Pertempuran Khaibar & Permohonan Doa untuk Kondisi Dunia

Khotbah jumat tentang perang Khaibar

Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah saw.: Pertempuran Khaibar & Permohonan Doa Mengingat Kondisi Dunia

Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 7 Februari 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

شْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ

أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾

Masih membahas berkenaan dengan Gazwah Khaibar. Rincian keberangkatan Rasulullah saw. menuju Khaibar adalah sebagai berikut. Di bawah kepemimpinan Rasulullah saw., pasukan yang terdiri dari 1.600 pejuang berangkat dari Madinah. Di antaranya terdapat 200 pasukan berkuda. Namun, sebelum keberangkatan, Rasulullah saw. mengirim sebuah tim pengintai ke depan yang bertugas mengawasi jalan-jalan di depan pasukan dan terus mengumpulkan informasi tentang keadaan. Pemimpin tim ini adalah seorang sahabat, Hz. Abbad bin Bisyr Anshari r.a..

Untuk mengetahui jalan-jalan menuju Khaibar, ada dua pemandu yang diberi upah 20 sha’ kurma (setara 50 kg). Nama mereka adalah Husail bin Kharijah Al-Asyja’i dan Abdullah bin Nu’aim, keduanya berasal dari suku Asyja’.

Dalam perjalanan dari Madinah ke Khaibar, mereka singgah di berbagai tempat hingga berhenti di tempat bernama Sahba’. Ketika tiba waktu salat, mereka menunaikan salat di sana. Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah saw. menunaikan salat Asar di Sahba’. Setelah itu, beliau meminta makanan. Pasukan hanya memiliki tepung gandum, dan Rasulullah saw. beserta para sahabat memakannya.

Perawi menuturkan, “Kemudian beliau saw. berdiri untuk salat Magrib, berkumur-kumur, dan kami pun berkumur-kumur. Lalu beliau saw. salat tanpa memperbarui wudu.”

Jarak antara Sahba’ dan Khaibar adalah 12 mil. Selama perjalanan, terjadi beberapa peristiwa yang menunjukkan bagaimana dalam situasi darurat sekalipun, Nabi saw. sangat memperhatikan tarbiyat para sahabat dan terus mengarahkan mereka pada sikap disiplin serta ketaatan. Salah satu kejadian yang diceritakan adalah sebagai berikut.

Pada suatu malam, terlihat sesuatu yang berkilau di depan pasukan. Rasulullah saw. merasa khawatir, dan setelah diselidiki, ternyata itu adalah seorang prajurit Muslim yang berjalan sendirian meninggalkan pasukan, dan topi besinya berkilau karena terbuat dari perak. Namanya adalah Hz. Abu Abs r.a.. Rasulullah saw. memerintahkan untuk membawanya menghadap.

Hz. Abu Abs r.a. menuturkan, “Saya saat itu merasa takut, khawatir akan turun wahyu tentang diri saya karena telah melakukan kesalahan.” Jadi, beliau menghadap dengan perasaan takut. Rasulullah saw. bertanya, “Mengapa Anda meninggalkan pasukan dan berjalan sendirian di depan?” Kemudian, beliau menyampaikan alasannya.

Rasulullah saw. berpesan bahwa hendaknya berjalan bersama-sama dengan pasukan. Setelah itu, beliau saw. mulai berbicara dengannya. Beliau adalah salah satu sahabat miskin yang tidak memiliki bekal untuk perang ini, dan beliau menghadap Nabi saw. seraya berkata, “Wahai Rasulullah! Saya tidak memiliki bekal dan tidak ada makanan di rumah.”

Mendengar ini, Nabi saw. memberikan selembar selendang kepadanya.

Sahabat yang bijak ini membawa selendang tersebut ke pasar. Beliau memberitahu bahwa selendang itu pemberian Rasulullah saw. dan menjualnya seharga delapan dirham. Dua dirham digunakan untuk membeli makanan rumah tangga dan keperluan lainnya, dua dirham untuk bekal perjalanan, dan empat dirham untuk membeli selendang baru untuk dirinya, lalu bergabung dengan pasukan.

Dalam pembicaraan, Hz. Rasulullah saw. bertanya kepadanya, “Di mana selendang yang saya berikan padamu?” Sahabat itu menjawab bahwa beliau telah menjualnya dan menjelaskan rincian seperti yang baru saja diceritakan.

Mendengar jawaban Hz. Abu Abs r.a. ini, Rasulullah saw. tersenyum dan bersabda, “Wahai Abu Abs, kalian sekarang sangat miskin. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika engkau hidup panjang umur, dalam waktu singkat engkau akan melihat bekalmu akan sangat berlimpah, makanan untuk keluargamu akan sangat banyak, dirham dan dinarmu akan berlimpah, dan engkau akan memiliki banyak hamba sahaya. Tetapi semua itu tidak akan lebih baik bagimu.”

Hz. Abu Abs r.a. menyaksikan nubuatan Nabi saw. ini terwujud dengan mata kepalanya sendiri, dan beliau sering berkata, “Demi Allah, semuanya terjadi persis seperti yang disabdakan Rasulullah saw.”

Berkenaan dengan Hz. Abu Abs r.a., nama aslinya adalah Abdul Uzza, yang kemudian diubah oleh Rasulullah saw. menjadi Abdurrahman. Beliau hidup hingga usia 70 tahun dan wafat pada masa kekhalifahan Hz. Utsman r.a.. Hz. Utsman r.a. memimpin salat jenazahnya, dan ia dimakamkan di Jannatul-Baqi.

