Menjawab Tuduhan Terkait Perjanjian Hudaibiyah

Khotbah 6 desember 2024 menjawab tuduhan tentang perjanjian hudaibiyah

Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Menjawab Tuduhan Terkait Perjanjian Hudaibiyah

Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 6 Desember 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ

أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾

Berkenaan dengan Perjanjian Hudaibiyah, hari ini saya akan menjelaskan beberapa rincian tambahan. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. telah menyebutkan peristiwa ini dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin. Beliau menulis:

Dalam perjanjian-perjanjian, selalu ada suatu celah pembahasan yang tertinggal yang terkadang dapat menyebabkan hasil penting di kemudian hari. Demikian pula dalam Perjanjian Hudaibiyah, terdapat suatu celah, yakni meskipun disebutkan secara jelas tentang pengembalian laki-laki Muslim, namun tidak ada penyebutan tentang bagaimana wanita yang masuk Islam dari penduduk Makkah lalu bergabung dengan kaum Muslimin (di Madinah). Akan tetapi segera muncul suatu keadaan yang memperlihatkan secara jelas adanya celah ini di hadapan orang-orang kafir Makkah. Belum lama setelah perjanjian ini ditandatangani, beberapa wanita Muslim dari Makkah berhasil meloloskan diri dari orang-orang kafir dan tiba di Madinah.

Di antara mereka, yang pertama adalah Ummi Kultsum, putri dari seorang pemimpin musyrik Makkah yang telah meninggal yaitu Uqbah bin Abi Mu’aith, yang dari pihak ibu juga merupakan saudari Hazrat Utsman bin Affan r.a.. Ummi Kultsum menunjukkan keberanian besar dengan berjalan kaki ke Madinah. Wanita ini menempuh perjalanan jauh tersebut dengan berjalan kaki dan setelah menghadap Rasulullah saw., ia menyatakan keislamannya.

Namun tak lama kemudian, dua kerabat dekatnya juga tiba untuk menangkapnya dan menuntut agar ia dikembalikan. Dalil mereka adalah, meskipun dalam perjanjian digunakan kata “laki-laki”, namun sebenarnya perjanjian tersebut bersifat umum dan berlaku sama untuk laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi Ummi Kultsum, selain berdasarkan kata-kata dalam perjanjian, juga menegaskan pengecualian untuk para wanita dengan alasan bahwa wanita berasal dari jenis kelamin yang lebih lemah dari pria, dan bagaimanapun juga berada dalam kedudukan lebih rendah dari laki-laki; oleh karena itu, mengembalikannya (ke Makkah) sama saja dengan mendorongnya ke arah kematian rohani dan membuatnya luput lagi dari Islam.

Jadi, menganggap wanita sebagai pengecualian dari perjanjian ini bukan hanya sesuai dengan isi perjanjian, tapi juga adalah sesuai dengan akal sehat, dan sesuai dengan asas keadilan. Oleh karena itu, secara alami dan adil, Rasulullah saw. memutuskan berpihak pada Ummi Kultsum dan menyuruh kerabatnya pulang. Allah Taala juga mendukung keputusan ini, sehingga pada hari-hari itu turunlah ayat-ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa ketika seorang wanita datang ke Madinah dengan mengaku Islam, ujilah ia dengan baik, dan jika terbukti ia tulus dan baik, maka jangan kembalikan ia kepada orang-orang kafir. Namun, jika ia sudah menikah, bayarlah mahar kepada suaminya yang musyrik.

Setelah itu, setiap kali ada wanita yang keluar dari Makkah dan tiba di Madinah, ia akan diuji dengan baik, dan niat serta ketulusannya akan diperiksa dengan saksama. Kemudian, wanita-wanita yang terbukti berniat baik dan tulus, dan tidak ditemukan latar belakang duniawi dalam hijrahnya, maka mereka diizinkan tinggal di Madinah. Jika mereka sudah menikah, mahar mereka akan dibayarkan kepada suami mereka, Setelah itu mereka bebas untuk menikah dengan kaum Muslimin.

Sehubungan dengan syarat-syarat perjanjian, ada sebuah kejadian yang disebutkan yaitu tentang Hazrat Abu Bashir r.a.. Rinciannya dijelaskan sebagai berikut:

Salah satu syarat dalam Perjanjian Hudaibiyah adalah jika ada seseorang dari Quraisy yang masuk Islam dan datang ke Madinah, penduduk Madinah tidak akan memberinya perlindungan melainkan akan mengembalikannya. Namun jika ada seorang Muslim yang murtad dan pergi ke Makkah, penduduk Makkah tidak akan mengembalikannya. Secara lahiriah, syarat ini dianggap memalukan bagi kaum Muslimin, dan karena itu banyak orang Islam yang merasa kecewa. Bahkan sahabat yang terhormat dan bijaksana seperti Hazrat Umar r.a. pun, dalam suasana yang terguncang saat itu – yaitu dalam keadaan di mana hati orang-orang terbakar oleh keputusan bahwa mereka melepaskan hak mereka – beliau pun merasa tidak tenang dan gelisah dengan syarat ini.

