman, وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ (الحجرات: 12) “…Janganlah kamu mengumpat di antara kamu, begitu pula jangan panggil-memanggil dengan nama buruk.“ (49:12)
Arti kata bahasa Arab yang digunakan dalam ayat ‘talmizuu‘ mengumpat memburuk-burukan, memiliki arti yang luas. Kita melihat sebagian pengurus itu tidak dapat mengontrol emosinya. Kadang kala kepada orang yang datang untuk bekerja sama atau kepada teman-temannya memperdengarkan perkataan yang menyakitkan hati mereka. Perkataan ini juga berarti mengesampingkan, mencari-cari kesalahan orang lain, atau mengatakan sesuatu yang menyakitkan. Terjadi juga orang-orang yang keimanannya lebih lemah bukan hanya berbalik melawan para pengurus bahkan juga berprasangka buruk terhadap Jemaat.
Allah Ta’ala berfirman, تَلْمِزُوا ‘talmizuu‘ ”Mengumpat“. Seperti saya katakan ia memiliki banyak arti, seperti memanas-manasi, mengesampingkan seseorang, mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang lain, menuduh seseorang, mengatakan perkataan yang salah pada seseorang, atau mengatakan pada seseorang yang mengakibatkan ia menjadi buruk dalam pandangan orang lain. Jika para pengurus tidak memberi perhatian pada hal ini maka akan membuat orang-orang yang berurusan dengan mereka memiliki perasaan jelek mengenai para pengurus dan Jemaat.
Dengan demikian ayat تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ tanaabazuu bil alqaab‘ – ‘‘Memanggil dengan nama buruk‘‘, menarik perhatian di satu sisi yaitu yang biasanya mengejek orang dengan nama-nama yang tidak mereka sukai tersebut gantilah dengan memperlakukannya dengan rasa hormat dan mulia. Ini adalah sifat agung yang harus dimiliki para pengurus. Ini adalah perintah umum hal mana setiap mu’min harus memilikinya yakni dalam karakter dirinya diciptakan cinta dan kasih sayang di lingkungannya. Akan tetapi para pengurus khususnya harus memperhatikan hal ini.
Sifat lain yang harus dimiliki para pengurus adalah membelanjakan dana Jemaat dengan sangat hati-hati. Dalam kondisi apapun jangan sampai ada pemborosan. Untuk itu khususnya departemen yang mempunyai pengeluaran besar, yang budget (anggaran)nya besar. Mereka hendaknya jangan melihat anggarannya yang besar tetapi berusahalah bagaimana mendapat manfaat yang sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran yang sekecil-kecilnya. Misalnya sekretaris Dhiafat, Langgar Khanah, Jalsah Salanah. Sekarang diperkirakan Langgar Khanah Hadhrat Masih Mau‘ud a.s. sudah tersebar di setiap tempat di dunia. Nizam Jalsah Salanah juga telah tersebar di seluruh dunia. Perlu sangat hati-hati bagi pengawas sekretaris-sekretaris ini. Kalaupun ada kelonggaran dalam anggaran maka hendaknya berusaha seminimal mungkin mengeluarkan apa yang boleh dikeluarkan. Ini adalah cara yang benar memenuhi amanat. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. tidak pernah khawatir mengenai dana yang masuk, tapi beliau khawatir mengenai orang-orang yang membelanjakan dana dengan benar.
