Banyak fitnah-fitnah yang ditujukan kepada Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, diantaranya yang menghubungkan Mirza Ghulam Ahmad dan Inggris. Berikut beberapa tuduhan tersebut:
- Mirza Ghulam Ahmad diberangkatkan ke Inggris oleh penjajah Inggris dan disana ia menerima wahyu (H. Pangadilan Daulay MA.MSc. 1990. Aliran Ahmadiyah ancaman Terhadap Dunia Islam: 1990: 10)
- Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah antek Inggris. (H. Pangadilan Daulay MA. MSc, Aliran Ahmadiyah Ancaman Terhadap Dunia Islam, 1990: 10)
- Ghulam Murtaza (Murtadha), ayah kandung Mirza Ghulam Ahmad, membantu Inggris membantai Para Pejuang Islam yang melawan penjajah Inggris di India. Banyak warga sipil muslimin jadi korban.
- Hazrat Mirza Ghulam Ahmad secara terbuka memuji Inggris dan berjanji setia kepadanya.
- Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mulai didukung dan dibesarkan penjajah Inggris sebagai penghargaan kepadanya yang telah setia membantu Inggris.
- Hazrat Mirza Ghulam Ahmad mewajibkan berterima kasih kepada Inggris
- Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bersedia berkorban nyawa dan darah bagi inggris.
Tetapi sekali lagi hal-hal diatas hanya tuduhan semata, berikut jawabannya:
Mirza Ghulam Ahmad diberangkatkan ke Inggris oleh penjajah Inggris dan disana ia menerima wahyu
(H. Pangadilan Daulay MA. MSc. 1990. Aliran Ahmadiyah ancaman Terhadap Dunia Islam: hal 19)
Sungguh hebat hayalan ulama, alumni Scholar Islam jurusan Ushuluddin di International Islamic University Islamabad Pakisan ini, karena ia merasa medapat ilham Mirza Ghulam Ahmad diberangkatkan ke Ingris. Tapi sayang ilham itu salah, karena selama hidup Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as tidak pernah pergi ke Inggris. Sungguh disayangkan data hasil rekaan yang penuh kebohongan dan fitnah itu dapat mengantarkannya ke peringkat master. Subhanallah, inilah salah seoerang ulama yang 14 abad lalu pernah dikabargaibkan Nabi Muhammad saw bahwa seburuk-buruk manusia adalah ulama mereka, karena dari mereka keluar fitnah dan fitnah itu akan kembali menimpa mereka sendiri (Hadits riwayat Al-Baihaqi). Dan banyak lagi data ‘Aspal’ (asli tapi palsu) tentang Ahmadiyah versi beliau dalam bukunya ini yang untuk sementara waktu menjadikan beliau semakin populer. Nasehat saya, berhentilah membuat dusta dan fitnah, jika anda takut kepada Allah dan bertobatlah, Dia itu Maha Pengampun. [1]
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad antek Inggris
(H.Pangadilan Daulay MA. MSc, Aliran Ahmadiyah Ancaman Terhadap Dunia Islam, 1990 : 10)
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad berterima kasih kepada pemerintah Inggris, karena telah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada umat Islam, bukan karena beliau menjadi antek Inggris. sikap beliau itu justru menunjukkan seorang muslim sejati, sebab Rasulullah saw bersabda: Siapa yang tidak berterima kasih kepada manusia berarti ia tidak bersyukur kepada Allah. agar lebih jelas perhatikanlah fakta berikut:
Pertama: Beliau memuji pemerintah Inggris merupakan jawaban secara jujur karena kedatangan Inggris telah menyelamatkan puluhan juta umat Islam di anak benua India yang baru saja dizalimi, dibantai, diperkosa, dan mesjid-masjid mereka dihancurkan sama rata dengan tanah. Mereka juga tidak diizinkan oleh pemerintah Sikh untuk mengumandangkan adzan dan menunaikan sholat. itu yang terjadi saat itu. Maka, kedatangan Pemerintah Inggris saat itu benar-benar dapat menjadikan penderitaan orang-orang Islam berakhir. Keamanan mulai terjamin, orang Islam boleh beribadah sesuai dengan ajaran agamanya.
Pada saat itu, tahun 1857 ada Ada Sebagian ulama Islam radikal ingin secepatnya mengusir Inggris dari India, padahal kekuatan Islam pun belum ada. Sehingga pada saat itu orang tua Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tidak setuju. Apakah hazrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai anaknya yang pada saat itu baru berusia 18 tahun dapat dikatakan memihak kepada Inggris? Kemudian dikatakan pula karena Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pernah bekerja di pemerintahan penguasa Inggris, lalu hal itu juga dijadikan alasan bahwa beliau adalah antek Inggris. Padahal pada umumnya, nabi bekerja dengan orang kafir sebelum diangkat menjadi nabi. Seperti Nabi Muhammad saw menerima upah menggembalakan domba dari orang-orang kafir Quraisy. Dapatkah Nabi Muhammad sawanteknya kafir Quraisy?
Kedua: Sebagai respon atas rencana jahat para ulama di India ketika itu yang berusaha supaya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Inggris dalam keadaan terhina. Para ulama garis keras secara rahasia melaporkan kepada pihak Inggris bahwa Hazrat Mirza Ghulam Ahmad sedang berencana untuk mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah Inggris dengan mendirikan satu jamaah dan mengaku sebagai Imam Mahdi. Mereka membuat laporan polisi (Polisi Inggris..peny.) bahwa jamaah yang dibuatnya itu adalah untuk dijadikan laskarnya. Dan Imam Mahdi ini menurut mereka Hazrat Mirza Ghulam Ahmad lebih jahat dan lebih berbahaya dari pada Imam Mahdi Sudani (Muhammad bin Ahmad) di Sudan yang pada masa sebelumnya telah memberontak kepada Inggris. Sebagai akibat dari laporan tersebut, penguasa Inggris telah menugaskan intel-intel untuk memantau semua kegiatan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan jemaahnya.
Jadi untuk menjawab tuduhan-tuduhan para ulama itu, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad terpaksa menulis berbagai tulisan untuk menjelaskan pendirian beliau untuk meyakinkan pihak pemerintah Inggris bahwa beliau bukan seorang pemberontak dan bukan juga Imam Mahdi yang menumpahkan darah.
Berikut ini adalah contoh-contoh tuduhan atau laporan palsu mereka:
Maulvi Muhammad Husain Batalwi, Seorang ulama yang memusuhi dan gemar memfitnah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, menulis dalam majalahnya sebagai berikut:
“Bukti dari penipuannya (Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, peny.) adalah bahwa di hati kecilnya ia mempercayai bahwa pemerintah (Inggris, peny.) yang tak beragama ini, harus dihapuskan dan harta kekayaannya halal untuk dirampas…..maka oleh karena itu tidak pantas, kerajaan (pemerintah Inggris) mempercayainya atau membiarkannya leluasa (bebas tanpa ditahan), kalau tidak nanti pasti Mahdi Qadiani ini akan menimpakan bencana yang sangat besar kepada pemerintah Inggris melebihi dari kerusakan yang dibuat oleh Mahdi Sudani.” (Risalah Isyaatus Sunnah, jilid 6, halaman 6, catatan kaki no 161, tahun 1310/1311 H bersamaan 1893 M)
Munshi Muhammad Abdullah dalam bukunya Shahadati Quran, cetakan tahun 1905 menulis seperti berikut:
“Beginilah ia (Hazrat Mirza Ghulam Ahmad) menentang pemerintah Inggris dengan terencana sekali sambil membuat tafsiran dari ayat-ayat Al-Qur’an Karim.”
Akibatnya semenjak itu pergerakan dan kegiatan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad diawasi dengan ketat oleh intel-intel polisi pemerintah Inggris. Demikian juga siapa saja yang datang berjumpa dengan beliau akan diinterogasi oleh intel-intel pemerintah Inggris. Kalau ada yang baiat ke dalam jamaah beliau dari kalangan orang-orang terhormat atau pemimpin-pemimpin suku maka dengan secara halus opsir-opsir pemerintah Inggris memperingatkan mereka agar berhati-hati karena jamaahnya sedang diawasi oleh pihak kerajaan Inggris.
Kini jelaslah bagi orang yang berakal sehat dan waras dapat berpikir bahwa bagaimana mungkin Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menjadi antek Inggris, kalau pemerintahan Inggris sendiri selalu mengawasi dan mencurigai kegiatan Jemaat Amadiyah yang beliau dirikan itu?
Ketiga: Hazrat Mirza Ghulam Ahmad telah mendakwahkan dengan terang-terangan bahwa Yesus telah wafat, Padahal beliau itu wujud yang diyakini sebagai Tuhan oleh orang-orang Inggris yang beragama Kristiani. Masuk akalkah beliau dikatakan antek Inggris? Dimana mereka itu bukan saja sebagai penyokong bahkan ikut mempelopori, mengembangkan agama Kristen di anak benua India ketika itu. Di lain pihak agama Kristen tidak dapat berkembang jika ada Jemaat Ahmadiyah yang dengan jelas-jelas menyerang akidah Kristen dengan argumentasi dan bukti yang tidak dapat dilawan. Oleh karena itu tidak masuk akal kalau penguasa Inggris memperalat Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Bangsa Inggris itu bukan bangsa bodoh yang mau menjadikan orang yang dengan terang-terangan menyerang kepercayaan mereka sendiri sebagai anteknya.
Keempat: Dan kalaulah Hazrat Mirza Ghulam Ahmad antek Inggris, mengapa beliau begitu lantang menyeru Ratu pemerintah Inggris untuk masuk Islam? Dalam surat seruan kepada ratu beliau Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menulis:
“Wahai Ratu yang terhormat, sesungguhnya Allah swt telah menganugerahkan nikmat-nikmat dunia yang amat besar kepada engkau. Sekarang carilah lagi nikmat-nikmat kerajaan akhirat. Bertobatlah dan tunduklah kepada Tuhan yang satu, yang tidak ada anak dan tidak pula ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya. Agungkanlah Dia dengan seagung-agungnya. Adakah kamu mengambil Tuhan-tuhan lain (selain Dia) yang tidak dapat menjadikan apa-apa, bahkan mereka semua adalah (wujud-wujud) yang diciptakan.
Wahai Ratu! sekiranya engkau ragu-ragu tentang Islam, maka aku (Ahmad) bersedia memperlihatkan kepada engkau tanda-tanda kebesaran-Nya. Dan Allah swt senantiasa menyertaiku dalam setiap keadaan. Dia menjawab doa-doaku bila aku berdoa kepada-Nya. Wahai Ratu, untuk ini aku tidak meminta balasan apa-apa dari engkau.” (Ainah Kamalat Islam, hal. 532-533).[2]
Ghulam Murtaza (Murtadha), ayah kandung MGA, membantu Inggris membantai Para Pejuang Islam yang melawan penjajah Inggris di India. Banyak warga sipil muslimin jadi korban.
Islam hadir di Hindustan melalui orang Arab, Parsi dan Turki dan berkuasa selama 850 tahun (1007 M-1857 M). Walau elite kaum Islam berhasil menguasai struktur kekuasaan, memperluas wilayah dan mempengaruhi corak budaya di sana, tetapi Islam tetap menjadi kelompok minoritas. Mayoritas penduduk Hindustan beragama Hindu, diikuti penganut agama Sikh, Budha serta yang lainnya.
Selama beratus tahun dan secara turun temurun, kondisi internal umat Islam sangat kental dengan persaingan dan pertentangan antar mazhab serta golongan. Hal ini membawa kepada sikap kehidupan keagamaan yang statis, taqlid, fanatik kepada pendapat ulama masing-masing, tidak kritis dan konservatif (antara lain menentang menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa non-Arab seperti Parsi atau Urdu).
Pada abad 15, bangsa Inggris, Portugis, Belanda dan Perancis mulai merambah ke Hindustan untuk kepentingan perdagangan dan pendudukan, kemudian menjadi penjajahan. Hal ini berlawanan dengan penguasa Muslim saat itu (Dinasti Mughal). Terjadilah perlawanan bersenjata pada tahun 1857, apa yang dikenal dengan nama Pemberontakan Mutiny. Perlawanan ini, berakhir dengan kekalahan pasukan Muslim, yang menandakan berakhirnya kekuasaan Islam di Hindustan.
Sebelum pecah Perlawanan Mutiny 1857, dalam menyikapi makin kokohnya pemerintahan Inggris, umat Islam terbagi dua. Yang pertama bersikap non-kooperatif (diantaranya mengambil jalan perlawanan militer); dan kedua bersikap kooperatif. Yang mengambil sikap kooperatif antara lain Mirza Ghulam Murtadha (ayahanda Mirza Ghulam Ahmad) dan juga ulama serta tokoh Islam Hindustan bukan penganut Ahmadiyah (antara lain Sir Sayyid Ahmad Khan, Dr. Mohamad Iqbal, Muhammad Ali).
(Lihat, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, A.Mukti Ali, Mizan, Bandung, 1993; Pembaruan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Harun Nasution, Bulan Bintang, Jakarta, 1975)
Situasi pergerakan Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda, juga serupa. Ada yang mengambil kebijakan kooperatif dan ada juga yang mengambil non-kooperatif. Salah satu yang kooperatif adalah Nahdhatul Ulama (NU). Dalam sebuah muktamarnya di Menes, Banten, pada tahun 1936 bahkan mengatakan bahwa pemerintah kolonial adalah pemerintah yang sah secara syariah. ( NU vis-a-vis Negara: Pencarian Bentuk, Isi dan Makna, Andree Feillard, LKiS, Yogyakarta, 1999)
Sementara itu, firman Allah Swt dalam Surat Az Zumar (39:8):
“Dan tiada pemikul beban akan memikul beban orang lain”.