Namun tak lama kemudian, muncul keadaan yang membuktikan bahwa sebenarnya syarat ini justru menjadi sumber kelemahan bagi Quraisy dan kekuatan bagi kaum Muslimin. Karena sebagaimana Rasulullah saw. telah sampaikan sejak awal, jika ada Muslim yang murtad dan pergi dari Madinah, maka ia adalah seperti anggota tubuh yang busuk; hanya orang munafik atau orang yang hatinya bengkoklah yang akan masuk Islam kemudian meninggalkannya (murtad). Karena itu, jika orang itu pergi, biarkanlah ia pergi, tidak perlu membawanya kembali ke Madinah. Karena itu, Rasulullah saw. telah menyatakan sejak awal, “Tidak masalah, kita tidak keberatan dengan hal ini karena orang itu adalah seperti anggota tubuh yang busuk yang lebih baik dipisahkan”.

Sebaliknya, jika ada seseorang yang dengan tulus hati masuk Islam dan keluar dari Makkah, maka seandainya ia mendapat tempat di Madinah atau tidak, di mana pun ia berada ia akan menjadi sumber kekuatan bagi Islam dan pada akhirnya Allah akan membukakan jalan keluar untuknya.

Pandangan ini segera membuktikan kebenarannya karena belum lama setelah Rasulullah saw. sampai di Madinah (dari Hudaibiyah), seorang bernama Abu Bashir Utbah bin Asid Tsaqafi yang merupakan penduduk Makkah dan sekutu kabilah Bani Zuhrah, masuk Islam dan melarikan diri dari tahanan orang-orang Makkah lalu tiba di Madinah. Quraisy Makkah mengirim dua orang untuk mengejarnya dan memohon kepada Rasulullah saw. agar menyerahkan Abu Bashir kepada mereka sesuai syarat perjanjian. Rasulullah saw. memanggil Abu Bashir dan memerintahkannya untuk kembali. Abu Bashir mulai berteriak dan meratap, “Aku adalah seorang Muslim dan orang-orang ini akan menyiksaku di Makkah serta akan memaksaku untuk keluar dari Islam”. Rasulullah saw. bersabda, “Karena ada perjanjian, kita tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa menahan engkau di sini, dan jika engkau bersabar demi keridaan Allah, maka Dia akan membukakan jalan keluar untukmu, tapi kita terpaksa dan tidak bisa melanggar perjanjian dalam kondisi apa pun”. Renungkanlah betapa teguhnya Rasulullah saw. dalam mematuhi perjanjian-perjanjian.

Dengan terpaksa Abu Bashir berangkat pulang bersama mereka. Namun karena di dalam hatinya ada ketakutan yang besar bahwa sesampainya di Makkah ia akan mengalami berbagai macam penganiayaan dan harus menyembunyikan nikmat Islam, bahkan mungkin karena kekerasan dan paksaan ia harus meninggalkannya, maka ketika rombongan ini tiba di Dzul Hulaifah yang terletak beberapa mil dari Madinah di jalan menuju Makkah, Abu Bashir memanfaatkan kesempatan dengan membunuh salah satu orang yang merupakan pemimpin rombongan tersebut. Hampir saja ia juga menjadikan satu orang lainnya sebagai sasaran, namun orang itu berhasil menyelamatkan diri dan ia melarikan diri sedemikian rupa sehingga tiba di Madinah lebih dulu dari Abu Bashir. Tak lama kemudian Abu Bashir juga tiba di Madinah.

Ketika orang itu tiba di Madinah, Rasulullah saw. sedang berada di masjid. Melihat keadaannya yang ketakutan, beliau saw. bersabda, “Sepertinya ia telah mengalami ketakutan dan kengerian yang hebat”. Bersamaan dengan itu, orang itu sendiri juga dengan terengah-engah dan gemetar melaporkan kepada beliau saw. bahwa temannya telah terbunuh dan ia sendiri nyaris mati. Rasulullah saw. mendengarkan kejadiannya dan menghiburnya. Pada saat itu Abu Bashir juga tiba dengan pedang di tangan dan segera berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, Anda telah menyerahkan saya kepada Quraisy dan tanggung jawab Anda telah selesai, namun Allah telah menyelamatkanku dari kaum yang zalim dan sekarang Anda tidak punya tanggung jawab apa-apa atasku.” Beliau saw. dengan segara bersabda:

وَيْلُ أُمِّهِ مِسْعَرَ حَرْبٍ لَوْ كَانَ لَهُ أَحَدٌ

yakni, nasib buruk akan menimpa ibunya. Kata-kata ini dalam peribahasa Arab diucapkan pada saat marah/mencela, atau heran atau tidak senang, dengan mengabaikan makna harfiahnya. Beliau saw. bersabda, “Orang ini sedang menyalakan api perang, andai saja ada yang bisa mengendalikannya”.

Terkait:   Khotbah Idul Fitri: Ied Hakiki dan Tiga Tujuan Ramadhan

Ketika Abu Bashir mendengar kata-kata ini, ia memahami bahwa Rasulullah saw. bagaimanapun juga akan memerintahkannya untuk kembali karena adanya perjanjian. Dalam hal ini, kata-kata yang tertera dalam Ṣaḥīḥ Bukhārī adalah:

فَلَمَّا سَمِعَ ذٰلِك  عَرَفَ اَنَّه سَیُرُدُّہ اِلَیْھِمْ

(Ketika Abu Bashir mendengar ini, ia tahu bahwa beliau saw. pasti akan mengembalikannya kepada mereka)

Atas hal ini, ia diam-diam keluar dari sana dan alih-alih pergi ke Makkah di mana ia akan melihat kematian jasmani dan rohani, ia lantas berbelok ke arah pesisir Laut Merah dan tiba di Saiful Bahr.

