بسم اللہ الرحمن الرحیم
(Pembahasan 3 Sahabat peserta perang Badr: Hazrat Abdullah Bin Thariq, Hazrat Aqil bin Bukair, Hazrat Zaid bin Haritsah radhiyAllahu ta’ala ‘anhum)
Asal-usul dan riwayat singkat para Sahabat berdasarkan data Kitab-Kitab Sirah (biografi) dan Tarikh (Sejarah).
Berbagai segi menarik dan menyegarkan keimanan dari para Sahabat tersebut.
Penjelasan Hazrat Mirza Basyir Ahmad (ra) dalam Kitab Sirah Khataman Nabiyyin (saw)
Penjelasan Hazrat Khalifatul Masih II (ra)
Insya Allah, pembahasan mengenai Hazrat Zaid bin Haritsah berlanjut di khotbah mendatang.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 07 Juni 2019 (Ihsan 1398 Hijriyah Syamsiyah/03 Syawal 1440 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, Surrey, UK (Britania)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ.
(آمين)
Hari ini akan saya mulai lagi penyampaian mengenai para sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam yang mengikuti perang Badr. Topik Sahabat yang akan saya sampaikan, pertama Hazrat Abdullah Bin Thariq. Allamah Zuhri menerangkan bahwa Hazrat Abdullah Bin Thariq azh-Zhafari (عَبْدُ اللّهِ بن طَارِق الظَّفَرِي) ikut serta pada perang Badr. Urwah bin az-Zubair menuliskan nama beliau Abdullah bin Thariq al-Balawi dan termasuk pendukung (sekutu) kaum Anshar (عبد اللّه بن طارق البَلَوي، حَليف الأَنصار).[1]
Sebagian berpendapat Hazrat Abdullah bin Thariq al-Balawi adalah pendukung kabilah Banu Zhafar yang termasuk Kabilah kalangan Anshar. Menurut Ibnu Hisyam beliau berasal dari Kabilah Baliyy (بَلِيّ) dan pendukung kabilah Banu Abd Bin Razah.
Hazrat Muattab bin Ubaid (مُعَتّب بن عُبيد) adalah saudara seibu lain ayah dari Hazrat Abdullah Bin Thariq. Ibunda Hazrat Abdullah Bin Thariq berasal dari ranting Banu Adzrah, Banu Kahil. Hazrat Abdullah Bin Thariq dan Hazrat Muattab Bin Ubaid keduanya ikut serta pada perang Badr dan perang Uhud. Kedua bersaudara tersebut syahid pada peristiwa Raji’.
Hazrat Abdullah Bin Thariq termasuk 6 sahabat – atau menurut sebagian riwayat yang salah satunya adalah riwayat dari Bukhari, mereka 10 orang Sahabat – yang diutus oleh Rasulullah (saw) pada akhir 3 Hijri kepada beberapa orang dari kabilah Adhal dan Qarah untuk mengajarkan agama, Al-Quran dan ajaran syariat kepada mereka. Ketika beberapa sahabat tersebut sampai di daerah Raji’, sebuah sumber mata air di kawasan Hijaz milik Kabilah Hudzail, di sana penduduk kabilah Hudzail melanggar janjinya lalu mengepung dan membunuh mereka. Sahabat tersebut berjumlah tujuh yaitu Hazrat Asim Bin Tsabit (عاصم بن ثابت), Hazrat Martsad Bin Abi Martsad (مرثد بن أبي مرثد), Hazrat Khubaib Bin Adi (خبيب بن عديّ), Hazrat Khalid Bin Bukair (خالد بن البُكير), Hazrat Zaid Bin Datsanah (زيد بن الدِّثْنَة), Hazrat Abdullah Bin Thariq (عبد الله بن طارق) dan Hazrat Muattab Bin Ubaid (مُعَتّب بن عُبيد) radhiyallahu ‘anhum. Hazrat Martsad Bin Abi Martsad, Hazrat Khalid, Hazrat Asim dan Hazrat Muattab Bin Ubaid syahid di tempat. Sedangkan Hazrat Khubaib, Hazrat Abdullah Bin Thariq dan Hazrat Zaid memasukkan kembali senjatanya sehingga kaum kuffar menawan mereka dan membawa mereka ke Makkah.
Ketika sampai di kawasan Zhahraan, sebuah Wadi (lembah) yang berjarak 5 Mil dari Makkah, Hazrat Abdullah Bin Thariq melepas ikatan tali dari tangannya lalu mengangkat pedang. Melihat itu pihak Musyrikin langsung menjaga jarak dan melempari beliau dengan batu sehingga beliau syahid di tempat dan dimakamkan di Zhahraan. Peristiwa Raji’ terjadi pada bulan ke-36 paska Hijrah yakni bulan Safar.
Hazrat Hasan bin Tsabit dalam syairnya menggambarkan berkenaan dengan para sahabat tersebut:
وَابْنٌ لِطَارِقَ وَابْنُ دَثْنَةَ مِنْهُمْ … وَافَاهُ ثَمَّ حِمَامُهُ الْمَكْتُوبُ
Wa ibnun li-Thaariq wabnu Datsanah minhum wa afaahu tsumma himaamahul maktuub.
