بسم اللہ الرحمن الرحیم
(Pembahasan dua orang Sahabat Nabi (saw) peserta perang Badr; Pembahasan Khusus mengenai hakikat riwayat yang menyebutkan Nabi Muhammad (saw) terkena sihir)
Hazrat Hazrat Qais bin Mihshan dan Hazrat Jubair bin Iyas radhiyAllahu ta’ala ‘anhuma
Asal-usul dan riwayat singkat dua Sahabat tersebut berdasarkan data Kitab-Kitab Tarikh (Sejarah) dan Sirah; Penjelasan Hazrat Mirza Bashir Ahmad radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (ra); penjelasan Hazrat Khalifatul Masih II Mushlih Mau’ud radhiyAllahu ta’ala ‘anhu (ra); Penjelasan Hazrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam (as).
Kesimpulannya, paska peristiwa Hudaibiyah, keadaan Hazrat RasuluLlah (saw) yang dianggap oleh penentang sebagai akibat dari sihir, sama sekali bukanlah akibat suatu jenis sihir dan semacamnya, melainkan penyakit lupa sebagai konsekuensi dari permasalahan yang beliau hadapi. Hal tersebut dijadikan sarana oleh para penebar fitnah untuk berpropaganda menyerang kemuliaan pribadi Rasul suci (saw). Al-Quran telah menolak mentah-mentah kisah-kisah sihir yang dituduhkan menimpa para Nabi. Akal sehat manusia menolak untuk meyakini anggapan tersebut.
Meyakini apa saja huruf demi huruf yang tercantum di dalam Kitab Hadits Bukhari dan Muslim secara menutup mata (membabi buta) adalah bertentangan dengan keyakinan kita. Akal sehat pun tidak dapat membenarkan seorang Nabi yang agung seperti beliau (saw) dapat terkena sihir.
Saat itu adalah tingkat dan waktunya untuk mengumpulkan hadits. Tetapi, saat ini adalah waktunya dan tingkatannya untuk merenungkan dan mempertimbangkan Hadits-Hadits. Renungkanlah dan pelajarilah! Jika terdapat Hadits yang bertentangan dengan Al-Quran atau kehormatan dan kesucian Nabi saw, hadits tersebut layak untuk ditolak atau jika mungkin, dengan tafsir atau penjelasan lain.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 08 Maret 2019 (Aman 1398 Hijriyah Syamsiyah/ Rajab 1440 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Baitul Futuh, Morden UK (Britania)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ.
(آمين)
Hazrat Qais bin Mihshan adalah sahabat Anshari (قَيْسُ بْنُ مِحْصَنٍ). Dalam beberapa riwayat, beliau diterangkan bernama Qais bin Hishn juga (قيس بن حِصْن بن خالد بن مُخَلَّد). Beliau berasal dari Kabilah Banu Zuraiq yang termasuk kalangan Anshar (الأَنصاري الزرقي). Ibunda beliau bernama Anisah binti Qais (أنيسة بنت قيس بن زيد بن خَلْدَة بن عامر بن زريق). Ayahnya bernama Mihsan bin Khalid (مِحْصَن بن خالد).[1] Beliau ikut serta pada perang Badar dan Uhud. Putri beliau bernama Ummi Sa’d binti Qais (أمّ سعد بنت قيس وأمّها خولة بنت الفاكه). Ketika beliau wafat, putra-putri beliau berada di Madinah.[2]
Sahabat berikutnya, Hazrat Jubair bin Iyas (جُبير بن إياس بن خالد). Iyas bin Khalid adalah nama ayah beliau.[3] Beliau ikut serta pada perang Badar. Beliau berasal dari Banu Zuraiq yang merupakan salah satu cabang Kabilah Khazraj (زُرَيق الأنصاري الخَزْرَجِي الزُّرَقِي). Hazrat Abdullah bin Muhammad bin Umarah berkata bahwa nama beliau ialah Jubair bin Ilyas (جُبير بن إلياس).[4] Di dalam riwayat lain diterangkan juga beliau bernama Jabr bin Iyas (جَبْر بن إياس).
Diriwayatkan dalam hadits-hadits – na’udzubillah – seorang Yahudi telah menyihir RasuluLlah (saw) dan sihir tersebut mengena Rasulullah. Diceritakan di dalam riwayat-riwayat orang Yahudi itu menyihir Nabi (saw) dengan menggunakan sisir dan rambut yang lalu dia masukkan itu ke dalam sumur Dzi Arwan. Setelah itu Rasul mengeluarkan benda-benda tersebut dari sumur.
Di dalam Fathul Bari yang merupakan Syarh (uraian) atas Kitab Shahih al-Bukhari tertulis bahwa Hazrat Jubair bin Iyas mengeluarkan sisir dan rambut itu dari sumur. [5] Sementara itu, berdasarkan satu riwayat, Hazrat Qais bin Mihshan-lah yang mengeluarkannya. Maka dari itu, kedua sahabat tersebut saya sampaikan secara bersamaan.
Siapapun yang mengeluarkan benda tersebut, tidaklah sangat penting karena yang lebih penting adalah, apakah RasuluLlah (saw) pernah terkena sihir? Bagaimana hakikat kebenarannya? Bagaimana pendapat kita mengenai riwayat tersebut dan bagaimana kita harus mengetahuinya? Apa saja yang orang-orang lontarkan keberatan terhadap pribadi Hazrat RasuluLlah (saw) atau yang dapat menimbulkan keberatan atas beliau (saw), kita harus menjawabnya. Maka dari itu, saya akan menjelaskannya secara rinci sebagaimana yang tertulis dalam literatur-literatur jemaat. Saya hendak menjelaskan hal tersebut bersamaan dengan penjelasan mengenai kedua sahabat tersebut.
Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) telah mengupas peristiwa tersebut tatkala menjelaskan tafsir surat Al-Falaq, “Sebagian orang berpendapat bahwa surat Al-Falaq dan An-Naas yang merupakan dua surat terakhir al-Qur’an turun (diwahyukan) di Makkah. Sebagian mengatakan kedua surat tersebut surat turun di Madinah.
Orang-orang yang meyakini bahwa surat al-Falaq tersebut turun di Madinah berdalil (beralasan) bahwa surat tersebut dan surat setelahnya [yaitu an-Naas] berkaitan dengan penyakit RasuluLlah (saw) yang diyakini disebabkan sihir seorang Yahudi atas beliau. Pada saat itu turun dua surat tersebut dan Rasul membacanya lalu meniupkannya. Para mufassirin (ahli Tafsir) beranggapan kedua surat tersebut diyakini turun di Madinah karena peristiwa tersebut terjadi di Madinah. Jadi, pendapat dominan yang mereka pegang adalah kedua surat tersebut ialah Madaniyah alias turun di Madinah.”
Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Hal ini merupakan kesimpulan para mufassir padahal tidak disertai kesaksian tarikhi (bersejarah). Meskipun kita juga tidak memiliki kesaksian meyakinkan yang menguatkan pendapat bahwa surat itu turun di Makkah, namun kesimpulan yang mereka (para Mufassir) pegang pun sia-sia saja karena surat tersebut dapat saja turun di Makkah dan pada saat Rasul sakit di Madinah, beliau dapat membacanya dan meniupkannya pada diri beliau sendiri. Jadi, dengan hanya [adanya riwayat beliau] meniupkannya lantas dipahami surat tersebut turun di Madinah, kesimpulan seperti itu tidaklah kuat kebenarannya.”