Bagaimanapun, sikap yang diambil oleh Mirza Ghulam Murtadha seperti diuraikan diatas, sama sekali tidak terkait dengan Mirza Ghulam Ahmad dan Jemaat-nya. Pada masa Perlawanan Mutiny tahun 1857, beliau masih muda (yakni, 22 tahun), dan Jemaat Ahmadiyah sendiri didirikan pada tahun 1889. [3]
Mirza Ghulam Ahmad secara terbuka memuji Inggris dan berjanji setia kepadanya.
Sebelum bangsa Inggris datang, sebagian daerah di Hindustan ada yang dikuasai bangsa Sikh. Pada saat itu, kaum Islam sangat menderita dengan berbagai penganiayaan dari kaum Sikh. Mirza Ghulam Ahmad melukiskan keadaan itu dalam bukunya, yaitu :
“Bangsa Sikh waktu memerintah Punjab dan menguasai negeri Qadian, sangat menganiaya orang-orang Islam. Lebih kurang 500 buah Al-Quran Suci, mereka bakar, begitu juga banyak lagi buku-buku lain. Banyak masjid yang dirusak, diantaranya ada yang dijadikan sebagai tempat tinggal mereka. Ada juga masjid yang diubah menjadi tempat ibadah mereka, yang sampai sekarang masih ada. Dalam fitnah yang hebat ini, semua orang Islam ternama, terpaksa lari dari Qadian, pindah ke tempat lain. Negeri Qadian diduduki mereka: kerjanya siang malam hanya mengerjakan berbagai kejahatan. Sebelum kerajaan Inggris datang, yakni di masa Ranjit Singh berkuasa di Punjab; orang tua saya, Mirza Ghulam Murtadha, kembali pindah ke Qadian, tetapi kejahatan bangsa Sikh itu masih terus merajalela disitu. Waktu itu keadaan kami amat hina di mata mereka. Seekor anak lembu yang seharga setengah Rupee lebih terpandang mulia dari pada kami. Jika ada anak sapi terganggu sedikit saja, maka harus menumpahkan darah orang yang mengganggunya itu. Untuk pemerintahan yang kejam ini, Allah Ta’ala tidak akan memberi tempo lama, oleh karena itu, Dia mendatangkan pemerintah Inggris sebagai rahmat untuk kami untuk menjauhkan fitnah-fitnah itu. Bagi kami pemerintah Inggris itu suatu kelepasan dan kesenangan yang tidak terhingga, sehingga kehinaan dan kekejaman yang diderita dari pihak Sikh itu tidak teringat lagi”. (Izalah Auham, Jilid 1, hal. 57)
Kedatangan bangsa Inggris di masa itu, boleh dikatakan, sudah mengeluarkan kami dari neraka yang kami rasakan, waktu bangsa Sikh menindas dan berlaku sangat kejam kepada kami. Maka Allah Ta’ala dengan perantaraan kaum yang berkulit putih telah melepaskan kami dari kebuasan bangsa Sikh. Oleh karena itu kami sekarang sudah mendapatkan keamanan, kenyamanan dan ketentraman hidup. Bagaimana kami tidak akan berterima-kasih kepada pemerintah yang begitu besar jasanya terhadap kami, yang telah membela kami dari kekejaman dan yang memberi keamanan dan kemerdekaan untuk menyiarkan agama, menyiarkan buku-buku dan untuk menyerukan orang-orang untuk menerima Islam serta untuk mengerjakan amal ibadah untuk menyerukan orang-orang untuk menerima Islam serta untuk mengerjakan amal ibadah dengan tidak mendapat gangguan apapun. (Aina Kamalat Islam, hal. 818)
Atas adanya kemerdekaan beragama dan kebebasan bertabligh itulah Mirza Ghulam Ahmad memuji dan berterimakasih kepada kerajaan Inggris. Hal ini tidak dilakukan oleh beliau sendiri, melainkan juga dilakukan ulama Islam besar bukan Ahmadiyah, antara lain:
- Sayyid Ahmad Bhrelwi seorang Mujahid dan Mujaddid abad 13, mengatakan:
“Tujuan hakiki kami adalah menyebarkan Tauhid dan membangkitkan Sunnah Penghulu para Nabi, dan kami melaksanakannya tanpa gangguan di negeri ini. Lalu, mengapa kita harus melawan pemerintah Inggris dan menumpahkan darah, yang keduanya bertentangan dengan prinsip agama kami” (Biografi Sayyid Ahmad, karya Maulana Muhammad, dikutip dari Truth about Ahmadiyyat, B.A Rafiq, The London Mosque, 1978, hal.16 )
- Syed Ali al-Hairi, seorang ulama Syiah di Hindustan menulis:
