Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Hz. Rasulullah saw. – Peristiwa-peristiwa Para sahabat Rasulullah saw. dalam Berbagai Pertempuran
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 31 Januari 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ
أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾
Jumat lalu sedang dibahas mengenai Gazwah Dzi Qarad. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sebelum berangkat untuk perang ini, Rasulullah saw. telah mengirim beberapa sahabat ke arah musuh dan kemudian beliau saw. berangkat dengan pasukan mengikuti mereka.
Selanjutnya tertulis bahwa ketika Rasulullah saw. dan para sahabat tiba, pasukan musuh melihat mereka dan melarikan diri. Ketika kaum Muslimin tiba di perkemahan musuh, mereka menemukan kuda Hz. Abu Qatadah r.a. yang telah dipotong telinganya. Seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah! Kuda Abu Qatadah telinganya telah dipotong.” Rasulullah saw. berdiri di dekatnya dan bersabda dua kali, “Semoga engkau diberkati, betapa banyak musuhmu dalam peperangan.”
Kemudian Rasulullah saw. dan para sahabat melanjutkan perjalanan hingga tiba di tempat di mana Hz. Abu Qatadah r.a. dan Mas’adah telah bertarung, seperti yang telah dijelaskan Jumat lalu. Mereka mengira Hz. Abu Qatadah r.a. yang terbungkus dalam selimut. Seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah saw.! Sepertinya Abu Qatadah telah syahid.” Beliau saw. bersabda, “Semoga Allah merahmati Abu Qatadah. Demi Zat yang telah memuliakanku, Abu Qatadah sedang mengejar musuh dan membaca rajaz (syair perang).”
Hz. Abu Qatadah r.a. menuturkan: “Ketika rombongan Rasulullah saw. melihat kuda saya yang telinganya telah dipotong dan melihat sesosok mayat terbungkus dalam selimutnya, mereka mengira bahwa saya telah syahid. Hz Abu Bakar r.a., dan Hz. Umar r.a. bergegas maju dan menyingkapkan selimut itu, ternyata wajah Mas’adah yang mereka lihat. Keduanya berkata, ‘Allahu Akbar, Allah dan Rasul-Nya telah berkata benar. Wahai Rasulullah saw.! Ini adalah Mas’adah.’” Para sahabat pun bertakbir, dan tak lama kemudian Hz. Abu Qatadah r.a. datang menghadap Rasulullah saw. sambil menggiring unta-unta.
Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu Qatadah, engkau telah berhasil. Abu Qatadah adalah pemimpin para penunggang kuda. Wahai Abu Qatadah, semoga Allah memberkatimu.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau saw.. bersabda, “Semoga Allah memberkati keturunanmu dan keturunan dari keturunanmu.” Kemudian beliau saw.. bertanya, “Wahai Abu Qatadah, apa yang terjadi dengan wajahmu?” Hz. Abu Qatadah r.a. menjawab, “Ayah dan ibuku berkurban demi engkau, saya terkena anak panah. Demi Dzat yang telah memuliakan engkau, tampaknya saya telah mengeluarkan anak panah itu.” Rasulullah saw. bersabda, “Abu Qatadah, mendekatlah kepadaku.” Beliau mendekat kepada Rasulullah saw.. Beliau saw. dengan lembut mengeluarkan anak panah itu dan mengoleskan air liur beberkat beliau saw. serta meletakkan tangan beliau saw. di atasnya. Hz Abu Qatadah r.a. berkata, “Demi Zat yang telah menganugerahkan kenabian kepada engkau, seolah-olah saya tidak pernah terluka dan tidak ada bekas luka sama sekali.”
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa anak panah telah dikeluarkan sendiri oleh Hz. Abu Qatadah r.a., tetapi mungkin ada ujungnya yang masih tertinggal di dalam yang kemudian dikeluarkan oleh Rasulullah saw.. Bekasnya masih terlihat. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Rasulullah saw. melihat Hz. Abu Qatadah r.a., beliau berdoa, “Ya Allah, berkatilah rambutnya dan kulitnya,” dan bersabda, “Wajahmu telah berhasil.” Hz. Abu Qatadah r.a. berkata, “Wahai Rasulullah! Semoga wajah engkau yang berhasil.” Ketika Hz. Abu Qatadah r.a. wafat di usia 70 tahun, dikatakan bahwa wajah beliau tampak seperti orang berusia 15 tahun, yakni masih terlihat muda.
Dalam perang ini, tentang pertempuran Hz. Salamah r.a. dengan musuh di Dzi Qarad diriwayatkan sebagai berikut: Hz. Salamah r.a. menuturkan, “Saya terus mengejar musuh hingga, demi Zat yang telah memuliakan Rasulullah saw., saya tidak dapat melihat para sahabat di belakang saya bahkan debu mereka pun tidak terlihat. Sebelum matahari terbenam, musuh tiba di sebuah lembah di mana terdapat mata air bernama Dzi Qarad. Mereka hendak minum dari situ tetapi ketika melihat saya masih mengejar, mereka menjauh. Matahari telah terbenam. Saya melihat seseorang lalu memanahnya – saya telah memanahnya di pagi hari – kini saya panah lagi dan kedua anak panah mengenainya. Dia melarikan diri meninggalkan dua kuda, maka saya menangkap keduanya dan membawanya ke hadapan Rasulullah saw. yang telah tiba pada saat itu.”