Kemudian sifat lainnya yang harus dimiliki seorang pengurus yang ini juga adalah tanda bagi semua orang mu‘min, akan tetapi tanggung jawabnya ini dipikul oleh Jemaat. Pekerjaan yang paling besar adalah menghindari semua hal yang sia-sia. Allah berfirman, والذين هم عن اللغو معرضون ‘Dan yang menghindari segala yang sia-sia,’ (23:4) Standar terbaik diantara orang-orang mu’min yaitu hendaknya mereka memiliki derajat kerohanian yang tinggi. Mereka hendaknya tidak terlibat dalam pembicaraan yang tidak karuan dan tidak menjadi bagian kelompok yang mengejek dan tidak menghormati orang lain. Kadang-kadang para pengurus juga suka berkumpul dan membicarakan orang lain dengan sikap mencemooh. Menertawakannya. Ini harus dihindari. Para pengurus juga harus tidak menjadi kelompok dimana tradisi agama tidak dihiraukan.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. bersabda,
“Seorang mu’min adalah orang yang tidak menggabungkan dirinya dengan segala ikatan yang sia-sia, dan tidak menggabungkan diri dengan hubungan-hubungan yang sia-sia adalah sarana menghubungkan diri dengan Tuhan. Demikianlah, membersihkan hati seseorang dari hal yang sia-sia adalah untuk menghubungkan hati seseorang dengan Tuhan.“[6]
Derajat ketakwaan akan tinggi jika ikatannya dengan Allah Ta’ala kuat.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman, bahwa kikir bukanlah sifat seorang mu’min. Para pengurus hendaknya menghindari pemborosan, mengambil jalan tengah dalam pembelanjaan. Maksudnya adalah bukan menjadi pelit atau kikir. Seseorang hendaknya membelanjakan dimana saja ada keperluan yang benar. Jangan sampai seperti ini yaitu pada seseorang pemurah sedangkan kepada yang lain kikir.
Sebuah sifat baik khusus pengurus hendaknya mampu mengontrol emosi (kemarahan) mereka. Allah Ta’ala berfirman, والكاظمين الغيظ ‘…orang yang menahan amarah…’ (3:135) Ini adalah perintah Allah Ta’ala yang khusus yang tidak diragukan lagi yaitu kadang-kadang kejengkelan harus diperlihatkan tapi harus mampu menahan marah. Dimana demi tujuan perbaikan dalam urusan-urusan Jemaat maka disana kadang-kadang juga perlu memperlihatkan kemarahan, tetapi jangan sampai hal-hal kecil saja marah dan tidak memikirkan kehormatan rekan-sejawat yang bersamanya, hal mana ini tidak layak terdapat pada seorang pengurus. Hendaknya hal ini tidak terjadi. Melainkan, hendaknya seorang pengurus sadar akan perintah Allah yang menyatakan: وقولوا للناس حسنًا “Berbicaralah kepada manusia dengan baik, dengan penuh perhatian, dengan ceria penuh senyuman…“ (2:84). Jika ini diikuti para pengurus maka orang-orang yang menyampaikan keluhan dari beberapa tempat mengenai pengurus, akan berhenti dengan sendirinya.
Kemudian sebuah sifat khusus lagi bagi para pengurus yaitu hendaknya memperlakukan teman sekerjanya dengan baik. Pengurus Jemaat adalah bukannya pengurus dunia yang pada umumnya ada kedudukan atasan dan bawahan. Setiap orang yang mengkhidmati Jemaat, apakah ia bawahan, ia mengerjakan pekerjaan Jemaat dibawah semangat pengkhidmatan. Jika seseorang melakukan kesalahan, maka hendaknya berilah pengertian kepada mereka dengan kecintaan, dan hendaknya tidak ada peneguran secara keras seperti halnya atasan duniawi. Jika seseorang berkeras kepala dalam kesalahan sehingga merugikan Jemaat, maka pengurus yang membawahinya harus memberi peringatan dengan cara yang tepat dan jika ia tidak berhenti dari kesalahannya, perlu dilaporkan ke atasan yang lebih tinggi lagi dan juga kalau perlu diberhentikan. Tetapi, jangan sampai ada kondisi perpecahan dan terbentuknya grup-grup dalam kantor-kantor atau para pekerja Jemaat.
Para pengurus hendaknya memiliki sifat penghormatan (extending regard) kepada tetamu. Inipun juga satu akhlak yang mulia. Siapapun yang datang ingin bertemu, yang ingin ke kantor harus ditemui dengan hormat, dan hendaknya dipersilahkan duduk dengan hormat. Ini adalah masalah yang sangat penting. Kalau seseorang datang ke kantor maka hendaknya berdiri untuk menyambut mereka. Keramahan ini harus diikuti oleh pengurus yang terpilih begitu juga pekerja umum Jemaat. Hal ini akan meningkatkan kehormatan mereka, dan tidak menguranginya.
