Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 13 September 2019 (13 Tabuk 1398 Hijriyah Syamsiyah/14 Muharram 1441 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK (Britania Raya)
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Pada hari ini saya pun akan menyampaikan perihal sahabat Badar. Namun sebelum itu, dalam kesempatan ijtima Ansharullah ini, saya ingin sampaikan bahwa para sahabat Rasulullah (saw) yang diantaranya termasuk sahabat anshar dan muhajirin juga, ketika masuk Islam, mereka berhasil menciptakan perubahan suci dalam diri dan memperlihatkan teladan yang mengagumkan, yang mana tidak hanya pengorbanan bahkan dalam dalam standar tinggi ketakwaan, keikhlasan dan kesetiaan. Begitu juga sebagian besar hadirin yang ada disini saat ini adalah berusia ansharullah, selain Ansharullah anda juga adalah muhajirin (orang yang hijrah). Untuk itu hendaknya senantiasa mengevaluasi diri, sejauh mana kita dapat menerapkan contoh teladan para sahabat?
Setelah pengantar ini, saya akan masuk kepada tema inti. Sahabat pertama yang akan disampaikan adalah Hazrat Nu’man bin Amru (النَّعْمَانُ بن عَمْرو بن رِفَاعَةَ الأنصاريّ) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu. Diriwayatkan Hazrat Nu’man disebut dengan nama Nu’man (النَّعْمَانُ بن عَمْرو) sementara dalam riwayat lain bernama Nu’aiman (نعيمان). Ayah beliau bernama Amru Bin Rifa’ah (عمرو بن رفاعة بن الحارث بن سواد بن مالك بن غنم بن مالك بن النجار الأنصاريّ) dan ibunda beliau bernama Fatimah Binti Amru bin ‘Athiyyah (فاطمة بنت عمرو بن عطيّة بن خنساء بن مَبْذول بن عمرو من بني مازن بن النجّار). Nama nama-anak Hazrat Nu’aiman ialah Muhammad, Amir, Sabrah, Lubabah, Kabsyah, Maryam, Ummu Habib, Amatullah dan Hakimah.[1]
Menurut sejarawan Ibnu Ishaq, Hazrat Nu’aiman termasuk kedalam 70 Anshar yang ikut serta pada Baiat Aqabah kedua. Hazrat Nu’aiman ikut serta pada perang Badar, Uhud, Khandaq dan seluruh peperangan lainnya bersama dengan Rasulullah (saw).
Dalam satu riwayat, Rasulullah (saw) bersabda, لا تَقُولُوا لِنُعَيْمَانَ إِلا خَيْرًا فَإِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ “Jangan katakan sesuatu kepada Nu’aiman kecuali kebaikan karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”[2]
Beliau wafat pada masa kekuasaan Hazrat Muawiyah tahun 60 Hijriyah.
Hazrat Ummu Salamah meriwayatkan, خرج أبو بكر الصَّديق رضي الله عنه في تجارةٍ إلى بصرى قبل موت النّبي صَلَّى الله عليه وسلم بعامٍ، ومعه نُعيمان وسُوَيْبِط بن حَرملة، وكانا قد شهدا بدرًا “Setahun sebelum kewafatan Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, Hazrat Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyaLlahu ta’ala ‘anhu pergi ke Boshra (بُصْرَى) untuk berdagang.”[3]
Boshra merupakan kota tua terkenal di negeri Syam. Rasulullah (saw) pernah tinggal di kota tersebut [saat masih remaja] ketika melakukan perjalanan dagang ke Syam bersama paman beliau. Begitu juga ketika beliau (saw) – sudah dewasa dan belum mendapat tugas kenabian – membawa barang dagangan Hazrat Khadijah ke Syam – Syria dan sekitarnya -, saat itu juga beliau tinggal di sana. Dalam perjalanan tersebut ikut serta juga budak beliau Hazrat Khadijah bernama Maisarah.
“Hazrat Nu’aiman (نُعيمان) dan Hazrat Suwaibith bin Harmalah juga ikut serta bersama Hazrat Abu Bakr. Kedua orang ini ikut juga pada perang Badr. Hazrat Nu’aiman bertugas sebagai pengawas perbekalan dan mengatur pembagian makanan.”
Dalam perjalanan tersebut dikisahkan ketika kawan beliau bergurau dengan menjual beliau kepada suatu kaum. Telah saya ceritakan juga di khotbah beberapa waktu lalu tentang Hadhrat Suwaibith (ra). Hari ini saya sampaikan sekali lagi. Hazrat Suwaibith adalah seorang yang suka bercanda, bahkan dari beberapa riwayat dapat diketahui bahwa keduanya yakni Hazrat Nu’aiman dan Hazrat Suwaibith sangat akrab dan suka bergurau.
وكان نعيمان على الزاد فقال له سويبط وكان رجلا مزاحا Hazrat Suwaibith seorang humoris. Hazrat Suwaibith berkata kepada Hazrat Nu’aiman yang bertugas menjaga perbekalan dan makanan, أَطْعِمْنِي ‘Berikan saya makanan.’
Hazrat Nu’aiman menjawab, لَا ، حَتَّى يجيء أَبُو بَكْرٍ ‘Saya tidak dapat memberikan makanan, sebelum Hazrat Abu Bakr datang.’
Hazrat Suwaibith berkata, أما والله لأغيظنك ‘Jika kamu tidak memberikan saya makanan, saya akan membuatmu marah.’
Sebelum ini pun pernah saya sampaikan kisah ini secara singkat.
Ketika dalam perjalanan itu lewatlah suatu kaum di dekat mereka, Suwaibith berkata kepada kaum tersebut, تشترون مني عبدا ‘Apakah kalian akan membeli budak belianku?’
(Percakapan ini mungkin beberapa hari kemudian, atau ketika perjalanan saat itu, atau beberapa saat kemudian)
Mereka menjawab, ‘Ya.’
Suwaibith berkata, إِنَّهُ عَبْدٌ لَهُ كَلاَمٌ. وَهُوَ قَائِلٌ لَكُمْ: إِنِّي حُرٌّ. فَإِنْ كُنْتُمْ، إِذَا قَالَ لَكُمْ هذِهِ الْمَقَالَةَ، تَرَكْتُمُوهُ، فَلاَ تُفْسِدُوا عَلَيَّ عَبْدِي ‘Budak tersebut banyak bicara, tolong dicamkan, dia akan terus mengatakan bahwa dia merdeka bukan hamba sahaya, jika ia mengatakan itu kepada kalian, janganlah kalian kembalikan padaku.’
Kaum itu menjawab, ‘Tidak akan terjadi demikian. Kami ingin membelinya darimu.’
Mereka lalu membeli hamba sahaya tersebut dengan 10 unta betina. Mereka menghampiri Hazrat Nu’aiman dan mengikat lehernya dengan tali.
فَقَالَ نُعَيْمَانُ: إِنَّ هذَا يَسْتَهْزِئُ بِكُمْ. وَإِنِّي حُرٌ، لَسْتُ بِعَبْدٍ Nu’aiman berkata, ‘Orang itu tengah bercanda dengan kalian, saya merdeka, bukan budak.’
Namun mereka menjawab, ‘Orang itu telah bilang kepada kami bahwa nanti kamu akan bilang begitu.’ Mereka menarik Nu’aiman.