Ketika orang-orang Islam lainnya yang tinggal Makkah yang masih tersembunyi dan lemah mengetahui bahwa Abu Bashir telah membuat suatu tempat menetap yang terpisah, mereka pun satu per satu keluar dari Makkah dan tiba di Saiful Bahr. Di antara mereka ada juga Abu Jandal, putra pemimpin Makkah, Suhail bin Amr, yang telah dikembalikan oleh Rasulullah saw. dari Hudaibiyah – yang telah disebutkan sebelumnya. Perlahan-lahan jumlah mereka mencapai sekitar tujuh puluh orang, atau menurut beberapa riwayat mencapai tiga ratus orang. Dengan demikian, selain Madinah, terbentuk pula satu negara Islam kedua yang secara agama berada di bawah Rasulullah saw. namun secara politik terpisah dan merdeka.

Karena di satu sisi, keberadaan sistem politik yang terpisah dan merdeka di wilayah Hijaz menjadi sumber ancaman bagi Quraisy, dan di sisi lain para muhajirin Saiful Bahr sangatlah dendam terhadap Quraisy Makkah, maka belum lama berselang, hubungan antara muhajirin Saiful Bahr dengan Quraisy Makkah hampir sama seperti hubungan yang terjadi pada masa awal antara Quraisy Makkah dengan muhajirin Madinah. Kemudian karena Saiful Bahr berada sangat dekat dengan jalan yang menghubungkan Madinah dengan Syam, maka mulai terjadi bentrokan dengan kafilah-kafilah Quraisy.

Perang baru ini segera mengambil bentuk yang berbahaya bagi Quraisy; karena pertama, Quraisy telah melemah akibat perang sebelumnya, dan kedua, sekarang jumlah mereka jauh lebih sedikit dibanding sebelumnya. Berhadapan dengan mereka ada negara Islam Saiful Bahr yang berada di bawah pimpinan pejuang-pejuang seperti Abu Bashir dan Abu Jandal, yang dipenuhi dengan kekuatan laksana listrik yang berasal dari semangat keimanan mereka yang masih segar dan kenangan pahit akan penganiayaan masa lalu mereka sehingga mereka tidak akan memperhitungkan perlawanan apa pun.

Hasilnya, dalam waktu singkat, Quraisy menyerah dan karena lelah dengan serangan-serangan kelompok Abu Bashir, mereka mengirim utusan kepada Rasulullah saw. dan memohon dengan mengatasnamakan hubungan kekerabatan agar memanggil para muhajirin Saiful Bahr ke Madinah dan memasukkan mereka ke dalam pengaturan politik beliau saw.. Bersamaan dengan itu, mereka dengan sukarela membatalkan syarat Perjanjian Hudaibiyah yang menyatakan bahwa orang Muslim baru dari Makkah tidak akan diberi perlindungan di Madinah. Jadi, Mereka sendiri yang membatalkan syarat bahwa Muslim yang datang ke Madinah harus dikembalikan. Mereka berkata, “Baiklah, silakan Anda menerima mereka.”

Rasulullah saw. menerima permohonan ini dan mengirim surat kepada Abu Bashir dan Abu Jandal memberitahukan bahwa karena Quraisy telah dengan sukarela mengubah perjanjian, maka sekarang mereka harus datang ke Madinah. [Beliau saw. bersabda], “Kalian datanglah ke Madinah.” Ketika utusan Rasulullah saw. tiba di Saiful Bahr, saat itu Abu Bashir sedang terbaring sakit dan keadaannya sudah kritis. Abu Bashir memegang surat beberkat dari Rasulullah saw. dengan penuh kerinduan di tangannya dan tak lama kemudian dalam kondisi itu beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Abu Bashir wafat, dan setelah itu Abu Jandal dan para sahabatnya menguburkan pemimpin mereka yang berani dan ksatria itu di Saiful Bahr, lalu dengan perasaan campur aduk antara gembira dan sedih mereka menghadap Rasulullah saw.. Mereka bersedih karena pemimpin mereka yang pemberani, Abu Bashir, yang menjadi pahlawan dalam kejadian ini, menjadi luput untuk mencium kaki Rasulullah saw., namun juga gembira karena mereka sendiri telah sampai di kaki tuan mereka dan terbebas dari pertempuran berdarah dengan Quraisy.

Sejarawan non-Muslim seperti biasa memutarbalikkan sejarah untuk mengkritik Islam. Terkait Perjanjian Hudaibiyah juga ditemukan keberatan dari sejarawan Kristen. Mengenai hal ini, Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis:

Mungkin tidak ada kejadian penting dalam sejarah hidup Rasulullah saw. yang dibiarkan tanpa kritik oleh sejarawan Kristen, dan peristiwa Perjanjian Hudaibiyah juga termasuk dalam sasaran kritikan mereka. Dengan mengabaikan beberapa keberatan tambahan mereka yang tidak terlalu penting, penulis-penulis Kristen telah mengajukan dua keberatan tentang Perjanjian Hudaibiyah:

Pertama, bahwa keputusan Rasulullah saw. untuk mengecualikan wanita dari syarat-syarat Perjanjian Hudaibiyah tidaklah dibenarkan menurut perjanjian karena kata-kata dalam perjanjian itu bersifat umum yang mencakup laki-laki dan perempuan.