Kemudian satu sifat khusus dari sifat-sifat khusus lainnya adalah tawaadhu‘ dan ‘aajizi (kerendahan hati). Sifat ini juga harus tertanamkan dalam diri setiap Ahmadi, juga dalam diri manusia pada umumnya dan hendaknya menjadi fitrahnya yang khusus. Akan tetapi, secara khusus hendaknya untuk pengurus tercipta dalam dirinya sifat kerendahan hati. Allah Ta’ala berfirman, ولا تمشِ في الأرض مَرَحًا “Janganlah berjalan di bumi dengan angkuh…“ (17:38). Tuhan tidak menyukai keangkuhan dalam diri orang-orang biasa. Maka bagi orang-orang yang mempersembahkan pengkhidmatan-pengkhidmatan untuk Allah Ta’ala, bagi mereka ada satu saat saja keangkuhan, Allah Ta’ala tidak menyukainya. Sifat yang harus dimiliki oleh semua pengurus kita sepenuhnya, hendaknya setiap bertemu dengan orang, maka temuilah dengan kerendahan hati.
Para Qadhi dan Penegakan Keadilan
Aspek penting lainnya, khususnya untuk orang-orang yang diberi kepercayaan dengan pekerjaan yang berkaitan dengan membuat keputusan dan pekerjaan mendamaikan, seperti Islahi committee (komite islah) atau dewan Qadha [peradilan internal Jemaat], hendaknya menyadari perintah Allah Ta’ala: اعدلوا هو أقربُ للتقوى “… Selalulah bersikap adil, itu lebih dekat pada ketakwaan…“ (5:9) Maka setiap keputusan itu hendaknya didasarkan pada keadilan. Kadang-kadang keputusan disampaikan kepada saya, saya melihat keputusan itu tidak diteliti secara mendalam, akibatnya orang yang mendapatkan keputusan tersebut menjadi gelisah. Jika keputusan didasarkan pada perintah syariat yang jelas, maka itu harus dinyatakan dengan jelas yaitu mengapa syariat menghukum seperti ini, untuk itu atas dasar inilah keputusan ini ditetapkan. Para Qadhi khususnya hendaknya berhati-hati akan hal ini.
Perhatian Berkala terhadap Orang Miskin dan Membutuhkan dan Amr bil Ma’ruf wa Nahyi ‘anil Munkar
Selanjutnya, hal ini pun penting bahwa dimana saja ada orang-orang miskin dan membutuhkan pertolongan, mereka hendaknya diperhatikan oleh Jemaat. Menjadi tugas Amir dan pengurus yang berkaitan untuk memperhatikan mereka dengan sumberdaya yang ada. Dalam hal ini tindakan tidak perlu harus dilakukan hanya setelah ada permintaan. Saudara-saudara sendiri yang harus mengecek keadaan mereka secara berkala. Hal ini termasuk kewajiban para Amir dan para Ketua.
Salah satu tanggungjawab besar yang diemban oleh setiap Amir, setiap Sadr Jemaat (Ketua Jemaat) dan setiap pengurus adalah: تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر ‘…memberi petunjuk kepada kebaikan dan melarang kemungkaran…’ (3:111). Oleh karena itu, hendaknya para pengurus setiap saat senantiasa memperhatikan تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر ta’muruuna bil ma’ruf watauhauna anil munkar‘. Itu semua tidak mungkin terjadi selama setiap pengurus tidak terus-menerus mengintrospeksi dirinya sendiri dan tidak membuat perkataannya sejalan dengan perbuatannya, tidak menanamkan kecintaan dan rasa takut pada Tuhan dalam dirinya, dan tidak mencari jalan ketakwaan yang Tuhan telah menarik perhatian kita kearahnya.
Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. suatu kali bersabda mengenai hal ini, bahwa takwa bukan berarti menghindari sebagian dosa dan mengerjakan sebagian kebajikan, melainkan takwa berarti menghindari setiap dosa sekecil apapun dan mengerjakan segala macam kebaikan. Inilah derajat-derajat yang harus kita miliki untuk menjadi orang-orang yang menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran dan memenuhi amanat-amanat perjanjian kita. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada para anggota Jemaat begitu juga para pengurus, orang-orang yang telah dipilih dan orang-orang yang akan dipilih, serta saya, untuk memenuhi amanat dan perjanjian kita.