Ketika Hazrat Abu Bakr kembali dan orang-orang memberitahukan kepada beliau perihal Nu’aiman tadi, Abu Bakr mengejar orang-orang itu dan mengembalikan unta-unta itu kepada kaum tersebut dan mengambil kembali Nu’aiman dengan mengatakan, ‘Orang ini bukan budak, Suwaibith hanya bercanda saja dengan kalian.’
Ketika para sahabat itu kembali, mereka datang menjumpai Rasulullah (saw) lalu menceritakannya kepada beliau (Saw). Perawi meriwayatkan: Mendengar candaan tadi Rasulullah (saw) tertawa. Candaan ini mulai diketahui khalayak umum (terkenal). فَضَحِكَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم، وَأَصْحَابُهُ مِنْهُ، حَوْلاً Nabi (saw) dan para sahabat sering menyinggung dan tertawa menikmati candaan itu sampai satu tahun lamanya. Dalam beberapa buku, riwayat tersebut dijumpai dengan sedikit perbedaan yakni yang menjual bukanlah Hazrat Suwaibith melainkan Hazrat Nu’aiman. [4]
Berkenaan dengan Hazrat Nu’aiman terdapat riwayat bahwa beliau pun memiliki sifat suka bergurau, sebagaimana tidak jarang Rasulullah (saw) dibuatnya tertawa mendengar gurauan beliau. Rabiah Bin Usman (ربيعة بن عثمان) meriwayatkan, “Pada suatu hari datang seorang Badwi (dari desa) menjumpai Rasulullah (saw). Sebelum masuk masjid, orang itu mengikatkan untanya di halaman masjid. Beberapa sahabat berkata kepada Hazrat Nu’aiman, لو نحرتها فأكلناها، فإنا قد قرمنا إلى اللحم، ويغرم رسول الله ‘Jika kamu menyembelih unta itu, kita bisa memakan dagingnya karena saat ini kita sangat ingin memakan daging, pemilik unta ini adalah orang Badwi, ketika dia tahu untanya disembelih maka ia akan meminta ganti kepada Rasulullah (saw) dan Rasul akan menggantinya.’
Nu’aiman menuruti perkataan kawan-kawannya itu lalu menyembelih untanya. Ketika orang Badwi datang dan melihat keadaan untanya, ributlah ia dengan mengatakan: واعقراه يا محمد ‘Wahai Muhammad! Unta saya ada yang menyembelih.’
Rasulullah (saw) keluar dan bersabda: مَنْ فَعَلَ هَذَا؟ ‘Siapa yang melakukan ini?’
Orang-orang mengatakan: نُعَيْمَان Nu’aiman.
Rasulullah (saw) lalu mencari Nu’aiman. Setelah menyembelih unta tadi, Nu’aiman pergi untuk bersembunyi. Rasululah mendapati Nu’aiman tengah bersembunyi di rumah Hazrat Dhuba’ah binti Zubair Bin Abdul Muthallib (ضباعة بنت الزبير بن عبد المطلب).
Di tempat persembunyiannya ada seseorang yang mengarahkan jarinya ke arah tempat persembunyiannya sambil mengatakan: ما رأيته يا رسول الله ‘Saya tidak melihatnya, wahai Rasul!’
Rasulullah (saw) memintanya keluar dan bersabda: ما حملك على هذا؟ ‘Kenapa kamu melakukan perbuatan ini?’ Nu’aiman menjawab: الذين دلوك عليّ يا رسول الله، هم الذين أمروني ‘Wahai Rasul! Orang-orang yang mengabarkan perihalku kepada tuan, merekalah yang telah membujuk saya untuk melakukannya dan mengatakan Rasulullah (saw) akan membayar ganti ruginya nanti.’
Mendengar itu Rasul menyentuh wajah Nu’aiman dengan tangan beliau dan tersenyum. Lalu Rasul membayar ganti rugi kepada pemilik unta.[5]
Dalam menjelaskan mengenai Hazrat Nu’aiman, Zubair Bin Bukar (الزبير بن بكار) menulis dalam kitabnya, Al Fukahah Wal Mizah (كتاب الفكاهة والمزاح), “Kapan pun ada pedagang yang datang ke Madinah, Hazrat Nu’aiman selalu membelinya lalu mempersembahkannya kepada Rasulullah (saw) dan berkata, ‘Saya persembahkan hadiah ini kepada tuan.’
Ketika pedagang itu mendatangi Nu’aiman untuk membayar barang beliannya itu, Nu’aiman mengajak pedagang tersebut kepada Rasulullah (saw) lalu berkata: ‘Wahai Rasul! Mohon kiranya tuan dapat membayar barang yang telah saya beli dan dipersembahkan kepada tuan tadi.’
Rasul bersabda: أو لم تهده لي ‘Bukankah kamu telah menghadiahkan ini kepada saya?’
Nu’aiman menjawab: انه والله لم يكن عندي ثمنه ولقد أحببت أن تأكله ‘Demi Tuhan! Saya tidak punya uang untuk membayarnya tadi, padahal saya sangat ingin supaya tuan dapat menikmatinya apakah itu makanan ataupun suatu barang.’ Mendengar itu Rasul tersenyum lalu membayarkannya.”[6]
Sungguh unik jalinan kasih sayang dan keakraban yang terjalin antara beliau beliau, bukan jalinan yang kaku.
Sahabat berikutnya, Hazrat Khubaib bin Isaf (خُبَيْبُ بْنُ إِسَافِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ عَمْرٍو) radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.[7] Beliau berasal dari Anshar (Madinah) kabilah Khazraj ranting banu Jusym. Menurut riwayat lainnya, Hazrat Khubaib juga bernama Habib bin Yisaf (حَبِيبُ بن يِسَاف). Ayahanda beliau bernama Isaf dan menurut riwayat lain Yisaf [atau juga Yasaf]. Demikian pula pada satu riwayat kakek beliau bernama ‘Utbah bin Amru dan dalam riwayat lain Inabah bin Amru (عِنَبَةَ بْنِ عَمْرِو). Ibunda beliau bernama Salma Binti Mas’ud (سلمى بنت مسعود بن شيبان بن عامر بن عديّ بن أُميّة بن بياضة).
Salah satu putra beliau bernama Abu Katsir (أبو كثير) yang bernama asli Abdullah (عبد الله) yang terlahir dari istrinya yang bernama Jamilah binti Abdillah bin Ubay Bin Salul (جميلة ابنة عبد الله بن أبي ابن سلول). Anak kedua bernama Abdur Rahman (عبد الرحمن) yang terlahir dari istrinya yang disebut Ummu Walad. Satu putri beliau bernama Unaisah terlahir dari istrinya yang bernama Zainab Binti Qais (زينب بنت قيس بن شمّاس بن مالك). Setelah kewafatan Hazrat Abu Bakar Siddiq, Hazrat Khubaib menikahi janda Hazrat Abu Bakr (ra), Habibah binti Kharijah (حَبِيبة بنت خارجة بن زيد بن أَبِي زُهير).[8]
Hazrat Khubaib belum masuk Islam ketika umat Muslim Makkah hijrah ke Madinah. Namun demikian, beliau mendapatkan kehormatan mengkhidmati para Muhajirin pada saat hijrah. Hazrat Talhah bin Ubaidillah dan Hazrat Suhaib Bin Sinan tinggal di rumah beliau. Berdasarkan riwayat lain Hazrat Talhah tinggal di rumah Hazrat As’ad Bin Zurarah. Begitu Hazrat Abu Bakar Shiddiq ketika hijrah ke Madinah, menurut satu riwayat, beliau tinggal di Qaba di daerah Shan’a di rumah Khubaib. San’a adalah nama sebuah tempat ke arah Madinah, perkampungan di dataran tinggi yang biasa ditempati oleh Bani Harits.