Kedua, keberatan bahwa dalam kejadian Abu Bashir, Rasulullah saw. melanggar semangat perjanjian, bahkan dengan memberi isyarat kepada Abu Bashir bahwa alih-alih kembali ke Makkah, ia bisa membentuk kelompok terpisah dan melakukan pekerjaannya sendiri, jadi saw. beliau melanggar perjanjian tersebut.

Dalam menjawab kritik-kritik ini, hal pertama yang harus diingat adalah bahwa perjanjian ini dibuat dengan Quraisy Makkah, kaum yang sejak awal Islam telah berperang melawan Rasulullah saw., dan ketika perjanjian sedang dibuat, kita melihat bagaimana utusan Quraisy menekan Rasulullah saw. bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun. Bagaimanapun, mereka adalah kaum yang terbiasa mengkritik dan mencela dalam segala hal. Mereka juga bukan bangsa asing yang jauh, melainkan kaum Rasulullah saw. sendiri yang mengetahui semua keadaan dengan baik. Orang-orang Quraisy, pihak yang membuat perjanjian, adalah orang-orang sebangsa beliau saw. sendiri, yakni dari kaum Rasulullah saw. sendiri. Mereka mengetahui segala sesuatunya dan mereka telah sengaja membuat perjanjian secara sangat rinci. Karena itu, mengatakan bahwa wanita dan pria termasuk – mereka sudah tahu apakah termasuk atau tidak termasuk.

Selanjutnya Hz. Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis: Semua rincian syarat-syarat perjanjian dan latar belakang lengkapnya ada di depan mata mereka. Jadi ketika Quraisy Makkah, yang merupakan pihak dalam perjanjian, mereka tidak mengkritik tindakan Rasulullah saw. ini, dan tidak menganggapnya bertentangan dengan perjanjian, maka bagaimana mungkin orang-orang yang mengkritik ini, yang datang 1300 tahun kemudian, yang mana hal-hal kecil tersembunyi pun luput dari pandangan mereka, dan mereka tidak sepenuhnya mengetahui latar belakang perjanjian ini, bisa mendapatkan hak untuk mengkritik? Kaum musyrik itu sendiri tidak mengkritik. Para orientalis masa kini yang mengkritik Islamlah yang melontarkan keberatan ini.

Ini adalah kasus di mana “penggugat lemah dan saksi kuat”, yakni mereka yang terlibat dalam seluruh peristiwa ini justru menganggapnya benar dan tetap diam, tetapi orang-orang yang datang setelah 1300 tahun seolah-olah mengangkat langit di atas kepala mereka. Apa alasan di balik ini bahwa meskipun Al-Qur’an dan Hadis serta sejarah Arab penuh dengan keberatan-keberatan yang diajukan oleh kaum kafir Makkah dan kafir Arab lainnya terhadap Rasulullah saw. dan Islam, namun tidak ada tempat yang menyebutkan bahwa umat Islam dituduh melanggar perjanjian Hudaibiyah. Selama waktu yang lama, tidak ada keberatan yang diajukan. Hari ini mereka baru menyadari bahwa mereka harus mengajukan keberatan.

Selain itu, terbukti dengan kesaksian yang paling kuat bahwa ketika setelah Perjanjian Hudaibiyah Rasulullah saw. mengirim surat tablig kepada Kaisar Romawi, dan kebetulan Abu Sufyan bin Harb, pemimpin Makkah juga sedang berada di Syam, dan Heraklius Kaisar Romawi memanggilnya ke istananya dan mengajukan beberapa pertanyaan tentang Rasulullah saw., salah satunya adalah, “Apakah orang yang mengaku nabi dari kaummu ini pernah melanggar perjanjian?” Maka dalam menjawab pertanyaan ini, Abu Sufyan yang saat itu adalah pemimpin para penentang dan musuh Islam yang paling keras, mengatakan:

“Tidak. Muhammad (saw.) tidak pernah melanggar perjanjian apapun. Ya, saat ini kami memiliki perjanjian dengannya yang sedang berjalan, dan aku tidak bisa mengatakan apa yang akan terjadi dari pihaknya sampai perjanjian ini berakhir.” Abu Sufyan mengatakan bahwa dalam seluruh percakapan ini, tidak ada kesempatan lain baginya selain menambahkan kalimat ini untuk mencoba menimbulkan keraguan di hati Heraklius terhadap Rasulullah saw..

Percakapan antara Abu Sufyan dan Heraklius ini tidaklah terjadi segera setelah Perjanjian Hudaibiyah, melainkan pasti membutuhkan waktu untuk mempersiapkan dan mengirim surat tablig dari Rasulullah saw. kepada Heraklius, lalu surat itu sampai ke Heraklius, kemudian Heraklius mengadakan pertemuan di istananya dan mencari serta mengundang Abu Sufyan ke istananya, karena perjalanan juga tidak mudah di masa itu, dan masuk akal bahwa pada saat itu, kejadian Abu Bashir melarikan diri ke Madinah, dan peristiwa Ummu Kultsum serta wanita-wanita Muslim lainnya yang keluar dari Makkah dan tiba di Madinah sudah terjadi. Itulah sebabnya semua sejarawan menyebutkan peristiwa Abu Bashir dan Ummu Kultsum terlebih dahulu dan kemudian peristiwa surat kepada Kaisar Romawi. Namun meskipun demikian, di istana Heraklius, Abu Sufyan tidak bisa menuduh Rasulullah saw. melanggar perjanjian, meskipun kata-katanya menunjukkan bahwa ia berharap akan dilakukan olehnya jika ada kesempatan. Akan tetapi, para kritikus yang lahir 1300 tahun kemudian tidak merasa takut kepada Allah ketika menuduh Rasulullah saw. melanggar perjanjian. Sungguh sangat disayangkan.

