Kekeliruan Pandangan Kaum Arya Samaj tentang Keadilan Allah
Pandit Dayanand dalam bukunya berbahasa Urdu yang berjudul Satyarath Prakash mencatat di halaman 501 bahwa Tuhan tidak bisa mengampuni dosa manusia karena kalau Dia melakukannya berarti Dia telah berlaku tidak adil. Karena itu dalam pandangannya, Tuhan itu semata-mata hanya menjadi Hakim dan bukan sebagai Penguasa (Al-Malik). Pada halaman yang sama ia mengemukakan bahwa Tuhan tidak bisa mengaruniakan ganjaran tidak berbatas untuk kinerja yang terbatas. Padahal jika Dia itu memang Penguasa maka tidak ada salahnya jika Dia mengganjar kinerja yang terbatas dengan imbalan yang tanpa batas. Tindakan wujud Penguasa (Al-Malik) tidak mungkin diukur dengan tolok ukur keadilan. Kalau kita memiliki sesuatu dan kita memberikan sebagian daripadanya kepada seseorang yang memohonnya maka tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk mengeluhkan bahwa orang lain ternyata diberi lebih dibanding dirinya sendiri. Begitu juga dengan seorang makhluk, karena ia tidak mempunyai hak terhadap Allah Yang Maha Kuasa untuk menuntut keadilan. Seorang hamba tidak mungkin menuntut keadilan sebagaimana juga Tuhan tidak akan mengakui hak dari makhluk-Nya untuk menuntut keadilan. Apa pun yang dikaruniakan Tuhan kepada makhluk-Nya sebagai imbalan dari kinerjanya adalah semata-mata karunia-Nya.
“Tindakan itu tidak memiliki arti dengan sendirinya karena tidak ada amalan yang bisa dilaksanakan tanpa bantuan dan rahmat Allah swt. Jika kita renungi hukum Tuhan maka akan menjadi jelas bahwa apa pun yang diberikan oleh Allah swt bagi mahluk-Nya adalah rahmat dalam dua bentuk.”
“Pertama adalah rahmat yang sudah ada sebelum manusia mewujud dimana tindakan atau amalan manusia sama sekali tidak ada kaitannya dengan hal itu. Dia telah menciptakan bagi kemaslahatan manusia benda-benda seperti matahari, bulan, bintang-bintang, bumi, air, udara, api dan lain-lain dan tidak ada yang meragukan bahwa semua ini sudah ada sebelum amalan atau manusianya muncul di muka bumi. Semua itu merupakan rahmat Ilahi yang dalam istilah Al-Quran disebut sebagai sifat Rahmaniyat. Dengan kata lain, karunia seperti itu diberikan bukan sebagai imbalan dari amalan manusia tetapi semata-mata merupakan rahmat yang murni.”
“Bentuk kedua dari rahmat dalam istilah Al-Quran disebut sebagai sifat Rahimiyat. Yang dimaksud adalah karunia yang diberikan Allah swt kepada manusia sebagai imbalan dari kesalehan amalannya. Bisakah kita membayangkan bahwa Tuhan yang telah memperlihatkan kemurahan melalui sifat Malikiyat-Nya ketika mencipta langit dan bumi, matahari dan bulan dan lain sebagainya ketika belum ada jejak dan amalan dari mahluk-Nya lalu menjadi seperti yang berhutang kepada mahluk-Nya dan hanya memberi ganjaran sebesar hak mereka saja dan tidak bisa memberi lebih? Apakah para mahluk-Nya itu memiliki hak atas Wujud-Nya agar Dia menciptakan langit dan bumi ini bagi mereka beserta beribu benda langit yang bercahaya dan berjuta benda di dunia yang tersedia bagi keselesaan dan kemudahan hidup mereka?
Untuk menyatakan bahwa Wujud Sang Penganugerah hanya semata-mata sebagai pembagi keadilan laiknya hakim serta menyangkal status dan keagungan-Nya sebagai Al-Mãlik sama saja dengan tidak tahu bersyukur sama sekali.”
(Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 26-28, London, 1984).
“Perlu selalu diingat bahwa Al-Malik (Penguasa) adalah suatu kata yang tidak mengandung pengertian adanya suatu hak atas Wujud-Nya dan ekspresi ini hanya bisa diterapkan secara sempurna bagi Tuhan saja karena hanya Dia itulah Penguasa yang Maha Sempurna. Seseorang yang telah menerimakan wujud lain sebagai penguasa atas hidupnya akan mengakui bahwa ia tidak lagi mempunyai hak atas jiwa dan raganya dan ia merasa tidak memiliki apa pun karena semuanya adalah milik Sang penguasa. Dalam keadaan demikian maka tidak mungkin baginya untuk menuntut kepada Penguasa-nya bahwa ia harus memperoleh keadilan menurut harapannya sendiri karena hal seperti itu menggambarkan bahwa ia memiliki hak untuk menuntut padahal ia telah melepaskan semua hak demikian. Demikian itulah status orang yang dekat kepada Allah swt dimana ia menerimakan statusnya sebagai hamba dan mengikrarkan:
إِنّا لِلَّهِ وَإِنّا إِلَيهِ راجِعونَ
‘Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali. (QS.2 Al-Baqarah: 157).
“Dengan kata lain, semua harta benda, nyawa, raga dan keturunannya adalah milik Allah swt dan setelah ikrar demikian ia tidak lagi mempunyai hak yang bisa dituntutnya dari Tuhan. Karena itulah mereka yang diberkati dengan pemahaman yang benar dengan mengesampingkan amalan, ibadah dan sedekah yang telah mereka lakukan, menyerahkan diri sepenuhnya kepada rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan tidak menetapkan nilai apa pun atas amalan mereka dan tidak mengajukan tuntutan bahwa mereka mempunyai suatu hak. Sesungguhnya Tuhan itu adalah Dia yang melalui Wujud-Nya telah memberikan kekuatan kepada manusia untuk melakukan sesuatu yang baik dan Dia itu adalah Allah s.w.t. Tidak ada seseorang pun yang bisa menuntut keadilan Allah Yang Maha Kuasa dengan mendasarkannya pada kemampuan atau amalan dirinya. Sejalan dengan Al-Quran, apa pun yang telah dilakukan oleh Tuhan adalah dalam fungsi-Nya sebagai Al-Malik. Sebagaimana Dia menghukum mereka yang bersalah, begitu pula Dia mengampuni dosa. Dia berkuasa melakukan keduanya sejalan dengan sifat Malikiyat-Nya. Kalau Dia hanya menghukum dosa saja maka tidak akan ada kelepasan bagi manusia. Allah s.w.t. mengampuni sebagian besar dosa-dosa dan menghukum beberapa orang saja agar siapa yang lalai mendapat peringatan untuk kembali kepada-Nya. Sebagaimana diungkapkan dalam Al-Quran:
وَمَآ أَصَـٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍۢ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍۢ
‘Musibah apa juapun yang menimpamu adalah akibat apa yang telah diusahakan oleh tanganmu sendiri. Dan Dia memaafkan banyak dosadosamu’ (QS.42 Asy-Sura:31).
Dalam Surah yang sama terdapat ayat:
وَهُوَ ٱلَّذِى يَقْبَلُ ٱلتَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِۦ وَيَعْفُوا۟ عَنِ ٱلسَّيِّـَٔاتِ
‘Dia-lah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan dosa-dosa’ (QS.42 Asy-Sura:26).
“Namun jangan ada pula orang yang melupakan bahwa Kitab Suci Al-Quran juga mengandung ayat:
وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍۢ شَرًّۭا يَرَهُۥ
‘Barangsiapa berbuat kejahatan seberat zarah sekali pun niscaya ia akan menyaksikannya pula’ (QS.99 Al-Zilzal:9).
“Dalam hal ini tidak ada kontradiksi karena yang dimaksud adalah keburukan yang terus saja dilakukan manusia dan ia tidak juga bertobat. Al-Quran berulangkali menegaskan bahwa penyesalan dan pertobatan serta meninggalkan dosa dan memohon pengampunan akan memperoleh pengampunan dosa-dosa. Sesungguhnya Allah s.w.t. mencintai mereka yang bertobat sebagaimana dikemukakan dalam ayat:
إنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّ ٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ
‘Sesungguhnya Allah mencintai mereka yang suka bertobat dan Dia mencintai pula mereka yang mensucikan diri lahir dan batin’ (QS.2 Al- Baqarah:223).
“Artinya, Allah s.w.t. mencintai mereka yang bertobat dan mengasihi mereka yang berjuang untuk mensucikan diri mereka dari dosa. Singkat kata, semata-mata menghukum dosa saja adalah bertentangan dengan sifat pengampun dan pemaaf dari Allah Yang Maha Kuasa karena Dia itu adalah Penguasa (Al-Malik) dan bukan semata-mata hanya sebagai hakim. Dia menyebut Diri-Nya sebagai Malik dalam Surah pertama Al-Quran dimana dikatakan bahwa Dia adalah Maliki Yaumiddin yaitu bahwa Dia adalah Penguasa dari penghukuman dan pengganjaran. Jelas bahwa tidak ada yang bisa disebut sebagai Penguasa kecuali ia memiliki kedua kekuasaan tersebut, yaitu menghukum kapan ia mau dan mengampuni bilamana ia menyukai.”
(Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; Khazain, vol. 23, hal. 23-24, London, 1984).
“Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut kaum Arya, dewa Permeshwar [1] mereka tidak bisa dianggap sebagai Al-Malik karena yang bersangkutan tidak memiliki kekuasaan untuk mengaruniakan apa yang jadi miliknya semata- mata sebagai rahmat atau berkat saja tanpa ada hak dari si penerima. Sebagai pemilik semua kekayaan, seharusnya yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk memberikan sebagian daripadanya kepada siapa pun yang dipilihnya, namun kaum Arya meyakini bahwa dewa Permeshwar tidak bisa mengampuni dosa-dosa, tidak juga ia bisa mengaruniakan apa pun kepada siapa pun sebagai berkat atau karunia karena dengan berbuat demikian maka yang bersangkutan dianggap telah berlaku tidak adil.”
“Mereka yang meyakini transmigrasi jiwa (reinkarnasi) tidak bisa mengimani bahwa Permeshwar adalah Al-Malik dari segala ciptaan. Kami telah berulangkali menegaskan bahwa tidak patut membatasi Sang Penguasa agar bertindak hanya sesuai asas-asas keadilan. Kami beriman bahwa Dia yang menjadi Al–Mãlik itu bersifat Ar–Rahĩm, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan mengampuni dosa-dosa, namun kami tidak akan mengatakan bahwa Dia itu mematuhi asas keadilan berkaitan dengan para hamba dan mahluk-Nya karena wacana keadilan hanya bisa berlaku dalam hal adanya suatu bentuk kemerdekaan pada kedua pihak. Sebagai contoh, mengenai seorang raja di bumi kita bisa mengatakan bahwa ia seorang yang lurus dan memperlakukan rakyatnya dengan adil, sepanjang rakyatnya itu patuh kepadanya maka asas keadilan mengharuskan kepada mereka bahwa sebagai imbalan kepatuhan mereka kepada raja (antara lain dalam membayar pajak) maka raja berkewajiban memelihara hidup dan harta benda mereka serta menolong mereka di masa sulit dengan kekayaan milik kerajaan. Dengan demikian dari satu sisi, kerajaan memaksakan titah mereka kepada rakyat dan dari pihak lain adalah rakyat yang memaksakan keinginan mereka atas rajanya. Sepanjang aspek-aspek ini bisa bekerja sama maka negeri itu akan aman sejahtera, tetapi begitu salah satu pihak mengingkarinya maka negeri tersebut tidak akan aman lagi. Karena itulah kita tidak bisa menyebut seorang raja sebagai benar-benar bersifat Al-Mãlik karena sebagai raja ia masih ada kewajiban berlaku adil kepada rakyatnya dan mereka harus berlaku sama kepadanya.”
“Berkaitan dengan Allah Yang Maha Kuasa, kita bisa menyebut-Nya sebagai bersifat Rahim karena sifat Mãlikiyat-Nya, namun kita tidak bisa menyebut Wujud-Nya sebagai adil. Siapa pun yang menjadi milik dari orang lain tidak bisa menuntut keadilan dari Sang pemilik, paling-paling ia hanya bisa memohon belas kasihan. Karena itulah Kitab Suci Al-Quran tidak menyebut Allah Yang Maha Perkasa sebagai Yang Adil, karena keadilan menuntut adanya kesamaan yang setara. Allah Yang Maha Kuasa dikatakan adil hanya dalam pengertian bahwa Dia memperlakukan secara adil di antara sesama mahluk yang berkaitan dengan hak-hak mereka atas satu sama lain, namun Dia tidak dikatakan adil dalam pengertian bahwa mahluk-Nya bisa menuntut hak atas Wujud-Nya dalam suatu kesetaraan.”
“Semua mahluk merupakan milik dari Allah s.w.t. dan Dia mempunyai wewenang penuh untuk memperlakukan mereka menurut suka-Nya. Dia bisa saja memberikan kerajaan kepada mereka yang diinginkan-Nya atau membuat mereka sebagai gembel gelandangan. Dia berkuasa mematikan seseorang di usia muda atau memberikan usia panjang kepadanya. Kita sendiri jika memiliki sesuatu maka kita bebas memberikannya kepada siapa pun yang kita suka. Sesungguhnya Allah s.w.t. itu Maha Pengasih karena sifat Rahmat-Nya dan bukan karena pertimbangan keadilan. Dia itu memelihara kehidupan ciptaan-Nya. Sebagaimana telah berulangkali kami tegaskan, sifat Mãlikiyat dan sifat keadilan tidak konsisten satu dengan lainnya. Karena kita ini merupakan ciptaan-Nya maka kita tidak berhak menuntut keadilan daripada-Nya. Sepatutnya kita memohon rahmat-Nya dengan khusyu dan merendahkan diri. Adalah tidak patut sama sekali bagi seorang mahluk untuk menuntut keadilan Allah Yang Maha Kuasa dalam perlakuan-Nya terhadap dirinya. Karena semua hal yang berkaitan dengan fitrat manusia itu berasal dari Allah s.w.t. dan semua kemampuan manusia, baik ruhaniah atau jasmaniah, merupakan karunia daripadanya dimana amalan baik pun bisa dilaksanakan hanya karena bantuan dan kekuatan yang diberikan oleh-Nya, maka benar-benar bodoh untuk menuntut keadilan kepada-Nya dengan mendasarkan pada amalan baik yang telah dilakukan manusia tersebut. Kami tidak akan menganggapnya sebagai ajaran yang didasarkan pada pengetahuan yang benar. Bahkan ajaran demikian itu luput dari penalaran dan penuh dengan kekeliruan. Allah Yang Maha Kuasa telah mengajarkan kepada kita di dalam Al-Quran bahwa mengundang Allah s.w.t. berhadapan langsung dengan mahluk-Nya tidak saja merupakan suatu dosa, tetapi juga merupakan pengingkaran Tuhan.”
(Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 32-34, London, 1984).
Kekeliruan Pandangan Umat Kristen tentang Keadilan Allah
Umat Kristiani yang berpandangan sempit karena kurangnya perenungan dengan benar, telah beranggapan salah bahwa keadilan dan rahmat tidak bisa muncul berdampingan dalam Wujud Allah s.w.t. karena keadilan menuntut adanya penghukuman sedangkan rahmat mengharuskan adanya pengampunan. Mereka tidak bisa mempertimbangkan bahwa keadilan Allah s.w.t. adalah juga rahmat karena semuanya itu adalah bagi kemaslahatan umat manusia. Sebagai contoh, jika Allah Yang Maha Kuasa menetapkan bahwa seorang pembunuh harus dihukum mati maka hal ini tidak ada pengaruhnya pada sifat Ke- Tuhanan Wujud-Nya. Dia menetapkan demikian atas dasar pertimbangan agar umat manusia tidak musnah karena saling membunuh di antara mereka. Hal ini menjadi rahmat bagi umat manusia dan Allah Yang Maha Perkasa menetapkan sistem kesamaan hak di antara para mahluk-Nya agar bisa tercipta perdamaian dimana tidak ada kelompok yang satu mencerobohi kelompok lainnya yang hanya akan menimbulkan kekacauan. Dengan demikian semua hukuman yang ditentukan dalam ruang lingkup kehidupan, harta benda dan kehormatan merupakan rahmat bagi umat manusia.”
“Karena itu tidak ada konflik di antara keadilan dan rahmat. Keduanya itu seperti arus sungai yang berjalan paralel dimana yang satu tidak mencampuri yang lain. Kita bisa menemukan prinsip yang sama berfungsi pada kerajaan duniawi. Seorang yang melakukan kesalahan akan dihukum, sedangkan mereka yang berperilaku baik dan menyenangkan pemerintah akan mendapat karunia dan penghargaan.”
“Yang perlu selalu diingat bahwa atribut dasar dari Allah swt adalah rahmat sedangkan wacana keadilan baru dikenal setelah hukum dan daya nalar berkembang. Hal itu pun sebenarnya juga termasuk rahmat. Ketika daya nalar dikaruniakan kepada manusia dan melalui itu ia menyadari batasan yang ditetapkan oleh Tuhan dan kaidah-kaidah-Nya, maka ia menjadi subyek dari proses keadilan, sedangkan penalaran dan kaidah hukum tidak menjadi persyaratan untuk berlakunya rahmat. Sebagaimana Allah s.w.t. karena sifat kasih-Nya ingin mengangkat derajat manusia di atas semua mahluk ciptaan lainnya, maka Dia menetapkan batasan dan kaidah keadilan di antara mereka. Adalah suatu kebodohan untuk membayangkan adanya kontradiksi di antara keadilan dan rahmat.”
(Kitabul Bariyah, Qadian, Ziaul Islam Press, 1898; Ruhani Khazain,vol. 13, hal. 73-74, London, 1984).
[1] Di kalangan umat Hindu, istilah Tuhan berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain. Di Benggala disebut sebagai Hari. Di antara kalangan rakyat jelata digunakan nama-nama Permatma, Permeshwar, Eshwar dan lain-lain. Dalam kitab-kitab mereka disebut sebagai Brahma, Wisnu dan Syiwa sebagai indikasi dari ketiga sifat utama yaitu penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran . (Penterjemah)
Tulisan ini dikutip dari buku “Inti Ajaran Islam Bagian Pertama, ekstraksi dari Tulisan, Pidato, Pengumuman dan Wacana Masih Mau’ud dan Imam Mahdi, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as”. Neratja Press, hal 127-135, ISBN 185372-765-2