Kisah Kehidupan Rasulullah saw. – Perjalanan Menuju Fatah Makkah

perjalanan menuju fatah mekkah

Kisah Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Perjalanan Menuju Fatah Makkah


Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 20 Juni 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهٗ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ۝١ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ۝٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ۝٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ۝٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ۝٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ۝٦ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ۝٧

Sebelumnya masih membahas berkenaan dengan Gazwah Makkah. Ada sebuah peristiwa sebelum keberangkatan. Disebutkan bahwa seorang sahabat, karena ketidakpahamannya ia berusaha memberitahukan kabar perjalanan Rasulullah saw. kepada penduduk Makkah, tetapi Allah Taala mengabarkan hal ini kepada Rasulullah sehingga rencana Rasulullah saw. tidak sampai ke telinga orang-orang kafir.

Rinciannya adalah sebagai berikut: Di Madinah, ketika persiapan untuk pergi ke Makkah dimulai, seorang sahabat yang ikut perang Badar, yang ada di Madinah, bernama Hazrat Hathib bin Abi Balta’ah r.a. menulis surat kepada kaum Quraisy. Dalam suratnya, ia memberitahukan: “Rasulullah saw. telah membuat rencana keberangkatan menuju ke arah kalian”. Ia menyerahkan surat tersebut kepada seorang wanita dari Muzainah. Nama wanita itu adalah Qanud atau Sarah. Dia adalah hamba sahaya perempuan milik salah seorang dari Bani Abdul Muthalib.

Sahabat ini menetapkan upah untuknya untuk menyampaikan surat ini kepada penduduk Makkah dan mengatakan agar menjaga kerahasiaan surat tersebut sebisa mungkin serta melarangnya untuk menggunakan jalan umum karena ada penjagaan di sana. Wanita itu menyimpan surat tersebut di sanggul rambutnya dan membuat kepang rambut, kemudian berangkat dengan membawa surat itu. Dalam surat tersebut tertulis: “Muhammad saw. sedang menuju ke arah kalian dengan pasukan yang seperti malam (maksudnya pasukan yang sangat besar) dan bergerak cepat seperti banjir yang deras. Aku bersumpah demi Allah bahwa jika beliau berangkat sendirian pun menuju kalian, Allah pasti akan menolongnya untuk melawan kalian, dan Allah akan menepati janji-Nya yang telah Dia buat kepada beliau saw.. Oleh karena itu, bersiap-siaplah kalian.”

Dalam riwayat lain juga tertulis: “Muhammad saw. akan berangkat dengan pasukan menuju ke arah kalian atau ke arah lain. Ini tidak bisa dikatakan. Bagaimanapun, kalian semua harus sangat berhati-hati, dan aku ingin bahwa dengan berita ini aku melakukan kebaikan atas kalian”. Menurut satu riwayat, Sahabat ini menulis surat ini kepada Safwan bin Umayyah, Suhail bin Amr, dan Ikrimah bin Abu Jahal. Di sisi lain, berkat doa-doa Rasulullah saw yang makbul, Allah Taala telah mengabarkan beliau saw. tentang adanya surat tersebut. Maka kemudian Rasulullah saw. memanggil Hazrat Ali r.a..

Hazrat Ali r.a. sendiri menuturkan kejadian ini dengan berkata: “Rasulullah saw. mengutusku, Abu Martsad Ghanawi, dan Zubair, dan kami semua menunggang kuda. Beliau saw. bersabda, ‘Berangkatlah kalian sampai tiba di Raudhah Khakh’. Ini adalah suatu tempat di antara Madinah dan Makkah. ‘Di sana akan ada seorang wanita dari kaum musyrikin. Ia membawa surat dari Hathib bin Abi Balta’ah yang ditujukan kepada kaum musyrikin.’ Kemudian kami menemukan wanita itu tepat di tempat yang telah Rasulullah saw. sebutkan. Ia sedang mengendarai unta. Kami berkata, ‘Keluarkan surat itu.’ Ia menjawab, ‘Aku tidak punya surat apa pun.’ Kami mendudukkan untanya dan menggeledahnya, tetapi kami tidak menemukan surat apa pun. Kami berkata, ‘Rasulullah saw. tidak mungkin salah. Kamu harus mengeluarkan surat itu, atau kami akan memaksa menggeledah pakaianmu.’ Ketika ia melihat ketegasan kami, ia membungkuk ke arah pinggangnya – ia mengenakan selendang di sekitar pinggangnya – dan ia mengeluarkan surat itu dari sana. (Menurut riwayat lain dari Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, ia mengeluarkan surat itu dari ikat rambutnya. Jadi ada dua jenis riwayat.) Kami lalu membawa wanita itu kepada Rasulullah saw.. Hazrat Umar r.a. berkata, ‘Wahai Rasulullah saw.! Orang ini, (yaitu Hathib, yang merupakan sahabat yang telah menulis surat ini), telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, maka izinkan aku memenggal lehernya.’ Rasulullah saw. bertanya kepada Hathib, ‘Apa yang mendorongmu melakukan apa yang telah kamu lakukan? Mengapa kamu menulis surat ini?’ Hathib menjawab, ‘Demi Allah, apa yang terjadi denganku? Aku adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni aku termasuk di antara orang-orang yang beriman dan ini bukan suatu pemberontakan. Alasannya adalah, aku ingin berbuat baik kepada mereka, yaitu kepada orang-orang Quraisy, yang melalui mereka Allah melindungi anak-anak dan hartaku. Dan tidak ada seorang pun dari sahabat Anda yang tidak memiliki seseorang dari keluarganya di sana, yang melaluinya Allah melindungi anak-anak dan hartanya.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Ia telah berkata benar, dan janganlah kalian mengatakan apa pun tentangnya kecuali yang baik. Ia benar. Ia telah mengucapkan ucapan yang jujur.’ Beliau saw. bersabda kepada Hazrat Umar r.a., ‘Bukankah ia telah ikut serta dalam Perang Badar?’ Rasulullah saw. juga bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah melihat ahli Badar dan berfirman, ‘Lakukanlah apa yang kalian inginkan, surga telah diwajibkan bagi kalian.’ Atau beliau saw. bersabda, ‘Aku telah mengampuni kalian.’ Mendengar hal itu, air mata mengalir pada diri Hazrat Umar r.a. dan berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’”

