Kitab Suci Al-Quran mengajarkan kepada kita bahwa keselamatan adalah masalah yang dimanifestasikan di dunia ini juga sebagaimana diungkapkan oleh ayat:
“Dan barangsiapa buta di dunia ini, maka di akhirat pun ia akan buta juga.” (QS. 17, Bani Israil: 73).
Berarti setiap orang akan membawa ke akhirat nanti segala yang dimilikinya berupa fitrat kemampuan melihat Tuhan dan sarana keselamatan hakiki.
Allah Swt sudah berulangkali menunjukkan bahwa sarana bagi manusia untuk mencapai keselamatan itu bersifat abadi sebagaimana Tuhan itu sendiri adalah juga Maha Abadi. Tidak mungkin lalu terjadi Dia beranggapan bahwa manusia tidak lagi bisa mencapai keselamatan dan karena itu Dia harus membunuh Diri-Nya sendiri (di atas kayu salib).
Seseorang dikatakan telah mencapai keselamatan jika semua nafsu yang ada di dirinya telah punah dimana kehendak Tuhan menjadi kehendak dirinya serta ia menjadi demikian mengabdi kepada-Nya hanya karena kecintaan yang tulus sehingga tidak ada sesuatu apa pun lagi yang dianggap sebagai miliknya sendiri karena dianggapnya telah menjadi milik Tuhan. Semua perkataan, kelakuan, tindakan dan niatnya adalah bagi Tuhan. Ia merasa bahwa kesenangan dirinya hanya pada Tuhan dimana perpisahan sejenak saja akan terasa sebagai maut baginya. Ia menjadi terpana dengan kasih Tuhan sedemikian rupa sehingga segala apa pun tidak ada artinya lagi di samping Tuhan-nya. Misalnya pun seluruh dunia akan menyerang dirinya dengan pedang terhunus dan berusaha memisahkan dirinya dari Tuhan- nya dengan menanamkan rasa ketakutan, ia akan tetap bersiteguh seperti gunung yang tegak dengan kokoh.
Api kecintaan hakiki akan merona di dalam kalbunya dan ia jadi membenci segala dosa. Sebagaimana orang lainnya mengasihi anak-anak, isteri dan sahabatnya sehingga terasa bagaimana kasihnya itu meresap di kalbu mereka dimana kematian salah satunya saja akan amat menyedihkan baginya, maka kecintaan seperti itulah, atau bahkan lebih, yang harus dimunculkan dalam hatinya berkenaan dengan Tuhan-nya. Ia sewajarnya akan menjadi seperti orang gila yang dicengkeram kecintaan tersebut dan siap menjalani segala luka dan siksa demi kecintaan itu, semata-mata hanya agar Allah Yang Maha Agung meridhai dirinya.
Ketika seseorang telah mencapai tingkatan kecintaan
kepada Tuhan
seperti ini maka semua nafsunya akan terbakar habis
oleh api kecintaan tersebut dan muncul
revolusi dahsyat dalam dirinya dimana ia dikaruniakan sebuah hati yang tidak dimiliki sebelumnya, dianugrahi mata yang tidak
dipunyai sebelumnya. Ia akan memperoleh suatu kepastian sedemikian rupa sehingga ia menampak
Tuhan di dunia
ini juga. Rasa
kemrungsung seperti api neraka yang menjangkiti mereka yang bersifat
duniawi akan dibersihkan dari dirinya dan ia akan memperoleh suatu kehidupan
ketentraman, kesenangan dan kenikmatan tersendiri. Kondisi seperti inilah yang dimaksud
sebagai keselamatan dimana
kalbunya telah tergadai di hadirat Ilahi melalui
kasih dan pengabdian. Sebagai imbalannya ia memperoleh
ketentraman abadi dimana kesatuan kasihnya dengan kasih Ilahi akan mengangkatnya ke suatu tingkat
derajat pengabdian yang tak
mungkin dijelaskan dengan
kata-kata.
(Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908;
Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 416-417, London, 1984).