Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Hz. Rasulullah saw. – Ekspedisi ke Banu Fazarah & Eksekusi Hukuman Mati Abu Rafi’
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 10 januari 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ
أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾
Khotbah dua minggu yang lalu masih membahas berkenaan dengan perang, baik sariyah maupun gazwah di masa Rasulullah saw.. Di antaranya terdapat Sariyah menghadapi Bani Fazarah. Dalam sejarah mengenai sariyah melawan Bani Fazarah, disebutkan kejadian mengenai terbunuhnya Ummu Qirfah. Beberapa sejarawan menuliskan tentang kejadian ini bahwa ini jelas bertentangan dengan kenyataan sebenarnya.
Dalam Ṭabaqātul Kubrā disebutkan bahwa Hz. Zaid bin Haritsah r.a. berangkat ke Syam untuk berdagang pada tahun 6 Hijriah. Beliau membawa barang dagangan milik para sahabat Hz. Rasulullah saw.. Ketika mereka mendekati lembah Dzu Qard, mereka bertemu dengan beberapa orang dari cabang suku Bani Fazarah yaitu Bani Badr yang kemudian menyerang dan memukuli mereka serta merampas barang-barang mereka.
Setelah Hz. Zaid r.a. pulih, beliau menghadap Hz. Rasulullah saw. dan melaporkan kejadian tersebut. Hz. Rasulullah saw. kemudian mengutus beliau untuk menghadapi para penyerang tersebut. Para Muslim ini bersembunyi di siang hari dan berjalan di malam hari, namun Bani Badr mengetahui kedatangan mereka. Hz. Zaid r.a. dan rekan-rekannya tiba di pagi hari, mengumandangkan takbir dan mengepung mereka yang ada di sana. Mereka menangkap Ummu Qirfah, yang nama aslinya adalah Fatimah binti Rabi’ah bin Badr, beserta putrinya, Jariyah binti Malik bin Hudzaifa bin Badr. Jariyah ditangkap oleh Hz. Salma bin Akwa r.a. dan dihadiahkan kepada Rasulullah saw., yang kemudian Rasulullah saw. menghibahkannya kepada Hazm bin Abi Wahab.
Mengenai hal ini, beberapa buku sejarah menyebutkan terbunuhnya Ummu Qirfah dengan cara yang aneh yang tidak mungkin diterima dalam pandangan ajaran dan amalan Islam. Beberapa buku mencatat bahwa Qais bin Muhasir mendatangi Ummu Qirfah yang sudah tua dan membunuhnya dengan sangat kejam. Ia mengikat kedua kakinya dengan tali ke dua unta, kemudian menghalau unta-unta tersebut sehingga tubuhnya tercabik-cabik. Qais juga membunuh dua orang lainnya.
Ketika Hz. Zaid bin Haritsah r.a. kembali dari misi ini, beliau mengetuk pintu rumah Hz. Rasulullah saw.. Beliau saw. bangkit menarik pakaiannya menuju Zaid, memeluknya dan menciumnya, lalu menanyakan kabar. Hz. Zaid r.a. kemudian memberitahu beliau saw. tentang kemenangan yang Allah Taala berikan kepada mereka.
Peristiwa ini diceritakan sedemikian rupa bahwa wanita itu dibelah menjadi dua bagian, namun Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. telah menjelaskan peristiwa ini dengan cara yang sangat baik dan argumentasi yang kuat. Beliau menulis:
Ibnu Sa’d menyebutkan Hz. Zaid bin Haritsah r.a. sebagai pemimpin ekspedisi ini, bukan Hz. Abu Bakar r.a., dan dengan beberapa perbedaan rincian, ia menulis bahwa ekspedisi ini bertujuan untuk menghukum Bani Fazarah yang tinggal dekat Wadiul Qura dan yang telah menyerang kafilah dagang Muslim dan merampas semua barang mereka. Pemimpin kelompok pengacau ini adalah seorang wanita tua bernama Ummu Qirfah yang merupakan musuh keras Islam. Ketika wanita ini tertangkap dalam pertempuran, seorang dari kelompok Hz. Zaid r.a. bernama Qais membunuhnya. Ibnu Sa’d menceritakan pembunuhan ini dengan mengatakan: Kedua kakinya diikat ke dua unta berbeda, kemudian unta-unta itu dihalau ke arah yang berlawanan sehingga wanita itu terbelah menjadi dua, dan setelah itu putrinya diserahkan kepada Hz. Salma bin Akwa r.a.. Cerita yang sama juga dituturkan oleh Ibnu Ishaq secara ringkas disertai beberapa perbedaan.
Berdasarkan riwayat ini, Sir William Muir, seorang orientalis yang terbiasa memberikan rincian lebih banyak dibandingkan sejarawan Eropa lainnya, di dalam bukunya ia dengan senang hati menjadikan kejadian ini sebagai contoh kekejaman kaum Muslimin. Bahkan, Sir William Muir menulis bahwa alasannya mencantumkan kejadian ini dalam bukunya adalah karena dalam misi ini, kaum Muslimin telah melakukan tindakan kejam.