Peristiwa ini juga disebutkan oleh Hazrat Muslih Mau’ud r.a. dari berbagai rujukan sejarah. Beliau r.a. menulis:

Pada zaman Hazrat Rasulullah saw., seorang sahabat ingin mengirimkan kabar secara rahasia kepada kerabatnya di Makkah tentang rencana serangan kaum Muslimin. Ia ingin menyampaikan kabar itu sebagai ungkapan simpati, agar mereka memperlakukan kerabatnya dengan baik. Namun, hal ini telah dikabarkan Allah Taala kepada Rasulullah saw. melalui ilham. Beliau saw. lalu mengutus Hazrat Ali r.a. dan beberapa sahabat lainnya dengan bersabda, “Di tempat tertentu ada seorang wanita, pergilah dan ambillah surat darinya.”

Sesampainya di sana, mereka meminta surat dari wanita itu, tetapi ia menolak. Beberapa sahabat berkata, “Mungkin Rasulullah saw. telah keliru.” Hazrat Ali r.a. berkata, “Tidak, ucapan beliau saw. tidak mungkin salah.” Inilah keimanan yang sejati. “Aku tidak akan pergi dari sini sampai mendapatkan surat itu darinya.” Kemudian para sahabat memarahi wanita itu, sehingga ia mengeluarkan surat itu dan menyerahkannya.

Di tempat lain, Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menerangkan kejadian ini dengan lebih rinci. Beliau r.a. menulis:

            Seorang sahabat yang lemah menulis surat kepada penduduk Makkah yakni, “Rasulullah saw. telah berangkat dengan pasukan sebanyak 10.000 orang. Aku tidak tahu ke mana beliau saw. pergi, tetapi aku menduga bahwa beliau saw. mungkin menuju ke Makkah. Aku memiliki beberapa kerabat dan saudara di Makkah. Aku berharap kalian akan membantu mereka di masa-masa sulit ini dan tidak akan membiarkan mereka mengalami kesulitan apa pun.”

Surat ini belum sampai ke Makkah, saat Rasulullah saw. memanggil Hazrat Ali r.a. di waktu pagi dan bersabda, “Pergilah ke tempat ini. Allah Taala telah mengabarkan kepadaku bahwa di sana kamu akan bertemu dengan seorang wanita yang menunggang unta. Ia sedang membawa surat untuk penduduk Makkah. Ambillah surat itu darinya dan segera kembali kepadaku.” Ketika Hazrat Ali hendak berangkat, beliau saw.  bersabda, “Ingatlah, ia adalah seorang wanita, jangan bersikap keras padanya. Di awal, jangan bersikap keras. Bersikaplah tegas dan tekankan bahwa ia memiliki surat itu, tetapi jika ia tetap menolak dan permohonan serta bujukan tidak berhasil, maka dalam keadaan seperti itu kamu boleh bersikap keras, dan jika perlu membunuhnya, engkau boleh membunuhnya juga, tetapi jangan biarkan surat itu lolos. Surat itu sangat penting dan harus dicegah.” Maka Hazrat Ali r.a. pun pergi ke sana.

Wanita itu ditemukan, ia mulai menangis dan bersumpah, “Apakah aku seorang pengkhianat? Apakah aku seorang penipu? Apa masalahnya? Silakan periksa aku.” Maka para sahabat melihat ke sana kemari, melihat sakunya, memeriksa barang-barangnya, tetapi surat itu tidak ditemukan. Para sahabat berkata, “Sepertinya ia tidak memiliki surat itu.” Hazrat Ali r.a. menjadi geram, beliau berkata, “Kalian diam,” kemudian dengan penuh gelora semangat berkata, “Demi Allah, Rasul saw. tidak mungkin berbohong.” Kemudian Hazrat Ali r.a. berkata kepada wanita itu, “Muhammad Rasulullah saw. telah mengatakan bahwa engkau memiliki surat itu, dan demi Allah, aku tidak berbohong.” Kemudian beliau mengeluarkan pedangnya dan berkata, “Keluarkan surat itu dengan baik-baik, jika tidak, ingatlah bahwa jika aku harus memeriksa engkau dengan menggeledah engkau, aku juga akan melakukannya, karena Rasulullah saw. berkata benar, dan engkau telah berbohong.” Kemudian wanita itu menjadi takut dan ketika diancam akan digeledah, ia segera membuka sanggulnya. Di dalam kepangan itu ia telah menyimpan surat tersebut, lalu ia mengeluarkan dan menyerahkannya. Surat itu disembunyikan di rambutnya.

