Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (saw) Seri 94

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 94)

Dua Sahabat Badr yaitu Hadhrat Auf bin Harits bin Rifa’ah (عَوْفُ بْنُ الْحَارِثِ بْنِ رِفَاعَةَ) al-Anshari dan Hadhrat Abu Ayyub Al-Anshari (أبو أيوب الأنصاري) radhiyAllahu ta’ala ‘anhuma serta empat Almarhum/ah.

Khotbah Jumat

Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 20 November 2020 (Nubuwwah 1399 Hijriyah Syamsiyah/05 Rabi’ul Akhir 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Hari ini sahabat pertama yang akan saya sampaikan bernama Hadhrat Auf bin Harits bin Rifa’ah (عَوْفُ بْنُ الْحَارِثِ بْنِ رِفَاعَةَ بْنِ الْحَارِثِ بن سواد بن مالك بن غنم) al-Anshari. Dalam riwayat-riwayat disebutkan beliau bernama Auf bin ‘Afra, Auf bin al-Harits dan ‘Audz bin Afra (عوذ بْن عفراء).[1]

‘Afra (عَفْرَاءَ) adalah nama ibunda beliau yang berasal dari kaum Anshar kabilah Banu Najjar. Hadhrat Mu’adz dan Hadhrat Mu’awwidz adalah saudara Hadhrat Auf.

Hadhrat ‘Auf bin al-Harits termasuk enam orang pertama dari kaum Anshar yang paling pertama datang ke Makkah dan baiat masuk Islam. Beliau juga ikut baiat Aqabah. [2] Ketika beliau menerima Islam maka beliau menghancurkan berhala Banu Malik bin Najjar bersama Hadhrat As’ad bin Zurarah (أسعد بن زرارة) dan Hadhrat Umarah bin Hazm.

Di hari perang Badr ketika perang sedang berlangsung, Hadhrat Auf bin ‘Afra bertanya pada Rasulullah (saw), يَا رَسُولَ اللهِ، مَا يُضْحِكُ الرَّبَّ مِنْ عَبْدِهِ؟ “Ya Rasulullah (saw), hal apa yang sangat disukai Allah Ta’ala dari hamba-Nya?”

Rasulullah (saw) bersabda, غَمْسَةُ يَدِهِ فِي الْعَدُوِّ حَاسِرًا “Allah Ta’ala menyukai ketika tangan hamba-Nya sibuk dalam perang dan dia berperang tanpa rasa takut tanpa pakaian besinya.” Artinya, jika berada di medan perang maka jangan merasa gentar. فَنَزَعَ دِرْعًا كَانَتْ عَلَيْهِ فَقَذَفَهَا، ثُمَّ أَخَذَ سَيْفَهُ، فَقَاتَلَ الْقَوْمَ حَتَّى قُتِلَ Mendengar itu Hadhrat Auf bin ‘Afra membuka baju besinya dan berderap maju mulai berperang sehingga beliau syahid.[3]

Abu Jahl mensyahidkan Hadhrat Auf bin Harits dan saudaranya yang bernama Hadhrat Mu’awwidz di perang Badr.[4]

Dalam kitab-kitab Hadits dan Sirah (Biografi dan Sejarah) terdapat riwayat-riwayat yang menceritakan tentang sahabat yang menyerang Abu Jahl di perang badr. Di dalamnya juga disebutkan nama Hadhrat Auf bin ‘Afra. Mengenai hal ini juga sudah pernah saya sampaikan sebelumnya. Di dalam Sunan Abi Daud nama beliau adalah Auf bin al-Harits.[5] Kedua nama ini adalah nama beliau dan umum digunakan. Beliau ikut dalam pembunuhan Abu Jahl dan beliau syahid di perang Badr.

Sahabat berikutnya adalah Hadhrat Abu Ayyub Al-Anshari (أبو أيوب الأنصاري) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) bernama Khalid (خَالِدُ بن زَيْد بن كُلَيْب بن ثعلبة بن عبد بن عوف بن غَنْم بن مالك بن النجار). Ayah beliau bernama Zaid bin Kulaib.[6] Beliau tekenal dengan nama dan gelarnya. Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) berasal dari Banu Najjar salah satu cabang kabilah Khazraj kaum Anshar. Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) mendapatkan taufik untuk baiat pada Baiat Aqabah kedua bersama 70 orang lainnya.

Nama ibu beliau Hindun binti Sa’d (هند بنت سعد بْن قيس بْن عمرو بْن امرئ القيس بْن مالك بْن ثعلبة بْن كعب بْن الخزرج بْن الحارث بْن الخزرج الأكبر). Sementara itu, menurut sebagian riwayat, ibu beliau bernama Zahra binti Sa’d. Nama istri beliau Hadhrat Ummu Hasan binti Zaid. Dari rahimnya lahir seorang putra bernama Abdurrahman. Rasulullah (saw) menjalinkan persaudaraan antara Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) dengan Hadhrat Mush’ab bin Umair.[7]

Ketika Rasullah (saw) hijrah ke Madinah beliau (saw) tinggal di rumah Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) sampai masjid Nabawi dan rumah beliau selesai dibangun.[8]

Dalam Sirat Khataman Nabiyyiin Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) menjelaskan tentang penginapan Rasulullah (saw), “Sesampai di perkampungan Banu Najjar timbul sebuah pertanyaan bahwa Rasulullah (saw) akan menginap dimana. Setiap anggota kabilah ingin mendapatkan kehormatan ini. Bahkan sebagian orang karena begitu cintanya mereka memegang tali kendali unta beliau (saw). Melihat itu Rasul (saw) bersabda, خَلّوا سَبِيلَهَا، فَإِنّهَا مَأْمُورَةٌ ‘Lepaskanlah tali unta saya ini, hari ini ia adalah ma’mur (di bawah perintah Allah).’[9] Itu artinya, dimanapun Allah Ta’ala berkehendak maka unta ini akan berhenti sendiri di situ.

Sambil mengucapkan ini beliau (saw) sendiri juga melonggarkan tali kendalinya. Unta itu maju dan berjalan perlahan. Ketika sampai di tanah dimana kemudian masjid nabawi dan hujrah Rasulullah (saw) dibangun yang saat itu merupakan tanah yang tidak produktif milik dua anak Madinah, maka unta itu duduk di situ. Namun segera berdiri lagi dan berjalan maju. Namun setelah berjalan beberapa langkah kembali lagi dan duduk lagi di tempat sebelumnya. Rasulullah (saw) bersabda, هَذَا إِنْ شَاءَ اللَّهُ الْمَنْزِلُ Artinya, ‘Ini adalah tanda bahwa Tuhan menghendaki di sinilah rumah saya akan berdiri.’[10]

Kemudian Rasulullah (saw) berdoa dan turun dari unta. Rasulullah (saw) lalu bertanya, أي بيوت أهلنا أقرب ‘Rumah siapa yang paling dekat dari sini, yakni dari antara umat Muslim?’

Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) bergegas maju dan berkata, أنا يا نبي الله، هذه داري وهذا بابي وقد حططنا رحلك فيها ‘Saya, wahai Nabi Allah! Ini rumah saya dan ini pintu rumah saya. Silahkan masuk.’

Beliau bersabda, فانطلق فهيّئ لنا مقيلا ‘Baiklah. Pergilah ke rumahmu dan siapkanlah tempat tinggal untuk kami.’[11]

Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) segera merapikan rumahnya dan kembali. Kemudian masuk ke dalam rumah bersama Rasulullah (saw). Rumah beliau ada dua lantai. Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) ingin Rasulullah (saw) menginap di lantai atas. Tapi beliau (saw) memilih lantai bawah karena berpikir bahwa akan mudah untuk orang-orang yang datang mulaqat. Dengan demikian Beliau (saw) menginap di lantai bawah. Malam pun tiba, sementara Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) dan istrinya tidak bisa tidur karena memikirkan, ‘Rasulullah (saw) berada di bawah sementara kita di atas beliau (saw).’

Kebetulan malam itu kendi air pecah. Karena takut ada tetesan air menetes ke bawah Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) segera mengeringkan air dengan menaruh selimutnya ke tempat genangan air. Pagi harinya beliau menghadap Rasulullah (saw) dan bersikeras meminta Rasulullah (saw) untuk tinggal di lantai atas. Awalnya beliau (saw) menolak. Namun, akhirnya melihat Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) bersikeras maka beliau (saw) pun setuju.

Beliau (saw) tinggal di rumah itu selama 7 bulan atau menurut riwayat ibnu Ishaq sampai bulan safar 2 hijri. Yakni selama masjid nabawi dan hujrah-hujrah atau ruangan kamarnya belum selesai beliau (saw) tinggal di rumah Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra). Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) mengirim makanan pada beliau (saw) dan makanan sisa beliau (saw) pun beliau (ra) memakannya. Karena kecintaan dan keikhlasan beliau, beliau akan memakan dari tempat makanan yang Rasulullah (saw) makan. Para sahabat yang lain umumnya juga mengirim makanan untuk Rasulullah (saw).”[12]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) juga menjelaskan tentang kisah ini. Sebagian kalimat dan sebagian hal ada yang baru sehingga saya juga bacakan semuanya. Umumnya kisahnya sama dengan yang disampaikan sebelumnya. Namun Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) memiliki gaya penyampaian sendiri. Beliau (ra) menulis, “Ketika Rasulullah (saw) masuk ke Madinah, setiap orang ingin Rasulullah (saw) tinggal di rumah mereka. Gang-gang yang dilewati oleh unta Rasulullah (saw), keluarga-keluarga di gang-gang itu berdiri di depan rumah meraka menyambut Rasululah (saw). Mereka berkata, ‘Ya Rasulullah (saw), ini rumah kami, ini harta kami, dan ini nyawa kami yang hadir untuk mengkhidmati engkau dan kami sanggup melindungi engkau. Tinggallah bersama kami.’

Sebagian orang sedemikian rupa bersemangatnya mereka maju dan memegang tali kendali unta beliau (saw) untuk menurunkan Rasulullah (saw) di rumahnya. Namun, Rasulullah (saw) bersabda pada setiap orang, ‘Lepaskanlah unta saya! Hari ini unta ini dia di bawah perintah Allah Ta’ala. Unta ini akan berhenti dimana Allah Ta’ala kehendaki.’

Akhirnya, unta itu berhenti di salah satu tempat di Madinah di tanah anak-anak yatim banu Najjar. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Ini adalah tanda bahwa Allah Ta’ala menghendaki saya tinggal di sini.’ Kemudian beliau (saw) bersabda, ‘Ini tanah siapa?’

Tanah itu milih beberapa anak yatim. Wali anak yatim itu maju dan berkata, ‘Ya Rasulullah (saw) ini tanah anak yatim fulan dan tanah ini siap untuk mengkhidmati engkau.’ Beliau (saw) bersabda, ‘Saya tidak bisa mengambil harta siapapun secara cuma-cuma (gratis, tanpa membayar).’

Akhirnya harganya ditentukan dan Rasulullah (saw) memutuskan untuk membangun masjid dan rumah beliau di situ. Setelah itu Rasulullah (saw) bersabda, ‘Rumah siapa yang paling dekat.’

Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) maju ke depan dan berkata, ‘Ya Rasulullah (saw) rumah saya paling dekat dan siap untuk mengkhidmati engkau.’

Beliau (saw) bersabda, ‘Pergilah ke rumah dan siapkanlah kamar untuk kami.’

Rumah Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) dua lantai. Beliau mengusulkan pada Rasulullah (saw) untuk tinggal di lantai atas. Namun, Rasulullah (saw) memilih lantai bawah karena berpikir bahwa orang-orang yang datang untuk bertemu akan kesulitan bila beliau berada di lantai bawah.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis berkaitan dengan kecintaan mendalam yang muncul dalam diri kaum Anshar pada Rasulullah (saw), “Pemandangan kecintaan mendalam yang muncul dalam diri mereka juga tampak pada saat itu. Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) memang setuju karena Rasulullah (saw) bersikeras untuk tinggal di lantai bawah. Namun sepanjang malam suami istri itu tidak tidur karena pemikiran bahwa Rasulullah (saw) tidur di bawah mereka. Bagaimana mungkin mereka bisa tidak sopan tidur di lantai atas. Ini adalah pernyataan sebuah kecintaan.

Suatu malam kendi air jatuh. Memikirkan supaya air tidak menetes ke bawah, Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) berlari dan meletakkan selimutnya ke air tersebut untuk menghentikan aliran air. Pagi harinya beliau (ra) kembali menghadap Rasulullah (saw) dan menceritakan apa yang terjadi pada beliau (saw) sehingga Rasulullah (saw) setuju untuk tinggal di lantai atas.

Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) setiap hari menyiapkan makanan untuk Rasulullah (saw) dan mengirimnya pada beliau (saw). Makanan yang tersisa mereka sekeluarga memakannya. Beberapa hari kemudian setelah bersikeras Anshar yang lain juga meminta untuk ikut dalam mengkhidmati beliau (saw). Dengan demikian, selama rumah Rasulullah (saw) belum selesai dibangun, umat Muslim Madinah secara bergiliran mengirim makanan untuk beliau (saw).” Penjelasan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam buku beliau “Debacah Tafsirul Qur’an” (Pengantar Mempelajari al-Qur’an) selesai sampai di sini saja.

Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَزَلَ عَلَيْهِ فَنَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السُّفْلِ وَأَبُو أَيُّوبَ فِي الْعِلْوِ “Rasulullah (saw) tinggal di tempat beliau. Rasulullah (saw) tinggal di lantai bawah dan Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) di lantai atas.”

Perawi berkata, فَانْتَبَهَ أَبُو أَيُّوبَ لَيْلَةً فَقَالَ نَمْشِي فَوْقَ رَأْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَنَحَّوْا فَبَاتُوا فِي جَانِبٍ ثُمَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Suatu malam Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) bangun dan berkata, kita berjalan di atas kepala Rasulullah (saw). Maka beliau bergeser ke satu arah dan melewati malam di sebuah sudut. Kemudian beliau (ra) menyampaikannya pada Rasulullah (saw). Maka Rasulullah (saw) bersabda, السُّفْلُ أَرْفَقُ ‘Di lantai bawah banyak kemudahan.’

Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) berkata, لَا أَعْلُو سَقِيفَةً أَنْتَ تَحْتَهَا ‘Saya tidak bisa tinggal di lantai atas yang di lantai bawahnya ada Anda.’

فَتَحَوَّلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعُلُوِّ وَأَبُو أَيُّوبَ فِي السُّفْلِ فَكَانَ يَصْنَعُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا فَإِذَا جِيءَ بِهِ إِلَيْهِ سَأَلَ عَنْ مَوْضِعِ أَصَابِعِهِ فَيَتَتَبَّعُ مَوْضِعَ أَصَابِعِهِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا فِيهِ ثُومٌ فَلَمَّا رُدَّ إِلَيْهِ سَأَلَ عَنْ مَوْضِعِ أَصَابِعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقِيلَ لَهُ لَمْ يَأْكُلْ فَفَزِعَ وَصَعِدَ إِلَيْهِ Rasulullah (saw) pindah ke atas dan Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) di bawah. Beliau (ra) menyiapkan makanan untuk Rasulullah (saw) dan ketika makanan itu kembali dari Rasulullah (saw) pada beliau maka beliau bertanya, yang mana yang tersentuh jari beliau (saw). Maksudnya, beliau (ra) bertanya pada pembawa makanan. Dengan demikian beliau (ra) mengikuti jejak jari Rasulullah (saw). Maksudnya, beliau makan pada bagian yang telah disentuh oleh Rasulullah (saw). Suatu hari Abu Ayyub menyiapkan hidangan untuk Rasulullah (saw) yang di dalamnya terdapat bawang putih. Makanan tersebut dikembalikan lagi kepada Abu Ayyub, lalu Hadhrat Abu Ayyub menanyakan bekas sentuhan jari jari Rasul pada hidangan dan bertanya, ‘Apakah Rasul menyantap hidangannya?’ Dikatakan kepada Abu Ayyub bahwa hari ini Rasul tidak menyantap hidangannya. Mendengar itu Abu Ayyub sedih lalu pergi menemui Rasulullah (saw) ke lantai atas. Beliau bertanya: أَحَرَامٌ هُوَ ‘Ya Rasulullah (saw)! Apakah ia (bawang putih) diharamkan?’

Rasul bersabda, لَا وَلَكِنِّي أَكْرَهُهُ ‘Tidak, namun saya tidak menyukainya.’

Abu Ayyub berkata, فَإِنِّي أَكْرَهُ مَا تَكْرَهُ أَوْ مَا كَرِهْتَ ‘Apa-apa yang Hudhur tidak sukai, saya pun tidak menyukainya. Atau beliau berkata: ‘Apa yang telah Hudhur tidak sukai, saya pun tidak menyukainya.’” Perawi berkata, “(disebabkan) Malaikat biasa datang kepada Rasulullah (saw).” (Riwayat Muslim).[13]

Tertulis juga, “Rasulullah (saw) sering menerima wahyu dan juga kedatangan malaikat sehingga Rasulullah (saw) tidak menyukai sesuatu yang berbau. Meskipun demikian, bawang putih tidaklah haram.”

Dalam Hadits Muslim terdapat Riwayat yang Hadhrat Abu Ayyub Anshari riwayatkan, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ أَكَلَ مِنْهُ وَبَعَثَ بِفَضْلِهِ إِلَىَّ وَإِنَّهُ بَعَثَ إِلَىَّ يَوْمًا بِفَضْلَةٍ لَمْ يَأْكُلْ مِنْهَا لأَنَّ فِيهَا ثُومًا “Ketika makanan dihidangkan ke hadapan Rasulullah (saw), biasanya beliau menyantapnya dan makanan yang tersisa dikembalikan lagi kepada saya. Suatu hari Rasulullah (saw) mengembalikan lagi hidangan yang tidak beliau santap karena pada masakan tersebut terdapat bawang putih.

Saya bertanya kepada Rasul, أَحَرَامٌ هُوَ ؟  ‘Apakah ia (bawang putih) haram?’

Rasulullah (saw) bersabda, لاَ وَلَكِنِّي أَكْرَهُهُ مِنْ أَجْلِ رِيحِهِ ‘Tidak, namun saya tidak menyukainya karena baunya.’

Saya (Abu Ayyub) berkata, فَإِنِّي أَكْرَهُ مَا كَرِهْتَ ‘Saya pun tidak menyukai apa yang Hudhur tidak sukai.’”[14]

Dalam Riwayat Musnad Ahmad Bin Hanbal terdapat riwayat, Abu Ayyub Anshari meriwayatkan, أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَزَلَ فِي بَيْتِنَا الْأَسْفَلِ وَكُنْتُ فِي الْغُرْفَةِ فَأُهْرِيقَ مَاءٌ فِي الْغُرْفَةِ فَقُمْتُ أَنَا وَأُمُّ أَيُّوبَ بِقَطِيفَةٍ لَنَا نَتْبَعُ الْمَاءَ شَفَقَةَ يَخْلُصُ الْمَاءُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مُشْفِقٌ فَقُلْتُ “Rasulullah (saw) pernah tinggal di lantai bawah rumah kami. Sedangkan kami pada lantai atas. Suatu hari air tumpah di lantai atas lalu saya dan Ummu Ayyub mengeringkannya dengan kain karena khawatir jangan sampai air bocor ke lantai bawah dan jatuh mengenai Rasulullah (saw). Dengan segan saya hadir ke hadapan Rasulullah (saw) dan berkata: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ يَنْبَغِي أَنْ نَكُونَ فَوْقَكَ انْتَقِلْ إِلَى الْغُرْفَةِ ‘Wahai Rasul Allah! Kami merasa tidak pantas jika kami berada di lantai atas sedangkan tuan berada di bawah, mohon kiranya Rasul berkenan pindah ke atas.’ فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَتَاعِهِ فَنُقِلَ وَمَتَاعُهُ قَلِيلٌ  Kemudian, atas perintah Rasulullah (saw), barang-barang beliau (saw) dipindahkan ke lantai atas dan barang beliau tidaklah banyak.

Kemudian saya bertanya lagi: يَا رَسُولَ اللَّهِ كُنْتَ تُرْسِلُ إِلَيَّ بِالطَّعَامِ فَأَنْظُرُ فَإِذَا رَأَيْتُ أَثَرَ أَصَابِعِكَ وَضَعْتُ يَدِي فِيهِ حَتَّى إِذَا كَانَ هَذَا الطَّعَامُ الَّذِي أَرْسَلْتَ بِهِ إِلَيَّ فَنَظَرْتُ فِيهِ فَلَمْ أَرَ فِيهِ أَثَرَ أَصَابِعِكَ ‘Wahai Rasul Allah, Ketika tuan mengembalikan hidangan makanan kepada saya, saya selalu memeriksa pada bagian mana terdapat bekas sentuhan jari tuan. Pada bagian itulah saya sentuhkan jari saya. Namun demikian, masakan yang Hudhur (yang mulia) kembalikan pada hari ini, tidak tampak padanya jejak sentuhan jari Hudhur.’

Rasulullah (saw) bersabda: أَجَلْ إِنَّ فِيهِ بَصَلًا فَكَرِهْتُ أَنْ آكُلَهُ مِنْ أَجْلِ الْمَلَكِ الَّذِي يَأْتِينِي وَأَمَّا أَنْتُمْ فَكُلُوهُ ‘Memang benar. Pada hidangan tadi terdapat bawang merah (di Hadits ini disebutkan bawang merah [bahasa Arabnya: bashal], bukan bawang putih) saya tidak menyukainya, karena malaikat sering datang kepada saya, namun kalian silahkan saja memakannya.’”[15]

Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) mendapatkan kehormatan untuk ikut serta pada perang Badr, Uhud, Khandaq dan seluruh peperangan lainnya bersama dengan Rasulullah (saw).[16]

Hadhrat Abu Ayyub meriwayatkan, صَفَفْنَا يَوْمَ بَدْرٍ ، فَنَدَرَتْ مِنَّا نَادِرَةٌ أَمَامَ الصَّفِّ ، فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ: “Pada hari Badr kami membuat barisan. Ada beberapa orang diantara kami yang keluar dari barisan, terlalu ke depan. Rasulullah (saw) mengarahkan pandangan kepada mereka dan bersabda, مَعِي مَعِي ‘Berjalanlah bersama saya!’” Maksudnya, “Berjalanlah di belakang saya, jangan mendahului.”[17]

Ketika malam rukhstanah Hadhrat Shafiyah (sebelum ini pernah disampaikan secara singkat, saat ini akan saya sampaikan lagi) Ketika malam rukhstanah (malam pertama kebersamaan setelah menikah) Hadhrat Shafiyah, Hadhrat Abu Ayyub Anshari berjaga-jaga di luar kemah Rasulullah (saw) sepanjang malam sambil membawa pedang terhunus. Beliau mengelilingi kemah. Ketika tiba pagi, Rasulullah (saw) melihat Abu Ayyub berada di luar kemah, lalu bertanya: مَالك يَا أَبَا أَيُّوبَ؟ ‘Wahai Abu Ayyub, apa yang terjadi?’

Beliau menjawab: يَا رَسُولَ اللَّهِ، خِفْتُ عَلَيْكَ مِنْ هَذِهِ الْمَرْأَةِ، وَكَانَتْ امْرَأَةً قَدْ قَتَلْتَ أَبَاهَا وَزَوْجَهَا وَقَوْمَهَا، وَكَانَتْ حَدِيثَةَ عَهْدٍ بِكُفْرٍ، فَخِفْتهَا عَلَيْكَ ‘Wahai Rasul Allah! Saya mengkhawatirkan keselamatan tuan karena merasa curiga pada wanita itu. Ayahnya, suaminya dan warga kaumnya meninggal terbunuh dan wanita ini belum lama baiat sehingga semalaman saya berjaga karena mengkhawatirkan keselamatan tuan. Rasulullah (saw) pun memanjatkan doa untuk Abu Ayyub, اللَّهمّ احْفَظْ أَبَا أَيُّوبَ كَمَا بَاتَ يَحْفَظُنِي ‘Allahummahfazh Aba Ayyuba kama baata yahfazhunii.’ – ‘Wahai Tuhan! Jaga dan lindungilah selalu Abu Ayyub sebagaimana ia menjagaku sepanjang malam!’.[18]

Imam as-Suhaili menuturkan, فَحَرَسَ اللهُ أَبَا أَيّوبَ بِهَذِهِ الدّعْوَةِ، حَتّى إنّ الرّومَ لَتَحْرُسُ قَبْرَهُ، وَيَسْتَسْقُونَ بِهِ، وَيَسْتَصِحّونَ “Kemudian sesuai dengan doa tersebut Allah Ta’ala melindungi Abu Ayyub sehingga orang-orang Romawi menjaga kuburan beliau dan ketika mereka memohon diturunkan air atas nama beliau, hujan turun atas mereka.”[19]

Hadhrat Mahmud bin Rabi’ al-Anshari (مَحْمُودُ بْنُ الرَّبِيعِ الأَنْصَارِيُّ) meriwayatkan bahwa beliau mendengar Hadhrat ‘Itban Bin Malik al-Anshari (عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ الأَنْصارِيَّ), salah seorang yang ada bersama Rasulullah (saw) pada saat perang Badr berkata, “Saya biasa bertindak sebagai Imam bagi kaum saya Banu Salim. Namun, antara rumah saya dan daerah tersebut terdapat aliran air yang ketika turun hujan, sulit bagi saya untuk pergi ke masjid melalui aliran air tersebut. Saya pun hadir ke hadapan Rasulullah (saw) dan mengatakan, ‘Wahai Rasul! pandangan saya sudah lemah, sulit bagi saya untuk melalui aliran air yang ada diantara rumah saya dan masjid, ketika hujan. Untuk itu saya berkeinginan supaya tuan berkenan datang ke rumah saya untuk mengimami shalat di rumah saya pada tempat yang saya kehendaki.’

Terkait:   Khutbah Idul Adha 2017

Rasulullah (saw) bersabda, سَأَفْعَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ‘Insya Allah saya akan datang.’

Kemudian Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr datang ke rumah saya pada waktu siang. Sesampainya, Rasul meminta izin untuk masuk ke dalam rumah. saya pun mengizinkan beliau. Beliau (saw) tidak duduk lalu bersabda: أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ مِنْ بَيْتِكَ ‘Pada tempat mana Anda ingin saya mengimami shalat?’

Saya menunjukan kepada Rasulullah (saw) tempat yang saya inginkan supaya beliau shalat diatasnya. Rasulullah (saw) berdiri di tempat tersebut lalu mengucapkan takbir. Kami membuat saf di belakang beliau. Rasulullah (saw) mengimami shalat dua rakaat lalu salam. Kami pun ikut salam mengikuti beliau. Kami menahan Rasulullah (saw) pulang untuk menyantap hidangan masakan Khazirah yakni masakan daging dengan tepung yang tengah dimasak untuk beliau. Ketika warga setempat mengetahui bahwa Rasulullah (saw) sedang berada di rumah saya, sebagian orang dari antara mereka datang dengan berlari sehingga orang-orang memenuhi rumah saya.

Salah seorang dari mereka berkata: أَيْنَ مَالِكُ بْنُ الدُّخَيْشِنِ ‘Dimana Malik? Saya tidak melihatnya!’

Seorang lainnya menjawab: ذَلِكَ مُنَافِقٌ لاَ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ‏ ‘Dia (Malik) itu munafik. Dia tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya, karena itu ia tidak datang kemari.’

Rasulullah (saw) bersabda, لاَ تَقُلْ ذَلِكَ، أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ‏.‏ يُرِيدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ ‘Jangan berkata begitu, apakah Anda tidak melihat dia mengucapkan laa ilaaha illaallaah? Seiring dengan itu berarti dia mengharapkan keridhaan Allah.’

Orang yang mengatakan itu berkata, اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ‏.‏ فَإِنَّا نَرَى وَجْهَهُ وَنَصِيحَتَهُ إِلَى الْمُنَافِقِينَ ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Demi Allah kami melihat ia berteman dan sering berbicara dengan orang orang munafik.’

Hadhrat Rasulullah (saw) lalu bersabda, فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ‏.‏ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ ‘Allah Ta’ala telah mengharamkan api bagi orang-orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala.’”[20]

Hadhrat Mahmud Bin Rabi (مَحْمُودُ بْنُ الرَّبِيعِ) berkata: فَحَدَّثْتُهَا قَوْمًا فِيهِمْ أَبُو أَيُّوبَ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَتِهِ الَّتِي تُوُفِّيَ فِيهَا ، وَيَزِيدُ بْنُ مُعَاوِيَةَ عَلَيْهِمْ بِأَرْضِ الرُّومِ ، فَأَنْكَرَهَا عَلَيَّ أَبُو أَيُّوبَ ، قَالَ “Saya ceritakan lagi hal ini kepada beberapa orang, diantaranya ada sahabat Rasulullah (saw), Hadhrat Abu Ayyub yang ikut serta pada suatu peperangan dan beliau wafat di dalamnya yakni perang di tanah Romawi. Komandan perang saat itu adalah Yazid Bin Muawiyah. Hadhrat Abu Ayyub mengingkari ucapan saya dan berkata: وَاللَّهِ مَا أَظُنُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : مَا قُلْتَ قَطُّ ‘Demi Tuhan, saya tidak yakin jika Rasulullah (saw) bersabda seperti apa yang Anda katakan, “Api diharamkan bagi orang yang hanya mengucap Laa ilaaha illallaah.”’

مَا قُلْتَ قَطُّ ، فَكَبُرَ ذَلِكَ عَلَيَّ ، فَجَعَلْتُ لِلَّهِ عَلَيَّ إِنْ سَلَّمَنِي حَتَّى أَقْفُلَ مِنْ غَزْوَتِي أَنْ أَسْأَلَ عَنْهَا عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، إِنْ وَجَدْتُهُ حَيًّا فِي مَسْجِدِ قَوْمِهِ ، فَقَفَلْتُ ، فَأَهْلَلْتُ بِحَجَّةٍ أَوْ بِعُمْرَةٍ ، ثُمَّ سِرْتُ حَتَّى قَدِمْتُ المَدِينَةَ ، فَأَتَيْتُ بَنِي سَالِمٍ ، فَإِذَا عِتْبَانُ شَيْخٌ أَعْمَى يُصَلِّي لِقَوْمِهِ ، فَلَمَّا سَلَّمَ مِنَ الصَّلاَةِ سَلَّمْتُ عَلَيْهِ وَأَخْبَرْتُهُ مَنْ أَنَا ، ثُمَّ سَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ الحَدِيثِ ، فَحَدَّثَنِيهِ كَمَا حَدَّثَنِيهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ Mengetahui hal itu saya (Mahmud bin Rabi’, periwayat Hadits tersebut) sangat khawatir lalu saya memohon kepada Allah Ta’ala, jika Allah memberikan keselamatan sehingga saya dapat kembali dari perang dengan selamat, saya akan menanyakan hal ini kepada Hadhrat ‘Itban Bin Malik (ra). Jika saya mendapati beliau hidup dalam masjid kaumnya. Saya kemudian pulang dan mengikat kain Ihram haji atau umrah kemudian berangkat hingga sampai di Madinah. Saya pergi ke area banu Salim, lalu apa yang saya lihat? Hadhrat ‘Itban sudah sepuh dan penglihatannya sudah hilang. Saat itu beliau tengah mengimami shalat.

Setelah selesai shalat dan salam, saya menyalami beliau dan memperkenalkan diri. Kemudian saya menanyakan kepada beliau perihal tadi. Jawaban beliau sama seperti ketika pertama kali beliau menjelaskan kepada saya yaitu, ‘Memang benar saya mendengar sendiri Rasulullah (saw) bersabda bahwa siapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah, api neraka telah diharamkan baginya.’ Namun Abu Ayyub tidak mempercayainya.[21]

Dalam hal ini Hadhrat Mirza Basyir Ahmad pun menuliskan pendapatnya, “Dikatakan dalam Hadits, مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ‏.‏ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ ‘man qaala Laa ilaaha illallaah yabtaghi bidzaalika wajhallaahi.’” Hadhrat Mirza Basyir Ahmad menulis yang saya akan bacakan terjemahan lengkapnya sehingga nanti menjadi jelas. Mahmud Bin Rabi meriwayatkan, ‘Saya mendengar dari ‘Itban Bin Malik bahwa Rasulullah (saw) pernah bersabda, فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ‏.‏ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ “Allah Ta’ala telah mengharamkan api neraka bagi setiap orang yang mengucapkan ‘Laa ilaaha illallaah’ dengan niatan tulus dan disertai niat untuk meraih ridha-Nya.”

Namun ketika saya (Mahmud Bin Rabi) menyampaikan riwayat tersebut dalam suatu majelis yang dihadiri oleh Abu Ayyub Anshari, sahabat Rasulullah (saw), beliau menolak riwayat hadits tersebut dan bersabda, “Demi Tuhan, sekali-kali saya tidak dapat percaya jika Rasulullah (saw) telah mengatakan demikian.”’”

Kemudian Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) lebih lanjut menulis, “Dalam Hadits tersebut Hadhrat Abu Ayyub Anshari menolak menerima sebuah riwayat dengan pondasi (dasar pada) Dirayat Hadits, meskipun dari sisi ushul (prinsip) riwayat, riwayat Hadits tersebut adalah sahih.” Hadhrat Abu Ayyub Anshari menolak menerima sebuah riwayat atas dasar ushul (prinsip-prinsip) yang beliau pahami benar.

Kemudian Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) lebih lanjut menulis, “Meskipun mungkin saja pengambilan dalil Hadhrat Abu Ayyub keliru, namun bagaimanapun Hadits ini membuktikan bahwa para Sahabat tidak lantas menerima setiap Hadits mentah-mentah. Mereka terlebih dahulu merenungkan dan menelitinya. Mereka menerima suatu hadits setelah dilakukan penelitian sepenuhnya berdasarkan dua ushul (prinsip) yaitu riwayat (jalur orang-orang yang meriwayatkan atau menceritakan) dan Dirayat (isi atau perkataan Hadits).”[22]

Dalam kata lain, Hadhrat Mirza Basyir Ahmad (ra) membuktikan bahwa dari hal ini tampak para Sahabat tidak langsung menerima setiap riwayat secara bulat-bulat. Bahkan, secara hati-hati, mereka terlebih dahulu merenungkan dan mempelajarinya.

Hadhrat Sayyid Waliyullah Syah Sahib (ra) menulis dalam syarh (komentar) beliau terhadap Hadits al-Bukhari ini, “Ketika Hadhrat Abu Ayyub mendengar Riwayat tersebut dari Hadhrat Mahmud Bin Rabi, beliau menolak menerimanya. Sebagian berpendapat alasan penolakan beliau terhadap riwayat Hadits ini adalah beliau beranggapan dengan hanya mengucapkan Laa ilaaha illallaah saja tidak dapat menjauhkan seseorang dari api neraka jika tidak disertai dengan amal saleh. Ini merupakan perkara yang prinsipil dalam Islam.”

Memang benar adanya, namun Syah Sahib (ra) menulis lebih lanjut, “Akan tetapi, kalimat yang mengatakan يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ yabtaghi bidzaalika wajhallaah memberitahukan pengertian ikrar tauhid ini, yaitu, ‘Siapa yang membaca kalimah Laa ilaaha illallaah dengan ketulusan hati dan disertai niat untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala’, maka api neraka akan diharamkan baginya.”

Selanjutnya Syah sahib menulis, Hadhrat Mahmud menyelidiki lagi hadits tersebut dan berpikir mungkin saja beliau tidak mampu mengingat sebagian kata-kata Hadits tersebut dan berusaha lagi menyusun secara benar. Namun kemudian, setelah menyelidiki lagi kebenarannya, ternyata terbukti bahwa memang benar kalimat hadits tersebut seperti yang diriwayatkan.”

Beliau pun lebih lanjut menulis, “Tidaklah dibenarkan untuk berpendapat di hadapan publik berkenaan dengan keimanan atau kemunafikan seseorang. Dengan mengatakan bahwa si anu munafik atau keimanannya lemah adalah perbuatan yang keliru karena pada saat itu Rasulullah (saw) tidak menyukai celaan yang dilontarkan berkenaan dengan Malik Ibnu Dukhsyum. Celaan yang seperti itu, bukannya menciptakan perbaikan, malah dapat menimbulkan fitnah dan kerusakan.”[23]

Tertulis dalam satu Riwayat, أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْعَبَّاسِ، وَالْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ، اخْتَلَفَا بِالأَبْوَاءِ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ يَغْسِلُ الْمُحْرِمُ رَأْسَهُ‏.‏ وَقَالَ الْمِسْوَرُ لاَ يَغْسِلُ الْمُحْرِمُ رَأْسَهُ‏.‏ “Hadhrat Abdullah bin ‘Abbas dan Hadhrat Miswar Bin Makhramah telah berselisih pendapat berkenaan dengan ghusl (membasuh). Hadhrat Abdullah Bin Abbas berkata, ‘Orang yang sedang ihram dapat membasuh kepalanya.’ Sedangkan Hadhrat Miswar berpendapat, ‘Tidak membasuh kepala.’”

Perawi (yaitu Abdullah bin Hunain) berkata: فَأَرْسَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَبَّاسِ إِلَى أَبِي أَيُّوبَ الأَنْصَارِيِّ، فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ بَيْنَ الْقَرْنَيْنِ، وَهُوَ يُسْتَرُ بِثَوْبٍ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَنْ هَذَا “Hadhrat Abdullah bin ‘Abbas mengutus saya kepada Hadhrat Abu Ayyub al-Anshari. Saya mendapati Abu Ayyub tengah mandi diantara dua kayu yang ditutupi dengan kain. Saya mengucapkan salam kepada beliau. Beliau bersabda, ‘Siapa?’

Saya menjawab: أَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ حُنَيْنٍ، أَرْسَلَنِي إِلَيْكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَبَّاسِ، أَسْأَلُكَ كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَغْسِلُ رَأْسَهُ، وَهُوَ مُحْرِمٌ ‘Saya Abdullah Bin Hunain, Hadhrat Abdullah Bin Abbas mengutus saya kepada Anda untuk menanyakan, bagaimana Rasulullah (saw) membasuh kepalanya dalam keadaan Ihram? Karena ada yang mengatakan ketika ihram hendaknya tidak membasuh kepala.’