Peristiwa sakitnya Rasul dan anggapan orang-orang bahwa beliau terkena sihir orang Yahudi dijelaskan Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) di pengantar tafsir surat tersebut. Beliau menulis, “Karena para ahli tafsir menyandarkan pendapatnya pada riwayat Hazrat Aisyah, untuk itu kita hanya akan membahas riwayat tersebut.”
Hazrat Aisyah (عَائِشَةَ ـ رضى الله عنها) meriwayatkan, سُحِرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى كَانَ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّىْءَ وَمَا يَفْعَلُهُ، حَتَّى كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ دَعَا وَدَعَا “Nabi (saw) disihir oleh seorang Yahudi sehingga berdampak beliau Saw menjadi pelupa, terkadang beranggapan telah melakukan sesuatu, padahal tidak. Pada suatu hari (atau suatu malam), RasuluLlah (saw) memanjatkan doa kepada Tuhan, lalu berdoa dan berdoa lagi.
Rasul bersabda, يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ أَفْتَانِي فِي أَمْرٍ اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ، ‘Wahai Aisyah! Apapun yang telah aku minta kepada Allah, semuanya telah dikabulkan-Nya.’
Saya (Hazrat Aisyah Ra) mengatakan, ‘Saya bertanya kepada RasuluLlah (saw), “Wahai Rasulullah! Apakah yang tuan minta dan Tuhan telah berikan?”’
Rasul bersabda, أَتَانِي رَجُلاَنِ، فَقَعَدَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِي وَالآخَرُ عِنْدَ رِجْلَىَّ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِلآخَرِ ‘Telah datang dua orang pria pada saya, salah seorang duduk di dekat kepala saya dan seorangnya lagi di dekat kaki saya. Lalu orang yang duduk di dekat kepala saya berkata kepada yang duduk di dekat kaki saya atau sebaliknya, مَا وَجَعُ الرَّجُلِ “Apa yang diderita orang ini – yaitu Muhammad RasuluLlah (saw)?”
Orang kedua menjawabnya, يَعْنِي مَسْحُورًا. مَطْبُوبٌ “Dia telah disihir.”
Lalu bertanya lagi, وَمَنْ طَبَّهُ “Siapa yang menyihirnya?”
Dijawab, لَبِيدُ بْنُ الأَعْصَمِ “Labid Bin Asim seorang Yahudi.”
Ditanyakan lagi, فِي مَاذَا “Menggunakan apa sihir yang dilakukannya itu?”
Yang lain menjawab, فِي مُشُطٍ وَمُشَاقَةٍ وَجُفِّ طَلْعَةٍ ذَكَرٍ “Menggunakan sisir dan rontokan rambut di kulit mayang kurma.”
Yang satu lagi bertanya, فَأَيْنَ هُوَ “Dimana sihir itu diletakkan?”
Yang lain menjawab, فِي بِئْرِ ذَرْوَانَ “Di dalam sumur Dzarwan.”’
Setelah itu RasuluLlah (saw) dan para sahabat pergi menuju sumur tersebut lalu kembali lagi dan bersabda, هَذِهِ الْبِئْرُ الَّتِي أُرِيتُهَا كَأَنَّ رُءُوسَ نَخْلِهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ، وَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ ‘Wahai Aisyah! Demi Tuhan, air sumur itu merah seperti air rendaman pacar.’”[6]
Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda lebih lanjut: Nampaknya terdapat tradisi dikalangan orang Yahudi, yakni ketika mereka menyihir seseorang, mereka memasukkan pacar atau sejenisnya kedalam air untuk memperlihatkan bahwa karena kekuatan sihir itu sehingga air berubah warna menjadi merah. Mereka melakukan upaya lahiriah untuk menipu orang-orang yang lugu. Kurma di sana seperti disabdakan RasuluLlah (saw), نَخْلُهَا كَأَنَّهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ Mayang-mayang kurma di sekitar sumur itu diibaratkan seperti kepala-kepala ular.[7] Beliau mempersamakan antara mayang buah kurma seperti kepala-kepala setan.”
Hazrat Aisyah Ra meriwayatkan, “Saya katakan, اسْتَخْرَجْتَهُ ‘Wahai RasuluLlah (saw)! Kenapa tuan tidak membakar benda yang digunakan untuk menyihir itu?’
Rasul bersabda, لاَ أَمَّا أَنَا فَقَدْ شَفَانِي اللَّهُ، وَخَشِيتُ أَنْ يُثِيرَ ذَلِكَ عَلَى النَّاسِ شَرًّا، ثُمَّ دُفِنَتِ الْبِئْرُ ‘Ketika Allah Ta’ala telah menyembuhkan saya, saya tidak suka melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan keburukan. Maka dari itu, saya perintahkan untuk mengubur benda tersebut, lalu dikuburlah.’”[8]
Berdasarkan riwayat Hazrat Aisyah tersebut, Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Dua pria yang disebutkan dalam riwayat tersebut datang ke hadapan RasuluLlah (saw), diketahui bahwa mereka adalah para malaikat yang ditampakkan kepada RasuluLlah (saw). Jika saja mereka itu manusia, pasti akan terlihat juga oleh Hazrat Aisyah. Apa yang diriwayatkan oleh Hazrat Aisyah maksudnya semata-mata hanyalah bahwa Allah Ta’ala mengabarkan kepada RasuluLlah (saw) dengan perantaraan Malaikat bahwa orang Yahudi telah menyihir RasuluLlah (saw), artinya bukanlah RasuluLlah (saw) terkena dampak dari sihir mereka itu sebagaimana yang dimaknai demikian secara taqlidi (ikut-ikutan).
Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ketika RasuluLlah (saw) mengeluarkan benda-benda sihir itu dari sumur dan menguburkannya di tanah, orang-orang Yahudi beranggapan bahwa sihir yang telah mereka lakukan telah gagal dan sirna. Di sisi lain Allah Ta’ala telah memberikan kesehatan kepada RasuluLlah (saw). Pendek kata, orang-orang Yahudi meyakini telah menyihir RasuluLlah (saw) yang karenanya perhatian mereka tertuju supaya beliau sakit.
Dari riwayat tersebut diketahui bagaimana kedengkian orang-orang Yahudi kepada RasuluLlah (saw) yang darinya juga jelas bahwa Nabi yang mulia (saw) adalah benar-benar Rasul (utusan) Allah. Sebab, beliau telah dikabari oleh Allah Ta’ala perihal upaya penentangan yang tengah dilakukan orang Yahudi kepada beliau. Jadi, pengetahuan beliau tentang perkara ghaib tersebut dan gagalnya rencana Yahudi tersebut merupakan dalil yang jelas dan terang akan kebenaran kerasulan atau kenabian beliau.”
Dengan demikian, kesimpulan yang diambil Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) merupakan sebuah hakikat (kebenaran) bahwa orang-orang Yahudi menyangka telah menyihir RasuluLlah (saw), namun tidak berpengaruh apa-apa. Sementara itu, perihal sakitnya RasuluLlah (saw) atau beliau menjadi pelupa disebabkan oleh hal lainnya. Namun demikian, Allah Ta’ala telah mengabarkan RasuluLlah (saw) perihal rencana orang-orang Yahudi itu dan secara lahiriah telah menggagalkan sihir yang mereka lakukan. Begitu pula, setelah melihat sakitnya RasuluLlah (saw), orang-orang Yahudi menggebu-gebu dalam keyakinan atau menggembar-gemborkan bahwa sihir mereka manjur sehingga membuat Rasul sakit. Kepalsuan mereka ini telah terbongkar juga.