Terkait:   Keteladanan Sahabat Nabi Muhammad (saw) seri-75

Alhasil, setelah itu Rasulullah saw. memulai perjalanan. Tentang keberangkatan Rasulullah saw. dari Madinah, tertulis bahwa Rasulullah saw. menunjuk Hazrat Abu Rahm Kultsum bin Husain Ghifari r.a. sebagai wakil beliau saw. di Madinah. Menurut Ibnu Ishaq, beliau saw. berangkat bersama kaum Muhajirin, Ansar, dan kelompok-kelompok suku Arab, saat sepuluh hari bulan Ramadan telah berlalu, tetapi menurut sebuah riwayat dalam Musnad Ahmad, beliau saw. berangkat dari Madinah pada tanggal dua Ramadan. Sementara itu, penafsir Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Allamah Ibnu Hajar, lebih memilih riwayat yang menyebutkan tanggal dua Ramadan.

Alhasil, dalam perjalanan ini, sebagian orang menunggang kuda dan sebagian lagi menunggang unta. Ketika pasukan berangkat dari Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah saw., ada sekitar 7.400 pejuang yang bergabung. Jumlah ini terus bertambah dengan bergabungnya berbagai suku seperti Bani Asad dan Sulaim, hingga akhirnya ketika mereka berjalan di rute jalan menuju Makkah, jumlahnya mencapai 10.000. Ketika beliau saw. tiba di tempat bernama Sulsal, yang merupakan sebuah gunung dekat Baida’, di jalan mendaki setelah Dzul-Hulaifah, beliau saw. mengirim Hazrat Zubair bin Awwam r.a. dengan 200 penunggang kuda ke depan. Dalam beberapa kitab, jumlah pasukan ini disebutkan mencapai 12.000, tetapi kebanyakan riwayat menyebutkan 10.000, dan inilah yang tampaknya lebih akurat.

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan peristiwa ini dengan cara berikut:

Rasulullah saw. selama masa ini mengirim utusan ke suku-suku Muslim di segala penjuru, dan ketika kabar telah diterima bahwa suku-suku Muslim telah siap dan akan bergabung di sepanjang jalan menuju Makkah, beliau saw. memerintahkan penduduk Madinah untuk mengambil senjata. Pada tanggal 1 Januari 630 M, yaitu tanggal 10 Ramadan 8 Hijriah, pasukan ini berangkat dari Madinah, dan suku-suku Muslim dari segala penjuru terus bergabung di sepanjang jalan. Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menulis tanggal 10 Ramadan. Setelah menempuh beberapa manzil jauhnya, ketika pasukan ini memasuki hutan Faran, jumlahnya telah mencapai 10.000 sesuai dengan nubuatan Nabi Sulaiman a.s..

Dalam perjalanan ini, istri-istri suci yang menyertai Rasulullah saw. Di antaranya adalah Hazrat Ummu Salamah r.a.. Menurut beberapa riwayat, Ummul Mukminin Hazrat Maimunah r.a. juga ikut serta. Dalam satu riwayat Ṣaḥīḥ al-Bukhārī juga disebutkan bahwa putri beliau, Hazrat Fatimah r.a., juga ikut serta.

Perjalanan ini terjadi di bulan Ramadan. Dari beberapa riwayat diketahui bahwa di beberapa hari awal perjalanan, Rasulullah saw. berpuasa, tetapi kemudian beliau saw. tidak berpuasa dan bahkan melarang para sahabat untuk berpuasa. Dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī disebutkan bahwa Hazrat Ibnu Abbas r.a. menuturkan: Rasulullah saw. berangkat untuk Gazwah Fatah Makkah pada bulan Ramadan. Rasulullah saw. berpuasa sampai ketika beliau saw. tiba di mata air Qadid, yang terletak di antara Qadid dan Asfan, sekitar 42 mil dari Makkah, beliau saw. berbuka puasa. Kemudian beliau saw. tidak berpuasa lagi sampai bulan Ramadan berlalu. Ini adalah riwayat dalam Bukhari.

Ada riwayat lain dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī yang diriwayatkan oleh Hazrat Ibnu Abbas r.a. yakni: Rasulullah saw. berangkat dari Madinah pada bulan Ramadan dengan pasukan berjumlah 10.000. Ini terjadi 8,5 tahun setelah kedatangan beliau saw. di Madinah. Beliau saw. berangkat menuju Makkah. Beliau saw. dan para sahabat berpuasa, sampai ketika beliau saw. tiba di Qadid, sebuah mata air antara Asfan dan Qadid, beliau saw. berbuka puasa dan orang-orang juga berbuka puasa.

Mengenai hal ini, penafsir Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Allamah Ibnu Hajar menyatakan bahwa pendapat yang mengatakan Rasulullah saw. berbuka puasa pada hari yang sama ketika beliau saw. berangkat dari Madinah tidaklah benar, karena antara Madinah dan Qadid terdapat jarak perjalanan beberapa hari. Mengenai tempat Rasulullah saw. berbuka puasa bersama para sahabat, dalam berbagai riwayat disebutkan beberapa tempat yang berbeda.

