Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw. – Berbagai Ekspedisi Setelah Pertempuran Khaibar
Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 18 April 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ١ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ٦
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ٧
Saat ini saya akan menyebutkan beberapa sariyyah dan gazwah dalam kehidupan Rasulullah saw..
Dalam sejarah tertera tentang sariyyah Hazrat Umar bin Khattab r.a. ke arah Turbah. Sariyyah ini terjadi pada bulan Sya’ban tahun 7 Hijriah. Rasulullah saw. mengutus Hazrat Umar bin Khattab r.a. ke arah kabilah Hawazin di tempat bernama Turbah. Turbah terletak sekitar 333 mil dari Madinah di jalan raya antara Tsana dan Najran. Rasulullah saw. mengutus Hazrat Umar r.a. bersama tiga puluh orang ke sana. Latar belakang pengiriman misi ini adalah, Rasulullah saw. menerima berita tentang rencana jahat melawan Islam dari penduduk Turbah. Ketika Hazrat Umar r.a. berangkat, ada seorang dari Bani Hilal yang ikut menjadi pemandu jalan. Para sahabat melakukan perjalanan di malam hari dan bersembunyi di siang hari.
Ketika berita sampai kepada penduduk Turbah, mereka melarikan diri dari sana. Hazrat Umar r.a. tiba di wilayah mereka namun tidak ada seorang pun di sana, melainkan mereka ditemukan telah naik ke tempat-tempat tinggi. Mereka telah pergi ke pegunungan dan semua harta benda serta ternak mereka ada di sana, yang kemudian diambil karena mereka adalah orang-orang yang menciptakan kerusuhan. Lalu para sahabat kembali ke arah Madinah dengan membawa barang-barang tersebut.
Ketika mereka tiba di tempat bernama Dzul Jadr, yang merupakan padang rumput di sekitar Quba dan berjarak enam atau tujuh mil dari Madinah, orang dari Bani Hilal itu berkata kepada Hazrat Umar r.a., “Apakah kalian akan menyerang kelompok lain yang berasal dari Bani Khashm? Mereka semua telah datang ke sini dari wilayah mereka karena kekeringan.” Hazrat Umar r.a. menjawab, “Rasulullah saw. tidak memerintahkan hal itu kepada saya. Beliau saw. hanya memerintahkan untuk berperang melawan Hawazin di tempat bernama Turbah”. Kemudian Hazrat Umar r.a. kembali ke Madinah karena (hanya) merekalah orang-orang yang berbuat kerusakan. Ini juga membuktikan bahwa tuduhan yang mengatakan umat Islam menyerang tanpa alasan adalah salah.
Kemudian ada suatu sariyyah yang dipimpin oleh Hazrat Basyir bin Sa’d r.a. ke arah Bani Murrah di Fadak. Sariyyah ini terjadi di bulan Sya’ban tahun 7 Hijriah di bawah kepemimpinan Hazrat Basyir bin Sa’d r.a.. Panggilan Hazrat Basyir r.a. adalah Abu Nu’man, ayah beliau bernama Sa’d bin Tsa’labah. Beliau berasal dari suku Khazraj. Hazrat Basyir bin Sa’d r.a. sudah bisa baca tulis sejak zaman jahiliyah. Ini adalah masa ketika sangat sedikit orang Arab yang bisa menulis. Beliau ikut serta dalam Baiat Aqabah Kedua yang dihadiri oleh tujuh puluh orang Ansar. Beliau ikut serta dalam Perang Badr, Uhud, Khandaq, dan semua peperangan lainnya bersama Rasulullah saw.. Hazrat Basyir bin Sa’d r.a. adalah orang Ansar pertama yang berbaiat kepada Hazrat Abu Bakar Siddiq r.a. pada hari Saqifah Bani Sa’idah. Pada masa kekhalifahan Hazrat Abu Bakar Siddiq r.a., pada tahun 12 Hijriah, Hazrat Basyir r.a. ikut serta dalam pertempuran Ainut-Tamr bersama Hazrat Khalid bin Walid r.a. dan beliau meraih derajat syahid. ‘Ainut-Tamr adalah sebuah tempat yang berada di dekat Kufah. Kaum Muslimin menaklukkan wilayah ini pada tahun 12 Hijriah di masa kekhalifahan Hazrat Abu Bakar r.a..
Mengenai sariyyah yang saya sebutkan ini, rinciannya adalah sebagai berikut. Rasulullah saw. mengutus Hazrat Basyir bin Sa’d r.a. bersama 30 sahabat ke arah Bani Murrah di Fadak. Fadak terletak enam malam perjalanan dari Madinah, dekat Khaibar. Perlu diketahui, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Rasulullah saw. mengirim misi pasukan ini ketika ada berita bahwa orang-orang sedang membuat rencana jahat melawan Islam. Alhasil, para sahabat berangkat, dan ketika di perjalanan mereka bertemu dengan para penggembala kambing, mereka bertanya kepada mereka tentang Bani Murrah. Para penggembala memberi tahu mereka, “Bani Murrah berada di lembah kami dan tidak datang ke mata air”. Para sahabat lalu menggiring domba dan kambing mereka dan kembali ke arah Madinah. Penyeru suku Bani Murrah lalu mengumumkan bahwa orang-orang Muslim telah membawa barang-barang mereka. Ia mengumumkan tentang kejadian ini. Di malam hari, kaum Muslimin harus menghadapi pasukan besar Bani Murrah. Jadi, orang-orang Bani Murrah kembali dan menyerang kaum Muslimin dengan pasukan yang sangat besar. Sepanjang malam para sahabat terus memanah sampai anak panah mereka habis. Ketika pagi hari tiba bagi kaum Muslimin, Bani Murrah kembali menyerang mereka dan membunuh rekan-rekan Hazrat Basyir r.a.. Hazrat Basyir r.a. terus berperang sengit melawan mereka sampai beliau jatuh terluka. Beliau terluka di pergelangan kaki dan dianggap telah wafat. Kemudian Bani Murrah kembali membawa kambing dan domba mereka. Mereka mensyahidkan semua Muslim dan mengambil kembali semua barang yang telah diambil oleh kaum Muslim. Hazrat Basyir r.a. tetap terbaring di antara para syuhada sampai malam. Beliau menguatkan diri untuk bangkit lalu pergi ke Fadak, dan tinggal di sana bersama orang-orang Yahudi selama beberapa hari sampai luka-lukanya membaik, kemudian kembali ke Madinah.