Rasulullah saw. juga mengirim pesan perdamaian kepada Bani Ghatafan. Seperti yang telah dijelaskan, dalam perjalanan menuju Khaibar, beliau saw. singgah di tempat bernama Sahba’ dan menunaikan salat Asar, Magrib, dan Isya di sana. Tempat ini berjarak 12 mil dari Khaibar.

Setelah selesai salat, beliau saw. memanggil kedua pemandu dan menjelaskan rencana perangnya dengan bersabda, “Aku ingin menyerang Khaibar dengan cara menghalangi jalan antara penduduk Khaibar dan negeri Syam agar mereka tidak bisa melarikan diri ke Syam, sekaligus menghalangi Bani Ghatafan agar tidak bisa memberikan bantuan kepada Yahudi.”

Seorang pemandu bernama Husail memandu pasukan dan berhenti di tempat pertemuan berbagai jalan yang menuju lembah Khaibar. Hz. Rasulullah saw. menanyakan nama-nama jalan tersebut, dan dia menyebutkan nama-nama seperti Hazn, Syasy, Hatib, dan lainnya, yang secara makna menunjukkan kesempitan, kesulitan, dan kesedihan. Satu nama yang disebutkan adalah Marhab, yang bermakna kelapangan dan kemudahan. Sesuai petunjuk Allah Taala, beliau saw. memilih jalan bernama Marhab ini sebagai pertanda baik.

Rasulullah saw. telah menerima kabar bahwa Bani Ghatafan telah berjanji membantu penduduk Khaibar dan telah berangkat dengan pasukan 4.000 orang dengan maksud menyerang pasukan Muslim di tengah jalan sebelum mereka mencapai Khaibar. Sebelumnya, Bani Ghatafan telah mengirim pasukan sekitar 1.000 orang di bawah pimpinan panglima perang terkenal mereka, Tulaihah bin Khuwailid dan Uyainah bin Hishn, ke arah Khaibar, dan mereka telah mencapai benteng-benteng Khaibar. Kini, pasukan 4.000 orang ini sedang dalam perjalanan untuk menghadang, dan menurut pemahaman mereka, pasukan ini akan menghabisi pasukan Muslim.

Hz. Rasulullah saw. menjalin pembicaraan dengan Bani Ghatafan dan mengirim surat kepada mereka yang berisi permintaan agar mereka tetap tidak berpihak dalam perang yang akan terjadi dengan Khaibar. Beliau saw. menjelaskan kepada mereka bahwa Allah Taala telah berjanji kepada beliau saw. akan memberikan kemenangan atas Khaibar.

Menurut beberapa sejarawan, Rasulullah saw. juga menyampaikan pesan bahwa jika mereka berhenti mendukung Yahudi dan menerima Islam, maka setelah menaklukkan Khaibar, wilayah tersebut akan diberikan kepada suku-suku mereka. Menurut sebagian lain, beliau saw. tidak mensyaratkan penerimaan Islam, melainkan hanya meminta mereka untuk tidak membantu penduduk Khaibar dan tetap tidak memihak, dengan imbalan setengah dari hasil tahunan Khaibar.

Namun, kebanggaan mereka atas 15.000 prajurit tempur melawan 1.600 Muslim, ditambah dengan benteng-benteng kokoh mereka, membuat mereka menolak nubuatan Rasulullah saw. ini. Menanggapi hal ini, Rasulullah saw. mengutus pemimpin suku Khazraj dan sahabat yang mukhlis, yakni Hz. Sa’ad bin Ubadah r.a., kepada panglima Ghatafan, Uyainah bin Hishn. Saat itu, Uyainah berada di benteng milik Marhab, pemimpin Yahudi di Khaibar, bersama pasukan sejumlah 1.000 orang dari Bani Ghatafan.

Ketika Uyainah mengetahui bahwa Hz. Sa’ad r.a. datang sebagai utusan Nabi saw., ia bermaksud membawanya ke dalam benteng. Namun, Marhab keberatan, khawatir utusan Muslim akan melihat jalan-jalan masuk ke dalam benteng. Uyainah berpendapat bahwa ia ingin utusan Muslim melihat kekuatan dan persiapan militer mereka yang sangat baik, tetapi Marhab tetap menolak, sehingga Uyainah menemui Hz. Sa’ad r.a. di luar benteng.

Hz. Sa’ad r.a. menyampaikan pesan Nabi saw. kepada Uyainah bahwa Allah telah menjanjikan kemenangan atas Khaibar. Maka, mereka diminta untuk mundur dan menghindari perang, dengan imbalan kurma hasil Khaibar selama setahun. Uyainah menjawab kepada Hz. Sa’ad r.a., “Kami tidak akan meninggalkan sekutu kami dalam keadaan apa pun, dan kami mengetahui seberapa besar kekuatan pasukan Muslim. Yahudi memiliki benteng yang kuat, jumlah prajurit yang lebih banyak, dan persenjataan yang jauh lebih banyak. Jika kalian melawan, kalian semua akan binasa, dan ini berbeda dengan Quraisy yang telah kalian kalahkan sebelumnya.” Uyainah juga meminta, “Sampaikan pesanku ini kepada Muhammad saw.”

Terkait:   Perang Qurtha

Menanggapi jawaban sombong tersebut, Hz. Sa’ad berkata kepada Uyainah, “Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw. pasti akan datang ke bentengmu ini. Saat itu engkau akan meminta tawaran yang kami berikan sekarang, tetapi engkau hanya akan mendapatkan pedang (peperangan). Wahai Uyainah, aku telah melihat bagaimana kami memasuki halaman Yahudi Madinah, dan mereka hancur lebur.”