Membahas hal ini, penafsir Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Allamah Aini menulis bahwa ada penjelasan lebih lanjut. (Beberapa orang mengatakan bahwa beliau saw. tidak berbuka puasa di Qadid, dan mengenai di mana Rasulullah saw. berbuka puasa selama perjalanan ini, terdapat perbedaan dalam berbagai riwayat). Menurut Allamah Aini, beberapa orang menulis Asfan, bukan Qadid; beberapa menyebutkan Quraul-Ghamim, dan beberapa lainnya menulis Qadid. Qadi Iyaz mengenai hal ini menyatakan bahwa dalam berbagai riwayat terdapat perbedaan pendapat tentang tempat di mana Rasulullah saw. berbuka puasa. Namun, semua riwayat ini menyebutkan kejadian yang sama dan semua tempat tersebut saling berdekatan satu sama lain, dan semuanya berada di wilayah Asfan. Ketika Rasulullah saw. berangkat dari Arsy, di tengah perjalanan beliau saw. melihat seekor anjing betina dengan anak-anaknya yang sedang menyusu. Ini adalah suatu kisah yang tertera. Kisah ini juga menunjukkan rasa kasih sayang beliau saw. terhadap hewan. Rasulullah saw. memerintahkan Hazrat Ju’ail bin Suraqah r.a. untuk berdiri di depan anjing tersebut, di tempat anjing itu duduk, agar tidak ada seorang pun dari pasukan yang mengganggu anjing itu atau anak-anaknya.

Rasulullah saw. sebelumnya telah mengirimkan sekelompok pasukan berkuda di depan kaum Muslimin untuk menangkap mata-mata, dan Banu Khuza’ah juga tidak membiarkan siapa pun lewat di jalan tersebut. Suku yang lain pun melakukan penghadangan. Pasukan yang dikirim oleh Rasulullah saw. itu lalu membawa seorang mata-mata dari Hawazin yang mereka tangkap. Ketika Rasulullah saw. bertanya kepadanya, ia memberitahu bahwa Hawazin sedang berkumpul untuk melawan beliau saw.. Beliau saw. bersabda, “Allah cukup bagi kami dan Dia adalah sebaik-baik penolong.” Rasulullah saw. memerintahkan Hazrat Khalid bin Walid r.a. untuk menahan mata-mata itu agar ia tidak pergi ke depan dan memperingatkan orang-orang.

Ketika beliau saw. tiba di Qadid, Banu Salim yang berjumlah seribu orang lalu bergabung dengan beliau. Di sini, beliau saw. mengibarkan bendera dan panji-panji serta membaginya di antara suku-suku. Persiapan pasukan Rasulullah saw. di padang Qadid dilakukan berdasarkan kabilah. Setiap pasukan dipimpin oleh orang dari suku yang sama. Rasulullah saw. membagi golongan Ansar menjadi dua belas kelompok berdasarkan kabilah. Enam kelompok dari Aus dan enam dari Khazraj. Tiga bendera Muhajirin dipegang oleh Hazrat Ali bin Abi Thalib r.a., Hazrat Zubair bin Awam r.a., dan Hazrat Sa’d bin Abi Waqqas r.a..

Ada sebuah kisah yang disebutkan bahwa selama misi ini, Abu Sufyan bin Harits (ini bukanlah Abu Sufyan bin Harb) dan Abdullah bin Abi Umayyah menerima Islam. Abu Sufyan bin Harits, yang merupakan sepupu dan saudara sepersusuan Rasulullah saw., berangkat dari Makkah bersama putranya, Ja’far dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah, dan bertemu dengan Rasulullah saw. di tempat bernama Tsaniyatul ‘Aqab antara Makkah dan Madinah. Keduanya adalah musuh keras Rasulullah saw., sehingga mereka tidak memiliki keberanian untuk langsung menghadap Rasulullah saw.. Ummul Mukminin Hazrat Umm Salamah, yang merupakan saudari Hazrat Abdullah bin Abi Umayyah r.a., mengajukan permohonan kepada Rasulullah saw., “Sepupu Anda (yaitu Abu Sufyan bin Harits) dan sepupu dari pihak bibi serta kerabat melalui pernikahan (yaitu Abdullah) ingin bertemu dengan Anda.” Rasulullah saw. menjawab, “Aku tidak memerlukan mereka dan tidak ingin bertemu dengan mereka. Sepupuku telah menghina harkat martabatku.” Beliau saw. melanjutkan, “Sepupuku telah menghina kehormatanku. Dia adalah seorang penyair yang biasa menghinaku dalam syair-syairnya. Dan Abdullah, apa yang tidak ia lakukan terhadapku di Makkah dahulu? Ia telah menunjukkan permusuhan yang sangat keras. Bagaimana mungkin aku bertemu dengan mereka?” Ketika perkataan Rasulullah saw. ini sampai kepada Sufyan bin Harits, ia berkata dengan penuh kegelisahan, “Jika Muhammad saw. tidak mau memaafkanku dan tidak mengizinkanku bertemu dengannya, maka aku akan membawa anakku ini—anak yang kubawa bersamaku—dan pergi ke padang pasir hingga kami mati karena kelaparan dan kehausan.” Ketika perkataan ini sampai kepada Rasulullah saw., beliau memanggil keduanya dan memberikan kesempatan untuk bertemu. Hati beliau saw. segera melunak. Keduanya memeluk Islam dan kemudian keislaman mereka pun menjadi sangat baik.

Terkait:   Riwayat Sahabat Rasulullah (saw), Mu'adz bin Jabal (ra)

Adapun mengenai Abu Sufyan bin Harits, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, ia berbeda dari Abu Sufyan yang lain. Dalam sejarah Islam, ada dua orang bernama Abu Sufyan yang terkenal. Pertama adalah Abu Sufyan yang merupakan pemimpin Quraisy Makkah dan suami dari Hindun yang mengunyah hati Hazrat Hamzah r.a.. Ia dikenal dengan nama Abu Sufyan bin Harb. Yang kedua adalah Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthalib ini, yang merupakan sepupu Rasulullah saw.. Para sejarawan terkadang melakukan kesalahan karena kemiripan nama dan menyebutkan Abu Sufyan bin Harb, alih-alih Abu Sufyan bin Harits. Seperti dalam Perang Hunain, ketika terjadi kekacauan di antara kaum Muslimin, disebutkan bahwa Abu Sufyan memegang tali kekang tunggangan Rasulullah saw.. Beliau berdiri (setia) di samping Rasulullah saw.. Beberapa sejarawan mengira yang dimaksud disini adalah Abu Sufyan bin Harb, padahal sejarawan yang sama juga mengatakan bahwa dia bukanlah Abu Sufyan bin Harb melainkan Abu Sufyan bin Harits, yang juga merupakan saudara sepersusuan Rasulullah saw. karena Halimah Sa’diyah juga menyusuinya. Ia sebelumnya sangat mencintai Rasulullah saw., tetapi ketika beliau saw. menda’wakan kenabian, ia menjadi sangat menentang dan memusuhi. Ia termasuk di antara penyair-penyair besar Makkah dan karena permusuhannya, ia juga mengucapkan banyak syair ejekan dan penuh kekejian terhadap Rasulullah saw.. Hazrat Hassan bin Thabit r.a. kerap membalas caciannya dalam syair-syairnya. Ketika ia mengatakan “Sampaikan hal ini kepada Abu Sufyan”, yang dimaksud umumnya adalah Abu Sufyan bin Harits. Dalam Tārīkh al-Khamīs, disebutkan bahwa Abu Sufyan datang menghadap Rasulullah saw. dan berkata.

تَاللّٰهِ لَقَدْ اٰثَرَكَ اللّٰهُ عَلَيْنَا وَاِنْ كُنَّا لَخٰطِـِٕيْنَ

Ini adalah ayat 92 dari Surah Yusuf yang artinya:

Mereka berkata: Demi Allah, sungguh Allah telah mengutamakan engkau di atas kami dan sesungguhnya kami benar-benar bersalah.

Mendengar itu, Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Sufyan,

لَا تَثْرِيْبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَۗ يَغْفِرُ اللّٰهُ لَكُمْۖ وَهُوَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ

Tidak ada celaan atas kalian pada hari ini; Allah akan mengampuni kalian dan Dia adalah Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang. (Yusuf: 93)

Menurut riwayat, Hazrat Ali r.a. telah mengatakan kepada Abu Sufyan agar ia menghadap Rasulullah saw. dan meminta maaf dengan mengucapkan kalimat tersebut. Riwayat menyebutkan bahwa ketika itu, Abu Sufyan tidak mengangkat kepalanya karena rasa malu saat ia menghadap Rasulullah saw..

Alhasil, Abu Sufyan bin Harits yang sebelumnya biasa mengucapkan syair-syair untuk mengejek Rasulullah saw., setelah memeluk Islam, seluruh syairnya dipenuhi dengan kecintaan dan kesetiaan kepada Rasulullah saw. dan setelah menerima Islam, ia menulis sebuah qasidah untuk memuji sanjung Rasulullah saw.. Di antara beberapa orang yang memiliki kemiripan [rupa] dengan Rasulullah saw., Hazrat Abu Sufyan bin Harith juga termasuk di antaranya. Rasulullah saw. memberinya kabar gembira tentang surga. Ia termasuk dalam golongan sahabat yang paling mulia dan keislamannya sangat baik. Tiga hari sebelum wafat, ia sendiri menggali kuburnya, dan ketika waktu wafatnya tiba, ia berkata, “Janganlah menangisi aku, karena sejak aku menerima Islam, aku tidak pernah mengotori diriku dengan dosa apapun.”

Pada saat kewafatan Rasulullah saw., ia mengungkapkan perasaannya dengan melantunkan sebuah syair penuh kesedihan, yang beberapa baitnya diterjemahkan sebagai berikut:

Aku sangat gelisah karena malamku tak kunjung berakhir, dan malam bagi orang yang tertimpa musibah malamnya memang terasa panjang.

Menangis telah memberiku ketenangan, namun tangisan ini tak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang dialami umat Islam.

Pada malam ketika Rasulullah saw. wafat, musibah kami menjadi semakin besar dan berat.

Hampir saja bumi kami terbalik bersama kami karena musibah yang menimpanya.

Kemudian ia menulis:

Dengan wafatnya Rasulullah saw., wahyu telah berhenti dan Al-Quran yang biasa dibawa Jibril pagi dan petang telah berhenti turun.