Muir menulis: “Tahun ini kaum Muslimin harus menjalankan banyak misi dari Madinah, tetapi kebanyakan tidak layak disebutkan. Namun, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menyebutkan salah satu misi karena ini berujung dengan tindakan yang sangat kejam dari pihak Muslim.” Ini adalah pernyataan Muir. Dalam penelitiannya, Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis:
Seorang sejarawan yang mengutamakan suatu kejadian di atas kejadian lainnya hanya karena kejadian tersebut membuktikan kekejaman suatu kaum, dan menjadikannya sebagai hal yang menonjol di bukunya, sebenarnya ia tidak layak disebut sebagai peneliti yang tidak memihak. Ia sendiri telah menulis bahwa ia melewatkan kejadian-kejadian lain dan hanya mengambil kejadian ini. Ini berarti ia berat sebelah dan bukan seorang peneliti yang netral. Darinya tidak bisa diharapkan seperti seseorang yang netral yang akan meneliti bahwa apakah kejadian kekejaman ini benar terjadi atau tidak, sebab melakukan hal tersebut akan menghilangkan argumennya.
Alhasil, Tn. Muir telah mencatat kejadian ini dalam bukunya dengan perhatian yang khusus. Saya akan membuktikan, dan akan menjadi jelas bahwa kejadian ini sama sekali salah dan sama sekali tidak berdasar, dan kepalsuan cerita ini terbukti, baik dari segi periwayatan maupun logika.
Dari segi logika, harus dipahami bahwa menahan seorang wanita yang tidak dituduh melakukan pembunuhan dan kemudian membunuhnya dengan kejam pada saat ia ditawan dengan tenang, dan membunuhnya dengan cara yang digambarkan dalam riwayat ini, adalah hal yang sangat tidak masuk akal. Islam bahkan dengan tegas melarang membunuh wanita di medan perang sekalipun. Mengenai hal ini, Rasulullah saw. telah berulang kali menyatakan dengan jelas bahwa wanita tidak boleh dibunuh.
Dalam hadis disebutkan: Pada suatu kesempatan, ketika seorang wanita dari suku musuh ditemukan terbunuh di medan perang, meskipun tidak diketahui dalam keadaan apa dan oleh siapa wanita itu dibunuh, Rasulullah saw. sangat marah melihatnya dan dengan tegas memerintahkan para sahabat bahwa hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Tidak boleh membunuh wanita. Demikian pula, ketika Rasulullah saw. mengirim pasukan untuk misi tertentu, di antara nasihat-nasihat yang beliau saw. berikan kepada para sahabat adalah untuk tidak membunuh wanita dan anak-anak.
Dengan adanya petunjuk-petunjuk yang mendasar ini, sangat tidak bisa diterima untuk berpikir bahwa para sahabat, khususnya Hz. Zaid bin Haritsah r.a. yang juga merupakan anggota keluarga Rasulullah saw., akan membunuh atau memerintahkan pembunuhan seorang wanita dengan cara yang digambarkan oleh Ibnu Sa’d. Memang dalam riwayat tersebut, tindakan pembunuhan tidak dilakukan oleh Hz. Zaid r.a. melainkan dilakukan oleh seorang Muslim lain, tetapi karena kejadian ini terjadi di bawah pimpinan Hz. Zaid r.a., tanggung jawab akhir tetap ada pada beliau, dan sangat tidak masuk akal untuk berpikir bahwa Hz. Zaid r.a., yang mengetahui ajaran Rasulullah saw., akan mengizinkan tindakan semacam ini.
Memang benar jika seorang wanita melakukan kejahatan, ia akan dihukum atas kejahatannya, dan tidak ada syariat agama atau hukum negara yang mengecualikan wanita dari hukuman atas kejahatan. Bahkan kita kerap membaca tentang wanita yang dihukum, bahkan dihukum gantung atas kejahatan pembunuhan. Namun, membunuh seorang wanita hanya karena permusuhan agama atau keterlibatan dalam perang, dan membunuhnya dengan cara yang digambarkan dalam riwayat ini, adalah tindakan yang secara tegas ditolak oleh petunjuk mendasar Rasulullah saw. dan seluruh sejarah Islam.
Kemudian jika dikatakan bahwa wanita ini adalah penjahat dan seperti yang disebutkan dalam beberapa riwayat, ia telah merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah saw., sehingga hukuman mati bisa dijatuhkan secara sah kepadanya, maka ini benar. Namun pertanyaannya adalah, ketika para sahabat bahkan tidak pernah membunuh musuh-musuh yang lebih kejam dan berdarah-darah, bahkan musuh laki-laki, dengan cara seperti ini, maka sangat tidak masuk akal untuk berpikir bahwa di bawah komando sahabat berpengalaman seperti Hz. Zaid bin Haritsah r.a., perlakuan seperti ini akan dilakukan terhadap seorang wanita tua. Jadi, dari sudut pandang logika, kepalsuan cerita ini sangat jelas dan nyata, dan tidak ada orang yang bijaksana yang bisa melihat ruang untuk keraguan dalam hal ini.