صَلَّى الْإِلَهُ عَلَى الَّذِينَ تَتَابَعُوا … يَوْمَ الرَّجِيعِ فَأُكْرِمُوا وَأُثِيبُوا
Shalal ilahu ‘alalladziina tattaba’uu yaumar rajii’ fa–ukrimuu wa utsiibuu
Arti bait pertama adalah Maut telah menemui Hazrat Ibnu Dasnah dan Hazrat Ibnu Thariq yang mana hal itu telah ditakdirkan, selanjutnya Tuhan telah mencurahkan rahmat atas mereka yang telah syahid pada hari Raji’ dengan mereka telah dianugerahi kemuliaan dan ganjaran.[2]
Berkenaan dengan peristiwa Raji, saya telah menejelaskannya ketika menyampaikan kisah para sahabat terdahulu dan sebagiannya telah disampaikan barusan, berikut akan saya sampaikan secara singkat dari kisah lengkap yang telah ditulis Hazrat Mirza Basyir Ahmad: “Hazrat Rasulullah (saw) mendapatkan kabar mengerikan dari berbagai arah mengenai rencana serangan kaum Kuffar disebabkan kemenangan mereka pada perang Uhud. Mereka semakin berani dan semakin takabbur sehingga peluang ancaman bahaya dari mereka dirasakan sangat besar. Hadhrat Rasulullah (saw) mengutus satu grup yang berjumlah 10 orang sahabat pada bulan Shafar tahun 4 Hijriyah dan menetapkan Ashim Bin Tsabit sebagai Amir (ketua)nya yang kepadanya diperintahkan untuk secara diam-diam pergi ke dekat Makkah untuk mencari informasi perihal kaum Quraisy dan melaporkannya kepada beliau (saw) mengenai rencana-rencana mereka dan keinginan-keinginan mereka.
Namun belum saja grup ini berangkat, beberapa orang dari Kabilah Adhal dan Qarah datang menghadap beliau dan menyampaikan, ‘Di dalam kabilah kami banyak sekali orang yang cenderung kepada Islam. Mohon tuan utus beberapa orang Sahabat tuan bersama kami untuk membaiatkan kami dan mengajarkan kami ajaran Islam.’
Hadhrat Rasulullah (saw) gembira demi mengetahui perihal keinginan mereka itu maka grup yang telah dipersiapkan untuk mencari informasi itu akhirnya dikirim untuk pergi dengan perwakilan kabilah Adhal tersebut. Namun, seperti yang di kemudian hari diketahui, orang-orang ini pendusta. Mereka datang di Madinah atas hasutan Banu Lihyan yang telah merancang strategi ini untuk membalas dendam kematian pemimpinnya Sufyan Bin Khalid supaya dengan alasan itu umat Muslim keluar dari Madinah untuk berikutnya diserang.
Dalam hal ini Banu Lihyan telah mempersiapkan banyak sekali hadiah unta sebagai imbalan bagi orang-orang Banu Adhal dan Qarah. Ketika orang-orang kabilah Adhal dan Qarah sampai diantara Usfan dan Makkah, lalu mereka mengabarkan secara diam-diam kepada Banu Lihyan, “Beberapa Muslim tengah datang bersama kami, datanglah kemari.”
Mendengar kabar itu, dua ratus pemuda Banu Lihyan yang diantaranya 100 pemanah meluncur untuk mengepung 10 orang pasukan Muslim dan menyergapnya pada satu tempat yang bernama Raji’. Bagaimana 10 orang dapat melawan 200 orang? Namun umat Muslim tidaklah diajarkan untuk menyerah. Jika terjadi kondisi seperti itu maka perintahnya jika dikepung ialah berperang. Kesepuluh sahabat tadi segera menaiki tempat ke ketinggian untuk bersiap melakukan perlawanan. Orang kafir yang bagi mereka mengelabui bukanlah suatu aib, membujuk pasukan Muslim untuk turun dari bukit dan mengatakan mereka berjanji tidak akan membunuh pasukan Muslim.
Ashim (ra) menjawab, ‘Kami tidak percaya dengan perjanjian kalian. Kami tidak dapat turun untuk ini.’
Lalu, pasukan Muslim menengadahkan wajah ke langit dan mengatakan, اللَّهُمَّ بَلِّغْ عَنَّا نَبِيَّنَا أَنَّا قَدْ لَقِينَاكَ فَرَضِينَا عَنْكَ وَرَضِيتَ عَنَّا ‘Ya Allah, Engkau menyaksikan keadaan kami saat ini, kabarkanlah kepada Rasul Engkau perihal ini.’[3] Walhasil, Ashim dan sahabat yang lain melawan mereka dan syahid dalam peristiwa itu.[4]
Setelah sahabat tadi terbunuh sehingga yang tersisa tinggal Khubaib Bin Addi, Zaid Bin Dasnah dan Abdullah Bin Thariq. Kaum kuffar yang sejak awal berkeinginan untuk membawa sahabat hidup-hidup lalu berteriak lagi mengatakan: turunlah kalian, kami berjanji tidak akan menyakiti kalian. Namun kali ini tiga sahabat tadi percaya dengan ucapannya terjebak dalam perangkap lalu turun ke bawah, namun ketika tiba dibawah, pihak kuffar mengikat mereka dengan tali busur panah sehingga ketiga sahabat tersebut tidak dapat tahan lagi lalu berkata: Ini adalah bentuk pengingkaran janji kalian, entahlah apa yang akan kalian lakukan dengan kami. Abdullah menolak untuk ikut mereka lalu mereka menyeretnya untuk beberapa saat namun akhirnya dibunuh dan jenazahnya dibuang di sana. Sedangkan dalam riwayat lain, beliau melepaskan ikatan tangan lalu siap untuk bertarung namun mereka mensyahidkan beliau dengan melempari batu. Intinya dari kedua versi tersebut adalah beliau syahid pada saat itu dan jenazahnya dibuang disana.
Dendam kaum Kuffar telah terbalaskan. Demi menyenangkan Quraisy dan keserakahan akan uang, mereka menyeret Khubaib dan Zaid lalu pergi ke Makkah. Sesampainya di Makkah, mereka menjual kedua sahabat tersebut. Adapun Khubaib dibeli oleh anaknya Harits Bin Amir Bin Naufal, karena pada perang Badr, Harits telah dibunuh oleh Khubaib sedangkan Zaid dibeli oleh Shafwan Bin Umayyah.
Hazrat Khubaib inilah yang mengenainya terdapat riwayat bahwa ketika beliau tengah ditawan, ada seorang anak yang tengah bermain menghampiri beliau di rumah orang-orang kafir, lalu Hazrat Khubaib mendudukkan anak tersebut dipangkuannya. Melihat kejadian tersebut, ibu dari si anak tadi sangat khawatir. Hazrat Khubaib mengatakan, “Tidak perlu khawatir! Saya tidak akan apa-apakan anak ini.”
Pada saat itu Hazrat Khubaib tengah memegang pisau, karena itulah ibunya ketakutan. Demikianlah riwayat syahidnya Hazrat Abdullah Bin Thariq pada peristiwa Raji’ yakni beliau menolak untuk ikut bersama orang-orang kafir itu dan akhirnya bertarung di sana.
Sahabat berikutnya, Hazrat Aqil bin Bukair (عاقل بن البكير الليثي). Beliau berasal dari Kabilah Banu Saad Bin Laits. Nama asli beliau adalah Ghafil, namun setelah beliau baiat, Rasulullah (saw) memberikan nama Aqil kepada beliau. Dalam kebanyakan kitab sejarah menyebutkan bahwa nama ayah beliau adalah Bukair. Di dalam kitab-kitab lainnya tertulis Abu Bukair. Pada zaman jahiliyah ayahanda beliau adalah pendukung leluhur Hazrat Umar, Nufail bin Abdul Uzza. Begitu jugalah Bukair dan semua putranya adalah sekutu Banu Nufail. Hazrat Aqil, Hazat Amir, Hazrat Iyaz dan Hazrat Khalid, keempat bersaudara ini adalah putra Bukair. Mereka baiat masuk Islam di Darul Arqam dalam satu waktu. Mereka semua adalah yang paling pertama baiat di Darul arqam.
Mereka berempat berangkat hijrah dari Makkah ke Madinah. Mereka mengajak seluruh keluarga besar untuk berhijrah, sehingga tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam keluarga mereka dan pintu rumah pun dikunci. Mereka sekeluarga tinggal di rumah Hazrat Rifa’ah Bin Abdul Mundzir di Madinah. Hazrat Rasulullah (saw) menjalinkan persaudaraan antara beliau dengan Hazrat Mubashir Bin Abdul Mundzir. Beliau berdua syahid pada perang Badr. Menurut pendapat lain beliau dijalinkan persaudaraan dengan Hazrat Mujadzar Bin Ziyad.
Hazrat Aqil disyahidkan oleh Malik Bin Zuhair Jusyami (مالك بن زهير الجُشَمي) pada perang Badr dalam usia 34 tahun. Ibnu Ishak mengatakan, “Selain mereka (Iyas, Aqil, Khalid dan Amir), sepengetahuan kami tidak ada empat bersaudara lainnya yang ikut serta dalam perang Badr.”
Diriwayatkan oleh Zaid Bin Aslam bahwa keluarga Al-Bukair datang menghadap Rasulullah (saw) dan memohon, زوِّج أختنا فلاناً “Wahai Rasulullah (saw)! Mohon nikahkan saudari kami dengan si Fulan.”
Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, أَيْنَ أَنْتُمْ عَنْ بِلالٍ ؟ “Bagaimana pendapat Anda sekalian mengenai Bilal? Bilal lebih baik darinya. Pikirkanlah kembali mengenainya.” Lalu mereka pulang.
Selanjutnya, mereka datang lagi datang menghadap Rasulullah (saw) dan memohon, يا رسول الله أنكِح أختنا فلاناً “Wahai Rasulullah (saw)! Mohon nikahkan saudari kami dengan si anu.”
Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda lagi, أَيْنَ أَنْتُمْ عَنْ بِلالٍ ؟ “Bagaimana pendapat Anda sekalian mengenai Bilal?”
Mereka lalu pulang untuk merenungkannya.
Selanjutnya, mereka datang lagi datang menghadap Rasulullah (saw) dan memohon, أنكِح أختنا فلاناً “Wahai Rasulullah (saw)! Mohon nikahkan saudari kami dengan si anu.”
Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda lagi, أَيْنَ أَنْتُمْ عَنْ بِلالٍ ؟ “Bagaimana pendapat Anda sekalian mengenai Bilal?”
Beliau (saw) lalu bersabda, أَيْنَ أَنْتُمْ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ “Bagaimana pendapat Anda sekalian mengenai seseorang yang telah dikabarkan sebagai penghuni surga oleh Allah ta’ala?”
Lalu mereka mengatakan, “Baiklah!” Kemudian, mereka menikahkan saudarinya dengan Bilal.[5]
Sahabat berikutnya, Hazrat Zaid Bin Haritsah. Ayahanda beliau dalam riwayat selain disebut Haritsah bin Syarahil (حارثة بن شراحيل) juga disebutkan Haritsah bin Syurahbil. Ibunda beliau bernama Su’da Binti Tsalabah (سعدى بنت ثعلبة بن عبد بن عامر بن أفلت من بني معن بن من طيء). Hazrat Zaid berasal dari Kabilah Banu Qudha’ah, kabilah yang sangat terpandang di Yaman.
Ketika Hazrat Zaid masih kecil, dibawa ibu beliau untuk mengunjungi Makkah. Suatu ketika iring-iringan kendaraan Banu Qain (بني القين) tengah lewat lalu mereka berhenti dan memasang tenda. Mereka menemukan Hazrat Zaid yang saat itu masih kecil di depan tenda lalu mengambilnya (menculiknya). Mereka menjadikannya budak dan menjualnya di pasar Ukazh (سوق عكاظ) kepada Hakim bin Hizaam bin Khuwailid (حكيم بن حزام بن خويلد) seharga 400 dirham. Hakim Bin Hizaam menghadiahkan Hazrat Zaid kepada bibi beliau, Hazrat Khadijah binti Khuwalid. Di kemudian hari [setelah pernikahan dengan Nabi saw], Hazrat Khadijah mempersembahkan Hazrat Zaid kepada Hazrat Rasulullah (saw) bersama dengan budak-budak lainnya. Berdasarkan satu riwayat, ketika Hazrat Zaid dibeli lalu dibawa ke Makkah beliau masih berumur 8 tahun.