Kemudian tertera tentang sebuah sariyyah yang dipimpin oleh Hazrat Ghalib bin Abdullah Laitsi r.a. ke arah Maifa’ah. Sariyah ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 7 Hijriah. Hazrat Ghalib bin Abdullah Laitsi r.a. berasal dari penduduk Hijaz. Beliau ikut serta di saat Fatah Makkah dan Rasulullah saw. telah mengirim beliau sebagai mata-mata sebelum Fatah Makkah. Beliau menjadi gubernur Khurasan pada masa Hazrat Amir Muawiyah. Menurut sebuah riwayat, beliau juga ikut serta dalam Perang Qadisiyyah.
Ibnu Sa’d menulis: Rasulullah saw. mengutus Hazrat Ghalib r.a. ke arah Bani ‘Awal dan Bani ‘Abd bin Tsa’labah yang berada di Maifa’ah. Tempat ini terletak 96 mil dari Madinah ke arah Najd. Bani ‘Awal dan Bani ‘Abd telah mulai mengumpulkan orang-orang dengan menyebarkan seruan keji untuk melawan kaum Muslimin, agar dapat melakukan tindakan lebih besar seperti Perang Ahzab.
Ibnu Hisyam menyebutkan: Sariyah Hazrat Ghalib bin Abdullah Laitsir.a. ini menuju ke arah Bani Murrah yang merupakan sekutu Hurqah. Imam Bukhari memberi judul bab terkait sariyah ini: “Bab Nabi saw. mengirim Usamah bin Zaid ke Hurqat dari Juhainah”. Artinya, Rasulullah saw. mengirim Hazrat Usamah bin Zaid r.a. ke arah kabilah Hurqat dari Juhainah. Dari ini terlihat bahwa pemimpin sariyah ini adalah Hazrat Usamah bin Zaid r.a., namun dalam syarah Bukhari, Allamah Ibnu Hajar menulis: Dari perkataan Hazrat Usamah bin Zaid r.a. “Rasulullah saw. mengirim kami ke arah kabilah Hurqah” tidak ada bukti bahwa beliau adalah pemimpin pasukan dalam sariyah tersebut dan tidak terbukti bahwa Hazrat Usamah bin Zaid diangkat sebagai pemimpin pasukan sebelum ayahnya, Zaid, syahid dalam Perang Mu’tah. Tidak terbukti bahwa saat itu beliau telah diangkat sebagai pemimpin pasukan. Maka dari itu, pendapat ahli maghazi lebih kuat, lebih unggul dan lebih dapat diterima bahwa pemimpin sariyah ini adalah Hazrat Ghalib bin Abdullah Laitsi r.a..
Alhasil, Rasulullah saw. mengutus Hazrat Ghalib r.a. bersama 130 sahabat. Hazrat Yasar r.a., mantan hamba sahaya yang telah dimerdekakan oleh Rasulullah saw., menjadi pemandu jalan mereka. Kaum Muslimin menyerang mereka secara serentak dan mencapai ke tengah-tengah pemukiman mereka. Mereka membunuh siapa saja yang melawan dan membawa pulang harta ganimah perang berupa domba dan kambing ke Madinah tanpa menawan siapa pun. Ibnu Sa’d menulis: Inilah sariyah yang di dalamnya Hazrat Usamah bin Zaid r.a. membunuh Miqdas bin Lahiq yang telah mengucapkan “Lā ilāha illallāh“.
Dalam Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī, rincian peristiwa ini dijelaskan sebagai berikut: Hazrat Usamah bin Zaid r.a. menuturkan, “Rasulullah saw. mengutus kami ke arah suku Huraqah. Kami menyerang mereka di pagi hari dan kami mengalahkan mereka. Saya dan seorang dari Ansar mengejar salah seorang dari mereka. Ketika kami berhasil menangkapnya, ia mengucapkan ‘Lā ilāha illallāh’. Orang Ansar itu berhenti, namun saya menikamnya dengan tombak saya hingga saya membunuhnya. Kemudian ketika kami kembali dan berita ini sampai kepada Nabi saw., beliau saw. bersabda, ‘Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Lā ilāha illallāh?’ Saya menjawab, ‘Ia hanya berusaha menyelamatkan diri.’ Namun beliau saw. terus mengulang-ulang pertanyaan itu. Beliau saw. mengulangnya berkali-kali, ‘Engkau telah membunuhnya.’ Sampai-sampai saya berharap, seandainya saya belum masuk Islam sebelum hari itu. Ṣaḥīḥ Muslim telah mencatat riwayat ini sebagai berikut:
أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا؟
Yakni, ‘Mengapa engkau tidak membelah dadanya agar engkau tahu apakah ia mengucapkannya dari hati yang tulus atau tidak?’ Beliau saw. terus mengulangi perkataan ini di hadapan saya sampai-sampai saya berharap seandainya saya baru masuk Islam pada hari itu.”
Adapun para ulama penentang jemaat di zaman sekarang, mereka beranggapan bahwa mereka telah melihat isi hati orang-orang Ahmadi, sehingga mereka menganggap boleh membunuh dan berbuat zalim terhadap orang-orang Ahmadi. Semoga Allah Taala juga menyiapkan hukuman bagi mereka. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan untuk membayar diat kepada keluarga Miqdad dan mengembalikan hartanya kepada mereka. Nabi Muhammad saw. memerintahkan untuk membayar diat kepada keluarga orang yang telah mengucapkan “Lā ilāha illallāh“, meskipun sebelumnya ia berperang melawan umat Islam. Beliau saw. bersabda, “Karena ia telah mengucapkan Lā ilāha illallāh, maka berikanlah diat kepada keluarganya dan kembalikan harta yang telah kalian ambil darinya.”
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menjelaskan kejadian ini dengan bersabda:
“Rasulullah saw. selalu memerintahkan agar penerapan syariat dilakukan berdasarkan keadaan lahiriah, karena kita tidak mengetahui keadaan hati seseorang. Suatu ketika, beberapa sahabat pergi berperang. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan seorang musyrik yang bersembunyi di hutan dan yang menyerang umat Islam yang sendirian jika ada kesempatan. Hazrat Usamah bin Zaid r.a. mengejarnya dan ketika berhasil menangkapnya, ia mengangkat pedang untuk membunuhnya. Ketika orang itu melihat bahwa dirinya sudah tertangkap, ia berkata, “Lā ilāha illallāh.” Maksudnya adalah ia menyatakan diri menjadi Muslim, namun Hazrat Usamah r.a. tidak memperdulikan pernyataannya itu dan tetap membunuhnya. Ketika seseorang sampai di Madinah untuk melaporkan peperangan itu kepada Rasulullah saw., ia menceritakan semua kejadian perang termasuk peristiwa ini. Mendengar itu, Rasulullah saw. memanggil Hazrat Usamah dan bertanya, “Apakah kamu telah membunuh orang itu?” Dia menjawab, “Ya.” Beliau saw. bersabda, “Apa yang akan kamu lakukan pada hari kiamat ketika Lā ilāha illallāh bersaksi untuk menentangmu?”
Seperti yang saya katakan sebelumnya, para maulvi dan pengikut mereka di Pakistan saat ini tengah berbicara tentang masuk surga dengan mengatakan bahwa jika kalian membunuh orang Ahmadi, kalian akan masuk surga. Tapi mereka tidak tahu bahwa perbuatan ini justru membuat mereka menjadi sasaran hukuman Allah Taala. Cepat atau lambat, hukuman Allah pasti akan menimpa mereka.
Hazrat Muslih Mau’ud menjelaskan hal ini dengan bersabda: “Allah Taala akan bertanya, ‘Ketika orang itu mengucapkan Lā ilāha illallāh, mengapa kamu tetap membunuhnya? Meskipun ia seorang pembunuh, tapi ia sudah bertobat.’ Hazrat Usamah r.a. berulang kali menjawab, “Wahai Rasulullah, ia hanya berpura-pura beriman karena takut.” Atas hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kamu telah membelah dadanya untuk melihat bahwa ia berbohong?” Beliau saw. terus mengulangi kalimat ini. “Apa yang akan kamu jawab pada hari kiamat ketika Lā ilāha illallāh itu dihadapkan kepadamu?” Hazrat Usamah r.a. berkata, “Saat itu aku berharap seandainya saja aku baru masuk Islam dan belum melakukan perbuatan ini.”
Kemudian ada sebuah sariyyah yang dipimpin oleh Hazrat Basyir bin Sa’d r.a. ke arah Yuman dan Jabar. Sariyyah ini terjadi pada bulan Syawal tahun 7 Hijriah. Yuman dan Jabar adalah wilayah Bani Ghatafan yang terletak antara Fadak dan Wadiul-Qura di sekitar Khaibar. Rasulullah saw. menerima kabar bahwa sekelompok Ghatafan sedang berkumpul untuk melawan beliau saw. dan Uyainah bin Hishn telah berjanji untuk mendukung mereka melawan Rasulullah saw.. Ketika Rasulullah saw. menyampaikan berita ini kepada Hazrat Abu Bakar r.a. dan Hazrat Umar r.a., mereka menyarankan untuk mengirim Hazrat Basyir bin Sa’d r.a.. Rasulullah saw. memanggil Hazrat Basyir bin Sa’d r.a., menyiapkan bendera untuknya, dan mengirimnya bersama 300 sahabat.
Para sahabat ini berjalan sepanjang malam dan bersembunyi sepanjang hari hingga akhirnya tiba di tempat bernama Jabar. Di sana ada para penggembala yang sedang menggembalakan hewan mereka. Melihat kedatangan kaum Muslimin, mereka melarikan diri dan memberitahu orang-orang Ghatafan. Mendengar berita ini, mereka meninggalkan harta benda dan ternak mereka dan melarikan diri ke bagian atas pemukiman mereka. Mereka meninggalkan segalanya dan pergi. Hanya dua orang yang tertangkap dan ditahan. Para sahabat mengambil alih domba, kambing, dan unta, lalu kembali ke Madinah bersama para tawanan. Di sana, kedua tawanan itu masuk Islam, maka Rasulullah saw. mengizinkan keduanya kembali ke daerah mereka.
Kemudian terdapat peristiwa Umrah Qadha yang rinciannya dijelaskan sebagai berikut. Umrah ini dilakukan oleh Nabi saw. pada bulan Dzulqa’dah tahun 7 Hijriah, yang bertepatan dengan Februari 629 Masehi. Rasulullah saw. berangkat untuk Umrah Qadha pada bulan Dzulqa’dah tahun 7 Hijriah. Ini adalah bulan yang sama ketika tahun sebelumnya kaum musyrikin Makkah tidak mengizinkan Nabi saw. melakukan umrah dan beliau kembali dari Hudaibiyah. Maka sekarang beliau berangkat untuk melaksanakan umrah pengganti itu. Penafsir Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī, Allamah Ibnu Hajar, menyebutkan beberapa nama untuk umrah ini: Gazwatul-Qaẓā, ‘Umratul-Qaẓiyyah, ‘Umrah atau Ṣulḥ, dan ‘Umratul-Qiṣāṣ. Umrah ini juga disebut Gazwatul-Amn. Umrah ini juga disebut ‘Umratul-Qiṣāṣ karena kaum musyrikin Makkah sebelumnya telah menghalangi Rasulullah saw. untuk melaksanakan umrah pada bulan suci Zulkaidah tahun 6 Hijriah. Maka beliau saw. pergi untuk melaksanakan umrah pengganti dan memasuki Masjidil Haram pada bulan Zulkaidah tahun 7 Hijriah. Hazrat Ibnu Abbas r.a. mengatakan, “Ayat berikut turun berkenaan dengan hal ini:
الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ
“Bulan suci dengan bulan suci, dan pada sesuatu yang dihormati berlaku hukum qisas.” (Al-Baqarah:195)
Artinya, bulan yang mulia dibalas dengan bulan yang mulia, dan pelanggaran terhadap segala sesuatu yang dihormati akan dibalas.
Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa Rasulullah saw. menunjuk Hazrat ‘Uwaif bin Azbath ad-Dili r.a. sebagai wakil beliau di Madinah. Menurut Ibnu Sa’d, beliau saw. menunjuk Hazrat Abu Ruhm al-Ghifari r.a. sebagai wakil. Rincian keberangkatan untuk umrah dijelaskan bahwa dalam umrah ini, Nabi saw. ditemani oleh 2000 sahabat. Saat keberangkatan, beliau saw. memerintahkan agar setiap orang yang hadir pada peristiwa Hudaibiyah ikut serta.
Semua sahabat yang hadir pada peristiwa Hudaibiyah ikut serta dalam umrah ini bersama Rasulullah saw., kecuali mereka yang telah syahid atau wafat pada saat perang Khaibar. Selain itu, beberapa sahabat yang tidak hadir saat Hudaibiyah juga ikut serta bersama beliau saw.. Beliau saw. membawa 60 unta untuk kurban. Beliau saw. menggantungkan kalung di leher semua hewan tersebut dan menugaskan Hazrat Najiyah bin Jundub r.a. untuk mengawasi hewan-hewan itu.
Ketika Nabi saw. tiba di Dzul Hulaifah, sebuah pemukiman yang berjarak sekitar enam atau tujuh mil dari Madinah, beliau saw. mengirim seratus penunggang kuda di depan sebagai tindakan pencegahan. Hazrat Muhammad bin Maslamah r.a. ditunjuk sebagai pemimpin mereka. Dalam perjalanan ini, Rasulullah saw. juga membawa senjata, baju zirah, dan tombak. Beliau saw. mengirim senjata-senjata itu di depan dan menunjuk Hazrat Basyir bin Sa’d r.a. sebagai pengawasnya.
Timbul pertanyaan mengapa di sini senjata diperlukan untuk pergi umrah padahal perjanjian telah dibuat. Saat itu Rasulullah saw. ditanya mengapa beliau saw. membawa senjata, padahal Quraisy telah melarang membawa senjata selain pedang yang masih berada dalam sarungnya. Menanggapi hal ini, Rasulullah saw. bersabda, “Kita tidak akan memasuki tanah suci dengan membawa senjata, melainkan senjata tersebut akan ditempatkan di suatu tempat yang dekat sebagai tindakan pencegahan jika terjadi serangan”. Beliau saw. menjelaskan, “senjata-senjata itu tidak akan dibawa masuk ke Mekah, melainkan akan disimpan di luar kota, karena kita tidak bisa mempercayai Quraisy yang mungkin saja menyerang kapan saja”.
Hazrat Ketika Muhammad bin Maslamah tiba di Marruz-Zahran bersama pasukan berkuda, mereka bertemu dengan beberapa orang Quraisy. Hazrat Muhammad bin Maslamah r.a. memberitahu mereka bahwa Rasulullah saw. akan tiba di tempat itu esok hari, insya Allah. Orang-orang Quraisy itu kembali dan melaporkan hal tersebut, yang membuat kaumnya merasa takut. Ketika Rasulullah saw. tiba di Marruz-Zahran, beliau saw. mengirim semua senjata ke tempat bernama Yajaj, yang berjarak delapan mil dari Mekah.
Ketika orang-orang kafir Mekah mendengar bahwa Rasulullah saw. sedang menuju Makkah dengan membawa senjata dan perlengkapan perang, mereka menjadi sangat cemas dan mengirim beberapa orang ke Marruz-Zahran untuk menyelidiki situasi tersebut. Muqriz bin Hafs, salah satu utusan, berkata, “Wahai Muhammad, kami belum pernah melihatmu melanggar perjanjian.” Nabi saw. menjawab, “Kami akan memasuki Makkah tanpa senjata sesuai dengan syarat perjanjian.” Mendengar hal ini, orang-orang kafir menjadi tenang. Muqriz kemudian berkata, “Inilah mengapa kami menganggapmu sebagai perwujudan kebaikan dan kesetiaan.” jadi Bahkan seorang kafir pun mengatakan, “Kami menganggap Anda sebagai perwujudan kebaikan dan kesetiaan.” Rasulullah saw. menugaskan beberapa sahabat di bawah pimpinan Hazrat Basyir bin Sa’d r.a. untuk menjaga senjata-senjata tersebut, dan sesuai dengan syarat perjanjian, tidak ada senjata selain pedang tersarung yang dibawa.
Beliau saw. kemudian bergerak menuju tanah suci bersama rombongan sahabat sambil mengucapkan talbiyah. Beliau saw. mengirim hewan-hewan kurban ke arah Dzi Thuwa, sebuah lembah di Makkah yang berjarak setengah mil dari Masjidil Haram. Beliau menunggangi unta beliau yang bernama Qaswa. Beliau saw. memasuki Makkah dari arah Hajun. Hajun adalah sebuah bukit di arah lembah Muhassab yang berjarak satu setengah mil dari Baitullah. Diriwayatkan dari Hazrat Anas r.a., “Nabi saw. memasuki Makkah pada saat Umrah Qadha, dan Abdullah bin Rawahah berjalan di depan beliau saw. sambil berkata, ‘Wahai anak-anak orang kafir, beri jalan untuk Rasulullah saw.. Hari ini kami akan membunuh kalian. Rasulullah saw. akan menimpakan pukulan kepada kalian yang akan memisahkan kepala dari tempatnya dan membuat teman lupa akan temannya.’ Hazrat Umar r.a. berkata kepadanya, ‘Wahai Ibnu Rawahah, engkau membacakan syair ini di hadapan Rasulullah saw. dan di tanah haram Allah? Sungguh engkau telah mengatakan hal yang salah.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Wahai Umar, biarkan ia. Ini lebih berpengaruh pada mereka daripada anak panah.’”
Ini adalah dari satu riwayat. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika Hazrat Umar r.a. melarang Hazrat Abdullah bin Rawahah r.a. membacakan syair, Nabi saw. bersabda kepada Hazrat Umar, “Wahai Umar, aku mendengar apa yang ia katakan.” Mendengar itu, Hazrat Umar r.a. terdiam. Kemudian Nabi saw. bersabda kepada Hazrat Abdullah bin Rawahah r.a., “Ucapkanlah apa yang engkau baca, tapi jangan katakan hal-hal yang memancing amarah. Katakanlah:
لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ، نَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ
“Tiada Tuhan selain Allah, Dia Maha Esa, Dia menolong hamba-Nya, memuliakan tentara-Nya, dan sendiri mengalahkan pasukan musuh.”
Peristiwa ini juga disebutkan oleh Hazrat Muslih Mau’ud r.a. dengan kata-kata beliau sendiri, yakni:
“Ketika Rasulullah sampai di Marruz-Zahran, yang berjarak satu perhentian dari Makkah, sesuai dengan perjanjian, beliau saw. mengumpulkan semua senjata berat dan baju zirah di sana. Kemudian beliau saw. bersama para sahabat memasuki tanah suci hanya dengan pedang yang tersarung sesuai perjanjian. Memasuki Makkah setelah tujuh tahun pengasingan bukanlah hal yang biasa bagi kaum Muhajirin. Di satu sisi, hati mereka berdarah mengingat penderitaan panjang yang mereka alami di Makkah. Di sisi lain, mereka juga bahagia melihat karunia Allah Taala yang telah memberi mereka kesempatan untuk melakukan tawaf di Ka’bah lagi. Penduduk Makkah keluar dari kota dan berdiri di puncak-puncak gunung untuk melihat kaum Muslimin. Hati kaum Muslimin ingin menunjukkan kepada mereka bahwa Allah Taala telah memberi mereka taufik untuk memasuki Makkah lagi. Oleh karena itu, Hazrat Abdullah bin Rawahah r.a. mulai menyanyikan syair perang pada kesempatan ini, tetapi Rasulullah saw melarangnya dan bersabda, “Jangan membacakan syair seperti itu, tetapi ucapkanlah bahwa tidak ada tuhan selain Allah, Dialah Allah yang telah menolong Rasul-Nya dan mengangkat orang-orang beriman dari lembah kehinaan. Hanya Allah-lah yang telah mengusir musuh-musuh dari hadapan mereka.”
Ibnu Abi Aufa meriwayatkan, ”Ketika Rasulullah saw melakukan umrah, kami menjaga beliau saw. dari para pemuda kaum musyrikin, yaitu berjaga-jaga agar mereka tidak mengganggu Rasulullah saw. Ketika Rasulullah saw memasuki Makkah, sebagian orang kafir Quraisy pergi ke gunung-gunung karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Rasulullah saw, tidak sanggup melihat pemandangan Rasulullah saw dan para sahabat melakukan tawaf di Baitullah. Namun, sebagian orang kafir berkumpul di Darun-Nadwah. Mereka berdiri di sana dan mulai menyaksikan tawaf, lalu berkata, “Bagaimana mungkin orang-orang Muslim ini bisa melakukan tawaf? Mereka telah dilemahkan oleh sakit kelaparan dan demam Madinah.”
Ketika Rasulullah saw tiba di Masjidil Haram, beliau saw. melakukan idtiba’, yaitu mengenakan selendang dengan cara membuka bahu dan lengan kanan beliau. Rasulullah saw bersabda, “Semoga Allah menurunkan rahmat-Nya kepada orang yang menunjukkan kekuatannya di hadapan orang-orang kafir ini.” Kemudian Rasulullah saw bersama para sahabatnya melakukan tawaf dengan berjalan gagah dan menggerakkan bahu mereka pada tiga putaran pertama tawaf. Hal ini untuk menunjukkan bahwa, “Kalian mengira kami lemah, padahal kami tidak lemah.” Dalam riwayat Bukhari terkait hal ini, Hazrat Ibnu Abbas r.a. menyebutkan, “Ketika Rasulullah saw. dan para sahabatnya datang, orang-orang musyrik berkata, “Orang-orang yang datang kepada kalian ini telah dilemahkan oleh sakit demam Madinah.” Nabi saw. memerintahkan para sahabatnya untuk berlari kecil dalam tiga putaran pertama tawaf. Dalam bahasa Arab, ini disebut ramal. Setiap orang yang melakukan tawaf Ka’bah melakukan ramal ini pada tiga putaran pertama tawafnya. Karena kasih sayang kepada para sahabatnya, beliau saw. tidak memerintahkan mereka untuk berlari di semua putaran.
Hazrat Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan, “Rasulullah saw berlari kecil antara Baitullah, Safa, dan Marwah untuk menunjukkan kekuatan beliau kepada orang-orang musyrik. Menurut sebuah riwayat, Nabi saw. melakukan sa’i antara Safa dan Marwah dengan mengendarai tunggangannya. Nabi saw. dan kaum Muslim melakukan kurban di dekat Marwah. Setelah itu, Nabi Muhammad saw. mengirim beberapa sahabat ke tempat Yajaj untuk menggantikan sahabat yang bertugas menjaga senjata di sana. Tujuannya agar mereka yang sebelumnya bertugas menjaga senjata bisa datang melakukan umrah dan berkurban. Beliau saw. memerintahkan mereka yang sedang bertugas menjaga senjata untuk datang melakukan umrah, sementara beberapa orang baru dikirim untuk mengambil alih tugas mereka.
Pada kesempatan ini juga terjadi pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Hazrat Maimunah r.a.. Rinciannya adalah dalam perjalanan ini Nabi saw. menikahi Maimunah binti Harits. Pernikahan ini diatur oleh Hazrat Abbas r.a.. Hazrat Maimunah r.a. telah memberikan wewenang pernikahannya kepada saudarinya, Ummi Fadhal, yang merupakan istri Hazrat Abbas r.a., paman Nabi saw. Ummu Fadhal kemudian memberikan wewenang tersebut kepada Hazrat Abbas r.a.. Hazrat Abbas r.a. lalu menikahkan Maimunah dengan Nabi Muhammad saw., dan mahar untuk Hazrat Maimunah r.a. ditetapkan sebesar 400 dirham.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. telah menyatakan mengenai hal ini bahwa Maimunah, adik ipar Hazrat Abbas r.a., yang telah lama menjanda, berada di Makkah. Hazrat Abbas r.a. mengungkapkan keinginannya agar Rasulullah saw. menikahi Maimunah, dan beliau saw. menyetujuinya.
Rasulullah saw. tinggal di Makkah selama tiga hari. Ketika hari ketiga tiba, kaum Quraisy mengutus Huwaitib bin Abdul Uzza bersama beberapa orang Quraisy lainnya untuk menghadap Rasulullah saw.. Menurut sebuah riwayat, delegasi Quraisy ini menemui Hazrat Ali r.a. dan berkata bahwa masa tinggal mereka telah berakhir, maka hendaknya mereka pergi. Menanggapi hal ini, Rasulullah saw. bersabda, “Apa salahnya jika kami tinggal sedikit lebih lama? Kami akan memasak makanan untuk pernikahan di sini. Pernikahan ini adalah pernikahanku, dan kami akan mengundang kalian juga.” Kaum Quraisy berkata, “Kami tidak menginginkan undangan kalian.”
Maka Rasulullah saw. berangkat meninggalkan Makkah bersama para sahabat, dan meninggalkan budak beliau, Abu Rafi’, bersama Hazrat Maimunah r.a.. Maka Abu Rafi’ membawa Hazrat Maimunah ke Sarif, tempat mereka bertemu dengan Rasulullah saw.. Sarif adalah sebuah lembah besar yang terletak sekitar enam atau tujuh mil dari Makkah, dekat Tan’im. Nama asli Hazrat Maimunah r.a. adalah Barrah, namun Rasulullah saw. mengubahnya menjadi Maimunah. Pernikahan Rasulullah saw dengan Hazrat Maimunah r.a. adalah pernikahan beliau yang terakhir. Hazrat Maimunah r.a. wafat pada tahun 51 Hijriah di Sarif, tempat yang sama di mana ia merayakan pernikahannya dengan Rasulullah saw..
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menulis bahwa pada hari keempat, penduduk Makkah menuntut agar beliau saw. meninggalkan Makkah sesuai perjanjian, dan beliau saw. segera memerintahkan semua sahabat untuk meninggalkan Makkah dan berangkat menuju Madinah. Dengan mempertimbangkan perasaan penduduk Makkah, beliau saw. meninggalkan Hazrat Maimunah r.a. yang baru dinikahi, agar ia dapat menyusul kemudian bersama rombongan. Beliau saw. sendiri memacu tunggangannya keluar dari batas-batas wilayah Haram.
Pada sore harinya, istri beliau, Hazrat Maimunah r.a., diantarkan ke sana, dan pada malam pertama di hutan itu, Hazrat Maimunah r.a. diperkenalkan kepada Rasulullah saw. Tempat pertemuan suci dengan Nabi saw. ini sangat berharga bagi Hazrat Maimunah r.a.. Karena itu, Hazrat Maimunah r.a. berwasiat: “Ketika aku meninggal, kuburkanlah aku di tempat yang sama di mana tenda Nabi saw. berada, tempat di mana aku diperkenalkan kepada beliau saw..” Takdir Ilahi menghendaki beliau datang untuk menunaikan haji dan jatuh sakit di Makkah. Beberapa hari kemudian, beliau mengatakan, “Bawalah aku keluar dari Makkah, karena Rasulullah saw. telah memberitahuku bahwa kematianku tidak akan terjadi di Makkah.” Maka orang-orang membawa beliau keluar dari Makkah dan ketika mereka tiba di Sarif, Ummul Mukminin, Hazrat Maimunah r.a., wafat. Sesuai dengan wasiatnya, beliau dimakamkan di tempat itu juga. Pada saat wafatnya, usia beliau 80 atau 81 tahun.
Dalam perjalanan ini juga disebutkan peristiwa tentang putri Hazrat Hamzah r.a.. Hazrat Bara r.a. meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah saw. hendak meninggalkan Makkah, putri Hazrat Hamzah r.a. datang memanggil dari belakang beliau, “Wahai pamanku, wahai pamanku.” Mendengar itu, Hazrat Ali r.a. memegang tangannya dan berkata kepada Hazrat Fatimah r.a., “Ambillah putri pamanmu ini.” Hazrat Fatimah r.a. pun menaikkannya ke atas kendaraannya. Kemudian Hazrat Ali r.a., Hazrat Zaid r.a., dan Hazrat Ja’far r.a. berselisih mengenai siapa yang akan mengasuhnya.
Hazrat Ali r.a. berkata, “Saya telah mengambilnya dan ia adalah putri paman saya.” Hazrat Ja’far r.a. berkata, “Ia adalah putri paman saya dan bibinya adalah istri saya.” Hazrat Zaid r.a. berkata, “Ia adalah putri saudara saya.” Maka Rasulullah saw. memutuskan memberikannya kepada bibinya dan bersabda, “Bibi adalah seperti ibu.” Masalah ini pun terselesaikan. Banyak perselisihan seperti ini terjadi dalam pengadilan. Beliau saw. bersabda, “Bibi adalah seperti ibu,” dan memberikannya kepadanya. Kepada Hazrat Ali r.a. beliau saw. bersabda, “Engkau adalah dariku dan aku darimu,” untuk menghiburnya. Kepada Hazrat Ja’far r.a. beliau saw. bersabda, “Engkau mirip denganku dalam penampilan dan akhlak.” Dan kepada Hazrat Zaid r.a., beliau saw. bersabda, “Engkau adalah saudara kami dan orang yang kami bebaskan.” Hazrat Ali r.a. bertanya, “Apakah Anda tidak akan menikahi putri Hazrat Hamzah r.a.?” Rasulullah saw. menjawab, “Ia adalah putri saudara sesusuan saya. Pernikahan seperti itu tidak diperbolehkan.” Rasulullah saw. kembali ke Madinah pada bulan Zulhijah.
Terdapat satu sariyyah Akhram bin Abi Auja menuju Bani Sulaim. Sariyyah ini terjadi pada bulan Zulhijah tahun 7 Hijriah. Rasulullah saw. mengutus Hazrat Akhram r.a. bersama 50 orang menuju Bani Sulaim yang tinggal dekat Madinah. Seorang mata-mata Bani Sulaim ikut bersama Hazrat Akhram r.a., yang kemudian pergi lebih dulu untuk memperingatkan kaumnya sehingga mereka mengumpulkan pasukan besar. Ketika Hazrat Akhram r.a. tiba, Bani Sulaim telah siap menghadapi mereka. Hazrat Akhram r.a. mengajak mereka masuk Islam, namun mereka menjawab, “Kami tidak butuh apa yang kamu serukan.” Setelah itu terjadi pertempuran panah sebentar dari kedua pihak. Sementara itu, bala bantuan tambahan datang untuk Bani Sulaim dan mereka mengepung kaum Muslimin dari segala arah. Kaum Muslimin bertempur dengan sangat sengit hingga kebanyakan dari mereka gugur sebagai syahid, dan Hazrat Akhram r.a. pun jatuh terluka parah bersama para korban lainnya. Kemudian pada tanggal 1 Safar tahun 8 Hijriah, mereka tiba di hadapan Rasulullah saw..
Selanjutnya disebutkan tentang sariyyah Hazrat Ghalib bin Abdullah Laitsi r.a. menuju Qadid. Rasulullah saw. mengutus Hazrat Ghalib bin Abdullah Laitsi r.a. pada bulan Safar tahun 8 Hijriah menuju Banu Maluh, cabang dari Banu Laits. Banu Maluh tinggal di Qadid. Qadid berjarak sekitar 208 mil dari Madinah. Dalam Sahih Bukhari disebutkan bahwa ada sebuah mata air antara kabilah Usfan dan Qadid. Menurut sebuah riwayat, Rasulullah saw. mengutus Hazrat Ghalib bin Abdullah r.a. bersama 15 orang, dan dalam sariyyah ini slogan kaum Muslimin adalah “Ummat, Ummat”. Hazrat Jundub bin Mukaits r.a. menceritakan: “Rasulullah saw. mengutus Ghalib bin Abdullah dalam sebuah sariyyah yang saya juga ikut serta di dalamnya. Beliau saw. memerintahkan untuk menyerang Banu Maluh di Qadid. Maka kami berangkat, dan ketika tiba di Qadid, kami bertemu dengan Ibnu Barsa Harits bin Malik Laitsi yang kemudian kami tangkap.” Ia berkata, “Saya keluar untuk memeluk Islam dan sedang menuju kepada Rasulullah saw.” Kami berkata, “Jika kamu keluar dengan niat memeluk Islam, maka bekal perjalanan satu hari satu malam tidak akan merugikanmu, artinya jika kamu ditahan pun tidak akan ada bedanya. Jika niatmu selain itu, maka kami akan memastikannya.”
“Lalu kami mengikatnya dengan kuat dan menugaskan seorang rekan kami yang berkulit hitam bernama Suwaid bin Munhir untuk mengawasinya. Kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di Qadid saat matahari terbenam. Kami berada di tepi lembah. Rekan-rekanku mengutusku sebagai mata-mata. Aku mencapai sebuah bukit dari mana aku bisa melihat mereka. Aku memanjatnya, mengangkat kepalaku, dan berbaring telungkup. Di sana, seseorang keluar dari tendanya dan melihatku. Ia menembakkan sebuah anak panah yang mengenai rusukku. (Menurut satu riwayat, beliau mengatakan) anak panah itu mengenai antara kedua mataku di dahi, namun aku tetap bertahan di tempatku. Kemudian ia menembakan anak panah kedua yang mengenai bahuku. Aku mencabutnya dan membuangnya, tetap bertahan di tempatku. Aku tidak bergerak sedikit pun agar ia tidak curiga. Kemudian ia masuk ke dalam tenda dan kami memberi mereka sedikit waktu sampai ketika mereka tertidur dengan tenang, kami menyerang mereka pada waktu sahur. Kami membunuh para pejuangnya, mengambil peralatannya, dan menggiring hewan-hewannya. Seorang penyeru mereka keluar dan membawa pasukan ke arah kami yang tidak mampu kami tandingi. Ia membawa pasukan yang sangat besar.”
Beliau mengisahkan, “Kami terus menggiring hewan-hewan itu tanpa menoleh ke belakang. Ketika kami melewati Ibnu Barsa dan temannya, kami juga membawa mereka berdua bersama kami. Musuh semakin mendekati kami hingga hanya tinggal lembah Qadid yang memisahkan kami dengan mereka. Allah Taala mengirimkan banjir ke lembah itu padahal kami tidak melihat awan atau hujan sama sekali. Maka Allah Taala mengirimkan sesuatu yang tidak ada seorang pun yang mampu menghadapinya dan tidak ada yang bisa menyeberanginya. Musuh berdiri memandangi kami sementara kami terus menggiring hewan-hewan mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berhasil mendekati kami dan kami terus menggiring hewan-hewan itu dengan cepat hingga kami meninggalkan mereka di belakang. Kemudian musuh tertinggal di belakang dan tidak bisa mengejar kami lagi. Akhirnya kami tiba di hadapan Rasulullah saw..” Bagaimanapun, pembahasan peristiwa-peristiwa ini masih terus berlangsung.
Saat ini saya juga ingin meminta doa khusus untuk para Ahmadi di Pakistan. Para Ahmadi Pakistan sendiri juga harus berdoa untuk diri mereka sendiri, dan seperti yang telah saya katakan, mereka harus memusatkan perhatian pada shalawat dan membaca doa ini sebanyak 200 kali:
سُبْحَانَ ٱللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ ٱللَّهِ ٱلْعَظِيمِ. ٱللَّهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ
Pada saat ini, kita harus memberikan perhatian sebanyak mungkin ke arah ini. Jika kita memenuhi hak berdoa dengan memusatkan perhatian pada doa-doa, maka barulah kita akan berhasil. Perhatian yang seharusnya diberikan tidak sedang diberikan. Beberapa orang bahkan menulis kepada saya mengatakan bahwa hanya dengan doa saja tidak akan menghasilkan apa-apa, kita harus melakukan sesuatu yang lain. Apa lagi yang harus dilakukan? Senjata kita hanyalah doa, saya telah menjelaskan hal ini berkali-kali. Saya telah menyampaikan kutipan-kutipan dari Hazrat Masih Mau’ud a.s.. Adalah pemikiran yang sangat keliru bahwa doa-doa tidak akan menghasilkan apa-apa. Bagaimanapun, doa-doalah yang merupakan solusi bagi keberhasilan kita.
Semoga Allah Taala juga memberikan taufik kepada semua orang untuk melakukan hal ini dan semoga kita menjadi orang-orang yang memenuhi hak berdoa. Jika kita hanya mengatakan bahwa doa-doa tidak akan menghasilkan apa-apa dan tidak memenuhi haknya, maka ini adalah keluhan yang salah yang kita panjatkan kepada Allah Taala. Oleh karena itu, kita juga harus memohon ampunan untuk hal ini. Hari ini juga telah terjadi sebuah insiden di Karachi. Para perusuh, para teroris – mereka mengatasnamakan Islam, padahal mereka hanyalah teroris – telah menyerang masjid kita dan juga telah mensyahidkan seorang Ahmadi. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn. Rincian lengkapnya belum diterima, ketika rinciannya telah diterima maka akan disampaikan juga insya Allah. Semoga Allah Taala segera menciptakan sarana untuk menangkap orang-orang zalim ini.[1]
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim