Islam Pembawa Standar Hak Universal
Hazrat Mirza Masroor Ahmad menyampaikan pidato penutup pada Jalsah Salanah UK ke-55
Setelah membaca Tasyahhud, Ta’awwudz dan Surah al-Fatihah, Huzur, Hazrat Mirza Masroor Ahmad (aba) menyampaikan:
Seperti telah saya sampaikan dalam pidato di Lajnah hari ini, saya akan membahas tentang hak-hak berbagai lapisan masyarakat, sebagai kelanjutan dari pidato penutupan yang saya sampaikan di Jalsah Salanah 2019.
Islam telah menetapkan hak-hak berbagai lapisan masyarakat. Saya akan menyampaikan pidato tentang hak-hak ini berdasarkan Al-Qur’an, hadits serta sabda Hazrat Masih Mau’ud as. Sesungguhnya hanya dengan mengamalkan ajaran-ajaran ini, orang dapat benar-benar menegakkan hak berbagai lapisan masyarakat.
Kita memiliki keyakinan yang teguh bahwa ajaran Al-Qur’an itu sempurna dan lengkap dan menawarkan solusi untuk segala tantangan di setiap zaman. Tanpa berpedoman di atasnya, masalah-masalah dunia tidak dapat diselesaikan, begitu juga hak-hak setiap masyarakat juga tidak akan dapat ditegakkan.
Jadi, sama sekali tidak perlu merasa malu, atau menampakkan keengganan atau merasa rendah diri ketika menyampaikan ajaran ini ke dunia luar. Kita tidak perlu mengadopsi prinsip-prinsip yang dibuat oleh orang-orang duniawi, kita juga tidak perlu mengambil sikap defensif dalam hal ini.
Sebaliknya, dengan berpedoman pada ajaran Al-Qur’an, kita perlu mengajak orang-orang duniawi dan orang-orang yang mengklaim sebagai pembawa standar hak-hak berbagai lapisan masyarakat agar mereka mengikuti kita sehingga hak-hak setiap masyarakat dapat terjamin dari berbagai sisi, dan supaya perdamaian dan keamanan sejati dapat terwujud di seluruh dunia.
Tentu saja, hak-hak masyarakat tidak dapat ditegakkan sebelum kita meyakini bahwa kita memiliki Pencipta dan memenuhi hak-hak-Nya. Hazrat Masih Mau’ud (as) bersabda:
‘Apa itu huququllah? Yaitu beribadah kepada-Nya, tidak menyekutukannya pada wujud lain dalam beribadah kepada-Nya, senantiasa berzikir pada-Nya, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi hal-hal yang dilarang dan diharamkan.” (Malfuzat [Urdu], Jilid 10, hlm. 319 [edisi 1984])
Jika seseorang memiliki gambaran tentang Allah Ta’ala seperti ini, maka ia akan terdorong untuk mengamalkan perintah-perintah-Nya, yang sebagian besar berkaitan dengan pemenuhan hak-hak hamba-Nya.
Allah Ta’ala memiliki segala kekuatan; Allah Maha Rabb, menganugerahkan segala sesuatu. Adalah kewajiban bagi umat manusia untuk mensyukuri nikmat-Nya karena betapa luar biasanya Dia memanifestasikan rububiyyat-Nya [sifat Allah menciptakan dan memelihara], rahmaniyyat [kemurahan] dan rahimiyyat [kasih sayang].
Namun, Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) juga bersabda bahwa jika ada orang yang berbuat baik kepada engkau tetapi kalian tidak berterima kasih kepadanya, maka kalian juga tidak berterima kasih kepada Allah. (Jami‘ al-Tirmidhi, Kitab al-birri was-silati ‘an Rasulillah, Bab ma ja‘a fil-syukri li-man ahsana ilaika)
Oleh karena itu Allah telah memerintahkan kita untuk memenuhi hak-hak satu sama lain pada setiap kesempatan, dan dengan cara itulah kita akan termasuk orang-orang yang memenuhi hak-hak Allah.
Dengan memberikan perintah tentang bersyukur ini, Allah Ta’ala telah menetapkan sebuah syarat untuk memenuhi hak-hak-Nya, yaitu dengan memenuhi hak-hak hamba-Nya. Inilah ajaran Islam yang indah dan seperti itulah Tuhan dalam Islam, yang mengingatkan kita untuk memenuhi hak-hak satu sama lain dengan cara ini.
Sekarang, saya akan menyebutkan beberapa hak. Hak-hak yang telah saya sampaikan sebelumnya adalah hak-hak Allah, kemudian hak-hak orang tua, hak-hak anak, hak-hak anak laki-laki dan perempuan, hak-hak istri, hak-hak anak saudara kandung, hak-hak kerabat, hak-hak tetangga, hak-hak janda, hak-hak orang yang lebih tua, hak-hak musuh, hak-hak budak dan hak-hak non-Muslim. Rincian dari tiap-tiap hak ini sedemikian rupa dalamnya sehingga orang-orang duniawi tidak dapat mendekatinya. Dan itu belum mencakup semua.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, terdapat hak-hak lain juga yang beberapa di antaranya akan saya bicarakan hari ini. Karena Islam mengingatkan para pengikutnya untuk menegakkan hak-hak ini dan menegaskan bahwa kalian hanya dapat dianggap sebagai Mukmin dan Muslim sejati jika kalian memenuhi hak-hak ini.
Ketika kita mencermati rincian hak-hak ini, Islam bahkan telah menetapkan hak-hak hewan. Selain itu, Islam tidak hanya memberikan teori; melainkan, orang-orang yang mengikuti ajaran Islam juga telah menunjukkan contoh-contoh nyata.
Namun demikian, di antara hak-hak yang saya pilih yang akan saya sampaikan hari ini adalah hak-hak teman atau hak-hak yang berkaitan dengan persahabatan.
1. Apa Saja Hak-hak Sahabat dalam Islam?
Dalam hal ini, Allah Ta’ala telah memberi kita petunjuk secara rinci dan menjelaskan bahwa yang menjadi teman sejati kalian adalah mereka yang hatinya bersih. Persahabatan seperti apa jika hatinya tidak bersih? Ketika sekali kita menjalin persahabatan dengan orang yang hatinya bersih, maka kalian harus memenuhi hak-hak mereka. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَتَّخِذُوۡا بِطَانَۃً مِّنۡ دُوۡنِکُمۡ لَا یَاۡلُوۡنَکُمۡ خَبَالًا ؕ وَدُّوۡا مَا عَنِتُّمۡ ۚ قَدۡ بَدَتِ الۡبَغۡضَآءُ مِنۡ اَفۡوَاہِہِمۡ ۚ وَ مَا تُخۡفِیۡ صُدُوۡرُہُمۡ اَکۡبَرُ ؕ قَدۡ بَیَّنَّا لَکُمُ الۡاٰیٰتِ اِنۡ کُنۡتُمۡ تَعۡقِلُوۡنَ
‘Hai orang-orang-orang yang beriman, janganlah sekali-kali menjadikan teman kepercayaan selain golongan kamu; mereka itu tidak akan berhenti menimbulkan kemudaratan bagimu. Mereka senang melihat kamu dalam kesusahan. Sungguh kebencian telah nampak dari mulut mereka, sedangkan apa yang disembunyikan dada mereka lebih besar lagi. Sungguh kami telah menjelaskan kepadamu Ayat-ayat Kami, jika kamu menggunakan akal. (QS Ali Imran [3]:119)
Kemudian dengan dimasukkannya sahabat sebagai kerabat dekat oleh Allah Ta’ala, maka akan menciptakan suasana persaudaraan yang semakin erat.
Oleh karena itu, bagaimana seharusnya standar persahabatan?
Setelah persahabatan seperti itu terjalin, maka wajib untuk menjaganya. Dalam hal ini, diriwayatkan oleh Hazrat Abu Umamah bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ
“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, niscaya sempurna imannya.” (Sunan Abi Dawud, Kitab al-Sunnah, Bab al-dalili ala ziyadatil-imani wa nuqsanihi)
Jadi, menjaga persahabatan karena Allah adalah satu-satunya hal yang dapat mempertahankan persahabatan sejati; yaitu persahabatan yang bukan sementara atau yang mudah rusak.
Kemudian, Hazrat Umar ra Bin al-Khattab meriwayatkan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
“Sesungguhnya ada hamba-hamba Allah yang bukan para nabi dan bukan pula orang yang mati syahid. Namun pada Hari Kiamat mereka dipuji oleh para nabi dan orang-orang yang mati syahid lantaran posisi mereka di sisi Allah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tolong beritahu kami, siapakah mereka?” Rasulullah menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah padahal tidak memiliki hubungan kekerabatan di antara mereka dan bukan hubungan dagang. Demi Allah, wajah-wajah mereka akan bersinar dengan nur (cahaya Ilahi) dan mereka akan penuh dengan nur. Mereka tidak takut pada hari kiamat jika orang-orang takut dan tidak sedih jika orang-orang sedih.” (Sunan Abi Dawud, Kitab al-Ijarah, Bab fil-rahn)
Jadi, ini adalah hasil persahabatan dan cinta timbal balik. Ini adalah karunia Allah Ta’ala dengan adanya teman-teman seperti itu.
Kemudian, Hazrat Abu Darda ra meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ: وَلَكَ بِمِثْلٍ (رواه مسلم)
“Seorang Muslim yang berdoa untuk saudaranya tanpa sepengetahuan dia; maka malaikat [memohon untuk kebaikannya] dengan mengatakan, ‘Aamiin, Semoga engkau menerima yang seperti itu.’” (Riyadh al-Salihin, Kitab al-Da’waat, Bab fadl al-du’ai bi-zahr il-ghaib)
Di sini yang dimaksudkan bukan hanya saudara kita yang sebenarnya, walaupun pada umumnya, tentu kita tetap mendoakan mereka. Persaudaraan di sini juga termasuk orang yang bukan kerabat dan teman. Islam telah meletakkan dasar kecintaan yang begitu istimewa. Persaudaraan dan persahabatan inilah yang mendorong seseorang untuk saling mendoakan dan menjadi sarana untuk mencapai berkah dari doa para malaikat.
Kemudian, Hazrat Anas ra bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
لاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا، وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
“Jangan kalian saling membenci, saling mendengki, saling membelakangi, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari.” (Sahih al-Bukhari, Kitab al-Adab, Bab maa yunha ‘an al-tahaasudi wa al-tadaabur)
Inilah yang dimaksud dengan pemenuhan hak-hak persaudaraan dan persahabatan.
Hazrat Abu Usaid Malik bin Rabi’ah al-Sa’idi ra meriwayatkan:
“Saat kami berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang pria dari Bani Salimah datang kepada Beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya, engkau dapat mendoakan keduanya, meminta pengampunan untuk keduanya, memenuhi janji dan kontrak yang mereka buat, menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman-teman dekat keduanya.” (Sunan Abi Dawud, Kitab al-adab, Baab fi birr al-walidain)
Di sini disebutkan tidak hanya teman-teman yang seagama, melainkan teman-teman secara umum. Sekali lagi, inilah yang dimaksud dengan pemenuhan hak persahabatan, yaitu memperluas cakupannya dengan memasukkan sahabat orang tua.
Hazrat Ibnu Umar ra meriwayatkan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ
“Sungguh sebaik-baik kebaikan adalah seseorang yang menyambung tali silaturahim dengan sahabat bapaknya (setelah mereka wafat).” (Jami‘ al-Tirmidhi, Kitab al-Birri wa al-Silati ‘an Rasulillah, Bab ma ja‘a fi ikraami shodiqi al-waalid)
Jadi Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) memperluas cakupan yang lebih jauh lagi dan memperluas hak persahabatan sampai ke generasi berikutnya.
Hazrat Masih Mau’ud as bersabda:
“Sesungguhnya teman-teman saya adalah bagian dari diriku, sebagaimana anggota tubuhku. Jika kita cermati dalam kehidupan sehari-hari, bahkan bagian terkecil seperti misalnya jari kita, jika mengalami rasa sakit maka akan mengganggu dan menyusahkan seluruh tubuh. Allah Ta’ala sangat mengetahui bahwa dengan cara yang sama, setiap saat diriku selalu mencemaskan dan mengkhawatirkan apakah teman-temanku dalam keadaan senang dan nyaman.
“Rasa simpati dan kasih sayang yang aku rasakan ini bukanlah upaya yang dibuat-buat atau tidak terjadi secara alami. Sungguh, sebagaimana seorang ibu yang tak henti-hentinya sibuk memastikan setiap anak-anaknya berada dalam kondisi kedamaian dan kenyamanan, berapapun jumlah mereka, saya mendapati bahwa, di jalan Allah, hatiku ini penuh dengan kelembutan dan kasih sayang yang sama untuk sahabat-sahabatku.
“Simpati ini begitu membara sehingga ketika diriku menerima surat dari salah satu sahabatku yang menyinggung tentang kesedihan dan penyakit yang mereka derita, fitratku menjadi resah dan gelisah, dan diriku diliputi kesedihan.
“Dan ketika jumlah orang yang kita sayangi (yang mengalami penderitaan) meningkat, kesedihan ini pun meningkat dalam kadar yang sama. Tidak ada waktu di mana diriku luput dari kekhawatiran dan kesedihan di antara banyak sahabatku, ada yang mendapatkan bentuk kesedihan dan penderitaan. Ketika mereka memberitahuku tentang kegelisahan mereka, hatiku menjadi gundah dan resah. Aku tidak dapat menggambarkan berapa lama diriku diliputi kekhawatiran. Karena tidak ada makhluk selain Allah Taa’ala yang dapat membebaskan seseorang dari kekhawatiran dan kegelisahan seperti itu, aku terus menerus menyibukkan diri dalam doa.
“Doa utama yang aku panjatkan adalah semoga sahabat-sahabatku diselamatkan dari kesedihan dan kekhawatiran, karena dengan memikirkan mereka membuat diriku menderita dan resah. Kemudian, aku berdoa secara umum bahwa jika ada orang yang mendapat beberapa kesedihan dan kesulitan, semoga Allah Ta’ala memberikan mereka keleluasaan.
“Seluruh upaya dan energi menggerakkanku untuk berdoa di hadapan Allah Ta’ala. Banyak harapan yang bisa diperoleh dari diterimanya doa.” (Malfuzat, Vol. 1, hal. 101)
Ini adalah apa yang Hadhrat Masih Mau’ud as telah sabdakan tentang anggota Jemaat secara umum juga. Demikian juga, beliau lebih lanjut bersabda tentang sahabat-sahabat beliau:
“Aku memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sahabat sehingga mereka semua adalah sahabatku dan keluarga mereka seperti keluargaku juga. Ketika salah satu dari orang-orang tersayang ini meninggalkan dunia ini, aku merasakan kesedihan yang sama seperti orang yang kehilangan anak yang paling mereka cintai.” (Malfuzat [Urdu], Vol. 1, hal. 435 [edisi 1988])
Beliau lebih lanjut bersabda sehubungan dengan standar persahabatan, seperti apa seharusnya. Huzur menjelaskan hal ini dengan memberikan contoh dan bersabda:
“Mencuri adalah sifat buruk, tetapi tidak dianggap buruk jika menggunakan sesuatu milik sahabat seseorang tanpa izin mereka (asalkan mereka adalah sahabat). Inilah juga yang kita dapati di antara orang-orang duniawi, jika persahabatan itu kuat, maka hal itu tidak dianggap sebagai keburukan atau pencurian ketika salah satu teman menggunakan barang-barangnya tanpa izin mereka.
Lebih lanjut Huzur bersabda:
“Ada dua pria memiliki persahabatan yang sangat kuat. Keduanya sangat dermawan satu sama lain. Suatu ketika, salah satu dari mereka kebetulan sedang bepergian. Teman satunya datang ke rumahnya dan bertanya kepada pelayannya, ‘Di mana sahabatku?’ Dia berkata, ‘Dia sedang dalam perjalanan.’ Lalu ia bertanya, ‘Apakah Anda memiliki kunci kotak uangnya?’ Pelayan itu berkata, “Ya.” Ia kemudian menyuruh pelayan itu membawa kotak dan kuncinya kemudian ia membukanya dan mengambil sejumlah uang.
Ketika pemilik rumah kembali dari perjalanan, pelayan itu berkata, ‘Sahabatmu tadi ke sini.’ Mendengar hal ini, pemilik rumah begitu bergembira dan bertanya, ‘Apa yang dia katakan?’ Pelayan itu mengatakan, ‘Dia meminta kotak dan kuncinya kepadaku. Dia membuka kotak uangmu, mengeluarkan uangnya dan pergi.’
Mendengar hal ini, pemilik rumah sangat senang dengan pelayan itu sehingga dia seolah-olah berada di puncak dunia. Sebagai imbalan atas kepatuhan budak perempuan itu kepada temannya dan karena tidak membuatnya tidak senang (yaitu tidak membalasnya dengan kekecewaan), sang majikan membebaskannya dan berkata, ‘Sebagai imbalan atas perbuatan baik yang Anda lakukan ini, aku bebaskan engkau dalam hal ini, hari ini juga.’” (Malfuzat [Urdu], Jilid 3, Edisi 1988, hlm. 198-199]
Jadi, beginilah seharusnya seseorang memenuhi hak-hak persahabatan.
Seraya menyebutkan hak-hak persahabatan dan betapa indahnya beliau memenuhinya, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda:
“Adalah keyakinanku bahwa setiap orang yang membuat ikrar persahabatan denganku walaupun hanya sekali, aku sangat menghormati sumpah ini, bahwa terlepas dari sifat mereka dan tidak peduli apa jadinya mereka, aku tidak akan memutuskan hubungan dengan mereka. Jika seseorang memutuskan sendiri hubungan mereka dengan diriku, maka dalam hal ini, aku tidak berdaya. Sebaliknya, keyakinanku adalah jika salah satu sahabatku pingsan di pasar setelah menenggak alkohol dan ada kerumunan orang di sekitarnya, aku akan menjemputnya dan membawanya pergi tanpa takut dicela oleh para pengecam.” (Malfuzat, Vol. 2, hal. 184)
Hadhrat Masih Mau’ud as juga bersabda:
“Ikatan persahabatan adalah permata yang paling berharga. Seseorang tidak boleh menyia-nyiakannya begitu saja. Tidak peduli betapa tidak menyenangkannya seorang teman bagi Anda, seseorang harus memaafkan dan melupakan.” (Ibid)
Nah, di sini, Hadhrat Masih Mau’ud as jelas tidak berbicara tentang salah satu sahabat beliau. Beliau berbicara tentang perjanjian persahabatan secara umum. Ini adalah standar persahabatan – agar selalu bersama sampai akhir, setelah kita memanggilnya teman.
Kemudian, Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah bersabda bahwa anak-anak harus memperlakukan teman-teman orang tua mereka dengan baik dan harus memenuhi hak-hak mereka.
2. Apa saja Hak-Hak Orang Sakit dalam Islam?
Islam telah menetapkan puasa bagi umat Islam tetapi pada saat yang sama, Islam juga menetapkan hak-hak bagi orang sakit. Orang sakit dibebaskan dari puasa sampai kesehatannya pulih. Allah Ta’ala berfirman:
اَیَّامًا مَّعۡدُوۡدٰتٍ ؕ فَمَنۡ کَانَ مِنۡکُمۡ مَّرِیۡضًا اَوۡ عَلٰی سَفَرٍ فَعِدَّۃٌ مِّنۡ اَیَّامٍ اُخَرَ
‘[Puasa yang ditentukan] pada hari-hari tertentu, tetapi barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka hendaknya berpuasa sebanyak itu pada hari-hari lain.” (Al-Qur’an 2:185)
Jadi, ini adalah hak orang sakit, mereka diberi kelonggaran. Islam tidak mengatakan bahwa orang sakit pun harus berpuasa. Beberapa orang ada yang tetap memaksakan diri. Tindakan mereka itu salah. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa Islam telah memberi pengecualian kepada kalian, tetapi jika ada orang sakit yang tetap berpuasa saat sakit atau dalam perjalanan, mereka tetap harus berpuasa dengan jumlah hari yang sama, di lain hari.” (Badr, 17 Oktober 1907, hal. 7)
Selain itu, Islam memerintahkan bahwa untuk memenuhi hak-hak orang sakit dalam masyarakat Islam, keinginan-keinginan kecil mereka juga harus diperhatikan. Oleh karena itu, Hazrat Ibn Abbas ra meriwayatkan:
“Nabi (Shallallahu ‘alaihi wasallam) mengunjungi seorang pria [yang sakit] dan berkata kepadanya: ‘Apa yang kamu inginkan?’ Dia berkata, ‘Saya ingin roti gandum.’ Nabi (Shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda, ‘Siapa pun yang memiliki roti gandum, biarkan ia mengirimkannya kepada saudaranya.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Jika orang sakit di antara kamu menginginkan sesuatu, berikanlah kepadanya.’” (Sunan Ibn Majah, Kitab al-Tibb, Bab al-mariidi yasytahyi syai’an)
Seperti itulah kondisi keuangan dan materi para Sahabat awwalin, bahkan roti gandum tidak tersedia untuk mereka. Memiliki sepotong roti gandum adalah hal yang sangat ia dambakan, tetapi itu tidak tersedia.
Hazrat Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
مَنْ عَادَ مَرِيضًا نَادَى مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مِنَ الْجَنَّةِ مَنْزِلاً
“Barangsiapa menjenguk orang sakit, maka akan ada yang berseru kepadanya dari langit, ‘Kamu telah berbuat baik dan perjalananmu pun baik dan kamu telah membangun tempat tinggal di surga.” (Sunan Ibn Majah, Kitab al-Jana’iz , Bab ma ja’a fi thawabi man ‘ada mariidan)
Beginilah cara Allah Ta’ala memberkati seseorang saat menjenguk orang sakit. Mendoakan orang sakit juga merupakan salah satu hak yang harus mereka penuhi.
Bagaimana teladan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dalam hal ini?
Hazrat Aisyah binti Saad ra meriwayatkan bahwa ayahnya, Hazrat Saad ra berkata:
Sewaktu berada di Mekkah, aku mengeluh atas sakit yang menimpaku, lalu Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) datang membesukku. Beliau meletakkan tangannya ke dahiku serta mengusap dada dan perutku seraya bersabda, “Ya Allah, berilah kesembuhan kepada Sa’ad dan sempunakanlah hijrahnya.'” (Sunan Abi Dawud, Kitab al-Jana’iz, Bab al-du’a lil-mariidi bil-syifa’i indal-iyadah)
Jadi, beliau mendoakan umur panjang untuknya.
Seberapa besar pahala menjenguk orang sakit dan berbuat adil terhadapnya?
Dalam hal ini, Hazrat Ali ra menyatakan bahwa ia mendengar Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
“Jika seorang laki-laki mengunjungi saudaranya yang muslim ketika dia sakit, berarti ia berjalan di surga saat memetik buahnya sampai dia duduk, dan ketika dia duduk, dia diliputi dengan rahmat. Jika ia menjenguknya pagi hari, tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya sampai sore hari, dan jika malam, tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya sampai pagi.” (Musnad Ahmad, Musnadu Ali ra bin Abi Thalib)
Inilah hadiah mengunjungi orang sakit.
Kemudian, ketika mengajarkan cara menjenguk orang sakit, Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Hazrat Abu Umamah ra:
“Termasuk kesempurnaan menjenguk orang sakit adalah seseorang dari kalian meletakkan tangannya di atas dahinya, atau beliau bersabda, di atas tangannya, lalu menanyakan kabarnya, dan termasuk kesempurnaan penghormatan kalian adalah berjabat tangan.” (Jami’ al-Tirmidzi, Kitab al-Isti’zaani wal-Adaabi’ an Rasulillah, Bab ma ja’a fil-musahafah)
Bagaimana Hadhrat Masih Mau’ud as memenuhi hak-hak orang sakit?
Dalam hal ini, terdapat riwayat berikut:
“Seorang Qureshi Sahib sakit selama beberapa hari dan datang ke Qadian untuk mencari pengobatan dari Hazrat Hakim Maulvi Nuruddin ra. Dia berulang kali meminta Hadhrat Masih Mau’ud untuk berdoa, yang menjawab, ‘Kami akan berdoa.’
“Pada malam harinya, dia meminta melalui Hazrat Hakim Maulvi Nuruddin ra bahwa dia menginginkan waktu khusus untuk mengunjungi Hadhrat Masih Mau’ud as, tetapi dia tidak bisa hadir karena kakinya bengkak. Hudhur berjanji akan menjenguknya keesokan harinya [di rumahnya]. Maka, untuk memenuhi janjinya, Hudhur bersama rombongan para sahabatnya sampai di rumah tempat tinggalnya, beliau duduk bersamanya dan selama beberapa waktu menanyakan beberapa pertanyaan umum tentang penyakitnya.” (Malfuzat [Urdu], Jilid 2, hlm. 241 [edisi 1988])
Hazrat Sheikh Yaqub Ali Irfani ra meriwayatkan bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as juga melakukan beberapa perjalanan untuk mengunjungi orang sakit.
Ada seorang bernama Mir Abbas Ali Sufi Sahib dari Ludhiana, beliau seorang yang sangat tulus dan sangat mencintai Hadhrat Masih Mau’ud as. Hadhrat Masih Mau’ud mengetahui tentang penyakitnya melalui sebuah surat dan meskipun beliau sedang sakit dan sibuk, beliau sangat menghargai hak-hak persahabatan dan persaudaraan sehingga beliau merasa berkewajiban melakukan perjalanan ke Ludhiana. Maka, beliau pergi ke Ludhiana pada 14 Oktober 1884 mengunjungi Mir Sahib dan kemudian kembali. Allah Ta’ala juga memberikan kesembuhan kepada Mir Sahib. (Sirat Hazrat Masih-e-Maudas oleh Sheikh Yaqub Ali Irfani ra, Vol. 2, hlm. 183-184)
Bagaimana Hadhrat Masih Mau’ud as memenuhi hak-hak orang sakit? Dalam hal ini, Hazrat Maulvi Abdul Karim Sialkoti ra meriwayatkan:
“Terkadang wanita dari pedesaan mengetuk pintu dengan keras untuk mendapatkan obat. Mereka biasa mengatakan dalam bahasa yang sederhana dan polos ‘Mirza Ji, buka pintunya!’ Hudhur akan segera bangun seolah-olah ada seorang penguasa besar sedang berdiri di luar dan beliau membuka pintu dan berbicara dengan hati yang tulus dan memberi mereka obat. Di negara kita, masyarakat yang berpendidikanpun tidak mengetahui nilai waktu, apalagi perempuan pedesaan yang polos; wanita itu mulai berbicara tentang sesuatu yang kurang penting dan mulai mengeluh tentang rumah tangganya dan tentang ketegangan antara dia dan ibu mertuanya. Satu jam terbuang sia-sia dalam hal itu. Namun Hadhrat Masih Mau’ud tetap mendengarkan dengan penuh perhatian dan kesabaran. Baik dengan lidah maupun dengan gerakan beliau tidak mengatakan kepadanya, ‘Pergi saja. Anda telah meminta obat. Sekarang apa lagi? Anda membuang-buang waktu saya.’ Tidak sama sekali.”
Sialkoti Sahib menulis bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as tidak mengatakan hal-hal ini kepadanya. “Wanita itu akhirnya bangun dan meninggalkan rumah.
“Suatu ketika, banyak wanita pedesaan datang untuk memeriksakan anak-anak mereka. Sementara itu, beberapa wanita juga keluar dari dalam untuk mengambil sirup. Pada saat itu, Hudhur harus menulis artikel yang sangat penting untuk kebutuhan agama dan beliau harus menulisnya sesegera mungkin. Saya kebetulan juga ada di sana.
“Apa yang saya lihat adalah, Hudhur berdiri di sana, sigap dan perhatian laksana seorang Eropa berdiri untuk tugas-tugas duniawinya dan beliau memiliki lima atau enam kotak terbuka di hadapan beliau dan memberikan obat-obat kepada sebagian mereka dan memberikan sirup dalam botol kecil kepada sebagian yang lain. ‘Pasar’ ini berlangsung selama tiga jam dan Hudhur terus menjalankan ‘rumah sakit’ ini.
Setelah beliau selesai, saya berkata, ‘Hudhur, ini adalah tugas yang sangat berat dan banyak waktu berharga yang terbuang dengan cara ini.’ Alhamdulillah! Hudhur menjawab dengan sangat tenang dan bersahaja dan bersabda, ‘Ini juga sama-sama merupakan kewajiban agama. Melayani orang-orang, memberi mereka obat-obatan, memeriksa orang sakit dan merawat mereka juga merupakan kewajiban agama. Mereka adalah orang-orang miskin dan tidak ada rumah sakit di sini. Saya telah mengumpulkan semua jenis obat-obatan [tradisional] Inggris dan Yunani untuk orang-orang ini dan ternyata bermanfaat […] Ini adalah pekerjaan dengan pahala yang besar. Seorang mukmin tidak boleh bermalas-malasan dan mengabaikan masalah ini.’” (Sirat Hazrat Masih-e-Maudas oleh Hazrat Maulvi Abdul Karim Sialkotira [Urdu], hlm. 34-35)
Hazrat Sheikh Yaqub Ali Irfani ra menceritakan:
“Ketika Lala Malawa Mal Sahib berusia 22 tahun, ia mengalami sakit pada pinggangnya. Sudah menjadi kebiasaan Hadhrat Masih Mau’ud as untuk mengetahui kabar terbaru tentang kesehatannya di pagi dan sore hari melalui seorang hamba bernama Jamal. Beliau juga biasa mengunjunginya setiap hari.
“Jelas Lala Malawa Mal Sahib bukanlah dari satu bangsa atau agama yang sama. Namun, karena beliau biasa berhubungan dengan Hadhrat Masih Mau’ud as, maka beliau menjadi salah satu sahabat beliau. Hadhrat Masih Mau’ud as memiliki rasa simpati yang begitu tinggi memelihara persahabatan sedemikian rupa sehingga beliau mengunjungi rumahnya dan mengobati penyakitnya.
“Lala Malawa Mal Sahib meriwayatkan bahwa suatu ketika, ia diberi obat yang mengakibatkan Lala Malawa Mal Sahib harus menghadapi panggilan alam sebanyak 19 kali pada malam hari. Akhirnya, beliau mulai berdarah dan menjadi sangat lemah.
“Pagi-pagi sekali, seperti biasa, ketika pelayan Hudhur datang untuk bertanya, ia menceritakan pengalamannya di malam hari dan meminta Hudhur untuk datang sendiri. Hadhrat Masih Mau’ud segera pergi ke rumahnya dan melihat kondisi Lala Malawa Mal Sahib, beliau kaget dan mengatakan ‘Jumlahnya sedikit terlalu tinggi.’ Namun, beliau segera membawa beberapa getah psyllium dan memberikannya kepada Lala Malawa Mal Sahib yang menghentikan peradangan dan pendarahan dan juga menghilangkan rasa sakitnya.” (Sirat Hazrat Masih-e-Maudas oleh Hazrat Maulvi Abdul Karim Sialkotira [Urdu], hlm. 170-171)
Kejadian ini bukan hanya saat sakit, beliau juga seorang teman dan Hadhrat Masih Mau’ud as menghormati persahabatan ini. Meskipun orang itu dari agama yang berbeda, beliau merawatnya sebagai teman sekaligus orang sakit. Ini adalah hak persahabatan dan hak orang sakit.
Hazrat Sheikh Yaqub Ali Irfani ra juga meriwayatkan:
“Suatu ketika Lala Sharampat Rai Sahib jatuh sakit. Timbul abses di perutnya dan bisul ini mengarah pada kondisi yang berbahaya. Hadhrat Masih Mau’ud kamudian diberitahu. Beliau mengunjungi rumah Lala Sharampat Rai Sahib yang sangat sempit dan gelap. Beliau pergi dan melihat Lala Sharampat Rai Sahib yang ketakutan dan yakin akan kematiannya. Beliau berbicara dengan penuh kegelisahan seperti orang yang bermasalah. Hadhrat Masih Mau’ud meyakinkannya dan berkata, ‘Jangan takut. Saya akan menunjuk Dr Abdullah Sahib yang akan menangani Anda dengan baik.’
“Saat itu, ia adalah satu-satunya dan dokter paling kompeten di Qadian. Maka keesokan harinya Hadhrat Masih Mau’ud datang bersama Dr Sahib dan secara khusus menugaskannya untuk mengobati Lala Sharampat Rai Sahib. Tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh Lala Sharampat Rai Sahib untuk perawatan ini. Hadhrat Masih Mau’ud as biasa mengunjunginya setiap hari tanpa henti. Ketika lukanya mulai sembuh dan kondisi kritisnya sudah membaik, beliau mulai mengunjungi secara berkala. Meskipun demikian, Hadhrat Masih Mau’ud as terus mengunjunginya sampai dia sembuh total.” (Sirat Hazrat Masih-e-Maudas oleh Hazrat Maulvi Abdul Karim Sialkotira [Urdu], hal. 161)
Ini adalah teladannya yang luar biasa dalam memelihara persahabatan, yaitu dengan mengunjungi serta menunjukkan simpati kepada orang sakit.
Di antara lima hal yang disabdakan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) sebagai hak seorang Muslim yang harus ditunaikan oleh Muslim lainnya, salah satunya adalah menjenguk orang sakit.
Hazrat Abu Hurairah ra meriwayatkan:
“Rasulullah bersabda, hak Muslim atas muslim lainnya ada lima, yaitu:
Menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin [yaitu. mengucapkan: yarhamukallah, ketika orang bersin mengucapkan alhamdulillah]” (Riyad al-Salihin, Kitab Iyadatil-maridi wa tasy-yi’il-mayyiti wa al-salaati ‘alaihi wa huduuri dafanihi, Bab ayadatil-mariid)
3. Apa Saja Hak-hak Anak Yatim Dalam Islam?
Topik selanjutnya yang akan saya sampaikan adalah terkait hak-hak anak yatim. Apa perintah Allah tentang hak anak yatim? Allah berfirman:
وَ لَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡیَتِیۡمِ اِلَّا بِالَّتِیۡ ہِیَ اَحۡسَنُ حَتّٰی یَبۡلُغَ اَشُدَّہٗ
Dan, janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang terbaik sampai ia mencapai kedewasaannya. (Surah Al-An’am, 6: 153)
Maksudnya adalah jika Anda ditugaskan untuk menjaga anak yatim, jangan merampas kekayaan dan harta mereka dengan dalih merawat mereka. Jika sang wali memiliki banyak harta, mereka hendaknya menggunakan harta mereka sendiri, dan itu perencanaan yang ideal. Namun, jika mereka tidak punya harta, maka mereka harus berhemat, dan menggunakan sesuai kebutuhannya saja.
Selain itu, Allah Ta’ala berfirman:
وَ لَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡیَتِیۡمِ اِلَّا بِالَّتِیۡ ہِیَ اَحۡسَنُ حَتّٰی یَبۡلُغَ اَشُدَّہٗ ۪ وَ اَوۡفُوۡا بِالۡعَہۡدِ ۚ اِنَّ الۡعَہۡدَ کَانَ مَسۡـُٔوۡلًا
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang terbaik hingga ia mencapai kedewasaannya, dan tepatilah janji, sesungguhnya janji itu akan ditanyakan.” (QS 17:35)
Di sini dijelaskan lebih lanjut bahwa kita tidak hanya diperintahkan untuk berhenti merampas harta anak yatim, tetapi juga harus memastikan untuk melindunginya. Setelah anak yatim mencapai usia kedewasaan, maka kembalikan hartanya. Perlindungan di sini juga berarti kita dapat menginvestasikan kekayaan anak yatim dalam beberapa bisnis yang menguntungkan. Itulah cara memelihara anak yatim yang benar.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman:
وَ یُطۡعِمُوۡنَ الطَّعَامَ عَلٰی حُبِّہٖ مِسۡکِیۡنًا وَّ یَتِیۡمًا وَّ اَسِیۡرًا
“Dan mereka memberi makan karena cinta-Nya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan.” (QS Ad-Dahr [76]: 9)
Inilah sifat orang-orang mukmin, kapanpun diperlukan, mereka mempersembahkan pengorbanan dan memenuhi tanggung jawab mereka.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman:
کَلَّا بَلۡ لَّا تُکۡرِمُوۡنَ الۡیَتِیۡمَ
“Sekali-kali tidak, bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim”. (QS Al-Fajr [89]: 18)
Artinya jika Anda tidak memenuhi hak-hak anak yatim, anda akan dihukum. Oleh karena itu Anda harus berhati-hati.
Allah Ta’ala berfirman:
فَاَمَّا الۡیَتِیۡمَ فَلَا تَقۡہَرۡ
“Maka terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.” (QS Ad-Dhuhaa [93]: 10)
Betapa indahnya Allah Ta’ala menarik perhatian kita untuk memenuhi hak-hak anak yatim, yang merupakan masyarakat yang lemah atau mungkin paling lemah. Seorang mukmin wajib merawat anak yatim dan menjaga segala kepentingan dan haknya sampai ia dewasa.
Selain itu, disebutkan secara singkat dalam berbagai riwayat tentang bagaimana Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) memberi peringatan tentang anak yatim berdasarkan ajaran Al-Qur’an. Diriwayatkan oleh Amr bin al-Harits:
“Dari Zainab isteri ‘Abdullah radliallahu ‘anhuma berkata,: “Aku pernah berada di masjid lalu aku melihat Nabi Shallallahu’alaihiwasallam. Kemudian Beliau bersabda: “Bersedekahlah kalian walau dari perhiasan kalian”. Pada saat itu Zainab berinfaq untuk ‘Abdullah dan anak-anak yatim di rumahnya. Dia (‘Amru bin Al Harits) berkata; Zainab berkata, kepada ‘Abdullah: “Tanyakanlah kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam apakah aku akan mendapat pahala bila aku menginfaqkan zakatku kepadamu dan kepada anak-anak yatim dalam rumahku”. Maka ‘Abdullah berkata,: “Tanyakanlah sendiri kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam “. Maka aku berangkat untuk menemui Nabi Shallallahu’alaihiwasallam dan aku mendapatkan seorang wanita Anshar di depan pintu yang sedang menyampaikan keperluannya seperti keperluanku. Kemudian Bilal lewat di hadapan kami maka kami berkata: “Tolong tanyakan kepada Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, apakah aku akan mendapat pahala bila aku menginfaqkan zakatku kepada suamiku dan kepada anak-anak yatim yang aku tanggung dalam rumahku?”. Dan kami tambahkan agar dia (Bilal) tidak menceritakan siapa kami. Maka Bilal masuk lalu bertanya kepada Beliau. Lalu Beliau bertanya: “Siapa kedua wanita itu?”. Bilal berkata,: “Zainab”. Beliau bertanya lagi: “Zainab yang mana?”. Dikatakan: “Zainab isteri ‘Abdullah”. Maka Beliau bersabda: “Ya benar, baginya dua pahala, yaitu pahala (menyambung) kekerabatan dan pahala zakatnya”. (Sahih al-Bukhari, Kitab al-Zakat, Bab al-zakati ala al-zawji wa al-aytaami fil-hajr)
Hazrat Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ ” . وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Orang yang menanggung anak yatim, baik dari kerabatnya atau bukan, aku dan dia seperti dua ini di surga.” Malik (menjelaskanya) dengan mendekatkan jari telunjuk dan jari tengahnya. (Sahih Muslim, Kitab al-Zuhdi wa al-Raqa’iq, Bab al-ihsaani ilal-armalati wal-miskini wal-yatimi)
Ini bukan hanya teori, sebaliknya kita menemukan contoh nyata tentang hal ini. ‘Awn bin Abi Juhaifah meriwayatkan dari ayahnya:
“Telah datang kepada kami amil zakat Utusan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian dia mengambil zakat dari orang-orang kaya di antara kami kemudian membagikannya kepada para fakir miskin, waktu itu saya seorang anak yatim, maka dia memberiku zakat berupa unta betina muda.” (Jami’ al-Tirmidzi, Kitab al-Zakat’ an Rasulillah, Bab ma ja’a anna al-sadaqata tukhazu min al-aghniyaai fa turaddu fil-fuqaraa)
Di zaman itu memberikan seekor unta betina bukanlah hal biasa, dan itu diberikan kepada seorang anak yatim piatu.
Hazrat Ibn Abbas ra meriwayatkan bahwa Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَبَضَ يَتِيمًا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَى طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ الْبَتَّةَ إِلاَّ أَنْ يَعْمَلَ ذَنْبًا لاَ يُغْفَرُ لَهُ
“Barangsiapa yang memelihara anak yatim dan memberinya makan dan minum niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga kecuali jika dia melakukan dosa yang tidak dapat diampuni.” (Jami’ al-Tirmidzi, Kitab al-Birri wa al-Silati an Rasulillah, Baab ma ja’a fi rahmatil-yatimi wa kafalatihi)
Hazrat Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ
“Ya Allah, (aku bersaksi) bahwa saya dengan tegas memperingatkan agar tidak melanggar hak-hak dua orang lemah: anak yatim dan wanita.” (Sunan Ibn Majah, Kitab al-Adab, Bab haqqil-yatimi)
Artinya, jika seseorang tidak memenuhi hak-hak mereka, maka ia akan dicengkam oleh Allah.
Hazrat Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
خَيْرُ بَيْتٍ فِي الْمُسْلِمِينَ بَيْتٌ فِيهِ يَتِيمٌ يُحْسَنُ إِلَيْهِ وَشَرُّ بَيْتٍ فِي الْمُسْلِمِينَ بَيْتٌ فِيهِ يَتِيمٌ يُسَاءُ إِلَيْهِ
“Sebaik-baik rumah kaum Muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya anak yatim yang diperlakukan dengan baik. Dan seburuk-buruk rumah kaum Muslimin ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlakukan dengan huruk”. (Sunan Ibn Majah, Kitab al-Adab, Bab haqqil-yatimi)
Seperti itulah betapa besarnya kebencian Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) terhadap orang-orang yang menganiaya anak yatim dan beliau telah memperingatkan mereka dengan keras. Di sisi lain, Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang merawat anak yatim.
Hazrat Abdullah bin Abbas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
مَنْ عَالَ ثَلاَثَةً مِنَ الأَيْتَامِ كَانَ كَمَنْ قَامَ لَيْلَهُ وَصَامَ نَهَارَهُ وَغَدَا وَرَاحَ شَاهِرًا سَيْفَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَكُنْتُ أَنَا وَهُوَ فِي الْجَنَّةِ أَخَوَيْنِ كَهَاتَيْنِ أُخْتَانِ
“Barangsiapa mengurus tiga anak yatim maka ia ibarat orang yang melakukan qiyamul lail pada malam harinya, berpuasa pada siang harinya, berangkat pagi dan sore hari dengan pedang terhunus di jalan Allah, aku dan dia berada di surga seperti dua saudara sebagaimana dua ini yang bersaudara.” Dan beliau menempelkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.” (Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Adab, Bab haqqil-yatimi)
Terdapat pahala yang besar.
Pada satu kesempatan Hazrat Masih Mau’ud as bersabda:
“Allah Ta’ala telah berfirman:
یُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلیٰ حُبِّہٖ مِسْکِیْنًا وَّ یَتِیْمًا وَّ اَسِیْرًا اِنَّمَا نُطْعِمُکُمْ لِوَجْہِ اللّٰہِ لَا نُرِیْدُ مِنْکُمْ جَزَآءً وَّ لَا شَکُوْرًا
Artinya, ‘Orang-orang mukmin adalah mereka yang karena cinta kepada Allah memberi makan orang miskin, anak yatim dan tawanan, dan mengatakan bahwa, ‘Kami tidak menginginkan imbalan atau ucapan terima kasih dari Anda untuk roti ini, kami juga tidak ada motif lain. Tujuan dari semua kebaikan kami hanyalah kecintaan dan keridhaan Allah.” (QS Ad-Dahr [76]: 9)
“Allah Ta’ala menamai agama ini Islam dengan tujuan agar manusia menyembah Allah Ta’ala bukan untuk tujuan materi tetapi dengan ghairat alami karena Islam adalah nama dari ridha dengan Kehendak Allah setelah melepaskan semua hasrat pribadi. Tidak ada agama di dunia selain Islam yang memiliki tujuan tersebut. Tentu saja, Allah Ta’ala telah menjanjikan orang-orang Mukmin segala jenis berkah untuk menunjuknya kasih sayang-Nya, tetapi Allah Ta’ala telah mengajarkan orang-orang mukmin yang mendambakan derajat yang lebih tinggi untuk menyembah Allah Ta’ala karena kecintaan pribadi semata.” (Nur-ul-Quran No. 2 [Urdu], Ruhani Khazain, Vol. 9, pp. 440-441)
Untuk meraih kecintaan dari Allah itu, maka wajib memenuhi hak-hak anak yatim dan fakir miskin.
Terdapat peristiwa lain di zaman Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) ketika ada seorang anak menjadi yatim piatu. Para sahabat mulai berdebat, dan semua orang mengungkapkan keinginan untuk mengambil anak yatim itu di bawah asuhannya dan membesarkannya. Masalah ini dibawa ke hadapan Rasululullah. Beliau bersabda, bawa anak itu dan biarkan dia memilih kepada siapa dia ingin pergi. Kemudian, serahkanlah ia kepada orang itu.
Begitulah para sahabat berusaha untuk saling mengungguli dalam memenuhi hak anak yatim.
4. Apa hak-hak Persekutuan dan Orang-orang yang Berada di bawah Perjanjian Menurut Islam?
Islam memberikan penekanan besar dalam hal menghormati perjanjian dan mengajarkan bagaimana memenuhi hak-hak sehubungan dengan perjanjian yang telah dibuat oleh umat Islam. Islam menasihati untuk menghormati perjanjian itu dalam segala keadaan. Kadang-kadang, kalaupun musuh menandatangani kontrak dengan licik yang lebih menguntungkan mereka, maka Khalifah umat Islam memerintahkan umat Islam supaya tetap menghormati perjanjian itu. Kami menemukan peristiwa berikut yang tercatat dalam sejarah:
Selama Khilafat Hazrat Umar ra, seorang budak Abyssinia membuat perjanjian dengan beberapa orang bahwa mereka akan diberikan konsesi tertentu. Ketika pasukan Muslim pergi ke sana, orang-orang mengatakan ada perjanjian di antara mereka. Saat panglima pasukan menunjukkan keraguan akan hal itu, dan masalah itu dibawa ke hadapan Hazrat Umar ra, beliau bersabda bahwa seorang Muslim tidak boleh mengingkari kata-katanya, bahkan jika yang membuat perjanjian itu adalah seorang budak. Setelah perjanjian ditandatangani, maka harus dihormati. (Sair-e-Ruhani 7 [Urdu], Anwar-ul-Ulum, Vol. 24, hlm. 293-294)
Al-Qur’an telah menjelaskan tentang menghormati perjanjian:
اِلَّا الَّذِیۡنَ عٰہَدۡتُّمۡ مِّنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ثُمَّ لَمۡ یَنۡقُصُوۡکُمۡ شَیۡئًا وَّ لَمۡ یُظَاہِرُوۡا عَلَیۡکُمۡ اَحَدًا فَاَتِمُّوۡۤا اِلَیۡہِمۡ عَہۡدَہُمۡ اِلٰی مُدَّتِہِمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یُحِبُّ الۡمُتَّقِیۡنَ
“Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian, kemudian mereka tidak melanggar janji dengan kamu sedikit pun dan tidak pula membantu seseorang melawan kamu. Maka, penuhilah sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa. (QS At-Taubah [9]:4)
Jadi, kondisi orang yang bertakwa adalah juga menghormati perjanjian dan memenuhi hak-hak mereka.
Hazrat Abdullah ra bin Amr meriwayatkan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barang siapa yang membunuh mu’ahad (orang yang terikat perjanjian dengan umat Islam) maka ia tidak akan mencium wangi surga padahal wangi surga dapat dirasakan dari jarak empat puluh tahun perjalanan.” (Sahih al-Bukhari, Kitab al-Jizyati wal-Mawada‘ah, Bab itsmi man qatala mu‘ahadan bighairi jurmi)
Sebegitu jauhnya wangi surga tesebar, tetapi wangi itu akan terluput bagi orang-orang yang melanggar perjanjian.
Shafwan bin Sulaim telah mengabarkan kepadanya dari beberapa anak para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari bapak-bapak mereka dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهِدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيبِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ketahuilah bahwa orang yang menzhalimi mu’ahad (orang yang terikat perjanjian) atau mengurangi haknya atau membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil darinya sesuatu tanpa persetujuannya, maka aku adalah lawan bertikainya pada Hari Kiamat.” (Sunan Abi Dawud, Kitab al-Khiraji wal-Imarati wal-Fai’, Bab fi ta’syiiri ahli z-dzimmati idza-khtalafu bil-tijaraat)
Hal ini karena ada kontrak perjanjian dengan kafir dzimmi dan merupakan tanggung jawab seorang Muslim untuk melindungi hak-hak mereka.
Sejauh mana Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) menghormati perjanjian? Dalam hal ini Hazrat Abdur Rahman ra bin Al-Bailamani meriwayatkan:
“Utusan Allah memberikan hukuman mati kepada seorang Muslim yang telah membunuh seorang dzimmi yang telah membuat perjanjian dengan Muslim, dan bersabda ‘Saya paling dekat dengan orang-orang yang menghormati perjanjian perlindungan mereka.’” (Bulugh al-Maram Fi Adillat al-Ahkam, Dar Arqam [Beirut, 2016], hal. 248)
Karena seorang Muslim telah membunuh seseorang, maka ia diberi hukuman yang sama.
Diriwayatkan oleh Hazrat al-‘Irbaadh bin Saariyah al-Sulami ra:
“Kami singgah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Khaibar dan beliau bersama beberapa sahabatnya. Dan pemimpin Khaibar adalah seorang yang keras dan berlaku jahat. Kemudian ia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata; wahai Muhammad, apakah kalian boleh menyembelih keledai kami, dan memakan buah kami serta memukul wanita kami? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam marah dan berkata; wahai Ibnu ‘Auf naikilah kudamu kemudian serulah bahwa Surga tidak halal kecuali bagi orang mukmin dan hendaknya mereka berkumpul untuk melakukan shalat.
Al ‘Irbadh bin Sariyah berkata; kemudian mereka berkumpul kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat bersama mereka. Kemudian beliau berdiri dan berkata; apakah salah seorang di antara kalian dalam keadaan bersandar kepada singgasanannya menyangka bahwa Allah tidak mengharamkan sesuatupun kecuali yang ada dalam Al Qur’an? Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku telah memberi nasihat, memerintahkan dan melarang dari berbagai sesuatu, sesungguhnya hal itu adalah seperti Al Qur’an atau lebih banyak. Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla tidak menghalalkan bagi kalian untuk memasuki rumah-rumah ahli kitab kecuali dengan izin, dan tidak halal memukul wanita mereka, serta makan buah mereka apabila mereka telah memberikan kepada kalian apa yang menjadi kewajiban atas mereka.” (Sunan Abi Dawud, Kitab al-Khiraji wal-Imarati wal-Fay, Bab fi ta’shiri ahli dzimmati idzakhatalafu bil-tijaraat)
Hazrat Ibn Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) memberikan uang darah (diyat) untuk dua orang dari Bani Amir sama seperti kepada orang-orang Muslim karena keduanya berada di bawah perjanjian dengan Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam). (The Life & Character of the Seal of Prophetssa – Vol. II, hlm. 378)
Jadi wajib untuk menghormati perjanjian yang dibuat dengan non-Muslim. Ini adalah hak mereka.
Pada masa perjanjian Hudaibiyyah, terjadi suatu peristiwa yang terkenal yang tercatat dalam sejarah. Hazrat Muslih Mau’ud ra juga telah menyebutkannya:
“Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) memerintahkan bahwa tidak harus menghormati perjanjian walaupun kepada non-Muslim.
Dalam perjanjian damai Hudaibiyyah, terdapat syarat dari orang-orang kafir bahwa jika seorang Muslim datang dan bergabung dengan mereka, maka mereka diizinkan untuk menahannya, tetapi jika salah satu dari mereka pergi dan bergabung dengan umat Islam, mereka harus mengembalikannya kepada mereka.” Ini adalah syarat yang sangat berat dan tidak berdasarkan keadilan sama sekali.
“Syarat ini sudah tertulis dalam kontrak yang belum ditandatangani. Sementara itu, seorang laki-laki bernama Abu Jandal, yang dirantai besi dan sudah sangat menderita, datang kepada Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam). Dia datang dan menggambarkan penderitaannya dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Tolong bawa aku bersamamu. Orang-orang ini sangat menyiksaku karena aku seorang Muslim.’ Para sahabat juga berkata, ‘Wahai Rasulullah! Dia harus dibawa. Dia sudah cukup menderita di tangan orang-orang kafir.’ Namun, ayahnya datang dan berkata, ‘Jika kamu membawanya bersamamu, itu sama saja dengan pengkhianatan.’
“Para sahabat menunjukkan bahwa perjanjian itu belum ditandatangani, tetapi dia berkata, ‘Perjanjian itu telah ditulis. Apa bedanya jika belum ditandatangani?’ Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda, ‘Kembalikan dia. Kita tidak bisa menahannya bersama kita sesuai dengan perjanjian.’
“Para sahabat bergetar mendengarnya tetapi dia mengembalikannya dan mereka membawanya pergi. Namun, ketika Nabi saw sampai ke Madinah, entah bagaimana sahabat itu dapat terlepas dan datang kepada Rasulullah lagi. Dua pria mengikutinya untuk membawanya kembali. Mereka datang dan berkata kepada Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) ‘Anda telah berjanji bahwa Anda akan mengembalikan orang kami.’ Dia berkata, ‘Ya, memang ada janji. Bawa dia pergi.’ Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah! Orang-orang ini menyakiti saya dan mengganggu saya. Jangan kirim saya pada mereka.’ Beliau menjawab, ‘Tuhan telah memerintahkan saya untuk tidak melakukan pengkhianatan, jadi pergilah bersama mereka.’
“Dia pergi dengan kedua pria itu tetapi di tengah jalan, dia membunuh salah satu dari mereka dan kembali lagi dan berkata, ‘Ya Rasulullah! Anda telah memenuhi janji Anda kepada mereka. Namun, saya tidak berkewajiban kepada mereka bahwa saya akan pergi bersama mereka, jadi saya datang lagi.’
“Pria satu lagi kemudian datang kembali untuk menjemputnya. Rasulullah berkata, ‘Kami tidak bisa membawamu bersama kami.’ Beliau mengirimnya kembali lagi. Namun, pria itu tidak berhasil membawanya sendiri. Jadi, dia tetap tinggal.” Menurut riwayat lain, dia pergi ke tempat lain selain Madinah. “Rasulullah terus mengulangi, bahwa, ‘Aku tidak akan mengingkari janjiku.’ Jadi, beliau memenuhi janjinya kepada orang-orang kafir meskipun ada seorang Muslim yang berada dalam kesulitan besar.” (Khutbat-e-Mahmud [Urdu], Jilid 5, No. 31, 29 September 1916, hlm. 275-276)
Pada perjanjian Hudaibiyyah, antara Muslim dan kafir telah sepakat bahwa suku-suku Arab akan bebas bergabung dengan orang-orang kafir atau Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam). Disepakati juga bahwa kedua belah pihak akan memastikan mereka tidak akan berperang, begitu juga pihak yang bergabung dengan mereka.
Orang-orang kafir Mekah kemudian melanggar perjanjian dengan menyerang suku yang bersekutu dengan Muslim. Suku itu mengadu kepada Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) yang kemudian memutuskan untuk menyerang Mekkah untuk mendukung suku yang menjadi sekutu itu.
Ini adalah hak suku tersebut bahwa sesuai dengan perjanjian mereka akan dibantu. Dan sekarang menjadi tanggung jawab umat Islam untuk menghormati perjanjian ini dan menetapkan hak mereka dan menghukum orang-orang kafir Mekkah karena telah melanggar perjanjian.
Dan ketika orang-orang Mekah mengetahui hal ini, mereka mengirim Abu Sufyan. Ia tiba di masjid Nabi dan mengumumkan bahwa perjanjian itu sekarang akan diperbarui karena itu bukan bagian dari perjanjian asli. Orang-orang Islam menyuruhnya untuk berhenti bertingkah seperti anak kecil dan mengatakan kepadanya bahwa perjanjian telah ditandatangani dan kemudian dilanggar oleh mereka. Abu Sufyan sangat malu dan kembali pulang. Akhirnya, Mekah ditaklukkan oleh kaum Muslim.” (Life of Muhammad, hal. 152-154)
5. Apa Saja Hak-hak Pasukan Musuh Dalam Islam?
Biasanya, peperangan itu, termasuk perang modern, dilakukan untuk membangun kedigdayaan dan untuk memperluas wilayah. Terlebih di era modern ini, perang telah dilakukan untuk menguasai sumber daya negara lain dengan berbagai cara. Namun kemudian mereka berbicara tentang ‘hak’, sambil merampas hak negara lain. Sedangkan izin peperangan yang diberikan dalam Islam adalah untuk menegakkan perdamaian dan kebebasan beragama serta memerangi para penindas. Di samping itu, Islam juga menetapkan hak-hak pasukan musuh. Oleh karena itu, ketika perintah pertama untuk berperang diturunkan, Allah Ta’ala juga menjelaskan alasan diberikannya izin untuk berperang.
اُذِنَ لِلَّذِیۡنَ یُقٰتَلُوۡنَ بِاَنَّہُمۡ ظُلِمُوۡا ؕ وَاِنَّ اللّٰہَ عَلٰی نَصۡرِہِمۡ لَقَدِیۡرُ – الَّذِیۡنَ اُخۡرِجُوۡا مِنۡ دِیَارِہِمۡ بِغَیۡرِ حَقٍّ اِلَّاۤ اَنۡ یَّقُوۡلُوۡا رَبُّنَا اللّٰہُ ؕ وَلَوۡلَا دَفۡعُ اللّٰہِ النَّاسَ بَعۡضَہُمۡ بِبَعۡضٍ لَّہُدِّمَتۡ صَوَامِعُ وَبِیَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ یُذۡکَرُ فِیۡہَا اسۡمُ اللّٰہِ کَثِیۡرًا ؕ وَلَیَنۡصُرَنَّ اللّٰہُ مَنۡ یَّنۡصُرُہٗ ؕ اِنَّ اللّٰہَ لَقَوِیٌّ عَزِیۡزٌ
“Telah diizinkan bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka. Orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Dan sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan pasti Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Perkasa. (QS Al-Hajj [22]:40-41)
Artinya jika orang-orang seperti itu dibiarkan sama sekali, maka tidak ada tempat ibadah yang tertinggal. Orang-orang ini akan menyerang mereka dan menghancurkan semuanya.
Kemudian, izin itu diberikan dengan tetap memperhatikan tujuan untuk menegakkan keadilan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri teguh karena Allah, menjadi saksi dengan adil; dan janganlah kebencian sesuatu kaum mendorong kamu bertindak tidak adil. Berlakulah adil; itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maidah [5]:9)
Bagaimana Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) menetapkan hak-hak orang-orang yang berperang? Dalam hal ini Hazrat Sulaiman bin Buraidah ra meriwayatkan dari ayahnya:
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mengutus seorang pemimpin dalam sebuah satuan militer maka beliau berwasiyat kepadanya untuk selalu bertakwa kepada Allah dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang bersamanya. Beliau bersabda: “Berperanglah dengan nama Allah dan di jalan Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah, jangan mencuri harta ghanimah, jangan menipu, jangan memutilasi dan jangan membunuh anak kecil. Jika engkau bertemu dengan orang-orang musyrik musuhmu, maka serulah kepada tiga hal. Mana saja dari ketiga hal itu mereka lakukan maka terimalah dan jangan kalian perangi; serulah mereka untuk masuk Islam; ajaklah mereka agar pindah dari dari negeri mereka menuju negeri muhajirin (kaum muslimin); dan kabarkanlah kepada mereka, jika mereka mau melakukannya (hijrah) maka mereka akan mendapatkan apa yang akan didapatkan oleh orang-orang yang telah berhijrah, dan mereka akan dibebani kewajiban sebagaimana yang didapat oleh orang-orang yang telah hijrah. Tetapi jika mereka menolak untuk hijrah, maka beritahukan kepada mereka bahwa mereka akan diperlakukan seperti orang-orang Arab Badui Muslim dan akan diberlakukan kepada mereka hukum yang diberlakukan kepada orang-orang mukmin. Mereka tidak mendapatkan ghanimah ataupun fai` kecuali jika mereka ikut berjihad. Jika mereka menolak maka mintalah mereka untuk memberikan jizyah dam jika mereka melakukannya maka terimalah dari mereka dan jangan menyerang mereka. Dan apabila mereka menolak mintalah pertolongan kepada Allah atas mereka dan perangilah mereka. Dan jika engkau mengepung suatu benteng, lalu mereka menginginkan agar engkau memberikan jaminan Allah dan rasul-Nya kepada mereka, maka jangan engkau lakukan. Tetapi berikanlah jaminanmu dan jaminan sahabatmu kepada mereka, sebab jika kalian membatalkan jaminan kalian atau jaminan sahabat kalian, maka itu lebih baik dari pada membatalkan jaminan Allah dan rasul-Nya. Jika engkau mengepung suatu benteng, lalu mereka menginginkan agar engkau menghukumi mereka dengan hukum Allah, maka jangan kamu lakukan. Tetapi hukumilah mereka dengan hukummu. Sebab engkau tidak tahu apakah engkau bisa menguhukumi mereka sesuai dengan hukum Allah atau tidak.” (Jami’ al-Tirmidzi, Kitab al-Siyar an Rasulillah, Bab ma ja’a fi wasiyyatihi fil-qitaal) (Sunan Abi Dawud, Kitab al-Jihad, Bab fi du’ai al-musyrikin)
Jadi mereka diberikan hukuman yang seringan-ringannya.
Kemudian diriwayatkan oleh Hazrat Abdullah [bin Yazid al-Ansari]:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنِ النُّهْبَى وَالْمُثْلَةِ
“Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) melarang merampas harta, dan juga melarang memutilasi tubuh.” (Sahih al-Bukhari, Kitab al-Mazalim, Bab al-nuhba bighairi izni shohibihi)
Hazrat Abdur Rahman ra bin Aiz meriwayatkan:
“Setiap kali Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) mengirim ekspedisi, beliau akan berkata kepada mereka, ‘Perkenalkan diri kalian dengan orang-orang dan jangan menyerang mereka, sampai kalian telah mendakwahi mereka karena saya lebih menyukai seluruh umat manusia, apakah mereka tinggal di rumah atau tenda, bahwa mereka kembali sebagai Muslim daripada Anda menangkap wanita dan anak-anak mereka sebagai tawanan dan membunuh laki-laki mereka.’” (Kanz al-Ummal, Vol. 4, Muassasah ar-Risalah: Beirut, hal. 469, Hadis 11396)
Hazrat Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda:
انْطَلِقُوا بِاسْمِ اللَّهِ وَبِاللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ وَلاَ تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا وَلاَ طِفْلاً وَلاَ صَغِيرًا وَلاَ امْرَأَةً وَلاَ تَغُلُّوا وَضُمُّوا غَنَائِمَكُمْ وَأَصْلِحُوا وَأَحْسِنُوا
“Berangkatlah dengan nama Allah, percayalah kepada Allah dan ikutilah agama Rasulullah, dan janganlah membunuh orang tua, anak kecil, dan wanita. Dan janganlah berkhianat (dalam pembagian ghanimah), dan kumpulkanlah rampasan perang kalian. perbaikilah amalanmu dan berbuatlah kebaikan, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Sunan Abi Dawud, Kitab al-Jihad, Bab fi du‘ai al-musyrikiin)
Hazrat al-Aswad ra bin Sarii’ meriwayatkan:
“Rasulullah mengirim ekspedisi pada hari Pertempuran Hunain. Mereka memerangi orang-orang musyrik sampai-sampai mereka membunuh anak-anak mereka. Ketika mereka kembali, Rasulullah bertanya kepada mereka, ‘Apa yang memaksamu untuk membunuh anak-anak?’” Kamu tidak berhak melakukan itu. “‘Mereka menjawab, ‘Ya Rasulullah! Mereka hanyalah anak-anak dari orang-orang musyrik.’ Beliau berkata, ‘Bukankah orang yang terbaik di antara kalian adalah anak dari orang musyrik? Demi yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah ada jiwa yang dilahirkan kecuali pasti dalam keadaan fitrah sehingga lidahnya yang akan mengikrarkannya.'” (Musnad Ahmad, Musnad al-muqillin, al-Aswad bin Sari’)
Hazrat Rabaah bin Rabi’ meriwayatkan:
“Kami pernah bersama dalam sebuah pertempuran. Kemudian beliau melihat orang-orang berkumpul mengerumuni sesuatu. Kemudian beliau mengirim seseorang dan berkata: “Lihatlah, apakah yang mereka kerumuni?” Kemudian orang tersebut datang dan berkata; ‘Mereka mengerumuni seorang wanita yang terbunuh. Kemudian beliau berkata; ‘Tidak sepantasnya orang ini untuk berperang’. Sementara baris depan Khalid bin Al Walid. Kemudian beliau mengutus seseorang dan beliau berkata; ‘Katakan kepada Khalid agar ia tidak membunuh wanita dan orang utusan.” (Sunan Abi Dawud, Kitab al-Jihad, Bab fi qatlin-nisaa)
Pada saat penaklukan Mekah, Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah memerintahkan Khalid bin Walid ra untuk memasuki Mekah dari arah bawah dan kemudian bertemu dengan beliau di Safa. Beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) memerintahkan Hazrat Abu Ubaidah ra bin al-Jarrah untuk masuk dari Batn Al-Wadi, maju ke titik tertentu dan kemudian menunggunya. Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) dengan tegas menginstruksikan mereka semua untuk tidak mengangkat senjata melawan siapa pun kecuali seseorang yang memulai serangan. Beliau menyampaikan instruksi ini kepada semua orang pada umumnya dan kepada Hazrat Khalid bin Walid ra pada khususnya.
Menurut instruksi ini, tentara Muslim mulai maju ke Mekah dari segala sisi. Bagian kota yang dimasuki Hazrat Khalid bin Walid ra belum mendengar kondisi perdamaian. Oleh karena itu, beberapa dari kalangan Quraisy mulai memeranginya. Karena Ikrimah bin Abi Jahal, Safwan bin Umayyah dan Sahl bin Amr telah menyerangnya bersama rekan-rekan mereka, ia terpaksa mengangkat senjata untuk mempertahankan diri.
Meskipun pertempuran di Khandamah berlangsung singkat, dua belas musuh tewas. Setelah melihat nasib akhir mereka, sisanya melarikan diri dan tidak ada orang lain yang berani melancarkan serangan lagi. Sebelum Hazrat Khalid bin Walid kembali, Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) diberitahu tentang kejadian tersebut dan beliau meminta untuk menghentikan Hazrat Khalid ra dari pertempuran. Jika Hazrat Khalid tidak berhenti, kata mereka, seluruh Mekah akan terbunuh.
Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) segera memanggil Khalid ra dan berkata, “Bukankah aku menyuruh menghentikanmu dari pertempuran?” Dia menjawab, “Ya, Anda memerintahkannya wahai Nabi Allah, tetapi orang-orang ini menyerang kami lebih dulu dan mulai menembakkan panah ke arah kami. Kami juga menunjukkan kesabaran dalam hal ini, saya tidak melakukan apa pun dan mengatakan kepada mereka bahwa kami tidak ingin berkelahi. Tetapi mereka tidak mendengarkan dan terus menembakkan panah ke arah kami. Jadi, kami terpaksa berperang sampai akhirnya Allah Ta’ala membubarkan mereka.”
Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) menerima penjelasannya.
Ini adalah satu-satunya peristiwa yang tidak diinginkan yang terjadi pada kesempatan itu. Semua komandan yang ditunjuk datang dari arah yang berbeda dan bertemu dengan Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) di tempat yang ditentukan. Mekah benar-benar ditaklukkan sebelum fajar menyingsing. (Life of Muhammad, hal. 161)
Saat ini, para kritikus melemparkan tuduhan terhadap Islam tetapi pada saat yang sama mereka sendiri meluncurkan serangan membabi buta dan serangan udara di rumah sakit dan sekolah, menghancurkan bangunan-bangunan [sipil] dan membunuh wanita, anak-anak dan orang sakit yang berlindung di rumah. Tidak ada yang dapat menerima hak mereka, namun mereka memutuskan untuk menyerang hak yang telah dijamin oleh Islam.
Siapakah selain Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan Khulafa-u-Rasyidin yang menjunjung tinggi hak-hak ini sampai tingkat seperti itu?
Bagaimana Islam menegakkan hak-hak musuh walaupun dalam kondisi perang? Saya akan menyajikan ringkasan ini. Hazrat Muslih Mau’ud ra menyatakan:
- Muslim sangat dilarang memutilasi jasad (Sahih Muslim)
- Muslim dilarang melakukan kecurangan. (Sahih Muslim)
- Anak-anak tidak boleh dibunuh, begitu pula wanita. (Sahih Muslim)
- Para Imam, pemangku dan pemuka agama tidak boleh diganggu. (Thahawi)
- Orang tua, jompo, wanita dan anak-anak tidak boleh dibunuh. Kemungkinan perdamaian harus selalu diperhatikan. (Abu Daud)
- Ketika umat Islam memasuki wilayah musuh, mereka tidak boleh melakukan teror kepada masyarakat umum. Mereka tidak diizinkan memperlakukan buruk terhadap rakyat biasa. (Sahih Muslim) (Mereka seharusnya tidak menakuti penduduk tanpa alasan, seperti orang-orang sekarang melakukan serangan udara.)
- Tentara Muslim tidak boleh berkemah di tempat yang menyebabkan ketidaknyamanan bagi masyarakat umum. Saat beriring-iringan mereka harus berhati-hati agar tidak menghalangi jalan, atau menyebabkan ketidaknyamanan bagi musafir lain.
- Tidak diperkenankan membuat cacat pada wajah. (Sahih al-Bukhari dan Shahih Muslim)
- Kerugian pada musuh harus ditekan seminimal mungkin. (Abu Daud)
- Ketika tawanan perang ditempatkan di bawah penjagaan, mereka yang berkerabat dekat harus ditempatkan bersama-sama. (Abu Daud)
- Tahanan harus hidup dalam kenyamanan. Muslim harus lebih memperhatikan kenyamanan tahanan mereka daripada kenyamanan mereka sendiri. (Tirmidzi)
- Utusan dan delegasi dari negara lain harus dihormati. Setiap kesalahan atau ketidaksopanan yang mereka lakukan harus diabaikan. (Abu Dawud, Kitab al-jihad)
- Jika seorang Muslim melakukan kesalahan dengan menganiaya tawanan perang, maka harus dilakukan penebusan dengan membebaskan tawanan tanpa uang tebusan.
- Ketika seorang Muslim mengambil tawanan perang, tawanan itu harus diberi makan dan pakaian dengan cara yang sama seperti Muslim itu sendiri. (Sahih al-Bukhari). Hazrat Abu Bakar, Khalifah Pertama Islam, melengkapi perintah Nabi ini dengan beberapa perintah beliau sendiri. Salah satu perintah yang ditambahkan di sini juga merupakan bagian dari ajaran Islam.
- Bangunan-bangunan umum dan pohon yang menghasilkan buah (dan tanaman pangan) tidak boleh dirusak. (Al-Muwatta)” (Life of Muhammad, hlm. 117-118)
Hazrat Mushlih Mau’ud ra menggambarkan salah satu ciri dari hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pemurah [ibad-ur-Rahman] adalah orang-orang yang tidak membunuh siapa pun secara tidak adil. Beliau bersabda:
“Demikian pula, ciri lain dari ibad-ur-Rahman adalah mereka tidak membunuh siapa pun secara tidak adil. Ciri khas ini juga muncul dalam segala kemuliaannya dalam pribadi-pribadi suci para Sahabat. Mereka mematuhi perintah ini dengan sangat ketat sehingga meskipun mereka berperang melawan bangsa yang ingin mengubah agama mereka dengan kekuatan pedang, pedang mereka hanya diangkat melawan mereka yang terlibat langsung dalam perang sebagai prajurit perang. Pedang mereka tidak bangkit melawan seorang wanita, seorang anak, seorang lelaki tua, seorang rahib, seorang pandit atau seorang pendeta karena mereka tahu bahwa Islam hanya mengizinkan berperang melawan para prajurit perang. Membunuh orang selain itu, meskipun mereka berasal dari pihak musuh, dinyatakan sebagai pelanggaran.
“Saat ini, pemerintahan besar dunia, yang mengklaim sebagai penjaga keadilan dan yang keberadaannya dianggap sebagai penjamin perdamaian dunia, sedemikian rupa sehingga mereka terus mengancam untuk menghancurkan negara-negara musuh dengan senjata nuklir. Bahkan dalam Perang Dunia terakhir, jutaan pria, wanita, dan anak-anak Jepang yang tidak bersalah terbunuh akibat dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, dan hal itu dipuji sebagai pencapaian besar bagi perdamaian dunia.”
Bahkan sekarang, ketika serangan dilakukan terhadap berbagai kota dalam peperangan yang sedang terjadi, apa yang terjadi di sana? Apa yang terjadi di Irak? Apa yang terjadi di Palestina? Apa yang terjadi di Suriah? Apa yang terjadi di Yaman? Kekejaman yang sama terulang kembali. Kemudian tindakan ini dipuji sebagai pencapaian besar menuju perdamaian dunia.
“Sebaliknya, selama masa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan para Khalifahnya kita tidak pernah melihat kekejaman seperti itu di mana mereka membunuh pria, wanita, dan anak-anak yang tidak bersalah dalam perang. Namun, mereka yang melukis tangan mereka dengan darah jutaan orang yang tak berdosa dipuji sebagai lambang keadilan dan orang-orang Islam yang bahkan tidak pernah menginjak semut di bawah kaki mereka disebut perampok dan penjarah.” (Tafsir-e-Kabir [Urdu], Jilid 6, hlm. 575-576)
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda:
“Tiap orang juga harus mengingat kondisi ini bahwa Islam hanya mengizinkan mengangkat pedang terhadap mereka yang terlebih dahulu mengangkat pedang dan memerintahkan mereka untuk membunuh orang-orang yang membunuhmu terlebih dahulu.” (Anjam-e-Atham [Urdu], Ruhani Khazain, Vol. 11, hal. 37)
Inilah beberapa hak lain yang telah saya uraikan. Ini hak-hak yang dengan mengamalkannya kita dapat menyebarkan semangat perdamaian dan keamanan di masyarakat dan dunia. Jika tidak, maka tidak ada jaminan perdamaian di dunia. Khususnya, hak-hak peperangan yang telah saya sebutkan, jika pemerintah tidak memahami tanggung jawab mereka dalam hal ini dan tidak memenuhi hak-hak yang dimiliki orang lain, maka mereka harus siap menghadapi Perang Dunia, yang kehancurannya tidak dapat dibayangkan. .
Semoga Allah Ta’ala memberikan kebijaksanaan kepada pemerintah duniawi ini, alih-alih membuat mereka semakin ego, supaya mereka dapat bekerja untuk menyelamatkan umat manusia.
Dalam hal ini, setiap Ahmadi berkewajiban untuk berdoa supaya dunia diselamatkan dari kehancuran dan malapetaka. Semoga mereka menerima Tuhan yang Esa yang tidak memiliki sekutu. Semoga mereka memahami ajaran Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan mengamalkan jalan ini. Ini adalah jaminan keselamatan mereka dan keselamatan generasi penerus mereka.
Semoga Allah memberikan mereka kebijaksanaan. Semoga Allah menganugerahkan segala jenis keamanan pada setiap Ahmadi. Berdoalah juga untuk para Ahmadi, semoga setiap Ahmadi dan setiap orang yang tertindas dapat aman dari setiap kejahatan.
Sumber: Alhakam.org
Penerjemah: Khaeruddin Ahmad Jusmansyah