Pada hari Sabtu, 17 Maret 2018, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Pemimpin Dunia (Imam) Jamaah Muslim Ahmadiyah, Khalifah Kelima, menyampaikan pidato utama pada kesempatan Simposium Perdamaian tahunan yang ke 15 di Inggris Raya, yang diselenggarakan oleh Jamaah Ahmadiyah Inggris Raya.
Acara ini diadakan di Masjid Baitul Futuh, London, dihadiri oleh lebih dari 550 tamu, baik para menteri pemerintahan, duta besar, anggota parlemen,berbagai pejabat dan tamu lainnya. Berikut kami sampaikan naskah lengkap pidato yang disampaikan oleh Hazrat Mirza Masroor Ahmad.
Para tamu yang terhormat, Assalaamu’alaikum warohmatullahi wa barokaatuhu.
Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada semua tamu kami yang telah ikut bergabung bersama kami dalam acara Simposium Perdamaian tahunan ini.
Selama 15 tahun terakhir, Jamaah Muslim Ahmadiyah telah mengatur dan menyelenggarakan Simposium Perdamaian ini, demi mendorong perdamaian dunia. Mungkin sebagian dari Anda mempertanyakan apa manfaat dari penyelenggaraan acara ini setiap tahunnya, mengingat perdamaian dunia, baik di negara-negara Muslim ataupun di tempat lain, belum juga membaik sampai saat ini, bahkan sebaliknya malah memburuk. Banyak negara-negara dunia yang dicengkeram oleh peningkatan perpecahan, kebencian dan ketidakadilan. Masyarakat terbelah, perang terjadi, negara-negara saling mengancam satu sama lain dan ketidaksetaraan semakin meningkat, baik di negara berkembang maupun negara maju.
Melihat situasi ini, pertanyaan Anda mungkin benar adanya; akan tetapi agama kami menuntut kami untuk mencoba dan menyeru orang-orang, di seluruh dunia, baik yang kaya atau miskin, yang kuat atau tertindas, religius atau bukan, untuk mewujudkan perdamaian dan keadilan. Oleh karena itu, kami akan terus melakukan peran kami supaya umat manusia menyadari kewajiban mereka untuk menghormati dan menghargai nilai-nilai dasar kemanusiaan. Inti ajaran Islam adalah memenuhi hak-hak Sang Pencipta dan memenuhi hak-hak sesama manusia.
Setelah pengantar singkat ini, saya sekarang akan menyampaikan tentang beberapa hal yang saya anggap sangat penting di masa-masa yang penuh gejolak ini.
Di dunia saat ini, kita sering menyaksikan kekuatan besar dan lembaga internasional membuat skema atau rencana yang bertujuan memperbaiki kehidupan orang-orang di seluruh dunia. Belakangan ini, salah satu isu yang diperdebatkan dan dikampanyekan oleh banyak politisi dan intelektual adalah perubahan iklim, khususnya pengurangan emisi karbon. Tentu saja, berjuang melindungi lingkungan dan menjaga planet kita adalah hal yang terpuji dan mulia. Namun pada saat yang sama, negara maju, khususnya para pemimpin dunia, juga harus menyadari bahwa terdapat permasalahan lain yang harus ditangani dengan tingkat urgensi yang sama.
Orang-orang yang hidup di negara-negara termiskin di dunia tidak sempat menyibukkan diri dengan isu lingkungan atau angka-angka terakhir dari jumlah emisi karbon; sebaliknya saat bangun setiap hari mereka bertanya apakah mereka akan dapat memberi makan anak-anak mereka. Keadaan ekonomi mereka benar-benar parah dan tingkat kemiskinan mereka berada jauh di luar bayangan kita. Misalnya ada banyak negara yang mayoritas warganya tidak memiliki akses air bersih dan terpaksa bertahan hidup dengan menggunakan air kolam yang kotor dalam memenuhi kebutuhan mendasar mereka. Itupun tidak mereka dapatkan dengan mudah, melainkan para perempuan dan anak-anak harus melakukan perjalanan setiap hari, berkilo-kilo meter, untuk mengumpulkan air bagi keluarga mereka, dengan membawa pulang tempayan besar diatas kepala mereka.
Kita tidak boleh menganggap bahwa kesulitan seperti itu adalah permasalahan mereka sendiri. Tetapi kita harus menyadari bahwa akibat dari kemiskinan tersebut memiliki implikasi yang buruk bagi dunia yang lebih luas dan secara langsung mempengaruhi perdamaian dan keamanan global. Kenyataan bahwa anak-anak yang tidak memiliki pilihan selain menghabiskan hari-hari mereka untuk mengumpulkan air bagi keluarga mereka, menunjukkan bahwa mereka tidak dapat pergi ke sekolah, atau meraih bentuk pendidikan apapun. Mereka terjebak dalam lingkaran buta huruf dan kemiskinan yang tampak tak ada akhirnya dan sangat merusak masyarakat. Saat ini, kemiskinan dan kesulitan mereka diperparah oleh teknologi modern, yang melaluinya orang-orang yang tinggal di bagian dunia yang menderita dan korban perang, dapat melihat kenyamanan hidup orang-orang di negara maju dan begitu banyaknya kesempatan yang tersedia untuk mereka. Dengan menyaksikan perbedaan besar dengan kondisi yang mereka alami, dibandingkan dengan hal lain, meningkatkan kegelisahan lebih lanjut diantara orang-orang tersebut, dan kondisi ini dimanfaatkan oleh para ekstremis, yang memikat orang-orang miskin ini dengan imbalan uang dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik untuk keluarga mereka. Demikian pula, penargetan terhadap pemuda-pemuda buta huruf menunjukkan bahwa para eksremis memiliki kebebasan dalam melakukan radikalisasi dan mencuci otak mereka. Para ekstremis memanfaatkan keuntungan dari kondisi dimana para penguasa negara-negara tersebut pada umumnya gagal mengurus rakyatnya.
Yang sangat disayangkan, para penguasa di negara-negara yang menderita dan dilanda perang tersebut, lebih seringnya mengkhawatirkan bagaimana mempertahankan status dan kekuasaan mereka sendiri ketimbang membantu meringankan penderitaan rakyat mereka. Alhasil mereka yang tidak memiliki apa-apa, memandang para pemimpin korup mereka sendiri dengan penuh benci dan juga melihat negara-negara besar sebagai musuh. Tragisnya, kita dapat menyaksikan efek mengerikan ini di negara-negara Muslim juga, dan karena menyaksikan kondisi yang menyedihkan negara asal mereka, beberapa Muslim yang dibesarkan di negara maju berubah menjadi radikal dan melakukan serangan teroris yang mengerikan di Barat.
Oleh karena itu, saya sangat yakin bahwa jika kita benar-benar ingin melindungi dunia kita dan memastikan bahwa kita dapat meninggalkan warisan yang baik bagi penerus kita, penting bagi kita untuk melakukan segala upaya meningkatkan standar kehidupan di negara-negara berkembang. Negara miskin tidak boleh dipandang rendah, sebaliknya kita harus menganggap mereka sebagai bagian dari keluarga kita – saudara-saudari kita. Dengan membantu negara-negara berkembang agar mereka dapat mandiri, dan dengan memberi kesempatan dan harapan kepada masyarakat mereka, pada dasarnya kita membantu diri kita sendiri dan menjaga masa depan dunia. Jika tidak, kita sudah melihat (buktinya) bahwa kemiskinan dan kemelaratan di negara-negara berkembang juga berdampak negatif bagi negara-negara lain di dunia.
Lebih lanjut, sebagai akibat dari serangan-serangan teroris baru-baru ini dan arus imigirasi ke Barat yang meluas, terdapat peningkatan risiko nasionalisme (ultra kanan) di banyak negara Barat yang membangkitkan ketakutan hari-hari kelam di masa lalu. Hal ini tentunya sangat menggelisahkan karena kelompok-kelompok ultra kanan menjadi semakin vokal, dan jumlah mereka semakin meningkat, bahkan sudah mendapat keuntungan politik. Mereka juga merupakan ekstremis, yang mempengaruhi masyarakat barat dengan menghasut massa untuk menentang orang-orang dari kulit yang berbeda dan atau yang memiliki keyakinan berbeda.
Selain itu, retorika (janji kampanye) para pemimpin negara-negara besar semakin nasionalistis dan agresif, dengan berjanji untuk menempatkan hak-hak warga mereka sendiri diatas yang lain. Saya tidak memungkiri bahwa memang tanggung jawab pemerintah dan pemimpin untuk menjaga rakyat mereka sendiri dan melindungi kepentingan mereka. Tentu saja, selama para pemimpin bertindak dengan keadilan dan tidak melanggar hak orang lain, upaya memperbaiki kehidupan warganya merupakan kebajikan yang besar. Namun, kebijakan yang didasarkan pada keegoisan, keserakahan dan merampas hak orang lain adalah keliru dan hal itu akan menjadi sarana munculnya perpecahan dan perselisihan di dunia.
Selanjutnya, masalah lain adalah perdagangan senjata internasional. Dunia saat ini mengganggap diri mereka lebih beradab daripada zaman manapun di masa lalu, tetapi di tahun 2018, masih ada negara-negara yang dihancurkan dan dimusnahkan dengan senjata yang tidak lain hanya bisa dikategorikan sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Di negara-negara seperti Suriah, Irak dan Yaman, pasukan pemerintah, pemberontak dan organisasi teroris saling berperang satu sama lain. Terlepas dari kepentingan mereka yang berbeda, mereka semua memiliki kesamaan – yaitu sebagian besar senjata mereka diproduksi dari luar di negara-negara maju. Dengan cukup terbuka dan bangga, negara-negara besar melakukan perdagangan senjata yang digunakan untuk membunuh, melukai dan membinasakan orang-orang yang tidak bersalah.
Sayangnya, negara-negara seperti itu hanya berfokus pada upaya untuk meningkatkan ekonomi mereka dan memaksimalkan kapital negara mereka tanpa memikirkan dampaknya. Mereka berupaya keras untuk mendapatkan kontrak yang sebesar-besarnya atas penjualan senjata perusak, yang sekali ditembakkan, tidak akan membeda-bedakan pihak yang bersalah dan bukan. Mereka dengan bangga menjual senjata tanpa terkecuali kepada anak-anak, wanita atau orang yang lemah. Mereka tanpa malu-malu menjual senjata yang menelan dan melenyapkan kota tanpa pandang bulu. Sementara ekonomi negara-negara penjual senjata mendapat keuntungan jangka pendek, tangan mereka dipenuhi oleh darah ratusan ribu orang. Tak terhitung anak-anak yang menyaksikan orang tua mereka dibunuh dengan cara yang sangat tidak manusiawi dan yang mereka lakukan hanyalah bertanya-tanya mengapa orang tua mereka direnggut dari mereka. Ribuan wanita menjanda, putus asa dan rentan.
Kebaikan apa yang dapat diperoleh dari kehancuran seperti itu?
Yang saya lihat adalah generasi anak-anak itu semakin jauh terdorong ke pangkuan orang-orang yang berupaya menghancurkan kedamaian dunia.
Ketika seorang anak kecil atau remaja menyaksikan orang tua mereka direnggut dari mereka dengan cara yang sangat keji, siapa yang dapat menyalahkan mereka jika bereaksi? Saya telah sebutkan sebelumnya bahwa para ekstremis menyasar orang-orang yang tenggelam dalam kemiskinan, dan mereka juga menargetkan anak-anak atau pemuda yang menjadi brutal karena perang. Mereka merekrut anak-anak seperti itu yang pengetahuan pikirannya belum matang dan mudah dipengaruhi untuk melakukan balas dendam berdarah melalui terorisme. Alih-alih berada di sekolah dan mendapatkan pendidikan sehingga mereka tumbuh menjadi masyarakat yang baik dan taat hukum, satu-satunya pendidikan yang mereka dapatkan adalah bagaimana menguasai granat atau peluncur roket, bagaimana melakukan serangan bunuh diri dan bagaimana menciptakan berbagai kekacauan di dunia. Selain itu, beberapa negara melibatkan diri dengan tidak semestinya dalam konflik yang terjadi ribuan mil jauhnya dengan mengerahkan tentara mereka sendiri atau dengan melakukan serangan udara.
Namun dalam banyak kejadian, nampaknya dunia tidak belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalunya. Sudah diketahui secara luas bahwa Perang Irak 2003 merupakan ketidakadilan dan dipicu oleh alasan-alasan yang dibuat-buat, sementara Libya jatuh dalam kekacauan dan menjadi sarang ektremisme sejak kekuatan Barat mengambil alih tindakan disana beberapa tahun lalu. Meski demikian, negara-negara besar belum juga belajar dari hal ini. Kota-kota telah rata dengan tanah, ribuan bangunan telah berubah menjadi debu.
Di awal saya menyebutkan bahwa fokus utama komunitas dunia adalah perubahan iklim dan keinginan untuk menjaga udara yang kita hirup tetap bersih. Adakah diantara mereka yang berpikir bahwa pengeboman yang dahsyat tidak berpengaruh pada atmosfer? Kemudian jika perdamaian akhirnya tercipta di negara-negara yang dilanda perang, kota-kota mereka tetap harus dibangun kembali dari nol, maka hal ini akan menjadi industri besar yang akan menyebabkan peningkatan emisi dan polusi yang berbahaya. Jadi di satu sisi, kita mencoba menyelamatkan bumi ini, tetapi disisi lain kita tanpa sadar sedang menghancurkannya. Mengingat semua ini, saya sangat yakin bahwa negara-negara besar telah dibutakan oleh kepicikan dan pikiran yang sempit.
Salah satu argumen utama dari mereka yang mendukung industri senjata adalah, pengadaan senjata merupakan alat penangkal dan penjaga perdamaian. Namun, kita hanya perlu menyalakan televisi dan menonton berita selama satu menit untuk menyaksikan bahwa argumen semacam itu menyesatkan dan sangat keliru. Tentu saja, ribuan anak-anak yang tidak bersalah yang telah kehilangan orang tua atau kehilangan anggota tubuh mereka, tidak akan dapat diyakinkan oleh logika seperti itu, termasuk kepada ribuan wanita yang menjadi janda, atau jutaan orang yang mengungsi dari rumah mereka. Jika kita ingin meninggalkan warisan berupa harapan bagi anak-anak kita, dan mewariskan dunia yang damai kepada generasi masa depan kita, terlepas dari agama atau keyakinan, maka kita harus segera mengubah prioritas kita.
Alih-alih dikuasai oleh materialisme dan keinginan berkuasa, setiap bangsa, baik kaya atau miskin, harus mengutamakan perdamaian dan keamanan seluruh dunia diatas segalanya.
Alih-alih memulai perlombaan senjata, yang mengarah pada kematian dan kehancuran, kita harus bergabung dalam perlombaan dalam menyelamatkan dan melindungi umat manusia.
Alih-alih menutup perbatasan dan pelabuhan negara-negara yang bertikai, yang menyebabkan anak-anak yang tidak bersalah dibiarkan kelaparan dan orang-orang sakit dirampas dari perawatan medis, kita harus membuka hati kita satu sama lain, meruntuhkan tembok yang memisahkan kita, memberi makan orang yang lapar dan membantu mereka yang menderita.
Dalam hal persaingan politik, perselisihan antara Amerika Serikat dan Korea Utara terus mengancam perdamaian dunia dan setiap konflik antara keduanya juga sangat berdampak pada negara-negara seperti Korea Selatan, Cina dan Jepang. Meski dikatakan bahwa beberapa hari terakhir terdapat terobosan karena Presiden Amerika Serikat tiba-tiba menunjukkan kesediaannya untuk bertemu dengan pemimpin Korea Utara, tetapi hal itu belum menjadi jaminan bahwa perdamaian akan terwujud. Tidak jelas dalam kondisi apa mereka akan bertemu, atau kapan dan dimana pertemuan tersebut akan berlangsung. Bahkan jika kesepakatan itu terjadi, hanya Tuhan yang tahu berapa lama hal itu akan bertahan, karena terlalu banyak kebencian yang bercokol di kedua belah pihak. Kesepakatan nuklir Iran beberapa tahun lalu adalah sebuah contoh, dimana perundingan mencapai kesepakatan, tetapi sekarang, selang beberapa tahun kemudian, kesepakatan itu bagaikan hanya tergantung pada seutas benang.
Oleh karena itu, terdapat banyak masalah yang berbahaya di bawah permukaan dan salah satu diantara mereka dapat meletus kapan saja dan menimbulkan dampak yang tak terperikan. Namun Islam mengajarkan bahwa perdamaian hanya dapat dicapai ketika semua niat jahat dan kebencian disingkirkan dari hati seseorang dan digantikan oleh semangat belas kasih, cinta dan kasih sayang terhadap orang lain.
Islam sering dicap sebagai agama ekstremis yang mendorong pada kekerasan, dan sebagian besar umat Islam dianggap tidak setia kepada negara mereka, atau berusaha menyebarkan kekacauan di dalam masyarakat. Tetapi saya menganggap tuduhan semacam itu salah dan tidak adil. Meskipun para teroris yang mengaku Islam mengklaim bahwa mereka bertindak atas nama Islam, saya tidak percaya bahwa kita sedang menyaksikan perang agama; sebaliknya, perang yang diperjuangkan dan kekejaman yang dilakukan semata untuk kepentingan geopolitik. Mereka yang disebut teroris ‘Jihadi’ dan ulama ekstremis tidak lain hanya mencoreng nama Islam dan menggerogoti upaya mayoritas umat Islam yang damai dan taat pada hukum. Tidak diragukan, sejak awal Islam menolak semua bentuk ektremisme dan ayat-ayat Alquran yang dibacakan sebelumnya memberikan bukti yang jelas tentang hal ini. Ayat-ayat tersebut memberitahu kita bahwa perang Islam di masa-masa awal dilakukan untuk melindungi semua agama dan mempertahankan prinsip suci kebebasan berkeyakinan. Ayat-ayat itu secara tegas menyebut gereja, sinagog, kuil dan masjid untuk diselamatkan.
Ini adalah poin yang saya katakan berulang kali, dan saya tegaskan lagi bahwa siapapun yang melanggar nilai-nilai universal kebebasan berkeyakinan dan kebebasan hati nurani, ia sangat jauh dari Islam. Di beberapa media Barat ada publikasi yang menerima hal ini dan saya memuji mereka karena membela kebenaran dan keadilan. Misalnya baru-baru ini sebuah kolom yang diterbitkan di The Guardian baru-baru ini, penulisnya menyampaikan:
“Terorisme Islam, menurut saya, tidak sedang dan tidak akan pernah (dilakukan untuk) memajukan Islam. Hampir selalu tentang hak tanah, pencurian sumber daya alam dan ekonomi serta kebijakan moneter global yang membuat seluruh populasi di negara-negara Muslim hidup dalam kekurangan dan kemelaratan.”
Kata-kata tersebut secara akurat menggambarkan realitas tentang terorisme yang dilakukan oleh mereka yang menyebut diri mereka Muslim. Lebih jauh, dalam sebuah kolom yang diterbitkan oleh surat kabar nasional, jurnalis Peter Oborne memberikan bukti yang meyakinkan bahwa banyak Muslim yang diradikalisasi, setidaknya sampai batas tertentu merupakan akibat campur tangan beberapa badan intelijen Barat. Dalam hal ini sang jurnalis mengutip perkataan mantan perwira intelijen Inggris yang mengatakan:
“Tidaklah benar, di satu sisi, dinas kepolisian dalam negeri mengerahkan seluruh kekuatan untuk melindungi masyarakat kita dengan memerangi terorisme, sementara, di sisi lain, elemen dari sistem keamanan kita dan Amerika telah mempersenjatai dan melatih para jihadis dan berkolusi dengan terorisme.”
Selanjutnya, dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh The Boston Globe, Professor Jeffrey Sachs, Direktur Pusat untuk Pembangunan Berkelanjutan di Universitas Colombia menyatakan:
“CIA menggulingkan berbagai pemerintah di Timur Tengah dalam banyak kesempatan. Para pengamat media cenderung mengabaikan peran Amerika Serikat dalam ketidakstabilan tersebut.”
Berbicara tentang mendukung solusi damai multilateral untuk konflik, Profesor Sachs menulis:
“Amerika Serikat harus segera mengakhiri peperangannya di Timur Tengah dan beralih pada diplomasi berbasis PBB untuk mendapatkan solusi nyata dan keamanan.”
Ada banyak artikel lain yang diterbitkan baru-baru ini oleh (media-media) non-Muslim yang membenarkan fakta bahwa kelompok-kelompok teroris seperti Daesh (ISIS) tidak akan bisa berkembang tanpa bantuan eksternal. Saya tidak mengatakan bahwa setiap upaya campur tangan adalah salah, tetapi setiap tindakan (intervensi) harus adil dan proporsional dan semua kepentingan pribadi harus disingkirkan. Di dalam Alquran Surah 49: 10 dinyatakan bahwa tujuan dari setiap intervensi harus untuk membangun perdamaian jangka panjang dan memerintahkan umat Islam untuk berlaku adil bahkan terhadap musuh mereka. Jadi, dimana Islam memberikan izin, itu pun sebagai upaya terakhir, bagi umat Islam di masa awal untuk berperang, Al Quran juga memerintahkan mereka untuk memenuhi syarat keadilan dan jangan pernah terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau melakukan pelanggaran begitu perdamaian tercipta.
Tentu saja, prinsip yang mendalam ini masih berlaku untuk kondisi saat ini, baik untuk Muslim maupun non-Muslim dimana kekuatan diperlukan untuk menghentikan agresor agar tidak melakukan kekejaman, (tapi) tindakan tersebut harus tetap proporsional dan tidak pernah masuk ke ranah balas dendam atau menjarah kekayaan dari pihak yang kalah. Begitu agresor menyepakati perdamaian, mereka tidak boleh dirampas haknya, atau dimanfaatkan dengan cara apapun.
Sepanjang hidupnya, Nabi Muhammad saw berupaya menyatukan orang-orang dalam perdamaian dan senantiasa mengesampingkan hak sendiri demi orang banyak. Bannyak penulis dan akademisi non-Muslim, yang telah mempelajari Islam dengan seksama, membuktikan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw selalu berupaya untuk menyatukan masyarakat dan memperjuangkan kebebasan berkeyakinan. Contohnya Peter Frankopan, Peneliti Senior di Universitas Oxford, telah menyebutkan Rasulullah Saw dalam bukunya, The Silk Roads. Penulis menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad saw berupaya menciptakan kerukunan dan dialog antar agama dan bekerja dengan erat dengan komunitas Kristen dan Yahudi di masa itu.
Dia berbicara tentang ‘titik temu’ antara komunitas agama di era itu dan bagaimana pesan dari Nabi Muhammad saw adalah satu, yaitu ‘konsiliasi’. Dalam satu bagian bukunya, penulis membahas tentang periode ketika Nabi Muhammad saw diangkat sebagai pemimpin administratif kota Madinah, Ia menulis:
“Pemuka Yahudi di kota Madinah memberikan dukungan mereka kepada Muhammad dengan imbal balik jaminan keamanan bersama. Hal ini tersusun dalam dokumen resmi yang menyatakan bahwa keimanan dan harta mereka akan dihormati saat ini dan di masa depan oleh umat Islam.”
Ia lebih lanjut menulis:
“Muhammad dan para pengikutnya berusaha keras untuk meredakan ketakutan orang-orang Yahudi dan Kristen ketika kendali umat Islam meluas.”
Jadi sesungguhnya Islam selalu bertentangan sama sekali dengan segala bentuk terorisme dan ekstremisme. Lebih lanjut lagi, walaupun di satu sisi saya menerima bahwa tindakan jahat sebagian umat Islam sangatlah merusak masyarakat, saya tidak menerima bahwa hanya Muslim-lah yang harus disalahkan atas ketidakstabilan dunia saat ini. Banyak komentator dan ahli saat ini secara terbuka mengatakan bahwa kekuatan dan kelompok non-Muslim tertentu juga memainkan peran dalam menggerogoti perdamaian dan kohesi sosial.
Cukup jelas untuk dikatakan bahwa saat ini adalah waktu bagi umat manusia menjauhkan diri dari anggapan bahwa hanya Islam yang harus disalahkan atas permasalahan di dunia. Lebih jauh lagi, ini juga waktu yang tepat, bahwa sebagai ganti memprioritaskan kemajuan partai politik atau pemerintah mereka, para pemimpin kita harus memprioritaskan perdamaian dan kemakmuran umat manusia di masa depan. Ini adalah cara untuk mewujudkan kedamaian sejati di dunia.
Pada tingkat internasional yang lebih luas, kita harus mengakui bahwa penggunaan kekuatan jarang sekali mendatangkan manfaat dalam jangka panjang. Jadi ketika berhadapan dengan Korea Utara, Iran atau negara lain, negara-negara besar harus bertindak dengan hati-hati dan penuh kebijaksanaan dan berusaha mendengar kekhawatiran masing-masing pihak. Seperti yang dikatakan seorang kolumnis yang saya kutip, negara-negara besar harus mengupayakan diplomasi dan memprioritaskan penurunan ketegangan. Mereka harus berusaha menegosiasikan kesepakatan perdamaian dan perjanjian yang tidak bias terhadap satu pihak, tetapi yang mewadahi kekhawatiran semua pihak. Selanjutnya, setelah perdamaian tercapai, kita harus melepaskan segala bentuk permusuhan atau kebencian di masa lalu dan maju bersama dengan semangat saling menghormati dan menghargai.
Tentu saja, merupakan keyakinan dan pendirian saya yang teguh bahwa teladan terbesar dari sikap memaafkan, kebajikan dan belas kasih dalam sejarah umat manusia adalah teladan beberkat dari pendiri Islam, Nabi Muhammad saw. Selama tiga belas tahun beliau dan para pengikutnya menjadi sasaran penganiayaan yang keji dan diusir dari rumah mereka serta terpaksa berhijrah dari kota Mekkah. Selama periode itu, orang-orang Islam disyahidkan secara kejam, mereka disiksa secara fisik dan mental serta menjadi korban sasaran perlakuan sosial yang paling berat. Umat Islam dipaksa berbaring diatas bara api untuk jangka waktu yang lama.
Perempuan-perempuan Muslim diikat kakinya ke unta yang berbeda yang kemudian ditarik berlawanan arah, yang tentu saja benar-benar membelah tubuh mereka menjadi dua bagian yang terpisah. Namun ketika Nabi Muhammad saw kembali dengan kemenangan di Mekkah, beliau tidak menumpahkan setetes darahpun untuk balas dendam; sebaliknya berdasarkan perintah Ilahi beliau menyatakan bahwa semua penyiksaan dan semua orang yang menentang Islam dengan keras segera diampuni. Beliau menyatakan bahwa di bawah kekuasaan Islam, semua orang akan bebas mempraktikkan agama dan kepercayaan mereka sendiri, tanpa campur tangan atau dibawah rasa takut. Satu-satunya syarat beliau adalah setiap anggota masyarakat terus berkomitmen untuk menjaga perdamaian.
Beliau menginstruksikan bahwa semua orang, tidak peduli kasta, keyakinan atau warna kulitnya, harus dilindungi hak-haknya dan diperlakukan dengan hormat setiap saat. Ini adalah contoh abadi yang luar biasa dari Rasulullah saw yaitu semangat belas kasih dan rahmat yang harus diterapkan oleh kalangan Muslim dan non Muslim di dunia saat ini. Semangat pengampunan dan kebajikan inilah yang harus dikembangkan oleh semua bangsa, baik besar maupun kecil, kaya atau miskin. Hanya dengan cara demikian perdamaian jangka panjang akan dapat terwujud.
Dengan segala ketulusan hati, saya berdoa agar umat manusia menyadari kewajibannya terhadap sesama, sehingga para penerus kita dapat mengingat kita dengan bangga dan penuh rasa syukur.
Mari kita lihat masa depan dan bukan hari ini saja. Mari kita selamatkan generasi masa depan kita. Semoga Allah memberi kita hikmah.
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih kepada Anda sekalian yang telah bergabung dengan kami pada malam ini. Terima kasih banyak.