Ayah beliau sangat terpukul atas kehilangan Hazrat Zaid. Beberapa masa kemudian, beberapa orang dari Banu Kalb pergi ke Makkah untuk ibadah haji. Mereka dapat mengenali Hazrat Zaid. Hazrat Zaid berkata kepada mereka, أَحِنُّ إِلَى قَوْمِي وَإِنْ كُنْتُ نَائِيًا فَإِنِّي قَطِينُ الْبَيْتِ عِنْدَ الْمَشَاعِرِ فَكُفُّوا مِنَ الْوَجْدِ الَّذِي قَدْ شَجَاكُمُ وَلا تَعْمَلُوا فِي الأَرْضِ نَصَّ الأَبَاعِرِ فَإِنِّي بِحَمْدِ اللَّهِ فِي خَيْرِ أُسْرَةٍ كِرَامِ مَعَدٍّ كَابَرًا بَعْدَ كَابِرِ “Sampaikan kepada keluarga saya bahwa saya tinggal bersama sebuah keluarga terpandang dari Banu Ma’ad di dekat Ka’bah. Maka dari itu, tidak perlu bersedih.”[6]
Lalu mereka menyampaikan kabar tersebut kepada ayah Hazrat Zaid. Ayah beliau berkata, “Demi Tuhan Kabah! Apakah benar itu anak saya?”
Lalu mereka menjelaskan ciri cirinya. Setelah itu ayah dan paman beliau berangkat ke Makkah lalu hadir kehadapan Rasulullah (saw) untuk membebaskan Hazrat Zaid dengan sejumlah uang. Lalu Rasulullah (saw) memanggil Hazrat Zaid dan meminta pendapatnya. Namun Hazrat Zaid menolak untuk pergi bersama dengan ayah dan pamannya.
Berkenaan dengan riwayat selengkapnya, Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Setelah Hazrat Khadijah menikah dengan Rasulullah (saw), beliau paham bahwa beliau adalah seorang hartawan sedangkan Rasulullah (saw) adalah seorang yang sederhana. Hazrat Khadijah adalah seorang wanita yang cerdas dan bijak. Beliau berpikir bahwa Rasulullah (saw) mungkin akan merasa enggan untuk meminta sesuatu dari beliau ketika memerlukan sehingga menjalani kehidupan seperti itu akan sulit. Jika semua harta dipersembahkan kepada Rasulullah (saw), Rasulullah (saw) tidak akan merasa bahwa istrinya telah memberikannya kepadanya sehingga beliau dapat membelanjakan harta itu sekehendaknya.
Beberapa hari berlalu paska pernikahan, Hazrat Khadijah berkata kepada Rasul, ‘Jika anda mengizinkan, saya ingin menyampaikan satu usulan.’
Rasul bersabda, ‘Silahkan.’
Hazrat Khadijah berkata, ‘Saya telah putuskan untuk menghadiahkan semua harta kekayaan dan budak belian kepada anda. Semua itu nantinya akan menjadi milik anda. Jika anda berkenan menerimanya, saya akan merasa bahagia dan beruntung.’
Setelah mendengar usulan tersebut, Rasulullah (saw) bersabda, ‘Apakah keputusan ini telah anda pertimbangkan secara matang? Jika anda menyerahkan semua harta, maka kepemilikannya akan beralih kepada saya.’
Hazrat Khadijah berkata, ‘Saya telah memikirkannya matang matang dan saya paham bahwa inilah cara yang terbaik untuk mengarungi kehidupan dengan tenang.’
Rasul bersabda, ‘Silahkan pikirkan lagi.’
Hazrat Khadijah berkata, ‘Saya telah mempertimbangkan segala sesuatunya.’
Rasul bersabda, ‘Jika anda telah memikirkannya matang-matang untuk memberikannya pada saya maka saya tidak menyukai jika ada orang lain selain saya yang mendapat sebutan budak belian. Pertama, saya akan memerdekakan seluruh budak belian.’
Hazrat Khadijah berkata, ‘Sekarang mereka sudah menjadi milik anda. Silahkan lakukan sesuai kehendak anda.’
Mendengar itu Rasulullah (saw) sangat bahagia. Lalu Rasulullah (saw) pergi menuju Kabah untuk mengumumkan, ‘Khadijah telah menyerahkan semua harta kekayaan dan budak beliannya kepada saya. Saya akan memerdekakan semua budak belian ini.’”
Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Pada masa ini, jika ada orang yang mendapatkan harta, ia akan mengatakan, ‘Ayo beli motor, membangun rumah mewah, atau piknik ke Eropa.’
Begitu juga dalam pengamatan saya saat ini dalam beberapa perkara, jika ada seorang istri yang memberikan hartanya kepada suami maka sang suami selain menggunakan untuk memenuhi hasrat keinginannya lalu ia akan menolak untuk memenuhi hak-hak si istri sehingga istrinya menjadi tak berdaya. Si suami berpikiran, ‘Sekarang harta tersebut sudah menjadi milik saya. Saya akan menganggap istri saya sebagai budak saja.’
Namun, bagaimana maqam dan pemikiran Hazrat Rasulullah (saw) dalam hal ini yaitu beliau membelanjakan harta demi agama dan untuk mencari ridha Allah Ta’ala. Begitu juga, beliau (saw) menghapus kebiasaan masa itu untuk memperbudak manusia sehingga budak-budak belian beliau merdekakan. Walhasil, hasrat yang timbul dalam benak beliau adalah, ‘Para hamba Allah Ta’ala yang memiliki akal dan pikiran seperti diri saya ini, kenapa pula harus menjadi budak belian.’ Hal ini menjadi suatu peristiwa yang tidak hanya aneh bagi bangsa Arab bahkan bagi dunia. Namun hal yang aneh tersebut diumumkan oleh Rasulullah (saw) dan dengan perbuatan itu beliau membuktikan kedemawanan yang luar biasa setelah mendapatkan harta tersebut.
Ketika Rasulullah (saw) mengumumkannya, semua budak belian yang beliau miliki pergi, yang tersisa hanya Zaid yang dikemudian hari dikenal sebagai putra beliau. Hazrat Zaid datang menemui Rasulullah (saw) dan berkata, ‘Tuan telah memerdekakan saya, namun saya tidak mau berpisah dari tuan, saya ingin tinggal bersama tuan.’
Rasulullah (saw) mendesak Hazrat Zaid untuk kembali ke kampung halamannya dan hidup bersama dengan keluarganya. Namun Hazrat Zaid berkata, ‘Kecintaan dan ketulusan yang saya lihat dalam diri tuan telah menjadikan tuan sebagai orang paling saya cintai.’
Zaid berasal dari keluarga kaya, namun perampok telah menculik beliau ketika beliau masih kecil lalu beliau dijual dari satu orang ke orang lain dan akhirnya menjadi milik Hazrat Khadijah. Ayah dan paman beliau sangat khawatir lalu mencari beliau. Awalnya yang mereka ketahui Hazrat Zaid berada di wilayah Romawi, lalu pergilah mereka ke sana. Belakangan diketahui bahwa beliau berada di Arab lalu pergilah mereka ke Arab. Kemudian, mereka mendapat kabar bahwa beliau berada Makkah lalu pergi ke Makkah dan akhirnya diketahui beliau tinggal bersama Rasulullah (saw).
Mereka datang menemui Rasulullah (saw) dan berkata, ‘Kami datang kepada tuan karena mendengar kemuliaan dan kedermawanan tuan. Budak belian yang tinggal di rumah tuan adalah anak saya. Berapapun harga yang tuan tetapkan saya siap untuk membelinya kembali. Mohon merdekakan dia. Ibunya sudah tua, disebabkan oleh sedihnya perpisahan dengan Zaid membuat matanya tidak dapat melihat lagi. Merupakan kebaikan tuan, jika tuan berkenan untuk memerdekakannya dengan mengambil sejumlah uang dari saya.’
Rasulullah (saw) bersabda, ‘Putra anda bukanlah budak saya. Saya telah membebaskannya.’ Lalu Rasulullah (saw) memanggil Zaid dan bersabda, ‘Ayah dan pamanmu datang kemari untuk menjemputmu. Ibumu sudah tua dan tak dapat melihat lagi karena menangis terus menerus. Kamu sudah bebas, bukan budak saya dan bisa pergi dengan mereka.’
Hazrat Zaid menjawab, ‘Memang tuan telah memerdekakan saya, namun saya tidak mau berpisah dari anda, saya menganggap diri saya sebagai hamba sahaya tuan.’
Rasulullah (saw) bersabda, ‘Ibumu sangat menderita karena perpisahan ini, ayah dan pamanmu datang dari tempat yang sangat jauh kemari untuk menjemputmu, pergilah dengan mereka.’
Ayah dan paman beliau pun terus merayunya namun Hazrat Zaid menolak untuk pergi bersama mereka dan berkata, ‘Memang anda adalah ayah dan paman saya dan anda sangat mencintai saya, namun jalinan yang sudah terbina antara saya dengan beliau, sekarang tidak mungkin terputus lagi. Memang saya sangat sedih mendengar penderitaan ibu saya, namun saya pun tidak akan dapat hidup jika berpisah dari Muhammad.’
(Memang di satu sisi saya sedih mengetahui ibu menderita, namun kesedihan saya akan lebih besar lagi dari itu jika saya pergi meninggalkan Rasulullah (saw).)
Setelah mendengar ucapan Zaid tersebut, Rasulullah (saw) segera berangkat ke Kabah dan mengumumkan, ‘Sejak saat ini saya angkat Zaid sebagai anak dengan melihat bukti kecintaan yang telah Zaid perlihatkan kepada saya.’
Mendengar hal itu ayah dan paman Zaid sangat bahagia lalu pulang dengan hati yang bahagia, karea mereka berdua menyaksikan sendiri bahwa Zaid hidup dengan penuh kebahagiaan dan ketenangan. Walhasil, bukti kesempurnaan akhlak Rasulullah (saw) yakni ketika Zaid menampilkan kesetiaan lalu Rasulullah (saw) memberikan balasan kebaikan dengan cara yang luar biasa.”
Berkenaan dengan kejadian tersebut dalam buku Sirah Khataman Nabiyyin dijelaskan, “Ketika ayah dan paman beliau datang untuk menjemput beliau, Rasulullah (saw) bersabda kepada Zaid, ‘Saya dengan senang hati mengizinkan kamu ikut bersama ayahmu.’
Zaid menjawab, ‘Saya tidak akan pernah meninggalkan tuan, tuan lebih bernilai di mata saya dibandingkan ayah dan paman saya.’
Ada satu pokok bahasan baru di sini, yakni mendengar ucapan itu ayahanda Zaid mengatakan dengan nada marah, ‘Apakah kamu lebih memilih perbudakan daripada kebebasan? Kami datang untuk menjemputmu, namun kamu malah lebih memilih untuk menjadi hamba sahaya?’
Zaid mengatakan, ‘Ya, karena saya telah melihat keistimewaan dalam diri beliau sehingga saya tidak bisa mengutamakan siapapun diatas beliau.’
Setelah mendengar jawaban hazrat Zaid, Rasulullah (saw) langsung bangkit dan mengajak Zaid ke Ka’bah lalu mengumumkan dengan suara lantang, اشْهَدُوا أنَّ زَيْدًا ابْنِي، يَرِثُنِي وَأَرِثُهُ ‘Jadilah kalian semua sebagai saksi bahwa sejak hari ini saya merdekakan Zaid dan saya jadikan ia sebagai anak saya.’
Meskipun sebelumnya pun telah merdeka, namun Rasulullah (saw) mengumumkan lagi di hadapan publik, ‘Zaid akan menjadi pewaris saya dan saya akan menjadi pewarisnya.’[7]
Setelah disampaikan penguman pada hari itu, bukan lagi menyebut Zaid Bin Haritsah, tetapi mulai menyebutnya Zaid Bin Muhammad. Namun paska hijrah, turun perintah dari Allah ta’ala bahwa tidaklah jaiz (tidak benar) menjadikan anak angkat sebagai anak. Setelah itu Zaid kembali lagi disebut dengan nama Zaid bin Haritsah. Namun, perlakukan dan kasih sayang Rasulullah (saw) terhadap khadim yang setia itu sama seperti sebelumnya bahkan hari demi hari semakin meningkat. Bahkan setelah kewafatan Hazrat Zaid, Rasulullah (saw) memperlakukan putra Zaid, Usamah bin Zaid yang terlahir dari perut khadimah Rasulullah (saw) yaitu Ummu Aiman sama seperti terhadap Zaid, ayahnya.”[8]
Diantara keistimewaan Zaid, salah satunya adalah diantara sekian banyak sahabat, hanya nama beliau saja yang dengan jelas disebutkan dalam Al Quran.[9] Dalam satu riwayat, saudara Hazrat Zaid yang lebih tua yaitu Hazrat Jablah bin Haritsah (جبلة بن حارثه) meriwayatkan, قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْعَثْ مَعِي أَخِي زَيْدًا “Saya menghadap kepada Rasulullah (saw) dan memohon supaya Rasulullah (saw) mengizinkan Zaid ikut bersama dengan saya.” (Mungkin ini terjadi lagi di kemudian hari.)
Beliau (saw) bersabda, هُوَ ذَا ، قَالَ : فَإِنِ انْطَلَقَ مَعَكَ لَمْ أَمْنَعْهُ “Saudara Anda ada di depan Anda. Jika ia ingin pergi, saya tidak akan melarangnya.”
Hazrat Zaid mengatakan, لاَ وَاللهِ! لاَ أَخْتَارُ عَلَيْكَ أَحَداً أَبَداً “Wahai Rasulullah (saw), saya tidak akan pernah mengutamakan sesuatu yang lain melebihi tuan.”
Hazrat Jablah mengatakan, فَرَأَيْتُ رَأْيَ أَخِي أَفْضَلَ مِنْ رَأْيِى “Selanjutnya, saya berpandangan gagasan adik saya lebih baik dari pada saya.”[10]
Berkenaan dengan saudara beliau terdapat satu riwayat, Hazrat Jablah yang lebih tua dari Hazrat Zaid suatu ketika pernah ditanyakan kepada beliau, أَنْتَ أَكْبَرُ أَمْ زَيْدٌ؟ “Diantara anda berdua siapa yang lebih besar? Anda ataukah zaid?”
Beliau mengatakan, زَيْدٌ أَكْبَرُ مِنِّي، وَأَنَا وُلِدْتُ قَبْلَهُ “Zaid lebih besar dari saya. Saya hanya terlahir lebih dulu dari dia.” Maksud beliau adalah Hazrat Zaid lebih afdhal (utama) dari beliau disebabkan karena masuk Islam lebih dulu.[11]
Hazrat Abdullah Bin Umar (ra) (عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ ـ رضى الله عنهما ـ) meriwayatkan, أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ، مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلاَّ زَيْدَ ابْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ {ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ}. “Dahulu kami biasa memanggil hamba sahaya yang dibebaskan oleh Rasulullah (saw) yang bernama Zaid bin Haritsah (Zaid putra Haritsah) dengan sebutan Zaid Bin Muhammad (Zaid putra Muhammad) hingga turunlah ayat Al Quran (Surah al-Ahzaab ayat 6), ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ ۚ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ‘Ud’uuhum li-aabaaihim huwa aqsathu indallaahi…’ – Artinya, ‘Panggillah anak-anak angkat dengan nama bapak kandung mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.’”[12]
Hazrat Bara meriwayatkan Rasulullah (saw) bersabda kepada Hazrat Zaid, أَنْتَ أَخُونَا وَمَوْلاَنَا ‘Anta akhuunaa wa maulaanaa’ – “Anda adalah saudara dan sahabat kami.’[13]
Dalam riwayat lainnya dijumpai juga kalimat, يَا زَيْدُ، أنْتَ مَوْلَايَ، وَمِنِّي وَإِليّ وَأَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ ‘Ya zaidu, anta maulaaya wa minnii wa ilayya wa ahabban naasi ilayya.’ – Artinya, “Wahai Zaid, Anda adalah kawan saya dan dari saya. Anda paling saya sayangi diantara semua orang.”[14]
Hazrat Abdullah ibnu Umar meriwayatkan, أَنَّهُ فَرَضَ لأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ فِي ثَلاَثَةِ آلاَفٍ وَخَمْسِمِائَةٍ وَفَرَضَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فِي ثَلاَثَةِ آلاَفٍ “Beliau (Hazrat Umar atau ayah saya sebagai Khalifah) menetapkan tunjangan lebih besar kepada Hazrat Usamah bin Zaid dibandingkan dengan saya.” (Yang meriwayatkan adalah putra Hazrat Umar sendiri. Usamah adalah putra Hazrat Zaid.)
Saya bertanya, لِمَ فَضَّلْتَ أُسَامَةَ عَلَىَّ فَوَاللَّهِ مَا سَبَقَنِي إِلَى مَشْهَدٍ ‘Kenapa tunjangannya lebih banyak?’
Hazrat Umar menjawab, لأَنَّ زَيْدًا كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ أَبِيكَ وَكَانَ أُسَامَةُ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ مِنْكَ فَآثَرْتُ حُبَّ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى حُبِّي ‘Ayah Usamah (Zaid) lebih dicintai Rasulullah (saw) dari ayahmu (Umar). Usamah lebih dicintai Rasulullah (saw) dari padamu (Abdullah bin Umar)…’
Hazrat Umar bersabda mengenai dirinya sendiri, “Rasulullah (saw) lebih mencintai Hazrat Zaid dibanding diriku.”[15]
Hazrat Ali meriwayatkan bahwa Hazrat Zaid, hamba sahaya yang dibebaskan Rasulullah (saw) adalah orang pertama yang beriman dari kalangan pria dan mendirikan shalat.
Dalam menjelaskan hal tersebut, Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Allah Ta’ala menganugerahkan kepada Hazrat Muhammad rasul Allah (saw) berupa pengikut dari berbagai kalangan. Utsman, Thalhah dan Zubair berasal dari keluarga terpandang di Makkah. Jika ada yang melontarkan keberatan dengan mengatakan bahwa Rasulullah (saw) hanya disertai oleh orang-orang dari kalangan rendah dan tidak ada dari kalangan keluarga terpandang yang menerima beliau (saw) maka untuk menjawabnya terdapat Utsman, Thalhah dan Zubair yang akan menyatakan, ‘Kami berasal dari keluarga terpandang.’
Sebaliknya, jika ada yang berkeberatan dengan mengatakan, ‘Rasulullah (saw) hanya mengumpulkan beberapa petinggi saja, sementara kalangan miskin yang merupakan mayoritas di dunia ini tidak ada yang menerimanya.’ Sebagai jawaban atas pernyataan tersebut terdapat Zaid, Bilal dan yang lainnya. Jika ada yang melontarkan keberatan bahwa pengikut Nabi (saw) hanya kalangan muda saja dan yang baiat kepada beliau (saw) hanya kalangan pemuda saja maka kita dapat menjawabnya bahwa Abu Bakr bukanlah pemuda yang tidak berpengalaman. Bagaimana beliau menerima Rasulullah (saw)? Jadi, mereka dalam corak apapun selalu berusaha untuk mencari-cari alasan untuk melontarkan keberatan, namun setiap orang dari antara para sahabat Rasulullah (saw) tampil sebagai bukti hidup untuk membantah keberatan-keberatan tersebut dan ini merupakan karunia Allah ta’ala yang sangat besar yang menyertai Rasulullah (saw).
Hal inilah yang diisyaratkan dalam firman-Nya, وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ * الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ * ‘Wa wadha’naa ‘anka wizraka alladzii anqadha zhahraka’, ‘Wahai Muhammad! Apakah dunia tidak melihat bagaimana telah Aku berikan kepada engkau segala sarana yang membuat seseorang di dunia ini unggul dan sukses. Jika seseorang di dunia ini menang berkat bantuan para pemuda yang rela berkorban, engkaupun memilikinya. Jika orang-orang di dunia ini biasa kalah dengan akal orang tua berpengalaman, engkaupun memilikinya. Jika orang-orang di dunia ini kalah disebabkan melawan pengaruh keluarga-keluarga terpandang, engkaupun memilikinya. Jika dunia selalu menang berkat pengorbanan rakyat jelata, maka engkaupun dikelilingi para hamba sahaya. Lantas bagaimana mungkin engkau akan kalah dan orang-orang Makkah menang dalam melawanmu.’
Jadi, وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ * الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ * ‘Wa wadha’naa ‘anka wizraka alladzii anqadha zhahraka’ artinya, “Kami mengangkat beban yang telah mematahkan pinggang engkau. Engkau mengarahkan pandangan pada tugas-tugas ini lalu berkata dengan penuh keheranan, ‘Bagaimana saya akan dapat melakukan tugas ini?’ Sejak hari pertama saja Kami telah menganugerahkan lima (5) wazir (menteri) kepada Engkau. Kami telah menganugerahi engkau tiang Abu Bakr untuk menegakkan atap bangunan Islam. Kami telah menganugerahi engkau tiang Khadijah untuk menegakkan atap bangunan Islam. Kami telah menganugerahi engkau tiang Ali untuk menegakkan atap bangunan Islam. Kami telah menganugerahi engkau tiang Zaid untuk menegakkan atap bangunan Islam. Kami telah menganugerahi engkau tiang Waraqah Bin Naufal untuk menegakkan atap bangunan Islam. Dengan demikian, beban yang sebelumnya engkau angkat sendiri, sekarang telah diangkat oleh mereka semua.”
Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Empat orang yang mendapatkan kesempatan untuk menyerap manfaat dari jalinan hubungan dengan Nabi (saw) dibandingkan orang-orang selain mereka telah beriman kepada beliau yaitu Khadijah istri beliau, Ali sepupu beliau, Zaid budak yang dimerdekakan oleh beliau dan Abu Bakr kawan beliau. Dalil terkuat yang membuat baiatnya mereka adalah Nabi (saw) tidak mungkin berdusta. Mereka semua adalah orang-orang terdekat beliau.”
Hazrat Mirza Basyir Ahmad menulis mengenai baiatnya Hazrat Zaid Bin Haritsah, “Ketika Nabi Muhammad (saw) mulai menyebarkan misinya, yang pertama menerima adalah Hazrat Khadijah (ra) istri beliau yang tidak bimbang walaupun hanya sekejap. Tetapi, berkenaan dengan yang pertama baiat dari kalangan pria terdapat perbedaan pendapat diantara para sejarawan. Sebagian mengatakan Hazrat Abu Bakr Abdullah bin Abi Qahafah. Sebagian lagi mengatakan Hazrat Ali yang saat itu masih berusia 10 tahun. Sebagian lagi mengatakan Hazrat Zaid Bin Haritsah, hamba sahaya yang dibebaskan oleh Rasulullah (saw). Namun demikian, kita berpendapat bahwa perselisihan itu adalah sia sia saja. Hazrat Ali dan hazrat Zaid Bin Haritsah tinggal di dalam satu rumah bersama dengan Rasulullah (saw) layaknya putra beliau sendiri, yang memang akan beriman kepada Rasulullah (saw), bahkan mungkin saja tidak diperlukan lagi adanya pernyataan baiat secara lisan dari mereka. Jadi tidaklah perlu untuk menyebut nama mereka.
Selebihnya, semua pihak telah sepakat bahwa Hazrat Abu Bakr termasuk awal dan bersegera mengimani Nabi (saw). Artinya, beliau (ra) ialah yang pertama mengimani Nabi (saw) dari kalangan orang berumur, dinilai dewasa dan berpengalaman dilihat dari segi dunia.” (Ada juga anak-anak yang cerdas dan dinilai bijak oleh dunia pada saat itu.)
Walhasil, empat orang yaitu 3 pria dan satu wanita yang baiat pertama kali kepada Rasulullah (saw), mereka memiliki kedudukan amat penting seperti disabdakan Hazrat Mushlih Mau’ud (ra).
Dalam perjalanan ke Thaif pun, Hazrat Zaid menyertai Rasulullah (saw). Thaif adalah daerah sangat subur yang terletak di sebelah tenggara Makkah berjarak sekitar 36 mil. Di sana tumbuh kacang-kacangan yang berkualitas tinggi. Pada masa itu yang menempati daerah tersebut adalah kabilah Tsaqiif. Paska kewafatan Hazrat Abu Thalib, kaum Quraisy mulai melakukan penganiayaan lagi kepada Rasulullah (saw). Rasulullah (saw) berangkat ke Thaif bersama Zaid Bin Haritsah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 10 Nabawi dan beberapa hari terakhir bulan syawal. Rasululullah tinggal 10 hari di Thaif. Beliau (saw) mengunjungi seluruh tokoh Thaif, namun tidak ada seorang pun yang menerima seruan beliau.
Ketika para pemuka mereka khawatir pada pemuda dan masyarakat umum akan baiat kepada Rasulullah (saw), mereka mengatakan, “Wahai Muhammad! Keluarlah dari daerah kami! Tinggallah di tempat dimana orang menerima pendakwaan anda.”
Lalu mereka menghasut para berandalan di daerah itu untuk menyerang Rasulullah (saw) sehingga mulailah mereka melempari Rasulullah (saw) dengan batu. Darah bercucuran hingga ke kedua telapak kaki beliau. Hazrat Zaid bin Haritsah terus berusaha untuk menangkis batu-batu yang akan mengenai Nabi (saw) sehingga menyebabkan kepala beliau terkena banyak luka.
Masih banyak riwayat yang rinci mengenai Hazrat Zaid yang insya Allah akan saya sampaikan pada khotbah yang akan datang.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah : Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK); Editor: Dildaar Ahmad Dartono (Indonesia).
Rujukan komparasi pemeriksaan naskah: www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Ath-Thabaqaat. Allamah az-Zuhri ialah ilmuwan yang mencakup juga ahli sejarah dan hidup di zaman Umar bin Abdul Aziz. Urwah bin az-Zubair ialah putra Sahabat az-Zubair bin Awwam. Urwah juga sejarawan.
[2] Al-Isti’aab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب)
[3] Shahih Muslim Kitab al-Imarah, bab Tsubutil Jannati lisy Syahid
[4] Sirah Khataman Nabiyyin, karya Hadhrat Mirza Basyir Ahmad, M.A., h. 516
[5] Ath-Thabaqaat karya Ibn Sa’d, (طَبَقَاتُ الْبَدْرِيِّينَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ), (وَمِنْ بَنِي تَيْمِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعْبٍ).
[6] Nihayatul Arab fi Fununil Adab oleh Numairi. (نهاية الأرب في فنون الأدب 1-16 مع الفهارس ج7) Ma’ad yang dimaksud dalam kalimat Hazrat Zaid ialah salah seorang leluhur Nabi Muhammad (saw) bernama Ma’ad bin Adnan, keturunan Ismail bin Ibrahim. Hazrat Zaid menyebut nama Ma’ad mengingat Ma’ad juga mempunyai keturunan banyak di kalangan Arab Yaman. Beberapa Kabilah Yaman bersatu dalam satu jalur silsilah dengan bangsa Quraisy pada Ma’ad. Hazrat Zaid berkata kepada orang-orang dari kaumnya itu dalam nada sajak.
[7] Ath-Thabaqaat (طبقات ابن سعد – ج 3 – الطبقة الأولى في البدريين من المهاجرين والأنصار –)
[8] Nabi (saw) menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Ummu Aiman pada saat di Makkah. Ummu Aiman ialah ibu Usamah bin Zaid. Setelah diangkat anak oleh Nabi (saw), Nabi (saw) menikahkan Zaid dengan Zainab bint Jahsy yang kemudian bercerai. Zaid lalu menikah dengan Ummu Kultsum binti Uqbah yang melahirkan Zaid bin Zaid dan Ruqayyah bin Zaid. Selanjutnya, beliau bercerai juga. Kemudian, Zaid menikah dengan Durrah binti Abu Lahab bin Abdul Muththalib yang juga lalu bercerai. Selanjutnya, Zaid menikah dengan Hindun bint Awwam, saudari Zubair bin Awwam. (Referensi: Kitab al-Ishabah) Selisih umur antara Nabi (saw) dengan Zaid ialah 10 tahun. Ketika Nabi (saw) menikah pada umur 25, Zaid berumur 15. Hazrat Zaid berumur lebih dari 40-an ketika Hijrah dan 50-an ketika syahid.
[9] Surah al-Ahzaab ayat 38. وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا “…Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya)…”
[10] Sunan at-Tirmidzi atau Jami’ at-Tirmidzi (جامع الترمذي), (كِتَاب الدَّعَوَاتِ), ( أبوابُ الْمَنَاقِبِ ), (بَاب مَنَاقِبِ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ رَضِيَ اللَّهُ).
[11] Al-Ishabah.
[12] Shahih al-Bukhari, Kitab Tafsir al-Qur’an.
[13] Shahih al-Bukhari, Kitab Perdamaian (كتاب الصلح), bab bagaimana menulis kalimat rekonsiliasi (بَابُ كَيْفَ يُكْتَبُ هَذَا مَا صَالَحَ فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ. وَفُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ وَإِنْ لَمْ يَنْسُبْهُ إِلَى قَبِيلَتِهِ، أَوْ نَسَبِهِ).
[14] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’d.
[15] Sunan at-Tirmidzi, bab ( باب مَنَاقِبِ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ رضى الله عنه).