Sekarang jika dilihat dari segi periwayatan: Pertama, Ibnu Sa’d maupun Ibnu Ishaq tidak memberikan sanad (rantai periwayatan) untuk riwayat ini. Maka dari itu, tanpa sanad yang terpercaya, riwayat semacam ini, yang juga bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw. yang jelas dan contoh umum yang diamalkan para sahabat, adalah sama sekali tidak bisa diterima.
Kedua, kejadian yang sama ini diriwayatkan dalam kitab hadis yang sangat terpercaya yaitu Ṣaḥīḥ Muslim dan Sunan Abu Dawud, tetapi di dalamnya sama sekali tidak ada penyebutan tentang pembunuhan Ummu Qirfah, dan dalam beberapa penjelasan lain juga berbeda dari Ibnu Sa’d dan yang sejalan dengannya. Kemudian, karena hadis sahih secara pasti dan mutlak jauh lebih kuat dan lebih layak diutamakan daripada riwayat kitab sejarah umum, maka riwayat Ibnu Sa’d dan yang lainnya tidak memiliki bobot di hadapan riwayat Ṣaḥīḥ Muslim dan Sunan Abu Dawud.
Perbedaan ini menjadi semakin jelas ketika kita mempertimbangkan karena sebagaimana Ibnu Sa’d dan Ibnu Ishaq menyampaikan riwayat mereka tanpa sanad, Imam Muslim dan Abu Dawud memberikan sanad yang lengkap untuk riwayat mereka. Dan bagaimanapun juga, dibandingkan dengan kehati-hatian para ahli hadis yang sangat teliti dalam periwayatan, riwayat umum dari para sejarawan tidak memiliki nilai yang setara.
Dalam Ṣaḥīḥ Muslim dan Sunan Abu Dawud, kejadian ini diriwayatkan tanpa ada penyebutan sama sekali tentang pembunuhan Ummu Qirfah. Memang benar dalam riwayat Muslim dan Abu Dawud nama Ummu Qirfah tidak disebutkan dan nama pemimpin yang tertera adalah Hz. Abu Bakar r.a. bukan Hz. Zaid r.a., tetapi ini tetap tidak menimbulkan keraguan, dan ini adalah misi sama karena rincian penting lainnya adalah sama, yakni: Pertama, kedua riwayat menjelaskan bahwa misi ini adalah melawan Bani Fazarah. Kedua, keduanya menyebutkan bahwa pemimpin Bani Fazarah adalah seorang wanita tua. Keduanya mencatat penangkapan wanita tersebut. Keduanya menyebutkan bahwa wanita ini memiliki seorang putri yang juga ditawan bersamanya. Keduanya menyebutkan bahwa putri ini menjadi bagian dari Salma bin Akwa.
Selain itu masih ada beberapa kesamaan lain juga. Sekarang pertimbangkan, dengan adanya kesamaan-kesamaan penting dan mendasar ini, bisakah seseorang meragukan bahwa ini adalah dua kejadian yang berbeda? Namun kita tidak hanya bergantung pada penalaran logis saja, karena para peneliti terdahulu juga telah menulis dengan jelas bahwa peristiwa yang disebutkan dalam Ṣaḥīḥ Muslim dan Sunan Abu Dawud adalah peristiwa yang sama yang dicatat oleh Ibnu Sa’d dalam corak yang berbeda.
Allamah Zarqani, Imam Suhaili, dan Allamah Halabi telah menulis dengan tegas bahwa ini adalah peristiwa yang sama yang secara keliru telah ditulis oleh Ibnu Sa’d dan Ibnu Ishaq terkait kisah Ummu Qirfah. Bahkan bukti yang lebih kuat bahwa ini merupakan kejadian yang sama adalah bahwa Tabari telah menyebutkan kedua riwayat ini secara berdampingan, dan dengan jelas menyatakan bahwa keduanya adalah kejadian yang sama.
Singkatnya, sangat pasti bahwa riwayat Salma bin Akwa dalam Ṣaḥīḥ Muslim dan Sunan Abu Dawud adalah menceritakan kejadian yang sama yang telah dicatat secara keliru oleh Ibnu Sa’d dan Ibnu Hisyam dengan nama Sariyah Ummu Qirfah. Kemudian, karena riwayat dari kitab-kitab Sahih (enam kitab hadits utama) yang diriwayatkan dengan sanad dan dari mulut seorang saksi kejadian adalah jelas lebih layak diutamakan daripada riwayat tanpa sanad dari Ibnu Sa’d dan Ibnu Hisyam, maka tidak ada keraguan sama sekali bahwa kisah pembunuhan kejam Ummu Qirfah adalah kisah yang sama sekali palsu dan tidak berdasar, yang telah masuk ke dalam beberapa riwayat sejarah melalui seorang musuh Islam yang tersembunyi dan munafik.