Dalam literatur Jemaat juga terdapat tulisan Hazrat Mirza Bashir Ahmad Sahib yang membahas mengenai riwayat tersebut secara detail dari sudut pandang sejarah dan keilmuan yang lebih memperjelas lagi perihal riwayat tersebut. Beliau menulis, “Di dalam sejarah bahkan di dalam hadits-hadits telah diterangkan bahwa paska perjanjian Hudaibiyah, suatu ketika seorang Munafik keturunan Yahudi bernama Labid Bin Asim telah menyihir Rasulullah, na’udzu billah. Caranya, rontokan rambut diikatkan pada sisir lalu dijampi dan dimasukkan kedalam sumur lalu dikatakan bahwa RasuluLlah (saw) terkena pengaruh sihir itu cukup lama. Orang-orang Yahudi itu menggembar-gemborkan juga bahwa pada masa-masa itu RasuluLlah (saw) sering diliput kesedihan, gelisah.
Dalam ketakutan tersebut RasuluLlah (saw) terus-menerus berdoa dan kondisi yang sangat jelas tampak pada masa itu adalah beliau sering terlupa, terkadang RasuluLlah (saw) beranggapan beliau telah melakukan sesuatu padahal belum melakukannya. Terkadang juga belian merasa telah pergi ke rumah salah seorang istri beliau, padahal sebenarnya beliau tidak pergi ke rumahnya.”
Lalu menjelaskan perihal tersebut, Hazrat Mirza Bashir Ahmad Sahib bersabda, “Perlu diingat bahwa kebiasaan RasuluLlah (saw) sebagaimana sesuai hukum Islam bahwa beliau menetapkan giliran para istri. Selain itu beliau berkunjung pada sore hari ke rumah setiap istri beliau untuk menanyakan kabar lalu pergi dan bermalam di rumah istri yang mendapat giliran pada hari itu. Pada riwayat diatas mengisyarahkan demikian juga. Terdapat riwayat juga bahwa pada akhirnya, Allah Ta’ala telah mengungkap hakikat fitnah tersebut kepada RasuluLlah (saw) dengan perantaraan rukya dll.”
Inilah ringkasan yang telah disampaikan sebelumnya pada penjelasan atau tafsir Hazrat Mushlih Mau’ud (ra). Ringkasan yang beliau ulas diambil dari riwayat Bukhari.
Beliau (Hazrat Mirza Bashir Ahmad Sahib) menulis ringkasannya lalu menulis, “Inilah ringkasan riwayat yang telah diterangkan dalam beberapa kitab hadits dan sejarah. Di sekitar riwayat tersebut telah dirangkai mata rantai dongeng-dongeng sehingga sulit untuk mengetahui hakikat sebenarnya. Jika semua riwayat-riwayat itu diterima maka akan terbukti kebenaran tuduhan terhadap wujud Rasul yang penuh berkat dan suci bahwa beliau (saw) adalah insan yang memiliki tabiat sangat lemah – wal ‘iyaadz biLlaah – yang dengannya sekurang-kurangnya dalam urusan duniawi, musuh beliau yang jahat mampu menjadikan beliau sebagai sasaran sihirnya semaunya. Artinya, orang yang memusuhi beliau mampu menjadikan beliau sebagai sasaran perhatian buruknya lalu berhasil menguasai kalbu dan pikiran beliau, nauzubillah, sehingga beliau tidak berdaya dalam menghadapi sihir tersebut. wal ‘iyaadz biLlaah
Jika kita menerima riwayat tersebut seperti yang dijelaskan oleh hadits-hadits dan sejarah maka akan muncul kesimpulan yang sama sekali keliru dan itu tidaklah mungkin. Namun, jika riwayat-riwayat tersebut direnungkan secara aqli dan naqli lalu keotentikan riwayat diteliti sedemikian rupa maka akan terbukti dengan jelas bahwa RasuluLlah (saw) semata-mata terjangkit penyakit lupa saja yang menimpa beliau disebabkan kekhawatiran dan kelemahan jasmani yang sifatnya sementara. Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh musuh yang berniat jahat lalu mengumumkan bahwa mereka telah berhasil menyihir Nabinya orang Muslim. Tetapi, Allah Ta’ala segera memberikan kesehatan kepada beliau dan mencoreng muka para musuh sehingga propaganda dusta orang-orang munafik itu gagal dan sia-sia.
Beliau adalah seorang penakluk agung kekuatan setani di seluruh dunia dan semulia-mulianya Nabi yang tidak pernah lagi terlahir sampai saat ini pribadi yang dapat meluluh-lantahkan kekuatan taghut yang lebih hebat dari beliau dan tidak pernah juga akan terlahir. Memiliki anggapan bahwa beliau telah menjadi korban target sihir seorang keturunan Yahudi tidak pernah dapat terbayangkan oleh akal dangkal sekalipun. Ini tidak hanya pengakuan kita saja bahkan sang pemimpin semesta alam yaitu Hazrat RasuluLlah (saw) sendiri telah membantahnya. Hal itu telah dijelaskan oleh sebuah hadits tatkala Hazrat Aisyah (ra) bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَوْ مَعِيَ شَيْطَانٌ ؟ ‘Wahai RasuluLlah (saw)! Apakah di dalam diri saya terdapat setan?’
Rasul bersabda, نَعَمْ ‘Ya!’
Hazrat Aisyah bertanya, وَمَعَ كُلِّ إِنْسَانٍ ؟ ‘Apakah di dalam diri setiap manusia terdapat setan?’
Rasul bersabda, نَعَمْ “Ya!”
Hazrat Aisyah sambil terheran bertanya lagi, وَمَعَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ “Wahai RasuluLlah (saw)! Apakah di dalam diri tuan pun terdapat syaitan?”
Rasul bersabda, نَعَمْ ، وَلَكِنْ رَبِّي أَعَانَنِي عَلَيْهِ حَتَّى أَسْلَمَ “Ya, namun Allah Ta’ala telah memberikan kemenangan padaku diatas syaitan, sehingga syaitan yang ada dalam diri saya menjadi Muslim.”[9]
Apakah dengan adanya sabda yang sangat jelas seperti ini dapat terpikirkan bahwa seorang Yahudi dengan bantuan setan dapat menyihir Hazrat RasuluLlah (saw) yang notabene memiliki derajat yang sangat luhur sehingga beliau terdampak berupa kegelisahan, duka dan sakit sampai waktu yang lama? Pada setiap zaman, manusia penipu menggunakan serangan palsu dan batil untuk melawan kebenaran tapi Tuhan yang Maha Kuasa dan Mulia senantiasa membongkar segenap kedustaan mereka. Sebagaimana Dia firmankan, كَتَبَ اللَّهُ لأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ ‘Kataballahu la-aghlibanna ana wa rusuli innallaha qawiyyun ‘aziiz’ – “Allah Ta’ala telah memutuskan; Aku dan Rasul-rasul-Ku pasti akan menang, sesungguhnya Allah Maha Kuat, Maha Perkasa.” (Surah Al-Mujadalah, 58 : 22).Artinya, Allah Ta’ala telah menetapkan pada zaman setiap Rasul bahwa Rasul-Nya pasti akan unggul dan tidak mungkin serangan setani yang dapat unggul melawannya.
Lalu, timbul pertanyaan tentang bagaimana hakikat kisah tersebut? Riwayat yang disampaikan Hazrat Aisyah (ra) di dalam Sahih Bukhari, jika kita merenungkan latar belakang dari kisah tersebut dan memperhatikan ulah orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik, tidaklah sulit untuk memahami hakikat dari kejadian tersebut. Pertama, perlu diketahui lebih dulu bahwa kisah dugaan sihir ini terjadi paska peristiwa Hudaibiyah.
Di dalam Kitab Tarikh (Sejarah) berjudul Ath-Thabaqaat karya ibnu Saad tertulis bahwa RasuluLlah (saw) memutuskan untuk pergi ke Makkah atas dasar rukya untuk tujuan umrah. RasuluLlah (saw) lalu berangkat namun dihentikan oleh Quraisy di tengah jalan sehingga tampak gagal dan terpaksa harus kembali. Kegagalan lahiriah ini mengakibatkan kedukaan yang mendalam sehingga orang-orang kafir dan munafik menertawakan dan mengolok-olok beliau.
Beberapa umat Muslim yang tulus – bahkan dalam satu hadits diriwayatkan sahabat besar seperti Hazrat Umar (ra) sempat goyah untuk sementara bahwa disebabkan kegagalan lahiriah seperti itu,.
Tercantum juga di dalam Shahih Bukhari bahwa disebabkan keadaan Hazrat Umar seperti itu sehingga beliau (saw) mengkhawatirkan akan berdampak kepada para sahabat lainnya yang memiliki tabiat lemah. Hal yang wajar bila hal tersebut berdampak luar biasa pada tabiat RasuluLlah (saw). Hal itu membuat Rasul larut dalam kesedihan untuk waktu yang cukup lama dan tentunya kekhawatiran yang mendalam itu berpengaruh pada kesehatan beliau (saw). Dalam keadaan demikian beliau (saw) memanjatkan doa kepada Allah ta’ala sebanyak-banyaknya seperti yang tertulis dalam matan hadits, دعا ودعا ‘da’aa wa da’aa’ supaya jangan sampai disebabkan peristiwa Hudaibiyah tersebut timbul suatu hambatan dalam kemajuan Islam.
Doa yang dipanjatkan itu ialah sejenis doa seperti pada perang Badr. RasuluLlah (saw) berdoa setelah melihat kekuatan lahiriah lawan meskipun telah mendapatkan janji kesuksesan dari Allah Ta’ala, اللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ مِنْ أَهْلِ الإِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِي الأَرْضِ “…Allahumma in tahlik hadzihil ‘ishaabata min ahlil Islaami laa tu’bad fil ardi.” – Ya Allah, jika pasukan Islam ini dibinasakan, maka tidak ada yang akan beribadah kepada-Mu di muka bumi ini.”[10]
Keadaan tersebut cukup berpengaruh pada tubuh dan daya ingat Rasulullah sehingga selama beberapa waktu beliau mengalami kelemahan dalam daya ingat. Di dalam riwayat-riwayat dikatakan selama empat atau dua hari saja atau sehari atau satu malam saja. Namun, seberapa lama pun itu, beliau terdampak dan ini adalah manusiawi.
(Ini suatu konsekuensi seperti yang disimpulkan oleh Hazrat Mirza Basyir Ahmad yaitu beliau mengalami selama beberapa hari yang disebabkan beban pikiran tersebut dan rasa khawatir terhadap Islam dan umat Muslim yang imannya lemah.)
Itu merupakan tuntutan manusiawi yang tidak dikecualikan untuk para Nabi sekalipun. Ketika orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik menyaksikan keadaan tersebut yaitu pada saat itu RasuluLlah (saw) sakit dan beliau terkena penyakit lupa karena kelemahan pada otak beliau sehingga – seperti biasa – mereka mulai menyebarkan fitnah. Mereka menyebarkan kabar tersebut dengan mengatakan – na’udzu billah – ‘Kami telah berhasil menyihir nabinya umat Islam sehingga terjangkit penyakit lupa.’ Berdasarkan cara kuno, mereka telah mengikat sisir dengan rontokan rambut dan memasukkannya ke dalam sebuah sumur.
Ketika RasuluLlah (saw) mengetahui kabar yang mereka anggap sihir itu, untuk mengatasi fitnah tersebut, Rasul berdoa kepada Allah Taala dan sebagaimana yang dikatakan oleh Hazrat Aisyah yakni setelah sampainya kabar tersebut Rasul berdoa satu hari atau satu malam dengan penuh ratapan dan memohon kepada Majikan samawi untuk mengabarkan kepada beliau nama pembuat sihir itu dan cara yang digunakan olehnya, supaya beliau dapat menghancurkan sihir yang batil itu. Lalu Allah ta’ala mendengar doa-doa beliau yang dipanjatkan dengan penuh ratapan itu dan membukakan hakikat sebenarnya kepada beliau dengan perantaraan rukya.
Al-Quran menjelaskan prinsip mendasar ini, وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى Wa laa yuflihus saahiru haitsu ataa yang artinya dalam corak apapun dan dari sisi manapun tidak ada seorang penyihir pun yang akan berhasil dalam melawan para Nabi. Lalu berdasarkan penjelasan keputusan Quran yang qat’i ini: نَّحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَسْتَمِعُونَ بِهِ إِذْ يَسْتَمِعُونَ إِلَيْكَ وَإِذْ هُمْ نَجْوَىٰ إِذْ يَقُولُ الظَّالِمُونَ إِن تَتَّبِعُونَ إِلَّا رَجُلًا مَّسْحُورًا ‘…yaquuluzh zhaalimuuna in tattabi’uuna illa rojulam mashuuraa.’ – ‘Orang-orang zalim mengatakan, “Kalian hanya mengikuti orang yang terkena sihir.”’ Inilah pernyataan orang-orang kafir seperti yang tercantum di dalam Al-Qur’an.
Setelah merenungkan kalimat hadits tersebut, gaya penyampaian dan ungkapan Arab maka dapat disimpulkan bahwa riwayat Hadits Bukhari ini tentunya dapat dipahami dalam corak hikayat anil ghair artinya bahwa meskipun nampaknya orang yang mengucapkan, mengucapkan dari dirinya sendiri, namun pada sebenarnya maksudnya adalah orang lain yang mengucapkannya, ucapan orang lain yang disampaikan.
Dengan demikian arti dari riwayat tersebut adalah Hazrat Aisyah (ra) meriwayatkan, سُحِرَ النَّبِيُّ “Suatu ketika Nabi (saw) disihir” Artinya, para penentang menyebarkan isu bahwa beliau telah tersihir. Sehingga pada masa itu beliau menyangka bahwa beliau telah melakukan suatu pekerjaan padahal tidak. Begitu juga beliau (saw) beranggapan telah pergi ke rumah salah seorang istri beliau padahal beliau tidak melakukannya.
Berdasarkan keterangan dari Hazrat Aisyah (ra) sebagai berikut, كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ وَهُوَ عِنْدِي دَعَا اللهَ وَدَعَاهُ “Pada hari itu RasuluLlah (saw) tengah berada di rumah saya dan dengan diliputi kekhawatiran beliau berkali kali berdoa kepada Allah ta’ala. Setelah berdoa, beliau bersabda kepada saya, أَشَعَرْتِ يَا عَائِشَةُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ ‘Wahai Aisyah! Apakah engkau tahu bahwa Allah ta’ala telah mengabarkan pada saya apa yang saya tanyakan kepada-Nya?’
Saya (Hazrat Aisyah) bertanya, وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ ‘Wahai Rasul! Pertanyaan apa itu?’
Beliau (saw) bersabda, جَاءَنِي رَجُلَانِ فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِي وَالآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيَّ ثُمَّ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ مَا وَجَعُ الرَّجُلِ؟ ‘Dalam mimpi atau dalam corak kasyaf saya didatangi dua orang pria. Salah satunya duduk di dekat kepala saya dan yang satunya lagi duduk di dekat kaki saya. Lalu salah satunya bertanya kepada yang lainnya, “Apa yang diderita orang ini?”’”
Hazrat Mirza Bashir sahib menulis, “Gaya obrolannya pun adalah mengisyaratkan pada hikaayah ‘anil ghair (perkataan yang disandarkan pada orang lain). Lalu diulang lagi seperti yang telah dijelaskan tadi. Salah seorang berkata kepada seorang lainnya, ‘Apa yang diderita orang ini?’ Dia telah disihir oleh orang Yahudi. Orang ini (Rasul) telah terkena dampak sihirnya. Seperti itulah yang orang-orang tersebut katakan.
Hazrat Aisyah meriwayatkan bahwa setelah mimpi atau kasyaf tersebut, beliau disertai dengan beberapa sahabat berangkat menuju sumur itu dan memeriksanya. Diatas sumur terdapat dahan kurma yang tumbuh yakni di atas sebuah sumur. Kemudian, RasuluLlah (saw) kembali kepada Hazrat Aisyah dan bersabda, وَاللَّهِ لَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ وَلَكَأَنَّ نَخْلَهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ ‘Aisyah! Saya telah melihatnya. Air sumurnya seperti air rebusan pacar berwarna merah.’
(Merupakan tradisi orang Yahudi yakni untuk mengecoh pandangan orang-orang – sebagaimana tadi telah diceritakan – mereka mewarnai sumur sehingga pohon kurmanya menjadi tampak mengerikan seperti pohon az-zaqquum.)
Hazrat Aisyah berkata, ‘Saya bertanya kepada Rasul, يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَأَخْرَجْتَهُ؟ Kenapa tuan tidak mengeluarkan sisir itu dari dalam sumur?’
Dalam riwayat lain Hazrat Aisyah mengatakan, أفأحرقتَه؟ “Kenapa tidak dibakar?”
Beliau bersabda, لَا، أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِيَ اللَّهُ وَشَفَانِي وَخَشِيتُ أَنْ أُثَوِّرَ عَلَى النَّاسِ مِنْهُ شَرًّا، وَأَمَرَ بِهَا فَدُفِنَتْ “Allah ta’ala telah menjaga dan menyembuhkan saya, lantas kenapa saya harus membuangnya keluar sehingga akan terjadi kehebohan di kalangan orang-orang mengenai sesuatu yang buruk yang mana akan menimbulkan kekhawatiran munculnya kecenderungan orang-orang yang bertabiat lemah terhadap sihir. Untuk itu sumur tersebut ditimbun.”
Hazrat Mirza Bashir Ahmad menulis, “Ingatlah! Menjelaskan hikayat anil ghair yaitu ketika ucapan orang lain disampaikan lagi atau perkataan orang lain disampaikan lagi, biasa dilakukan di kalangan orang-orang Arab. Bahkan, di dalam Al-Quran sendiri terkadang digunakan cara-cara demikian di beberapa tempat. Sebagaimana di dalam satu ayat Allah ta’ala berbicara kepada para penghuni neraka, ذُقْ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ ‘Dzuq innaka antal azizul kariim.’ – Artinya, ‘Wahai manusia yang dimasukkan kedalam Jahannam, rasakanlah azab Allah ini, tentu kalian adalah manusia terhormat dan mulia.’(Surah ad-Dukhaan, 44:50) Dalam hal ini maksudnya sama sekali bukanlah – na’uzu billah – Tuhan menganggap sangat mulia dan terhormat para penghuni neraka. Melainkan dalam corak mengutip kembali ucapan orang lain (hikayat anil ghair). Maksudnya, ‘Wahai manusia yang kawannya dan ia sendiri beranggapan dirinya mulia dan terhormat, setelah melakukan perbuatan buruk di dunia menganggap diri sangat mulia, untuk itu sekarang rasakanlah azab api Tuhan.’
Persis seperti itulah corak rukya tersebut, dua malaikat dalam wujud dua pria yang tampak kepada Rasul dalam rukya tersebut. Sebagaimana ketika mereka mengatakan, ‘Orang ini (Rasulullah) telah disihir, maksudnya bukanlah mereka menganggap telah disihir, melainkan maksudnya orang-orang mengatakan bahwa Rasul telah disihir. Maksud sebenarnya dari mimpi itu tiada lain adalah benda yang disembunyikan oleh orang-orang jahat itu dan disimpan di sumur yang dengannya mereka mengecoh orang-orang yang setipe dengan mereka dan mengumumkannya di kalangan orang-orang munafik, Allah tampakkan kepada Rasul supaya anggapan sihir mereka itu dihancur-leburkan.
Sebagaimana seperti itulah yang terjadi, benda yang digunakan sebagai alat untuk sihir itu dikubur dan sumurnya pun ditimbun. Dengan cara itu secara tidak langsung hilanglah kekhawatiran yang meliputi RasuluLlah (saw) yaitu orang-orang tersebut ingin mengecoh mereka yang bersifat lugu dengan melakukan kejahatan seperti itu. Janji Tuhan telah terpenuhi dengan begitu dahsyatnya وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ Laa yuflihus saahiru haitsu ataa. (Surah Thaha:70). Maksudnya, cara apapun yang digunakan seorang penyihir, tidak akan pernah berjaya dalam menghadapi Allah dan Nabi-Nya. Dengan demikian, hal-hal berikut ini telah terbukti dari hadits tersebut: Pertama: paska peristiwa perdamaian Hudaibiyah, RasuluLlah (saw) secara wajar diliputi kekhawatiran karena menyaksikan kurang tepatnya anggapan sebagian orang dalam memahami perjanjian Hudaibiyah sehingga mengakibatkan beliau terjangkit kelupaan akan hal-hal duniawi terkait urusan rumah tangga.
Kedua, Orang-orang Yahudi dan munafik yang selalu mencari-cari kesempatan dan sibuk untuk mencemarkan nama baik Islam dan pendirinya setelah melihat kondisi Rasul yang demikian, menyebarkan secara sembunyi-sembunyi mengatakan, ‘Kami telah berhasil menyihir Nabinya umat Islam.’ Na’udzubillah. Cara-cara yang mereka lakukan mirip dengan fitnah yang mereka lontarkan kepada Hazrat Aisyah ketika tertinggal dalam sebuah perjalanan, pada saat perang bani Mustaliq, lalu mereka mencemarkan nama baik Hazrat aisyah. Seperti itulah mereka berupaya jahat untuk menimpakan penderitaan pada kehidupan rasul.
Ketiga, sebagai tanda lahiriah dari dugaan sihir mereka tersebut supaya orang-orang yang bertabiat lugu dapat ditipu dengan mudah ialah orang-orang jahat itu meminta seorang keturunan Yahudi yang munafik [menyatakan Islam tapi sebenarnya menentang] bernama Labid Bin Asim untuk mengikatkan rontokan rambut pada sisir lalu memasukkannya kedalam sebuah sumur sesuai cara-cara mereka lalu mulailah mereka berbisik-bisik yang menyebabkan bertambahnya kesedihan Rasulullah (saw).
Keempat, atas hal itu Rasul berdoa kepada Allah ta’ala dengan penuh ratapan, ‘Ya Tuhan dengan karunia Engkau, musnahkanlah fitnah ini, perlihatkanlah hakikatnya pada hamba supaya hamba dapat mengatasi fitnah ini dan menyelamatkan orang-orang yang berfitrat sederhana.’ Doa tersebut dikabul.
Kelima, Allah Ta’ala mendengar doa –doa beliau dan membongkar kejahatan Labid bin Ashim. RasuluLlah (saw) kemudian berangkat ke sumur tersebut bersama dengan beberapa saksi lalu menguburkan sisir itu bahkan menimbun sumurnya supaya permasalahan tersebut berakhir selamanya.
Pada akhirnya satu-satunya pertanyaan yang timbul ialah Hazrat RasuluLlah (saw) yang merupakan seorang nabi agung bahkan nabi yang Afdhal (paling utama) dan khataman nabiyyiin, lantas kenapa beliau terkena penyakit lupa yang pada lahiriahnya dapat mengganggu pelaksanaan tugas kenabian?
Sebagai jawabannya, hendaknya diingat dengan baik bahwa setiap Nabi memiliki dua kapasitas. Pada segi pertama, ia adalah seorang Nabi dan Rasul Allah Ta’ala yang karenanya dapat bercakap-cakap dengan Allah Ta’ala dan dia ditetapkan sebagai guru bagi para pengikutnya dalam urusan keagamaan dan menjadi teladan bagi mereka. Sementara itu, dari segi kedua, ia adalah salah seorang diantara manusia yang tidak lepas dari tuntutan manusiawi dan resiko alami seperti yang menimpa manusia lain pada umumnya. Karena itu, Allah Ta’ala berfirman kepada Rasulullah (saw) di dalam Al-Quran: قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا Qul innamaa ana basyarun mitslukum yuuhaa ilayya. Artinya, ‘Wahai Rasul! Katakanlah kepada orang-orang, “Saya adalah manusia seperti kalian. Saya tidak terlepas dari segala hukum yang menimpa manusia lainnya juga. Tentu, saya adalah seorang Rasul Allah. Saya dianugerahi wahyu dan ilham oleh Tuhan sebagai hidayah (bimbingan) bagi makhluk-Nya.”’ (Surah al-Kahfi, 18: 111) Ini adalah terjemahan tafsiriyah.
Pada ayat yang latif (halus) tersebut telah diterangkan dengan sangat indah bagaimana dua kapasitas yang dimiliki para Nabi. Itu artinya, di satu sisi mereka diistimewakan dari manusia lainnya, sedangkan pada sisi lainnya, mereka tidak diizinkan terkeluar dari barisan manusia lainnya. Walhasil, orang yang beranggapan para Nabi terbebas dari tuntutan manusiawi dan resiko alami sebagai manusia, anggapan seperti itu adalah keliru. Sudah barang tentu para Nabi pun dapat sakit. Sebagaimana manusia lainnya, mereka dapat terjangkit penyakit malaria, demam, tifus dan lain-lain.
Hazrat Mirza Bashir Ahmad menulis, “Dalam hal ini perlu saya sampaikan bahwa dari ciri-ciri lahiriah seperti yang tercantum dalam kitab-kitab hadits dan sejarah dapat diketahui bahwa Nabi (saw) wafat disebabkan oleh terjangkit penyakit thypus. Para Nabi dapat mengalami penyakit seperti TBC, asma, flu, batuk, sakit sendi, sakit kepala, gangguan pada saraf, gangguan sensitivitas, gangguan pada otak, kelupaan, suatu peristiwa yang mengakibatkan luka, pukulan ketika perang dan lain sebagainya. Hal itu biasa terjadi kecuali terhadap seorang Nabi yang secara khusus dijanjikan oleh Allah Ta’ala untuk terjaga dari penyakit tertentu. Jika dalam hal ini terpikir oleh seseorang bahwa Al-Quran berfirman mengenai RasuluLlah (saw), سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَىٰ ‘Sanuqriuka fa laa tansaa’ – ‘Akan Kami bacakan kepada engkau supaya engkau tidak lupa’ maksudnya adalah Kami akan berikan ajaran kepada engkau yang dengannya engkau tidak akan lupa. (Surah al-A’la, 87:7) Sebagai jawabannya hendaknya diingat dengan baik, janji tersebut hanya berkaitan dengan wahyu Al-Quran, bukan untuk seumumnya (semuanya). Maksudnya, ‘Wahai Rasul! Wahyu yang akan Kami turunkan kepadamu sebagai hidayah bagi umat, engkau tidak akan pernah lupa darinya dan Kami akan terus menjaganya sampai hari kiamat.’
Janji itu sama sekali bukanlah mencakup perkara sehari-hari, urusan duniawi atau praktik nyata amalan keagamaan. Hal demikian sebagaimana terbukti dalam Hadits bahwa dalam beberapa kesempatan RasuluLlah (saw) terlupa disebabkan tuntutan manusawi. Bahkan diriwayatkan dalam hadits bahwa terkadang Rasul lupa bilangan rakaat ketika mengimami shalat yang setelah diingatkan oleh makmum, beliau baru menyadari.”
Hadits tersebut dapat kita jumpai dalam kedua Kitab hadits Bukhari dan Muslim. Demikian pula dalam banyak kesempatan beliau sering terlupa bahkan dalam hadits, RasuluLlah (saw) sendiri pernah bersabda, إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي ‘…innamaa ana basyarun ansaa kamaa tansauna faidza nasiitu fadzakkiruunii.’ – “Saya pun manusia seperti kalian. Sebagaimana kalian pun kadang terlupa, saya pun dapat lupa. Jadi, jika dalam suatu urusan saya terlupa, teruslah ingatkan saya.”[11]
Walhasil, sebagaimana terkadang Rasul pun dapat terjangkit kelupaan biasa yang sifatnya sementara, begitu pula paska peristiwa Hudaibiyah untuk beberapa waktu beliau pernah dilanda penyakit kelupaan. Hal ini pulalah tafsir yang telah dijelaskan sebagian ulama terdahulu berkenaan dengan riwayat sihir tadi. Misalnya, Allamah al-Maziri bersabda, لِأَنَّ الدَّلِيل قَدْ قَامَ عَلَى صِدْق النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يُبَلِّغهُ عَنْ اللَّه تَعَالَى وَعَلَى عِصْمَته فِي التَّبْلِيغ, وَالْمُعْجِزَات شَاهِدَات بِتَصْدِيقِهِ , فَتَجْوِيز مَا قَامَ الدَّلِيل عَلَى خِلَافه بَاطِل . وَأَمَّا مَا يَتَعَلَّق بِبَعْضِ الْأُمُور الدُّنْيَا الَّتِي لَمْ يُبْعَث لِأَجْلِهَا وَلَا كَانَتْ الرِّسَالَة مِنْ أَجْلهَا فَهُوَ فِي ذَلِكَ عُرْضَة لِمَا يَعْتَرِض الْبَشَر كَالْأَمْرَاضِ “Terdapat banyak sekali dalil otentik yang mendukung kebenaran Nabi (saw)… Mukjizat-mukjizat beliau pun memberikan kesaksian akan kebenaran beliau. Selebihnya untuk urusan duniawi yang mana beliau tidak diutus untuk itu, mengenai itu akan dianggap sebagai suatu penyakit, sebagaimana manusia dapat terjangkit penyakit-penyakit lain.”[12]
وَاسْتَدَلَّ اِبْن الْقَصَّار عَلَى أَنَّ الَّذِي أَصَابَهُ كَانَ مِنْ جِنْس الْمَرَض بِقَوْلِهِ فِي آخِر الْحَدِيث ” فَأَمَّا أَنَا فَقَدْ شَفَانِي اللَّه “ “Allamah Ibnu Al-Qashshar mengatakan, ‘annalladzii ashaabahu kaana min jinsil maradhi biqaulihi fi aakhiril hadiitsi, “fa-amma ana faqad syafaaniyAllahu.”’ – ‘Penyakit lupa yang menimpa RasuluLlah (saw) merupakan salah satu diantara penyakit sebagaimana tampak dari kalimat terakhir pada hadits (sabda beliau saw) tersebut, ‘Allah telah memberikan kesembuhan kepada saya.’ Di dalamnya tertulis dengan jelas.’”[13]
Kesimpulannya, paska peristiwa Hudaibiyah, keadaan Hazrat RasuluLlah (saw) yang dianggap oleh penentang sebagai akibat dari sihir, sama sekali bukanlah akibat suatu jenis sihir dan semacamnya, melainkan merupakan penyakit lupa sebagai konsekuensi dari permasalahan yang beliau hadapi. Hal tersebut dijadikan sarana oleh para penebar fitnah untuk berpropaganda menyerang kemuliaan pribadi Rasul suci (saw). Al-Quran telah menolak mentah-mentah kisah-kisah sihir yang dituduhkan menimpa para Nabi. Akal sehat manusia menolak untuk meyakini anggapan tersebut. Kata-kata hadits juga mengingkari keterangan yang dituduhkan itu dan dengan sendirinya menebarkan keluhuran maqom pemimpin alam semesta dan Rasul yang terkemuka (saw) serta menolak kisah-kisah sihir seperti itu.
Hazrat Mirza Bashir Ahmad menulis, “Tidaklah kosong dari manfaat tentang bagaimana Hazrat Khalifatul Masih Tsani pernah meriwayatkan yang mana tercantum dalam buku Siratul Mahdi bagian pertama nomor 75:
Suatu ketika seorang Hindu fanatis dari daerah Gujrat datang ke Qadian. Ia adalah seorang ahli hipnotis. Ia datang dalam suatu Majlis Hazrat Masih Mau’ud (as) lalu secara diam-diam mulai memusatkan fikiran untuk menghipnotis Hazrat Masih Mau’ud (as) dengan tujuan supaya beliau (as) melakukan gerakan-gerakan yang tidak etis sehingga menjadi bahan tertawaan hadirin yang ada dalam majlis tersebut.
Namun, ketika Hazrat Masih Mau’ud (as) memandangnya, orang itu berteriak lalu lari kocar-kacir. Ketika orang itu ditanyai, ‘Apa yang terjadi denganmu?’
Ia menjawab, ‘Ketika saya berusaha menghipnotis Mirza Sahib, tampak kepada saya seekor singa yang mengerikan tengah berdiri dan akan menerkam saya. Lalu saya ketakutan dan lari.’
Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis bahwa Hazrat Masih Mau’ud (as) adalah khadim (hamba sahaya) Hazrat RasuluLlah (saw). Jika maqom sang khadim saja seperti itu, yang mana Allah Ta’ala tidak membiarkan hipnotisme dapat menguasainya, lantas jika berpikiran majikan beliau (as) yaitu Hazrat RasuluLlah (saw) – nauzubillah – beliau telah terkena hipnotis seorang Yahudi, bagaimana anggapan seperti itu dapat dibenarkan?”
Di akhir saya akan bacakan sabda sabda sang hakim adil pada zaman ini berkenaan dengan hal ini yang mancakup semua penjelasan dan tafsir.
Ada seseorang yang mengajukan pertanyaan kepada Hazrat Masih Mau’ud (as) dalam majlis beliau, “Bagaimana pendapat Huzur berkenaan dengan sihir yang dilakukan oleh orang Kafir terhadap Rasulullah (saw)?”
Hazrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Sihir juga adalah berasal dari setan. Para Rasul dan Nabi tidak mungkin akan terkena sihir melainkan, setelah melihat para nabi, sihir pun akan kocar kacir. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ Laa yuflihus saahiru haitsu ataa. (Surah Thaha:70)
Coba perhatikan Hazrat Musa pernah berhadapan dengan sihir, namun akhirnya Musa-lah yang unggul. Sama sekali keliru jika beranggapan sihir telah unggul ketika melawan Rasulullah (saw). Kami tidak akan pernah meyakininya. Meyakini apa saja huruf demi huruf yang tercantum di dalam Kitab Hadits Bukhari dan Muslim secara menutup mata (membabi buta) adalah bertentangan dengan keyakinan kita. Akal sehat pun tidak dapat membenarkan seorang Nabi yang agung seperti beliau (saw) dapat terkena sihir. Perkataan yang menyebutkan pengaruh sihir – na’uzubillah – menyebabkan hilangnya ingatan Rasulullah (saw), atau begini dan begitu, dalam corak bagaimanapun tidak dapat dibenarkan. Tampaknya seorang manusia yang jahat telah mencampur-adukkan ucapan-ucapan seperti itu dari dirinya sendiri.
Meskipun kita memandang hadits-hadits dengan pandangan hormat, namun tidak mungkin kita meyakini hadits-hadits yang bertentangan dengan Al Quran dan kesucian nabi (saw). Memang para pengumpul hadits telah mencantumkan hadits-hadits setelah terlebih dahulu mempertimbangkan, namun terkadang tidak melakukannya dengan segenap kehati-hatian, meskipun telah berusaha keras untuk itu. Saat itu adalah tingkat dan waktunya untuk mengumpulkan hadits. Tetapi, saat ini adalah waktunya dan tingkatannya untuk merenungkan dan mempertimbangkan Hadits-Hadits. Renungkanlah dan pelajarilah! Jika terdapat Hadits yang bertentangan dengan Al-Quran atau kehormatan dan kesucian Nabi saw, hadits tersebut layak untuk ditolak atau jika mungkin, dengan tafsir atau penjelasan lain. Hal demikian sebagaimana yang telah dilakukan oleh Hazrat Mirza Bashir Ahmad atau Hazrat Mushlih Mau’ud (ra).
Hazrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Mengumpulkan Atsar (riwayat perbuatan dan sabda) seorang Nabi adalah amalan yang menarik banyak pahala.” (mengumpulkan peri kehidupan para Nabi adalah amal yang memberikan pahala besar. Begitu pula mengumpulkan sabda-sabda mereka juga berpahala.)
Namun, kaidah yang umum ialah orang yang mengumpulkan itu tidak mampu melakukannya dengan penuh pertimbangan. Setiap orang berhak untuk menimbang dan merenungkan dengan sebaik-baiknya tentang hal-hal yang layak diterima, terimalah. Hal-hal yang perlu ditinggalkan, tolaklah. Contohnya, anggapan bahwa RasuluLlah (saw) telah terkena sihir, na’udzu billah. Anggapan seperti itu dapat merusak keimanan.
Allah Ta’ala berfirman: نَّحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَسْتَمِعُونَ بِهِ إِذْ يَسْتَمِعُونَ إِلَيْكَ وَإِذْ هُمْ نَجْوَىٰ إِذْ يَقُولُ الظَّالِمُونَ إِن تَتَّبِعُونَ إِلَّا رَجُلًا مَّسْحُورًا () ‘…sewaktu mereka berbisik-bisik (yaitu) ketika orang-orang zalim itu berkata, “Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir.”’ (Surah al-Isra, 17:48) kesimpulannya, orang-orang yang mengatakan demikian [seorang Nabi terkena sihir] adalah orang yang zalim, bukan Muslim.
Orang-orang mulhid (tidak beriman atau ateis) dan yang zalim menyatakan bahwa RasuluLlah (saw) telah pernah terkena sihir. Mereka tidak berpikir – Wal ‘iyaadz biLlaah – jika keadaan RasuluLlah (saw) saja seperti itu, lantas bagaimana pula keadaan umatnya? Berarti sudah tenggelam. Entahlah apa yang terjadi dengan kaum yang mana menisbahkan kata-kata seperti itu pada kemuliaan Nabi yang Ma’shum itu yang para Nabi semuanya meyakininya suci dari sentuhan setan.”
Alhamdulillah kita telah beriman pada imam zaman sehingga dapat memahami dan mengenal kedudukan agung dan martabat luhur Hazrat RasuluLlah (saw). اللهم صل على محمد وعلى آل محمد وبارك وسلم إنك حميد مجيد. Allaahumma shalli ‘alaa Muhammadin wa ‘alaa aali Muhammadin wa baarik wa sallim innaka hamiidun majiid.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah :
Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK); Editor: Dildaar Ahmad
Dartono (Indonesia). Rujukan komparasi pemeriksaan
naskah: www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Asadul Ghabah (أسد الغابة).
[2] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’d.
[3] Dalam riwayat menurut Kitab Asadul Ghabah ialah Iyas bin Khaladah (إيَاس بن خَلْدةَ).
[4] Ath-Thabaqaat.
[5] Fathul Bari, bagian mengenai ath-Thibb (pengobatan)
[6] Shahih al-Bukhari, Kitab Adab (كتاب الأدب), Bab (بَابُ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ})
[7] Shahih al-Bukhari, Kitab Adab (كتاب الأدب), Bab (بَابُ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ})
[8] Shahih al-Bukhari, Kitab permulaan penciptaan (كتاب بدء الخلق), Bab (باب صِفَةِ إِبْلِيسَ وَجُنُودِهِ)
[9] Shahih Muslim (صحيح مسلم ), Kitab Sifat Kiamat, Surga dan Neraka (كِتَاب صِفَةِ الْقِيَامَةِ وَالْجَنَّةِ وَالنَّارِ), bab (بَاب تَحْرِيشِ الشَّيْطَانِ وَبَعْثِهِ سَرَايَاهُ).
[10] Shahih Muslim, Kitabul Jihad was Sair (كتاب الجهاد والسير), bab (باب الإِمْدَادِ بِالْمَلاَئِكَةِ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ وَإِبَاحَةِ الْغَنَائِمِ). Doa lengkapnya ialah: اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ مِنْ أَهْلِ الإِسْلاَمِ لاَ تُعْبَدْ فِي الأَرْضِ “Ya Allah Azza wa Jalla , penuhilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah Azza wa Jalla berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan Islam ini dibinasakan, maka tidak ada yang akan beribadah kepada-Mu di muka bumi ini.”
[11] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab shalat (كِتَاب الصَّلَاةِ ), Abwaabu istiqbaalil qiblah (أَبْوَابُ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ), bab menghadap qiblat dan sujud tatkala lupa dalam shalat. Tercantum juga di dalam Shahih Muslim, Kitab Masjid dan tempat-tempat shalat, bab Lupa dalam shalat dan sujud karenanya; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat melebihi atau kurang dari jumlah rakaat (yang semestinya). Tatkala beliau memberi salam, ditanyakan kepadanya, ‘Wahai, Rasulullah! Apakah ada perubahan dalam shalat? ‘ Nabi bertanya, ‘Mengapa demikian pertanyaanmu? ‘ Mereka menjawab, ‘Kamu shalat begini, begini, dan begini.’ Lalu beliau menyimpulkan kedua kakinya menghadap ke kiblat, lalu bersujud dua kali, kemudian memberi salam. Kemudian beliau menghadapkan mukanya kepada kami seraya bersabda, إِنَّهُ لَوْ حَدَثَ فِي الصَّلَاةِ شَيْءٌ لَنَبَّأْتُكُمْ بِهِ ، وَلَكِنْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي ، وَإِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيَتَحَرَّى الصَّوَابَ ، فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ ، ثُمَّ يُسَلِّمْ ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ ‘Sesungguhnya jika ada suatu perubahan tentang cara shalat, tentu aku memberitahukan kepada kalian semua. Aku hanyalah manusia yang bisa saja lupa (salah) sebagaimana kalian juga bisa lupa (salah). Karena itu, apabila aku lupa, maka ingatkanlah aku. Dan apabila kamu ragu dalam shalat tentang jumlah rakaatnya, ambillah yang pasti benar (yaitu jumlah yang sedikit), lalu sempurnakanlah atasnya, kemudian bersujudlah dua kali’.”
[12] Fathul Baari, syarah atau komentar Shahih al-Bukhori oleh ‘Allaamah Ibnu Hajar al-‘Asqolaani jilid X hal. 177, Daaru Nasyril Kutub al-Islamiyah Lahore, Pakistan, 1981); tercantum juga di dalam (بغية السائل من أوابد المسائل); dan Adhwaul bayaan fi idhahil Qur’an bil Qur’aan (أضواء البيان في إيضاح القرآن بالقرآن). Al-Maziri (1061-1141) atau (453-536 Hijriyah), juga dikenal dengan Imam Allamah al-Maziri dan Imam al-Mazari ialah seorang Jurist (ahli hukum atau ahli Fiqh) Tunisia Madzhab Ahlus Sunnah Maliki. Sebagian sejarawan berpendapat al-Maziri lahir di Mahdia, Tunisia sekarang. Ibn Farhun, sejarawan lainnya berpendapat Al-Maziri lahir di Mazara, bagian selatan pulau Sisila. Sisilia sendiri pernah dikuasai umat Muslim pada abad 9. Roger I, seorang penguasa Kristen dari Italia mulai menyerang balik umat Muslim pada 1061 dan menguasai Sisilia. Pada saat itulah, keluarga Al-Maziri pindah ke Afrika Utara, tepatnya di Tunisia sekarang.
[13] Fathul Baari, syarah atau komentar Shahih al-Bukhori oleh ‘Allaamah Ibnu Hajar al-‘Asqolaani jilid X hal. 177, Daaru Nasyril Kutub al-Islamiyah Lahore, Pakistan, 1981. Ibnu al-Qashshar atau nama lengkapnya (أبي الحسن عليّ بن عمر بن أحمد البغدادي المالكي) dikenal dengan nama Ibnu al-Qashshar (اِبْن الْقَصَّار). Beliau bermadzhab Maliki dan wafat pada 397 H.