Mengapa Kita Harus Berbaiat Kepada Khalifah?

baiat pada khalifah

Mengapa baiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud (as) tidak cukup untuk menjadi seorang Ahmadi – Mengapa kita harus berbaiat kepada Khalifah?

Pertama, perlu diingat bahwa untuk disebut sebagai Ahmadi, cukuplah dengan menerima Hazrat Masih Mau’ud (as). Para Khalifah Masih Mau’ud (as) dan orang-orang yang berbaiat kepada mereka, tidak pernah mengingkari mereka sebagai Ahmadi jika mereka tidak menerima Khalifah dan berbaiat kepada mereka.

Akan tetapi memilih dan berbaiat kepada seorang Khalifah adalah wajib, ini adalah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah. Dalil kewajiban memilih Khalifah dan berbaiat kepadanya bersumber dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ para sahabat.

Keharusan Menegakkan Khilafah dan Berbaiat Kepadanya

Terkait dengan sunnah, misalnya terdapat hadits berikut. Rasulullah saw bersabda:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللّٰهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang meninggalkan ketaatan, maka ia tidak akan menemukan hujjah ketika ia berdiri di sisi Allah pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang mati tanpa baiat, maka ia mati seperti matinya orang jahiliyah.”[tidak menerima Islam].” (Sahih Muslim, Kitabul Imarah, hadits 1851a)

Rasulullah (saw) juga bersabda kepada Huzaifah (ra) ibn al-Yaman tentang Akhir Zaman, dan perawi meriwayatkan:

دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللّٰهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ‏”هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا‏قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ “‏تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ ‏فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ‏

“Ada sebagian orang yang mengajak sebagian lainnya ke pintu neraka, dan barangsiapa yang menerima ajakan mereka maka mereka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepada kami tentang orang-orang itu.” Beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang kami dan berbicara dalam bahasa kami.” Aku bertanya, “Apa yang engkau perintahkan?” apa yang harus saya lakukan jika hal seperti itu terjadi dalam hidup saya?’ Beliau menjawab, ‘Ikutlah dengan Jamaah Muslim dan Imam mereka.’ Saya bertanya, ‘Bagaimana jika tidak ada jamaah dan tidak ada Imam?’ Beliau menjawab, ‘ Jauhilah semua golongan yang berbeda itu, sekalipun jika kamu memakan akar pohon, sampai kamu bertemu Allah dalam keadaan demikian.” (Sahih al-Bukhari, Kitab al-Fitan, hadits 7084)

Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan setiap muslim untuk berbaiat. Beiau menggambarkan orang yang meninggal tanpa baiat seperti orang yang mati jahiliyyah. Maka kewajiban bagi setiap muslim untuk berbaiat.

Terkait:   Apakah Khilafah Ahmadiyah Memiliki Agenda Politik?

Baiat ini pada hakikatnya mensyaratkan adanya seorang Imam dan Khalifah, yang dengan keberadaannya, ia berhak meminta umat Islam untuk berbaiat kepadanya. Pada gilirannya, keberadaan Khalifah mengharuskan setiap Muslim untuk berbaiat kepadanya. Jadi hadits ini menjadi dalil bahwa pemilihan seorang Khalifah adalah wajib dan setiap muslim wajib berbaiat kepada Khalifah tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan orang Islam yang tidak memilki baiat sampai ia meninggal.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda kepada orang-orang beriman:

تَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوا قَالُوا فَكَيْفَ نَصْنَعُ قَالَ أَوْفُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ أَدُّوا الَّذِي عَلَيْكُمْ فَسَيَسْأَلُهُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنِ الَّذِي عَلَيْهِمْ

“Akan ada khalifah dan jumlahnya akan banyak.” Mereka bertanya, ‘Apa yang harus kami lakukan?’ Beliau bersabda, ‘Pemenuhi baiatmu kepada orang pertama, kemudian orang yang datang setelahnya, dan lakukanlah kewajiban-kewajiban yang diwajibkan kepadamu, karena Allah akan mempertanyakan mereka tentang kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada mereka.’” (Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Jihad, hadits 2871)

Perihal pola yang berulang dari jamaah Ilahi dan kekuasaan mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما كانَتْ نُبُوَّةٌ قَطُّ إلّا تَبِعَتْها خِلافَةٌ، ولا كانَتْ خِلافَةٌ قَطُّ إلّا تَبِعَها مُلْكٌ

“Tidak ada kenabian kecuali diikuti oleh Khilafah, dan tidak ada Khilafah kecuali yang diikuti oleh kerajaan.” (Mashyakhah Ibn Tahman, hadits 40)

Karena Hadhrat Masih Mau’ud (as) merupakan nabi bayangan yang tidak membawa syariat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang telah menegaskan status kenabian ini), maka dengan logika yang sama, pola ini pun juga berlaku kepada beliau dan Khilafah setelah beliau.

Khilafat Akan Tegak Setelah Mahdi

Dalam hadis lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menubuatkan:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ ما شاءَ اللّٰهُ أنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُها إذا شَاءَ أنْ يَرْفَعَها، ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةٌ عَلى مِنهاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُونُ ما شاءَ اللّٰهُ أنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُها إذا شاءَ اللّٰهُ أنْ يَرْفَعَها، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عاضًّا، فَيَكُونُ ما شاءَ اللّٰهُ أنْ يَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُها إذا شَاءَ أنْ يَرْفَعَها، ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً، فَتَكُونُ ما شاءَ اللّٰهُ أنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُها إذا شاءَ أنْ يَرْفَعَها، ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةً عَلى مِنهاجِ نُبُوَّةٍ ثُمَّ سَكَتَ

“Kenabian akan tetap berada di antara kalian selama Allah menghendaki, dan Allah akan mencabutnya ketika Dia menghendaki. Kemudian akan berlaku masa khilafah yang mengikuti jejak kenabian (khilafah ‘ala minhajin-nubuwwah), dan akan tetap berada selama Allah berkehendak, dan Allah akan mencabutnya ketika Dia menghendaki. Kemudian diikuti masa kerajaan yang di dalamnya manusia akan menghadapi cobaan dan kesengsaraan (mulkan ‘adhan), dan kerajaan itu akan tetap ada selama Allah menghendakinya, dan Allah akan menyingkirkannya ketika Dia menghendaki. Kemudian setelah itu akan muncul kerajaan yang menindas (mulkan jabbariyyah), dan akan terus ada selama Allah berkehendak, kemudian Dia akan menghapusnya ketika Dia menghendakinya. Kemudian sekali lagi akan muncul khilafah yang mengikuti jejak kenabian (khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Setelah itu beliau diam. (Musnad Ahmad bin Hanbal; Mishkat, Kitab al-Riqaq, Bab al-Andhar wal-Tahdhir)

Terkait:   Apakah Khilafah Ahmadiyah Memiliki Agenda Politik?

Perawi hadits ini, Habib bin Salim (rh), menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz (rh) (Mujaddid abad bertama) ketika beliau menjadi Khalifah dan menyatakan pendapat bahwa pemerintahannya-lah yang dinubuatkan oleh riwayat tersebut. Namun pada faktanya, ini adalah pendapat yang mengada-ada karena belum ada pemerintahan yang bermacam-macam seperti yang disebutkan sebelumnya.

Hal ini juga dibenarkan oleh ulama hadis Salafi modern al-Albani (w. 1999 M). Dia berkata:

ومن البعيد عندي حمل الحديث على عمر بن عبد العزيز، لأن خلافته كانت قريبة العهد بالخلافة الراشدة ولم تكن بعد ملكين ملك عاض وملك جبرية، والله أعلم

“Bagi saya, agak mengada-ada jika hadits ini diterapkan kepada Umar bin Abdul Aziz, karena Khilafahnya dekat dengan era Khilafah Rasyidah, dan belum ada dua kerajaan: kerajaan yang kejam (mulk ‘add) dan kerajaan yang memaksa (mulk jabariyyah), Allah Maha Mengetahui.” (Silsilat al-ahadith as-sahihah)

Hadits lain yang diperkuat oleh hadits di atas menunjukkan bahwa Khilafah di jalan kenabian ini akan tegak dengan munculnya Imam Mahdi. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

سَيَكُونُ مِن بَعْدِي خُلَفاءُ، ومِن بَعْدِ الخُلَفاءِ أُمَراءُ، ومِن بَعْدِ الأُمَراءِ مُلُوكٌ، ومِن بَعْدِ المُلُوكِ جَبابِرَةٌ، ثُمَّ يَخْرُجُ رَجُلٌ مِن أهْلِ بَيْتِي يَمْلَأُ الأرْضَ عَدْلًا كَما مُلِئَتْ جَوْرًا

“Setelahku, akan ada Khulafa. Setelah khalifah, akan ada penguasa. Setelah penguasa, akan ada raja. Setelah raja, akan ada tiran. Kemudian, seorang laki-laki dari ahl al-Bait-ku akan muncul yang akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan tirani.” (Al-Mu‘jam al-kabir li-t-Tabarani, hadits 18406)

Ulama-ulama kontemporer, seperti Amin Muhammad Jamal ad-Din, Guru Besar Universitas Al-Azhar Kairo, dan ulama kenamaan Suriah Muhammad al-Yaqoubi, juga berpendapat bahwa Khilafah di jalan kenabian ini akan tegak setelah munculnya Imam Mahdi.

Ijma para Sahabat (ra)

Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sepakat tentang perlunya menegakkan Khilafah melalui pemilihan setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perlunya berbaiat kepadanya. Ketika Abu Bakar ra terpilih sebagai Khalifah setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, semua sahabat berbaiat kepadanya. Selain itu, para sahabat ra sepakat untuk memilih Khalifah berikutnya setelah wafatnya Khalifah sebelumnya dan berbaiat kepadanya.

Terkait:   Apakah Khilafah Ahmadiyah Memiliki Agenda Politik?

Selain itu, ijma’ para sahabat (ra) tentang pendirian Khilafah menjadi jelas setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika mereka sedang mengurus pemilihan Khalifah alih-alih mempersiapkan pemakaman beliau, meskipun pemakaman jenazah adalah wajib, dan tidak boleh disibukkan dengan hal lain hingga penguburannya selesai. Hal ini tidak akan diperbolehkan selain karena pemilihan Khalifah merupakan kewajiban yang lebih besar daripada pemakaman. Selain itu sepanjang hidup mereka, semua sahabat (ra) sepakat tentang kewajiban memilih Khalifah dan baiat kepadanya. Meskipun pada masa-masa awal Islam terjadi perbedaan pendapat tentang yang harus dipilih sebagai Khalifah, tetapi tidak pernah terjadi perselisihan tentang perlunya Khalifah dan berbaiat kepadanya; baik setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maupun setelah wafatnya salah seorang Khalifah Rasyidah (ra).

Dengan demikian, ijma’ para sahabat (ra) merupakan dalil yang tegas dan kuat bahwa menegakkan dan memilih Khalifah serta mengikrarkan baiat kepadanya adalah wajib.

Para sahabat Hazrat Masih Mau’ud (as) juga sepakat untuk menegakkan dan mengikrarkan baiat kepada Khalifah terpilih. Setelah wafatnya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad (as), seluruh sahabat (ra) dengan suara bulat menyatakan baiat kepada Hazrat Hakim Maulwi Nuruddin (ra), sebagai Khalifatul Masih I.

Maka Khawaja Kamaluddin Sahid, yang saat itu menjabat sebagai sekretaris Sadr Anjuman Ahmadiyah, menerbitkan pemberitahuan berikut kepada para anggota Ahmadi dalam suplemen surat kabar Al-Hakam edisi 30 Mei 1908, yang juga ditandatangani oleh semua pejabat Sadr Anjuman:

“Seluruh umat yang hadir di Qadian, berjumlah 1200 orang saat itu, telah menerima Hazrat Haji al-Haramain al-Syarifain Hakim Nuruddin sebagai penerus dan Khalifahnya [Masih Mau’ud], dan telah berbaiat kepadanya. Surat ini merupakan pemberitahuan kepada semua anggota Jemaat, bahwa segera setelah membaca surat tersebut, mereka harus berbaiat kepada Hazrat Hakimul Ummah Khalifatul Masih wal-Mahdi, baik secara langsung maupun tertulis.”

Demikian pula, pengumuman berikut  dipublikasikan di surat kabar Badr pada tanggal 2 Juni 1908:

“Sesuai dengan petunjuk dari Hadhrat Masih Mau’ud as, lih Al-Wasiyyat […] Telah diputuskan bahwa semua anggota Jemaat, baik yang lama maupun yang baru, harus berbaiat kepada beliau [Hazrat Hakim Maulvi Nuruddin] sebagai Khalifatul Masih, yang dalam kapasitas ini keinginan dan perintah beliau akan memiliki otoritas yang sama bagi kita sebagaimana keinginan dan perintah Hadhrat Masih Mau’ud as.”

(Disusun oleh Ahmadiyya Archive and Research Centre)

Sumber: Alislam.org

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.