Berdasarkan riwayat lainnya Hazrat Abu Bakar tinggal di rumah Hazrat Kharijah Bin Zaid. Selain perang Badar, beliau juga ikut serta para perang Uhud, Khandaq dan peperangan lainnya bersama dengan Rasulullah (saw). Menurut satu riwayat, Khubaib tinggal di Madinah, namun beliau belum menerima Islam, hingga tiba saatnya Rasulullah (saw) berangkat ke perang Badar. Khubaib berjumpa dengan Rasulullah (saw) di perjalanan dan ketika itu menerima Islam.
Di dalam Sahih Muslim dijelaskan mengenai proses baiatnya beliau sbb: (عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا قَالَتْ) Diriwayatkan oleh istri suci Nabi (saw), Hazrat Aisyah, خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قِبَلَ بَدْرٍ فَلَمَّا كَانَ بِحَرَّةِ الْوَبَرَةِ أَدْرَكَهُ رَجُلٌ قَدْ كَانَ يُذْكَرُ مِنْهُ جُرْأَةٌ وَنَجْدَةٌ فَفَرِحَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حِينَ رَأَوْهُ فَلَمَّا أَدْرَكَهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “Ketika Rasulullah (saw) sampai di Hurratul Ghabrah berjarak 3 mil dari Madinah, ketika dalam perjalanan ke Badar, Rasul berjumpa dengan seseorang yang keberaniannya selalu menjadi buah bibir. Ketika sahabat melihatnya, mereka merasa bahagia. Ketika berjumpa, orang itu berkata kepada Rasulullah (saw), جِئْتُ لأَتَّبِعَكَ وَأُصِيبَ مَعَكَ ‘Saya datang kemari untuk ikut pergi bersama tuan dan mendapatkan bagian dari harta ghanimah.’
Rasulullah (saw) bersabda: تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ‘Apakah Anda beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?’
Ia menjawab: ‘Tidak, saya tidak beriman, saya bukan Muslim.’
Rasulullah (saw) bersabda: فَارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ ‘Pulanglah! Sebab, saya tidak akan meminta bantuan dari orang Musyrik.’
ثُمَّ مَضَى حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالشَّجَرَةِ أَدْرَكَهُ الرَّجُلُ فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ قَالَ ” فَارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ ” . قَالَ ثُمَّ رَجَعَ فَأَدْرَكَهُ بِالْبَيْدَاءِ فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ ” تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ” . قَالَ نَعَمْ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” فَانْطَلِقْ ” Orang itu lalu pergi. Ketika Rasul sampai di Syajarah – 6 atau 7 mil dari Zul Halifah – , orang itu menjumpai Rasulullah (saw) lagi dan berkata seperti sebelumnya. Rasulullah (saw) pun memberikan jawaban yang sama kepadanya. Rasulullah (saw) bersabda: ‘Pulanglah, saya tidak akan meminta bantuan dari orang Musyrik.’ Orang itu lalu kembali. Kemudian, Rasul sampai di Baidha – berjarak 6 atau 7 mil dari Zul Halifah (Zulhalifah dan Syajrah berdekatan keduanya) – Rasul bersabda kepadanya seperti semula. Rasul bersabda: ‘Apakah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?’ Ia berkata: ‘Ya!’ Rasul bersabda: ‘Kalau begitu sekarang kamu bisa ikut kami.’”[9]
Berkenaan dengan riwayat tersebut dikatakan bahwa orang yang dimaksud itu adalah Hazrat Khubaib.
Berkenaan dengan baiatnya dan keikutsertaan Hazrat Khubaib dalam perang Badar Allamah Nuruddin al-Halbi menulis dalam kitabnya Siratul Halbiyah, “Di Madinah ada seorang bernama Habib Bin Yisaf, seorang yang tangguh dan pemberani (حبيب بن يساف ذا بأس ونجدة).” Itu adalah nama lain dari Hazrat Khubaib. “Orang ini berasal dari kabilah Khazraj. Sampai ketika perang Badar, orang ini belum masuk Islam. Namun orang ini dalam rangka membantu kemenangan peperangan bersama dengan kaumnya Khazraj berangkat ke perang Badar disertai harapan untuk mendapatkan harta ghanimah. Umat Muslim senang dengan keberangkatannya. Akan tetapi, Rasulullah (saw) bersabda padanya, لا يصحبنا إلا من كان على ديننا ‘Orang yang akan pergi berperang dengan kami hanya semata-mata yang berada dalam agama kami.’
Dalam riwayat lain, Rasul bersabda, ارجع فإنا لا نستعين بمشرك Pulanglah, kami tidak akan meminta bantuan kepada orang Musyrik. Rasulullah (saw) memulangkan Khubaib sebanyak dua kali, sementara ketika sampai yang ketiga Rasul bersabda: أتُؤمن بالله ورسوله؟ ‘Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya?’
‘Ya saya saya baiat masuk Islam.’
Dengan gagah berani ia ikut serta berperang dengan penuh semangat.[10]
Di dalam Musnad Ahmad Bin Hanbal dijelaskan perihal kisah lengkap baiatnya Hazrat Khubaib, أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُرِيدُ غَزْوًا أَنَا وَرَجُلٌ مِنْ قَوْمِي وَلَمْ نُسْلِمْ فَقُلْنَا “Saya dan salah seorang dari antara kaum kami datang menjumpai Rasulullah (saw) yang tengah melakukan persiapan untuk berperang. Saat itu kami belum menjadi Muslim.
Kami bertanya: إِنَّا نَسْتَحْيِي أَنْ يَشْهَدَ قَوْمُنَا مَشْهَدًا لَا نَشْهَدُهُ مَعَهُمْ ‘Kami merasa sangat malu karena ketika kaum kami pergi untuk berperang kami tidak ikut serta.’
Rasul bersabda: أَوَ أَسْلَمْتُمَا ‘Apakah kalian berdua telah menerima Islam?’
Kami menjawab: ‘Tidak.’
Rasul bersabda: فَإِنَّا لَا نَسْتَعِينُ بِالْمُشْرِكِينَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ ‘Kami tidak akan meminta bantuan kepada orang Musyrik ketika berperang melawan orang Musyrik.’
Hazrat Khubaib mengatakan: فَأَسْلَمْنَا وَشَهِدْنَا مَعَهُ فَقَتَلْتُ رَجُلًا وَضَرَبَنِي ضَرْبَةً وَتَزَوَّجْتُ بِابْنَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ فَكَانَتْ تَقُولُ لَا عَدِمْتَ رَجُلًا وَشَّحَكَ هَذَا الْوِشَاحَ فَأَقُولُ لَا عَدِمْتِ رَجُلًا عَجَّلَ أَبَاكِ النَّارَ ‘Kami lalu baiat masuk Islam dan ikut serta bersama dengan Rasulullah (saw) pada perang tersebut. Saya telah membunuh seorang musuh dalam perang tersebut. Dia pun melukai saya. Kemudian setelah saya menikahi putri dari orang yang telah saya bunuh itu, istri saya selalu mengatakan: ‘Kamu tidak akan dapat melupakan pria yang telah melukaimu ini!’ Saya meresponnya dengan mengatakan: ‘Kamu pun tidak akan dapat melupakan pria yang telah mengirimkan ayahmu ke dalam api neraka dengan cepat.’”[11]
Pada perang badar, Hazrat Khubaib Bin Isaf berhasil membunuh pemimpin Makkah Quraisy yang bernama Umayyah bin Khalf yang mana kisah singkatnya tanpa menyebutkan nama yang terbunuh tadi dalam riwayat Musnad Ahmad Bin hanbal yakni kisah yang menikah tadi.
Dalam menjelaskan kisah lengkapnya Allamah Nuruddin al-Halabi menerangkan dalam kitabnya as-Sirah al-Halabiyah bahwa Hazrat Abdur Rahman Bin Auf meriwayatkan, لقد لقيت أمية بن خلف وكان صديقا لي في الجاهلية ومعه: أي مع أمية ابنه عليّ أي آخذ بيده وكان عليّ ممن أسلم والنبي ﷺ بمكة قبل أن يهاجر، ففتنهم أقاربهم عن الإسلام ورجعوا عنه وماتوا على كفرهم، وأنزل الله تعالى فيهم {إن الذين توفاهم الملائكة ظالمي أنفسهم قالوا فيم كنتم} الآية، أي وهم الحرث بن ربيعة، وأبو قيس بن الفاكه، وأبو قيس بن الوليد، والعاص بن منبه، وعلي بن أمية المذكور. “Pada saat perang Badr saya berjumpa dengan Umayyah Bin Khalf. Ia adalah kawan saya pada masa jahiliyah. Umayyah disertai putranya yang bernama Ali bin Umayyah yang memegang tangan ayahnya. Ali bin Umayyah termasuk diantara Muslim yang baiat sebelum Rasulullah (saw) hijrah dari Makkah. Saat itu kerabat-kerabatnya berusaha mengeluarkan ia dari Islam dan mereka berhasil. Pada akhirnya mereka terbunuh dalam keadaan kufur. Berkenaan dengan mereka Allah ta’ala menurunkan ayat berikut: إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ ‘Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)”’
Walhasil orang-orang tersebut diantaranya: Haritsah Bin Rabiah, Abu Qais Bin al-Fakah, Abu Qais bin Al-Walid, al-‘Ash bin Manbah dan Ali Bin Umayyah.”[12]
Allamah Nuruddin al-Halabi menulis, وفي السيرة الهشامية: وذلك أنهم كانوا أسلموا ورسول الله ﷺ بمكة فلما هاجر رسول الله ﷺ إلى المدينة حبستهم آباؤهم وعشريتهم بمكة، وفتنوهم فافتتنوا: أي رجعوا عن الإسلام، ثم ساروا مع قومهم إلى بدر فأصيبوا جميعا، وسياقه كما ترى يقتضى أنهم لم يرجعوا إلى الكفر إلا بعد الهجرة، وسياق ما قبله ربما يقتضى أنهم رجعوا إلى الكفر قبل أن يهاجر. “Tertulis di dalam kitab as-Sirah al-Hisyamiyah bahwa ketika mereka menerima Islam, Rasulullah (saw) masih berada di Makkah. Ketika Rasulullah (saw) hijrah ke Madinah, sesepuh dan kerabat mereka menahan mereka di Makkah dan memasukkan mereka kedalam ujian yang sebagai akibatnya mereka mengalami degradasi (kekacauan keyakinan) lalu mereka berpaling dari Islam. Pada saat perang Badr, mereka berangkat bersama kaumnya dan kesemuanya terbunuh saat itu. Dari latar belakang ini dapat diketahui bahwa mereka tidaklah berpaling dari agamanya sebelum hijrah Rasulullah (saw). Dari kisah riwayat pertama dapat diketahui mereka telah kembali kafir sebelum hijrahnya Rasulullah (saw) dari Makkah.”[13]
Hazrat Abdur Rahman meriwayatkan, قال عبدالرحمن بن عوف وكان معي ادراع استلبتها أي فانا احملها فلما رآني اميه ناداني باسمي الاول “Saat itu saya memiliki banyak baju perang yang saya bawa (beliau tengah mengisahkan ketika perang). Ketika Umayyah [dari pihak musuh namun kawan lama] melihat saya, ia memanggil saya dengan nama saya ketika jahiliyah, يا عبد عمرو ‘Wahai Abdu Amru!’
فلم اجبه لانه كان قال لي لما سماني رسول الله صلى الله عليه وسلم عبدالرحمن اترغب عن اسم سماك به ابوك فقلت نعم Saya tidak menjawabnya, karena ketika Rasulullah (saw) memberikan nama Abdur Rahman kepada saya, beliau (saw) bersabda: ‘Apakah kamu menyukai untuk melepaskan nama yang telah diberikan oleh ayahmu?’
Saya jawab: ‘Ya.’
Umayyah berkata, الرحمن لا اعرفه ولكني اسميك بعبد الاله كما تقدم ‘Saya tidak mengenal Rahman.’ فلما ناداني بعبدالاله قلت نعم Ketika Umayyah memanggil dengan nama saya yakni Abdur Rahman lalu saya menjawabnya.”
Tampaknya ketika Umayyah memanggil Hazrat Abdur Rahman Bin Auf dengan nama lamanya, beliau paham yang dipanggil adalah dirinya, namun beliau tidak menanggapi panggilan itu karena yang memanggil itu memanggilnya dengan nama lama yang menampakkannya sebagai hamba berhala. Bersamaan dengan itu ada kemungkinan kuat beliau tidak menyadari siapa yang dipanggil, karena nama itu telah ditinggalkannya sudah sejak lama. Kemudian, ketika Umayyah memanggilnya dengan nama barunya, beliau baru paham bahwa beliaulah yang dipanggil lalu menjawabnya dan memberikan perhatian kepada Umayyah.
Umayyah lalu berkata kepada beliau, هل لك في فأنا خير لك من هذه الادراع التي معك ‘Jika aku memiliki hak atasmu maka aku lebih baik bagimu dari baju-baju besi yang kamu bawa itu.’
Kedua orang ini adalah kawan lama. Umayyah mengungkit lagi persahabatan lamanya yang merupakan cara untuk menyelamatkan diri. Sebab, keadaan pada saat itu pihaknya telah kalah dan ia merasa berhak untuk mengatakan kepada kawan lamanya, “Saya lebih baik dari baju besi itu, tolong bantu saya.”[14]
Hazrat Abdur Rahman Bin Auf lalu menjawab, “Baiklah. Saya lalu meletakkan baju-baju besi di bawah dan memegang tangan Umayyah dan Ali.
Umayyah berkata, ما رأيت كاليوم قط ثم قال لي يا عبدالاله من الرجل منكم المعلم بريشة نعامة في صدره أي كانت في درعه بحيال صدره ‘Seumur hidupku, tidak pernah kulihat seperti yang terjadi pada hari ini pada saat perang Badr. Siapa diantara kalian yang di dadanya terpasang sayap burung unta?’
Saya jawab: ذاك حمزة بن عبد المطلب ‘Itu Hamzah Bin Abdul Muthalib.’
Umayyah berkata, ‘Apakah semua ini karena dia? Karena dialah kondisi kami begini saat ini.’”
Walhasil, ini anggapannya, menurut satu pendapat hal itu dikatakan putra Umayyah.