Jadi, kenyataan tentang Sariyah ini tidaklah lebih dari apa yang telah diterangkan oleh Muslim dan Abu Dawud. Masuknya suatu kejadian palsu ke dalam sejarah bukanlah hal yang mengherankan, karena contoh-contoh semacam ini dapat ditemukan dalam sejarah setiap bangsa dan negara. Namun yang mengherankan adalah bahwa seseorang seperti Sir William Muir memasukkan kejadian palsu ini ke dalam bukunya tanpa melakukan penelitian apa pun dan secara terbuka menyatakan bahwa alasan pencantuman ini semata-mata untuk memberikan contoh tindakan kejam umat Islam. Oleh karena itu, kejadian seperti itu adalah salah dan tidak terjadi.
Ada satu Sariyah lain yang disebutkan dalam sejarah yaitu Sariyah Abdullah bin Atiq yang dikirim kepada Abu Rafi’. Ibnu Sa’d menulis bahwa Sariyah ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 6 Hijriah. Hazrat Mirza Bashir Ahmadb r.a., yang mengambil penelitiannya dari berbagai buku sejarah, menulis:
Ada perbedaan pendapat dalam riwayat-riwayat mengenai waktu terbunuhnya Abu Rafi’. Bukhari, seperti halnya Zuhri, menyebutkannya secara umum setelah peristiwa pembunuhan Ka’b bin Asyraf tanpa memberikan tanggal yang rinci, yang bagaimanapun adalah benar, dan kemungkinan kedua kejadian ini disebutkan secara bersambungan karena sifatnya yang serupa. Tabari menempatkannya pada tahun 3 Hijriah setelah kejadian Ka’b bin Asyraf. Waqidi menulisnya pada tahun 4 Hijriah. Ibnu Hisyam, meriwayatkan dari Ibnu Ishaq, menempatkannya secara umum setelah Gazwah Bani Quraizhah yang terjadi pada akhir tahun 5 Hijriah, sehingga bisa dipahami bahwa ini terjadi pada awal tahun 6 Hijriah. Namun Ibnu Sa’d secara tegas menempatkannya pada tahun 6 Hijriah, dan kebanyakan sejarawan mengikuti Ibnu Sa’d. Wallāhu A’lam, Allah Maha Tahu.
Ibnu Ishaq menerangkan: Setelah Perang Khandaq dan masalah Bani Quraizhah selesai, Sallam bin Abu Huqaiq (Abu Rafi’) adalah salah satu dari orang-orang yang mengumpulkan pasukan melawan Rasulullah saw.. Suku Aus telah menghukum mati Ka’b bin Asyraf, pemimpin Yahudi, sebelum Perang Uhud karena permusuhannya terhadap Rasulullah saw. dan hasutannya melawan beliau saw.. Oleh karena itu, Suku Khazraj meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk menghukum mati Sallam bin Abi Huqaiq yang saat itu berada di Khaibar. Beliau saw. mengizinkan mereka.
Kedua suku ini, Aus dan Khazraj, senantiasa berlomba-lomba dalam mengkhidmati Rasulullah saw. seperti halnya dua unta jantan yang bersaing. Ketika suku Aus melakukan suatu pekerjaan untuk Rasulullah saw., suku Khazraj berkata bahwa Aus akan mendapatkan keutamaan atas suku mereka di sisi Rasulullah saw. dan dalam Islam karena pekerjaan tersebut. Maka mereka tidak berhenti sampai mereka melakukan pekerjaan serupa. Begitu pula sebaliknya.
Ketika suku Aus membunuh Ka’b bin Asyraf karena permusuhannya terhadap Rasulullah saw., suku Khazraj berkata, “Demi Allah, suku Aus tidak akan pernah bisa mengambil keutamaan atas kami karena ini.” Mereka bersaing dalam hal-hal yang mendekatkan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka dari itu, mereka memikirkan siapa yang setara dengan Ka’b bin Asyraf dalam permusuhan terhadap Rasulullah saw., dan mereka mengingat Ibnu Abi Huqaiq yang berada di Khaibar atau tanah Hijaz.
Ibnu Sa’d mengatakan bahwa orang-orang Khazraj berkata, “Abu Rafi’ bin Abi Huqaiq telah mengumpulkan suku Ghatafan dan kaum musyrikin di sekitarnya, dan menetapkan rencana besar untuk memerangi Rasulullah.” Maka dari itu, Suku Khazraj meminta izin kepada Rasulullah untuk menghukum mati Abu Rafi, dan beliau saw. mengizinkan.”
Lima orang dari Bani Salamah dari suku Khazraj berangkat, yaitu: Abdullah bin Atiq, Mas’ud bin Sinan, Abdullah bin Unais Al-Juhani (sekutu Anshar), Abu Qatadah Haris bin Rib’i, dan Khuza’i bin Aswad. Menurut Muhammad bin Umar dan Ibnu Sa’d, ia adalah Aswad bin Khuza’i, sekutu Ansar dari suku Aslam. Bara’ bin Azib menambahkan Abdullah bin Utbah seperti yang ada dalam Ṣaḥīḥ Bukhārī, sehingga menjadi enam orang. Ibnu Uqbah dan Suhaili menambahkan Asad bin Haram, sehingga menjadi tujuh orang. Rasulullah saw. menunjuk Hz. Abdullah bin Atiq r.a. sebagai pemimpin mereka dan melarang mereka membunuh wanita dan anak-anak.
