Dengan karunia Allah swt, kami Ahmadiyah adalah orang-orang yang beragama Islam, kami mempunyai keyakinan bahwa agama Islam itulah satu agama yang sempurna yang tidak akan dimansukhkan lagi sampai hari kiamat. Siapa saja yang tidak mengikuti Islam, maka kepercayaannya tidak benar dan agamanya yang lain itu tidak akan dikabulkan.
Allah ta‘ala berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan, siapa saja yang memilih selain Islam sebagai agama, maka darinya tidak diterima dan di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi (Ali Imran, 3: 86).
Al-Quranul-Majid adalah firman Allah yang suci dan Sayyidina Muhammad saw adalah berpangkat Khãtaman-Nabiyyĩn. Tidak ada kitab (syari’at) baru lagi atau Nabi yang membawa agama baru sesudah beliau itu.
Rukun Islam
Rukun Islam kami ada lima perkara:
- Mengucapkan dua Kalimah Syahadat, yaitu:
أَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ
Saya menyaksikan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah, kecuali Allah; dan saya menyaksikan bahwa Muhammad itu pesuruh Allah.
2. Mendirikan shalat lima waktu dalam sehari-semalam.
3. Berpuasa pada bulan Ramadhan.
4. Membayar Zakat kalau sudah cukup nishab.
5. Naik haji ke Mekkah Al-Mukarramah kalau mampu.
Sehubungan dengan Rukun Islam tersebut, kami kutipkan beberapa sabda Pendiri Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam sebagai berikut:
Dua Kalimah Syahadat
Sehubungan dengan Rukun Islam pertama, beliau ‘alaihis-salam bersabda,
“Aku ingin memperkenalkan diriku kepada mereka sebagai saksi keberadaan Tuhan.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 307, Cet.Add. Nazhir Isyaat 1984).
“Diriku yang lemah telah diutus ke dunia untuk menyampaikan pesan Tuhan dan menyatakan bahwa di antara semua agama yang ada saat ini satu-satunya yang benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan adalah yang dikemukakan oleh Al-Quran dan Laa ilaaha illallaahu Muhammadur Rasuulullaah – Tidak ada tuhan, kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah adalah pintu untuk memasuki Rumah Keselamatan.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 132, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)
Menegakkan Shalat
Sehubungan dengan Rukun Islam kedua, beliau ‘alaihis-salam bersabda,
“Salah satu arti dari surat Al-Fatihah ialah yang menaklukkan. Dia itu membuktikan bahwa seseorang beriman atau ingkar. Dengan kata lain, dia membedakan antara dua hal tersebut. Dia membukakan hati dan memberikan pengertian. Itulah sebabnya surat Al-Fatihah harus dibaca begitu sering dan seseorang harus menghayati doa ini dengan khusyuk. Dia menjadikan seseorang betul-betul seperti seorang pengemis dan sangat membutuhkan. Sebagaimana seorang pengemis merendahkan dirinya dan meminta kemurahan dengan menunjukkan dia sangat membutuhkan atau dengan mengubah nada suaranya, seseorang hendaknya merendah dan kemudian memohon kepada Tuhan agar mencukupi kebutuhannya. Shalat tidak dapat dinikmati sepenuhnya, kecuali oleh orang yang merendahkan dirinya saat shalat dan menjadikannya sebagai sarana permohonannya.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 145, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).
“Masalahnya adalah bahwa tatkala manusia bersih dari gejolak nafsu serta meninggalkan egonya lalu berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan, maka tidak ada perbuatannya yang tidak benar. Bahkan setiap perbuatannya selaras dengan kehendak Tuhan.” (Malfuzhat, Jld. I, hal. 14-15, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).
Selanjutnya beliau ‘alaihis-salam menerangkan,
“Apa yang dimaksud dengan shalat? Shalat merupakan suatu doa khusus. Akan tetapi kebanyakan orang menganggapnya sebagai uang pajak bagi raja-raja. Orang yang tidak paham, sebegitu pun tidak tahu, apalah perlunya perkara-perkara itu bagi Allah ta’ala. Kemaha-Cukupan-Nya mana pula memerlukan supaya manusia sibuk dalam doa, tasbih dan tahlil. Justru di dalamnya terdapat manfaat bagi manusia sendiri, bahwa dengan cara demikian ia dapat mencapai tujuannya. Aku sangat sedih menyaksikan bahwa pada masa kini tidak ada kecintaan terhadap ibadah dan kerohanian. Penyebabnya adalah suatu kebiasaan umum yang beracun. Karena faktor itulah kecintaan terhadap Allah ta’ala menjadi beku. Dan kenikmatan yang seharusnya timbul di dalam ibadah, ternyata kenikmatan itu sudah tidak ada lagi.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 159-160, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).
“Shalat merupakan alat untuk menghindarkan diri dari dosa. Shalat memiliki khasiat untuk menjauhkan manusia dari dosa dan perbuatan buruk. Oleh sebab itu, carilah oleh kalian shalat yang demikian. Berusahalah untuk menjadikan shalat-shalat kalian seperti itu. Shalat merupakan ruh/jiwa segala kenikmatan. Karunia Allah ta’ala datang melalui shalat yang seperti itu. Jadi, kerjakan shalat dengan khusyuk, supaya kalian menjadi pewaris nikmat Allah ta’ala.” (Malfuzhat, Jld. V, hal. 126; Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).
“Shalat adalah sesuatu yang di dalamnya harus terdapat keperihan dan keharuan. Dan, manusia berdiri di hadapan Allah ta’ala dengan sikap penuh sopan. Tatkala manusia sebagai hamba lalu bersikap tidak peduli, maka Dzat Tuhan adalah Ghani (Maha Cukup dan Tidak Membutuhkan). Setiap umat akan tetap bertahan selama di dalamnya terdapat perhatian ke arah Allah ta’ala. Akar iman pun adalah shalat. Sebagian orang yang tidak paham mengatakan: Apa perlunya shalat ini bagi Tuhan? Wahai orang-orang yang tidak mengerti, Tuhan memang tidak memerlukannya, tetapi kalianlah yang memerlukan agar Allah ta’ala memberi perhatian kepada kalian. Pekerjaan-pekerjaan yang berantakan, akan menjadi benar kembali, karena mendapat perhatian dari Tuhan. Shalat menjauhkan ribuan kesalahan dan merupakan sarana untuk meraih kedekatan Ilahi.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 378, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).
Bahkan beliau ‘alaihis-salam menyatakan bahwa shalat itu merupakan sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya.
Beliau ‘alaihis-salam bersabda:
فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَرْكَبٌ يُوْصِلُ الْعَبْدَ اِلىَ رَبِّ الْعِبَادِ
Maka, sesungguhnya shalat itu adalah sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya para hamba itu.” (I’jazul-Masich, hal. 164)
Maka dari itu, shalat lebih utama dikerjakan pada awal waktunya karena shalat itu merupakan karunia kesempatan dan sarana efektif yang dapat mengantarkan seseorang ke hadapan Tuhannya.
Beliau ‘alaihis-salam bersabda:
وَمِنْ أَفْضَلِ الْعِبَادَاتِ أَنْ يَكُوْنَ اْلإِنْسَانُ محُـَافِظًا عَلَى الصَّلَوَاتِ الخْـَمْسِ ِفيْ أَوَائِلِ أَوْقَاتِهَا
Dan termasuk keutamaan ibadah, jika manusia menjaga shalat yang lima pada awal waktunya.” (I’jazul-Masich, hal. 163-164).
Pernyataan beliau ‘alaihis-salam ini sesuai dengan sabda Hadhrat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Hadits beliau:
أَفْضَلُ اْلأَعْمَالِ الصَّلاَةُ ِفيْ أَوَّلِ وَقْتِهَا
Yang paling utama dari amalan itu adalah shalat yang dilaksanakan pada awal waktunya.” (HR Abu Daud, At-Turmudzi, dan Al-hakim dalam Al-Mustadrak—dari Hadhrat Ummu Fardah radhiyallaahu ‘anhu; dan Kanzul-Umal, Juz VII/18900)
Puasa Bulan Ramadhan
Sehubungan dengan Rukun Islam ketiga, beliau ‘alaihis-salam bersabda,
“Masalah ketiga, yang merupakan Rukun Islam adalah Puasa. Kebanyakan orang tidak mengetahui sedikitpun akan hakikat puasa. Pada dasarnya orang yang tidak pernah pergi ke suatu negeri dan tidak kenal akan alam negeri itu, bagaimana mungkin dia dapat menjelaskan keadaan negeri tersebut? Puasa bukanlah sekedar suatu ibadah di mana manusia menahan lapar dan dahaga saja. Melainkan, puasa memiliki suatu hakikat serta pengaruh yang dapat diketahui melalui pengalaman. Di dalam fitrah manusia terdapat ketentuan bahwa semakin sedikit dia makan maka sedemikian pula akan terjadi tazkiyatun-nafs (penyucian jiwa). Dan potensi/kekuatan kasyfiyah pun bertambah. Maksud Allah ta’ala dalam hal itu adalah: kurangilah satu makanan jasmani dan tingkatkanlah makanan rohani. Orang yang berpuasa hendaknya senantiasa memperhatikan bahwa puasa bukanlah berarti supaya seseorang menahan lapar saja, melainkan mereka itu hendaknya sibuk dalam berzikir kepada Allah ta’ala, sehingga ia memperoleh tabattul (Surat Al-Muzammil, 73:9) dan inqithaa‘ ). Jadi, yang dimaksud dengan puasa adalah supaya manusia meninggalkan satu makanan yang hanya memberikan kelangsungan hidup bagi tubuh dan meraih makanan kedua yang dapat memberikan ketentraman dan kekenyangan bagi ruh. Dan, orang yang berpuasa semata-mata demi Allah ta’ala, bukan sebagai suatu adat kebiasaan, mereka itu hendaknya terus sibuk dalam sanjungan, tasbih dan tahlil kepada Allah ta’ala yang mana dari itu mereka akan memperoleh makanan kedua.” (Malfuzhat, Jld. IX, hal. 123, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).
“Puasa dan shalat, dua-duanya merupakan ibadah. Penekanan puasa pada tubuh, sedangkan penekanan shalat adalah pada ruh. Shalat menimbulkan suatu keperihan dan keharuan. Oleh sebab itu shalat lebih utama. Puasa menimbulkan kasyaf-kasyaf. Namun, kondisi demikian, juga kadang-kadang dapat dialami oleh para Yogi. Namun, keperihan/keharuan rohani yang timbul melalui doa-doa, tidak dialami oleh pihak lainnya.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 379, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).
“Puasa dan shalat itu akan tetap berupa amal selama di dalamnya terdapat usaha gigih melawan rasa was-was.” (Malfuzhat, Jld. I, hal. 29-30, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)
Membayar Zakat
Perintah Zakat berulang-ulang disebutkan dalam kitab suci Al-Quran, sedang penjelasannya secara rinci terdapat dalam Hadits-Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Taala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بهِـَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
Ambillah dari orang-orang beriman [yang bernaung di bawah pemerintah Islam] sedekah/zakat, agar engkau (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dapat membersihkan [hati mereka] dan juga engkau akan dapat membersihkan [harta benda (zakat)] mereka dari campuran harta orang lain dan doakanlah mereka.” (At-Taubah, 9: 104).
Sehubungan dengan rukun Islam keempat ini, beliau ‘alaihis salam pernah menetapkan tentang masalah zakat perhiasan. Sabda beliau,
“Perhiasan pakaian tidak wajib zakatnya. Perhiasan yang disimpan tapi kadang-kadang dipakai, zakatnya hendaknya dibayarkan juga. Pakaian dan perhiasan yang dipakai dan kadang-kadang dipinjamkan kepada orang-orang miskin, maka menurut fatwa sebagian ulama, tidak wajib zakatnya. Pakaian yang dipakai sendiri dan tidak dipinjamkan kepada orang lain, lebih baik dizakatkan karena dia dipakai untuk sendiri. Di rumah kami, inilah yang dilakukan dan tiap-tiap tahun kami mengeluarkan zakat perhiasan di rumah kami. Tapi, perhiasan yang disimpan, seperti uang, wajib zakatnya. Dalam hal ini tidak ada ikhtilaf (pertikaian pendapat).” (Majmu’ah Fatawa-e-Ahmadiyyah, Jil. I, hal.163; terjemahan Mln. Ahmad Nuruddin)
Menunaikan Ibadah Haji
Sehubungan dengan rukun Islam kelima, beliau ‘alaihis salam bersabda:
“Lihat, pergi menunaikan ibadah Haji dengan ikhlas dan kecintaan adalah perkara mudah. Namun, kembali dalam kondisi yang seperti itu adalah sulit. Banyak sekali orang yang pulang dalam keadaan gagal dan kalbunya menjadi keras. Penyebabnya adalah mereka tidak menemukan hakikat yang ada di sana. Melihat kekurangan-kekurangan, mereka langsung protes sehingga mereka luput dari karunia-karunia di sana akibat dari perbuatan buruk mereka sendiri, dan karena melontarkan tuduhan pada pihak-pihak lain. Oleh karena itu, adalah penting tinggal menetap bersama Utusan [Ilahi] untuk beberapa lama dengan hati tulus dan teguh supaya manusia menjadi sadar akan kondisi-kondisi batinnya dan supaya kebenaran itu menyinari sepenuhnya” (Malfuzhat, Jld. V. hal. 177, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).
“Kami tidak pernah membuat kalimah syahadat atau shalat atau ibadah Haji atau masjid sekecil apapun yang terpisah dari mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; tugas kami ialah untuk mengkhidmati agama Islam ini; dan memenangkan agama ini di atas semua agama lain serta mengikuti hukum-hukum Al-Quran yang mulia dan Hadits-hadits yang terbukti berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits paling lemah pun kami anggap wajib diamalkan dengan syarat tidak bertentangan dengan Al-Qur’an yang mulia; dan kami mengakui bahwa Hadis Al-Bukhari dan Muslim ialah ashahul-kutub sesudah Kitab Allah.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 138-139, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).
Berdasarkan kutipan dari beberapa buku Pendiri Jemaat Ahmadiyah tersebut, maka terlihat dengan jelas bahwa penjelasan Rukun Islam yang diajarkan dan ditegakkan dalam kehidupan setiap orang Ahmadiyah itu adalah sama persis dengan Rukun Islam yang diajarkan dan dicontohkan Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rukun Iman
Demikian juga Rukun Iman kami ada enam perkara:
1. Percaya kepada Allah Ta‘ala.
2. Percaya kepada para Malaikat-Nya.
3. Percaya kepada Kitab-kitab-Nya.
4. Percaya kepada Rasul-rasul-Nya.
5. Percaya kepada Hari kiamat.
6. Percaya kepada Takdir Allah Ta‘ala.
Inilah kepercayaan kami secara ringkas. Sekarang, kami hendak menjelaskan kepercayaan Ahmadiyah dengan mengambil keterangan dari beberapa tulisan Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam sendiri:
Beriman Kepada Allah
Berkenaan dengan Allah ta’ala Hazrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis salam bersabda:
إِنَّا نَحْنُ الْمُسْلِمُونَ نُؤْمِنُ بِاللهِ الْفَرْدِ الصَّمَدِ اْلأَحَدِ
Kami beragama Islam, kami beriman kepada Allah Yang Maha Esa, yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya Yang Maha Tunggal (Nurul-Haq, Juz I, hal. 6).
Sabdanya lagi:
وَإِنِّي أَعْتَقِدُ مِنْ صَمِيْمِ قَلْبِي أَنَّ لِلْعَالِمِ صَانِعًا قَدِيرًا وَاحِدًا كَرِيمًا مُقْتَدِرًا عَلَى كُلِّ مَا ظَهَرَ وَخَفَى
Saya berakidah dari lubuk hati yang dalam bahwa Allah adalah Yang menjadikan alam, Dia itu Esa, Maha Kuasa, Maha Mulia dan menguasai segala sesuatu yang nampak dan yang sembunyi (Mir’atu Kamalatil-Islam, hal. 384).
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
أَحَدٌ قَدِيمٌ قَائِمٌ بِوُجُودِهِ – لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلاَ الشُّرَكَاءَ
Allah itu Tunggal, Kekal, wujud-Nya berdiri sendiri, tidak beranak dan tidak bersyarikat (Anjami atam, hal. 267).
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
وَبِعِزَّةِ اللهِ وَجَلاَلِهِ إِنِّي آثَرْتُ وَجْهَ رَبِّي عَلَى كُلِّ وَجْهٍ وَبَابُه‘ عَلَى كُلِّ بَابٍ وَرَضَائُه‘ عَلَى كُلِّ رَضَاءٍ وَبِعِزَّتِهِ أَنَّه‘ مَعِي فِى كُلِّ وَقْتِي وَأَنَا مَعَه‘ فِى كُلِّ حِينٍ وَ آثَرْتُ دَوْلَةَ الدِّينِ وَهَيَ تَكْفِينِي وَلَوْ لَمْ يَكُنْ حَبَّةٌ لِتَجْهِيزِي وَتَكْفِينِي وَإِنِّي مُنْعَمٌ مَعَ يَدِ اْلإِمْلاَقِ وَفَارِغٌ مِنَ اْلأَنْفُسِ وَاْلآفَاقِ وَشَفَعَنِي رَبِّي حُبًّا وَأَشْرَبَ فِي قَلْبِي وَجْهَه‘وَأَنَا مِنْهُ بِمَنْزِلَةٍ لاَ يَعْلَمُهَا أَحَدٌ مِنَ الْعَالَمِينَ
Dengan kemuliaan Allah aku bersumpah bahwa aku mengutamakan keridhaan-Nya melebihi segala perkara dan pintu-Nya melebihi segala pintu lain; dan kesukaan-Nya melebihi kesukaan orang lain dan bahwa Dia beserta aku setiap waktu dan aku pun mengikuti-Nya dalam segala hal; dan aku telah mengutamakan kegiatan agama dan dialah yang mencukupi aku walaupun aku tidak mempunyai harta-benda duniawi apa pun; aku mendapatkan kenikmatan meski takada apa-apa di tangan; cinta kepada Tuhan tertanam di hatiku dan aku mendapatkan pangkat ruhani yang tidak dapat dikenal oleh manusia mana saja di masa sekarang (Tuhfatu Baghdad, hal. 19).
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
اَللهُ مُقْتَصِدُ مُهْجَتِي وَأُرِيدُه‘ – فِى كُلِّ رَشْحِ الْقَلَمِ اْلإِمْلاَقُ
Kepada Allah saja aku menuju; pada tiap-tiap waktu penaku bergerak
Iman Kepada Malaikat
Berkenaan dengan Malaikat-Nya Beliau ‘alaihis salam bersabda:
وَأَعْتَقِدُ إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً … وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَقَامٌ مَعْلُومٌ
Aku berakidah bahwa Allah mempunyai malaikat, … masing-masing dari mereka mempunyai martabat yang tertentu (Miratu Kamalatil-Islam, hal. 284)
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
وَ َإِنَّا نُؤْمِنُ بِمَلاَئِكَةِ اللهِ وَمَقَامَتِهِمْ وَصُفُوفِهِمْ وَنُؤْمِنُ بِأَنَّ نُزُولَهُمْ كَنُزُولِ اْلأَنْوَارِ لاَ كَنُزُولِ اْلإِنْسَانِ مِنَ الدِّيَارِ إِلَى الدِّيَارِ
Dan kami beriman kepada malaikat Allah dan dengan martabat mereka dan kami beriman bahwa turunnya mereka itu seperti turunnya nur, bukan seperti pindahnya manusia dari satu negeri ke negeri lain (Tuhfatu Baghdad, hal. 25).
Berkenaan dengan Kitab-kitab-Nya Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
وَبِعِزَّةِ اللهِ وَجَلاَلِهِ إِنِّي مُؤْمِنٌ مُسْلِمٌ أُومِنُ بِاللهِ وَكُتُبِهِ الخ
Aku bersumpah dengan kemuliaan Allah bahwa aku seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Kitab-kitab-Nya (Hamaamatul-Busyraa, hal. 13).
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
آمَنْتُ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
Aku beriman kepada Allah , Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya (Izaalatul-Auhaam, hal. 2).
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
اِشْهَدُوا إِنَّا نَتَمَسَّكُ بِكِتَابِ اللهِ الْقُرْآنِ وَنَتَّبِعُ أَقْوَالَ رَسُولِ اللهِ مَنْبَعَ الْحَقِّ وَالْعِرْفَانِ وَنَقْبَلُ مَا انَْعَقَدَ عَلَيْهِ اْلإِجْمَاعُ بِذَالِكَ الزَّمَانِ لاَنَزِيدُ عَلَيْهَا وَلاَ نَنْقُصُ مِنْهَا وَعَلَيْهَا نَحْيَ وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَمَنْ زَادَ عَلَى هَذِهِ الشَّرِيعَةِ مِثْقَالَ ذَرَّة أَوْ نَقَصَ مِنْهَا أَوْ كَفَرَ بَعَقِيدَةِ إِِجْمَاعِيَّةٍ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Bersaksilah kamu bahwa kami berpegang teguh kepada Kitab Allah Al-Quran dan kami mengikuti sabda Rasulullah yang menjadi sumber kebenaran dan ilmu makrifat, dan kami menerima apa yang telah diijma’kannya pada masa itu, kami tidak menambah apa pun dan tidak pula mengurangi apa pun darinya dan kami hidup dan mati atasnya. Siapa saja yang menambah apa pun dalam syari’at atau mengurangi atau mengafiri aqidah yang telah diijma’kan, maka ia akan mendapat kutukan Allah, kutukan malaikat dan manusia semuanya (Anjami Atam, hal. 144).
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
وَإِنَّ الْخَيْرَ كُلَّه‘ فِى الْقُرْآنِ وَمَعَه‘ حَدِيثٌ طَلَبْتُه‘ فِى الْبَيَانِ وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ مَا وَرَاءَه‘ فَأُولَئِكَ مِنَ الْعَادِينَ
Sesungguhnya semua kebaikan ada di dalam Al-Quran dan dalam Hadis yang tertuju dengannya. Mereka yang mencari selain darinya, maka mereka termasuk orang-orang yang melanggar batas (Mawahibur–Rahman, hal. 62).
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
وَأَحْمَدُ أَنَّه‘ عَلَى أَنِّي مَا وَجَدْتُ إِلْهَامًا مِنْ إِلْهَامَاتِي يُخَالِفُ كِتَابَ اللهِ بَلْ وَجَدْتُ كُلَّهَا مُوَافِقًا بِكِتَابِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan aku bersyukur kepada Allah karena aku tidak mendapatkan satu pun ilham dari ilham-ilhamku yang menyalahi Kitab Allah, bahkan aku mendapati segala ilham, sesuai dengan Kitab Tuhan sekalian alam, yaitu Al-Quranul-Majid (Hamaamatul–Busyraa, hal. 96).
Iman Kepada Rasul-Rasul Allah
Berkenaan dengan Para Rasul-Nya Beliau ‘alaihis salam telah bersabda:
أَلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي مَنَّ عَلَيْنَا بِإِرْسَالِ الرُّسُلِ وَالْكُتُبِ وَجَعَلَ اْلأَنْبِيَاءَ لِخِيَامِ التَّوْحِيدِ كَالطُّنُبِ وَقَفَّى عَلَى آثَارِهِمْ بِاْلأَوْلِيَاءِ لِيَكُونُوا كَاْلأَوْتَادِ لِلسَّبَبِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى خَيْرِ الرُّسُلِ نُخْبَةُ النَّخَبِ مُحَمَّدٍ خَاتَمِ النَّبِيِّينَ وَشَفِيعِ الْمُذْنِبِينَ وَأَفْضَلِ اْلأَوَّلِينَ وَاْلآخِرِينَ وَآلِهِ الطَّاهِرِينَ الْمُطَّهَّرِينَ
Segala puji bagi Allah yang telah berbuat baik kepada kami dengan mengutus para Rasul dan Kitab-kitab dan telah menjadikan Nabi-nabi sebagai tali untuk kemah-kemah tauhid dan menghubungkan wali-wali dibelakang mereka supaya menjadi paku bagi tali-tali; dan shalawat dan salam kepada sebaik-baik dan semulia-mulia Rasul, yaitu Khaatamun–Nabiyyiin dan yang akan memberi syafaat untuk orang-orang yang berdosa dan beliau itu lebih utama dari semua orang dahulu dan kemudian; dan pula shalawat dan salam bagi para pengikutnya yang suci dan yang disucikan (Anjaami Atham, hal. 73).
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
آمَنْتُ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
Aku beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan para Rasul-Nya (Izaalatul–Auhaam, hal. 2).
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
فَاعْلَمْ يَاأَخِي إِنَّا آمَنَّا بِاللهِ رَبَّا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَآمَنَّا بِأَنَّه‘ خَاتَمُ النَّبِيِّينَ وَآمَنَّا بِالْفُرْقَانِ أَنَّه‘ مِنَ اللهِ الرَّحْمَنِ وَلاَ نَقْبَلُ كُلَّ مَا يُعَارِضُ الْفُرْقَانَ وَيُخَالِفُ بَيَانَه‘ وَمُحْكَمَاتِهِ وَقَصَصَه‘ وَلَوْ كَانَ أَمْرًا عَقْلِيًا أَوْ كَانَ مِنَ اْلآثَارِ الَّتِي سَمَّاهَا أَهْلُ الْحَدِيثِ حَدِيثًا أَوْ كَانَ مِنْ أَقْوَالِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ
Ketahuilah wahai saudaraku, kami beriman kepada Allah, sebagai Tuhan dan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi dan kami beriman bahwa beliau adalah Khaatamun–Nabiyyiin, kami beriman kepada Al-Quran bahwa itu dari Allah Yang Pengasih dan kami tidak menerima apa saja yang menyalahi Al-Furqan (Al-Quran) dan keterangan-keterangan, dan hukum-hukumnya, kisah-kisahnya meskipun perkara itu timbul dari akal manusia atau dari riwayat-riwayat yang dinamakan Hadis oleh para Ahli Hadis atau dari kata-kata sahabat dan tabi’in (Tuhfatu Baghdad, hal. 23).
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
وَاللهِ أَنَّ مُحَمَّدًا خَيْرُ الْوَرَى نُورُ الْمُهَيْمِنِ دَافِعُ الظُّلُمَاءِ
Demi Allah, Muhammad adalah semulia-mulia makhluk dan beliau itu Nur Allah yang menghilangkan segala kegelapan
Beliau ‘alaihis salam bersabda lagi:
وَمُعْجِزَاتُ اْلأَنْبِيَاءِ حَقٌّ
Mu’jizat para Nabi itu benar (Mir’aatu Kamaalaatil–Islaam, hal. 367).
Iman Kepada Hari Kiamat
Berkenaan dengan Hari Akhir Beliau ‘alaihis salam bersabda:
وَنُؤْمِنُ أَنَّ حَشْرَ اْلأَجْسَادِ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ وَالنَّارُ حَقٌّ وَكُلُّ مَا جَاءَ فِى الْقُرْآنِ حَقٌّ وَكُلُّ مَا عَلَّمَنَا رَسُولُ اللهِ وَهُوَ خَيْرُ اْلأَنْبِيَاءِ وَخَتْمُ الْمُرْسَلِينَ حَقٌّ وَمَنْ عَزَا إِلَيْنَا مَا يُخَالِفُ الشَّرْعَ وَالْفُرْقَانَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ قَدِ افْتَرَى عَلَيْنَا وَأَتَى بُهْتَانَ صَرِيحٍ كَالْمُنْتَرِينَ
Kami beriman bahwa kebangkitan sesudah mati adalah benar, Surga dan Neraka itu benar dan segala apa yang ada di dalam Al-Quran adalah benar dan apa saja yang diajarkan oleh Rasulullah semulia-mulia Nabi dan penghulu semua Rasul (Muhammad) itu benar, dan siapa saja yang menuduh kami dengan perkara yang menyalahi syariat dan Al-Quran walaupun sedikit, maka sungguh dia telah mengadakan kedustaan yang nyata kepada kami (Tuhfatu Baghdad, hal. 25).
Lagi beliau ‘alaihis salam bersabda:
وَنُؤْمِنُ بِالْمَلاَئِكَةِ وَيَوْمِ الْبَعْثِ وَالْجَنَّةِ وَالنَّارِ
Dan kami beriman kepada malaikat, hari Kebangkitan, Surga dan Neraka (Nurul–Haqq, Juz I, hal. 6).
Lagi beliau ‘alaihis salam bersabda:
وَنَعْتَقِدُ أَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَالنَّارَ حَقٌّ
Kami beritikad bahwa surga dan neraka adalah benar (MiraatiKamaalaatil–Islam, hal. 387).
Iman Kepada Takdir Allah
Berkenaan dengan Takdir Beliau ‘alaihis salam bersabda:
اَللهُ اَللهُ لَه‘ الْمَجْدُ وَالْكِبْرِيَاءُ وَمِنْهُ الْقَدَرُ وَالْقَضَاءُ وَتَسْمَعُ حُكْمَهُ اْلأَرْضُ وَالسَّمَاءُ
Kepunyaan Allah saja segala kemuliaan dan kebesaran, dan dari-Nya qadar dan qadha’ dan perintah-Nya didengar oleh bumi dan langit (Mawaahibur–Rahmaan, hal. 116).
Sehubungan dengan Rukun Iman keenam tersebut, Hadhrat Imam Mahdi ‘alaihis–salam bersabda,
“Orang-orang melontarkan kritikan mengenai ini, yakni mengapa takdir itu terdiri dari dua bagian? Maka jawabnya adalah, pengalaman memberi kesaksian akan hal itu, yakni kadang-kadang tampil dalam bentuk-bentuk yang sangat berbahaya dan manusia benar-benar jadi putus asa. Namun, melalui doa dan sedekah serta pengorbanan, akhirnya bentuk-bentuk bahaya tersebut menjadi hilang …
Beberapa iradah Ilahi hanya dengan maksud agar tumbuh rasa khawatir pada manusia sampai batas tertentu. Lalu jika ia memberikan sedekah dan pengorbanan, maka rasa khawatirnya itu dihilangkan. Permisalan pengaruh doa adalah seperti unsur laki-laki dan perempuan. Jika syarat terpenuhi dan diperoleh waktu yang tepat serta tidak ada kekurangan apa pun, maka sesuatu masalah akan terhindarkan. Dan apabila yang berlaku taqdir mubram, maka tidak timbul sarana-sarana pengabulan doa. Hati memang menginginkan doa, akan tetapi perhatian tidak dapat terpusat sepenuhnya dan dalam hati tidak muncul rasa perih dan sedih. Shalat, sujud dan lain-lain yang dilakukannya tidak terasa nikmat; yang darinya dapat diketahui bahwa itu bukan akhir yang baik dan merupakan taqdir mubram.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 87-88, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).
Nabi kita, Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengalami saat penuh musibah dan petaka seperti Nabi Isa ‘alaihis salam . Dan dari musibah itu diketahui dengan jelas bahwa para Nabi pasti mengalami saat-saat yang sulit dan sangat berat. Apakah peistiwa perang Uhud bukan merupakan pengalaman peristiwa yang sangat berat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Akhirnya, di sana setan pun bangkit berkata bahwa na’udzu billah “Muhammad telah terbunuh” Dan dapat saja beberapa sahabat dalam kondisi yang kacau beranggapan demikian. Sebagian sahabat telah bercerai-berai. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terjatuh ke dalam sebuah lobang. Allah ta’ala berfirman:
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا
Dan tiada seorang pun dari antara kamu melainkan akan datang kepadanya. Ini adalah ketetapan mutlak dari Tuhan engkau (Q.S Maryam, 19:72)
Dari ayat ini dapat diketahui dengan pasti bahwa para Nabi dan orang-orang saleh mengalami saat-saat yang sangat sulit dan penuh musibah di dunia ini. Dan itu merupakan saat yang sangat genting. Orang yang benar juga mengalami saat yang penuh petaka, akan tetapi Allah ta’ala segera melindunginya dan mengeluarkan dari petaka itu. Dan dikarenakan itu merupakan takdir Mu’allaq, maka dapat dirubah melalui doa-doa mereka (Malfuzhat, Ad. Nazhir Isyaat, London, 1984, Jilid V, hal. 333-335/MI 07,03,2001).
Dari semua kutipan di atas, jelas sekali bahwa Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah – Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘alaihis–salam mengimani dan mengajarkan Rukun Iman sebagaimana yang telah diajarkan Sayyidina Nabi Besar kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَ ْلإِيْمَانُ : اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَالْمِيْزَانِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan engkau beriman kepada Surga, Neraka, Mizan; dan engkau beriman kepada Kebangkitan sesudah mati; dan engkau beriman kepada Taqdir, baiknya dan buruknya. (HR Al-Baihaqi dalam “Syi’abil-Iman”, An-Nasai, Ath-Thabrani dalam “Al-Kabir”—dari Umar radhiyallaahu ‘anhu; dan Kanzul-Umal, Juz I/1)
Sumber:
Muhammad Sadiq bin Barakatullah (2014), Penjelasan Ahmadiyah. Neratja Press, hal. 3-13. ISBN: 978-602-70788-1-9