Dalam sebuah bait syair yang ditujukan kepada Hazrat Fatimah r.a., ia berkata:

Wahai Fatimah, jika engkau menangis pada saat ini, tangisanmu adalah benar, dan jika engkau tidak menangis, maka itulah cara yang sebenarnya.

Maka berlindunglah dalam kesabaran karena di dalamnya terdapat pahala dari Allah yang merupakan karunia yang sangat besar.

Dan ceritakanlah kebaikan-kebaikan ayahmu, Rasulullah saw., dan janganlah lelah dalam memujinya karena pujian apapun yang diberikan kepadanya tidak akan mampu menggambarkan keutamaannya.

Dalam syair ini ia berkata, syair Arab:

فَقَبْرُ أَبِيكِ سَيِّدُ كُلِّ قَبْرٍ، وَفِيهِ سَيِّدُ النَّاسِ، رَسُول

Wahai Fatimah, makam ayahmu adalah pemimpin semua makam karena di dalamnya dimakamkan Rasul yang mulia yang merupakan pemimpin seluruh manusia.

Hazrat Abu Sufyan r.a. wafat pada tahun 15 Hijriah atau 20 Hijriah. Hazrat Umar r.a. memimpin salat jenazahnya.

Hazrat Abdullah bin Umayyah r.a. yang merupakan orang yang bersamanya, secara singkat mengenai diri beliau adalah sebagai berikut. Namanya juga disebut Hudzaifah. Beliau adalah putra bibi Rasulullah saw., Atikah, sehingga beliau juga merupakan sepupu Rasulullah saw. dan saudara laki-laki Ummul Mukminin, Hazrat Ummu Salamah r.a..

Ketika Rasulullah saw. menyatakan kenabian, beliau menjadi penentang keras Hazrat Rasulullah saw. dan termasuk yang terdepan di antara para penentang. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

وَقَالُوْا لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْاَرْضِ يَنْۢبُوْعًاۙ

Dan mereka berkata, “Sekali-kali kami tidak akan beriman kepada engkau sebelum engkau pancarkan dari bumi sebuah mata air untuk kami.” (Banī Isrā’īl: 91)

Dikatakan bahwa yang mengucapkan ini adalah Abdullah bin Abu Umayyah. Akan tetapi, setelah menerima Islam, beliau ikut serta dalam Perang Hunain dengan pengorbanan besar dan pada Perang Thaif, beliau syahid karena terkena anak panah.

            Mengenai bergabungnya Hazrat Abbas r.a. dengan pasukan Islam dalam misi ini, tertulis bahwa ketika Rasulullah saw. memulai perjalanan ke arah Makkah, Hazrat Abbas r.a. bersiap untuk berhijrah dari Makkah ke Madinah. Hazrat Abbas r.a. bertemu dengan Rasulullah saw. di Juhfah. Juhfah terletak sejauh 76 mil dari Makkah. Hazrat Abbas r.a. mengirimkan barang-barangnya ke Madinah, lalu mulai melakukan perjalanan kembali ke Makkah bersama Rasulullah saw..

Pengenalan singkat tentang Hazrat Abbas bin Abdul Muttalib r.a. adalah sebagai berikut. Hazrat Abbas bin Abdul Muttalib r.a. adalah paman Rasulullah saw.. Beliau lebih tua dua atau tiga tahun dari Rasulullah saw.. Beliau terkenal dengan julukan Abul-Fadhal karena putranya, Fadhal bin Abbas. Setelah Hazrat Abu Thalib, tanggung jawab siqāyā, yaitu memberi minum jemaah haji berada di tangan beliau. Ketika terjadi baiat kaum Ansar di Akhwah, Hazrat Abbas r.a. menyertai Rasulullah saw. dan tetap teguh bersama beliau saw. dalam Perang Hunain. Beliau wafat pada tahun 32 atau 33 Hijriah.

Ada berbagai riwayat mengenai penerimaan Islam oleh Hazrat Abbas r.a.. Menurut sebagian orang, beliau menerima Islam sebelum hijrah, menurut yang lain beliau menerima Islam sebelum Perang Badar, dan menurut sebagian lagi beliau menerima Islam berdekatan dengan peristiwa Perang Khaibar, sementara beberapa orang mengatakan beliau menerima Islam sebelum penaklukan Makkah. Menurut penelitian Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a., beliau belum menerima Islam hingga Baiat Aqabah Kedua. Beliau menulis mengenai Baiat Aqabah Kedua bahwa Rasulullah saw. membawa serta pamannya, Abbas, yang saat itu masih musyrik tetapi mencintai beliau saw.. Kemungkinan besar Hazrat Abbas r.a. telah menerima Islam sebelum Perang Badar. Namun, semua sejarawan dan penulis biografi sepakat bahwa beliau menerima Islam di Makkah tetapi tidak mengungkapkannya agar berita tentang Makkah dan penduduknya tetap sampai kepada Rasulullah saw.. Juga terdapat dalam riwayat bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada Hazrat Abbas r.a. bahwa keberadaan beliau di Makkah lebih bermanfaat.

Mengenai Fatah Makkah, Hazrat Abu Bakar r.a. juga mendapatkan mimpi yang disebutkan sebagai berikut: Hazrat Abu Bakar r.a. menceritakan mimpinya kepada Rasulullah saw. dengan berkata, “Ya Rasulullah! Saya telah diperlihatkan mimpi dan dalam mimpi itu saya melihat Anda dan kita telah mendekati Makkah. Seekor anjing betina menggonggong datang ke arah kami, kemudian ketika kami mendekatinya, ia berbaring telentang dan mulai mengeluarkan susu.” Mendengar ini, Rasulullah saw. bersabda, “Kejahatan penduduk Makkah telah hilang dan manfaat telah mendekat.” Beliau saw. menafsirkan, “Mereka akan datang meminta perlindungan kepada engkau dengan alasan hubungan kekerabatan, dan engkau akan bertemu dengan beberapa dari mereka.” Kemudian beliau saw. bersabda kepada Hazrat Abu Bakar r.a., “Jika engkau menemukan Abu Sufyan, jangan membunuhnya. Ini adalah Abu Sufyan yang berbeda.” Bagaimanapun, perjalanan pasukan beliau saw. terus berlanjut dan beliau saw. berkemah di Marr al-Zahran.

Terkait:   Khotbah Idul Fitri: Ied Hakiki dan Tiga Tujuan Ramadhan

Tertulis bahwa berkat strategi militer terbaik Hazrat Rasulullah saw. dan doa-doa beliau saw., terjadi mukjizat besar di mana pasukan sebanyak 10.000 orang yang berangkat dari Madinah telah menempuh perjalanan sekitar 400 kilometer dan mendirikan perkemahan hanya 5 mil dari Makkah, namun penduduk Makkah sama sekali belum mendengar kabar tentang hal ini. Rasulullah saw. berkemah di Marr al-Zahran pada waktu Isya, sebuah tempat yang terletak di antara Makkah dan Asfan, berjarak lima mil dari Makkah. Beliau saw. memerintahkan para sahabat, lalu mereka menyalakan 10.000 api. Beliau saw. menugaskan Hazrat Umar r.a. untuk mengawasi pasukan.

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menulis tentang pasukan Islam bahwa bagaimana pasukan Islam dapat mencapai Makkah tanpa terdeteksi. Beliau bersabda bahwa kecuali dalam peristiwa Ahzab, tidak pernah ada pasukan sebesar ini yang disiapkan dalam sejarah Arab. Pada peristiwa Ahzab, terdapat 10.000 hingga 12.000 orang, artinya ini adalah contoh kedua dalam sejarah Arab tentang pasukan sebesar ini yang dimiliki oleh umat Islam. Namun, pasukan sebesar ini keluar dari Madinah dan tidak ada seorang pun yang mengetahui tentang hal ini, kemudian Allah Taala secara mukjizat menunjukkan bahwa “Akulah yang membunyikan genderang yang merupakan milik-Ku dan Aku menghancurkan genderang mereka.”

Maka ketika Rasulullah saw. berangkat, beliau saw. berdoa, “Ya Tuhanku, aku berdoa kepada-Mu agar Engkau memekakkan telinga penduduk Makkah dan membutakan mata mereka, supaya mereka tidak melihat kami dan tidak ada kabar tentang kami yang sampai ke telinga mereka.” Lalu beliau saw. berangkat. Di Madinah terdapat banyak orang munafik, tetapi pasukan sebanyak 10.000 orang keluar dari Madinah dan tidak ada informasi yang sampai ke Makkah. Meskipun di sana hanya ada 7.000 orang, tetapi itu adalah jumlah yang sangat besar, dan jumlahnya terus bertambah di sepanjang perjalanan, namun orang-orang munafik Madinah, tetap tidak mendapat kesempatan untuk menyampaikan kabar ini.

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sampai saat itu, orang-orang Quraisy atau penduduk Makkah belum menerima kabar tentang keberangkatan Rasulullah saw., bahkan tentang kedatangan beliau saw. yang sudah mendekati Makkah. Mereka memang khawatir bahwa beliau saw. akan menyerang mereka, tetapi mereka tidak mengira bahwa kaum Muslimin mampu menyerang mereka. Namun penduduk Makkah tetap waspada dan mereka melakukan patroli di sekitar wilayah tersebut bahkan pada malam hari. Demikianlah, suatu malam Abu Sufyan sedang berpatroli bersama dua pemimpin Makkah, Hakim bin Hizam dan Budail bin Waraqah. Mereka melihat pasukan, tenda-tenda, dan api, seolah-olah itu adalah api di Arafah. Mereka mulai saling menduga dan berkata bahwa itu mungkin Bani Ka’ab, yaitu Khuza’ah. Perang yang baru saja terjadi telah membuat mereka marah. Kemudian mereka berkata kepada diri mereka sendiri, yakni mereka menduga-duga bahwa jumlah mereka tidak sebanyak itu, mereka tidak mungkin Bani Ka’ab. Lalu mereka berkata bahwa itu mungkin Bani Hawazin. Kemudian mereka menyangkal lagi bahwa itu tidak mungkin Bani Hawazin.

Demikianlah, mereka terus menduga-duga sampai mereka mendengar ringkikan kuda dan suara unta. Semua ini membuat mereka sangat ketakutan, dan sementara mereka sedang berbicara, mata-mata Rasulullah saw., yang sedang berpatroli mengawasi keadaan sekitar, menangkap mereka dan membawa mereka untuk dihadapkan kepada Rasulullah saw.. Menurut satu riwayat, Allah Taala telah memberitahu Rasulullah saw. secara kasyaf tentang kedatangan Abu Sufyan. Diriwayatkan dari Hazrat Abu Laila r.a., “Kami bersama Rasulullah saw. di Marr al-Zahran. Rasulullah saw. bersabda, ‘Abu Sufyan berada di Araq, yaitu sebuah lembah dekat Makkah, tangkaplah ia.’ Kami pergi ke sana dan menangkapnya. Ibnu Uqbah telah menulis bahwa Abu Sufyan, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Waraqah tidak menyadari apa-apa sampai sekelompok sahabat yang telah beliau saw. kirim sebagai mata-mata menangkap mereka. Para sahabat memegang tali kendali unta mereka. Abu Sufyan dan yang lainnya bertanya, “Siapa kalian?” Mereka menjawab, “Ini adalah Rasulullah saw. dan para sahabatnya.” Abu Sufyan berkata, “Pernahkah terjadi bahwa pasukan sebesar ini memasuki wilayah suatu kaum tetapi mereka tidak mengetahuinya? Bagaimana pasukan sebesar ini bisa datang tanpa diketahui?”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika Rasulullah saw. tiba di Marr al-Zahran, hati Hazrat Abbas r.a. menjadi lembut terhadap penduduk Makkah. Maka beliau menunggangi bagal putih milik Rasulullah saw. yang bernama Syahbah dan pergi ke tempat bernama Araq. Dalam hatinya, beliau berpikir bahwa mungkin beliau akan bertemu seseorang yang bisa memberitahu penduduk Makkah tentang kedatangan Rasulullah saw. dan menyuruh mereka datang untuk meminta perlindungan kepada beliau saw. sebelum beliau saw. memasuki Makkah dengan kekuatan. Sementara beliau masih memikirkan hal ini, beliau mendengar suara Abu Sufyan, Hakim bin Hizam, dan Budail bin Waraqah. Abu Sufyan berkata, “Aku belum pernah melihat api seperti ini atau pasukan seperti ini.” Budail berkata, “Demi Allah, ini adalah api orang-orang yang bersama Allah. Keinginan untuk berperang telah membangkitkan semangat mereka.” Abu Sufyan menjawab, “Demi Allah, orang-orang yang bersama Allah itu lemah dan sedikit jumlahnya. Ini tidak mungkin api dan pasukan mereka.” Hazrat Abbas r.a. mendengar suara mereka dan mengenali mereka, dan Abu Sufyan juga mengenalinya. Hazrat Abbas r.a. membawa Abu Sufyan kepada Rasulullah saw., sementara kedua temannya kembali. Beliau hanya membawa Abu Sufyan sendirian dan membiarkan kedua temannya pergi. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hazrat Abbas r.a. juga membawa mereka berdua kepada Rasulullah saw.. Jadi, ada dua jenis riwayat tentang hal ini.

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menyebutkan hal ini sebagai berikut:

Di satu sisi, pasukan Muslim ini terus berbaris menuju Makkah, dan di sisi lain, penduduk Makkah menjadi semakin ketakutan karena keheningan yang menyelimuti atmosfer. Akhirnya, setelah bermusyawarah, mereka kembali meyakinkan Abu Sufyan untuk keluar dari Makkah dan mencari tahu apa yang hendak dilakukan oleh kaum Muslimin. Setelah berjalan satu manzil dari Makkah, pada malam hari, Abu Sufyan melihat hutan yang terang oleh api. Rasulullah saw. telah memerintahkan agar api dinyalakan di depan semua kemah. Api yang menyala-nyala di hutan di depan kemah-kemah untuk 10.000 orang itu menyajikan pemandangan yang menakutkan. Abu Sufyan bertanya kepada teman-temannya, “Apa ini? Apakah ada pasukan yang turun dari langit? Karena tidak ada pasukan dari suku Arab mana pun yang sebesar ini.” Teman-temannya menyebutkan nama-nama berbagai suku, tetapi ia berkata, “Tidak, tidak! Mana mungkin pasukan dari suatu suku Arab bisa sebesar ini.” Ia masih berbicara ketika terdengar suara dari kegelapan. “Abu Hanzalah” – ini adalah julukan Abu Sufyan. Abu Sufyan berkata, “Abbas, apa yang engkau lakukan di sini?” Beliau menjawab, “Pasukan Muhammad Rasulullah saw. ada di depan, dan jika kalian tidak segera mengambil tindakan, kekalahan dan kehinaan sudah siap menanti kalian. Yakni, lebih baik kalian memilih jalan perdamaian.”

Bagaimanapun, ada lebih banyak detail lagi setelah ini. Rinciannya cukup panjang, insyaallah akan saya jelaskan di kemudian hari. Seperti yang selalu saya katakan, teruslah berikan perhatian pada doa-doa. Semoga Allah Taala menyelamatkan dunia dari kekacauan, dan semoga Allah Taala memperbaiki situasi yang sedang bergejolak saat ini agar bergerak ke arah yang lebih baik dan tidak menuju kehancuran yang lebih besar.[1]

Khotbah II:

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ وَنُؤْمِنُ بِهٖ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ – وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَرَسُوْلُهٗ -عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوْ االلهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd., dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.