Di sini juga terlihat jelas perintah untuk tidak membunuh wanita. Dalam Ṣaḥīḥ Bukhārī, rincian terbunuhnya Abu Rafi’ diriwayatkan sebagai berikut:
Hz. Bara’ bin Azib r.a. meriwayatkan: Abu Rafi’ sering menyakiti Rasulullah saw. dan membantu musuh-musuh Islam. Ia tinggal di bentengnya di tanah Hijaz. Ketika para sahabat mendekati benteng, matahari telah terbenam dan orang-orang telah kembali dengan kawanan ternak mereka. Hz. Abdullah bin Atiq r.a. berkata kepada rekan-rekannya, “Tetaplah di tempat kalian, saya akan pergi dan mencoba menemukan cara dengan penjaga pintu agar bisa masuk ke dalam.”
Beliau pergi dan mendekati pintu, kemudian menutupi dirinya dengan kain seolah-olah sedang buang hajat. Saat itu semua orang telah masuk. Dalam riwayat lain, Hz. Abdullah bin Atiq r.a. menjelaskan: “Saya mencari cara untuk masuk ke benteng. Pada saat itu, penduduk benteng kehilangan keledai mereka dan berkata akan mencarinya dengan membawa penerangan.” Beliau menuturkan, “Saya khawatir mereka akan mengenali saya, maka saya menutupi kepala saya seolah-olah sedang buang hajat.”
Penjaga pintu memanggil (ini riwayat Bukhari), “Wahai hamba Allah, jika ingin masuk, masuklah karena saya hendak menutup pintu.” Alhasil saya pun masuk dan bersembunyi. Dalam riwayat lain tertera: “Saya bersembunyi di kandang keledai dekat pintu benteng.” Setelah semua orang masuk, penjaga menutup pintu dan menggantung kunci-kunci di sebuah paku.
Hz. Abdullah berkata, “Saya bangkit menuju kunci-kunci itu, mengambilnya dan membuka pintu.” Dalam riwayat lain tertera: “Ketika suara-suara mereda dan saya tidak mendengar gerakan apa pun, saya pun keluar. Saya telah melihat di mana penjaga meletakkan kunci benteng di sebuah ceruk.” Ini pun riwayat Bukhari.
Orang-orang biasa berbincang-bincang dengan Abu Rafi’ pada malam hari. Ia berada di lantai atas. Ketika orang-orang yang berbincang dengannya telah pergi – dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka makan malam bersama Abu Rafi’ dan berbincang sampai berlalu sebagian malam – orang-orang pun kembali ke kamar-kamar mereka. Ini pun dikutip dari Ṣaḥīḥ Bukhārī.
Kemudian saya naik menuju Abu Rafi’, dan setiap pintu yang saya buka, saya kunci dari dalam. Saya berkata dalam hati, “Bahkan jika orang-orang menyadari keberadaanku, mereka tidak akan bisa mencapaiku sebelum aku membunuhnya.” Dalam riwayat lain tertera: Saya lalu pergi ke pintu-pintu kamar mereka dan menguncinya dari luar, kemudian saya naik melalui tangga menuju Abu Rafi’. Ini juga riwayat dari Bukhari.
Hz. Abdullah r.a. menuturkan: saya melihat Abu Rafi’ berbaring di kamar yang gelap di tengah keluarganya. Saya tidak tahu persis di mana posisinya dalam kamar. Saya memanggil, “Abu Rafi’!” Ia menjawab, “Siapa itu?” Saya bergegas ke arah suaranya dan menyerangnya dengan pedang, namun karena saya gemetar ketakutan, serangan itu tidak berguna. Ia berteriak. Ketika serangan tidak tepat mengenainya dan ia berteriak, saya keluar dari kamar.
Setelah beberapa saat, saya kembali masuk seolah-olah hendak menolongnya, saya berkata dengan mengubah suara saya, “Abu Rafi’, suara apa itu?” Ia menjawab, “Celakalah ibumu! Ada seseorang di kamar yang baru saja menyerangku dengan pedang.”
Hz. Abdullah bin Atiq r.a. melanjutkan: “Kemudian saya menyerangnya lagi setelah mendengar suaranya. Serangan ini membuatnya berdarah. Namun saya masih belum bisa membunuhnya, lalu saya letakkan ujung pedang di perutnya sampai menembus ke punggungnya.
Dalam riwayat lain disebutkan tentang serangan kedua ini: “Saya menyerang lagi tetapi tidak berhasil. Ia berteriak dan keluarganya bangun. Saya datang lagi dengan mengubah suara seperti orang yang hendak menolong.” Jadi, beliau dua kali mengubah suaranya. Beliau menuturkan: “Saya melihatnya terbaring telentang. Saya letakkan pedang di perutnya dan menekannya hingga saya mendengar suara tulang patah.” Ini pun riwayat Bukhari. “Saya yakin telah membunuhnya. Kemudian saya membuka pintu satu per satu sampai mencapai tangga terakhir. Saya mengira sudah mencapai tanah ketika melangkah, tetapi ternyata saya jatuh karena masih ada dua atau tiga anak tangga lagi. Pada malam yang terang bulan itu, betis saya patah (dalam riwayat lain disebutkan: “Pergelangan kaki saya terkilir.”). Saya membalutnya dengan sorban lalu berjalan. Saya duduk di pintu dan berkata dalam hati bahwa saya tidak akan keluar malam ini sampai memastikan ia telah mati. Ketika ayam berkokok di pagi hari, Ada orang yang berdiri di atas benteng mengumumkan kematian dan berkata, “Saya mengumumkan kematian Saudagar dari Hijaz!” Maka saya pergi menuju rekan-rekan saya dan berkata, “Selamat! Allah Taala telah menghukum mati Abu Rafi’.”
Kemudian saya pergi menghadap Rasulullah saw. dan memberitahu beliau saw.. Beliau saw. bersabda, “Ulurkan kakimu.” Saya mengulurkan kaki saya dan beliau mengusapnya, seolah-olah saya tidak pernah merasakan sakit setelah usapan beliau saw..” Dalam riwayat lain disebutkan, Hz. Abdullah bin Atiq r.a. berkata: Saya datang menuju rekan-rekan saya dengan terpincang-pincang lalu berkata, “Pergilah dan sampaikan kabar gembira kepada Rasulullah saw., karena saya tidak bisa pergi sampai mendengar pengumuman kematiannya.” Ketika fajar sudah dekat, ada orang yang mengumumkan kematian yang naik dan berkata, “Aku mengumumkan kematian Abu Rafi’.” Hz. Abdullah bin Atiq r.a. menuturkan, “Saya lalu bangkit dan berjalan tanpa merasakan sakit. Saya menemui rekan-rekan saya sebelum mereka sampai kepada Rasulullah saw..” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sakitnya telah hilang sebelumnya.
Peristiwa ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Bara’ bin Azib, yang menyebutkan bahwa Hz. Abdullah bin Atiq r.a. sendirian membunuh Abu Rafi’. Namun Ibnu Uqbah, Ibnu Ishaq, Muhammad bin Umar, dan Ibnu Sa’d menyebutkan bahwa semua rekan Hz. Abdullah bin Atiq r.a. bersama-sama melakukan eksekusi tersebut.
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. juga menganalisis kejadian ini dan menulis:
Di antara para pemimpin Yahudi yang hasutan dan provokasi mereka telah memicu fitnah berbahaya Perang Ahzab melawan kaum Muslimin pada akhir tahun 5 Hijriah, Huyay bin Akhtab telah menerima balasannya bersama Bani Quraizhah. Akan tetapi Salam bin Abi Al-Huqaiq yang dijuluki Abu Rafi’ masih bebas di wilayah Khaibar dan tetap sibuk dengan hasutannya. Bahkan, kekalahan memalukan dalam Perang Ahzab dan akhir mengerikan Bani Quraizhah telah semakin meningkatkan permusuhannya.
Karena kediaman suku-suku Ghatafan dekat dengan Khaibar, dan Yahudi Khaibar serta suku-suku Najd praktis bertetangga, Abu Rafi’ – yang merupakan pedagang besar dan orang kaya – telah biasa menghasut suku-suku liar dan suka berperang dari Najd untuk melawan kaum Muslimin. Dalam permusuhannya terhadap Rasulullah saw., ia setara dengan Ka’b bin Asyraf. Pada masa yang sedang kita bahas, ia telah memberikan bantuan finansial besar kepada suku Ghatafan untuk menyerang Rasulullah saw..
Sejarah membuktikan bahwa ancaman dari Bani Sa’d pada bulan Sya’ban, yang untuk mengatasinya sebuah pasukan dikirim dari Madinah di bawah komando Hz. Ali r.a., juga didalangi oleh Yahudi Khaibar yang melakukan semua kekacauan ini di bawah kepemimpinan Abu Rafi’. Namun Abu Rafi’ tidak berhenti sampai di situ. Api permusuhannya haus akan darah kaum Muslimin, dan keberadaan Rasulullah saw. menusuk matanya seperti duri. Akhirnya, ia mengambil strategi untuk kembali mengunjungi suku-suku Ghatafan dan suku-suku lain di Najd seperti pada Perang Ahzab, dan mulai mengumpulkan mereka dalam bentuk pasukan besar untuk menghancurkan kaum Muslimin. Setelah Perang Ahzab, ia mulai membentuk kelompok baru untuk melakukan serangan lagi.
Ketika situasi mencapai titik ini dan bayangan Perang Ahzab mulai menghantui kaum Muslimin, beberapa orang Ansar dari suku Khazraj menghadap Rasulullah saw. dan menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi fitnah ini adalah dengan mengakhiri sumber fitnah tersebut, yaitu Abu Rafi’. Rasulullah saw., dengan pertimbangan bahwa kematian satu orang yang menyebarkan fitnah dan kekacauan lebih baik daripada pertumpahan darah yang meluas di negeri, memberikan izin kepada para sahabat tersebut. Beliau saw. mengutus empat sahabat dari Khazraj di bawah pimpinan Hz. Abdullah bin Atiq Al-Anshari r.a. untuk menghadapi Abu Rafi’, namun dengan tegas memerintahkan agar jangan sekali-kali membunuh wanita atau anak-anak. Beliau saw. kembali memberikan penekanan mengenai hal ini. Bagaimana mungkin mereka akan membunuh seorang wanita dalam situasi seperti ini?
Oleh karena itu, pada bulan Ramadhan tahun 6 Hijriah, rombongan ini berangkat dan dengan sangat hati-hati menyelesaikan tugas mereka lalu kembali, sehingga awan ancaman ini tersingkir dari atmosfer Madinah. Detail peristiwa ini, dalam Ṣaḥīḥ Bukhārī, yang merupakan riwayat paling sahih dalam masalah ini, diceritakan sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Bara’ bin Azib meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. mengutus sekelompok sahabat menghadapi Abu Rafi’, yang merupakan seorang Yahudi, dengan menunjuk Hz. Abdullah bin Atiq Al-Anshari r.a. sebagai pemimpin mereka. Abu Rafi’ sering menyakiti Rasulullah saw., menghasut orang-orang melawan beliau saw., dan membantu mereka. Ketika Hz. Abdullah bin Atiq r.a. dan rekan-rekannya mendekati benteng Abu Rafi’ dan matahari telah terbenam, Hz. Abdullah bin Atiq r.a. meninggalkan rekan-rekannya di belakang dan sendiri mendekati pintu benteng. Beliau duduk di dekatnya dengan membungkus diri dengan selimut seolah-olah seseorang yang hendak buang hajat. Ketika penjaga pintu datang untuk menutup benteng, ia melihat Hz. Abdullah r.a. dan berkata, “Wahai orang, saya akan menutup pintu benteng, jika kamu ingin masuk, masuklah sekarang.” Hz. Abdullah r.a., masih terbungkus selimut, dengan cepat masuk ke dalam pintu dan bersembunyi di satu sisi. Penjaga pintu menutup pintu dan menggantung kuncinya di paku terdekat lalu pergi.
Setelah itu, Hz. Abdullah bin Atiq r.a. menceritakan: “Saya keluar dari tempat persembunyian dan pertama-tama membuka kunci pintu benteng agar bisa keluar dengan cepat dan mudah bila diperlukan. Saat itu Abu Rafi’ berada di sebuah kamar atas, di teras rumahnya, dan banyak orang duduk bersamanya dalam suatu majelis dan berbincang-bincang. Ketika mereka semua pergi dan keadaan menjadi sunyi, saya menaiki tangga menuju rumah Abu Rafi’, dengan berhati-hati mengunci setiap pintu yang saya lewati dari dalam.”
“Ketika saya tiba di kamar Abu Rafi’, ia sedang bersiap tidur dengan memadamkan lampu dan kamar dalam keadaan gelap gulita. Saya memanggil nama Abu Rafi’, dan ia menjawab, “Siapa itu?” Saya bergegas ke arah suaranya dan melancarkan serangan keras dengan pedang, tetapi karena gelap dan saya dalam keadaan gugup, serangan itu meleset dan Abu Rafi’ berteriak keras, yang membuat saya keluar dari kamar. Setelah beberapa saat, saya kembali masuk ke kamar dan dengan mengubah suara bertanya, “Abu Rafi’, suara apa tadi?” Ia tidak mengenali suara saya yang diubah dan menjawab, “Celakalah ibumu, seseorang baru saja menyerangku dengan pedang.” Mendengar suaranya, saya kembali menyerang dengan pedang. Kali ini serangan mengenai sasaran tetapi belum membunuhnya, maka saya melancarkan serangan ketiga yang akhirnya membunuhnya.”
“Setelah itu, saya bergegas membuka pintu-pintu dan keluar dari rumah, tetapi ketika menuruni tangga, saya mengira sudah sampai di bawah padahal masih ada beberapa anak tangga tersisa. Saya terjatuh dalam kegelapan dan betis saya patah – dalam riwayat lain disebutkan sendi betis terkilir. Saya membalutnya dengan sorban dan merangkak keluar. Namun saya bertekad tidak akan pergi sebelum memastikan kematian Abu Rafi’, maka saya bersembunyi di dekat benteng. Ketika pagi tiba, saya mendengar suara dari dalam benteng mengumumkan bahwa Abu Rafi’, pedagang Hijaz, telah tewas.”