فَوَضَعَ أَبُو أَيُّوبَ يَدَهُ عَلَى الثَّوْبِ، فَطَأْطَأَهُ حَتَّى بَدَا لِي رَأْسُهُ ثُمَّ قَالَ لإِنْسَانٍ يَصُبُّ عَلَيْهِ اصْبُبْ‏.‏ فَصَبَّ عَلَى رَأْسِهِ، ثُمَّ حَرَّكَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ وَقَالَ هَكَذَا رَأَيْتُهُ صلى الله عليه وسلم يَفْعَلُ‏ Hadhrat Abu Ayyub lalu meletakkan tangan diatas kain kemudian menurunkannya ke bawah hingga saya dapat melihat kepala beliau. Yakni penghalang yang menutupi diturunkan oleh beliau lalu memperlihatkan kepala dan memerintahkan seseorang untuk menuangkan air. Orang itu lalu menuangkan air ke kepala Abu Ayyub. Kemudian Abu Ayyub membasuh kepala dengan kedua tangan. Tangan digerakkan kearah depan lalu ke arah belakang dan berkata, ‘Seperti inilah saya melihat Rasulullah (saw) melakukannya.’”[24]

Hadhrat Sa’id Bin Musayyab (سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ) meriwayatkan bahwa suatu ketika, Hadhrat Abu Ayyub melihat ada sesuatu benda kecil menempel di janggut penuh berkat Rasulullah (saw) lalu Abu Ayyub menyingkirkannya dan memperlihatkan benda tersebut kepada Rasulullah (saw). Rasululah (saw) bersabda, مَسَحَ اللهُ عَنْكَ يَا أَبَا أَيُّوْبَ مَا تَكْرَهُ “Semoga Allah Ta’ala menjauhkan Anda dari apa-apa yang Anda tidak sukai, wahai Abu Ayyub!”[25]

Dalam Riwayat lain, Rasul bersabda, لَا يَكُنْ بِكَ السُّوءُ يَا أَبَا أَيُّوبَ “Wahai Abu Ayyub! Semoga tidak ada kesulitan yang menimpamu.”[26]

Hadhrat Abu Ayyub ikut serta pada perang Jamal, perang Shiffin dan perang Nahrawan di bagian depan lasykar Hadhrat Ali.[27] Berkenaan dengan kepercayaan penuh Hadhrat Ali pada Hadhrat Abu Ayyub tergambar dari kejadian berikut. Ketika Hadhrat Ali menjadikan Kufah sebagai pusat Khilafat dan pindah ke sana, beliau menjadikan Abu Ayyub Anshari sebagai gubernur Madinah dan beliau menjabat sebagai Gubernur Madinah sampai tahun 40 Hijri. Hingga para prajurit Syam (Suriah dan sekitarnya) bawahan Amir Muawiyah dibawah pimpinan Busr bin Abu Artha-ah (بُسْرُ بْنُ أَبِي أَرْطَأَةَ) menyerang Madinah, saat itu Abu Ayyub meninggalkan Madinah dan pergi kepada Hadhrat Ali (ra) di Kufah.[28]

Paska kewafatan Rasulullah (saw) para sahabat mulia mendapatkan tunjangan bulanan dari Lembaga Khilafat. Tunjangan yang diterima Hadhrat Abu Ayyub sebelumnya sebesar 4.000, Hadhrat Ali meningkatkan besarannya pada masa kekhalifahan beliau menjadi 20.000. Sebelumnya ditetapkan 8 pelayan untuk mengelola tanah para sahabat, Hadhrat Ali menambahkannya menjadi 40 orang.[29]

Hadhrat Habib Bin Abu Tsabit meriwayatkan, Hadhrat Abu Ayyub datang kepada Amir Muawiyah. Hadhrat Abu Ayyub datang menemui Amir Muawiyah untuk mengadukan hutang-hutang yang menimpanya. Namun, Hadhrat Abu Ayyub tidak mendapatkan apa yang beliau harapkan dari Amir Muawiyah.

Hadhrat Abu Ayyub Anshari berkata, أَمَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَخْبَرَنَا أَنَّهُ سَيُصِيبُنَا بَعْدَهُ أَثَرَةٌ “Saya pernah mendengar Rasulullah (saw) bersabda, ‘Kalian akan mengalami pilih kasih sepeninggalku.’” Artinya, “Kamu tidak akan mendapatkan pengutamaan (tidak didahulukan kepentingannya dibandingkan urusan lain).”

Amir Muawiyah berkata, وَمَا أَمَرَكُمْ ؟ “Lalu apa nasihat beliau (saw) padamu?”

Hadhrat Abu Ayyub berkata, أَمَرَنَا أَنْ نَصْبِرَ حَتَّى نَرِدَ عَلَيْهِ الْحَوْضَ “Beliau (saw) menasihatkan untuk bersabar.” Ketika terjadi pilih kasih, keluhan orang-orang tidak didengarkan, maka bersabarlah.

Amir Muawiyah berkata, فَاصْبِرُوا إِذًا “Jika Rasulullah (saw) menasihatkan untuk bersabar, kalau begitu bersabar saja.”[30]

Hadhrat Abu Ayyub berkata, والله لا أسألك شيئا أبدا “Demi Tuhan, saya tidak akan pernah meminta apa-apa lagi darimu.”[31]

Selanjutnya, Hadhrat Abu Ayyub pergi ke Bashrah dan tinggal di rumah Hadhrat Ibnu ‘Abbas. Hadhrat Ibnu Abbas mengosongkan rumahnya untuk Abu Ayyub dan berkata: يا أبا أيوب إني أريد أن أخرج عن مسكني كما خرجت لرسول الله (صلى الله عليه وسلم) “Saya akan perlakukan tuan sebagaimana tuan telah memperlakukan Rasulullah (saw).” Maknanya, “Sebagaimana ketika Rasulullah (saw) bertamu di rumah Anda maka saya pun akan mengkhidmati Anda seperti itu.”[32]

Hadhrat Ibnu Abbas memerintahkan anggota keluarga untuk keluar rumah dan berkata kepada Abu Ayyub: فَأَعْطَاهُ أَرْبَعِينَ أَلْفًا وَعِشْرِينَ مَمْلُوكًا ، وَقَالَ: لَكَ مَا فِي الْبَيْتِ “Apa saja yang ada di rumah ini adalah milik tuan.” Hadhrat ibnu Abbas menghadiahkan 40.000 dirham dan 20 pelayan kepada Abu Ayyub. [33] Tidak hanya memberikan rumahnya untuk ditinggali bahkan Hadhrat Ibnu ‘Abbas memberikan kepada Hadhrat Abu Ayyub uang 40.000 dirham dan 20 pelayan.[34]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda berkenaan dengan tafsir ayat berikut, وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ () , “Sebagian orang telah keliru dalam memahami ayat, وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ () ‘Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.’[35] Mereka beranggapan bahwa karena Allah Ta’ala berfirman, وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ‘Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan’ sehingga tidak dapat mengambil bagian dalam hal-hal semacam itu. Padahal sama sekali maknanya bukan hendaknya umat Muslim melarikan diri dan menampilkan kepengecutan ketika menghadapi ujian dan ancaman yang mematikan, melainkan maknanya adalah, ‘Ketika bertempur melawan musuh, saat itu belanjakanlah harta sebanyak-banyaknya demi tujuan itu. Jika kalian menahan harta kalian, berarti kalian menciptakan sarana untuk kehancuran kalian sendiri dengan tangan kalian sendiri.’

Dalam sebuah Hadits diriwayatkan bahwa Abu Ayyub al-Anshari ketika dalam perjalanan untuk menaklukkan Konstantinopel mengatakan, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَتَأَوَّلُونَ هَذِهِ الآيَةَ هَذَا التَّأْوِيلَ وَإِنَّمَا نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ فِينَا مَعْشَرَ الأَنْصَارِ لَمَّا أَعَزَّ اللَّهُ الإِسْلاَمَ وَكَثُرَ نَاصِرُوهُ فَقَالَ بَعْضُنَا لِبَعْضٍ سِرًّا دُونَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ أَمْوَالَنَا قَدْ ضَاعَتْ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعَزَّ الإِسْلاَمَ وَكَثُرَ نَاصِرُوهُ فَلَوْ أَقَمْنَا فِي أَمْوَالِنَا فَأَصْلَحْنَا مَا ضَاعَ مِنْهَا ‏.‏ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى نَبِيِّهِ صلى الله عليه وسلم يَرُدُّ عَلَيْنَا مَا قُلْنَا‏:‏ ‏(‏وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ)‏ فَكَانَتِ التَّهْلُكَةُ الإِقَامَةَ عَلَى الأَمْوَالِ وَإِصْلاَحَهَا وَتَرَكْنَا الْغَزْوَ فَمَا زَالَ أَبُو أَيُّوبَ شَاخِصًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى دُفِنَ بِأَرْضِ الرُّومِ ‘Ayat tersebut turun mengenai kami, kaum Anshar Madinah. Pada awalnya kami biasa membelanjakan harta di jalan Allah, namun semenjak Allah Ta’ala memberikan kekuatan dan kehormatan pada agama-Nya dan umat Muslim mendapatkan kemenangan, maka kami mengatakan, “Alangkah baiknya jika saat ini kita menjaga dan mengumpulkan kekayaan kita, maka itu adalah lebih baik.”

Saat itu ayat tersebut turun menyatakan, (‏وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ)‏  yang maknanya, ‘Tidak perlu khawatir untuk membelanjakan harta di jalan Allah. Janganlah kalian menahan harta kalian karena jika kalian melakukan demikian, artinya kalian ingin memasukkan diri kalian sendiri ke dalam kehancuran.’ Jadi, janganlah hanya mengumpulkan harta, melainkan belanjakanlah di jalan Allah Ta’ala. Jika tidak kalian belanjakan di jalan Allah maka jiwa kalian akan berlalu sia-sia. Musuh akan menyerang kalian dan menguasai kalian yang akibatnya kalian akan binasa.”[36]

Setelah kewafatan Hadhrat Ali, tibalah masa kekuasaan Amir Muawiyah. Saat itu Uqbah bin Amir bin ‘Abs al-Juhani (عُقْبَةُ بْنُ عَامِرِ بْنِ عَبْسٍ الْجُهَنِيُّ) ditetapkan oleh Amir Muawiyah untuk menjabat sebagai Wali (Amir atau Gubernur) Mesir. Pada masa kepemimpinan Hadhrat Uqbah, Hadhrat Abu Ayyub melakukan dua kali kunjungan ke Mesir. Kunjungan pertama beliau bertujuan untuk menyelidiki suatu Hadits. Abu Ayyub mendapatkan kabar bahwa Hadhrat Uqbah meriwayatkan suatu Hadits.[37] Hadhrat Abu Ayyub rela menempuh perjalanan yang sulit pada usia tua seperti itu hanya untuk mengkonfirmasi suatu Hadits. Perjalanan kedua beliau ke Mesir bertujuan untuk bergabung dalam peperangan melawan Romawi.[38]

أَقْبَلَ مَرْوَانُ يَوْمًا فَوَجَدَ رَجُلًا وَاضِعًا وَجْهَهُ عَلَى الْقَبْرِ ، فَقَالَ : Ketika Marwan menjabat sebagai Gubernur Madinah, suatu hari datang dan melihat seseorang tengah menempelkan wajahnya dengan kuburan Rasulullah (saw). Marwan berkata, أَتَدْرِي مَا تَصْنَعُ ؟  “Tahukah Anda, apa yang tengah Anda lakukan?” Bersujud pada kuburan adalah perbuatan syirik. فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ فَإِذَا هُوَ أَبُو أَيُّوبَ ، فَقَالَ : Marwan lalu mendekati orang tersebut, ternyata orang yang sedang bersujud itu adalah Hadhrat Abu Ayyub Anshari. Abu Ayyub menjawab, نَعَمْ ، جِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ آتِ الْحَجَرَ ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا تَبْكُوا عَلَى الدِّينِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ ، وَلَكِنْ ابْكُوا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ “Ya, saya hadir ke hadapan Rasulullah (saw), bukan untuk batu-batu itu…”[39]

Maksudnya, beliau mengatakan, “Saya tengah bersujud disebabkan oleh gejolak kecintaan kepada Rasulullah (saw), bukan kepada batu-batu itu. Saya tidak sedang menyekutukan Tuhan, melainkan hal ini adalah pernyataan kecintaan.” Di dalam kisah tersebut tampak kepada kita ketauhidan dalam diri beliau.

(عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ) Abu Abdurrahman al-Hubuliyy meriwayatkan, كُنَّا فِي الْبَحْرِ وَعَلَيْنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ قَيْسٍ الْفَزَارِيُّ وَمَعَنَا أَبُو أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيُّ ، فَمَرَّ بِصَاحِبِ الْمَقَاسِمِ وَقَدْ أَقَامَ السَّبْيَ ، فَإِذَا امْرَأَةٌ تَبْكِي ، فَقَالَ : “Suatu ketika kami tengah berada di laut, yang bertindak sebagai Amir (Panglima atau Komandan) saat itu adalah Abdullah bin Qais al-Fazari dan bersama kami ada pula Hadhrat Abu Ayyub Anshari. Beliau melewati pembagi harta rampasan yang tengah mengawasi para tawanan. Hadhrat Abu Ayyub Anshari melihat ada seorang wanita yang tengah menangis, beliau bertanya kepada wanita itu, مَا شَأْنُ هَذِهِ ؟ ‘Apa yang terjadi?’ قَالُوا : فَرَّقُوا بَيْنَهَا وَبَيْنَ وَلَدِهَا ، قَالَ : فَأَخَذَ بِيَدِ وَلَدِهَا حَتَّى وَضَعَهُ فِي يَدِهَا ، فَانْطَلَقَ صَاحِبُ الْمَقَاسِمِ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قَيْسٍ فَأَخْبَرَهُ ، فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي أَيُّوبَ فَقَالَ : Orang-orang mengatakan bahwa wanita itu telah dipisahkan dari anak laki-lakinya. Abu Ayyub lalu memegang tangan anak dari wanita itu dan memberikannya ke tangan ibunya. Setelah itu pembagi harta rampasan pergi menemui Abdullah Bin Qais lalu menceritakan apa yang terjadi. Abdullah Bin Qais memanggil Abu Ayyub dan bertanya, مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ ؟  ‘Kenapa Anda melakukan demikian?’

Abu Ayyub menjawab: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ‘Saya pernah mendengar Rasulullah (saw) bersabda, مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ وَالِدَةٍ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْأَحِبَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ “Man farraqa baina waalidatin wa waladiha farraqaLlahu bainahu wa bainal ahibbati yaumal qiyaamah.” – “Siapa yang memisahkan seorang ibu dari anaknya, Allah ta’ala akan memisahkan orang tersebut dari orang-orang yang ia kasihi pada hari kiamat.”’”[40]

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Rasulullah (saw), seri 77

Adapun orang-orang yang merampas anak-anak dari ibunya kisah tersebut merupakan nasihat baginya. Begitu juga mereka yang melontarkan keberatan terhadap Islam, harus melihat apa saja yang mereka sendiri lakukan karena Islam mengajarkan sampai sejauh itu.

Beberapa hari lalu, ada berita dari Amerika bahwa pengungsi yang tiba di Amerika Serikat, ditempatkan secara terpisah-pisah, ibu dan anak terpisah sehingga terkadang setelah berlalu sekian lama anak anak tidak dapat mengenali lagi ibunya. Alhasil, Islam mengajarkan sampai sejauh itu, untuk tidak memisahkan anak dari ibunya yang mana hal itu dapat menimbulkan penderitaan.

(عَنْ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْيَزَنِيِّ ، قَالَ:) Hadhrat Martsad bin Abdullah al-Yazani meriwayatkan, قَدِمَ عَلَيْنَا أَبُو أَيُّوبَ غَازِيًا ، وَعُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ يَوْمَئِذٍ عَلَى مِصْرَ فَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ ، فَقَامَ إِلَيْهِ أَبُو أَيُّوبَ فَقَالَ :  “Ketika Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) datang kepada kami [di Mesir] dengan tujuan berjihad, pada waktu itu Hadhrat ‘Uqbah bin Amir yang adalah gubernur Mesir mengakhirkan [melambat-lambatkan pelaksanaan] shalat maghrib. Hadhrat Abu Ayyub (ra) datang kepadanya dan berkata, مَا هَذِهِ الصَّلَاةُ يَا عُقْبَةُ ؟ ‘Wahai ‘Uqbah! Shalat apa ini?’

Hadhrat ‘Uqbah menjawab, شُغِلْنَا ‘Kami sibuk.’ Hadhrat Abu Ayyub (ra) berkata, أَمَا وَاللَّهِ مَا بِي إِلَّا أَنْ يَظُنَّ النَّاسُ أَنَّكَ رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ هَذَا ، أَمَا سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ‘Demi Allah! Maksud saya hanyalah jangan sampai orang-orang beranggapan Anda pernah melihat Hadhrat Rasulullah (saw) melakukan hal ini. Tidakkah Anda pernah mendengar Rasulullah (saw) telah bersabda, لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ ، أَوْ عَلَى الْفِطْرَةِ مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ إِلَى أَنْ تَشْتَبِكَ النُّجُومُ؟ “laa yazaalu ummatii bi-khairin au ‘alal fithrati maa lam yu-akhkhirul maghriba ilaa an tasytabikan nujuum.” – “Umat saya akan senantiasa dalam kebaikan (atau fitrah) selama mereka tidak mengakhirkan waktu pelaksanaan shalat maghrib hingga munculnya bintang-bintang.”’”[41] Itu artinya, hendaknya laksanakanlah shalat maghrib di awal waktu.

(عَنْ أَبِي وَاصِلٍ ، قَالَ :) Diriwayatkan dari Abu Washil, لَقِيتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ فَصَافَحَنِي ، فَرَأَى فِي أَظْفَارِي طُولًا ، فَقَالَ : “Saya bertemu dengan Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra). Beliau menjabat tangan saya dan melihat kuku saya sangat panjang. Maka beliau berkata, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Rasulullah (saw) bersabda, يَسْأَلُ أَحَدُكُمْ عَنْ خَبَرِ السَّمَاءِ ، وَهُوَ يَدَعُ أَظْفَارَهُ كَأَظَافِيرِ الطَّيْرِ يَجْتَمِعُ فِيهَا الْجَنَابَةُ وَالْخَبَثُ وَالتَّفَثُ “Ada salah seorang di antara kalian yang bertanya mengenai berita dari langit, sedangkan orang tersebut memiliki kuku yang panjang seperti cakar burung, di mana ia mengumpulkan janabah dan kotoran di dalamnya.”[42] Artinya, kalian menanyakan perkara-perkara yang sangat luhur mengenai makrifat, namun keadaan kalian sendiri berkuku panjang dan di dalamnya berkumpul kotoran. Oleh karena itu, jagalah kuku tetap pendek.

Berikut ini adalah hadits Musnad Ahmad bin Hambal. Fadilat dan keluhuran Hadhrat Abu Ayyub (ra) begitu diakui, sehingga para sahabat sendiri biasa bertanya kepada beliau mengenai berbagai permasalahan. Hadhrat Ibnu Abbas (ابْنُ عَبَّاسٍ), Ibnu Umar (ابْنُ عُمَرَ), al-Bara’ bin ‘Aazib (الْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ), Anas bin Malik (أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ), Abu Umamah (أَبُو أُمَامَةَ), Zaid bin Khalid Juhani (زَيْدُ بْنُ خَالِدٍ الْجُهَنِيُّ), Miqdam bin Ma’dikarib (الْمِقْدَامُ بْنُ مَعْدِيِ كَرِبَ), Jabir bin Samurah (جَابِرُ بْنُ سَمُرَة), Abdullah bin Yazid al-Khathmiyy (عَبْدُ اللهِ بْنُ يَزِيدَ الْخَطْمِيُّ) dan lain-lain yang mendapatkan tarbiyat dari Rasulullah (saw), tidak terlepas dari keberkatan Hadhrat Abu Ayyub (ra). Di antara para Tabi’in [mereka yang berjumpa Shahabat Nabi tapi tidak berjumpa Nabi], Sa’id bin Musayyab (سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ), Urwah bin Zubair bin ‘Awwam (عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ), Salim bin Abdullah bin ‘Umar (سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ), ‘Atha’ bin Yasar (عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ), ‘Atha bin Yazid al-Laitsi (عَطَاءُ بْنُ يَزِيدَ اللَّيْثِيُّ), Abu Salamah (أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ), Abdurrahman bin Abi Laila (عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى) adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi, meskipun demikian mereka termasuk di antara murid-murid Hadhrat Abu Ayyub (ra).[43]

(عَنْ أَبِي ظَبْيَانَ ، عَنْ أَشْيَاخِهِ ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ) Diriwayatkan [dari Abu Dhibyaan, dari sesepuhnya dan] dari Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra), أَنَّهُ خَرَجَ غَازِيًا فِي زَمَنِ مُعَاوِيَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَعَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ : فَمَرِضَ فَلَمَّا ثَقُلَ قَالَ لِأَصْحَابِهِ : “Pada masa Mu’awiyah beliau pergi untuk berjihad. Beliau mengatakan, إِنْ أَنَا مُتُّ فَاحْمِلُونِي ، فَإِذَا صَافَفْتُمُ الْعَدُوَّ فَادْفِنُونِي تَحْتَ أَقْدَامِكُمْ ، وَسَأُحَدِّثُكُمْ بِحَدِيثٍ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا مَا حَضَرَنِي لَمْ أُحَدِّثْكُمْ ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ‘Saya sakit. Sakit saya telah sangat parah’, maka beliau mengatakan kepada teman-temannya, ‘Jika saya meninggal maka bawalah jasad saya dan ketika kalian telah berbaris berhadapan dengan musuh maka kuburkanlah saya di samping kaki kalian. Saya ingin menyampaikan sebuah Hadits yang saya dengar dari Rasulullah (saw). Jika waktu kewafatan saya belumlah dekat saya tidak akan menyampaikannya kepada kalian. Saya mendengar Rasulullah (saw) bersabda, مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ “Siapa yang meninggal dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan siapapun, ia akan masuk surga.”’”[44]

Disebutkan dalam satu riwayat, عَنْ أَبِي صِرْمَةَ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ، أَنَّهُ قَالَ حِينَ حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ “Ketika telah dekat waktu kewafatan Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra), maka beliau berkata, كُنْتُ كَتَمْتُ عَنْكُمْ شَيْئًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ‘Saya telah menyembunyikan sesuatu dari kalian yang saya dengar dari Rasulullah (saw). Beliau (saw) berkata, لَوْلاَ أَنَّكُمْ تُذْنِبُونَ لَخَلَقَ اللَّهُ خَلْقًا يُذْنِبُونَ يَغْفِرُ لَهُمْ “Lau laa annakum tudznibuuna lakhalaqaLlahu khalqan tudznibuuna yaghfiru lahum.” – “Jika kalian tidak melakukan suatu perbuatan dosa maka Allah Ta’ala akan menciptakan suatu makhluk yang akan berbuat dosa dan kemudian Allah akan mengampuni mereka.”[45] Yakni Allah Ta’ala sampai sejauh itu menjalankan sifat rahmaniyyat dan ampunan-Nya.

Perawi Muhammad bin Sirin meriwayatkan, شَهِدَ أَبُو أَيُّوبَ بَدْرًا ثُمَّ لَمْ يَتَخَلَّفْ عَنْ غَزَاةٍ لِلْمُسْلِمِينَ إِلَّا هُوَ فِي أُخْرَى ، إِلَّا عَامًا وَاحِدًا فَإِنَّهُ اسْتُعْمِلَ عَلَى الْجَيْشِ رَجُلٌ شَابٌّ فَقَعَدَ ذَلِكَ الْعَامَ ، فَجَعَلَ بَعْدَ ذَاكَ الْعَامِ يَتَلَهَّفُ وَيَقُولُ  “Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) ikut serta dalam perang Badr. Beliau tidak pernah ketinggalan dalam satu pun peperangan kaum Muslimin kecuali beliau ikut serta dalam peperangan yang lainnya. Maksudnya, jika dalam satu waktu sedang berlangsung dua peperangan, beliau pasti ikut serta dalam salah satunya. Hanya pada satu tahun beliau tidak ikut serta dalam peperangan dikarenakan seorang pemuda telah ditetapkan sebagai pimpinan pasukan. Pada tahun itu beliau tetap tinggal. Setelah tahun tersebut berlalu beliau menyesal dan mengatakan, مَا عَلَيَّ مَنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيَّ ، وَمَا عَلَيَّ مَنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيَّ ، وَمَا عَلَيَّ مَنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيَّ ‘Apa peduliku tentang siapa yang ditunjuk sebagai atasanku? Apa peduliku tentang siapa yang ditunjuk sebagai atasanku? Apa peduliku tentang siapa yang ditunjuk sebagai atasanku?’” Beliau tiga kali mengatakan ini.[46]

Diriwayatkan bahwa pemuda yang menjadi pemimpin dalam riwayat ini adalah Abdul Malik bin Marwan.[47]

Perawi mengatakan, فَمَرِضَ وَعَلَى الْجَيْشِ يَزِيدُ بْنُ مُعَاوِيَةَ فَأَتَاهُ يَعُودُهُ فَقَالَ: “Kemudian beliau (Hadhrat Abu Ayyub) sakit. Pemimpin pasukan yang bernama Yazid bin Muawiyah datang menghampiri untuk menjenguk beliau dan bertanya, مَا حَاجَتُكَ ؟ ‘Jika Anda memiliki keinginan maka sampaikanlah?’

Beliau berkata, نَعَمْ ، حَاجَتِي إِذَا أَنَا مُتُّ فَارْكَبْ بِي ، ثُمَّ سُغْ بِي فِي أَرْضِ الْعَدُوِّ مَا وَجَدْتَ مَسَاغًا ، فَإِذَا لَمْ تَجِدْ مَسَاغًا فَادْفِنِّي ثُمَّ ارْجِعْ ، فَلَمَّا مَاتَ رَكِبَ بِهِ ثُمَّ سَارَ بِهِ فِي أَرْضِ الْعَدُوِّ وَمَا وَجَدَ مَسَاغًا ثُمَّ دَفَنَهُ ثُمَّ رَجَعَ ‘Keinginan saya adalah, ketika saya meninggal, naikkanlah saya ke tunggangan, jika ada kesempatan maka bawalah saya ke negeri musuh, kemudian jika tidak didapatkan kesempatan maka kuburkanlah saya di tempat itu juga dan kalian kembalilah.’”[48]

Ketika Hadhrat Abu Ayyub (ra) wafat maka ia (Yazid memerintahkan) menaikkan beliau ke hewan tunggangan dan sejauh didapatkan kesempatan ia membawa beliau ke negeri musuh dan memakamkan beliau lalu mereka kembali.

Perawi menuturkan, وَكَانَ أَبُو أَيُّوبَ رَحْمَةُ اللَّهُ عَلَيْهِ يَقُولُ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : {انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا} ، لَا أَجِدُنِي إِلَّا خَفِيفًا وَثَقِيلًا Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) mengatakan, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Infiruu khifaafan wa tsiqoolan’ yang artinya, ‘Berangkatlah baik dalam keadaan ringan maupun berat!’ dan saya mendapati diri saya dalam keadaan ringan maupun berat.”[49]

Disebutkan dalam suatu riwayat, حَدَّثَنَا عَاصِمٍ ، عَنْ رَجُلٍ ، مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ ، أَنَّ يَزِيدَ بْنَ مُعَاوِيَةَ ، كَانَ أَمِيرًا عَلَى الْجَيْشِ الَّذِي غَزَا فِيهِ أَبُو أَيُّوبَ فَدَخَلَ عَلَيْهِ عِنْدَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُ أَبُو أَيُّوبَ : إِذَا مِتُّ فَاقْرَءُوا عَلَى النَّاسِ مِنِّي السَّلَامَ ، فَأَخْبِرُوهُمْ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا جَعَلَهُ اللَّهُ فِي الْجَنَّةِ ، وَلْيَنْطَلِقُوا بِي ، فَلْيَبْعُدُوا بِي فِي أَرْضِ الرُّومِ مَا اسْتَطَاعُوا فَحَدَّثَ النَّاسُ لَمَّا مَاتَ أَبُو أَيُّوبَ فَاسْتَلْأَمَ النَّاسُ ، وَانْطَلَقُوا بِجِنَازَتِهِ “Diriwayatkan dari salah seorang penduduk Makkah bahwa pada saat Yazid bin Muawiyah datang kepada Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra), beliau (Hadhrat Abu Ayyub Anshari) mengatakan kepadanya, ‘Sampaikanlah salam saya kepada orang-orang… Katakan kepada mereka bawalah saya dan bawalah jasad saya sejauh mungkin yang mereka mampu ke wilayah Romawi…’ Yazid pun menyampaikan kepada semua orang apa yang Hadhrat Abu Ayyub (ra) katakan kepadanya. Orang-orang menurutinya dan membawa jenazah beliau sejauh yang mereka bisa.” [50]

Sepeninggal Hadhrat Rasulullah (saw), Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) tetap terikat dengan jihad hingga kewafatannya. Beliau wafat di Konstantinopel. Di dalam satu riwayat disebutkan, وَتُوُفِّيَ أَبُو أَيُّوبَ عَامَ غَزَا يَزِيدُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْقُسْطَنْطِينِيَّةَ فِي خِلَافَةِ أَبِيهِ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ سَنَةَ اثْنَتَيْنِ وَخَمْسِينَ ، وَصَلَّى عَلَيْهِ يَزِيدُ بْنُ مُعَاوِيَةَ ، وَقَبْرُهُ بِأَصْلِ حِصْنِ الْقُسْطَنْطِينِيَّةِ بِأَرْضِ الرُّومِ ، فَلَقَدْ بَلَغَنِي أَنَّ الرُّومَ يَتَعَاهَدُونَ قَبْرَهُ وَيَرُمُّونَهُ وَيَسْتَسْقُونَ بِهِ إِذَا قَحَطُوا  “Pada tahun 52 Hijriyyah, Yazid bin Muawiyah di masa kekhalifahan ayahnya, Amir Muawiyah melancarkan peperangan ke Konstantinopel dan pada tahun itulah Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) wafat. Yazid bin Muawiyah memimpin shalat jenazah beliau. Kuburan beliau terletak di dekat benteng Konstantinopel yang merupakan wilayah Romawi.” Perawi mengatakan, “Saya mengetahui penduduk Romawi [saat itu umumnya beragama Kristen] merawat dan memperbaiki kuburan beliau dan di musim kering mereka memohon air dengan perantaraan beliau.”[51]

Berdasarkan sebuah riwayat, وكان أبو أيوب الأنصاري مع علي بن أبي طالب في حروبه كلها، ثم مات بالقسطنطينية من بلاد الروم في زمن معاوية، وكانت غزاته تلك تحت راية يزيد، هو كان أميرهم يومئذ، وذلك سنة خمسين أو إحدى وخمسين من التاريخ “…Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) ikut serta dalam perang menghadapi pemerintahan Romawi di bawah komando Yazid pada masa pemerintahan Amir Muawiyah dan wafat pada 50 atau 51 Hijriah di dekat kota Konstantinopel dan dikuburkan di sana.”[52]

Menurut satu riwayat, وأمرَ يزيدُ بالخيلِ فَجَعَلَتْ تُقْبِلُ وتُدْبِرُ عَلَى قبرِهِ، حتى عَفَا أثرُ القبرِ “Yazid memerintahkan kepada para penunggang kuda untuk bolak-balik berlari di atas kuburan Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) hingga tanda kuburan beliau terhapus.”[53]

Dalam satu riwayat juga dikatakan bahwa pada malam dimakamkannya Hadhrat Abu Ayyub, pada pagi harinya orang-orang Romawi bertanya kepada orang-orang Islam, يا معشر العرب، قد كان لكم الليلة شأن “Apa yang kalian lakukan tadi malam?”

Orang-orang Islam menjawab, مات رجل من أكابر أصحاب نبينا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ووالله، لئن نبش لا ضرب بناقوس في بلاد العرب، فكان الروم إذا أمحلوا كشفوا عن قبره فأمطروا “Ini adalah Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra), salah seorang sahabat terkemuka Nabi kami (saw) dan dari sisi masuk Islam beliau yang paling dulu dari semuanya diantara kami. Sebagaimana yang kalian lihat, kami memakamkan beliau dan demi Allah, jika kuburan ini digali maka selama kami berkuasa, lonceng kalian tidak akan pernah berbunyi di tanah Arab.” Mujahid menuturkan, “Ketika mereka mengalami kelaparan, maka mereka menyingkirkan sedikit tanah dari kuburan beliau, maka terjadilah hujan.”[54]

Di sana pun terdapat riwayat semacam ini, sejauh mana kesahihannya hanya Allah-lah yang Maha Mengetahui. توفي أَبُو أيوب مجاهدًا سنة خمسين، وقيل: سنة إحدى وخمسين، وقيل: سنة اثنتين وخمسين، وهو الأكثر Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) wafat pada perang Konstantinopel di tahun 50 atau 51 atau 52 Hijriyyah. Sebagian besar mengatakan 52 Hijriyyah.[55]

Kuburan Hadhrat Abu Ayyub Anshari (ra) terletak di kota Istanbul, Turki. Makamnya terletak di suatu panggung yang ditutup dengan pintu kuningan yang berkisi. Banyak orang Turki datang ke sini untuk menenangkan hati.[56]

Sekarang penyampaian riwayat sahabat Badr telah selesai, namun insya Allah saya akan sampaikan mengenai keempat Khalifah. Sebelumnya beberapa telah disampaikan secara singkat. Sekarang akan disampaikan secara rinci. Demikian juga pada awalnya beberapa sahabat riwayatnya disampaikan secara singkat, jika mengenai mereka ada poin-poin tambahan maka itu pun akan saya sampaikan. Ketika semuanya dituliskan, akan masuk ke dalam bagian Sirat (biografi) dari Sahabat tersebut.

Sekarang saya ingin menyampaikan riwayat beberapa Almarhum yang beberapa waktu yang lalu wafat dan saya juga akan memimpin shalat jenazah mereka setelah shalat. Pertama, yang terhormat Abdul Hayyi Mandal Sahib, Mu’allim di India. Pada 25 September 2020 beliau wafat dikarenakan serangan jantung di usia 53 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Pada tahun 1999, setelah melakukan penelitian Almarhum bergabung ke dalam Jema’at. Pada 2003, setelah lulus dari Jami’atul Mubasyirin hingga wafat Almarhum mengkhidmati Jema’at dengan kerja keras, keikhlasan dan semangat. Dari sisi ini masa pengkhidmatan Almarhum adalah selama 17 tahun. Almarhum adalah seorang yang sangat mukhlis, saleh, taat, disiplin dalam shalat dan seorang mu’allim yang mencintai Jema’at. Di antara yang ditinggalkan selain istri juga dua orang putra dan dua orang putri. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan ampunan dan rahmat-Nya dan memberikan ketentraman kepada anak istri Almarhum.

Jenazah yang kedua, yang terhormat Sirajul Islam Sahib, Mu’allim Distrik Murshidabad, Bengal yang wafat pada tanggal 14 Oktober 2020 di usia 60 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Pada tahun 2002 Almarhum Bapak Mu’allim mendapatkan training Mu’allimin selama enam bulan di Jami’atul Mubasyirin Qadian dan hingga 2020 berkhidmat sebagai Mu’allim. Dari sisi ini masa pengkhidmatan Almarhum adalah selama 18 tahun. Almarhum seorang yang mukhlis, saleh, taat, disiplin dalam puasa dan shalat, seorang mu’allim yang pekerja keras dan mencintai Jema’at. Selain seorang istri, Almarhum juga meninggalkan tiga orang putri. Dua putri Almarhum yang paling besar sudah menikah, putri yang ketiga masih dalam masa pendidikan. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada Almarhum dan memberikan kesabaran kepada keluarga yang ditinggalkan serta memberikan taufik kepada mereka untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan Almarhum.

Jenazah yang ketiga, cucu dari Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan cucu Hadhrat Nawab Muhammad Ali Khan Sahib dan putra dari Hadhrat Nawab Amatul Hafiz Begum Sahibah dan Hadhrat Nawab Abdullah Khan Sahib, yang terhormat Shahid Ahmad Khan Pasha Sahib yang wafat pada 26 Oktober di usia 85 tahun di rumah sakit. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi wa rooji’uun. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang Mushi. Yang terhormat Shahid Ahmad Khan Sahib menikah dua kali. Pernikahan yang pertama dengan yang terhormat Amatusy Syukur Sahibah, putri Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits (rh) pada tahun 1962 dan yang menikahkan beliau adalah Maulana Jalaludin Shams Sahib, dikarenakan Hadhrat Muslih Mau’ud (ra) sedang sakit.

Dari pernikahan pertama Almarhum memiliki 5 orang anak, 2 putra dan 3 putri. Pernikahan yang kedua pada tahun 1977 dengan Almarhumah Saminah Sa’id Sahibah binti Sa’id Sahib, dari pernikahan tersebut lahir seorang putra yang sekarang ini tinggal di Amerika. Beliau tidak memiliki jabatan resmi dalam Jema’at, namun mendapatkan taufik untuk pergi bersama Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits (rh) dalam lawatan-lawatan ke luar negeri dan di sana beliau mendapatkan kesempatan untuk berkhidmat. Dan demikian juga keistimewaan beliau lainnya adalah, istri beliau menulis bahwa beliau sangat memperhatikan orang miskin, banyak membantu penghidupan orang-orang miskin, bahkan membuatkan satu rumah dan membantu orang-orang miskin secara rutin. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya dan mendekatkan putra-putri Almarhum dengan Jema’at dan Khilafat.

Jenazah selanjutnya yang terhormat Sayyid Mas’ud Ahmad Shah Sahib, dari Sheffield, UK, yang wafat pada 8 September dikarenakan terhentinya detak jantung. Inna lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga beliau melalui ayahanda beliau, Hadhrat Sayyid Nazim Husain Sahib yang pada tahun1902 di usia 20 tahun datang ke Qadian dan baiat di tangan Hadhra Masih Mau’ud (as). Sayyid Mas’ud Ahmad Shah Sahib setelah tiba di UK pada 1962, beliau menetap di Sheffield. Ketika Jema’at berdiri di Sheffield rumah beliau dijadikan salat center yang pertama dan hingga 1970 beliau-lah yang mengemban tugas sebagai Ketua Jema’at. Kemudian, dari tahun 1997 hingga akhir hayat beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Sekretaris Dhiafat.

Almarhum seorang yang periang, pengkhidmat tamu, baik hati, semangat dalam berkhidmat, bersimpati kepada orang-orang miskin, sosok yang mukhlis dan setia. Beliau memiliki jalinan yang kuat dengan khilafat.

Putri beliau Dokter Aisyah Sahibah mengatakan, “Almarhum selalu berusaha mengikatkan kami dengan Jema’at dan khususnya Khilafat, dan menasihatkan supaya melakukan mulaqat dengan Hudhur setiap enam bulan.”

Semoga Allah Ta’ala memberikan kesabaran dan ketabahan kepada putri dan istri beliau, menganugerahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada beliau dan semoga Allah Ta’ala memberikan taufik kepada anak dan istri beliau untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.[57]

Khotbah II

الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُوَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُعِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ


[1] Al-Isti’aab fi Ma’rifatil Ashhaab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب)

[2] Usdul Ghaba Fi Marifati Al-Sahaba, Vol. 1, p. 492, Jaabir bin Abdillah bin Riaab, Dar-ul-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut, 2003

[3] Ma’rifatush Shahaabah (معرفة الصحابة), (أبو نعيم الأصبهاني). As-Siirah an-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam (السيرة النبوية (ابن هشام)), bahasan perang Badr al-Kubra (غزوة بدر الكبرى), motivasi berperang (تحريض المسلمين على القتال).

[4] Ath-Thabaqaat al-Kubra: وقتل عوف بْن الْحَارِث يوم بدْر شهيدًا. قتله أَبُو جهل بْن هشام بعد أن ضربه عوف وأخوه معوذ ابنا الْحَارِث فأثبتاه .

[5] Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 373-375, 370; Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, Vol. 4 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995], 614-615; Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 3, [Beirut, Lebanon: Dar al-Jil, 1992], 1225-1226; Sahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, Bab Fadl man Shahida Badran, Hadith 3988; Sahih al-Bukhari, Kitab Fard al-Khumus, Bab Man lam Yakhmus al-Aslab, Hadith 3141; Sahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, Bab Qatl Abi Jahl, Hadith 3963; Sunan Abi Dawud, Kitab al-Jihad, Bab fi al-Asir Yuthaq, Hadith 2680.

Terkait:   Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad (Saw) Seri-93

[6] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabah, Vol. 6, Hazrat Abu Ayub al-Ansari [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003], 22)

[7] Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 2, Hazrat Khalid bin Zaid [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995], 200.) (Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3, Hazrat Abu Ayub al-Ansari [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 368-369)

[8] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 6, Hazrat Abu Ayub al-Ansari [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003], 23 (اسد الغابہ جلد 6 صفحہ 23 حضرت ابو ایوب دارالکتب العلمیۃ بیروت لبنان 2003ء)

[9] Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam.

[10] Shahih al-Bukhari, Kitab Manaqib orang Anshar (كتاب مناقب الأنصار), bab Hijrah Nabi dan beberapa Sahabatnya ke Madinah (باب هِجْرَةُ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَصْحَابِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ); Tarikh al-Khamis (تاريخ الخميس في أحوال أنفس نفيس 1-3 ج2) karya Husain bin Muhammad bin Hasan ad-Diyarbakri (حسين بن محمد بن الحسن الديار بكري ،الإمام); tercantum juga dalam As-Sirah al-Halabiyyah. Tercantum juga dalam Syarh al’Allamah az-Zurqani ‘alal Mawaahibil Laduniyyah (شرح العلامة الزرقاني على المواهب اللدنية بالمنح المحمدية 1-12 ج2) karya Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdul Baqi az-Zurqani (أبي عبد الله محمد بن عبد الباقي/الزرقاني).

[11] Subulul Huda war Rasyaad fi sirah khairil ‘ibaad (سبل الهدى والرشاد في سيرة خير العباد) karya Muhammad ibn Yusuf ibn Shalihi asy-Syami, w. 942 H, jilid 3 h. 272-273, jama’ abwaab al-Hijrah ilal Madinah asy-Syarifah, bab as-Saadis (ketujuh) mengenai kedatangannya, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 1993.

[12] Life & Character of the Seal of the Prophets, Hazrat Mirza Bashir Ahmad (ra), pp. 267, 268.

[13] Shahih Muslim, Kitab Minuman (كتاب الأشربة).

[14] Shahih Muslim, Kitab Minuman (كتاب الأشربة), bab kebolehan memakan bawang putih, namun seseorang yang ingin menghadap orang terkemuka harus menahan diri dari memakannya dan hal yang sama bagi makanan sejenisnya (باب إِبَاحَةِ أَكْلِ الثُّومِ وَأَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ أَرَادَ خِطَابِ الْكِبَارِ تَرْكُهُ وَكَذَا مَا فِي مَعْنَاهُ), Hadith 5356-5358 ; tercantum juga dalam Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad Anshar (مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ), Hadits Abu Ayyub (حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ), nomor 23006.

[15] Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad Anshar (مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ), Hadits Abu Ayyub (حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ), nomor 22467.

Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 7, Musnad Abu Ayub Ansari, Hadith 23966 [Beirut, Lebanon: Alam al-Kutub, 1998], 781

[16] Ibn Saad, Al-Tabaqat al-Kubra, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990], 36.

[17] Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad Anshar (مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ), Hadits Abu Ayyub (حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ), nomor 23035.

Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 7, Musnad Abu Ayub Ansari, Hadith 23963 [Beirut, Lebanon: ‘Alam al-Kutub, 1998], 780.

[18] Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (السيرة النبوية لابن هشام), hal lain tentang ekspedisi ke Khaibar (بَقِيَّةُ أَمْرِ خَيْبَرَ), bermalamnya Rasul dengan Shafiyyah dan Penjagaan Abu Ayyub di dekat kemah mereka (بِنَاءُ الرَّسُولِ بِصَفِيَّةَ وَحِرَاسَةُ أَبِي أَيُّوبَ لِلْقُبَّةِ). Beberapa periode hidup para penulis Sirah an-Nabawiyah (biografi Nabi dan sejarah Islam): periode akhir abad pertama-awal abad kedua: Urwah bn az-Zubair bin ‘Awwam, Aban bin Utsman bin ‘Affan, Ibnu Syihab az-Zuhri, Wahb bin Munabbih dan lain-lain; periode abad kedua: Mu’ammar atau Ma’mar bin Rasyid, Muhammad bin Ishaq (Ibnu Ishaq) dan lain-lain; periode ketiga Muhammad bin Umar al-Waqidi, Muhammad bin Sa’d (Ibnu Sa’d) dan Abu Muhammad ibnu Hisyam. Sirah an-Nabawiyah periode pertama kebanyakan terlindungi dalam Kitab ath-Thabari. Sementara karya Ibnu Ishaq, al-Maghazi, disaring dan diedit lagi menjadi lebih ringkas dalam Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam.

[19] Ali bin Burhan al-Din al-Halabi, Al-Sirah al-Halabiyyah, Vol. 3, Ghazwat Khaibar [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002], 65. Imam Abu al-Qasim ‘Abdurrahman as-Suhaili (الإمام المحدث أبو القاسم عبد الرحمن بن عبد الله السهيلي) adalah penulis al-Raudh al-Unuf yang merupakan Syarh atau komentar atas Sirah Ibnu Hisyam (الروض الأنف – في شرح السيرة النبوية لإبن هشام). Beliau juga menulis versi lain doa Rasulullah (saw): وَذَكَرَ قَوْلَ النّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي أَيّوبَ حِينَ بَاتَ يَحْرُسُهُ: حَرَسَك اللهُ يَا أَبَا أَيّوبَ، كَمَا بِتّ تَحْرُسُ نَبِيّهُ. . Beliau hidup pada 508-581 Hijriyyah. Suhail adalah nama sebuah desa dekat Malagha, Andalusia (Spanyol sekarang).

[20] Shahih Al-Bukhari, Kitab Shalat, bab Masjid-Masjid di rumah-rumah, no. 425.

[21] Shahih Al-Bukhari, Kitab at-Tahajjud (كتاب التهجد), bab shalat Nawafil berjamaah (باب صَلاَةِ النَّوَافِلِ جَمَاعَةً), no. 1185. Tercantum juga dalam Lughat al-Hadith, Vol. 1, p. 580

[22] Life & Character of the Seal of the Prophets, Hazrat Mirza Bashir Ahmad (ra), p. 16.

[23] Sahih al-Bukhari, Kitab al-Tahajjud, Bab Salat al-Nawafil Jama‘atan, Hadith 1186, Vol. 2, p. 565, Nazarat Isha‘at Rabwah.

[24] Shahih al-Bukhari, Kitab berburu saat sedang berhaji (كتاب جزاء الصيد), bab mandi dalam keadaan Ihram (باب الاِغْتِسَالِ لِلْمُحْرِمِ), nomor 1840.

[25] Al-Adzkaar karya Imam an-Nawawi bab (بابُ ما يقولُ لمن أزالَ عنه أذىً).

[26] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), Kitab Ma’rifatush Shahabah (كِتَابُ مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ), bahasan mengenai Keutamaan Abu Ayyub al-Anshari (ذِكْرُ مَنَاقِبِ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), nomor 5977. Kanz al-Ummal, Vol. 13, p. 614, Hazrat Abu Ayub Ansari, Hadith 37568, 37569, Maktabat Mu‘assisat al-Risalah, Beirut, 1985.

[27] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 6, Hazrat Abu Ayub al-Ansari [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003], 22.

[28] Ibnu Manzhur dalam Mukhtaṣar Tārīkh Dimashq (ابن منظور – مختصر تاريخ دمشق). Penyerangan Amir Mu’awiyyah (ra) ke wilayah-wilayah bawahan Khalifah ‘Ali (ra) seperti Hijaz (Makkah dan Madinah) dan Yaman semakin mempersempit wilayah Khalifah ‘Ali (ra). Hal ini terjadi di tahun terakhir kehidupan Hadhrat ‘Ali (ra). Saat aneksasi Madinah, beberapa Sahabat yang tersisa seperti Jabir bin ‘Abdillah meminta jaminan perlindungan kepada istri Nabi (saw) seperti Ummu Salamah. Pimpinan pasukan Mu’awiyah yang segan dan hormat tidak bisa bertindak apa-apa kepada mereka padahal Busr telah berpidato, يا أهل المدينة، والله لولا ما عهد إلي أمير المؤمنين، ما تركت بها محتلماً إلا قتلته “Kalau bukan karena janji dengan Mu’awiyah, tidak akan kubiarkan hidup orang-orang Madinah.”

[29] Muhammad Ibn Jarir al-Tabari, Tarikh al-Tabari, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1987], 153; Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], 112.

[30] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), Kitab Ma’rifatush Shahabah (كِتَابُ مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ), bahasan mengenai Keutamaan Abu Ayyub al-Anshari (ذِكْرُ مَنَاقِبِ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), nomor 5969.

[31] Tarikh Madinah Dimashq karya Ibnu Asakir. Tercantum juga dalam (مواقف الشيعة – الأحمدي الميانجي – ج ٢ – الصفحة ٤٤٠) yang merujuk dari Ibnu Asakir, al-Khashaish al-Kubra dalam lafaz berbeda ((٢) الغدير: ج ١٠ / 283، عن ابن عساكر: ج 5 / 41 – 42، والخصائص الكبرى: ج 2 / 150 بألفاظ مختلفة، فراجع).

[32] Usdul Ghaabah.

[33] Tarikh Madinah Dimashq karya Ibnu Asakir (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ١٦ – الصفحة ٥٥). Al-Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), Kitab Ma’rifatush Shahabah (كِتَابُ مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ), bahasan mengenai Keutamaan Abu Ayyub al-Anshari (ذِكْرُ مَنَاقِبِ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ), nomor 5970.

[34] Kanz al-Ummal, Vol. 13, p. 614-615, Hazrat Abu Ayub Ansari, Hadith 37570, Maktabat Mu‘assisat al-Risalah, Beirut, 1985.

[35] Surah al-Baqarah; 2:196 dengam bismillahir rahmaanir rahiim sebagai ayat pertama.

[36] Jami’ at-Tirmidzi nomor 2972, Kitab Tafsir (كتاب تفسير القرآن عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab bahasan Surah Al-Baqarah ayat 196. Tafsir-e-Kabir, Vol. 2, p. 429.