“Kami bangga kepada suatu pemerintah yang menegakkan keadilan dan kebebasan beragama berdasarkan hukum. Hal serupa tidak akan ditemukan pada pemerintahan lain di dunia ini. Oleh sebab itu, saya menyatakan bahwa sebagai balasan atas sikap dermawan ini, setiap orang Syiah seyogyanya bersyukur kepada pemerintah Inggris dengan hati tulus dan menghargai kedermawanannya”. (Mauiza Tahreef Quran, April 1923, dikutip dari Truth about Ahmadiyyat, B.A Rafiq, The London Mosque, 1978, hal.15-16)
- Syekh Muhammad Abduh, ulama ternama dari Mesir, menulis:
“Kita tidak menyangkal, bahwa diantara bangsa Eropa, ada satu bangsa yang mengetahui bagaimana seharusnya memerintah bangsa lain yang tidak se-Agama dengannya, dan tahu pula bagaimana ia harus menghargai kepercayaan dan adat istiadat bangsa yang dikuasainya, bangsa itu ialah bangsa Inggris. Dan itulah satu-satunya bangsa yang menjadi umat Kristen yang menghargai sifat toleransi yang hakiki dalam bidang keagamaan.Tidakkah kalian perhatikan bahwasanya peraturan mereka dalam hal itu sangat mendekati peraturan-peratuan kaum muslimin?” (Al-Islam Wa Nasroniyah, hal. 165)
Kita dapat membayangkan, betapa beratnya kesulitan yang diderita oleh orang Islam pada waktu itu dan betapa besarnya kegembiraan, yaitu dengan kedatangan bangsa Inggris, telah terjadi perubahan dalam suasana kehidupan sosial-keagamaan, khususnya untuk syiar Islam.
Dalam konteks itulah, Mirza Ghulam Ahmad dan ulama Islam yang lain, berterima-kasih kepada Pemerintah Inggris. [4]
Mirza Ghulam Ahmad mulai didukung dan dibesarkan penjajah Inggris sebagai penghargaan kepadanya yang telah setia membantu Inggris.
Kita mengetahui, bahwa pemerintah Inggris dengan rakyatnya itu, rata-rata memeluk agama Kristen, yang menganggap Nabi Isa as sebagai Tuhan, atau menganggap Nabi Isa as itu anak Tuhan. Menurut mereka; Yesus (Tuhan) hidup di langit, sampai sekarang duduk di sebelah kanan Allah. (Markus 16: 19; Lukas 22: 69; Kisah Para Rasul 7: 55).
Sedangkan Mirza Ghulam Ahmad dengan lantang mengatakan yaitu:
- Nabi Isa al Masih ibnu Maryam adalah manusia biasa yang diangkat Allah menjadi Rasul, seperti para Rasul lainnya, bukan anak Allah dan bukan juga Tuhan.
- Isa al Masih Israili itu, tidak hidup di langit tetapi beliau hidup sampai usia 120 tahun dan saat ini sudah wafat dan dimakamkan di Srinagar-Kashmir, India.
- Yang akan datang di akhir zaman, bukan Almasih bin Maryam Israili, melainkan Almasih bin Maryam Muhammadi, seorang pengikut Agama Islam, umat Nabi Muhammad a.w.
Dengan alasan di atas, kiranya sudah cukup bagi penuduh untuk berfikir ulang, bahwa mustahil Mirza Ghulam Ahmad dimanjakan oleh pemerintah Inggris. Dimana akal sehat jika Mirza Ghulam Ahmad diangkat pemerintah Inggris sebagai sebagai wali, Imam Mahdi atau kaki tangannya; sementara pendirian beliau justru bertolak belakang dengan mereka. Bahkan, beliau dengan jelas menganggap bangsa Inggris sebagai Dajjal, karena mereka menjadi sumber terganggunya ketentraman dan kesejahteraan bangsa-bangsa di dunia. PemerintahInggris sendiri mengetahui adanya anggapan seperti itu dari pihak Ahmadiyah. (Lihat, Djawaban terhadap Tuduhan Usang, SADKAR; Ahmadiyah dan Inggris, Abdu Hayee HP, Djemaat Ahmadiyah Tjabang Bandung, 1969)[5]
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad Mewajibkan berterima kasih kepada Inggris
Kerajaan Inggris menaklukkan Punjab dari tahun 1846 hingga tahun 1849. Ketika itu Hazrat Masih Mau’ud masih berusia antara 12 dan 14 tahun. Setelah Punjab ditaklukkan oleh Inggris, maka keamanan berdiri tegak di sana. Pembangunan infrastruktur diperbaiki dan usaha peningkatan untuk berbagai kemajuan mulai dirintis.
Mengenai hal tersebut, Muhammad Jafar Shahib Thanisari Sayid, seorang penulis kenamaan, telah meriwayatkan tentang Sayid Ahmad Bhrelwi r.a., seorang mujahid dan mujaddid abad ke-13 yang telah syahid tahun 1831, mengatakan bahwa:
“Walaupun kerajaan Inggris tidak mempercayai Islam, tetapi ia tidak menganiaya dan sedikit pun tidak pernahmenindas orang-orang Islam dan tidak pernahmenghalangi mereka untuk melakukan amal ibadah dan kewajiban agama lainnya. Di dalam pemerintah mereka itu, kita, dengan bebasnya, dapat memberikan pelajaran dan mengembangkan ajaran agama tanpa mendapat rintangan dari mereka.Bahkan jika ada seseorang yang berbuat aniaya kepada kita, maka orang itu akan dihukum.”
Hazrat Ahmad as menulis suatu kejadian yang menggelikan hati:
“Saya mendengar bahwa pada waktu mula-mula orang Inggris datang di negeri ini, ada seorang muazin di kota Khusiyarpur telah menyerukan azan dengan suara nyaring. Orang-orang Hindu dan orang Sikh menyangka bahwa orang Inggris pasti akan melarang orang-orang Islam yang menyerukan azan dan akan memotong tangan mereka yang melukai sapi. Atas dasar dugaan itu, lalu mereka menangkap orang yang menyerukan azan tadi. Setelah banyak orang berkumpul, lalu mereka membawa muazin tersebut kepada Wakil Kepala Daerah Tingkat Dua berkebangsaan Inggris.
Banyak sekali orang Hindu datang berkumpul sambil berkata, “Yang mulia, tepung kami telah dikotori dan barang pecah belah kami telah dinajisi oleh penyeru azan ini. Mendengar pengaduan itu, pembesar Inggris tadi merasa heran lalu bertanya, ”Apakah azan itu berpengaruh sedemikian buruknya sehingga barang-barang makanan menjadi najis?”
Selanjutnya ia berkata kepada pegawai Inggris bawahannya,
‘Sebelum pengaduan ini coba dibuktikan kebenarannya, maka pengaduan itu janganlah dulu dijadikan perkara.’ Lalu muazin tadi disuruh azan lagi. Semula, muazin itu gentar untuk melakukannya, karena takut jangan-jangan hukuman atas dirinya akan bertambah berat. Setelah ditegaskan oleh pembesar Inggris itu kepadanya bahwa ia tidak akan mendapat kesusahan apa-apa dengan azan itu, barulah ia menyerukan azan dengan sekuat-kuatnya. Setelah mendengar azan, pembesar Inggris itu berkata, “Kami tidak merasa ada pengaruh buruk apa pun dari azan itu!.” Kemudian ia bertanya kepada pegawai bawahannya, “Apakah anda merasa kesakitan karena azan itu?” Ia menjawab, “Tentu saja tidak ada kerusakan apa-apa!” Akhirnya muazin tadi dilepaskan seraya berkata, “Pergilah dan kumandangkanlah azan sesukamu!” (Verselag Pertemuan Mendoa, tahun 1900, hal. 16-18)
Demikianlah gambaran keadaan di Negeri Punjab sebelum kedatangan orang-orang Inggris dan begitulah perubahan telah terjadi setelah Inggris memerintah disana.
Atas adanya kemerdekaan beragama dan kebebasan bertabligh itulah, Hazrat Ahmad as memuji dan berterimakasih kepada kerajaan Inggris.
Mengenai hal memuji dan berterimakasih kepada Inggris karena terjaminnya kebebasan beragama di benua India, rasa syukur seperti itu bukan hanya Hazrat Ahmad as saja yangmerasakannya,melainkan ulama Islam besar lainnya juga menyatakan terima kasihnya atas hal itu; di antaranya:
Maulwi Ali Muhammad Shahib Lucknow, Maulwi Abdul Haq, Maulwi Fazillah Shahib, Maulwi Muhammad Naim Shahib dan Maulwi Qutbudin Shahib Delhi. Beliau-beliau semua itu bukanlah dari golongan Ahmadiyah.
Pada hari Rabu, 23 Nopember 1870, Muhammadan Litery Society of Calcuta telah mengadakan suatu pertemuan yang di dalam pertemuan tersebut, Karamatullah Sahib telah berpidato mengenai: “Sikap apa yang harus diambil oleh kaum muslimin India terhadap Kerajaan Inggris?”
Dalam pidatonya itu ditegaskan, ”Sikap yang harus diambil oleh kaum Muslimin India yaitu bahwa mereka tidak boleh melakukan jihad dengan senjata terhadap Inggris.”
Pada tahun 1871, Amir Ali Shahib menulis “Risalah Jihad”, dimana beliau menerangkan bahwa:
“Menurut undang-undang, kaum Syi’ah tidak boleh melakukan jihad dengan kekuatan senjata untuk melawan Ratu Inggris, karena jihad bersenjata itu harus dilakukan di bawah seorang Amir atau seorang Imam.”
Demikian pendirian dan pendapat ‘Alim Ulama Islam India ketika itu terhadap Kerajaan Inggris, baik ‘Alim Ulama dari golongan Ahli Sunah Wal Jemaat ataupun dari golongan Syi’ah. Semuanya mempunyai pandangan yang sama terhadap Kerajaan Inggris, berterima kasih atas kedatangannya, yang dalam menjalankan pemerintahannya, memberi kebebasan beragama, yang karenanya mereka berpendapat bahwa terhadap kerajaan semacam itu tidak diperbolehkan mengadakan jihad dengan kekerasan.
Syekh Muhammad Abduh, di Mesir telah menulis:
“Kita tidak menyangkal bahwa di antara bangsa-bangsa Eropa, ada satu bangsa yang mengetahui bagaimana seharusnya memerintah bangsa lain yang tidak seagama dengannya; dan tahu pula bagaimana ia harus menghargai kepercayaan dan adat istiadat orang-orang yang dikuasainya. Bangsa itu tiada lain ialah bangsa Inggris. Dan itulah satu-satunya bangsa yang menjadi umat Kristen yang menghargai sifat toleransi yang hakiki dalam bidang keagamaan. Tidakkah kalian perhatikan bahwasanya peraturan mereka dalam hal itu sangat mendekati peraturan-peraturan kaum muslimin?” (Al-Islam Wa nasroniyah, h. 165)
Ahmadiyah mempropagandakan keistimewaan-keistimewaan agama Islam dan terus berjuang guna menampakkan kebenaran Rasulullah saw ke seantero dunia. Ini adalah jihad, sampai Allah Yang Maha Besar mendatangkan keadaan lain di dunia ini. Jelas bahwa beliau a.s. melarang jihad dengan menggunakan pedang, hanya bila syarat yang disebutkan.
Hadhrat Abdulah Ibnu Abbas pernah berkata:
َلوْ اَنَّ فِرْعَوْنَ مِصْرَ اَسْدَ اِلَيَّ يِدًا صَلِحَةً لَشَكَرْتُهُ اِلَيْهَا
”Sekiranya Fir’aun Mesir berbuat baik kepada saya, sekalipun ia seorang musyrik, niscaya saya akan berterima kasih kepadanya atas kebaikannya itu.” (Al-Aqdul Farid, jilid 1, hal. 140) [6]
Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bersedia berkorban nyawa dan darah bagi inggris.
(Ruhani Khazain, juz 3, hal. 21)
Setelah dicek dari sumber aslinya, yaitu “Ruhani Khazain” jilid 3, hal. 21, apa yang dituduhkan tersebut ternyata tidak ada. Sebagai sesama kaum Muslim, hendaknya kita menerapkan prinsip-prinsip bersikap dalam menghadapi permasalahan sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, yaitu jika suatu kabar yang sampai kepada mereka, sekalipun datangnya dari seorang yang fasik, mereka itu seharusnya menyelidiki kebenaran kabar itu secara objektif, adil dan berimbang dan tidak tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu tanpa pertimbangan yang matang dan penyelidikan yang benar. Al-Qur’an telah menetapkan hal tersebut sebagaimana firman-Nya:
يَا اَيُّهَا الّذِيْنَ ءَامَنُوْا اِنْ جَاءَكُم فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوِْي اَنْ تُصْبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوُا عَلَى مَا فَعَلَتُمْ نَادِمِيْن
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujuraat: 7)
Disini kembali akan disampaikan jawaban sebagai bantahan atas tuduhan mereka itu, yang mana ini merupakan jawaban yang disampaikan oleh Maulana Abdul Hayye H.P, di dalam buku Ahmadiyah dan Inggris, hal. 33-35. Beliau menanggapi keberatan para ulama itu sebagai berikut:
“Di dalam risalah bahasa Arab, ‘Nurul Haqq’, bahkan ia berkata bahwa dirinya ialah benteng dan jimat untuk membela pemerintah Inggris. Aku berkata bahwa aku mempunyai rasa hormat di dalam pekerjaan ini. Dan aku berkata bahwa aku adalah jimat dan benteng untuk membelanya dari pada gangguan, Tuhan telah memberi kabar yang menggembirakan dan telah berfirman:
“Allah tidak akan menyiksa mereka selama engkau diantara mereka dan Allah tidak akan menyiksa mereka dengan azab selama mereka itu melakukan istighfar.” (QS. Al Anfal: 33)
Dari ayat ini telah jelas, bahwa wujud Rasulullah saw berlaku sebagai jimat dan benteng bagi musyrikin Mekkah, sekalipun mereka menentang Rasulullah saw. Tetapi begitu mulianya wujud beliau sehingga selama beliau di kota Mekkah, maka kota itu tidak akan ditimpa oleh siksaan, sekalipun orang-orang Mekkah memusuhi Islam. Dan jika pun Rasululllahsaw meninggalkan Mekkah, mereka tidak akan diazab, bila mereka beristighfar kepada Allah. Kami ulangi lagi, sekali pun penduduk Mekkah menentang Rasulullahsaw dan Islam, selama wujud Rasulullah saw masih bersemayam di kota itu maka mereka tetap dilindungi oleh Allah swt.
Bandingkanlah sikap kaum musyrikin Mekkah dengan Inggris! Bagaimana pun zalimnya Inggris, tetapi sekurang-kurangnya mereka memberi kebebasan untuk mempertahankan agama Islam dan menyiarkannya. Jika wujud Rasulullah saw dapat dijadikan sebagai jimat dan benteng oleh Tuhan bagi orang-orang Mekkah, padahal mereka mengadakan perlawanan yang keras terhadap Islam, lalu apakah seorang khadim dari Rasulullah saw tidak boleh dijadikan jimat dan benteng bagi Inggris oleh Allah Swt, yang sekalipun anti-Islam, tetapi setidak-tidaknya memberi kebebasan untuk mempertahankan dan menyiarkan Islam?
Bagi Hadhrat Ahmad as, ‘kebebasan’ adalah untuk dunia dan kehormatan seluruh dunia. Beliau mabuk dalam kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah kekayaan terbesar beliau. Dan apa Tuhan juga salah, yang memberitahukan kepada Hadhrat Ahmad as bahwa wujud Hadhrat Ahmad as menjadi jimat dan benteng Inggris? Kami mohon dengan sangat kepada para pembaca yang mulia, janganlah kita mengukur Islam dan firman-firman Ilahi dengan ukuran kita dan dengan kacamata politik, tetapi harus dilihat dari kacamata ajaran Islam.
Tetapi kini keadaan telah berubah. Hadhrat Ahmad as menerima khabar gaib tentang Inggris dalam bahasa Farsi sebagai berikut:
[:Saltanat Bartaniah tahasyt sal bad azan dh’ufu fasadu ikhtilal]
“Kerajaan Britania hanya tinggal delapan tahun lagi. Sesudah itu, akan nampak tanda-tanda kelemahan, kerusuhan dan kemunduran.” (Tadzkirah, edisi 1956, hal. 763)
Kabar gaib ini diterima oleh beliau tahun 1892. Delapan tahun sesudah itu, yaitu pada tanggal 22 Januari 1901, wafatlah Ratu Victoria. Para cendikiawan Inggris berpendapat bahwa kemunduran Inggris dimulai sesudah wafatnya Ratu itu.[7]
[1] Syamsir Ali (2009). Madu Ahmadiyah Untuk Para Penghujat. Wisma Damai, hal. 6
[2] Syamsir Ali (2009). Madu Ahmadiyah Untuk Para Penghujat. Wisma Damai, hal. 19-24
[3] Ahmad Sulaiman, Ekky (2011). Klarifikasi Terhadap Kesesatan Ahmadiyah dan Plagiator, Neratja Press. Hal. 3-5. ISBN 978-602-14539-3-3
[4] Ahmad Sulaiman, Ekky (2011). Klarifikasi Terhadap Kesesatan Ahmadiyah dan Plagiator, Neratja Press. Hal. 13-16. ISBN 978-602-14539-3-3
[5] Ahmad Sulaiman, Ekky (2011). Klarifikasi Terhadap Kesesatan Ahmadiyah dan Plagiator, Neratja Press. Hal. 17-18. ISBN 978-602-14539-3-3
[6] H. R. Munirul Islam Yusuf, Shd (2011). Bantahan Lengkap (Menjawab Keberatan Atas Beberapa Wahyu di Dalam Tadzkirah)& Tabayyun (Penjelasan). Bogor: Bintang Grafika
[7] H. R. Munirul Islam Yusuf, Shd (2011). Bantahan Lengkap (Menjawab Keberatan Atas Beberapa Wahyu di Dalam Tadzkirah)& Tabayyun (Penjelasan). Bogor: Bintang Grafika