“Setelah itu saya bangkit dan perlahan-lahan bergabung dengan rekan-rekan saya, kemudian kami kembali ke Madinah dan melaporkan pembunuhan Abu Rafi’ kepada Rasulullah saw.. Setelah mendengar seluruh kejadian, beliau saw. bersabda kepada saya, “Ulurkan kakimu”. Saya mengulurkan kaki dan beliau saw. mengusapnya sambil berdoa, setelah itu saya merasa seolah-olah tidak pernah mengalami cedera.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika Hz. Abdullah bin Atiq r.a. menyerang Abu Rafi’, istrinya mulai berteriak sangat keras, yang membuat Hz. Abdullah bin Atiq r.a. khawatir teriakannya akan membangunkan orang lain. Beliau mengangkat pedang ke arahnya, tetapi kemudian teringat bahwa Rasulullah saw. telah melarang membunuh wanita, maka beliau mengurungkan niat tersebut. Di sini terlihat lagi bahwa meskipun dalam situasi yang sangat berbahaya, mereka tetap tidak membunuh wanita karena adanya larangan.
Mengenai keabsahan pembunuhan Abu Rafi’, kita tidak perlu masuk dalam perdebatan panjang. Tindakan-tindakan berdarah Abu Rafi’ adalah satu halaman terbuka dalam sejarah. Secara prinsip, beberapa hal perlu diingat:
- Saat itu kaum Muslimin berada dalam kondisi sangat lemah dan menghadapi kesulitan dari segala arah, dengan api permusuhan menyala di mana-mana. Praktis seluruh negeri bersatu untuk menghancurkan kaum Muslimin.
- Di saat-saat kritis seperti itu, Abu Rafi’ menuangkan minyak ke api yang menyala melawan kaum Muslimin. Ia menggunakan pengaruh dan kekayaannya untuk menghasut berbagai suku Arab melawan Islam, dan mempersiapkan serangan bersama suku-suku liar Arab ke Madinah seperti dalam Perang Ahzab.
- Saat itu tidak ada pemerintahan di Arab yang bisa dimintai keadilan, setiap suku berdiri sendiri dan mandiri. Karena itu tidak ada pilihan selain mengambil tindakan sendiri untuk perlindungan diri.
- Orang-orang Yahudi sudah sejak awal berperang melawan Islam, dan keadaan perang telah tercipta antara kaum Muslimin dan Yahudi.
- Kondisi saat itu adalah jika dilakukan serangan terbuka terhadap Yahudi, akan terjadi kerugian besar dalam jiwa dan harta, dan ada kekhawatiran bahwa api peperangan akan meluas dan menciptakan kehancuran menyeluruh di negeri.
Dalam kondisi ini, tindakan para sahabat sepenuhnya benar dan tepat. Dalam keadaan perang, ketika suatu kaum sedang berada dalam situasi hidup dan mati, tindakan semacam ini dianggap sepenuhnya sah, dan setiap bangsa dan komunitas telah mengambil tindakan seperti ini sesuai kebutuhan di setiap zaman. Namun, sangat disayangkan bahwa di zaman kemerosotan moral saat ini, rasa simpati terhadap penjahat telah mencapai tingkat yang tidak wajar hingga seorang penindas pun bisa menjadi pahlawan. Bahkan sekarang kita melihat penindas menjadi pahlawan, dan hukuman yang ia terima karena kejahatannya malah menarik simpati publik. Bahkan jika penindas dihukum atau diminta untuk dihukum, publik atau orang-orang yang mementingkan diri sendiri bersimpati padanya dan melupakan kejahatannya. Namun berkenaan dengan Islam, kita mengakui bahwa Islam bukan agama perasaan palsu semacam ini. Ia menyatakan penjahat sebagai penjahat dan menganggap hukumannya sebagai rahmat bagi negara dan masyarakat. Islam mengajarkan untuk memotong anggota tubuh yang tersesat dan tidak membiarkan anggota tubuh yang busuk merusak anggota-anggota tubuh yang sehat dan baik.
Mengenai metode hukuman, telah dijelaskan bahwa metode ini dipilih sesuai dengan kondisi Arab saat itu dan mengingat keadaan perang yang ada antara Muslim dan Yahudi, dan dari segi keamanan umum, itu adalah yang terbaik dan paling tepat.
Mengenai kesembuhan betis Hz. Abdullah bin Atiq r.a., dalam riwayat Bukhari tidak dijelaskan apakah kesembuhan ini terjadi secara langsung dengan cara yang luar biasa atau terjadi secara bertahap mengikuti proses alaminya. Dalam kasus yang kedua, ini akan dianggap sebagai kejadian biasa dan pengaruh doa Rasulullah saw. hanya sebatas bahwa berkat doanya, cedera tersebut tidak meninggalkan efek permanen dan tidak menghasilkan konsekuensi buruk, melainkan betis Hz. Abdullah r.a. akhirnya memperoleh kembali kekuatan asli dan penuhnya dan efek cedera hilang sepenuhnya. Namun jika kesembuhan ini terjadi secara langsung dengan cara yang luar biasa, ini pasti merupakan keajaiban takdir khusus Allah Taala yang Dia tunjukkan sebagai hasil dari doa dan berkah Rasul-Nya.
Demikianlah kejadian-kejadian ini, dan masih ada kejadian-kejadian lainnya, insyaallah akan dibahas selanjutnya.[1]
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim