Para penentang Ahmadiyah menyatakan telah terjadi mubahalah antara Mirza Ghulam Ahmad dengan Maulvi Tsanaullah. Akibat dari mubahalah itu, beliau meninggal lebih dulu (tahun 1908) mendahului Maulvi Tsanaullah dan sekaligus membuktikan kebohongan beliau.
Untuk itu dapat kami jelaskan, yakni:
- Awalnya, tantangan mubahalah diajukan beliau kepada para ulama di India, seperti yang dicatat dalam buku Anjam Atham, tahun 1897. Saat itu, usia beliau 62 tahun, dan Maulvi Tsanaullah, ulama dari Amritsar, berusia 29 tahun. Daftar ulama yang diajak mubahalah, telah dilampirkan dalam buku tersebut. Maulvi Tsanaullah berada dalam urutan nomor 11.
- Maulvi Tsanaullah tidak memberi tanggapan (menolak atau menerima) ajakan mubahalah Lima tahun kemudian (tahun 1902), para pendukungnya mendesaknya, untuk menerima mubahalah tersebut. Akhirnya dia menyambut ajakan mubahalah itu.
- Menanggapi sambutan itu, Mirza Ghulam Ahmad kemudian menulis buku Ijazi Ahmadi (terbit pada November 1902), dan menjelaskan:
“Saya telah membaca pemberitahuan Maulvi Tsanaullah dari Amritsar yang menyatakan keinginan yang tulus untuk satu keputusan, bahwa ia dan saya seyogyanya berdoa sehingga salah seorang di antara kita yang berdusta akan menemui ajal semasa hidup orang yang benar… Ia telah datang dengan usulan yang baik, sekarang lihatlah apakah ia tetap berpegang pada hal itu”.
(Ijaz Ahmadi; Ruhani Khazain, vol. 19, hal. 121-122)
Saat itu (tahun 1902), usia beliau 67 tahun sementara Maulvi Tsanaullah berusia 34 tahun. Tetapi tanpa ragu, beliau menyandarkannya kepada Allah Yang Maha Kuasa.
- Menanggapi hal itu, Maulvi Tsanaullah menerbitkan buku berjudul Ilhamat Mirza (lham-ilham Mirza), ia menulis:
“Saya tidak pernah mendakwahkan diri seperti anda bahwa saya seorang Nabi, Rasul, anak Tuhan atau penerima wahyu. Saya tidak dapat, oleh karena itu, saya tidak berani untuk ikut dalam pertandingan (mubahalah) semacam itu. Perkataan anda bahwa jika saya mati sebelum anda, anda akan mengatakan itu sebagai bukti kebenaran anda dan jika anda mati sebelum saya, maka siapakah yang akan pergi ke kuburan anda untuk diminta pertanggung-jawabannya? Itulah sebabnya mengapa anda mengemukakan tantangan konyol itu. Saya menyesal, bagaimanapun juga, saya tidak berani ikut dalam kontroversi seperti ini dan kurangnya keberanian saya ini merupakan sumber kehormatan bagi saya dan bukanlah sumber kehinaan”. (Ilhamat Mirza, hal. 116)
- Setelah lama sejak tahun 1902, tidak ada kejelasan apakah Maulvi Tsanaullah menerima atau menolak mubahalah. Lima tahun kemudian, tepatnya pada 29 Maret 1907, dia menulis dalam surat kabar Ahlul Hadits yang memunculkan kembali tantangan mubahalah
Ini hal yang aneh; Mengapa tantangan mubahalah pada awal pada tahun 1897 (dalam buku Anjam Atham), ia memilih diam. Sekarang 10 tahun berlalu, masalah mubahalah itu kembali dimunculkan? Apakah karena ia tahu bahwa saat itu kesehatan Mirza Ghulam Ahmad sudah menurun yang disebabkan lanjut usia?
- Tetapi beliau tetap menanggapi tantangan Maulvi Tsanaullah, dengan menulis dalam majalah Al Badar bahwa:
“…. Saya ingin menyampaikan kepada Maulvi Tsanaullah berita gembira bahwa Mirza Ghulam Ahmad telah menerima tantangannya”. (Al Badar, 4 April 1907)
Selanjutnya, beliau membuat Pengumuman pada 15 April 1907, dengan judul Keputusan Akhir dengan Maulvi Tsanaullah:
“Sekarang Maulvi Tsanaullah boleh menulis apapun tanggapannya yang ia suka. Dalam hal ia menerima tantangan untuk bermubahalah, ia seyogyanya menuliskannya dengan disertai tanda-tangannya” (Truth about Ahmadiyyat, hal. 86)
- Pengumuman itu membuat gusar dan takut dalam diri Maulvi Tsanaullah. Intinya adalah (1) dia tidak mau mubahalah, melainkan bersumpah. Katanya, mubahalah dan sumpah itu berbeda, (2) katanya lagi, dalam Al-Quran, disebutkan bahwa Tuhan juga memberi umur panjang kepada para pendusta, penipu, pembuat onar dan pemberontak. Tulisan Maulvi Tsanaullah selengkapnya adalah: “Saya tidak menantang anda mubahalah, saya hanya menyatakan keinginan saya untuk bersumpah… Saya telah menyatakan keinginan saya untuk bersumpah dan tidak membuat tantangan Membuat persumpahan secara sepihak adalah satu hal dan mubahalah adalah soal lain”. (Ahlul Hadits, 19 April 1907)
Selanjutnya dia menulis:
“Al-Quran menyatakan bahwa orang-orang yang berbuat zalim mendapat kelonggaran Tuhan… (Al-Quran surat 19:76)…(Al-Quran surat 3:179)…(Al-Quran surat 2:16)…(Al-Quran surat 21:45). Semua secara jelas berarti bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa memberi kelonggaran dan umur panjang bagi para pendusta, penipu, pembuat onar, dan pemberontak, sehingga selama masa kelonggarannya, mereka menambah perbuatan zalim mereka”. (Ahlul Hadits, 26 April 1907)
- Pendeknya, Maulvi Tsanaullah telah menolak ajakan mubahalah dengan Mirza Ghulam Ahmad, dan ia telah diberi umur panjang untuk memperkuat apa yang dikatakannya sendiri bahwa pendusta, penipu, pembuat onar akan diberikan kelonggaran waktu oleh Tuhan.
- Bagaimana kisah akhir kehidupan Maulvi Tsanaullah?
Surat Kabar Al Ihtesham, tanggal 15 Juni 1962 menulis:
“Pada bulan Agustus 1947, di Amritsar terjadi suatu kiamat kecil. Kematian, kerusuhan bagai badai menimpa dan melumatkan kediaman Maulana Tsanaullah. Meski ia dan keluarganya berhasil menyelamatkan diri, satu anaknya yang masih muda yaitu, Ataullah, dengan sadis dibantai di depan matanya, ketakutan dan dukanya menyayat habis hidupnya… ” (Review of Religions, Februari 1997, vol. 92, no. 2, hal. 36)
- Penulis biografi Maulvi Tsanaullah, yaitu Abdul Majid Sohdarvi, menulis:
“Segera setelah ia keluar meninggalkan rumahnya, banyak gelandangan dan penjarah menunggu kesempatan untuk menyapu bersih untuk mengambil hartanya… Para penjarah kemudian mengambil api dan membakar ribuan koleksi buku-bukunya yang berharga dan langka… Kedukaan yang hebat tetap menyertai Maulana sampai nafas terakhir. Dua peristiwa tragis, terbakarnya buku-buku koleksi dan kematian anak lelakinya yang semata wayang, terbukti menjadi penyebab kematiannya yang mendadak”. (Sirat-e-Sanai, hal. 389-390; dikutip dari Review of Religions, Februari 1997, vol. 92, no. 2, hal. 35) [1]
[1] Ahmad Sulaiman, Ekky (2011). Klarifikasi Terhadap Kesesatan Ahmadiyah dan Plagiator, Neratja Press. Hal. 87-91. ISBN 978-602-14539-3-3