[37] Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad Anshar (مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ), Hadits Abu Ayyub (حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ), nomor 18267: قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ : وَرَكِبَ أَبُو أَيُّوبَ إِلَى عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ بِمِصْرَ فَقَالَ : إِنِّي سَائِلُكَ عَنْ أَمْرٍ لَمْ يَبْقَ مَنْ حَضَرَهُ إِلَّا أَنَا وَأَنْتَ , كَيْفَ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : مَنْ سَتَرَ مُؤْمِنًا فِي الدُّنْيَا عَلَى عَوْرَةٍ , سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرَجَعَ إِلَى الْمَدِينَةِ ; Mushannaf ‘Abdur Razzaaq (مصنّف عبد الرزاق), Kitab al-Luqthah (كِتَابُ اللُّقَطَةِ), bab menutupi kelemahan orang Muslim (بَابُ سَتْرِ الْمُسْلِمِ), nomor 18265: أَخْبَرَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى , عَنْ مَنْ حَدَّثَهُ , عَنْ رَجُلٍ , مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ خَرَجَ مِنَ الْمَدِينَةِ إِلَى عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ وَهُوَ أَمِيرٌ عَلَى مِصْرَ يَسْأَلُهُ عَنْ حَدِيثٍ سَمِعَاهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمِيعًا َسَأَلَهُ عَنْهُ , فَقَالَ عُقْبَةُ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ :  Abu Ayyub berkendaraan dari Madinah ke Mesir untuk menemui ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani, Amir (Gubernur Mesir bawahan Mu’awiyyah) untuk menanyakan suatu Hadits atau Sabda Nabi Muhammad (saw). ‘Uqbah menjawab, “Saya pernah dengar Rasulullah (saw) bersabda, مَنْ سَتَرَ أَخَاهُ فِي فَاحِشَةٍ رَآهَا عَلَيْهِ , سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ “Siapa saja yang menutupi saudaranya yang telah ia lihat melakukan faahisyah (dosa atau kemaksiatan) maka Allah akan menutupi orang itu di dunia dan di akhirat.”

[38] Sheikh Shah Muinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], 113.

[39] Ahmad bin Hanbal dalam karyanya Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad al-Anshar (مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ), Hadits Abi Ayyub al-Anshari (حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ), nomor 23054 (حديث رقم 23054) atau pada terbitan [Beirut, Lebanon: Alam al-Kutub, 1998], tercantum di hlm 785, Vol. 7, Musnad Abu Ayub Ansari, Hadith 23983. Tercantum juga dalam Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ج 57 – مأمون – مسعدة). I’lamus Sunan (إعلاء السنن – ج 10 – الحج – 2549 – 3062), bab Ziarah Kubur Nabi (saw). Sheikh Shah Muinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], 116.

[40] Ahmad bin Hanbal dalam karyanya Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad al-Anshar (مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ), Hadits Abi Ayyub al-Anshari (حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ), nomor 22971 atau Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 7, Musnad Abu Ayub Ansari, Hadith 23985 jdalam terbitan [Beirut, Lebanon: ‘Alam al-Kutub, 1998], 64.

[41] Ahmad bin Hanbal dalam karyanya Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad Anshar (مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ), Hadits Abu Ayyub (حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ), nomor 23004 atau tercantum pada Musnad Ahmad bin Hanbal Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 7, Musnad Abu Ayub Ansari, Hadith 23931 pada terbitan [Beirut, Lebanon: Alam al-Kutub, 1998], 773.

; tercantum juga dalam Shahih Ibnu Khuzaimah (صحيح ابن خزيمة), Kitab ash-Shalaah (كِتَابُ الصَّلَاةِ), bab mengenai tidak baik mengakhirkan shalat Maghrib di akhir waktu dan pemberitahuan Nabi (saw) mengenainya (بَابُ التَّغْلِيظِ فِي تَأْخِيرِ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ ، وَإِعْلَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ); Sunan Abi Daud nomor 418, Kitab tentang Shalat (كتاب الصلاة), bab mengenai waktu Maghrib (باب فِي وَقْتِ الْمَغْرِبِ).

[42] Ahmad bin Hanbal dalam karyanya Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad Anshar (مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ), Hadits Abu Ayyub (حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ), nomor 23011 atau tercantum pada Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 7, Musnad Abu Ayub Ansari, Hadith 23938 bila di cetakan [Beirut, Lebanon: Alam al-Kutub, 1998], h. 775.

[43] Sheikh Shah Muinuddin Ahmad Nadvi, Siyar al-Sahabah, Vol. 3 [Karachi, Pakistan: Dar al-Isha‘ah, 2004], 115.

[44] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d nomor 4153; Mu’jamush Shahaabah karya al-Baghawi.

[45] Shahih Muslim, Kitab tentang Taubat (كتاب التوبة), bab jatuh dalam dosa lalu beristighfar dan taubat (باب سُقُوطِ الذُّنُوبِ بِالاِسْتِغْفَارِ تَوْبَةً).

[46] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d. Tercantum juga dalam A’yaanusy Syi’ah karya Sayyid Muhsin al-Amin (أعيان الشيعة – السيد محسن الأمين – ج ٦ – الصفحة ٢٨٤)

[47] Tarikh Madinah Dimasyq karya Ibnu Asakir (تاريخ مدينة دمشق – ج 16 – خالد بن أسيد – خفيف بن عبد الله); tercantum juga dalam I’lamul Huffaazh wal Muhadditsiin (Informasi mengenai para penghapal Qur’an dan pengabar Hadits atau Sabda Nabi, أعلام الحفاظ والمحدثين 1 – 4 – 3); Abū l-Walīd al-Bājī (d. 1082 CE) dalam karyanya al-Taʿdīl wa-l-tajrīḥ li-man kharaja lahu al-Bukhārī fī l-Jāmiʿ al-ṣaḥīḥ (الباجي – التعديل والتجريح): كَانَ أَبُو أَيُّوب إِذا لم يخرج فِي سَرِيَّة كَانَ فِي الَّتِي تَلِيهَا فَلَمَّا ولي عبد الْملك بن مَرْوَان قَالَ فَتى شَاب من قُرَيْش فَلم يخرج ثمَّ قَالَ بعد مَا عَليّ مِمَّن كَانَ عَلَيْهِم فَمَاتَ بِأَرْض الرّوم قَالَ البُخَارِيّ فِيهِ حَدثنَا مُوسَى ثَنَا حَمَّاد أخبرنَا حبيب بن الشَّهِيد عَن بن سِيرِين قَالَ غزا أَبُو أَيُّوب زمن يزِيد بن مُعَاوِيَة فَمَرض فَقَالَ قدموني فِي أَرض الرّوم مَا اسْتَطَعْتُم ثمَّ ادفنوني وَقَالَ عَمْرو بن عَليّ مَاتَ بقسطنطينية سنة اثْنَتَيْنِ وَخمسين .

[48] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain (المستدرك على الصحيحين), Kitab Ma’rifatush Shahabah (كِتَابُ مَعْرِفَةِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ), bahasan mengenai Keutamaan Abu Ayyub al-Anshari (ذِكْرُ مَنَاقِبِ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ).

[49] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d. Ayat Al-Qur’an tersebut tercantum dalam Surah at-Taubah, 9:41.

[50] Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), Musnad Anshar (مُسْنَدُ الْأَنْصَارِ), Hadits Abu Ayyub (حَدِيثُ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ), nomor 22993; Tarikh Madinah Dimashq karya Ibn Asakir dan Tarikhul Islam karya Adz-Dzahabi. Peperangan lewat laut mengarah ke ibukota kekaisaran Romawi Timur, Konstantinopel dimulai pada masa Khalifah Utsman (ra) pada 32 Hijriyah. Penglima pasukan ialah Hadhrat Muawiyah ra, Amir/Gubernur Syam (Suriah dsk) saat itu. Setelah Khulafa-ur Rasyidin berakhir dan Muawiyah menjadi penguasa seluruh wilayah Muslim, pada tahun 42, 43, 44 dan 46 Hijriyah, Muawiyah juga mengirim ekspedisi darat dan laut. Antara tahun 49-55 (670-an M) dikirim lagi pasukan ke Konstantinopel dibawah pimpinan Sufyan bin Auf. Menurut ‘Umdatul Qari, pasukan yang diikuti para Sahabat sebagaimana ditulis dalam Tarikh ath-Thabari.dan Bidayah wan Nihayah seperti Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn az-Zubair (berumur antara 40-an dan 50-an tahun), dan Abu Ayyub al-Ansari (80 tahun) dan Husain bin Ali merujuk sumber: Ibnu al-‘Adim dalam Bughyatuth Thalib fi Tarikh Halb (بغية الطلب في تاريخ حلب‏ – ج٦ – ابن العديم عمر بن أحمد بن أبي جرادة) dan Syarh Ihqaaq al-Haq karya Sayyid al-Mar’asyi (شرح إحقاق الحق – السيد المرعشي – ج ٢٧ – الصفحة ١): و غزا القسطنطينية في الجيش الذي كان يزيد بن معاوية أميره، فقد اجتاز بحلب في طريقه من دمشق إليه. awalnya di dalam rombongan Sufyan bin ‘Auf. Sebagian pasukan ini menderita penyakit dan berbagai masalah lalu dikirimkanlah bala bantuan baru di bawah pimpinan Yazid putra Muawiyah (berumur 20-an tahun) sehingga ia menjadi Komandan semua pasukan. Meski demikian, riwayat keikutsertaan Husain ini ditolak pihak Syi’ah. Abu Ayyub berwasiyat: “Aku mendengar dari Nabi (saw) bahwa seorang saleh akan dimakamkan di kaki dinding Konstantinopel, aku berharap orang itu adalah diriku.” (Ibnu ‘Abd Rabbih, al ‘Iqd al-Farid, jild. 5, hal. 116) “Sekiranya aku syahid di sini wahai Yazid (panglima Bani Umayyah), kalian kuburkan aku di tepi benteng Konstantinopel, karena aku ingin mendengar derapan tapak kaki kuda sebaik-baik raja ketika mereka nanti akan menaklukkan Konstantinopel seperti yang telah diisyaratkan oleh baginda Nabi.” Konstantinopel, ibukota Romawi Timur Bizantium (sekarang Istanbul, wilayah Turki di benua Eropa) ditaklukkan Sultan Mehmed/Muhammad II (al-Fatih, sang Penakluk), Raja Daulah Utsmaniyah (Ottoman) Turki pada 1453 Masehi.

[51] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d nomor 4153, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], 369-270; Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, Vol. 2, Khalid bin Zaid [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995], 201; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Vol. 7, Musnad Abu Ayub Ansari, Hadith 23912 [Beirut, Lebanon: Alam al-Kutub, 1998], 768.

[52] Ibnu Manjuwaih (ابن منجويه , wafat 1036 atau 1037) dalam karyanya Rijāl Ṣaḥīḥ Muslim (رجال صحيح مسلم)

[53] Usdul Ghaabah. Tercantum juga dalam Tarikh al-Maqrizi (تاريخ المقريزي الكبير المسمى (المقفى الكبير) 1-6 ج3) karya Abul ‘Abbas Taqiyuddin Ahmad bin ‘Ali al-Maqrizi (أبي العباس تقي الدين أحمد بن علي/المقريزي).

[54] Ali Ibn al-Athir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 6, Hazrat Abu Ayub al-Ansari [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003], 23. Ibnu Manzhur dalam Mukhtaṣar Tārīkh Dimashq (ابن منظور – مختصر تاريخ دمشق). Di dalam Kitab al-‘Iqdul Farid (العقد الفريد) penulis Ibnu ‘Abdu Rabbihi al-Andalusi (المؤلف : ابن عبد ربه الأندلسي), bab Ancaman Yazid kepada Kaisar Romawi jika merusak kuburan Abu Ayyub al-Anshari (وعيد يزيد لملك الروم إن نبشوا قبر أبي أيوي الأنصاري) juga disebutkan bahwa ketika Kaisar Romawi mengetahui hal itu maka ia mengancam Yazid akan merusak kuburan Abu Ayyub dan menyuruh anjing-anjing dan binatang buas untuk memakan jenazahnya. Yazid mengancam balik (إني والله ما أردت أن أودعه بلادكم حتى أودع كلامي آذانكم، فإنك كافر بالذي أكرمت هذا له، لئن بلغني أنه نبش من قبره أو مثل به، لا تركت بأرض العرب نصرانياً إلا قتلته، ولا كنيسة إلا هدمتها) akan melakukan hal yang sama kepada orang-orang Kristen di wilayah kekuasaannya dan juga akan menghancurkan bangunan Kristen. Kaisar Romawi pun mengurungkan niatnya demi mendengar ancaman ini.

[55] Usdul Ghaabah karya Ibnu al-Atsir. Al-Bidaayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsir bab peristiwa yang terjadi tahun 52 (ثم دخلت سنة ثنتين وخمسين). Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Isabah fi Tamyiz al-Sahabah, Vol. 2, Khalid bin Zaid [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995], 201.

[56] Salman bin Akhtar, Tabarrukat Sahabah ka Taswiri Album [Karachi, Pakistan: Maktabat Arsalan, 2011], 35, 50 (تبرکات صحابہ کا تصویری البم از ارسلان بن اختر 35و 50مکتبہ ارسلان کراچی 2011ء)

[57] Original Urdu transcript published in Al Fazl International, 11 December 2020, pp. 5-10 (الفضل انٹرنیشنل 11؍دسمبر 2020ء صفحہ 5تا10).  Translated by The Review of Religions. Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Muhammad Hasyim (Indonesia) dan Mln. Saefullah Mubarak Ahmad (Qadian-India). Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.islamahmadiyya.net (bahasa Arab).

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.