Mengenai kedatangan Rasulullah saw. di Dzi Qarad, Hz. Salamah r.a. menuturkan: “Rasulullah saw. tiba pada waktu Isya dan berkemah di mata air tempat saya mencegat musuh. Beliau saw. telah mengambil alih unta-unta dan semua yang saya rebut dari musuh. Hz. Bilal r.a. menyembelih salah satu unta yang direbut dari musuh dan memanggang hati serta punuknya untuk Rasulullah saw.. Hz. Sa’d bin Ubadah r.a. mengirim sepuluh unta yang sarat dengan kurma yang sampai kepada beliau di Dzi Qarad.”
Hz. Salamah r.a. meriwayatkan, “Saya berkata, ‘Saya telah mencegah musuh dari air dan mereka kehausan. Izinkan saya pergi bersama seratus mujahidin untuk mengejar dan membunuh semua mata-mata mereka.’ Rasulullah saw. tersenyum hingga gigi-gigi beliau saw. terlihat dalam cahaya api. Beliau saw. bersabda, ‘Salamah, apakah Anda sanggup melakukan itu?’ Saya menjawab, ‘Demi Zat yang telah memuliakan engkau, ya, [saya sanggup].’ Rasulullah saw. bersabda,
ملكتَ فاسجع فاسجع
(Kamu telah menguasai mereka, maka bersikaplah lemah lembut).
Ini adalah peribahasa Arab yang bermakna bahwa pengampunan terbaik adalah bersikap lemah lembut dan tidak menggunakan kekerasan. Jika mereka telah pergi, biarlah mereka pergi, tidak perlu mengejar mereka lagi.”
Dalam peristiwa perang ini, Hz. Salamah r.a. menuturkan: “Pada pagi hari, Rasulullah saw. bersabda, ‘Penunggang kuda terbaik hari ini adalah Abu Qatadah dan pejalan kaki terbaik adalah Salamah bin Uqbah.’” Hz. Salamah r.a. berkata: “Beliau saw. memberikan saya bagian kedua-duanya (baik penunggang dan pejalan kaki), kemudian beliau saw. mendudukkan saya di belakang beliau saw. di atas unta beliau saw..”
Dalam perjalanan ini ada riwayat kejadian lain tentang Hz. Salamah r.a.. Beliau menuturkan, “Ketika kembali ke Madinah, saat kami sudah dekat dengan Madinah, seorang sahabat Ansar yang sangat cepat dalam berlari mengumumkan, ‘Adakah yang berani berlomba lari denganku?’ yakni berlomba lari sampai ke Madinah. Ia mengulangi kata-kata ini beberapa kali. Hz. Salamah r.a. menuturkan: “Saya saat itu sedang duduk di belakang Rasulullah saw. di atas unta. Saya berkata kepada sahabat Anshar itu, ‘Apakah engkau tidak menghormati orang yang mulia? Apakah engkau tidak takut kepada orang yang terhormat dengan terus mengumumkan ini?'” Ia menjawab, “Tidak, kecuali Rasulullah saw., saya tidak takut kepada siapa pun.”
Maka saya berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah saw.! Ayah dan ibuku siap berkorban demi engkau, izinkan saya berlomba lari dengan orang ini.” Beliau saw. bersabda, “Silakan jika engkau mau.” Saya berkata kepada orang itu, “Mari [kita berlomba].” Hz. Salamah r.a. menuturkan: “Saya pun melompat dan mulai berlari. Saya berlari satu atau dua lembah di belakangnya, yakni ia di depan dan saya di belakang, sambil menyimpan tenaga. Kemudian saya mempercepat lari dan menyusulnya. Saya menepuk di antara bahunya dan berkata, ‘Demi Allah, aku telah mendahuluimu.’ Ia tersenyum dan berkata, ‘Aku juga berpikir demikian,’ dan begitulah saya mendahuluinya dalam perlombaan lari itu hingga kami tiba di Madinah.”
Mengenai berapa lama Rasulullah saw. berada di luar Madinah untuk perang ini, dijelaskan bahwa Rasulullah saw. berangkat pada rabu pagi dan beliau saw. tinggal satu hari satu malam di Dzi Qarad untuk mendapatkan kabar tentang musuh, kemudian kembali ke Madinah pada hari Senin. Dengan demikian beliau saw. berada di luar Madinah selama lima malam.
Mengenai rincian para sahabat yang syahid dalam perang ini tertera bahwa dari pihak Muslim, Hz. Muhriz bin Nadhlah r.a. syahid, menurut Ibnu Hisyam, Hz. Ibnu Waqqash bin Mujazziz r.a. juga syahid. Selain mereka, putra Hz. Abu Dzar r.a. telah syahid di kandang unta sebelum perang dimulai. Mengenai pihak kafir, tercatat bahwa Abdurrahman bin Uyainah, Hubaib bin Uyainah, Mas’adah bin Hakmah Al-Fazari, Ubar dan putranya Amr terbunuh.
Sebelumnya telah disebutkan tentang istri Hz. Abu Dzar r.a. yang ditawan musuh. Para penyerang menangkap dan membawa istri Hz. Abu Dzar r.a., mereka mengikatnya. Mereka biasa menempatkan ternak mereka di depan rumah pada malam hari. Suatu malam, wanita itu berhasil melepaskan ikatannya dan mendekati unta-unta yang terikat di dekatnya. Setiap kali ia mendekati seekor unta, unta itu meronta. Ia meninggalkannya dan unta itu membuat keributan, hingga ia sampai ke Adhba, yakni unta Rasulullah saw. yang telah dirampas musuh. Unta ini tidak meronta, sangat tenang. Unta ini sudah terlatih dengan baik. Wanita itu naik ke punggungnya, memukulnya pelan, dan unta itu berjalan.
Orang-orang mengetahui pelariannya dan mencoba menangkapnya, tapi tidak berhasil. Perawi mengatakan bahwa wanita itu bernazar kepada Allah, jika Allah menyelamatkannya melalui unta ini, ia akan menyembelihnya. Ketika ia tiba di Madinah dan orang-orang melihatnya, mereka berkata, “Ini Adhba, unta Rasulullah saw..” Wanita itu mengatakan, “Saya telah bernazar akan menyembelih unta ini jika Allah menyelamatkan saya melaluinya.”
Karena perdebatan ini, orang-orang menghadap Rasulullah saw. dan menceritakan seluruh kejadian. Rasulullah saw. bersabda, “Subḥānallāh! Betapa buruknya balasan yang diberikan wanita ini kepada unta tersebut. Unta ini telah menyelamatkannya, dan ini balasannya? Bernazar akan menyembelihnya jika Allah menyelamatkannya melalui unta ini? Ini bukanlah balasan yang baik.” Kemudian beliau saw.. bersabda, “Tidak boleh menunaikan nazar dalam perlawanan kepada Allah, dan tidak sah nazar terhadap sesuatu yang bukan miliknya. Anda bukan pemiliknya, ini unta saya. Pulanglah ke rumahmu dengan menyebut nama Allah dan keberkatan-Nya.”
Sekarang saya akan menyampaikan tentang sebuah Sariyah. Ini adalah Sariyah Hz. Aban bin Sa’id r.a. ke arah Najd. Sariyyah ini terjadi pada bulan Muharram tahun 7 Hijriah, meskipun dalam satu riwayat disebutkan terjadi pada Jumadil Akhir tahun 7 Hijriah. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. juga mencatat Sariyah ini terjadi pada Muharram tahun 7 Hijriah. Bulan Muharram tahun 7 Hijriah lebih masuk akal karena dalam riwayat disebutkan bahwa sebelum keberangkatan ke Khaibar, Hz. Aban bin Sa’id r.a. dikirim dari Madinah ke arah Najd, dan keberangkatan ke Khaibar terjadi pada Muharram tahun 7 Hijriah.
Berikut adalah profil Hz. Aban r.a.: Ayah beliau termasuk tokoh terkemuka Quraisy. Saudara-saudaranya, Amr dan Khalid, telah lebih dulu masuk Islam dan termasuk di antara muslim yang berhijrah ke Habsyah. Aban ikut berperang di pihak musyrikin dalam Perang Badar. Ia memberi perlindungan kepada Hz. Utsman r.a. saat Perjanjian Hudaibiyah. Ketika Amr dan Khalid kembali dari Habsyah, mereka mengirim pesan kepada Aban hingga ketiganya bersama-sama menghadap Rasulullah saw. pada masa Khaibar dan Aban menerima Islam. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Hz. Aban bin Sa’id r.a. masuk Islam pada masa antara Perjanjian Hudaibiyah dan Perang Khaibar.
Saat wafatnya Rasulullah saw., Hz. Aban r.a. bertugas sebagai Amil [Gubernur] di Bahrain. Setelah itu, beliau menghadap Hz.Abu Bakar r.a. dan pergi ke Syam. Beliau syahid pada tahun 13 Hijriah. Menurut satu riwayat, beliau wafat pada tahun 27 Hijriah pada masa kekhalifahan Hz.Utsman r.a..
Sebelum berangkat ke Perang Khaibar, Rasulullah saw. mengirim pasukan ke arah Najd di bawah pimpinan Hz. Aban bin Sa’id r.a.. Najd adalah wilayah semi gurun namun subur dengan banyak lembah dan gunung. Wilayah ini membentang dari Yaman di selatan hingga Gurun Syam dan Irak di utara. Di sebelah baratnya terletak Gurun Hijaz. Daerah ini terletak 1.200 meter di atas permukaan laut. Karena ketinggian ini, wilayah tersebut disebut Najd.
Tujuan pasukan ini adalah untuk melindungi Madinah dari suku-suku musuh selama ketidakhadiran Rasulullah saw.. Suku-suku ini selalu mencari kesempatan yang tepat untuk menyerang Madinah. Keberangkatan Rasulullah saw. dengan para sahabat dari Madinah dianggap sebagai kesempatan paling tepat untuk menyerang. Musuh berpikir bahwa karena Rasulullah saw. dan pasukannya sedang berada di luar dan hanya sedikit orang yang tersisa di Madinah, mereka bisa menaklukkan Madinah. Karena kekhawatiran ini, setiap kali beliau saw. pergi berperang, beliau saw. juga mengirim beberapa sahabat ke arah suku-suku tersebut.
Sariyah ini disebutkan dalam Ṣaḥīḥ Bukhārī bahwa Rasulullah saw. mengutus Hz. Aban r.a. sebagai pemimpin sariyah dari Madinah ke arah Najd. Hz. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan: “Aban dan para sahabatnya datang kepada Rasulullah saw. di Khaibar setelah beliau saw. menaklukkannya.” Hz.Abu Hurairah menuturkan: saya memohon, “Wahai Rasulullah, jangan berikan bagian kepada mereka,” (maksudnya bagian harta ganimah di Khaibar). Terjadilah perdebatan di antara keduanya. Rasulullah saw. bersabda, “Duduklah, wahai Aban,” beliau saw.. tidak memberinya bagian, karena mereka tidak secara langsung ikut dalam Perang Khaibar, ini mungkin menjadi alasannya.
Kemudian dalam sejarah tercatat satu gazwah yang sangat terkenal yaitu Gazwah Khaibar. Khaibar adalah sebuah daerah subur yang diairi oleh sungai dan banyak sumber air, dan dianggap sebagai kebun kurma terbesar di Jazirah Arab. Kesuburannya dapat diperkirakan dari kenyataan bahwa hanya di satu lembah Khaibar yang disebut Katibah saja terdapat 40.000 pohon kurma.
Lembah Khaibar terletak sekitar 96 mil di sebelah utara Madinah. Orang-orangYahudi telah lama menetap di sana. Menurut sejarah, orang-orang Yahudi telah menetap di sana sejak masa Nabi Musa a.s.. Menurut beberapa sejarawan, orang-orang Yahudi menetap di sana pada masa Nebukadnezar. Ada juga riwayat lain yang menyimpulkan bahwa orang-orang Yahudi telah lama menetap di Khaibar dan membangun benteng-benteng besar. Tempat ini sangat penting bagi mereka dan masih demikian hingga sekarang. Dalam bahasa Ibrani, kata Khaibar sendiri berarti benteng.
Beberapa suku Yahudi juga menetap di Madinah, tetapi Yahudi Khaibar memiliki keistimewaan yaitu mereka melampaui semua Yahudi lainnya dalam hal keberanian dan keteguhan dalam peperangan, serta memiliki persatuan yang lebih kuat dibandingkan yang lain. Karena ini, wilayah tersebut dianggap sebagai pusat kekuatan kaum Yahudi di Arab.
Baik Yahudi Madinah maupun Khaibar, rencana buruk dan permusuhan mereka terhadap Rasulullah saw. dan Islam telah mencapai tingkat pemberontakan. Kaum yang terus meningkat dalam kebencian dan permusuhan ini tidak segan dalam menggunakan seluruh kekuatan mereka untuk menghancurkan Islam dan pribadi Rasulullah saw.. Namun sebaliknya, Rasulullah saw. selalu memperlakukan para Yahudi di Madinah dengan kelembutan, membuat perjanjian damai dengan mereka, dan ketika mereka melanggar perjanjian, sikap pertama beliau saw. adalah memaafkan dan mengampuni.
Mereka berkali-kali mencoba membunuh Rasulullah saw.. Mereka melanggar perjanjian dengan bekerja sama dengan kekuatan luar untuk menyerang Madinah. Sebagai balasannya, jika semua Yahudi ini diberikan hukuman paling berat sekalipun, itu masih sesuai dengan prinsip keadilan. Kendati demikian, sifat pengampunan dan rahmat Rasulullah saw. adalah sedemikian tingginya sehingga beliau saw. masih memberikan jaminan keamanan atas nyawa dan harta mereka dengan cara mengeluarkan mereka dari Madinah dan memperbolehkan mereka membawa apa pun yang bisa mereka bawa.
Jika tujuan Rasulullah saw. adalah (na’ūẓubillāh) pemaksaan, beliau saw. tidak akan pernah memaafkan pengkhianatan berulang yang dilakukan oleh Yahudi Madinah. Jika tujuan beliau saw. adalah pertumpahan darah, beliau saw. tidak akan pernah memberikan jaminan keamanan kepada Bani Qainuqa dan Bani Nadhir untuk meninggalkan Madinah dengan aman.
Jika tujuan Rasulullah saw. adalah mendapatkan harta kekayaan, beliau saw. tidak akan pernah membiarkan Bani Nadhir – yang dianggap sebagai suku terkaya di Jazirah Arab – membawa pergi emas dan perak mereka dalam kantong-kantong besar di hadapan penduduk Madinah. Setelah perlakuan baik, ihsan, dan pengampunan yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. kepada para Yahudi Madinah, seharusnya setelah menetap di Khaibar, mereka hidup dalam suasana damai dan keamanan terhadap Islam dan pendirinya.
Setelah dikeluarkan dari Madinah, sejumlah Yahudi Madinah menetap di Khaibar. Khaibar, yang sebelumnya sudah menjadi kekuatan militer besar, menjadi pusat dari rencana berbahaya untuk melawan umat Islam. Yahudi Khaibar inilah yang mengirimkan utusan besar yaitu para pemimpin Yahudi Khaibar menuju Makkah untuk menemui kaum musyrikin dan menyusun rencana untuk menghancurkan Rasulullah saw.. dan Islam. Setelah mendapatkan persetujuan, utusan mereka mengunjungi berbagai suku di sekitarnya dan berhasil mengumpulkan pasukan besar berjumlah 15.000 orang untuk menyerang Madinah, yang kemudian dikenal dalam sejarah Islam sebagai Perang Ahzab atau Perang Khandaq.
Tidak diragukan bahwa jika bukan karena dukungan dan pertolongan khas Allah Taala kepada Islam, mungkin nama Madinah beserta umat Islam telah terhapus. Tidak diragukan pula bahwa Yahudi Khaibar adalah dalang di balik rencana berbahaya ini, yang terus berupaya menghancurkan umat Islam. Bahkan hukuman berat pertama yang diberikan kepada Bani Quraizhah di Madinah atas pengkhianatan mereka tidak membuat Yahudi Khaibar mengubah sikap mereka. Oleh karena itu, sekarang sangat penting untuk mengambil tindakan langsung terhadap kaum yang terus berkhianat dan bersekongkol ini agar kedamaian di seluruh negeri dapat dipulihkan dan setiap orang dapat mengamalkan agama mereka dengan aman tanpa rasa takut, sehingga agama menjadi murni untuk Allah tanpa ada paksaan dalam agama, karena ini adalah urusan antara Allah dan hamba-Nya.
Seorang orientalis terkenal, Montgomery Watt, yang tidak segan mengeluarkan racun kritikan terhadap Islam dan pendirinya, bahkan menulis dalam bukunya yang terjemahannya adalah: “Alasan langsung dan sederhana untuk menyerang Khaibar adalah bahwa mereka telah menggunakan kekayaan mereka secara bebas untuk menghasut suku-suku Arab tetangga mereka agar mengangkat senjata melawan umat Islam.”
Dengan latar belakang ini, Rasulullah saw., atas petunjuk Ilahi, memutuskan untuk bergerak ke arah Khaibar. Allamah Ibnu Sa’d menulis bahwa Perang Khaibar terjadi pada Jumadilawal tahun 7 Hijriah, sementara menurut Ibnu Uqbah dan Allamah Ibnu Ishaq, ketika Rasulullah saw. kembali ke Madinah dari Hudaibiyah pada bulan Zulhijah, beliau saw.. tinggal di Madinah sekitar 20 malam kemudian berangkat ke Khaibar pada bulan Muharram.
Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. dalam Sīrat Khātamun Nabiyyīn juga mencatat perang ini terjadi pada bulan Muharram dan Safar tahun 7 Hijriah. Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menyatakan bahwa sekitar lima bulan setelah kembali dari Hudaibiyah, Rasulullah saw. memutuskan untuk mengusir Yahudi dari Khaibar, yang hanya berjarak beberapa manzil [perhentian] dari Madinah dan darinya berbagai rencana buruk secara mudah dilakukan terhadap Madinah. Maka beliau saw.. berangkat ke Khaibar dengan 1.600 sahabat pada Agustus 628 M.
Beberapa sejarawan menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi lima bulan setelah Perjanjian Hudaibiyah, dan Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga menyatakan hal yang sama dalam buku “Pengantar Mempelajari Al-Qur’an.” Namun, mayoritas sejarawan dan ahli hadits menyebutkan peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram, tidak lama setelah Perjanjian Hudaibiyah, dan Hadzat Mirza Bashir Ahmad r.a. juga menulis demikian. Wallāhu A’lam.
Pada dasarnya, Perjanjian Hudaibiyah adalah satu kemenangan yang sangat besar. Al-Quran mengartikannya sebagai satu kemenangan yang agung. Sebagaimana Allah Taala berfirman:
اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ
yakni, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada engkau kemenangan yang nyata. Kemenangan yang nyata ini adalah pintu yang membuka jalan menuju kemenangan-kemenangan besar seperti Khaibar dan Makkah. Sesungguhnya Allah telah menjanjikan hal ini ketika Surah Al-Fath diturunkan dalam perjalanan pulang dari Hudaibiyah antara Makkah dan Madinah.
Dalam surah tersebut, kabar gembira tentang kemenangan di Khaibar diturunkan:
لَقَدْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبًاۙ
وَّمَغَانِمَ كَثِيْرَةً يَّأْخُذُوْنَهَا ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا
وَعَدَكُمُ اللّٰهُ مَغَانِمَ كَثِيْرَةً تَأْخُذُوْنَهَا فَعَجَّلَ لَكُمْ هٰذِهٖ
“Sungguh, Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka baiat kepada engkau di bawah pohon itu, dan Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia menurunkan ketentraman kepada mereka dan Dia mengganjar kepada mereka kemenangan yang dekat (yaitu kemenangan di Khaibar), serta harta ganimah yang banyak yang akan mereka peroleh (mereka mendapatkan harta ini di khaibar). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Allah telah menjanjikan kepada kamu harta ganimah yang banyak yang akan kamu peroleh, maka Dia menyegerakan janji-Nya ini bagi kamu.” (Al-Fath: 19-21)
Mengenai persiapan pasukan dan penunjukkan wakil di Madinah, dijelaskan bahwa ketika Rasulullah saw. mengumumkan keberangkatan ke Khaibar, beliau menyatakan saw. bahwa hanya mereka yang ikut dalam Perjanjian Hudaibiyah yang boleh ikut. Menurut satu riwayat, Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang berangkat hanya untuk mendapatkan harta ganimah, tidak boleh ikut, hanya mereka yang benar-benar berniat untuk berjihadlah yang boleh berangkat bersamaku.”
Menurut Ibnu Hisyam, Rasulullah saw. menunjuk Hz. Numailah bin Abdullah Laitsi r.a. sebagai wakil beliau saw. di Madinah, sementara menurut Imam Bukhari, beliau saw. menunjuk Hz. Siba bin Urfuthah r.a. sebagai wakil.
Allamah Ibnu Ishaq dan Ibnu Sa’d menyebutkan bahwa dalam Perang Khaibar, untuk pertama kalinya bendera disebutkan, sebelumnya hanya ada panji-panji kecil. Rasulullah saw. memberikan bendera kepada Hz.Abu Bakar r.a., Hz. Umar r.a., Hz. Khabbab bin Mundzir r.a., dan Hz. Sa’d bin Ubadah r.a.. Bendera Rasulullah saw. berwarna hitam yang dibuat dari selendang Hz. Aisyah r.a.. Bendera itu bernama ‘Uqab dan dipegang oleh Hz. Khabbab bin Mundzir r.a..
Dalam riwayat disebutkan bahwa Hz. Ali r.a. juga diberi sebuah bendera, tetapi itu diberikan di Khaibar karena Hz. Ali r.a. tidak bisa berangkat bersama Rasulullah saw. karena menderita sakit mata yang parah hingga tidak bisa melihat. Namun kemudian karena kegelisahan, Hz. Ali r.a. tetap memaksakan diri berangkat dan sampai di Khaibar.
Dalam perjalanan ini, Ummul Mu’minin, Hz. Ummu Salamah r.a. menyertai Rasulullah saw.. Menurut satu riwayat, 6 atau 7 sahabiyah (sahabat wanita) juga ikut dalam misi ini, dan menurut riwayat lain, 20 sahabiyah ikut dalam perang ini.
Hz. Ummu Sinan Aslamiyah r.a. menuturkan: “Ketika Rasulullah saw. memutuskan untuk berangkat ke Khaibar, saya menghadap beliau saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan saya ikut. Saya akan membersihkan tempat air, menjaga perlengkapan pasukan, dan mengobati yang sakit atau terluka.” Beliau saw.. mengizinkannya. Demikian pula beberapa wanita dari Bani Ghifar menghadap Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah! Kami juga ingin ikut berperang. Kami akan merawat yang terluka dan membantu para mujahid sebisa kami.” Beliau saw. mengizinkan mereka dan mendoakan keberkatan untuk mereka.
Ketika Yahudi Madinah mengetahui persiapan Rasulullah saw. dan para sahabat, mereka sangat gelisah dan memahami bahwa jika beliau saw. memasuki Khaibar, Khaibar akan binasa seperti Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah. Yahudi Madinah adalah orang-orang kaya dan umat Muslim Madinah sering meminjam uang dari mereka karena kesulitan ekonomi. Kini, demi kepentingan Yahudi Khaibar, Yahudi Madinah mulai menuntut pembayaran hutang dengan segera untuk menyulitkan umat Islam dan mencegah mereka dari berperang.
Ada kisah tentang seorang sahabat, Hz. Ibnu Abi Hadrad r.a., yang berhutang lima dirham (dalam riwayat lain empat dirham) kepada seorang Yahudi bernama Abu Syahm. Yahudi itu menuntut pembayaran. Ibnu Abi Hadrad meminta penangguhan hingga kembali dari Khaibar, karena Allah Taala telah menjanjikan harta ganimah Khaibar kepada Nabi-Nya saw. Abu Syahm dengan dengki berkata, “Apakah kalian pikir berperang dengan penduduk Khaibar sama seperti berperang dengan arab pedalaman biasa? Demi Taurat, di sana ada 10.000 pejuang!”
Keduanya menghadap Rasulullah saw. untuk menyelesaikan masalah ini. Saat itu sedang terjadi situasi darurat perang dan Yahudi itu menunjukkan keberpihakan pada Khaibar dengan fanatisme tinggi serta mengejek pasukan Muslim. Rasulullah saw. adalah sebagai kepala negara, orang Yahudi tersebut bisa saja mendapatkan hukuman, tetapi beliau saw. menunjukkan kesabaran, keadilan dan toleransi yang luar biasa dengan memerintahkan, “Bayarlah haknya.” Ibnu Abi Hadrad berkata, “Demi Zat yang mengutus engkau dengan kebenaran, saya tidak mampu membayarnya saat ini.” Beliau saw. bersabda, “Bagaimanapun, bayarlah haknya.”
Ibnu Abi Hadrad menceritakan bahwa ia melepas serban kepalanya untuk dijadikan kain sarung dan menjual kain sarungnya yang lama di pasar untuk membayar hutangnya. Ia kemudian memakai kain lain yang diberikan oleh Salamah bin Aslam atau menurut riwayat lain seorang sahabiyah tua yang memberinya hadiah setelah mengetahui kejadian tersebut. Dengan takdir Allah Taala, sahabat ini mendapat harta rampasan di Khaibar, termasuk seorang wanita yang masih kerabat Abu Syahm, dan ia kemudian menjual wanita itu kepada Yahudi tersebut.
Ketika berita tentang pergerakan ke Khaibar menyebar, Yahudi Madinah tidak hanya menunjukkan kebencian dan fanatisme terhadap umat Islam, tetapi juga menyewa seorang badui dari suku Asyja’ untuk segera dikirim ke Khaibar dengan informasi tentang persiapan perang kaum Muslimin dan informasi penting lainnya, dengan pesan agar mereka melawan umat Islam dengan gigih.
Demikianlah, pihak yang menentang umat Islam tidak memerlukan mata-mata karena kaum munafik di Madinah sudah melakukan tugas ini dengan sangat cepat. Pada kesempatan ini pun, pemimpin kaum munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul, tidak tinggal diam, melainkan segera mengirim surat ke Yahudi Khaibar melalui salah seorang pembantunya. Isi surat itu adalah: “Muhammad saw. akan datang kepada kalian. Siapkan pertahanan kalian, masukkan harta kalian ke dalam benteng-benteng kalian, dan majulah ke medan perang melawannya. Janganlah takut terhadap mereka sama sekali. Jumlah kalian banyak sedangkan kaum Muhammad saw. sedikit dan mereka hanya memiliki sedikit senjata.”
Ketika Yahudi Khaibar mengetahui hal ini, para pemimpin mereka mengadakan pertemuan dan terjadi perbedaan pendapat. Disebutkan bahwa ketika Yahudi Khaibar mengetahui kedatangan pasukan Muslim, mereka mengadakan pertemuan untuk bermusyawarah tentang cara menghadapi pasukan Islam. Dalam diskusi ini, para pemimpin Yahudi mengajukan berbagai usulan. Satu kelompok berpendapat bahwa Yahudi harus bertahan di dalam benteng dan berperang dari balik tembok benteng, dengan harapan umat Islam akan menyerah dan menghentikan pengepungan karena frustrasi.
Sementara itu, Abu Zainab, saudara dari Marhab yang merupakan pejuang pemberani yang terkenal di Khaibar, mengusulkan agar mereka keluar dan berperang di medan terbuka daripada bertahan di dalam benteng, karena sebelumnya mereka telah melihat hasil dari pertahanan benteng Yahudi Madinah yang berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin. Namun kelompok pertama menolak usulan ini dengan mengatakan bahwa benteng-benteng mereka jauh lebih kuat daripada benteng-benteng Yahudi Madinah.
Ada usulan ketiga yang bahkan lebih sombong dan berani, yang diajukan oleh panglima pasukan Khaibar, Sallam bin Misykam. Ia mengusulkan untuk menyerang Madinah langsung dan bersama semua sekutu mereka menghancurkan umat Islam. Mayoritas menyetujui pendapat ini, tetapi pemimpin tertinggi Khaibar, Kinanah bin Abi Al-Huqaiq, menentangnya dan berkata bahwa benteng mereka tidak seperti benteng Yatsrib. Dalam kesombongannya, ia berkata bahwa Muhammad saw. tidak akan pernah berani mendekati mereka.
Namun, semua pemimpin sepakat untuk mengirim delegasi kepada suku-suku pejuang di sekitar mereka untuk meminta bantuan militer. Maka dibentuklah delegasi yang terdiri dari 14 orang yang menurut beberapa riwayat dipimpin oleh Kinanah sendiri. Delegasi ini pergi ke suku Bani Asad, Ghathafan, dan suku-suku lainnya. Mereka menawarkan setengah dari hasil panen setahun Khaibar sebagai imbalan bantuan militer.
Suku Bani Murrah dengan bijaksana menolak memberikan bantuan semacam itu, tetapi suku-suku pejuang seperti Bani Asad dan Bani Ghathafan segera mengirim pasukan bersenjata sebanyak 1000 orang dan mulai mempersiapkan bantuan tambahan yang dijanjikan sebanyak 4000 pasukan.
Selanjutnya saya akan menyampaikan riwayat tentang beberapa almarhum:
Pertama adalah yang terhormat Tn. Muhammad Ashraf, putra dari Mukarram Muhammad Bakhsh dari Mandi Bahauddin, yang baru-baru ini telah wafat. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji`ūn. Beliau meninggalkan tiga putri dan enam putra. Salah satu putranya, Kashif Javed, saat ini berada di Senegal sebagai Wakil Missionary Incharge dan Amir Jemaat, dan karena itu tidak bisa menghadiri pemakaman ayahnya dari Senegal. Putranya yang menjadi Mubalig ini menulis bahwa ayahnya adalah sosok yang sangat sederhana, berbudi luhur, dan bertakwa. Beliau sangat mencintai Ahmadiyah dan Khilafat. Beliau adalah satu-satunya Ahmadi dalam keluarganya dan sering mengatakan bahwa apa pun yang mereka peroleh adalah karena Ahmadiyah. Beliau selalu menasihati anak-anaknya untuk tetap terhubung dengan Ahmadiyah dan Khilafat.
Kakeknya, Muhammad Azam, baiat sekitar tahun 1968 di desa Bhabra, Sargodha, dan saat itu ayahnya juga menjadi Ahmadi. Beliau adalah satu-satunya saudara laki-laki dari pihak ibu yang menjadi Ahmadi. Setelah matrikulasi, beliau meninggalkan desa dan bekerja di Shah Taj Sugar Mill di Mandi Bahauddin dan menetap di sana hingga akhir hayatnya. Di usia lanjut, beliau belajar Al-Quran dengan antusias dan membacanya dengan tekun hingga menyelesaikan satu atau dua kali bacaan setiap bulan, dan dua sampai tiga kali selama Ramadhan.
Beliau secara khusus membantu orang miskin dan tidak pernah membiarkan siapa pun pulang dengan tangan kosong. Pak Mubalig mengatakan bahwa beliau sering berkata, “Apa pun karunia yang Allah berikan kepada kita adalah berkat dari waqafmu.”
Putranya, Mubasyir Javed, yang menjabat sebagai Sekretaris Mal selama beberapa tahun, mengatakan bahwa ayahnya selalu teratur dalam pembayaran candah dan berusaha membayar candah setahun penuh setiap kali menerima pensiun. Bahkan menjelang wafatnya, beliau masih mengkhawatirkan apakah candahnya sudah dibayar atau belum, dan sangat bersyukur bahwa Allah Taala telah memberinya taufik untuk membayar semua candahnya. Semoga Allah menganugerahkan rahmat dan ampunan kepada beliau serta memberikan kesabaran dan ketabahan kepada semuanya.
Kedua adalah Tn. Habib Muhammad Shatri, Naib Amir II Kenya, putra Muhammad Habib Shatri. Beliau keturunan Arab yang wafat beberapa hari lalu pada usia 56 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji`ūn. Almarhum adalah seorang Musi dan meninggalkan orangtua, istri, dan tiga anak.
Amir Jemaat Kenya, Tn. Mahmud Tahir, mengatakan bahwa leluhur beliau berasal dari Yaman dan ayahnya, Habib Shatri, baiat pada Agustus 1982 dan adalah seorang Ahmadi yang sangat tulus. Almarhum adalah putra sulung dan baiat tak lama setelah ayahnya. Beliau memenuhi janji baiatnya hingga akhir hayat. Beliau memperoleh pendidikan dasar di Mombasa. Beliau adalah siswa yang sangat cerdas dan berbakat, dan bahkan dikirim ke Prancis untuk belajar selama beberapa waktu oleh sekolahnya.
Beliau selalu menceritakan pertemuannya dengan para Khalifah sebagai pengalaman terbaik dalam hidupnya. Beliau pernah bertemu dengan Khalifah ke-4 r.h. dan juga dengan saya. Beliau mendapat taufik berkhidmat dalam berbagai bidang. Saat wafat, beliau masih berkhidmat sebagai Sekretaris Nasional Ta’lim dan Naib Amir II Kenya.
Dikatakan bahwa beliau dikenal selama 20 tahun sebagai orang yang sangat menghormati para Waqifin, dan mengerjakan setiap tugas yang dipercayakan dengan sangat serius tanpa perlu diingatkan. Beliau rajin shalat, sangat memperhatikan syiar Allah dan batasan-batasan Allah, teratur dalam membayar candah, berakhlak mulia, memperhatikan orang miskin, taat kepada orangtua dan memenuhi hak-hak mereka, juga memenuhi hak-hak saudara-saudara yang lebih muda, serta merupakan sosok yang bijaksana, tulus, dan setia.
Beliau pernah menjabat posisi tinggi di perusahaan-perusahaan besar dan Allah telah memberinya kelapangan secara finansial. Dari segi duniawi, beliau berhubungan dengan kalangan bisnis, politik, pemerintahan dan agama, namun tidak pernah menyembunyikan status beliau sebagai Ahmadi, bahkan melakukan tablig. Inilah sebabnya banyak tokoh pemerintahan, bisnis, politik dan sosial Mombasa yang menghadiri pemakaman beliau. Semoga Allah menganugerahkan ampunan dan rahmatnya kepada almarhum serta memberikan kesabaran dan ketabahan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Ketiga adalah yang terhormat Tn. Anobi Madango, Ketua Jemaat di sebuah cabang di Zimbabwe, yang telah wafat beberapa hari yang lalu. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji`ūn. Putranya, Yusuf Anobi, yang menjabat sebagai Ketua Jemaat Zimbabwe, menulis:
Beliau awalnya adalah seorang Muslim Sunni dan pada mulanya menentang Jemaat, tetapi kecintaan terhadap Islam ada di hati beliau. Beliau awalnya tinggal di Malawi dan mengalami banyak penentangan, kemudian pindah ke Zimbabwe. Di sana, karena cintanya pada Islam, beliau mengumpulkan orang-orang di sekitarnya dan mengatur salat berjamaah di daerahnya, dan memiliki kerinduan dalam hati untuk menjadi Muslim sejati.
Kemudian beliau berhubungan dengan Jemaat. Mubalig kami, Tn. Samiullah, melakukan diskusi mendalam dengannya, dan akhirnya beliau menerima Ahmadiyah dan menjadi Ahmadi pertama di daerahnya. Setelah menerima Ahmadiyah, beliau menghadapi penentangan dan orang-orang yang telah dikumpulkannya juga meninggalkannya. Mereka bersikap keras terhadapnya, sehingga beliau meninggalkan pusat yang telah dibangunnya untuk mengumpulkan orang dan salat berjamaah, dan mulai melaksanakan salat dan Jumat di rumah bersama keluarganya.
Namun beliau tidak menyerah. Beliau terus bertabligh dan banyak orang mendengar pesan Jemaat dari beliau, dan bergabung dengan Jemaat melalui beliau. Beliau adalah sosok yang berpengaruh dan banyak orang bergabung dengan Jemaat setelah melihat teladannya. Dengan pengorbanan finansial pribadi, beliau membeli tanah di mana masjid pertama Jemaat Ahmadiyah Zimbabwe sedang dibangun saat ini. Keinginannya adalah melihat masjid selesai dalam hidupnya, tapi belum terwujud dan sekarang sedang dalam pembangunan.
Beliau adalah orang yang sangat setia, jujur dan amanah. Beliau menyelesaikan masalah di antara orang-orang dengan bijaksana. Bahkan sebelum terpilih sebagai Ketua Jemaat, banyak orang mempercayai dan mengandalkan beliau. Beliau juga membantu orang yang membutuhkan dari sumber daya pribadinya. Rumah beliau selalu penuh dengan tamu dan memiliki hubungan yang mendalam dengan Jemaat. Beliau selalu mendorong semua orang untuk tetap terhubung dengan Jemaat.
Di antara yang ditinggalkan adalah delapan anak, dan seperti yang saya sebutkan, putranya adalah ketua Jemaat Zimbabwe, dan seorang cucunya, Qasim Anobi, adalah Mubalig Markazi pertama di Zimbabwe yang telah lulus dari Jamiah.
Semoga Allah Taala menganugerahkan ampunan dan rahmat kepada Almarhum dan semoga ajaran Jemaat terus berlanjut dalam keturunan beliau dan mereka terus melakukan amal kebaikan.[1]
الْحَمْدُ لِلّٰهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ ، وَنُؤْمِنُ بِهٖ ، وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهٖ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ ، وَنَشْهَدُ أَن لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهٗ ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عبدُهٗ وَرَسُولُهٗ – عِبَادَ اللّٰهِ رَحِمَكُمُ اللّٰهِ – اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَالۡاِحۡسَانِ وَاِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَیَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَالۡمُنۡکَرِ وَالۡبَغۡیِ یَعِظُکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ – اذْكُرُوا اللّٰهَ يَذْكُرُكُمْ وَادْعُوهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim.