HAZRAT MIRZA GHULAM AHMAD MENEMPATI POSISI ANAK-ANAK LAKI-LAKI ALLAH SWT
أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ أَوْلاَدِي
Anta minnii bimanzilati aulaadi
Ada 2 masalah yang menjadi keberatan sebagian Ulama untuk mengakui dua pernyataan tersebut sebagai wahyu Allah swt, yaitu:
- Anta minniy bimanzilati aulaadiy
أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ أَوْلاَدِي
Engkau dari-Ku menduduki posisi putra-putra-Ku.
- Anta minniy bimanzilati waladiy
أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ وَلَدِي
Engkau dari-Ku menduduki posisi putra-Ku
Jawaban Ahmadiyah:
- Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan: ”Allah subhanahu wa ta’ala adalah suci dari mempunyai anak (Haqiqotul-Wahyi, catatan kaki hal. 89).
Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan wahyu ini: “Ingatlah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala suci dari mempunyai anak. Ia tidak mempunyai sekutu, tidak mempunyai anak dan tak seorang pun yang berhak mengatakan: “Aku Tuhan atau anak Tuhan, akan tetapi kalimat ini pada tempat ini merupakan kiasan. Dalam Al-Quranul-Karim Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa Rasulullah shallAllahu ‘alaihi wasallam adalah tangan-Nya sebagaimana firman-Nya:
يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Artinya: Tangan Allah berada di atas tangan mereka (Al-Fath, 48:11).
Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’ala bukannya mengunakan kata:
قُلْ يَا عِبَادَ اللهِ
Yakni wahai hamba-hamba Allah, tapi menggunakan kata:
قُلْ يَا عِبَادِي
Wahai Nabi, katakanlah kepada mereka: Wahai hamba-hambaku! (Az-Zumar, 39:54).
Dia subhanahu wa ta’ala pun berfirman:
فَاذْكُرُوا اللهَ كَذِكْرِكُمْ آبآءَكُمْ
Artinya: Maka, ingatlah kalian kepada Allah subhanahu wa ta’ala seperti ingat kalian kepada bapak-bapak kalian (Al-Baqarah, 2:201).
Hazrat Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan: “Bacalah dengan bijak dan hati-hati firman-firman Allah subhanahu wa ta’ala tersebut. Dan percayailah bahwa kalimat itu merupakan jenis mutasyabihat (yang mempunyai bermacam-macam makna). Dan yakinilah bahwa Tuhan itu suci dari mengambil anak dan tentangku wahyu ini menjadi dalil yang tertulis dalam Barohin Ahmadiyah:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلهُكُمْ إِلهٌ وَاحِدٌ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى الْقُرْآنِ
Katakanlah bahwa akupun manusia seperti kamu yang diberi wahyu. Tidak diragukan lagi Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa, semua kebaikan ada dalam Al-Quran (Arba’in, Jilid II, hal. 8, dikutip dari Barahin Ahmadiyah, hal.411\202).
Yakni katakanlah bahwa akupun manusia seperti kamu yang diberi wahyu. Tidak diragukan lagi bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa, semua kebaikan ada dalam Al-Quran (Dafi’ul-Bala, catatan kaki, hal. 6, Tadzkiroh hal. 297)
2. Dalam Al-Quran terdapat ayat:
فَاذْكُرُوا اللهَ كَذِكْرِكُمْ آبآءَكُمْ
Maka, ingatlah kalian kepada Allah seperti ingat kalian kepada bapak-bapak kalian (Al-Baqarah, 2:201).
Ingatlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala sedemikian rupa seolah-olah kamu mengingat bapak-bapak kamu. Tuhan bukan bapak kita, tapi berkedudukan sebagai bapak. Sebagaimana satu anak hanya mengakui satu bapak. Dalam pemahaman inilah pernyataan ketauhidan-Nya. Demikian pula, Tuhan juga menginginkan bahwa Ia diyakini tidak memiliki sekutu. Dan dalam pemahaman inilah pernyataan ketauhidan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan Ia memiliki ghoirot (kecemburuan) bahwa Allah berkedudukan sebagai bapak.
3. Wahyu ini bukan berbunyi ‘Anta waladi’, tetapi ‘bimanzilati waladi’ kalimat ini jelas sekali menafikan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki anak.
4. Yang Mulia Rasulullah shollAllahu ‘alaihi wasallam bersabda:
a. Dalam Hadits Qudsi Allah subhanahu wa ta’ala :
اَلْخَلْقُ عِيَالُ اللهِ فَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَى اللهِ مَنْ أَحْسَنَ إِلَى عِيَالِهِ
Artinya: Bahwa semua manusia keluarga Allah, maka sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik kepada keluarga-Nya. (Misykat, babus-Syafa’ah, mathbu’ Nizhomi, ha. 363 dan mathbu’ Mujtaba’i hal. 425).
Menurut Hadits tersebut bahwa semua manusia adalah keluarga Allah, maka sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik kepada keluarga-Nya.
b. Dalam Hadits:
إِنَّ الْفُقَرَاءَ عِيَالُ اللهِ
Sesungguhnya orang-orang fakir itu keluarga Allah (Tafsir Kabir, Imam Razi, jilid 4, hal. 673, cetakan Mesir) (Lihat juga Jamius-Shoghir, Imam Sayuthi, cetakan Mesir, Jilid II, hal. 12)
5. Syah Waliyullah Shohib Muhaddis Delhi menulis tentang kata ‘Ibnu Allah’: Kalau ungkapan anak digunakan selain untuk menyatakan rasa kecintaan tentulah itu sesuatu yang aneh (Al-Fauzul-Kabir, hal. 8 dan juga lihat Hujatul-Balighoh, bab XXXVI, Jilid I, Terjemahan Urdu, mausumah bih sumusullah al-Bajighoh, cetakan Himayat-Islam Pres, Lahore, Jilid I, hal. 109). Beliau bersabda:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ لَمْ يَفْطَنِ الْوَجْهَ التَّسْمِيَّةَ وَكَادُوا يَجْعَلُونَ الْبَنُوَّةَ حَقِيقَةً
Yakni sesudah masa permulaan kaum Nasrani, muncullah generasi baru yang mana mereka tidak memahami sebab penamaan Al-Masih sebagai anak Allah dan mereka memahami ungkapan anak itu dalam arti hakiki.
6. Yang Mulia Maulwi Sahib Muhajir Makki rahmatullah ‘alaihi berkata dalam bukunya Izalatul-Auham, hal. 520. Yang dimaksud dengan farzan (anak) adalah Hazrat Isa ‘alaihis salam yang dianggap oleh orang Nasrani sebagai anak yang sebenarnya. Namun semua orang Islam mempercayai bahwa Isa ‘alaihis salam yang dijuluki sebagai anak Allah itu adalah kekasih pilihan Allah subhanahu wa ta’ala. Seolah-olah kata ‘anak Allah’ mengandung arti sebagai kekasih pilihan Tuhan. Dalam pengertian ini orang-orang Islam juga mempercayai bahwa Al-Masih itu sebagai anak Allah.