بسم اللہ الرحمن الرحیم
(Pembahasan Sahabat peserta perang Badr, lanjutan bahasan mengenai Hazrat Zaid bin HaritsahradhiyAllahu ta’ala ‘anhu)
Asal-usul dan riwayat singkat para Sahabat berdasarkan data dari Kitab-Kitab Tafsir, Hadits, Sirah (biografi) dan Tarikh (Sejarah). Uraian Hazrat Mirza Basyir Ahmad (ra) dalam buku ‘Sirah Khataman Nabiyyin’.
Lima Sariyyah (ekspedisi militer yang tidak mesti terjadi perang dan tidak diikuti oleh Nabi saw) yang dipimpin oleh Hazrat Zaid bin Haritsah pada tahun ke-6 Hijriyyah.
Latar belakang Nabi Muhammad (saw) melakukan pengutusan Sariyyah.
Sariyyah Mu-tah (perang melawan Romawi di dekat Yordania sekarang) yang dipimpin oleh Hazrat Zaid bin Haritsah pada tahun ke-8 Hijriyyah; Kesyahidan Hazrat Zaid.
Latar belakang Nabi Muhammad (saw) melakukan pengutusan Sariyyah Mu-tah dan peperangan melawan Romawi ialah pihak Romawi yang mendahului dengan membunuh kurir (pembawa surat) Nabi Muhammad (saw).
Penjelasan Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) perihal dialog Nabi Muhammad (saw) menjelang keberangkatan Sariyyah Mu-tah.
Sariyyah Mu-tah (perang melawan Romawi di dekat Yordania sekarang) terjadi lagi yang dipimpin oleh Hazrat Usamah bin Zaid bin Haritsah pada tahun ke-11 Hijriyyah. Persiapan dan keberangkatan beberapa hari menjelang wafatnya Nabi Muhammad (saw). Pasukan kembali lagi untuk menjenguk dan shalat jenazah Nabi (saw). Setelah berbaiat kepada Khalifah Abu Bakr (ra), pasukan berangkat ke tempat yang dituju.
Pada akhir hidup Nabi (saw), kritikan sebagian Sahabat terjadi pada pengangkatan Amir (komandan) Hazrat Usamah bin Zaid (ra). Pada awal Khilafah Abu Bakr (ra), kritikan yang sama terjadi lagi.
Pengumuman kewafatan dan shalat Jenazah. Pertama, Mukaram Shidiq Adam Danbiya Sahib, Mubaligh Ivory Coast (Pantai Gading di benua Afrika). Kedua, Mian Ghulam Mushtofa Sahib Meerak dari Distrik Okara (Pakistan) yang wafat pada tanggal 24 Juni pada usia 83 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 28 Juni 2019 (Ihsan 1398 Hijriyah Syamsiyah/23 Syawal 1440 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, Surrey, UK (Britania)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Masih ada beberapa peristiwa tambahan berkenaan dengan Hazrat Zaid Bin Haritsah yang akan saya sampaikan pada hari ini. Diutusnya Hazrat Zaid ke Sariyah Banu Sulaim pada bulan Rabiul Akhir, 6 Hijri. Hazrat Mirza Bashir Ahmad menulis dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyiin, “Pada bulan Rabiul Akhir, 6 Hijriyah, Hazrat Rasulullah (saw) menunjuk mantan budak dan anak angkat beliau, Zaid Bin Haritsah sebagai komandan bagi beberapa pasukan Muslim untuk berangkat ke Banu Sulaim. Pada saat itu Kabilah Sulaim menempati kawasan Jamum di daerah Najd. Mereka terus melakukan penentangan kepada Rasulullah (saw). Mereka berusaha berperang melawan Nabi (saw) sebagaimana pada perang Khandaq kabilah ini berperan penting dalam memerangi pasukan Muslim.[1]
Ketika Zaid Bin Haritsah dan kawan-kawan tiba di Jamum (سَرِيَّتُهُ إِلَى الْجَمُومِ) yang berjarak sekitar 50 mil dari Madinah, mereka tidak menemukan siapa-siapa di sana. Tampak kosong. Namun ada seorang wanita bernama Halimah dari kabilah Muzainah yang menentang Islam, memberitahukan keberadaan musuh yang mana saat itu salah satu grup Banu Sulaim tengah menggembala ternaknya. Dengan memanfaatkan kabar tersebut Zaid Bin Haritsah langsung menyergap kawasan tersebut. Disebabkan serangan mendadak tersebut mereka ketakutan sehingga kebanyakan dari mereka melarikan diri dan terpencar. Namun, pasukan Muslim mendapatkan beberapa tawanan dan hewan ternak lalu dibawa pulang ke Madinah. Secara kebetulan diantara tawanan tersebut terdapat suami Halimah. Meskipun suaminya itu musuh perang, namun disebabkan bantuan Halimah, Rasululah tidak hanya membebaskan Halimah tanpa tebusan bahkan suaminya juga dilepaskan sebagai bentuk ihsan. Lalu Halimah dan suaminya pulang ke tempat asalnya dengan bahagia.”[2]
Sariyah lainnya yang diikuti oleh Zaid Bin Haritsah pada bulan Jumadil ula, 6 hijri beliau diutus ke daerah Aish (سَرِيَّتُهُ إِلَى الْعِيصِ). Dalam menjelaskan peristiwa tersebut tertulis dalam buku Sirat Khatamun Nabiyyin, “Sekembalinya Zaid Bin Haritsah dari sariyah Banu Sulaim, beberapa hari kemudian Hazrat Rasulullah (saw) menunjuk Zaid sebagai komandan membawahi 170 sahabat pada bulan Jumadill Ula dan memberangkatkannya dari Madinah. Latar belakang misi tersebut sebagaimana ditulis oleh para sejarawan adalah saat itu satu kafilah Mekah Quraisy akan tiba dari negeri Syam. Untuk mencegah mereka Rasulullah (saw) mengirim pasukan tersebut.
Perlu saya jelaskan disini bahwa Kafilah Quraisy pada umumnya dilengkapi dengan persenjataan. Mereka biasa melewati daerah diantara Mekah dan Syam. Mereka melewati kawasan yang sangat dekat dari Madinah, yang karenanya setiap saat bahaya mengancam bagi umat Muslim. Selain itu, kafilah-kafilah ini selalu memprovokasi daerah yang ia lewati untuk ikut menentang umat Muslim, yang karenanya muncul bara api permusuhan terhadap Islam. Untuk itu, perlu dilakukan pencegahan. Jadi, setelah mendapatkan kabar tibanya kafilah Quraisy, Rasulullah (saw) mengutus pasukan dibawah komando Zaid Bin Haritsah yang mana dengan cerdiknya mereka berangkat sehingga tidak diketahui dan akhirnya berhasil menyergap kafilah tersebut di daerah Aish. Aish adalah nama sebuah tempat yang terletak di dekat laut dan ditempuh dengan perjalanan 4 hari dari Madinah. Disebabkan serangan mendadak sehingga kafilah musuh tidak dapat berkutik lalu kabur dengan meninggalkan barang bawaannya. Zaid menawan beberapa orang lalu membawa harta rampasan dan kembali ke Madinah lalu hadir ke hadapan Rasulullah (saw).”[3]
Perlu diingat bahwa kapan pun Rasul mengirim pasukan, pasti dilatarbelakangi kabar dari Kafilah musuh yakni mereka tengah merencanakan suatu rencana jahat terhadap umat Muslim atau merencanakan suatu serangan.
Sariyah berikutnya yang diikuti oleh Hazrat Zaid terjadi pada bulan Jumadil Akhir, tahun 6 Hijri. Yakni diutusnya beliau ke daerah Tharf (سَرِيَّتُهُ إِلَى الطَّرْفِ). Dalam hal ini Hazrat Mirza Bashir Ahmad menulis, “Beberapa saat setelah perang Banu Lihyan, pada Jumadil Akhir 6 Hijri Rasulullah (saw) menunjuk Zaid Bin Haritsah sebagai komandan membawahi sebuah pasukan yang terdiri dari 15 orang sahabat ke daerah Tharf yang berjarak 36 mil dari Madinah. Pada masa itu kawasan tersebut ditempati oleh Banu Tsalabah. Namun sebelum Zaid Bin Haritsah sampai di sana, kabilah tersebut mendapatkan kabar pada waktunya lalu berpencar. Karena tidak diketahui keberadaan mereka, sehingga Zaid dan para sahabat tinggal beberapa hari di daerah tersebut lalu kembali ke Madinah. Dengan begitu tidak terjadi perang di sana dan tidak juga melakukan pencarian.
Sariyah berikutnya yang diikuti oleh Hazrat Zaid adalah pada bulan Jumadil Akhir, 6 Hijri ke daerah Hisma (سَرِيَّتُهُ إِلَى حِسْمَى). Hazrat Mirza Bashir Ahmad menjelaskan berkenaan dengan hal ini, “Pada bulan itu juga, yaitu Jumadil Akhir, Hazrat Rasulullah (saw) mengutus Hazrat Zaid sebagai komandan membawahi 500 sahabat untuk berangkat ke Hisma, sebelah selatan Madinah, yang merupakan tempat pemukiman Banu Juzam. Latar belakang misi tersebut adalah ketika seorang sahabat RasululuLlah (saw) bernama Dihyah al-Kalbi tengah kembali dari Syam setelah bertemu dengan Kaisar Roma, ia membawa serta barang bawaan sebagai hadiah dan lain-lain dari Kaisar dan sebagiannya lagi adalah barang dagangan.[4]
Ketika Dihyah melewati daerah Banu Juzaam, pemimpin kabilah tersebut bernama Hunaid Bin Aridh mengajak sekelompok orang dari kabilahnya untuk menyerang Dihyah Kalbi dan juga merampas semua barang bawaannya. Begitu kejamnya mereka sehingga tidak menyisakan apa-apa dari Dihyah selain baju yang compang-camping.
Ketika Banu Dhubaib, ranting kabilah Banu Juzaam yang sebagian dari mereka sudah masuk Islam, mengetahui kabar penyerangan itu, mereka membuntuti satu kelompok Banu Juzaam itu lalu mengambil kembali barang yang mereka telah rampas sehingga Dihyah berhasil membawa serta barang bawaan itu ke Madinah.[5]
Sesampainya di Madinah, Dihyah menceritakan semua yang terjadi lalu Rasul mengutus Zaid bin Haritsah beserta pasukan dan diikuti juga oleh Dihyah.[6] Dengan cerdik dan hati-hati pasukan Dihyah sembunyi-sembunyi di waktu siang dan menempuh perjalanan di waktu malam. Sampailah mereka di Hisma. Mereka berhasil menyergap Banu Juzam pada pagi hari. Banu Juzaam melakukan perlawanan dan terjadi pertempuran, namun mereka tak berdaya dengan serangan pasukan Muslim yang tiba-tiba dan mereka akhirnya kabur, sehingga pasukan Muslim berhasil menguasai medan lawan. Hazrat Zaid berhasil membawa pulang banyak harta rampasan, hewan ternak dan seratus orang tawanan.
Namun belum saja Zaid sampai di Madinah, orang-orang Banu Dhubaib yang merupakan ranting Banu Juzaam mengetahui kabar ekspedisi Zaid tersebut lalu mereka berangkat menemui Rasulullah (saw) bersama dengan pemimpinnya Rufa’ah Bin Zaid. Mereka berkata kepada Rasul, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Kami sudah masuk Islam dan telah diberikan perjanjian tertulis bagi kaum kami bahwa mereka akan mendapatkan keamanan. Akan tetapi, kami mendapatkan kabar bahwa pasukan Zaid telah mengambil barang barang mereka padahal lantas kenapa kabilah kami termasuk menjadi sasaran serangan ini?’
(Dalam serangan tadi, sebagian orang dari kabilah mereka menjadi korban sasaran)
Rasulullah (saw) bersabda, ‘Ya, memang benar, namun Zaid tidak mengetahui hal itu.’
Rasulullah (saw) berkali kali menyampaikan bela sungkawa atas terbunuhnya sebagian orang. Atas hal itu, kawan Rufa’ah yang bernama Abu Zaid berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Kami tidak menuntut apa-apa atas korban jiwa dari pihak kami, karena ini adalah kesalahpahaman yang telah berlalu dengan menjadikan anggota kabilah kami yang ikut serta dalam perjanjian, sebagai sasaran serangan. Namun kami berharap tawanan dari pihak kami dan juga harta yang Zaid ambil dari mereka, dapat dikembalikan lagi kepada kami.’
Rasul bersabda, ‘Ya, memang benar.’
Rasul segera mengutus Hazrat Ali untuk menemui Hazrat Zaid dan sebagai tanda, Rasulullah (saw) mengirimkan serta pedang beliau bersama dengan Hazrat Ali dan mengirimkan pesan kepada Zaid untuk mengembalikan tawanan dan juga harta rampasan yang telah diambil dari mereka. Seketika mendengar perintah tersebut, Zaid langsung melepaskan para tawanan dan juga mengembalikan harta rampasannya.”[7]
(Inilah teladan Rasulullah (saw) dalam menghormati perjanjian. Karena sudah ditangkap beliau tidaklantas menganiaya para tawanan itu, melainkan apapun yang terjadi karena kesalahpahaman dimana beberapa orang dari kabilah ikut serta dan mungkin saja diantara mereka ada yang sengaja ikut serta, namun Rasul melepaskan semuanya dan mengembalikan harta rampasannya)
Sariyah berikutnya yang diikuti oleh Hazrat Zaid pada bulan Rajab, 6 Hijri yakni diutusnya beliau ke Wadi’ul Qurra. Berikut penjelasannya, “Satu bulan paska sariyah Hisma, Rasulullah (saw) mengutus Zaid lagi ke Wadi’ul Qurra.[8] Ketika pasukan Zaid sampai di Wadi’ul Qurra, maka Banu Fazarah telah siap untuk menghadapi mereka.[9] Peperangan tersebut mengakibatkan syahidnya cukup banyak pasukan Muslim bahkan Zaid sendiri mengalami luka parah, namun dengan karunia Allah Taala, beliau selamat.[10] Wadi’ul Qurra yang disebutkan disini merupakan lembah yang berpenduduk terletak di sebelah utara Madinah, pada jalan menuju Syam (Syria atau Suriah). Di lembah itu terdapat banyak perkampungan, karena itulah disebut Wadi’ul Qurra yaitu lembah yang dipenuhi perkampungan.”[11]
Sariyah berikutnya yang diikuti oleh Hazrat Zaid adalah sariyah Mu-tah yang terjadi pada 8 Hijriyyah. Tempat tersebut berada di negeri Syam di dekat Mu-tah Balqa (الْبَلْقَاءِ). Berkenaan dengan perang Mu-tah dan latar belakangnya, terdapat keterangan dalam kitab Tabaqatul Kubra karya Allamah Ibnu Saad. Perang tersebut terjadi pada bulan Jumadil ula tahun 8 Hijriyyah. Hazrat Rasulullah (saw) mengutus Hazrat Harits bin Umair (الْحَارِثَ بْنَ عُمَيْرٍ الْأَزْدِيّ) sebagai Qasid (kurir, pembawa pesan) kepada raja Basrah. Ketika Harits sampai di daerah Mu-tah, salah seorang yang ditugaskan oleh Kaisar untuk menjadi pemimpin di Syam bernama Syarjil (atau Syurahbil) bin Amru al-Ghassani (شُرَحْبِيلُ بْنُ عَمْرٍو الْغَسّانِيّ) menghentikannya lalu mensyahidkannya (menyuruh membunuhnya). Selain Hazrat Harits bin Umair, tidak ada kurir Rasulullah (saw) yang dibunuh. [12]
Ketika Rasulullah (saw) mendapatkan kabar perihal kejadian tersebut, Rasul sangat menyesalkannya. Lalu Rasulullah (saw) memanggil orang-orang dan mereka berkumpul dengan segera di daerah Jurf, yang berjumlah 3000 orang. Hazrat Rasulullah (saw) menetapkan Hazrat Zaid bin Haritsah sebagai komandan umum. Setelah menyiapkan bendera putih, Rasulullah (saw) menyerahkannya kepada Zaid dan bersabda, “Pergilah ke tempat Harits disyahidkan! Sesampainya di sana, sampaikanlah tabligh Islam kepada mereka. Jika mereka menerimanya itu baik. Jika tidak, mintalah pertolongan kepada Allah Ta’ala dalam menghadapi mereka lalu perangilah mereka.”
Sariyah Mu-tah terjadi pada bulan Jumadil Awwal, 8 Hijri. Hazrat Abdullah Bin Umar meriwayatkan, Hazrat Rasulullah (saw) menunjuk Zaid Bin Haritsah sebagai komandan pada Sariyah Mu-tah. Rasulullah (saw) bersabda, عَلَيْكُمْ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ، فَإِنْ أُصِيبَ زَيْدٌ، فَجَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، فَإِنْ أُصِيبَ جَعْفَرٌ، فعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ الْأَنْصَارِيُّ “Jika Zaid syahid, penggantinnya adalah Ja’far bin Abi Thalib (kakak Hazrat Ali bin Abi Thalib). Jika Ja’far pun syahid, akan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah.”
Lasykar tersebut disebut juga dengan nama Jaisyul Umara (جَيْشَ الْأُمَرَاءِ) maknanya ialah sekumpulan tentara yang banyak komandannya. Dalam Sahih Bukhari telah dijelaskan dan juga dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal.
Dalam riwayat disebutkan juga bahwa Hazrat Ja’far bertanya kepada Rasulullah (saw), بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللهِ مَا كُنْتُ أَرْهَبُ أَنْ تَسْتَعْمِلَ عَلَيَّ زَيْدًا “Wahai Rasulullah (saw)! Tidak terfikirkan oleh saya bahwa Anda akan menunjuk Zaid sebagai Amir diatas saya.”
Rasul bersabda, امْضِهْ؛ فَإِنَّكَ لَا تَدْرِي أَيُّ ذَلِكَ خَيْرٌ “Lupakan itu karena kamu tidak tahu apa yang lebih baik.”[13]
Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan berkenaan dengan Sariyah Mu-tah yang mana meskipun riwayat ini pernah saya sampaikan juga sebagian pada khutbah beberapa minggu atau bulan ke belakang, karena saat ini tengah disampaikan perihal Hazrat Zaid, untuk itu akan saya sampaikan lagi.
Hazrat Mushlih Mau’ud menulis: “Rasulullah (saw) menetapkan Zaid sebagai komandan pada Sariyyah ini, namun seiring dengan itu beliau bersabda, ‘Saya tetapkan Zaid sebagai komandan, namun jika ia terbunuh, ia akan digantikan oleh Ja’far. Jika Ja’far pun terbunuh akan digantikan oleh Abdullah Bin Rawahah dan jika ia pun terbunuh akan digantikan oleh komandan yang disepakati oleh pasukan Muslim.’
Ketika Rasul bersabda demikian, ada seorang Yahudi duduk di dekat Rasul. Yahudi itu berkata, ‘Saya tidak meyakini Anda sebagai seorang Nabi, namun jika anda adalah nabi yang benar, maka diantara tiga orang tersebut tidak akan ada yang selamat, karena apapun yang keluar dari ucapan seorang nabi, selalunya tergenapi.’ (Topik yang disampaikan pada beberapa bulan lalu, lebih kurang adalah bahwa Yahudi pergi menemui Hazrat Zaid dan berkata demikian.)
Hazrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan riwayat tersebut seperti itu dan beliau (ra) juga kemudian menulis, “Ketika mendengar perkataan Rasul, Yahudi itu mendatangi Hazrat Zaid dan mengatakan, اعْهَدْ فَلَا تَرْجِعْ إلَى مُحَمّدٍ أَبَدًا إنْ كَانَ نَبِيّا ‘Jika Muhammad (saw) adalah benar seorang Nabi, tidak akan ada dari antara kalian bertiga yang akan kembali dengan selamat.’
Hazrat Zaid menjawab, فَأَشْهَدُ أَنّهُ نَبِيّ صَادِقٌ بَارّ ‘Sekalipun saya kembali dalam keadaan hidup ataupun tidak, Allah lah yang Maha Tahu, bagaimanapun beliau (saw) adalah benar-benar seorang Nabi.’
Hikmah Allah Ta’ala bahwa kejadian itu tergenapi dengan syahidnya Zaid. Setelah itu, komando diambil alih Ja’far, beliau pun syahid. Komando lalu diambil alih oleh Abdullah Bin Rawahah dan beliau pun syahid. Hal ini hampir saja membuat lasykar bercerai berai, namun kemudian atas permntaan umat Muslim, Hazrat Khalid Bin Walid memegang panji kepemimpinan. Allah Ta’ala pun memberikan kemenangan kepada umat Islam dengan perantaraan beliau dan membawa lasykar kembali pulang dengan membawa kemenangan. Berkenaan dengan riwayat tersebut dalam Bukhari tertulis bahwa Hazrat Anas Bin Malik meriwayatkan, Nabi yang mulia (Saw) bersabda, أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ. -وَإِنَّ عَيْنَيْ رَسُولِ اللهِ لَتَذْرِفَانِ- ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفُتِحَ لَهُ “Zaid telah memegang bendera lalu syahid. Selanjutnya, Ja’far memegang bendera itu dan syahid juga. Kemudian, Abdullah bin Rawahah memegang bendera itu dan ia pun syahid.”
Ketika memberikan kabar mengenainya, air mata mengalir dari mata Rasulullah (saw). Lalu Rasulullah (saw) bersabda, “Bendera itu lalu dipegang oleh Khalid bin Walid tanpa mengemban jabatan sebagai komandan kemudian mereka menang.”[14]
مَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَتْلُ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ ، وَجَعْفَرَ ، وَابْنَ رَوَاحَةَ ، قَامَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ شَأْنَهُمْ ، فَبَدَأَ بِزَيْدٍ فَقَالَ : Ketika Rasul mendapatkan kabar syahidnya tiga orang tersebut lalu Rasul berdiri dan untuk menjelaskan keadaan mereka, Rasul memulai dengan menyebut Hazrat Zaid, bersabda, اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِزَيْدٍ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِزَيْدٍ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِزَيْدٍ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِجَعْفَرَ ، وَلِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ ‘Ya Tuhan! Ampunilah Zaid, Ya Tuhan! Ampunilah Zaid, Ya Tuhan! Ampunilah Zaid. Lalu beliau bersabda: Ya Tuhan! Ampunilah Ja’far dan Abdullah Bin Rawahah.’”[15]
Hazrat Aisyah meriwayatkan, لَمَّا قُتِلَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ ، وَجَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبِكِيهِمْ وَيُعْرَفُ فِيهِ الْحُزْنُ Setelah mendengar kabar syahidnya ketiga orang itu Rasulullah (saw) duduk di masjid dan tampak raut yang nestapa di wajah beliau.[16]
Di dalam Kitab ath-Thabaqatul Kubra tertulis, لَمَّا أُصِيبَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ أَتَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : فَجَهَشَتْ بِنْتُ زَيْدٍ فِي وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَبَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى انْتَحَبَ ، “Setelah Hazrat Zaid syahid, Rasulullah (saw) berangkat ke rumah keluarga Hazrat Zaid untuk ta’ziyah. Tampak raut tangisan pada wajah putri Hazrat Zaid. Begitu juga mata Rasulullah (saw) mencucurkan air mata. فَقَالَ لَهُ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَا هَذَا ؟ Hazrat Sa’d Bin Ubadah bertanya, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Air mata mengalir dari mata tuan?’
Rasul bersabda: هَذَا شَوْقُ الْحَبِيبِ إِلَى حَبِيبِهِ ‘Hadza Syauqul habibi ila habiibihi’ – ‘Ini merupakan kecintaan seorang pecinta kepada kekasihnya.’”[17]
Allamah Ibnu Sa’d menuliskan berkenaan dengan syahidnya Hazrat Zaid, ثُمَّ عَقَدَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النَّاسِ فِي غَزْوَةِ مُؤْتَةَ ، وَقَدَّمَهُ عَلَى الأُمَرَاءِ ، فَلَمَّا الْتَقَى الْمُسْلِمُونَ وَالْمُشْرِكُونَ كَانَ الأُمَرَاءُ يُقَاتِلُونَ عَلَى أَرْجُلِهِمْ ، فَأَخَذَ زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ اللِّوَاءَ فَقَاتَلَ وَقَاتِلَ النَّاسُ مَعَهُ ، وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى صُفُوفِهِمْ ، فَقُتِلَ زَيْدٌ طَعَنَا بِالرِّمَاحِ شَهِيدًا ، فَصَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ : ” اسْتَغْفِرُوا لَهُ ، وَقَدْ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَهُوَ يَسْعَى ” ، وَكَانَتْ مُؤْتَةُ فِي جُمَادَى الأُولَى سَنَةَ ثَمَانٍ مِنَ الْهِجْرَةِ ، وَقُتِلَ زَيْدٌ يَوْمَئِذٍ وَهُوَ ابْنُ خَمْسٍ وَخَمْسِينَ سَنَةً. “Hazrat Rasulullah (saw) menetapkan Hazrat Zaid sebagai komandan pada Sariyah Mu-tah dan mengutamakan beliau diatas komandan yang lain. Ketika terjadi pertempuran antara pasukan Muslim dan musyrik, para komandan yang ditetapkan oleh Rasulullah (saw) bertarung dengan tidak berkendara. Hazrat Zaid memegang bendera dan bertarung begitu juga pasukan lainnya ikut bertempur dengan beliau. Ketika bertempur Hazrat Zaid syahid disebabkan tusukan tombak. Beliau syahid pada usia 55 tahun. Rasulullah (saw) memimpin shalat jenazah Hazrat Zaid dan bersabda, ‘Mohonkanlah maghfirah untuk Hazrat Zaid, ia telah masuk ke surga dengan berlari.’”[18]
Hazrat Usamah bin Zaid meriwayatkan (عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا), Hazrat Rasulullah (saw) memangku Hazrat Usamah dan Hazrat Hasan saat keduanya masih anak kecil lalu beliau (saw) berdoa, اللَّهُمَّ أَحِبَّهُمَا فَإِنِّي أُحِبُّهُمَا “Ya Allah! sayangilah mereka berdua karena sesungguhnya hamba menyayangi mereka berdua.”[19]
Hazrat Jablah (جَبَلَةَ بْنِ حَارِثَةَ) meriwayatkan: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَمْ يَغْزُ لَمْ يُعْطِ سِلَاحَهُ إِلَّا عَلِيًّا أَوْ زَيْدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا “Jika Rasul tidak berangkat ke suatu peperangan, beliau tidak memberikan pedangnya kepada siapapun kecuali kepada Hazrat Ali dan Zaid.”[20]
Hazrat Jabalah meriwayatkan lagi, “Jika Rasulullah (saw) diberikan dua hadiah yang dibawa oleh umat Muslim, maka Rasul menyimpan salah satunya dan memberikannya yang satunya lagi kepada Hazrat Zaid.”[21]
Hazrat Jabalah (جَبَلَةَ بْنِ حَارِثَةَ ) meriwayatkan,أُهْدِيَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُلَّتَانِ فَأَخَذَ إِحْدَاهُمَا ، وَأَعْطَى زَيْدًا “Pernah dihadiahkan dua pakaian jubah kepada Rasul, satu jubah beliau simpan dan satunya lagi beliau berikan kepada Zaid.”[22]
Diriwayatkan lagi dari riwayat lain, Hazrat Zaid dijuluki dengan sebutan kekasih Rasulullah (saw). Berkenaan dengan Hazrat Zaid, Rasulullah (saw) bersabda: Yang paling saya cintai diantara orang-orang adalah ia yang diberikan nikmat oleh Allah, yakni Zaid. Allah Ta’ala telah memberikan nikmat padanya melalui Islam dan Rasulullah (saw) telah memberikan hadiah dengan memerdekakannya.
Berkenaan dengan Sariyyah Mu-tah, referensi yang terdapat dalam berbagai kitab sejarah, secara ringkas sebagai berikut, sebagai balasan atas perang Mu-tah yang dulu [dipimpin Hazrat Zaid], Rasulullah (saw) telah menyiapkan satu lasykar sangat besar pada bulan safar 11 Hijriyyah. Pada bulan Shafar tahun ke-11 Hijriyyah, Rasulullah (saw) memerintahkan orang-orang untuk bersiap-siap berperang dengan Romawi. Meskipun perang Mu-tah yang ini yang mana dilakukan dalam rangka pembalasan terhadap perang Mu-tah sebelumnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan Hazrat Zaid karena beliau telah syahid sebelumnya, namun dalam persiapan pasukan dan latar belakangnya disinggung tentang Hazrat Zaid, untuk itu akan saya sampaikan sebagiannya. Mengenai Hazrat Usamah putra Hazrat Zaid bin Haritsah juga lebih kurang telah disinggung pada khotbah sebelumnya. Memang, Hazrat Usamah bukanlah Sahabat Badr, karena saat perang Badr itu beliau masih sangat kecil [11-an tahun], namun beliau telah disebutkan sebelumnya karena saya tengah menjelaskan pada sahabat secara umum.[23]
Setelah lasykar siap, pada hari berikutnya Rasulullah (saw) memanggil Hazrat Usamah. Rasulullah (saw) menunjuk Hazrat Usamah untuk memimpin pasukan tersebut lalu bersabda: Berangkatlah ke tempat dimana ayahmu disyahidkan.
Sembari memerintahkan untuk pergi ke negeri Syam, bersabda: Berangkatlah dengan cepat, supaya sebelum kalian tiba di sana mereka tidak mendapatkan kabar rencana ini.
Pada pagi harinya lakukanlah serangan ke penduduk Abna, terletak di daerah Balqa, negeri Syam, di dekat Mu-tah dimana terjadi perang Mu-tah sebelumnya. Balqa merupakan daerah di negeri Syam yang terletak diantara Damsyiq dan Wadi’ul Qurra. Berkenaan dengan itu tertulis, ketika di jalan menuju Mesir nanti, terdapat satu tempat di daerah Ghazwa di Palestina.
Hazrat Rasulullah (saw) bersabda: Kelilingilah area tersebut dengan kuda-kuda kalian untuk membalaskan Zaid.
Hazrat Rasulullah (saw) bersabda lebih lanjut kepada Usamah: Bawa juga panunjuk jalan dan tunjuk orang yang akan mencari kabar di sana dan mengabarkan padamu dengan benar. Semoga Allah Ta’ala memberikan kesuksesan kepada kalian dan segera kembali.”[24]
Pada saat terjadinya peristiwa tersebut, Hazrat Usamah masih berumur antara 17 sampai 20 tahun. Hazrat Rasulullah (saw) mengikatkan bendera dengan tangan beliau sendiri untuk Usamah lalu bersabda, يَا أُسَامَةُ اُغْزُ بِسْمِ اللّهِ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَقَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاَللّهِ اُغْزُوَا وَلَا تَغْدِرُوا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَلَا امْرَأَةً وَلَا تَمَنّوْا لِقَاءَ الْعَدُوّ فَإِنّكُمْ لَا تَدْرُونَ لَعَلّكُمْ تُبْتَلَوْنَ بِهِمْ وَلَكِنْ قُولُوا: اللّهُمّ اكْفِنَاهُمْ وَاكْفُفْ بَأْسَهُمْ عَنّا فَإِنْ لَقُوكُمْ قَدْ أَجْلَبُوا وَصَيّحُوا. فَعَلَيْكُمْ بِالسّكِينَةِ وَالصّمْتِ وَلَا تَنَازَعُوا وَلَا تَفْشَلُوا فَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ “Berjihadlah dengan nama Allah di jalan-Nya. Perangilah mereka yang mengingkari Allah…”[25]
Hazrat Usamah berangkat dengan membawa bendera tersebut lalu menyerahkannya kepada Hazrat Buraidah bin al-Hushaibi al-Aslami (بُرَيْدَةَ بْنِ الْحُصَيْبِ الْأَسْلَمِيّ). Lasykar tersebut mulai berkumpul di kawasan Jurf (الْجُرْفِ). Jurf merupakan tempat yang berjarak 3 mil dari Madinah.
Diriwayatkan bahwa lasykar tersebut berjumlah 3 ribu orang. Lasykar tersebut diikuti oleh Muhajirin dan anshar. Lasykar tersebut diikuti oleh para sahabat besar seperti Hazrat Abu Bakr, Hazrat Umar, Hazrat Abu Ubaidah Bin Al Jarrah, Hazrat Saad Bin Abi waqqas. Namun Rasul menunjuk Usamah untuk bertindak sebagai komandan lasykar. Pada saat itu beliau masih berusia antara 17 atau 18 tahun. Ada beberapa orang yang melontarkan keberatan kepada Hazrat Usamah dengan mengatakan, يُسْتَعْمَلُ هَذَا الْغُلَامُ عَلَى الْمُهَاجِرِينَ الْأَوّلِينَ ؟ “Pemuda belia ini dijadikan komandan bagi para muhajirin Awwalin?”
فَغَضِبَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَضَبًا شَدِيدًا، فَخَرَجَ وَقَدْ عَصَبَ عَلَى رَأْسِهِ عِصَابَةً وَعَلَيْهِ قَطِيفَةٌ ثُمّ صَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمّ قَال Mendengar keberatan tersebut, Rasulullah (saw) sangat marah, saat itu beliau tengah mengikat kepala dengan kain saputangan dan menutupi tubuh dengan kain, lalu menaiki mimbar dan bersabda, أَمّا بَعْدُ يَا أَيّهَا النّاسُ فَمَا مَقَالَةٌ بَلَغَتْنِي عَنْ بَعْضِكُمْ فِي تَأْمِيرِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ ؟ وَاَللّهِ لَئِنْ طَعَنْتُمْ فِي إمَارَتِي أُسَامَةَ لَقَدْ طَعَنْتُمْ فِي إمَارَتِي أَبَاهُ مِنْ قَبْلِهِ وَاَيْمُ اللّهِ إنْ كَانَ لِلْإِمَارَةِ لَخَلِيقًا وَإِنّ ابْنَهُ مِنْ بَعْدِهِ لَخَلِيقٌ لِلْإِمَارَةِ وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبّ النّاسِ إلَيّ وَإِنّ هَذَا لَمِنْ أَحَبّ النّاسِ إلَيّ وَإِنّهُمَا لَمُخِيلَانِ2 لِكُلّ خَيْرٍ فَاسْتَوْصُوا بِهِ خَيْرًا فَإِنّهُ مِنْ خِيَارِكُمْ “Wahai manusia! Keberatan seperti apa yang dilontarkan oleh sebagian kalian atas ditetapkannya Usamah sebagai komandan? Seperti halnya kalian berkeberatan atas dipilihnya Usamah sebagai komandan, kalianpun sebelum ini telah berkeberatan atas penetapan ayahnya, Zaid sebagai komandan. Demi Tuhan! Sebagaimana Zaid memiliki kemampuan untuk memimpin, begitu juga Usamah memiliki hal yang sama. Mereka termasuk orang-orang yang sangat saya cintai dan tentunya kedua orang ini layak untuk mendapatkan setiap kebaikan. Peganglah nasihat baik bagi Usamah ini, karena ia termasuk salah satu diantara orang terbaik diantara kalian.”[26]
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 10 bulan Rabiul Awwal, hari sabtu yaitu dua hari menjelang kewafatan Rasulullah (saw). Umat Muslim yang tengah berangkat bersama dengan Hazrat Usamah, berpisah dari Rasulullah (saw) dan ikut serta bersama dengan lasykar. Kesehatan Rasulullah (saw) semakin memburuk, namun Rasulullah (saw) menekankan untuk mengirim Usamah bersama lasykar.
Pada hari Ahad (minggu) keadaan kesehatan Rasul semakin buruk dan ketika Hazrat Usamah kembali menuju lasykar, Rasul dalam keadaan tak sadarkan diri. Pada hari itu orang-orang memberikan obat kepada beliau. Hazrat Usamah menundukkan kepala lalu mengecup Rasulullah (saw). Rasul tak mampu berbicara, lalu beliau mengangkat kedua tangan ke arah langit lalu meletakkannya diatas kepala Usamah. Hazrat Usamah berkata, فَأَعْرِفُ أَنّهُ كَانَ يَدْعُو لِي “Saya beranggapan Rasul tengah mendoakan saya.”
Hazrat Usamah kemudian bersiap pergi menuju lasykar. Pada hari senin Rasulullah (saw) sadarkan diri lalu bersabda kepada Usamah, اُغْدُ عَلَى بَرَكَةِ اللّهِ “Berangkatlah dengan keberkatan Tuhan.”
Hazrat Usamah lalu pamit kepada Rasul dan berangkat dan memerintahkan pasukan untuk berangkat. Saat itu ada orang yang datang membawa pesan dari ibunya, Ummu Ayman yang menyatakan akhir hayat Rasulullah (saw) sudah semakin tampak, keadaan beliau (saw) sudah semakin memprihatinkan. Mendengarkan kabar tersebut, Hazrat Usamah bersama dengan Hazrat umar dan Hazrat Abu Ubaidah kembali hadir kehadapan Rasulullah (saw), saat itu beliau tengah melewati detik-detik terakhir kewafatan.
Pada tanggal 12 bulan Rabiul Awwal [tahun 11 Hijriyyah), di hari senin, setelah matahari terbenam, Rasulullah (saw) wafat, yang karenanya pasukan Muslim kembali dari daerah Juruf ke Madinah lalu Hazrat Buraidah menancapkan bendera Hazrat Usamah di dekat pintu rumah Rasulullah (saw). Setelah baiat kepada Hazrat Abu Bakr, Abu Bakr memerintahkan kepada Hazrat Buraidah untuk membawa bendera tersebut ke rumah Usamah lalu berangkat untuk tujuan semula bersama lasykar yang dipersiapkan oleh Rasulullah (saw). Hazrat Buraidah membawa bendera tersebut dan membawa ke tempat pertama lasykar berada.
Paska kewafatan Rasulullah (saw) telah menyebar kabar kemurtadan di setiap kabilah, baik dikalangan orang-orang khusus ataupun umum di Arab di dalamnya tampak kemunafikan. Pada saat itu Yahudi dan Nasrani melebarkan pandangannya dan sangat bahagia dengan mengatakan, “Apa yang akan terjadi nanti?”
Mereka lalu bersiap-siap untuk membalas dendam.
Disebabkan wafatnya Rasulullah (saw) dan masih sedikitnya jumlah umat Muslim, keadaan yang dialami umat Muslim sangat mencekam. Para sahabat besar memberikan musyawarah kepada Hazrat Abu Bakr, karena keadaan yang sangat mencekam, saat ini baiknya keberangkatan pasukan Usamah ditunda dulu, namun Hazrat Abu Bakr menolaknya dan bersabda: وَاَلّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ ظَنَنْت أَنّ السّبَاعَ تَأْكُلُنِي بِالْمَدِينَةِ لَأَنْفَذْت هَذَا الْبَعْثَ وَلَا بَدَأْت بِأَوّلَ مِنْهُ وَرَسُولُ اللّهِ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ مِنْ السّمَاءِ يَقُولُ أَنْفِذُوا جَيْشَ أُسَامَةَ “Sekalipun hewan buas menyeret dan memakan saya, saya tetap akan mengirim lasykar tersebut sesuai dengan perintah Rasul dan saya akan tetap melaksanakan perintah Rasulullah (saw). Sekalipun tidak ada yang menyertai saya di kampong-kampung, maka tetap saya akan melaksanakan perintah Rasulullah (saw).”[27]
Walhasil, Hz Abu Bakr melaksanakan perintah Rasul sebagaimana mestinya dan sahabat yang ikut dalam lasykar Hazrat Usamah dan diperintahkan oleh Rasul untuk ikut serta di dalamnya, jangan sekali kali mundur dan tidak juga saya akan mengizinkannya untuk mundur.Sekalipun ia harus pergi dengan berjalan kaki, harus tetap pergi. Lalu lasykar bersiap lagi untuk berangkat.
Melihat keadaan yang sangat rentan, beberapa sahabat memberikan musyawarah lagi untuk menunda keberangkatan lasykar. Dalam satu riwayat Hazrat Usamah berkata kepada Hazrat Umar, mohon tuan sampaikan kepada Hazrat Abu Bakr untuk membatalkan keberangkatan lasykar, supaya kita dapat menghadapi orang-orang yang murtad dan juga dapat melindungi Khalifah rasul, para istri Rasul dan umat Muslim dari serangan orang-orang musyrik.
Selain itu beberapa sahabat anshar berkata kepada Hazrat Umar, jika Hazrat Abu Bakr tetap berkeinginan untuk memberangkatkan lasykar, sampaikanlah permohonan kepada beliau untuk menetapkan seorang yang usianya lebih dewasa dari Usamah sebagai komandan. Hazrat Umar berangkat menemui Hazrat Abu Bakr dengan membawa usulan tadi, namun Hazrat Abu Bakr bersabda dengan tekad seperti semula yakni sekalipun binatang buas memasuki Madinah lalu menyeretku, saya tetap tidak akan menghentikan amalan yang Rasulullah (saw) telah perintahkan.
Setelah itu Hazrat Umar menyampaikan pesan dari orang-orang anshar, mendengar hal itu Hazrat Abu Bakr bersabda dengan menggebu, Usamah telah ditetapkan sebagai Amir oleh Rasulullah (saw), lantas kalian meminta saya untuk melepaskan jabatan itu?
Setelah mendengar keputusan akhir dan kekuatan tekad Hazrat Abu Bakr, Hazrat Umar pergi menemui lasykar. Ketika orang-orang bertanya apa yang terjadi, Hazrat Umar berkata dengan nada tinggi: Tinggalkan saya segera, karena kalianlah saya dimarahi oleh Khalifah Rasul.
Ketika lasykar Usamah berkumpul di daerah Jurf berdasarkan perintah Hazrat Abu Bakr, Hazrat Abu Bakr sendiri berangkat kesana, lalu beliau mengevaluasi pasukan, mengatur dan pemandangan ketika berangkat pun sangat mengagumkan. Pada saat itu Hazrat Usamah tengah berada diatas kendaraan, sedangkan Hazrat Abu Bakr, yang merupakan Khalifatur Rasul berjalan kaki.
Hazrat Usamah bertanya: Wahai Khalifah Rasul, jika tuan tidak menaiki kendaraan, izinkan saya turun dan berjalan kaki juga.
Hazrat Abu Bakr bersabda: Demi Tuhan! Kamu tidak boleh turun dan saya juga tidak akan naik kendaraan. Tidak bolehkah saya mengotori kedua kaki saya untuk melangkah dijalan Allah walaupun beberapa saat? Sebab, ketika seorang pejuang melangkahkan kaki, sebagai ganjarannya dituliskan 700 kebaikan baginya dan akan dianugerahkan kepadanya 700 derajat ketinggian dan 700 keburukannya akan dihilangkan.
Untuk melakukan banyak pekerjaan, Hazrat Abu Bakr membutuhkan bantuan Hazrat Umar. Bukannya melarang beliau, Hazrat Abu Bakr sendiri meminta izin kepada Hazrat Usamah supaya Hazrat Umar menemani Hazrat Abu Bakr di Madinah. Hazrat Usamah mengucapkan labbaik pada perintah Khalifah dengan mengizinkan Hazrat Umar bersama dengan Hazrat Abu Bakr.
Setelah peristiwa tersebut, kapanpun Hazrat Umar jumpa dengan hazrat Usamah selalu mengucapkan: Assalamualaika Ayyuhal Amiir yakni Wahai Amir! Semoga kedamaian tercurah kepada engkau.
Sebagai jawabannya Hazrat Usamah berkata: Ghafarallaahu laka yaa amiirul mu’miniin. Artinya Wahai Amirul Mukminiin semoga Allah Ta’ala menganugerahkan magfirahnya kepada tuan.
Hazrat Abu Bakr menasihatkan lasykar dengan kalimat, “Janganlah berkhianat, jangan melanggar janji, jangan mencuri, jangan memutilasi, jangan membunuh anak-anak, wanita, orang tua, jangan merusak pohon kurma dan jangan juga membakarnya, janganlah menyembelih, unta, sapi, kambing kecuali untuk dimakan.”
Beliau bersabda, “Kalian pasti akan melewati suatu kaum yang telah mewakafkan dirinya untuk beribadah di gereja gereja, tinggalkan mereka. Kalian juga akan mendapati orang-orang yang membawa beragam makanan dalam wadah-wadah, jika kamu memakannya, makanlah dengan membaca bismillah terlebih dahulu. Kalian pasti akan memasuki suatu kaum yang meniadakan rambutnya pada bagian tengah, namun mereka menyisakan rambut pada bagian keempat sisinya seperti gasing, lalu kalian lukai saja sedikit mereka dengan pedang dan lindungilah diri dengan nama Allah. Semoga Allah Ta’ala melindungi kalian dari wabah thaun.”
Hazrat Abu Bakr bersabda kepada Hazrat Usamah, أَسْتَوْدِعُ اللّهَ دِينَك وَأَمَانَتَك وَخَوَاتِيمَ عَمَلِك; إنّي سَمِعْت رَسُولَ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوصِيك، فَانْفُذْ لِأَمْرِ رَسُولِ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنّي لَسْت آمُرُك وَلَا أَنْهَاك عَنْهُ وَإِنّمَا أَنَا مُنْفِذٌ لِأَمْرٍ أَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “Apa yang Rasul perintahkan padamu, lakukan semuanya…”
Dari semua itu tampak Hazrat Abu Bakr menekankan adab peperangan secara Islami, jangan berbuat zalim, berarti beliau meyakini akan kemenangan lasykar tersebut, untuk itu beliau bersabda, kalian akan mendapatkan kesuksesan.
Pada 1 Rabiul Akhir, 11 Hijri Hazrat Usamah berangkat. Hazrat Usamah berangkat bersama dengan lasykar beliau dari Madinah menempuh berbagai tahapan lalu sesuai dengan perintah Rasul, mereka sampai di daerah Abna, Syam. Ketika tiba waktu pagi beliau melancarkan serangan ke berbagai penjuru negeri itu. Yel-yel yang dikumandangkan pada pertempuran tersebut adalah, يَا مَنْصُورُ أَمِتْ ‘Ya manshuru amit!’ – “Wahai yang mendapat pertolongan, bertempurlah.” Dalam pertempuran tersebut siapapun yang bertarung dengan mujahid Islam, akhirnya terbunuh dan banyak sekali tawanan yang didapat dan banyak juga harta rampasan yang diraih yang dari antaranya mereka menyimpan seperlimanya dan sisianya dibagikan kepada pasukan dan orang yang berkendaraan mendapat bagian dua kali lipat disbanding dengan orang yang berjalan. Setelah selesai dari pertempuran tersebut, suatu hari lasykar bermalam di daerah itu lalu menempuh perjalanan ke Madinah pada hari berikutnya.
Hazrat Usamah mengirimkan kabar ke Madinah. Dalam pertempuran tersebut tidak ada satu pun pasukan Muslim yang syahid. Ketika lasykar yang menang itu tiba di Madinah, Hazrat Abu Bakr bersama dengan Muhajirin dan Anshar keluar dari Madinah untuk menyambut pasukan. Hazrat Buraidah berjalan didepan lasykar sambil memegang bendera. Sesampainya di Madinah, lasykar langsung menuju masjid Nabawi. Hazrat Usamah melaksanakan dua rakaat shalat nafal di Masjid lalu pergi ke rumahnya. وَكَانَ مَخْرَجُهُ مِنْ الْجُرْفِ لِهِلَالِ شَهْرِ رَبِيعٍ الْآخِرِ سَنَةَ إحْدَى عَشْرَةَ فَغَابَ خَمْسَةً وَثَلَاثِينَ يَوْمًا، عِشْرُونَ فِي بَدْأَتِهِ وَخَمْسَةَ عَشَرَ فِي رَجْعَتِهِ Berdasarkan beragam riwayat lainnya, lasykar ini kembali ke Madinah setelah melewati 40 sampai dengan 70 hari.[28]
Diutusnya pasukan Usamah sangat memberikan manfaat bagi umat Muslim karena penduduk Arab mulai mengatakan, jika umat Muslim tidak memiliki kekuatan, maka mereka sama sekali tidak akan mengutus lasykar ini. Dengan begitu kaum kuffar menghentikan berbagai perbuatan yang ingin mereka timpakan kepada umat Muslim. Dengan karunia Allah Ta’ala dan pertolonganNya, Hazrat Usamah berhasil melaksanakan seluruh perintah Rasulullah (saw) dan dari sisi pengaturan dan strategi perang telah membuktikan kesuksesan yang gemilang dalam misi tersebut.
Nabi (saw) pernah bersabda bahwa Usamah adalah pemimpin terbaik. Karunia Allah Ta’ala, buah pengabulan doa-doa Hazrat Rasulullah (saw) dan Khalifah beliau (saw) serta keberkatannya telah membuktikan bahwa Hazrat Usamah pun tidak hanya seperti ayahnya yang syahid, dalam hal memiliki kemampuan memimpin, bahkan dalam sifat-sifat tersebut beliau memiliki maqam yang tinggi. Ini juga merupakan tekad dan semangan Khalifah yang kuat yang mana meskipun menghadapi resiko dan keberatan internal maupun eksternal, beliau tetap mengirimkan lasykar tersebut dan Allah Taala menganugerahkan kesuksesan. Pelajaran pertama yang diberikan kepada umat Islam adalah Paska kewafatan Hazrat Rasulullah (saw), segenap keberkatan semata-mata terdapat dalam ketaatan kepada Khilafat.
Hazrat Masih Mau’ud (as) juga menjelaskan peristiwa ini di dalam buku beliau, Sirrul Khilafah. Walhasil, Hazrat Zaid dan putranya Hazrat Usamah adalah kekasih junjungan kita tercinta Hazrat Rasulullah (saw). Semoga rahmat yang tidak terhingga dan keberkatan tercurah kepada beliau.
Setelah shalat Jum’at saya akan memimpin dua shalat jenazah ghaib. Jenazah yang pertama Mukaram Shidiq Adam Danbiya Sahib, Mubaligh Ivory Coast (Pantai Gading di benua Afrika). Beliau sakit dalam waktu yang cukup lama, tahun yang lalu beliau juga menjalani operasi prostat. Demikian pula ada masalah pada ginjal beliau sehingga terus menerus melakukan cuci darah. Sejak lama beliau menetap di Abijan untuk proses pengobatan. Di hari-hari terakhir dikarenakan keadaan yang sangat parah beliau dibawa ke Military Hospital, yang mana kemudian beliau wafat pada tanggal 14 Juni. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Shidiq Adam Sahib lahir pada tahun 1950 di satu kampung di Ivory Coast yang bernama Losangge. Menjelang tahun 1977 beliau bergabung dengan Ahmadiyah. Diantara orang-orang yang beliau tinggalkan selain istri beliau juga ada 7 orang puteri dan 2 orang putera. Kemudian pada tahun 1981 setelah mewaqafkan diri, beliau bersama dua orang temannya melakukan perjalanan ke Pakistan dengan berjalan kaki untuk menuntut ilmu. Setelah melalui kesulitan-kesulitan dalam perjalanan selama satu tahun, beliau tiba di Rabwah pada tahun 1982 dan mulai belajar di Jamiah. Setelah menempuh pendidikan di Jamiah pada tahun 1985-1986, beliau kembali ke Ivory Coast dan sampai akhir hayatnya beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai mubaligh di berbagai negara di Afrika Barat selama lebih dari 30 tahun.
Berikut sedikit rincian mengenai perjalanan beliau ke Pakistan, diriwayatkan bahwa pada tahun 1970 ketika Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits r.h. melakukan lawatan ke Ghana, maka kunjungan Hadhrat Khalifatul Masih ini telah sedemikian rupa menciptakan suatu perubahan di dalam ruh beliau dan betul-betul menciptakan suatu revolusi.
Sesampainya di Ivory Coast beliau membuat passport. Dan kemudian diriwayatkan bahwa beliau bersama seorang temannya mulai berusaha untuk melakukan perjalanan ke Pakistan demi mengunjungi Hadhrat Khalifatul Masih. Pada masa itu, seorang pemuda dari Mali – yang sekarang menjadi mubaligh kita – datang ke tempat yang belakangan menjadi Masjid Abijan dan beliau menerima Ahmadiyah dengan berdasarkan suatu rukya yang beliau lihat, lalu beberapa hari kemudian mengungkapkan keinginan kerasnya untuk melihat kota Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan bermulaqat dengan Khalifatul Masih.
Singkatnya, demikianlah ketiga orang ini memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Pakistan.Pada 20 Agustus 1981 mereka memulai perjalanan mereka. Setelah berangkat dari Ivory Coast sampailah mereka di tujuan pertama mereka, yaitu Ghana. Di sana mereka bertemu dengan Wahab Adam Sahib, Amir Missionary In Charge. Setelah berdoa, mereka dari Togo transit di Benin, lalu sampailah mereka di kota Lagos, Nigeria. Setelah singgah di rumah misi di sana mereka lalu berangkat menuju Kamerun. Missionary In Charge Nigeria juga melepas mereka dengan doa dan memberikan sedikit bantuan dana.
Kemudian setelah melewati Kamerun mereka masuk ke Chad. Di sana mereka harus merasakan penderitaan ditahan, akan tetapi mereka dengan sabar dan semangat tetap melanjutkan perjalanan mereka. Sepertinya mustahil melanjutkan perjalanan dari Chad, akan tetapi bagaimana Allah Ta’ala memberikan petunjuk melalui perantaraan mimpi bahwa hendaknya bergabunglah dalam militer.Oleh karena itu mereka berusaha untuk bergabung dalam militer Libya dan pada kesempatan itu Allah Ta’ala memberikan pertolongan secara gaib dan menjadikan yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Suatu ketika terjadi, pihak pemerintah Libya ingin mendeportasi mereka, namun Tuhan Yangadalah Sebaik-baik Perencana telah menciptakan suatu keadaan, di mana tidak hanya perintah deportasi itu telah dicancel, bahkan mereka bergabung dalam militer Libya sebagai sukarelawan dan melaksanakan tugas penjagaan perbatasan di Libanon selama kurang lebih 8 bulan. Ketika perang telah selesai maka mereka menyampaikan kepada atasan mereka keinginan untuk pergi ke Pakistan.
Atasan tersebut berkata, “Tinggallah dengan kami untuk beberapa lama lagi, setelah itu anda akan dibuatkan passport internasional dan akan dikirimkan ke Amerika. Daripada pergi ke Pakistan lebih baik anda pergi Amerika.”
Sambil berterimakasih mereka menolak dengan halus tawaran ini dan berkata, “Kami ingin pergi ke Pakistan dengan tujuan menuntut ilmu.” Kedutaan besar Pakistan menolak untuk memberikan visa, akan tetapi Allah Ta’ala melalui perantaraan atasan militer mereka telah menyediakan tiket pesawat untuk tujuan Karachi, dan demikianlah pada tanggal 27 November 1982 mereka tiba di bandara. Pertolongan ilahi kembali nampak. Atasan tersebut mengenalkan mereka kepada seorang polisi, bahwa mereka ini sedang pergi ke Pakistan untuk tujuan belajar ilmu Islam. Ia meminta darinya segala pertolongan yang memungkinkan untuk mereka. Demikianlah polisi itu sangat membantu mereka.
Pada malam hari pesawat berangkat dari Damaskus dan pagi harinya tiba di Karachi. Sekarang mereka tiba di Karachi, namun masih ada kekhawatiran mengenai visa. Setelah berdoa kemudian mereka meletakkan passport di hadapan Polisi untuk dilakukan kontrol. Terjadilah tanya jawab. Mereka menyampaikan tujuan kedatangan mereka ke Pakistan untuk belajar, maka Polisi mencap dan menandatangani di atas passport. Kemudian polisi itu bertanya, “Kemana kalian hendak pergi?”
Mereka menjawab, “Kami hendak pergi ke Rabwah”. Lalu ia berkata, “Apa-apaan ini, kalian orang Qadiani?”
Ia berubah pikiran dan hendak menbatalkan cap tadi. Seorang temannya berkata, “Kalau mereka Qadiani memangnya kenapa? Mereka datang untuk belajar. Biarkan mereka pergi.”
Singkatnya, mereka begitu gembira akan sampai di Rabwah dan diliputi keinginan besar untuk bertemu dengan Khalifatul Masih, tidak terlintas di pikiran mereka untuk mencari tahu apakah di Karachi ada Jema’at, jika ada lalu di mana? Dan apakah ada anggota? Jika ada maka bisa menemuinya sehingga akan ada kemudahan-kemudahan. Alih-alih menghubungi Jema’at setempat, mereka malah langsung pergi ke stasiun kereta dan di sanamereka memesan tiket untuk ke Rabwah. Petugas karcis di sana pun seorang yang licik dan fanatik. Ia berkata, “Kami tidak menjual tiket kepada orang Ahmadiyah. “ Dan setelah berdebat sengit selama 2 jam mereka akhirnya bersedia membayar tiket itu dengan harga dua kali lipat, namun tiket ini pun adalah untuk kereta yang paling murah dan memakan waktu 24 jam untuk bisa sampai dari Karachi ke Rabwah.
Singkatnya setelah perjalanan yang sulit dengan keinginan kuat untuk bertemu dengan Khalifatul Masih Ats-tsalits akhirnya tibalah mereka di Rabwah. Sesampainya di Rabwah mereka pergi ke Darul Dhiafat. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi dan ketika mereka mendengar kata “Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’” berulang-ulang dari mulut orang-orang, mereka menjadi bingung dan dengan berkomunikasi dengan orang-orang kemudian mereka menjadi tahu bahwa Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits telah wafat dan sekarang Khalifatul Masih Al-Rabi’ lah yang memegang maqom khilafat. Singkatnya terjadilah mulaqat mereka dengan Huzur.
Pada tahun 1982 beliau masuk ke Jamiah Ahmadiyah. Setelah menyelesaikan pendidikan dari Jamiah beliau pulang ke Ivory Coast dan dari sana beliau ditugaskan oleh Jema’at ke berbagai negara. Tahun 87 hingga 91 beliau di Ivory Coast. Tahun 91 hingga 92 beliau di Nigeria. Tahun 92 hingga 94 di Benin. Tahun 94 hingga 96 di Togo dan dari tahun 96 hingga wafat beliau tetap di Ivory Coast.
Basith Sahib Mubaligh Ivory Coast menulis, “Sidiq Adam Sahib adalah seorang pecinta sejati Khilafat dan Khadim Jema’at yang mukhlis. Untuk waktu yang lama saya mendapat kesempatanbekerja bersama beliau. Beliau seorang yang rajin tahajud dan sering mendapatkan rukya. Beliau mahir dalam mena’birkan mimpi dan seringkali orang-orang yang mengenal beliau meminta beliau menjelaskan arti dari mimpi-mimpi mereka. Dengan dawam beliau mengirimkan laporannya ke sini dan ke markaz.
Dan beliau pun menulis surat kepada saya, demikian juga surat-surat permohonan doa dan beliau menulis surat-surat itu dalam bahasa Urdu. Ini adalah kebiasaan beliau. Beliau seorang yang sangat saleh dan berdisiplin waktu, bertanggung jawab, selalu disiplin dalam hal waktu, dan tugas apa pun yang diberikan beliau selalu berusaha untuk menyelesaikannya tepat waktu. Tidak pernah takut dengan perjalanan yang panjang/jauh.
Beliau bertabligh dengan cara yang menarik hati. Beliau membahas mengenai fitnah dajjal, kemunculannya dan tanda-tandanya, serta kerusakan-kerusakan yang terjadi di zaman ini, lalu menjelaskan mengenai kemunculan Imam Mahdi. Orang-orang yang mendengarkan tidak mungkin tidak menyukai cara penjelasan beliau dan beliau seringkali meraih kesuksesan dalam pertablighan. Di North Region Allah Ta’ala telah menganugerahkan ribuan buah.sebagai hasil dari perjalanan tabligh beliau.
Beliau sering menceritakan mengenai perjalanan beliau ke Pakistan dan banyaknya karunia-karunia Allah Ta’ala yang turun. Dan beliau pun mengemukakan ini sebagai tanda kebenaran Ahmadiyah, bahwa bagaimana di negeri yang jauh pun Allah Ta’ala telah menganugerahkan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. Sulthaan Nashiir-Nya yang senantiasa siap memberikan pengorbanan di jalan ini dan kemudian Allah Ta’ala memberikan karunia-Nya dan memberikan dukungan dan pertolongan kepada Mahdi-Nya yang tercinta. Cara penyampaian beliau yang jadi pembicaraan di sana merupakan suatu daya tarik yang khas untuk beliau. Beliau juga menyampaikan program live melalui radio dan merupakan program yang berkualitas tinggi dan sangat digemari.”
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada beliau ampunan dan rahmat-Nya, meninggikan derajat beliau dan menganugerahkan kepada putera-puteri beliau kesabaran dan semangat, dan semoga mereka diberikan taufik untuk melanjutkan kebaikan-kebaikan almarhum.
Jenazah yang kedua Mian Ghulam Mushtofa Sahib Meerak dari Distrik Okara (Pakistan) yang wafat pada tanggal 24 Juni pada usia 83 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Almarhum adalah ahmadi keturunan dan memiliki kesenangan yang istimewa terhadap ibadah. Seseorang yang rajin shalat berjama’ah dan shalat tahajud. Beliau sendiri yang mengumandangkan azan subuh di mesjid beliau. Beliau membangunkan semua anggota keluarga beliau pada waktu shalat subuh dan Allah Ta’ala memberikan kepada beliau taufik untuk melaksanakan puasa ramadhan hingga akhir hayat beliau.
Beliau gemar bertabligh. Beliau dalam corak apapun selalu menyampaikan pesan Jema’at kepada setiap orang yang beliau temui. Beliau seorang yang supel, sangat soleh dan mukhlis. Memiliki jalinan yang kuat dengan Khalifah. Beliau menyimak khutbah Jum’at dengan dawam dan menekankan juga hal ini kepada anak-anak beliau. Beliau selalu terdepan dalam mengkhidmati tamu-tamu pusat dan memberikan pengorbanan harta.
Beliau juga mendapatkan taufik untuk membuat sumur untuk orang-orang yang kehausan di Tharparkar. Perhitungan wasiyatnya telah beliau lunasi ketika masih hidup. Beberapa tahun yang lalu beliau pun mendapatkan taufik untuk memberikan rumah beliau kepada Jema’at dan beliau sendiri tinggal di suatu kamar berukuran kecil di dalam masjid, dan rumah beliau tersebut digunakan sebagai rumah mubaligh. Almarhum adalah seorang mushi.
Diantara orang yang ditinggalkan antara lain 5 puteri dan 3 putera. Beliau adalah ayah dari Ghulam Murtaza Sahib, Mubaligh Burundi yang saat ini tengah sibuk di medan tugas dan tidak bisa ikut serta dalam shalat jenazah ayah beliau, demikian juga ketika ibu beliau wafat. Dengan sabar Ghulam Murtaza Sahib melewati dua peristiwa duka tersebut. Semoga Allah Ta’ala meningkatkan kesabaran beliau dan menganugerahkan kepada beliau taufik untuk menunaikan waqaf beliau dengan kesetiaan.
Cucu beliau, Qasim Mushtofa Sahib dan Safiruddin Sahib adalah mubaligh. Demikian juga seorang cucu beliau yang bernama Bilal Ahmad adalah seorang Waqfenou dan tahun ini setelah menjadi dokter berangkat ke medan pengkhidmatan. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan kepada beliau dan meninggikan derajat beliau. Ghulam Murtaza Sahib yang adalah seorang mubaligh di luar negeri dan tengah sibuk menyampaikan pesan Allah Ta’ala dan oleh karenanya sebagaimana telah saya sampaikan tidak bisa ikut serta dalam shalat jenazah, semoga Allah Ta’ala memberikan kepada beliau taufik untuk dapat melewati kesedihan dengan sabar. Setelah jum’at insya Allah saya akan memimpin shalat jenazah gaib keduanya.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah : Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Hashim (Indonesia);
Editor: Dildaar Ahmad Dartono (Indonesia).
Rujukan komparasi pemeriksaan naskah: www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1]Sharhul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī,Volume 3, p. 18, Ghazwatul-Khandaqi Wa Hiyal-Aḥzābu, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon,First Edition (1996)
Sariyyah: A military campaign,expedition or war in which the HolyProphet sa did not participate. (Sariyyah ialah sebuah kampanye perang atau sebuah ekspedisi perjalanan atau sebuah perang yang tidak diikuti oleh Rasulullah (saw).)
[2]Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 293, Sariyyatu Zaid-ibni Ḥārithata IlāBanī Sulaimin Bil-Jamūmi, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
Sariyyah of Zaid bin Ḥārithah to Banī Sulaim -Rabī‘ul-Ākhir 6 A.H.
[3]Ath-thabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 293, Sariyyatu Zaid-ibni Hārithata Ilal-‘Īsh, Dāru Ihyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
[4]Ath-Thabaqātul-Kubrā, By Muhammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 293, Sariyyatu Zaid-ibni Hārithata Ilāl Hismā, Dāru Ihyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996); Sharhul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusthalānī,Volume 3, p. 130, Sariyyatuhū Ilā Ḥismā, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition(1996)
[5]Sharhul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī,Volume 3, p. 130, Sariyyatuhū Ilā Hisma, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition(1996)
[6]The same Dihyah ra about whom the Holy Prophet sa stated that ‘I saw Gabrielas in his likeness.’
[7]Ath-Thabaqātul-Kubrā, By Muhammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 293, Sariyyatu Zaid-ibni Hārithata Ilāl Hismā, Dāru Ihyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
[8]Ath-Thabaqātul-Kubrā, By Muhammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 293, Sariyyatu Zaid-ibni Hārithata Ilāl Hismā, Dāru Ihyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)
[9]Sharhul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī,Volume 3, p. 130, Sariyyatuhū Ilā Hisma, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition(1996)
[10]Sharhul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī,Volume 3, p. 130, Sariyyatuhū Ilā Hisma, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition(1996)
[11]Sirah KhatamanSeal of the Prophets – Volume III, Sariyyah of Zaid bin Harithah (ra)to Wādi’ul-Qurā -Rajab 6 A.H.
[12]Raja di Basra dan Raja al-Ghassani di sebuah wilayah di Syam (wilayah Suriah dsk) ialah raja-raja Arab Kristen bawahan kekaisaran Romawi. Kitab al-Maghazi menyebutkan: غَزْوَةُ مُؤْتَةَ حَدّثَنَا الْوَاقِدِيّ قَالَ حَدّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ عُثْمَانَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ الْحَارِثَ بْنَ عُمَيْرٍ الْأَزْدِيّ ثُمّ أَحَدَ ب َنِي لَهَبٍ ، إلَى مَلِكِ بُصْرَى بِكِتَابٍ فَلَمّا نَزَلَ مُؤْتَةَ عَرَضَ لَهُ شُرَحْبِيلُ بْنُ عَمْرٍو الْغَسّانِيّ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ ؟ قَالَ الشّامَ . قَالَ لَعَلّك مِنْ رُسُلِ مُحَمّدٍ ؟ قَالَ نَعَمْ أَنَا رَسُولُ رَسُولِ اللّهِ . فَأَمَرَ بِهِ فَأُوثِقَ رِبَاطًا ، ثُمّ قَدّمَهُ فَضَرَبَ عُنُقَهُ صَبْرًا .
[13] HR Ahmad no 22551 dan 22566
[14] Shahih al-Bukhari, Kitab Jihad dan perjalanan, bab mengharap kesyahidan (باب: تمني الشهادة.).
Peperangan terjadi di tempat yang amat jauh dari Madinah yaitu di Mu-tah, di wilayah Yordania sekarang. Sebelum pasukan pulang atau mengutus kurir untuk memberikan laporan, Nabi (saw) telah lebih dahulu menceritakan jalannya peperangan kepada para Sahabat yang ada di Madinah.
[15] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d (الطبقات الكبرى لابن سعد), (طَبَقَاتُ الْبَدْرِيِّينَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ), (الطبقة الأولى على السابقة فِي الْإِسْلَام).
[16]Al-Mustadrak ‘alash Shahihain. Juga dalam Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), (كتاب الجنائز ), (باب ما ينهى من النوح والبكاء والزجر عن ذلك ), nomor 1256.
[17] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d (الطبقات الكبرى لابن سعد), (طَبَقَاتُ الْبَدْرِيِّينَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ), (الطبقة الأولى على السابقة فِي الْإِسْلَام).
[18] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d (الطبقات الكبرى لابن سعد), (طَبَقَاتُ الْبَدْرِيِّينَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ), (الطبقة الأولى على السابقة فِي الْإِسْلَام).
[19]Shahihul-Bukhārī, Kitābu Fadhā’ili Ash-hābin-Nabiyyi saw (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), Bābu Manaqib Zaid-ibni Hārithata – bab keutamaan Zaid putra Haritsah (باب مَنَاقِبُ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ مَوْلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم), Hadīth No. 3735; Hadits Ahmad No.20788; juga dalam Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), (كِتَاب الْأَدَبِ) (باب وَضْعِ الصَّبِيِّ عَلَى الْفَخِذِ); Hadhrat Usamah meriwayatkan:كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْخُذُنِي فَيُقْعِدُنِي عَلَى فَخِذِهِ وَيُقْعِدُ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ عَلَى فَخِذِهِ الْأُخْرَى ثُمَّ يَضُمُّنَا ثُمَّ يَقُولُ “Nabi Allah mengajakku lalu mendudukkanku diatas lutut beliau dan mendudukkan al-Hasan bin ‘Ali diatas lutut sebelah beliau kemudian beliau merangkul kami dan bersabda: اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمَا فَإِنِّي أَرْحَمُهُمَاAllahummarham humaa fa-inni arhamuhumaa ‘Ya Allah! kasihilah mereka berdua karena sesungguhnya saya menyayangi mereka berdua.’
Al-Mu’jamul Kabir, karya Imam ath-Thabrani, Hadits 2576, Darul Ihya wat turats al-‘Arabi, Beirut, 2002; Hadhrat Usamah meriwayatkan: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْخُذُنِي وَالْحُسَيْنَ ، فَيَقْعُدُ أَحَدُنَا عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَالآخَرُ عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى ، وَيَقُولُ : ” اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُمَا فَأَحِبَّهُمَا “ “Rasul Allah mengajakku lalu mendudukkanku diatas lutut beliau yang dan mendudukkan al-Husain bin ‘Ali diatas lutut beliau yang sebelah kemudian beliau merangkul kami dan bersabda: اللَّهُمَّ ارْحَمْهُمَا فَإِنِّي أَرْحَمُهُمَاAllahummarham humaa fa-inni arhamuhumaa ‘Ya Allah! kasihilah mereka berdua karena sesungguhnya saya menyayangi mereka berdua.’
[20] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain
[21] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain
[22] Al-Mustadrak ‘alash Shahihain
[23] Usamah bin Zaid pernah datang kepada Nabi (saw) untuk mengikuti perang Uhud, namun ditolak Nabi (saw) dan disuruh pulang karena belum cukup umur (masih 12-13). Usamah pun pulang bersama teman-temannya yang belum cukup umur sambil menangis. Beberapa tahun kemudian, Usamah diterima untuk mengikuti perang Khandaq, Hunain dan Mu-tah. Di perang Mu-tah yang dikomandani ayahnya, Zaid bin Haritsah pada 8 Hijriyyah.
[24] Al-Maghazi karya Muhammad bin Umar al-Waqidi: يَا أُسَامَةُ سِرْ عَلَى اسْمِ اللّهِ وَبَرَكَتِهِ حَتّى تَنْتَهِيَ إلَى مَقْتَلِ أَبِيك، فَأَوْطِئْهُمْ الْخَيْلَ فَقَدْ وَلّيْتُك عَلَى هَذَا الْجَيْشِ فَأَغِرْ صَبَاحًا عَلَى أَهْلِ أُبْنَى وَحَرّقْ عَلَيْهِمْ وَأَسْرِعْ السّيْرَ تَسْبِقْ الْخَبَرَ، فَإِنْ أَظْفَرَك اللّهُ فَأَقْلِلْ اللّبْثَ فِيهِمْ وَخُذْ مَعَك الْأَدِلّاءَ وَقَدّمْ الْعُيُونَ أَمَامَك وَالطّلَائِعَ
[25] Al-Maghazi karya Muhammad bin Umar al-Waqidi
[26] Al-Maghazi karya Muhammad bin Umar al-Waqidi
[27] Al-Maghazi karya Muhammad bin Umar al-Waqidi; Mukhtasar Siratur Rasul (مُخْتَصَرُ سِيْرَةِ الْرَّسُوْلِ صَلَّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (لِشَيخِ الإِسلامِ محمَّدِ بْنِ عَبدِ الوَهَّابِ رَحمِهُ اللهُ تَعَالَى). وَاَلّذِي لَا إلَهَ إلّا هُوَ لَوْ جَرّتْ الْكِلَابُ بِأَرْجُلِ أَزْوَاجِ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَا رَدَدْت جَيْشًا وَجّهَهُ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ . وَلَا حَلَلْت لِوَاءً عَقَدَهُ . فَوَجّهَ أُسَامَةَ
[28] Al-Maghazi karya Muhammad bin Umar al-Waqidi