Mengapa kita bangga mengatakan Khilafah Ahmadiyah tidak memiliki agenda politik, padahal Nabi Muhammad SAW dan para Khalifahnya memiliki agenda politik yang sangat kuat?
Ini adalah pertanyaan yang bersifat menggiring, dan apa yang disiratkan dalam pertanyaan tersebut perlu ditinjau terlebih dahulu. Khilafat Ahmadiyah memang memiliki tujuan politik yang diperjuangkan.
Hazrat Khalifatul Masih II, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) pernah menjelaskan:
‘”Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk menegakkan ajaran Islam di dunia, menyelesaikan perselisihan berdasarkan Syariat, dan menerapkan sanksi untuk pelanggaran di luar ranah pidana sesuai hukum Islam, kecuali pemerintah melarang kita dan mengatakan, ‘Kami tidak mengizinkan kalian mengatur hal ini sesuai keinginan sendiri.
Selain itu, kita perlu memberlakukan tatanan Islam sekecil apa pun, dan membangun setiap kemungkinan struktur pemerintahan Islam di dunia. Namun, kita tidak akan mencampuri urusan-urusan yang berada di bawah kendali pemerintah. Jika penentang menyebut upaya dan perjuangan kita sebagai ‘mendirikan pemerintahan sendiri,’ kita tidak peduli.
Kita, bahkan mengatakan bahwa kita ingin mendirikan pemerintahan Islam di dunia, tetapi dalam bentuk pemerintahan rohani, dan kita tidak pernah menyembunyikan bahwa kami ingin mendirikan pemerintahan Islam di dunia; sebaliknya kami secara terbuka mengatakan bahwa, Insya Allah, kami akan menegakkan pemerintahan Islam di dunia.
Yang kami sangkal adalah kami akan menegakkan pemerintahan Islam dengan kekerasan atau pemberontakan. Sebaliknya, kami akan menegakkan pemerintahan Islam dengan menaklukkan hati manusia.
Bisakah dibayangkan bahwa jika saya memiliki kekuatan untuk mengubah seluruh rakyat Inggris menjadi Muslim, termasuk para menteri dan anggota parlemen, serta mendirikan pemerintahan Islam di sana, saya akan menolak kesempatan itu? Tidak, saya tidak akan ragu sedetik pun untuk melakukannya dan mencoba untuk segera memasukkan mereka ke dalam Islam dan mendirikan pemerintahan Islam di Inggris, tetapi karena hal ini di luar kemampuan saya, saya tidak dapat melakukannya.
Meskipun begitu, saya tidak menyangkal bahwa saya menyimpan harapan ini dalam hati, dan tentu saja saya ingin para raja-raja kita menjadi Muslim, agar para menteri juga menjadi Muslim, dan para anggota parlemen juga menjadi Muslim dan agar seluruh rakyat Inggris menjadi Muslim.” (Khutbah Jumat, 13 Maret 1936)
Kesalahpahaman konseptual mendasar yang harus diluruskan sebelum melangkah lebih jauh adalah penerjemahan dan pemindahan ‘konsep pemisahan antara geraja dan negara’, yang berasal dari Kekristenan, ke dalam Islam sebagai pemisahan antara agama dan politik.
Islam bukanlah agama dalam pengertian Kekristenan, melainkan sebuah konsep kehidupan yang menyeluruh. Istilah Arab iman, yang kadang-kadang diterjemahkan sebagai keyakinan atau kepercayaan karena keterbatasan bahasa, sangat jauh dari konsep iman dalam Kekristenan. Iman (menurut konsep islam) memiliki tiga komponen utama:
- Pengakuan dengan hati (tasdiq bil-qalb)
- Pernyataan dengan lisan (qaul bil-lisan)
- Pelaksanaan melalui tindakan (‘amal bi-l-jawarih).
Lebih jauh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk memperbaiki keburukan dengan tangan sendiri, dan beliau mengatakan bahwa dengan hanya memikirkan sesuatu keburukan dalam hati merupakan tingkat keimanan yang paling rendah.
Selain itu, tidak mungkin untuk berasumsi bahwa Khalifah – otoritas agama tertinggi yang didukung oleh Allah– hanya akan menunjukkan tingkat keimanan yang terendah itu (yakni dengan hati). Rasulullah saw bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah tingkat keimanan yang paling lemah.” (Sahih Muslim, Kitab al-Imaan, Hadits 49a)
Dengan demikian, aspek politik adalah bagian dari kehidupan sehari-hari setiap Muslim dan setiap lembaga Islam.
Namun, yang perlu dipahami adalah mandat Khalifah bergantung pada mandat sosok yang ditunjuk Allah (ma’mur), yang ia menjadi penerusnya. Hazrat Khalifatul Masih II(ra) menjelaskan ini dengan kata-kata berikut:
“Jika Allah memberikan kerajaan kepada Nabi-Nya, maka Khalifahnya juga berhak atasnya, dan Allah pasti akan mengaruniakan kerajaan tersebut kepadanya. Tetapi jika Nabi tersebut tidak memiliki kerajaan, maka dari mana Khalifahnya akan mendapatkannya? Karena Allah telah menganugerahkan kerajaan duniawi dan rohani kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam para Khalifah beliau juga dianugerahi kedua karunia ini. Tetapi sekarang, karena Allah tidak mengaruniakan kerajaan duniawi kepada Hadhrat Masih Mau’ud(as), dengan siapa Khalifahnya akan berperang untuk mendapatkannya?” (Blessings of Khilafat, hlm. 12).
Beliau juga pernah ditanya apakah kedaulatan diperlukan bagi seorang Khalifah. Beliau menjawab:
“Makna Khilafah adalah: 1) kerajaan dan 2) penerus; dan di wilayah mana pun seseorang menjadi Khalifah, ia akan bekerja di wilayah itu, sesuai dengan asal muasal [sumber otoritasnya]. Tujuan pengangkatan Rasulullah (saw) juga merupakan reformasi rohani. Dalam pengertian bahasa Arab, menyebut seorang raja sebagai Khalifah juga benar. Setiap penguasa juga merupakan Khalifah, tetapi kaum Muslim telah mengkhususkan istilah ini.” (Al Fazl, 28 November 1921, hlm. 5)
Di sini, sesuatu yang sangat penting telah ditegaskan, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah beliau pada dasarnya memiliki mandat utama untuk melakukan reformasi rohani, sedangkan kekuasaan material dan politik hanyalah bersifat sekunder. Inilah alasan mengapa banyak nabi dan penerus mereka tidak diberikan kekuasaan duniawi. Hal ini juga diakui oleh sejarawan dunia ternama, Ibnu Khaldun(rh) (wafat 808/1406). Beliau menulis:
فقد تبين أن الخلافة قد وجدت بدون الملك أولاً، ثم التبست معانيهما واختلطت، ثم انفرد الملك
“Jelaslah bahwa kekhalifahan pada awalnya ada tanpa otoritas territorial (kedaulatan wilayah). Kemudian, ciri khas kekhalifahan menjadi kacau dan membingungkan. Akhirnya, otoritas teritorial berdiri sendiri.” (Al-Muqaddima karya Ibn Khaldun, terjemahan Franz Rosenthal).
Terkait kesejahteraan umat Islam, merupakan tugas ilahi dari seorang Khalifah untuk memperhatikannya dan ikut campur dalam masalah-masalah seperti itu sebanyak mungkin, karena kesejahteraan rohani umat Islam tidak mungkin dicapai tanpa memperhatikan kesejahteraan jasmani mereka. Sebagai contoh, kita melihat bahwa para Khalifah selalu aktif secara politik, juga dalam bentuk kelembagaan tetapi non-pemerintah, sepanjang hidup mereka.
Hazrat Khalifatul Masih II(ra), misalnya, terpilih sebagai presiden All India Kashmir Committee, yang secara khusus didasarkan pada keprihatinan dan kepentingan Muslim di Kashmir.
Selain itu, di bawah kepemimpinan Khalifah Jemaat Muslim Ahmadiyah saat ini, semua opsi dan kemungkinan politik dan hukum ditinjau ulang untuk membatasi penghinaan dan fitnah terhadap Rasulullah (saw) di negara-negara dunia.
Selain itu, fakta yang sudah diketahui secara luas adalah bahwa politisi dari berbagai kalangan sering datang langsung ke hadapan Hadhrat Khalifatul Masih V(aba) dan mengambil bimbingan moral dari beliau dalam urusan politik.
Dengan demikian, kita dapat mengamati bahwa para Khalifah Jamaah Muslim Ahmadiyah memang ikut campur dalam politik jika diperlukan dan memungkinkan demi kesejahteraan umat Islam dan kemanusiaan pada umumnya. Namun, yang dikecualikan adalah para Khalifah Ahmadiyah tidak bercita-cita menduduki jabatan politik atau terlibat langsung dalam politik.
(Disiapkan oleh Pusat Arsip dan Penelitian Ahmadiyah)
Sumber: Nafilatun Nafiah
Penerjemah: Alislam.org