Hazrat Abdurrahman Bin Auf mengatakan, ثم خرجت امشي بهما فو الله اني لاقودهما اذ رآه بلال معي وكان هو الذي يعذب بلالا بمكة على ان يترك الاسلام أي كما تقدم فقال بلال “Setelah itu saya membawa kedua orang itu sambil memegang tangan mereka. Tiba-tiba Hazrat Bilal melihat saya tengah bersama dengan Umayyah. Sebelum ini Umayyah selalu menyiksa Hazrat Bilal di Makkah agar mau keluar dari Islam.
Ketika melihat Umayyah, Bilal berkata, راس الكفر اميه بن خلف لا نجوت ان نجا ‘Pemimpin orang-orang kafir, Umayyah ada di sini? Jika ia lolos, maka anggap saja saya tidak selamat.’
Hazrat Abdurrahman Bin Auf berkata, أي بلال أفبأسيرى أي تفعل ذلك بهما ‘Wahai Bilal, dia adalah tawanan saya. Kamu berkata demikian tentang tawanan saya?’
Hazrat Bilal berkali-kali mengatakan demikian dan saya pun mengulangi perkataan saya.
Bilal mengatakan, لا نجوت ان نجا ‘Jika ia lolos, anggap saja aku tidak selamat.’
Saya pun mengulangi perkataan saya. Bilal lalu berteriak: يا أنصار الله راس الكفر اميه بن خلف ‘Wahai para penolong Allah, di sini ada pemimpin orang kafir, Umayyah bin Khalf. لَا نَجَوْتُ، إنْ نَجَا! Jika ia lolos, anggap saja aku tidak selamat.’ Ketika mendengar seruan itu, para Anshar datang, mereka mengepung kami, lalu Hazrat Bilal menarik pedang dan menyerang putra Umayyah sehingga tumbanglah putranya. Karena takut Umayyah berteriak keras, yang mana saya tidak pernah mendengar teriakan seperti itu, lalu para anshar menebas keduanya dengan pedang.’”[15]
Di dalam Kitab Shahih Bukhari, diceritakan peristiwa terbunuhnya Umayyah bin Khalf sebagai berikut, Hazrat Abdur Rahman Bin Auf meriwayatkan, كَاتَبْتُ أُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ كِتَابًا بِأَنْ يَحْفَظَنِي فِي صَاغِيَتِي بِمَكَّةَ، وَأَحْفَظَهُ فِي صَاغِيَتِهِ بِالْمَدِينَةِ، فَلَمَّا ذَكَرْتُ الرَّحْمَنَ قَالَ لاَ أَعْرِفُ الرَّحْمَنَ، كَاتِبْنِي بِاسْمِكَ الَّذِي كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَكَاتَبْتُهُ عَبْدُ عَمْرٍو “Saya pernah menulis surat kepada Umayyah Bin Khalf untuk menjaga harta dan anak-anak saya di Makkah yang notabene merupakan Darul Harb dan sebaliknya saya akan menjaga hartanya yang ada di Madinah. Ketika saya menulis nama saya Abdur Rahman, Umayyah berkata. ‘Saya tidak mengenal Abdur Rahman, tuliskan saja nama pada masa jahiliyah.’ Saya lalu menuliskan nama saya Abdu Amru.
فَلَمَّا كَانَ فِي يَوْمِ بَدْرٍ خَرَجْتُ إِلَى جَبَلٍ لأُحْرِزَهُ حِينَ نَامَ النَّاسُ فَأَبْصَرَهُ بِلاَلٌ فَخَرَجَ حَتَّى وَقَفَ عَلَى مَجْلِسٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ أُمَيَّةُ بْنُ خَلَفٍ، لاَ نَجَوْتُ إِنْ نَجَا أُمَيَّةُ. Ketika dalam peperangan Badr, saya berangkat ke arah pegunungan untuk menjaga orang-orang yang tengah tidur jangan sampai musuh menyerang mereka di sana. Tiba-tiba Bilal melihat Umayyah di sana. Bilal lalu pergi dan berdiri di tengah-tengah orang Anshar dan berkata: ‘Dia adalah Umayyah Bin Khalf, jika ia selamat berarti aku yang tidak akan selamat.’ Bilal bersama dengan beberapa orang Anshar datang untuk mengepung kami. Kami khawatir mereka akan menemukan kami.”
Tampaknya sudah ada perbincangan sampai saat itu antara Hazrat AbdurRahman dan Umayyah.
فَخَرَجَ مَعَهُ فَرِيقٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِي آثَارِنَا، فَلَمَّا خَشِيتُ أَنْ يَلْحَقُونَا خَلَّفْتُ لَهُمُ ابْنَهُ، لأَشْغَلَهُمْ فَقَتَلُوهُ ثُمَّ أَبَوْا حَتَّى يَتْبَعُونَا، وَكَانَ رَجُلاً ثَقِيلاً، فَلَمَّا أَدْرَكُونَا قُلْتُ لَهُ ابْرُكْ. فَبَرَكَ، فَأَلْقَيْتُ عَلَيْهِ نَفْسِي لأَمْنَعَهُ، فَتَخَلَّلُوهُ بِالسُّيُوفِ مِنْ تَحْتِي، حَتَّى قَتَلُوهُ، وَأَصَابَ أَحَدُهُمْ رِجْلِي بِسَيْفِهِ “Saya tinggalkan putra Umayyah di sana supaya mereka sibuk bertarung dengan putranya dan kami bisa terus pergi. Mereka pun membunuh putranya. Kemudian mereka terus mengikuti kami. Karena Umayyah berbadan besar sehingga ia tidak dapat bergerak dengan gesit. Akhirnya, ketika mereka mendapati kami. Saya katakan kepada Umayyah: Duduklah! Lalu duduklah ia. Saya berusaha menyelamatkan Umayyah, namun mereka menyelinapkan pedang dari bawah saya hingga mereka membunuhnya. Bahkan, kaki saya tertimpa pedang salah seorang dari mereka.”
Perawi, Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf (إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ) mengatakan: وَكَانَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ يُرِينَا ذَلِكَ الأَثَرَ فِي ظَهْرِ قَدَمِهِ. “Hazrat Abdur Rahman Bin Auf sering memperlihatkan bekas di bagian bawah kaki beliau karena kejadian tadi.”[16]
Perihal siapa yang membunuh putra Umayyah, masyhur bahwa salah seorang dari kabilah Anshar Banu Mazin membunuh Umayyah. Ibnu Hisyam mengatakan Umayyah dibunuh oleh Hazrat Muadz Bin Afra, Kharijah Bin Zaid dan Khubaib bin Isaf. Sahabat yang tengah dibahas saat ini, termasuk salah satunya. Dikisahkan juga bahwa Hazrat Bilal yang membunuhnya. Pada hakikatnya, semua sahabat itu ikut serta membunuh Umayyah. Hazrat Bilal menumbangkan putra Umayyah, Ali bin Umayyah. Setelah itu, Ammar Bin Yasir membunuhnya.
Sebagian peristiwa tidak berkaitan dengan sahabat tersebut secara langsung namun disebutkan di dalamnya dan saya sampaikan supaya kita dapat mengenal sejarah.
Khubaib Bin Abdur Rahman meriwayatkan, ضُرِبَ خُبَيْبٌ جَدِّى يومَ بدر، فمال شِقُّهُ، فَتَفَلَ عليه رسولُ الله ولأَمَهُ وَرَدَّهُ فانطبق “Kakek saya, Hazrat Khubaib mengalami luka ketika perang Badar yang mengakibatkan patahnya tulang rusuk beliau. RasuluLlah (saw) mengoleskan air liur beberkat beliau ke atas luka itu dan memperbaiki posisi tulang yang telah patah tadi sehingga Hazrat Khubaib dapat berjalan lagi.”[17]
Dalam riwayat lain dijelaskan, Hazrat Khubaib meriwayatkan, شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم مشهدا فأصابتني ضربة على عاتقي، فتعلقت يدي فأتيت النبي صلى الله عليه وآله وسلم فتفل فيها وألزقها فالتأمت وبرأت وقتلت الذي ضربني “Pada waktu perang pundak saya mengalami luka yang merasuk sampai ke perut yang mengakibatkan tangan saya terkulai. Saya hadir ke hadapan Rasulullah (saw) dan beliau mengoleskan air liur beberkat beliau diatas luka lalu menyambungkannya lagi sehingga saya dapat sembuh lagi dan luka saya pun membaik.”[18]
Berkenaan dengan kewafatan beliau, menurut satu riwayat beliau wafat pada masa Kekhalifahan Hazrat Umar sedangkan riwayat lain mengatakan bahwa beliau wafat pada masa Hazrat Usman. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat para sahabat. [aamiin]
Sekarang saya akan menyampaikan mengenai tiga orang yang wafat dan saya juga akan memimpin shalat jenazahnya setelah shalat jum’at ini. Salah satunya adalah Ny. Rashidah Begum, istri Tn. Said Muhammad Sarwar dari Rabwah yang wafat pada tanggal 24 Agustus di usia 74 tahun. Innaa lilLaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Nenek moyang beliau hijrah dari Caarkott, Kashmir ke Pakistan. Ayah beliau, Tn. Dien Muhammad yang bekerja di kereta api wafat ketika beliau berusia 5 tahun. Setelah itu ibu beliau dengan penuh semangat dan kerja keras merawat putera-puterinya seorang diri. Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga almarhumah melalui perantaraan kakek beliau, Tn. Fatah Muhammad, yang pergi ke Qadian dan mendapatkan taufik baiat melalui perantaraan sahabat Hazrat Masih Mau’ud (as), Hazrat Qazi Muhammad Akbar.
Pada tahun 1894 setelah melihat tanda gerhana bulan dan matahari Tn. Qazi lalu memberitahukan kepada orang-orang di keluarga dan lingkungan beliau, bahwa dengan tanda ini diketahui bahwa Imam Mahdi (as) telah datang. Beliau mempunyai hubungan kekerabatan dengan Hazrat Qazi Muhammad Akbar dan melalui perantaraan Hazrat Qazi Muhammad Akbar juga pesan Ahmadiyah sampai kepada beliau, lalu baiat dengan perantaraan Hazrat Qazi Muhammad Akbar. Salah seorang putera almarhumah, Tn. Muhammad Zakaria adalah seorang muballigh di Liberia.
Beliau mengatakan, “Ibu saya sangat dawam membayar candah-candah dan sangat memperhatikannya, dan selalu menanyakan apakah candah saya sudah dibayar ataukah belum, dan selain itu beliau sangat memberikan perhatian terhadap tarbiyat anak-anak beliau. Beliau tidak mengizinkan anak-anak beliau keluar rumah tanpa keperluan yang penting, sehingga anak-anak tidak biasa keluyuran atau pergi keluar dan terjerumus ke dalam kebiasaan-kebiasaan buruk. Ketika di usia anak-anak ibu menyuruh kami untuk melaksanakan shalat secara berjama’ah di mesjid dan secara khusus membangunkan kami di waktu shalat subuh. Ibu memberikan peranan yang besar dalam menyuruh anak-anaknya pergi ke mesjid dan beliau tidak merasa tenang selama kami belum pergi ke mesjid. Beliau memiliki hubungan kecintaan dan kesetiaan yang tinggi terhadap khilafat. Beliau mendengarkan khutbah dengan penuh perhatian dan menuliskan poin-poinnya lalu mendiskusikannya dengan anak-anak beliau.”
Kemudian puteri tertua almarhumah mengatakan, “Hingga akhir hayatnya beliau sangat memperhatikan shalat dan beliau melaksanakan shalat dengan begitu lama, beliau tidak membiarkan rasa sakitnya menjadi penghalang, lalu setelah shalat kondisi beliau memburuk dan dibawa ke rumah sakit, namun dikarenakan serangan jantung beliau berpulang ke rahmatullah. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang musiah 1/8, kelima anaknya mendapatkan taufik mengkhidmati agama sebagai waqaf zindegi.
Dua putera beliau, Tn. Muhammad Husein Tabassum dan Tn. Muhammad Mu’min mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Mu’allim Waqf-e-Jadid di Rabwah. Dua putera lainnya, Tn. Daud Zafar dan Tn. Zakaria berkhidmat sebagai Muballigh dan satu orang putera lainnya, Tn. Ashif yang adalah Waqaf-e-Nou berkhidmat di Khilafat Library pada bagian Computer Section. Sebagaimana yang telah saya sampaikan, Tn. Muhammad Zakaria bertugas sebagai mubaligh di Liberia dan tidak bisa datang pada saat kewafatan ibunda beliau. Beliau pun memperlihatkan contoh kesabaran yang luar biasa dan senantiasa melaksanakan tugas-tugas beliau di luar negeri meskipun ibu beliau sakit dan tidak pernah mengungkapkan bahwa “Saya tidak bisa melaksanakan tugas-tugas saya”, beliau juga tidak bisa datang ke pemakaman almarhumah ibunda beliau. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kesabaran dan ketabahan kepada putera-puteri almarhumah, khususnya putera beliau yang merupakan Muballigh di Liberia, dan tidak bisa bertemu dengan ibu beliau pada saat kewafatan, dan semoga Allah Ta’ala menganugerahkan taufik kepada putera-puteri almarhumah tersebut untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan almarhumah. Semoga Allah Ta’ala meninggikan derajat ibunda mereka.
Jenazah kedua, Tn. Shamshir Khan, Ketua Jema’at Nadi, Fiji. Beliau juga wafat pada tanggal 5 September. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau lahir pada tahun 1952, dan beliau bersama almarhum ayah beliau baiat bergabung dalam Jema’at Ahmadiyah dari Jema’at Lahore. Sebelumnya beliau seorang Peghami. Di Fiji banyak sekali orang-orang dari Jema’at Peghami atau Lahori. Singkat cerita, pada tahun 1962 beliau baiat menjadi ahmadi bersama dengan ayah beliau. Awalnya tidak baiat kepada khilafat, kemudian baiat kepada khilafat. Beliau adalah termasuk anggota awalin Jema’at Fiji.
Dengan karunia Allah Ta’ala beliau mendapatkan taufik berkhidmat di Jema’at dalam waktu yang lama. Beliau memilki peranan penting dalam pembangunan masjid-masjid di Jema’at Ahmadiyah Maru, Sowa dan Lautoka. Beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai ketua Jema’at Nadi dari tahun 2010 hingga wafat. Beliau berkhidmat sebagai Sekretaris Isya’at Nasional dalam waktu yang lama. Dengan karunia Allah Ta’ala dari sisi duniawi pun beliau sangat terpandang, namun beliau selalu mengutamakan pekerjaan-pekerjaan Jema’at di atas semua pekerjaan lainnya.
Selain sebagai Ketua Jema’at dan Sekretaris Isya’at Nasional, beliau juga Manajer di Sekolah Dasar Muslim Retuka. Beliau adalah sosok yang sangat mukhlis, sangat mencintai dan ta’at terhadap Khilafat. Diantara keluarga yang ditinggalkan antara lain, istri beliau Ny. Raziah Khan dan puteri beliau Nadiah Nafisah. Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada beliau dan anak keturunan beliau diberikan taufik untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan almarhum.
Jenazah ketiga, Ny. Fatimah Muhammad Mustofa dari Norwegia. Beliau berasal dari Kurdistan.[19] Beliau wafat pada tanggal 13 Juni naun biodata beliau dikirimkan terlambat, sehingga shalat jenazahnya baru dilaksanakan sekarang. Beliau wafat di usia 88 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau mendapatkan taufik untuk baiat pada tahun 2014. Diantara yang ditinggalkan antara lain tiga orang puteri dan lima orang putera. Hanya seorang puteri yang menjadi Ahmadi, yaitu Ny. Berry Van Muhammad Sa’id dan saat ini tinggal di Norwegia.
Puteri beliau tersebut mengatakan, “Pada tahun 1999 saya datang ke Norwegia. Di sana saya harus menghadapi kondisi yang sangat sulit. Oleh karena itu ibu saya pindah dari Kurdistan ke Norwegia untuk membantu saya. Ibu saya meskipun tidak berpendidikan, namun banyak hafal ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits. Beliau sedemikian rupa menyenangi baca tulis sehingga di usia lebih dari 40 tahun beliau dengan sangat rajin belajar baca tulis. Dalam hidup beliau pekerjaan yang paling penting adalah melaksanakan shalat pada waktunya. Demikian juga beliau banyak berpuasa dan seringkali mengatakan, ‘Saya berpuasa atas nama orang-orang yang tidak mampu untuk berpuasa.’
Beliau sangat senang menolong orang lain, sehingga di Irak terkadang beliau melakukan perjalanan sejauh 50 mil bersama dengan para wanita yang tidak mendapatkan pengobatan dan beliau membantu mereka secara finansial. Pada saat kewafatan beliau saya menerima surat-surat dari puluhan orang yang berasal dari berbagai negara dan khususnya para saudari Ahmadi Pakistani, sambil menangis mereka mengungkapkan bahwa ibu saya memiliki hubungan kecintaan yang khusus dengan mereka. Sejak lahir saya tinggal bersama ibu saya dan berkesempatan melihat keluhuran akhlak beliau. Beliau tidak pernah menyimpan di dalam hati beliau suatu hal yang negatif mengenai seseorang, beliau selalu bersedia memaafkan kesalahan-kesalahan yang besar sekalipun. Sejak kecil kepada kami telah diajarkan untuk berkata jujur, meskipun itu bertentangan dengan diri kami sendiri.
Beliau juga selalu berkata, ‘Jika mata atau tangan kalian berbuat salah maka kalian harus memiliki keberanian untuk mengatakan bahwa mata atau tangan saya telah melakukan kesalahan.’ Beliau selalu menemui setiap orang dengan wajah tersenyum.
Bibir beliau setiap waktu senantiasa basah dengan doa-doa. Beliau mencintai Allah Ta’ala dan Nabi yang mulia (saw) dan mengatakan bahwa mungkin ini lah sebabnya Allah Ta’ala memberikan kepada beliau taufik untuk baiat kepada Masiihuz Zamaan-Nya.
Saya (putri Almarhumah) secara kebetulan menemukan channel MTA, kemudian hilang. Setelah dicari dengan susah payah tetap tidak ditemukan hingga bertahun-tahun. Setelah tiga tahun, suatu hari di tahun 2010 channel MTA Al-Arabiyyah kembali ditemukan, saya langsung berteriak di rumah dan memanggil ibu saya memberitahukan bahwa channel MTA telah ditemukan lagi. Saya telah mencari channel ini selama tiga tahun, lalu saya berkata kepada ibu saya, ‘Kemarilah dan simaklah! Orang-orang ini mengatakan bahwa Imam Mahdi dan Masih Mau’ud yang kita tunggu-tunggu telah datang’, dan ayah saya pun memberitahukan hal yang sama.
Ibu saya mulai menyaksikan MTA bersama saya. Setelah beberapa hari ibu saya menceritakan peristiwa ini kepada saudara-saudara saya, namun mereka mengatakan perkataan-perkataan yang dengan mendengarnya seketika raut wajah ibu saya berubah, namun tanpa mempedulikan perkataan mereka beliau tetap terus menyaksikan MTA.
Kemudian ketika beliau pergi ke Kurdistan, perkataan saudara-saudara saya mempengaruhi hati beliau dan beliau mulai menentang saya. Kemudian beliau datang lagi kepada saya kedua kalinya dan mulai melarang saya untuk menyaksikan MTA.
Singkatnya, ketika saya (putri Almarhumah) baiat maka keadaan menjadi semakin kacau dan orang-orang mengatakan kepada ibu saya, ‘Anak kamu telah kafir.’ Ketika ibu saya pergi kepada saudara-saudara saya, beliau menjadi menentang saya. Ketika kembali kepada saya beliau menonton MTA lagi. Beliau sangat menyukai Qasidah-qasidah Hazrat Masih Mau’ud (as) dan sering kali menangis mendengarkannya. Suatu kali sedang dilantunkan syair Hazrat Masih Mau’ud (as), ‘Yaa ‘aina faidhilLaahi wal ‘irfaani’, saya berkata kepada beliau, ‘Apakah orang yang menulis syair seperti ini bisa dikatakan kafir?’
Dengan sangat marah beliau melihat ke arah saya, ‘Siapa yang telah berbuat zalim mengatakan orang seperti ini kafir?’ Saya mengatakan kepada beliau, ‘Anak-anak ibu juga termasuk diantara mereka yang mengatakan kafir.’ Mendengar ini beliau terdiam.
Kemudian, saya berkata kepada ibu saya, ‘Ibu dikenal dengan keimanan ibu yang kuat, lantas kepada siapa ibu takut, apakah kepada Allah atau kepada anak-anak ibu?’
Beliau sangat terkesan dengan pertanyaan saya ini, namun tidak menjawab. Di malam itu ibu memanggil saya dan mengatakan, ’Markaz Jemaat dan sampaikan bahwa saya ingin baiat.’ Saya (putri Almarhumah) katakan kepada beliau, ‘Pikirkan dan renungkanlah lagi, supaya langkah menjadi teguh.’ Sepanjang malam beliau merenung dan berdoa, dan ketika bangun di pagi hari beliau langsung mengatakan, ‘Saya telah memutuskan ingin baiat.’”
Pada tahun 2016 beliau mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan saya (Huzur). Beliau sangat senang bisa bertemu dengan Khalifah-e-waqt dan menceritakan ini kepada setiap orang. Beliau juga memiliki hubungan kesetiaan yang sangat kuat dengan khilafat.
Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan ampunan-Nya kepada beliau, meninggikan derajat beliau, semoga Allah Ta’ala juga menguatkan iman puteri beliau dan anak-anaknya, dan anak keturunan almarhum yang lainnya yang belum menjadi ahmadi, semoga Allah Ta’ala juga membukakan hati mereka dan doa-doa almarhum untuk mereka dikabulkan.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ
وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ –
وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ –
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah : Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London, UK) dan Mln. Hashim; Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Referensi proof reading (baca ulang dan komparasi naskah): http://www.islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibn Sa’d ():كان لنعمان من الولد: محمّد وعامر وسَبرة ولُبابة وكَبْشة ومريم وأمّ حبيب وأمَة الله وهم لأمّهات أولاد شتّى، وحكيمة وأمّها من بني سهم
[2] Tarikh Madinah Dimashq karya Ibn Asakir (تاريخ مدينة دمشق – ج 79 – 80 – فهرس أطراف الحديث والآثار). Kanzul ‘Ummal (كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال 1-10 ج6) karya al-Muttaqi al-Hindi (علاء الدين علي بن حسام الدين/المتقي الهندي). ‘Umdatul Qari (عمدة القارئ شرح صحيح البخاري الجزء السادس عشر)
[3] Busra (Bosra) berbeda dengan Bashrah. Bashrah di Iraq.
[4] Sunan Ibn Maajah (سنن ابن ماجه – للإمام ابن ماجه), (الجزء الثاني), Kitab Adab (كتاب الأدب), bab tentang bercanda (باب المزاح). Al-Isti’aab fi ma’rifatil ash-haab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب). Dalam Al-Isti’aab tersebut (الاستيعاب – ابن عبد البر – ج ٢ – الصفحة ٦٨٩) bahasan mengenai Suwaibith (سويبط بن سعد بن حرملة) nomor 1149, yang dijual ialah Suwaibith. Di Kitab yang sama dalam bahasan mengenai Nu’aiman (نعيمان بْن عَمْرو بن رفاعة بن الحارث) nomor 2659, yang dijual ialah Nu’aiman. Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل), (مُسْنَدُ النِّسَاءِ), (حَدِيثُ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا) juga memuat hal kedua. وَكَانَ نُعَيْمَانُ رَجُلًا مِضْحَاكًا مَزَّاحًا ، فَقَالَ : لَأَغِيظَنَّكَ
[5] Usudul Ghaabah (أسد الغابة في معرفة الصحابة – نعيمان بن عمرو); Al-Ishabah (الإصابة – ابن حجر – ج ٦ – الصفحة ٣٦٦)
[6] Al-Waafi (الوافي بالوفيات – الصفدي – ج ٢٧ – الصفحة ٨٣)
[7] Abū Nuʿaym al-Aṣbahānī (d. 1038 CE) – Maʿrifat al-ṣaḥāba (أبو نعيم الأصبهاني – معرفة الصحابة).
[8] Al-Isti’aab (الاستيعاب في معرفة الأصحاب). Hadhrat Abu Bakr (ra) menjalin pernikahan dengan empat wanita. Qutailah (ibunya Asma dan Abdullah), Ummu Ruman (janda Abdullah bin Harits bin Sukhairah al-Azdi dan ibunya Thufail bin Abdullah bin Harits, Aisyah dan Abdurrahman), Asma’ binti Umais (janda Ja’far bin Abu Thalib, ibunya Muhammad bin Abu Bakr. Muhammad lahir di masa akhir hidup ayahnya. Asma’ yang menjanda dari Hadhrat Abu Bakr nantinya dinikahi oleh Hadhrat Ali dan Muhammad menjadi anak tirinya) dan Habibah bint Kharijah (ibunya Ummu Kultsum binti Abu Bakr).
[9] Shahih Muslim, Kitab Jihad dan ekspedisi/perjalanan (كتاب الجهاد والسير), bab tidak disukai meminta pertolongan orang kafir dalam peperangan dengan orang kafir (باب كَرَاهَةِ الاِسْتِعَانَةِ فِي الْغَزْوِ بِكَافِرٍ)
[10] As-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية – الحلبي – ج ٢ – الصفحة ٣٨٣). As-Sirah al-Halabiyyah (السيرة الحلبية – الحلبي – ج ٢ – الصفحة ٤٢٩) atau Insanul ‘Uyuun fi Sirah al-Amin al-Ma-mun (إنسان العيون في سيرة الأمين المأمون) artinya Laporan Pandangan Mata atas Sejarah Hidup ia yang Tepercaya lagi Dipercayai, yaitu Nabi saw. Buku ini karya Ali bin Ibrahim bin Ahmad al-Halabi, Abu al-Faraj, Nuruddin bin Burhanuddin al-Halabi (علي بن إبراهيم بن أحمد الحلبي، أبو الفرج، نور الدين ابن برهان الدين). Beliau seorang Sejarawan dan Adib (Sastrawan). Asal dari Halb (Aleppo, Suriah) dan wafat di Mesir pada 1044 Hijriyah.
[11] Musnad Ahmad bin Hanbal (مسند أحمد ابن حنبل) karya Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad asy-Syaibani (أبو عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل بن هلال بن أسد الشيباني), hadits (حَدِيثُ جَدِّ خُبَيْبٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ) nomor 15203
[12] As-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية – الحلبي)
[13] As-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية – الحلبي)
[14] Maksudnya, Umayyah ingin Hadhrat Abdurrahman Bin Auf menjadikannya tawanan dan dilindungi.
[15] ‘Uyuunul Atsar (عيون الأثر في فنون المغازي والشمائل والسير – ج 1); tercantum juga di dalam al-Kaamil fit Taarikh (الكامل في التاريخ – ج 2 – 1 – 29); as-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية – الحلبي – ج ٢ – الصفحة ٤١٦). Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Peri hidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001) Sejarawan Khalid Muhammad Khalid menganalisis peristiwa di atas, dia mengatakan bahwa Bilal bukan tipe orang pemberang, namun pada saat itu situasinya berada dalam peperangan, akan lain ceritanya apabila mereka bertemu dalam situasi yang lain. Menurutnya, niscaya Bilal akan memberikan maaf. Selain itu, ada perbedaan penafsiran antara Abd ar-Rahman bin ‘Auf dan Bilal, Abd ar-Rahman bin ‘Auf beranggapan bahwa perang telah usai sehingga berhak untuk memperlakukan Umayyah sebagai tawanan. Sementara itu Bilal menilai perang belum berakhir, sebab belum lama Umayyah telah membunuh beberapa pasukan Muslim dalam perang tersebut, pedangnya saja masih basah oleh darah.
[16] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Wakaalah (كتاب الوكالة), (باب إِذَا وَكَّلَ الْمُسْلِمُ حَرْبِيًّا فِي دَارِ الْحَرْبِ أَوْ فِي دَارِ الإِسْلاَمِ، جَازَ)
[17] As-Sirah al-Halabiyah (السيرة الحلبية 1-3 إنسان العيون في سيرة الأمين المأمون ج2)
[18] Al-Baihaqi (رواه البيهقي) dari (من دلائل النبوة شفاء المرضى). Tercantum juga dalam al-Bidayah wan Nihaayah karya Ibn Katsir: وَشَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَصَابَتْنِي ضَرْبَةٌ عَلَى عَاتِقِي فَجَافَتْنِي، فَتَعَلَّقَتْ يَدِي فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَفَلَ فِيهَا وَأَلْزَقَهَا، فَالْتَأَمَتْ وَبَرَأَتْ
[19] Penggunaan kontemporer istilah ini mengacu pada wilayah-wilayah berikut: tenggara Turki (Kurdistan Utara), utara Irak (Kurdistan Selatan), barat laut Iran (Kurdistan Timur) dan utara Suriah (Rojava atau Kurdistan Barat). Bahasa Kurdi ialah anggota cabang bahasa Iran barat dari bahasa-bahasa Indo-Eropa. Kurang lebih 26 juta orang bertutur Kurdi di Irak, Turki, Iran, Suriah, Libanon, Armenia, Georgia, Kirgistan, Azerbaijan, Kazakstan dan Afganistan.