Setelah itu, Hz. Sa’ad r.a. kembali dan melaporkan seluruh pembicaraan kepada Rasulullah saw., dan dengan penuh ketulusan berkata, “Wahai Rasulullah, Allah pasti akan memenuhi janji-Nya kepada Anda dan memenangkan agama-Nya. Jangan berikan satu kurma pun kepada Arab pedalaman ini (yakni Uyainah) pada saat ini. Wahai Rasulullah! Jika pedang telah menyentuhnya, ia akan meninggalkan Yahudi dan melarikan diri ke daerahnya seperti mereka melarikan diri pada Perang Khandaq.” Pada Perang Khandaq, suku ini juga datang dengan pasukan 6.000 orang untuk membantu Quraisy dan kemudian melarikan diri.

Ada juga catatan tentang ketakutan yang menimpa musuh, yang turun dari Allah, serta pelarian Bani Ghatafan. Rasulullah saw. bersabda:

نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ


 (Aku ditolong dengan rasa takut yang menimpa musuh).

Kejadian ini secara nyata kembali terjadi pada pasukan Ghatafan. Seperti yang telah disebutkan, pasukan Bani Ghatafan yang berjumlah 4.000 orang sedang mengejar untuk menyerang pasukan Muslim agar mereka tidak mencapai Khaibar. Namun, takdir Allah berlaku, sehingga pasukan Ghatafan ini tiba-tiba berbalik dan kembali ke rumah mereka.

Dalam kitab-kitab sejarah dan sirah tertulis bahwa panglima Ghatafan mendengar suara keras dari belakang mereka. Seseorang memperingatkan dengan berseru bahwa pasukan Muslim telah menyerang rumah-rumah mereka dari belakang, menjarah harta benda dan ternak mereka, serta berpotensi menawan wanita dan anak-anak mereka. Mendengar ini, mereka segera kembali dan tidak bisa membantu Yahudi. Ini adalah pertolongan gaib dan suara dari Allah Taala.

Dalam kitab-kitab sejarah, terdapat perbedaan pendapat mengenai jumlah pasukan Ghatafan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam sebuah kitab disebutkan bahwa seribu pejuang dari Bani Ghatafan di bawah pimpinan Uyainah bin Hishn telah tiba di benteng-benteng Yahudi Khaibar untuk membantu mereka. Sementara itu, dalam kitab-kitab sirah lainnya, jumlah mereka disebutkan sebanyak empat ribu, bukan seribu.

Begitu juga, beberapa kitab sirah mencatat bahwa ketika pasukan empat ribu orang dari Bani Ghatafan di bawah pimpinan Uyainah sedang menuju Khaibar, mereka bertemu dengan utusan Rasulullah saw. di tengah jalan. Karena rasa takut dari Allah, pasukan empat ribu orang ini kembali ke daerah mereka sebelum mencapai Khaibar. Kejadian ini tercatat dalam Sirah Ibnu Hisyam.

Alhasil, Rasulullah saw. melanjutkan perjalanan menuju Khaibar. Ketika benteng-benteng Khaibar mulai terlihat dalam kegelapan malam, beliau bersabda kepada para sahabat, “Berhentilah.” Setelah mereka berhenti, beliau saw. berdoa:

اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَمَا أَظْلَلْنَ، وَرَبَّ الأَرَضِينَ السَّبْعِ وَمَا أَقْلَلْنَ، وَرَبَّ الشَّيَاطِينِ وَمَا أَضْلَلْنَ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا ذَرَيْنَ، فَإِنَّا نَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ القَرْيَةِ وَخَيْرَ أَهْلِهَا، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا. أَقْدِمُوا بِسْمِ اللَّهِ.

“Wahai Tuhan tujuh lapisan langit dan apa yang dinaunginya, wahai Tuhan tujuh lapisan bumi dan apa yang dipikulnya, Tuhan pencipta setan dan siapa yang mereka sesatkan, Tuhan pencipta angin dan apa yang diterbangkannya. Kami memohon kepada-Mu kebaikan negeri ini dan kebaikan penduduknya, dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan negeri ini dan keburukan yang ada di dalamnya.”

Kemudian beliau saw. bersabda, “Majulah dengan nama Allah.”

Rasulullah saw. pun berangkat hingga tiba di Manzilah, yakni pasar di Khaibar. Pasar ini, setelah perang, menjadi bagian milik Hz. Zaid bin Tsabit r.a.. Beliau saw. menghabiskan sebagian malam di Manzilah, pasar Khaibar.

Orang-orang Yahudi tidak menyangka bahwa beliau saw. akan menyerang mereka, karena mereka merasa sombong dengan benteng-benteng, persenjataan, dan jumlah mereka yang banyak. Ketika orang-orang Yahudi mengetahui bahwa Rasulullah saw. sedang menuju ke arah mereka, setiap hari sepuluh ribu pejuang berbaris keluar dan berkata, “Lihatlah, apakah mungkin Muhammad saw. akan menyerang kita? Ini tidak mungkin!”

Ketika Rasulullah saw. tiba di dekat mereka, mereka tidak mengetahuinya sampai matahari terbit. Beliau saw. tiba di malam hari. Ketika pagi hari, orang-orang Yahudi keluar dari benteng-benteng mereka dengan membawa sekop dan keranjang untuk bekerja. Namun, ketika mereka melihat Rasulullah saw., mereka segera lari bersembunyi ke dalam benteng-benteng mereka.

Diriwayatkan dari Hz. Anas r.a. bahwa ketika Rasulullah saw. tiba di Khaibar pada malam hari, beliau saw. tidak menyerang sampai pagi tiba. Ketika pagi hari tiba, orang-orang Yahudi keluar dengan membawa sekop dan keranjang mereka. Rasulullah saw. memang tidak akan menyerang pada malam hari, melainkan menunggu hingga pagi tiba. Ketika mereka melihat beliau saw., mereka berkata, “Muhammad! Demi Allah, Muhammad dan pasukannya!”

Nabi saw. kemudian bersabda:

خَرِبَتْ خَيْبَرُ، إِنَّا إِذَا نَزَلْنَا بِسَاحَةِ قَوْمٍ فَسَاءَ صَبَاحُ الْمُنْذَرِينَ

“Khaibar akan hancur. Bila kami turun di halaman suatu kaum, maka amat buruklah pagi hari bagi orang-orang yang diberi peringatan.”

            Perkemahan kaum Muslimin tidak tetap hanya di Manzilah. Lokasi perkemahan pasukan Islam kemudian berpindah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ketika Rasulullah saw. tiba di Khaibar, beliau saw. menghabiskan malam dan pagi di Manzilah. Hz. Hubab bin Mundzir r.a. datang kepada beliau saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah! Jika penempatan Anda di tempat ini (Manzilah) adalah atas perintah Allah, kami tidak akan mengatakan apa-apa. Namun, jika ini pendapat Anda, kami ingin memberi saran.”

Rasulullah saw. menjawab, “Ini adalah pendapatku.”

Hz. Hubab r.a. berkata, Wahai Rasulullah, Anda berada terlalu dekat dengan benteng-benteng mereka dan berhadapan dengan kebun-kebun mereka. Tanahnya tidak rata, dan saya mengenal orang-orang Natha’. Panah mereka dapat mencapai jarak jauh, dan tidak ada yang menandingi kemampuan memanah mereka. Mereka juga berada di posisi yang lebih tinggi dari kita. Panah mereka dapat dengan mudah mencapai kita, dan kita tidak aman dari serangan malam mereka. Mereka juga dapat bersembunyi di dalam rimbunnya kebun kurma. Oleh karena itu, saya memohon agar Anda pindah ke tempat lain.”

Rasulullah saw. bersabda, “Engkau telah memberikan pendapat yang baik, tetapi bagaimanapun, kita akan berperang menghadapi mereka hari ini.” Namun, bersamaan dengan itu, Rasulullah saw. memanggil Hz. Muhammad bin Maslamah r.a., yang merupakan penanggung jawab pasukan pengamanan beliau, dan memerintahkan untuk mencari tempat yang agak jauh dari benteng-benteng mereka.

Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. berjalan hingga sampai ke tempat bernama Raji’, yang terletak antara Khaibar dan suku-suku Ghatafan, kemudian kembali dan berkata, “Wahai Rasulullah,! Saya telah menemukan tempat untuk Anda.”

Beliau saw. bersabda, “Majulah dengan keberkahan dari Allah,” tetapi sebelumnya beliau saw. telah menyatakan bahwa hari ini perang akan dimulai dari tempat ini. Maka, setelah perang berakhir pada sore hari, seluruh pasukan Islam pindah ke lokasi baru tersebut.

            Mengenai benteng-benteng Khaibar, penting untuk menjelaskan pembagiannya. Dari segi geografis, benteng-benteng ini menjadi fokus peperangan karena ditaklukkan satu per satu. Tidak hanya terdapat perbedaan dalam jumlah benteng, tetapi juga dalam nama-namanya. Selain itu, beberapa peristiwa perang dalam beberapa kitab sejarah dikaitkan dengan benteng tertentu, sementara dalam kitab lain dikaitkan dengan benteng yang berbeda.

Dalam Tarikh Ya’qubi disebutkan bahwa ada enam benteng di Khaibar, tetapi tidak menyebutkan Benteng Na’im. Padahal, kebanyakan kitab sirah menyebutkan bahwa Perang Khaibar dimulai dari Benteng Na’im ini. Dalam Zarqani disebutkan bahwa ada sepuluh benteng. Dari semua kitab ini, dapat disimpulkan bahwa wilayah Khaibar terbagi menjadi tiga bagian: Natha’, Syaq, dan Katibah, dengan delapan benteng yang terbagi sebagai berikut:

  • Di Natha’ terdapat tiga benteng: Na’im, Sha’b, dan Benteng Zubair (awalnya bernama Qul’, kemudian menjadi terkenal dengan nama Benteng Zubair karena menjadi bagian milik Hz. Zubair bin Awwam).
  • Di Syaq terdapat dua benteng: Ubay dan Barri (atau, menurut sebagian riwayat, Nizar).
  • Di Katibah terdapat tiga benteng: Qamus, Watih, dan Salalim.

Berikut rincian peperangan. Sebelum perang dimulai, Rasulullah saw. menyampaikan khotbah singkat kepada para sahabat. Beliau saw. bersabda, “Janganlah berharap untuk bertemu musuh. Mintalah keselamatan kepada Allah Taala. Kalian tidak tahu ujian apa yang akan menimpa kalian. Ketika menghadapi musuh, berdoalah:

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبُّنَا وَرَبُّهُمْ، وَنُوَاسِيهِمْ بِيَدِكَ، وَإِنَّمَا تَقْتُلُهُمْ أَنْتَ.

“Ya Allah, Engkau adalah Tuhan kami dan Tuhan mereka. Ubun-ubun kami dan ubun-ubun mereka berada di tangan-Mu, dan hanya Engkaulah yang akan membinasakan mereka.”

Kemudian, Rasulullah saw. memerintahkan untuk memulai perang dan mendorong para sahabat agar bersabar. Pertama-tama, mereka mengepung Benteng Na’im, yang merupakan benteng terkuat musuh. Pada hari itu, Rasulullah saw. berperang dengan sengit, sementara penduduk Natha’ melakukan perlawanan yang sangat keras, sedangkan para sahabat bertahan. Rasulullah saw. mengenakan dua baju besi dan helm perang, menunggang kuda bernama Dharib, serta membawa tombak dan perisai di tangan. Musuh terus menghujani panah, tetapi kaum Muslimin memanah dengan hati-hati karena persediaan panah mereka terbatas. Bahkan, mereka mengambil dan menggunakan kembali panah-panah musuh yang jatuh.

Terkait:   Jalsah SalanahUK (Britania Raya)

Dalam perang ini tercatat syahidnya Hz. Mahmud bin Maslamah r.a.. Ketika beliau merasa lelah, senjatanya terasa berat, serta kepanasan, beliau duduk di bawah bayangan tembok Benteng Na’im. Disebutkan bahwa pemimpin Yahudi, yakni Marhab, melihatnya dan menggelindingkan batu ke arahnya. Ada juga yang mengatakan bahwa Kinanah bin Rabi’ yang melemparkannya dari atas. Batu itu mengenai kepalanya dan merobek kulit kepalanya hingga jatuh ke wajahnya.

Beliau saw. kemudian dibawa kepada Rasulullah saw. Beliau mengembalikan kulit itu ke tempatnya dan membalutnya dengan kain, tetapi luka itu sangat parah sehingga Hz. Mahmud bin Maslamah r.a. tidak selamat dan wafat beberapa hari kemudian. Ketika Hz. Mahmud r.a. terluka, Rasulullah saw. menghibur saudaranya, Hz. Muhammad bin Maslamah r.a., dengan bersabda, “Pembunuh saudaramu akan segera menemui ajalnya.”

Pada hari pertama ini, kaum Muslimin mengalami banyak kerugian, dengan 50 Muslim terluka akibat panah dari benteng-benteng.

Ketika malam tiba, Rasulullah saw. berangkat ke Raji’ dan memerintahkan para sahabat untuk ikut. Ini adalah tempat yang ditentukan berdasarkan saran Hz. Hubab r.a. dan sekarang menjadi pusat utama kaum Muslimin. Seperti yang telah dijelaskan, ini adalah benteng Yahudi yang paling kuat. Pejuang Khaibar yang paling berani dan terkenal, yaitu Marhab, memimpin pertahanan benteng ini. Ia dibantu oleh para pejuang lain yang tidak kalah berani dan gagah, yakni kedua saudaranya, Yasir dan Harits.

Dari riwayat-riwayat diketahui bahwa Rasulullah saw. berperang terus-menerus selama sepuluh hari. Beliau saw. keluar bersama Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. dan menunjuk Hz. Utsman r.a. sebagai pengawas di perkemahan. Ketika malam tiba, beliau saw. kembali ke tempat yang sama, dan kaum Muslimin yang terluka juga dibawa ke sana untuk diobati luka-luka mereka.

Dalam peristiwa perang ini, tercatat juga pertarungan dengan Marhab dan syahidnya Hz. Amir bin Akwa’ r.a. Rinciannya adalah sebagai berikut:

Pada salah satu hari itu, Marhab, panglima Yahudi di benteng tersebut yang tidak ada tandingannya dalam keberanian dan pertempuran, keluar dari benteng dan menantang kaum Muslimin. Dengan sombong dan angkuh, sambil mengayunkan pedangnya, ia membacakan syair:

قَدْ عَلِمَتْ خَيْبَرُ أَنِّي مَرْهَبُ، شَاكِي الصِّلَاحِ، بَطَلٌ مُجَرَّبٌ، إِذَا الْحُرُوبُ أَقْبَلَتْ تَلَهَّبُ

“Khaibar tahu bahwa aku adalah Marhab, bersenjata lengkap, pahlawan berpengalaman.
Ketika perang datang, menyala-nyala.”

Mendengar tantangan Marhab ini, Hz. Amir bin Akwa’ r.a. maju dari pasukan dan membacakan syair:

قَدْ عَلِمَتْ خَيْبَرُ أَنِّي عَامِرُ، شَاكِي الصِّلَاحِ، بَطَلٌ مُغَامِرٌ

“Setiap sudut Khaibar tahu bahwa aku adalah Amir, bersenjata lengkap,
pahlawan yang berani menghadapi bahaya perang tanpa rasa takut.”

Setelah itu, keduanya berhadapan dan saling menyerang. Marhab menyerang dengan pedang yang ditangkis Hz. Amir r.a. dengan perisainya. Kemudian, Hz. Amir r.a. segera membungkuk untuk menyerang dari bawah. Namun, karena pedangnya pendek, alih-alih mengenai Marhab, pedang itu malah mengenai dirinya sendiri, yang mengakibatkan luka dalam dan syahidnya beliau.

Beliau adalah syuhada kedua dalam perang ini, dan keduanya dimakamkan dalam satu kubur di tempat Raji’.

Hz. Salamah bin Akwa’ r.a. menuturkan: Ketika pamannya, yakni Hz. Amir bin Akwa’ r.a., syahid oleh pedangnya sendiri, beberapa sahabat berkata bahwa amalan Hz. Amir r.a. telah sia-sia. Hz. Salamah r.a. menuturkan, “Aku lalu datang kepada Nabi saw. sambil menangis dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah amalan Hz. Amir r.a. telah sia-sia?'” Rasulullah saw. bertanya, “Siapa yang mengatakan itu?” Hz. Salamah r.a. menjawab, “Beberapa sahabat engkau.” Beliau saw. bersabda:

كَذَبَ مَنْ قَالَ، إِنَّ لَهُ أَجْرَيْنِ

“Berdustalah orang yang mengatakan itu. Sesungguhnya ia mendapat dua pahala.”

Beliau saw. lalu menyatukan dua jari beliau (yakni menunjukkan angka dua), lalu bersabda, “Ia adalah seorang mujahid yang berjihad. Jarang ada orang Arab yang berjalan di tanah ini sepertinya.” Dalam riwayat lain disebutkan “yang dilahirkan” sebagai pengganti “yang berjalan”, artinya tidak ada orang di tanah Arab yang pernah dilahirkan seperti Amir.

Beliau saw. bersabda, “Dia mendapat dua pahala. Mereka yang mengatakan bahwa dia tidak mendapat pahala adalah salah.”

Rasulullah saw. tetap berada di Raji’ dan terus mengirim para sahabat selama sepuluh hari untuk menaklukkan Benteng Na’im. Kegagalan yang berulang, terlukanya para sahabat, dan syahidnya dua sahabat semakin meningkatkan semangat orang-orang Yahudi. Akhirnya, pada suatu malam, beliau saw. bersabda, “Besok aku akan memberikan bendera kepada seseorang yang di tangannya Allah akan memberikan kemenangan. Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Ini adalah riwayat Bukhari.

Hz. Buraidah r.a. meriwayatkan, “Kami menghabiskan malam itu dengan penuh kegembiraan karena besok akan ada kemenangan, dan orang-orang menghabiskan malam dengan memikirkan siapa yang akan diberi bendera. Ketika pagi tiba, semua orang datang kepada Rasulullah saw.. Setiap orang berharap dan menginginkan bendera itu diberikan kepadanya.”

Hz. Umar r.a. berkata, “Sebelum hari itu, saya tidak pernah menginginkan kepemimpinan.”

Hz. Buraidah r.a. menceritakan, “Tidak ada di antara mereka yang menginginkan kedudukan dari Rasulullah saw. kecuali pada hari itu. Setiap orang berharap mendapatkan bendera tersebut. Sampai-sampai aku berjinjit dan mengangkat kepala dengan harapan bendera itu akan diberikan kepadaku.”

Hz. Salamah r.a. dan Hz. Jabir r.a. meriwayatkan bahwa Hz. Ali r.a. tertinggal dari Rasulullah saw.. Beliau tidak ikut dalam perjalanan ke Khaibar karena sakit, tetapi kemudian datang dengan gelisah karena matanya sangat sakit dan tidak bisa melihat.

Ketika Rasulullah saw. berangkat ke Khaibar, Hz. Ali r.a. berpikir, “Bagaimana mungkin aku tertinggal dari Rasulullah saw.?” Maka Hz. Ali r.a. berangkat menyusul hingga bertemu dengan Rasulullah saw..

Hz. Buraidah r.a. menceritakan bahwa ketika pagi tiba, Rasulullah saw. melaksanakan salat Subuh, kemudian meminta bendera, berdiri, dan memberikan nasihat kepada orang-orang. Lalu beliau bertanya, “Di mana Ali?” Para sahabat menjawab bahwa Hz. Ali r.a. sedang sakit mata. Beliau saw. memerintahkan untuk memanggil Hz. Ali r.a..

Hz. Salamah r.a. menuturkan, “Saya menjemput Hz. Ali r.a. dan membawanya kepada Rasulullah saw.. Beliau saw. bertanya apa yang terjadi padanya. Hz. Ali r.a. menjawab, ‘Mata saya sakit hingga tidak bisa melihat apa yang ada di hadapan saya.’”

Rasulullah saw. bersabda, “Mendekatlah kepadaku.” Hz. Ali r.a. meriwayatkan, “Rasulullah saw. meletakkan kepala saya di pangkuan beliau saw., kemudian mengambil air liur dengan tangannya dan mengusapkannya pada mata saya.” Hz. Ali r.a. sembuh seketika seolah-olah tidak pernah sakit mata, dan sampai wafatnya tidak pernah sakit mata lagi. Rasulullah saw. berdoa untuk Hz. Ali r.a. dan memberikan bendera kepadanya.

Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga menyebutkan tentang kejadian ini. Beliau r.a. bersabda:

“Pada hari Khaibar, Hz. Ali r.a. mendapatkan kesempatan. Rasulullah saw. bersabda, ‘Hari ini aku akan memberikan kesempatan kepada orang yang mencintai Allah dan yang Allah cintai, dan akan kuserahkan pedang kepada orang yang Allah telah beri keutamaan.’

Hz. Umar r.a. menuturkan, “Saya hadir dalam majelis itu dan mengangkat kepala saya dengan harapan Rasulullah saw. akan melihat dan memilih saya. Beliau saw. melihat, namun tetap diam. Saya mengangkat kepala lagi, beliau saw. melihat dan tetap diam, hingga Ali datang dengan mata yang sangat sakit. Rasulullah saw. berkata, ‘Ali, majulah.’ Ketika beliau mendekat, Rasulullah saw. mengusapkan air liur penuh berkah beliau pada matanya dan berdoa, ‘Semoga Allah menyembuhkan matamu. Ambillah pedang ini yang Allah serahkan kepadamu.'”

Di tempat lain, Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menulis:

“Suatu hari Allah Taala memberitahu Rasulullah saw. bahwa kemenangan kota ini ditakdirkan di tangan Hz. Ali r.a.. Pada pagi hari, beliau saw. mengumumkan, ‘Hari ini aku akan memberikan bendera hitam Islam kepada orang yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslimin. Allah telah menakdirkan penaklukan benteng ini di tangannya.’

Keesokan paginya, beliau saw. memanggil Hz. Ali r.a. dan menyerahkan bendera kepadanya. Hz. Ali r.a. memimpin pasukan sahabat menyerang benteng. Meskipun orang-orang Yahudi berlindung dalam benteng, Allah Taala memberikan kekuatan luar biasa kepada Hz. Ali r.a. dan para sahabat lainnya, sehingga sebelum malam tiba, benteng telah ditaklukkan. Hz. Ali r.a. berlari membawa bendera ke bawah benteng dan menancapkannya di antara batu-batu.”

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 37)

Mengenai terbunuhnya para musuh, Hz. Jabir r.a. meriwayatkan:

“Dari benteng-benteng Khaibar, musuh yang pertama keluar untuk bertarung adalah Harits, saudara Marhab. Hz. Ali r.a. membunuhnya, sehingga pengikut Harits kembali ke benteng. Kemudian panglima perang Yahudi, Amir, keluar untuk duel. Ia adalah orang yang sangat besar. Hz. Ali r.a. keluar menghadapinya dan memberikan beberapa serangan, tetapi tidak mempan. Kemudian Hz. Ali r.a. menyerang betisnya hingga ia terduduk, lalu membunuhnya dan mengambil senjatanya.”

Ada juga kisah tewasnya panglima perang Yahudi, Asir. Ketika ia keluar menantang duel, Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. keluar menghadapinya dan membunuhnya. Kemudian Yasir, saudara Marhab, juga tewas.

Ibnu Ishaq menulis:

“Yasir muncul membacakan syair perang.” Muhammad bin Umar menulis bahwa ia adalah yang terkuat di antara mereka dan memiliki senjata perang yang ia gunakan untuk menginjak-injak orang. Hz. Ali r.a. maju untuk menghadapinya, tetapi Hz. Zubair bin Awwam r.a. berkata kepada beliau, “Aku bersumpah! Janganlah engkau menghalangi antara aku dan dia. Aku akan melawannya.” Hz. Ali r.a. kemudian mundur.

Ketika Hz. Zubair r.a. maju menghadapi orang kafir itu, ibu beliau, Shafiyah, berkata, “Wahai Rasulullah, ia akan membunuh putraku.” Rasulullah saw. menjawab, “Sebaliknya, putramu yang akan membunuhnya, insya Allah.” Hz. Zubair r.a. maju dan membacakan beberapa syair, kemudian mereka bertarung dan Hz. Zubair r.a. membunuhnya.

Kemudian panglima perang terhebat Khaibar, yakni Marhab, keluar dari benteng dengan persenjataan lengkap dan membacakan syair yang pernah dibacakannya sebelumnya tentang bagaimana Khaibar mengenalnya sebagai pejuang berpengalaman.

Hz. Ali bin Abi Thalib r.a. keluar menghadapinya dengan mengenakan jubah merah. Beliau menghunus pedang dan membacakan syair:

اَنَا الَّذِي سَمَّتْنِي أُمِّي حَيْدَرَ
أَكْلِيْسُ غَابَاتٍ كَرِيْهَ الْمَنْظَرِ
أُوْفِيْهِمُ الصَّاعَ كَيْلَ السَّنْدَرِ

“Akulah orang yang ibuku menamaiku Haidar, seperti singa hutan yang menakutkan penampilannya. Aku membalas satu sha’ dengan sandarah [ukuran yang lebih besar].”

Ini adalah sebuah peribahasa yang memiliki makna bahwa 1 seer dibalas dengan 1,25 seer, dan batu bata dibalas dengan batu. Arti harfiah dari sandarah adalah mikyālul wāsi’ (ukuran yang sangat besar), sedangkan sha’ adalah ukuran yang lebih kecil, setara dengan 2,5 seer.

Diriwayatkan bahwa Hz. Ali r.a. menyerang kepala Marhab dan membunuhnya, kemudian kemenangan diraih melalui tangan beliau. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa dalam pertarungan antara Hz. Ali r.a. dan Marhab, Hz. Ali r.a. maju dan melayangkan tebasan yang membelah helm perang dan kepala Marhab hingga mencapai giginya. Kemudian orang-orang maju bersama Hz. Ali r.a. hingga menaklukkan benteng.

Beberapa sejarawan menyebutkan bahwa Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. yang membunuh Marhab.

Hz. Jabir bin Abdullah r.a. meriwayatkan:

“Ketika Marhab keluar dari benteng dengan persenjataan lengkap seraya menantang duel dan membacakan syair perang, Rasulullah saw. bertanya siapa yang akan menghadapinya. Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku akan menghadapinya. Demi Allah, kemarin ia telah membunuh saudaraku.’ Beliau saw. bersabda, ‘Bangkitlah menghadapinya’ dan berdoa, ‘Ya Allah, tolonglah ia.'”

Diriwayatkan bahwa ketika keduanya mendekat untuk bertarung, sebuah pohon tua menghalangi di antara mereka. Keduanya saling berlindung di balik pohon. Setiap kali salah satu berlindung di balik pohon, yang lain memotong sebagian pohon dari sisinya hingga mereka berhadapan langsung. Marhab menyerang Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. dengan pedang, tetapi beliau melindungi diri dengan perisai. Pedang Marhab tersangkut dan memotong perisai. Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. menyerangnya dengan pedang dan membunuhnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. menyerang dan memotong kaki Marhab hingga ia jatuh, kemudian Hz. Ali r.a. lewat dan membunuhnya.

Hafiz Ibnu Hajar, pensyarah Shahih Bukhari, menulis bahwa Ibnu Ishaq, Musa bin Uqbah, Waqidi, dan beberapa ahli sirah lainnya menulis bahwa Marhab dibunuh oleh Hz. Muhammad bin Maslamah r.a.. Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. memang membunuh Harits, saudara Marhab, tetapi beberapa perawi keliru dan menulis nama Marhab sebagai gantinya. Namun jika bukan demikian kejadiannya, maka riwayat dalam Shahih Muslim yang menyebutkan Hz. Ali r.a. membunuh Marhab lebih diutamakan. Dalam Shahih Muslim, Hz. Salamah bin Akwa’ r.a. meriwayatkan bahwa Hz. Ali r.a. yang membunuh Marhab.

Riwayat Shahih Muslim diutamakan karena dua alasan:

1. Sanadnya sahih

2. Hazrat Jabir r.a., yang menyampaikan riwayat yang menyebutkan nama Hz. Muhammad bin Maslamah r.a. [sebagai yang membunuh Marhab], tidak ikut serta dalam Perang Khaibar.

Perlu dijelaskan bahwa dalam kitab-kitab sejarah dan sirah terdapat perbedaan pendapat tentang di benteng mana pertarungan dan pembunuhan Marhab dan orang-orang Yahudi lainnya terjadi. Dalam Bukhari, Muslim, dan Shihah Sittah lainnya tidak disebutkan nama benteng mana pun. Begitu juga beberapa kitab sirah menceritakan kejadian ini tanpa menentukan benteng tertentu, seperti Sirah Ibnu Hisyam, Thabaqat Ibnu Sa’d, dan Syarah Zarqani. Namun beberapa kitab menghubungkannya dengan benteng Qamus, sementara yang lain dengan benteng Na’im.

Bagaimanapun, selama sembilan hari, Rasulullah saw. dan kaum Muslimin terus menyerang benteng ini, hingga pada hari kesepuluh, Allah memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin. Dalam penjelasan tentang penguasaan kaum Muslimin atas benteng Na’im, tidak ada sejarawan yang menyebutkan berapa banyak harta rampasan dan senjata yang didapat kaum Muslimin saat menaklukkan benteng terkuat Khaibar ini. Mungkin umat Islam tidak mendapatkan sesuatu yang berarti karena Yahudi telah memindahkan wanita dan anak-anak ke benteng lain dalam keadaan darurat, dan ketika Yahudi kalah dan tidak mampu menahan serangan Muslim ke benteng Na’im, mereka sendiri juga pindah dengan mudah ke benteng Sa’d bin Mu’adz. Dalam pertempuran benteng Na’im, tidak ada satu pun Yahudi yang tertawan oleh kaum Muslimin.

Ada rincian lebih lanjut mengenai peristiwa [penaklukkan benteng-benteng] ini, insya Allah akan disampaikan di kesempatan mendatang.

Seperti yang saya selalu katakan tentang berdoa mengenai kondisi dunia dan kondisi umat Islam. Berdoalah khususnya untuk rakyat Palestina dan umumnya untuk dunia Muslim. Kondisi mereka, meskipun orang-orang tampak senang karena ada gencatan senjata dan berharap keadaan akan membaik, namun kenyataannya malah semakin memburuk. Kebijakan dan skema baru dari presiden Amerika telah mencapai puncak kezaliman lainnya. Dulu orang Amerika mengatakan bahwa ia tidak berbahaya bagi Amerika dan tidak mencampuri urusan dunia luar, tetapi sekarang telah menjadi berbahaya bagi seluruh dunia.

Semoga Allah Taala mengasihi rakyat Palestina dan dunia, dan melindungi mereka. Negara-negara Arab harus membuka mata mereka dan berusaha membangun persatuan. Tidak ada jalan lain, karena jika tidak, bukan hanya Palestina tetapi negara-negara Arab lainnya juga akan menghadapi kesulitan besar. Meskipun sekarang sudah mulai terdengar suara-suara dari beberapa non-Muslim yang mendukung Palestina dan menentang kezaliman, tetapi pihak yang berkuasa saat ini sepenuhnya mabuk kekuasaan dan tidak mau mendengarkan siapa pun. Maka umat Islam perlu memberikan perhatian besar dan kita perlu berdoa untuk mereka. Kita tidak memiliki kekuatan lain.

Begitu juga berdoalah untuk para Ahmadi di Pakistan, karena kondisi mereka juga terkadang mengalami penentangan yang sangat keras. Berdoalah juga untuk para Ahmadi di Bangladesh, semoga Allah Taala melindungi mereka dari segala bentuk penentangan dan serangan. Berdoalah juga untuk orang-orang yang tertindas di tempat lain, berdoalah untuk para Ahmadi yang tertindas, semoga Allah Taala menjaga mereka semua dalam perlindungan-Nya dan memberikan pemahaman kepada dunia. Semoga timbul perhatian untuk membangun perdamaian di antara mereka semua. Semoga Allah Taala memberikan kita taufik untuk banyak berdoa.[1]

الْحَمْدُ لِلّٰهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ ، وَنُؤْمِنُ بِهٖ ، وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهٖ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا . مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ ، وَنَشْهَدُ أَن لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهٗ ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عبدُهٗ وَرَسُولُهٗ – عِبَادَ اللّٰهِ رَحِمَكُمُ اللّٰهِ – اِنَّ اللّٰہَ یَاۡمُرُ بِالۡعَدۡلِ وَالۡاِحۡسَانِ وَاِیۡتَآیِٔ ذِی الۡقُرۡبٰی وَیَنۡہٰی عَنِ الۡفَحۡشَآءِ وَالۡمُنۡکَرِ وَالۡبَغۡیِ یَعِظُکُمۡ لَعَلَّکُمۡ تَذَکَّرُوۡنَ – اذْكُرُوا اللّٰهَ يَذْكُرُكُمْ وَادْعُوهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ


[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.