Terkait:   Kehidupan Hadhrat Rasulullah SAW (III) : Ekspedisi di Masa-Masa Awal

Kemudian jika kita masuk ke rincian keberatan-keberatan ini, kelemahan di dalamnya menjadi semakin jelas. Misalnya, kritik pertama adalah bahwa sebenarnya perjanjian itu mencakup laki-laki dan perempuan, tetapi Rasulullah saw. secara paksa mengecualikan wanita. Tetapi seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, kritik ini sama sekali salah dan tidak berdasar karena kata-kata dalam perjanjian yang diriwayatkan dalam riwayat paling sahih dengan jelas menyebutkan bahwa yang dimaksud dalam perjanjian hanya laki-laki, bukan laki-laki dan perempuan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Shahih Bukhari tertera kata-kata perjanjian sebagai berikut:

لَا یَاْتِیْکَ مِنَّا رَجُلٔ وَاِنْ کَانَ عَلیٰ دِیْنِکَ اِلَّا رَدَدْتَہ اِلَیْنَا

(Tidak ada seorang laki-laki pun dari kami yang datang kepadamu, meskipun ia mengikuti agamamu, kecuali engkau mengembalikannya kepada kami)

Dengan adanya kata-kata yang jelas dan tidak diragukan ini, maka melontarkan keberatan bahwa sebenarnya perjanjian itu mencakup laki-laki dan perempuan, bukan hanya tidak adil tetapi juga sangat tidak jujur. Dan jika dikatakan bahwa dalam beberapa riwayat sejarah, dalam kata-kata perjanjian tidak disebutkan kata “rajul” (laki-laki) melainkan menggunakan kata-kata umum yang bisa mencakup laki-laki dan perempuan, maka jawabannya adalah pertama, bagaimanapun riwayat yang kuat harus didahulukan, dan ketika dalam riwayat paling sahih menyebutkan kata “rajul” yaitu laki-laki, maka harus dianggap sebagai kata yang benar.

Selain itu, kata-kata yang muncul dalam riwayat sejarah, jika diperhatikan, juga mendukung penjelasan yang telah diberikan. Misalnya dalam kitab sejarah yang paling masyhur dan dikenal, Sirah Ibnu Hisyam, tercatat kata-kata:

مَنْ آتیٰ مُحَمَّدًا مِنْ قُرَیْش بِغَیْرِ اِذْنِ وَلِیِّہ رَدَّہ عَلَیْھِمْ

(Siapa saja dari Quraisy yang datang kepada Muhammad (saw.) tanpa izin walinya, akan dikembalikan kepada mereka)

Dalam kata-kata Bahasa Arab ini, memang kata “laki-laki” tidak disebutkan secara jelas, tetapi orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendasar sekalipun tahu bahwa dalam bahasa Arab, berbeda dengan beberapa bahasa lain, digunakan bentuk kata dan kata ganti yang berbeda untuk perempuan dan laki-laki, dan dalam kalimat di atas dari awal hingga akhir digunakan bentuk kata dan kata ganti untuk laki-laki. Maka sebagaimana prinsip penafsiran bahasa dalam suatu perjanjian, dalam kalimat ini hanya laki-laki yang dianggap termasuk di dalamnya, bukan wanita beserta laki-laki.

Memang kadang-kadang dalam percakapan umum, bentuk laki-laki digunakan untuk mengartikan baik laki-laki maupun perempuan, tetapi jelas bahwa kalimat yang sedang dibahas bukanlah jenis kalimat seperti itu, melainkan kalimat perjanjian yang memiliki status hukum, yaitu kedudukan yang lebih tinggi, karena setiap katanya ditempatkan dengan pemikiran dan pertimbangan, dan pemilihan kata-kata dilakukan setelah permintaan dan persetujuan kedua belah pihak. Oleh karena itu, dalam kalimat seperti itu harus diambil makna yang paling terbatas dan yang lebih khusus. Adapun kisah keberatan dari utusan Quraisy dan rinciannya telah Anda dengar dalam khotbah sebelumnya, betapa rincinya utusan orang-orang kafir dalam hal mempersoalkan isi perjanjian. Jadi dari segi ini pun kesimpulannya tetap sama bahwa perjanjian ini hanya mencakup laki-laki, bukan laki-laki beserta perempuan.

Selain itu, seperti yang telah dijelaskan bahwa wanita yang merupakan golongan yang lebih lemah, dan umumnya bergantung pada belas kasih suami atau kerabat laki-lakinya, jika mengembalikan mereka, ini berarti mengembalikan mereka dengan tangan sendiri menuju ke kekufuran dan kemusyrikan setelah memeluk Islam, yang bukan hanya ini jauh dari asas kasih sayang tetapi juga jauh dari asas keadilan. Memang, dalam mengembalikan seorang laki-laki pun ada bahayanya, yakni orang-orang kafir Makkah akan menyiksanya dengan berbagai cara, tetapi laki-laki tetaplah laki-laki. Ia tidak hanya bisa lebih bertahan menghadapi kesulitan, tetapi juga bisa mencari jalan keluar dengan bersembunyi, melarikan diri, atau membentuk kelompok tersendiri seperti yang dilakukan Abu Bashir. Tetapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang wanita yang tak berdaya? Baginya dalam kondisi seperti itu hanya ada dua pilihan: Terpaksa meninggalkan Islam atau mati.

Dalam keadaan seperti ini, sangatlah jauh dari sifat mulia Rasulullah saw. yang penuh kasih sayang untuk mengembalikan wanita-wanita Muslim yang tak berdaya kepada orang-orang kafir yang zalim. Jadi apa yang dilakukan bukan hanya benar dan tepat menurut kata-kata perjanjian, tetapi juga tepat dan benar menurut prinsip keadilan dan kasih sayang yang diakui, dan bagi para pengkritik tidak ada yang tersisa selain rasa malu yang menyedihkan karena mereka bahkan tidak segan mengkritik upaya melindungi wanita-wanita yang tertindas dan tak berdaya.

Kritik kedua berkaitan dengan kejadian Abu Bashir. Tetapi setelah dipertimbangkan, kritik ini juga terbukti sama sekali lemah. Memang Rasulullah saw. telah membuat perjanjian bahwa siapa saja dari orang kafir Makkah yaitu laki-laki yang melarikan diri ke Madinah, meskipun ia Muslim, tidak akan diberi perlindungan di Madinah dan akan dikembalikan. Tetapi pertanyaannya adalah apakah Rasulullah saw. melanggar perjanjian ini? Sama sekali tidak. Bahkan beliau saw. menunjukkan contoh yang sempurna dan luar biasa dalam memenuhi perjanjian ini, yang dunia tidak mampu menandinginya.

Perhatikan bahwa Abu Bashir, setelah yakin akan kebenaran Islam, melarikan diri dari Makkah. Untuk melindungi diri dari penganiayaan orang-orang kafir dan menyelamatkan keimanannya, ia melakukan perjalanan secara sembunyi-sembunyi sampai tiba di Madinah, tetapi kerabatnya yang zalim juga mengejarnya dan ingin membawanya kembali secara paksa dengan ancaman pedang untuk menyimpangkannya dari kebenaran Islam. Atas hal ini, kedua pihak menghadap Rasulullah saw..

Dengan suara bergetar dan sikap takut, Abu Bashir berkata, “Wahai Rasulullah saw.! Allah telah menganugerahkan saya nikmat Islam dan Anda tahu penderitaan dan bahaya yang menghadang saya jika kembali ke Makkah. Demi Allah, jangan kembalikan saya.” Tetapi sebaliknya, kerabat Abu Bashir menuntut kepada Rasulullah saw., “Ada perjanjian antara Anda dan kami bahwa siapa pun dari kami yang datang ke Madinah akan dikembalikan”.

Kesedihan Abu Bashir dan semangat para sahabat ada di hadapan mata Rasulullah saw., dan perasaan beliau sendiri sangat bergejolak dalam hati. Namun sosok yang penuh kejujuran dan amanah ini tetap teguh seperti batu karang pada janjinya dan bersabda dengan sabda-sabda yang begitu indah:

“Wahai Abu Bashir, engkau tahu bahwa kita telah memberikan janji kepada mereka dan dalam agama kita melanggar janji tidaklah diperbolehkan”. Perhatikanlah, meskipun saat itu nyawa seseorang dipertaruhkan, namun beliau saw. bersabda bahwa dalam agama kita melanggar janji tidak diperbolehkan. Sekarang kita yang sering melanggar janji-janji kecil perlu merenungkan bagaimana keadaan keimanan kita.

Kemudian beliau saw. bersabda, “Maka pergilah bersama mereka. Kemudian jika engkau bersabar dan tetap teguh dalam Islam, maka Allah akan membuka jalan keselamatan untuk engkau dan untuk Muslim lain yang tidak berdaya seperti engkau.” Selanjutnya kita telah melihat jalan keselamatan itu kemudian terbuka.

Atas sabda Nabi saw. ini, Abu Bashir kembali bersama orang-orang Makkah, dan ketika ia kembali setelah mengalahkan orang-orang yang hendak menangkapnya dalam pertempuran di jalan menuju Makkah, Rasulullah saw. begitu melihatnya langsung bersabda dengan marah:

وَيْلُ أُمِّهِ مِسْعَرَ حَرْبٍ لَوْ كَانَ لَهُ أَحَدٌ

Yakni, “Celakalah ibunya, orang ini menyalakan api peperangan, andai saja ada yang bisa mengendalikannya.”

Mendengar kata-kata ini, Abu Bashir yakin bahwa Rasulullah saw. bagaimanapun akan mengembalikannya, maka ia diam-diam keluar dari Madinah dan membuat tempat tinggal di tempat yang terpisah dan jauh. Sekarang, jika kita melihat seluruh kejadian ini dengan pandangan adil, apa tanggung jawab yang dibebankan pada Rasulullah saw. dan kritik apa yang bisa dilontarkan kepada beliau saw.? Kenyataannya, beliau saw. telah memenuhi perjanjian seraya menekan perasaannya sendiri, dan bukan hanya sekali tetapi dua kali mengembalikan Abu Bashir, dan mengembalikannya dengan kata-kata yang begitu mulia yang tak ada bandingannya dalam sejarah dunia. Rasulullah saw. menekan perasaannya sendiri, perasaan para sahabatnya, dan perasaan Abu Bashir, dan dalam segala keadaan memenuhi perjanjian.

Terkait:   Riwayat Umar bin Khattab (Seri 12)

Lalu jika Abu Bashir sendiri setelah bebas dari penduduk Makkah pergi ke tempat lain, apa kritik yang bisa dilontarkan kepada Rasulullah saw. tentang hal ini, dan syarat perjanjian mana yang mengharuskan beliau saw. bertanggung jawab untuk mengembalikan ke Makkah seseorang yang melarikan diri dari Makkah di mana pun ia berada? Sungguh disayangkan musuh-musuh Islam tidak berlaku adil kepada Islam dalam hal apapun.

Jika ada keberatan yang diajukan bahwa Rasulullah saw. bisa saja mengirimkan perintah kepada Abu Basir di kamp yang didirikannya untuk kembali ke Madinah, dan bahwa karena beliau saw. tidak melakukannya, maka seolah-olah beliau saw. telah melanggar ruh perjanjian meskipun tidak kata-katanya, ini juga merupakan sebuah keberatan yang lemah. Kritik ini juga merupakan kritik yang sepenuhnya berasal dari kebodohan, dan kata-kata perjanjian sendiri serta ruh dari kata-kata tersebut menolaknya. Syarat perjanjian bahwa jika ada penduduk Makkah yang Muslim melarikan diri dan tiba di Madinah maka Rasulullah saw. akan mengembalikannya, jelas membuktikan bahwa maksud dan tujuan syarat ini adalah bahwa orang seperti itu, meskipun Muslim, tidak akan diterima dalam lingkup politik Islam Madinah – yaitu meskipun secara keyakinan ia Muslim, tetapi Rasulullah saw. tidak akan melibatkannya dalam politik Madinah. Jadi ketika orang seperti itu sendiri dinyatakan di luar politik Islam Madinah berdasarkan syarat-syarat perjanjian, bagaimana bisa ada tuntutan bahwa di mana pun ia berada Rasulullah saw. akan memberinya perintah untuk kembali?

Maka betapa besar kezaliman ini bahwa jika Rasulullah saw. menahan orang seperti itu di Madinah, beliau saw. dikritik bahwa ada perjanjian bahwa meskipun Muslim, beliau saw. tidak akan memasukkannya dalam politik beliau saw., dan jika beliau saw. mengeluarkannya dari politik Madinah dan menyerahkannya kepada penduduk Makkah serta mengeluarkannya dari Madinah, maka muncul kritik mengapa beliau saw. tidak mengirim perintah dengan memasukkannya dalam politik beliau saw.. Maka dari segi politik, ini merupakan kritik yang sangat lemah dan tidak berarti sehingga orang yang berakal tidak bisa memperhatikannya.

Kenyataannya, syarat yang tidak masuk akal ini yang dimasukkan oleh orang-orang kafir dalam perjanjian bahwa tidak memberikan perlindungan kepada muhajir Muslim di Madinah, Allah menjadikannya sebagai azab bagi mereka dengan menunjukkan bahwa, “Rasul kami bagaimanapun mematuhi perjanjian tetapi kalian menanam duri di jalan kalian sendiri dan melukai tangan kalian dengan senjata yang kalian buat sendiri. Ketika kalian sendiri mengatakan bahwa pemuda Makkah mana pun yang masuk Islam dan pergi ke Madinah, Rasulullah saw. tidak akan menahannya di Madinah dan ia akan dianggap di luar politik Madinah, maka bagaimana bisa dengan mulut yang sama, kalian menuntut bahwa orang-orang yang berada di luar politik Madinah ini, di mana pun mereka berada, Rasulullah saw. harus memberi mereka perintah dan menegakkan politik beliau saw. atas mereka untuk mengirim mereka ke Makkah? Ini benar-benar perkataan bodoh. Kalian sendiri mengajukan syarat ini bahwa Rasulullah saw. boleh memerintah ruh-ruh mereka dan urusan-urusan akhirat mereka, tetapi tidak boleh menjadi penguasa atas politik dan urusan dunia mereka. Dari segi politik, pemerintahan dan hukum, beliau saw. tidak akan memiliki hak atas mereka. Ya, memang mereka Muslim, secara rohani mereka masuk dalam baiat Rasulullah saw., masuk Islam, dan disebut Mukmin. Tetapi kalian sendiri membuat syarat bahwa secara politik mereka bukan milik beliau saw., yang syarat ini beliau saw. terima. Yakni, baiklah, mereka tidak akan menjadi milik beliau saw. [secara politik]. Lantas ketika kalian sendiri mengeluarkan mereka dari politik Rasulullah saw., maka apa dasar kritik terhadap Rasulullah saw.?”

Bagaimanapun ini adalah tipu daya Quraisy Makkah yang berbalik menimpa mereka sendiri, dan tangan Rasulullah saw. tetap suci dalam segala keadaan. Beliau saw. memenuhi kata-kata perjanjian dengan menyerahkan Abu Bashir kepada orang-orang Makkah dan melepaskannya dari Madinah, dan beliau saw. juga memenuhi semangat perjanjian sesuai dengan maksud asli syarat ini – beliau saw. menempatkan Abu Bashir dan para pengikutnya di luar lingkup politik beliau saw.. Maka beliau saw. tetap benar dalam segala aspek dan orang-orang kafir Makkah terjerat dalam jaring yang mereka bentangkan sendiri dan akhirnya dengan merendah datang kepada beliau saw. mengatakan bahwa mereka mengeluarkan syarat ini dari perjanjian.

Mengatakan bahwa dengan kata-kata

وَيْلُ أُمِّهِ مِسْعَرَ حَرْبٍ لَوْ كَانَ لَهُ أَحَدٌ

(Celakalah ibunya, orang ini menyalakan api peperangan, andai saja ada yang bisa mengendalikannya), Rasulullah saw. memberi isyarat kepada Abu Bashir – ini juga merupakan kritik bahwa dengan kata-kata ini beliau saw. memberi isyarat kepada Abu Bashir untuk membentuk kelompok terpisah dan memulai perang dengan Quraisy. Betapa zalim dan betapa buruk pemikiran ini dan betapa bodohnya terhadap situasi yang terjadi. Kata-kata ini justru merupakan bukti jelas kejujuran Rasulullah saw. dan ketidaksukaan beliau saw. terhadap perang yang tidak perlu. Beliau saw. berkata “Apakah orang ini ingin memicu perang?” bukan memberi isyarat “Piculah perang.” Hal ini membuktikan bahwa beliau saw. menyatakan ketidaksetujuan dan ketidaksukaan terhadap tindakan Abu Bashir, bukan memberinya isyarat rahasia untuk menghasut perang.

Jika seseorang berpikir, seperti Sir William Muir, bahwa kata-kata terakhir Rasulullah saw. “لَوْ كَانَ لَهُ أَحَدٌ” bisa juga berarti ‘jika ia mendapat teman’ dan ini menunjukkan bahwa maksud beliau saw. adalah jika Abu Bashir mendapat teman maka ia bisa menyalakan api perang, dan dengan demikian dalam ucapan ini seolah-olah terdapat isyarat untuk memicu perang.

Maka jawabannya adalah pertama, makna yang kami berikan sesuai dengan idiom Arab yang telah kami jelaskan dalam sejarah, yang contoh-contohnya banyak ditemukan dalam hadits. Selain itu, kalaupun diambil makna kedua seperti yang ingin dilakukan William Muir, maka tetap saja berdasarkan konteks kalimat, makna frasa ini tidak bisa diambil selain bahwa jika Abu Bashir mendapat teman sepaham maka ia akan menyalakan api perang, tetapi syukurlah ia tidak mendapat teman seperti itu di Madinah. Jadi ini juga bukan berarti “jika ia mendapat teman, maka baiklah, tetapi kita tidak punya teman yang bisa membantunya.”

Alhasil, bagaimanapun maknanya diambil, konteks kalimat dan bagian awalnya memberikan bukti yang cukup bahwa maksud Rasulullah saw. adalah mencela Abu Bashir, bukan menghasutnya untuk berperang. Bagaimana mungkin seseorang yang memulai ucapannya dengan kata-kata marah dan celaan “Celakalah ibunya, ia ini menyalakan api perang”, setelah kata-kata itu, mungkinkah beliau saw mengatakan “Ya, ya! Nyalakanlah api perang”? Pada akhirnya, dalam semangat mengkritik, hendaknya tidak boleh kehilangan akal sehat. Tetapi para orientalis ini, meskipun secara lahiriah mereka mengaku terpelajar, ketika menyangkut pribadi Rasulullah saw. dan sejarah Islam, mereka mulai berbicara hal-hal yang sama sekali tidak masuk akal.

Kemudian hal terpenting yang harus dilihat adalah bagaimana pengaruh kata-kata Rasulullah saw. ini terhadap Abu Bashir sendiri dan apa yang ia pahami sebagai maksud beliau saw.. Tentang hal ini, dalam riwayat yang sama tertulis:

فلما سمع ذلك عرف أنه سيرده إليهم

“Falammā sami’a żālika ‘arafa annahu sayarudduhu ilaihim”

Yakni, “Ketika Abu Bashir mendengar ini, ia memahami bahwa beliau saw. pasti akan mengembalikannya kepada mereka.”

Atas hal ini, ia diam-diam melarikan diri ke arah lain.

Sangat disayangkan bahwa orang yang diajak bicara dengan kata-kata ini sendiri memahami maknanya bahwa Rasulullah saw. tidak menyukai tindakannya dan bahwa beliau saw. bagaimanapun akan mengembalikannya ke Makkah, tetapi para kritikus “dermawan” ini, yang datang 1300 tahun kemudian, mengatakan bahwa sebenarnya beliau saw. menghasut Abu Bashir untuk membentuk kelompok terpisah dan untuk berperang. Semoga saja kebencian ini menjadi sirna. Ketidakadilan pun seharusnya ada batasnya.

Inilah standar ganda dari mereka yang mengaku sebagai penegak keadilan, yang sejak dulu telah menciptakan kekacauan di dunia dan kekacauan ini masih berlanjut hingga hari ini. Semoga Allah Taala memberikan akal sehat kepada dunia hari ini, terutama kepada kaum Muslimin, dan juga melindungi mereka dari fitnah-fitnah dajal ini.[1]


[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.