Ramadhan dan Ketakwaan
Khotbah Jumat Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz), 18 Mei 2018 di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK (Britania Raya)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan berpuasa atasmu sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu supaya kalian bertakwa (terpelihara dari keburukan rohani dan jasmani).” (Surah Al-Baqarah, 2: 184)
Termasuk karunia Allah Ta’ala kepada kita sehingga kita mendapatkan taufik untuk menyaksikan bulan Ramadhan kali ini dan telah dimulai sejak kemarin. Pada bulan ini sejumlah besar umat Muslim timbul perhatian untuk melakukan puasa, shalat, beribadah dan berbondong-bondong hadir di masjid untuk melakukan shalat fardhu dan tarawih. Pada bulan Ramadhan, masjid-masjid kita pun lebih makmur dibanding dengan hari-hari biasa.
Ayat yang saya tilawatkan tadi selalu dikumandangkan di MTA (Muslim Television Ahmadiyya) selama bulan Ramadhan demi mengingatkan bahwa tujuan puasa yang diwajibkan ini adalah untuk meraih ketakwaan. Pada agama-agama terdahulu pun puasa telah diwajibkan dan bertujuan sama untuk meraih ketakwaan. Namun keadaan sebagian ajaran agama-agama terdahulu sudah tidak asli lagi, para pengikutnya pun tidak mengamalkannya dan tidak juga terdapat ketakwaan didalam diri mereka. Namun Islam merupakan agama yang abadi dan akan berlangsung sampai hari kiamat. Ajarannya langgeng. Al-Quran pun saat ini berada di setiap penjuru dunia dalam kondisi yang asli. Ia merupakan petunjuk bagi orang yang bertakwa, atau dalam kata lain, orang yang mengamalkan ajaran Al-Quran akan selalu berasa di jalur ketakwaan. Itulah petunjuk bagi mereka.
Di akhir zaman ini Allah Ta’ala telah mengutus Al-Masih yang dijanjikan (Imam Mahdi) untuk membuat ishlaah (perbaikan) bagi kita (umat manusia), menyebarkan Al-Quran, menekankan untuk mengamalkannya, membimbing pada jalan yang benar dan Allah ta’ala telah memberikan taufik kepada kita untuk baiat (mengimani) kepada beliau. Walhasil, adalah tanggung jawab berat diatas pundak para Ahmadi untuk memahami hakikat puasa dan untuk berupaya meraih tujuan Ramadhan yakni menciptakan ketakwaan dan maju dalam langkah-langkah ketakwaan.
Di dalam ayat-ayat setelah ayat yang tadi ditilawatkan dijelaskan ranting-ranting hukum berkenaan dengan Ramadhan dan dijelaskan rinciannya diantaranya membaca Al-Qur’an, ketaatan pada hukum-hukum Ilahi dan menekankan pada doa-doa namun ringkasan dari ayat-ayat ini telah dijelaskan dalam satu kata yakni bertujuan, la’allakum tattaquun untuk meraih ketakwaan.
Secara khusus pada bulan ini ditekankan untuk berupaya mengamalkan hukum-hukum Ilahi dan memberikan perhatian pada ibadah-ibadah supaya pengamalan hal-hal tersebut selamanya dapat memberikan kemudahan bagi kalian dalam menjadikannya sebagai bagian kehidupan kalian. Jadi, ketika kita berupaya untuk meraih ketakwaan dalam bulan Ramadhan, maka akan timbul juga perhatian ke arah ibadah-ibadah.
Jika kita berpuasa disertai tujuan demi melangkah di atas jalan ketakwaan, maka akan timbul perhatian untuk menghindar dari keburukan-keburukan, baik itu keburukan yang merugikan diri kita sendiri maupun yang menyakiti orang lain. Dengan menjauhi keburukan tersebut, tujuan berpuasa akan terpenuhi. Selanjutnya, akan timbul perhatian untuk mencari hukum-hukum Allah dan mengamalkannya.
Puasa Ramadhan dan Meninggalkan Keburukan
Jika kita tidak terhindar dari berbagai keburukan maka tujuan berpuasa akan tidak terpenuhi. Tujuan tersebut ialah ketakwaan. Meskipun berpuasa namun masih terdapat kebanggaan dalam diri, membanggakan ucapan dan perbuatan sendiri, terbiasa bersikap egois, mengharapkan dipuji orang lain, suka meminta bawahan untuk memuji-mujinya secara berlebihan dan sangat menyukai jika dipuji atau mengharapkan pujian. Hal itu bukanlah takwa.
Jika ketika puasa kita tidak meninggalkan perselisihan, pertengkaran, dusta dan kerusakan berarti tidak ada ketakwaan dalam diri kita. Jika ketika puasa kita tidak menghabiskan waktu untuk beribadah, doa-doa dan amal saleh, berarti kita bukan orang yang bertakwadan tujuan puasa tidaklah tercapai. Tercapainya tujuan puasa Ramadhan ialah hanya dengan amalan meninggalkan keburukan dan mengamalkan kebaikan. Jika manusia berupaya untuk teguh diatasnya, maka pada hakikatnya dia dapat meraih tujuan puasa. Jika tidak, berarti hanya berlapar saja yakni tidak dapat meraih tujuannya. Baginda Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Allah Ta’ala tidaklah memerlukan laparnya kalian, jika kalian tidak memenuhi tujuan tersebut.[1]
Sebagian orang pada lahirnya mengatakan, “Kami berpuasa”, namun pada hakikatnya mereka tidak berpuasa. Mereka tidak mampu menahan lapar dan haus. Jika ada juga orang yang tidak dapat menahan lapar dan hausnya yakni tidak mampu menahan lapar dan dahaga hanya untuk beberapa jam saja demi Allah Ta’ala, maka dalam urusan-urusan lainnya pun bagaimana dia dapat mengendalikan diri? Di hari kemarin diterbitkan dalam surat kabar satu padangan berkenaan dengan puasa umat Islam yang kesimpulannya ialah mayoritas para pemuda Muslim disini melakukan puasa hanya untuk pamer semata dan mereka tidak mengetahui sedikitpun apa tujuan puasa.
Seorang wartawan non-muslim mewawancarai seorang pemuda Muslim. Pemuda Muslim tadi mengatakan, “Memang saya telah makan sahur dan berpuasa dengan keluarga saya. Pengaturan Sahur dan buka puasa dilakukan dengan baik di rumah kami. Ibu saya berusia 64 tahun berpenyakit gula. Beliau mungkin tetap berpuasa. Meskipun begitu beliau selalu menyiapkan beragam makanan bagi kami untuk sahur dan buka puasa. Kami akan buka puasa nanti sepulangnya kami ke rumah. Saya menunjukan kepada keluarga dan masyarakat bahwa saya berpuasa. Pagi tadi saya makan sahur juga. Namun pada siang tadi saya baru saja memakan fish and chips (ikan dan keripik kentang). Di sini, di Inggris ribuan pemuda muslim melakukan puasa seperti ini.”Seperti itulah hakikat puasa sebagian orang.
Jika sebagian orang lagi menahan lapar seharian, namun mereka tidak menaruh perhatian pada yang seharusnya dilakukan yakni ibadah dan shalat. Mereka shalat satu atau dua kali dan merasa cukup, tidak menaruh perhatian pada perintah dan larangan Allah Ta’ala. Puasa yang demikian berarti tidak dapat mencapai tujuan seperti yang Allah Ta’ala firmankan yakni menempuh ketakwaan.
Dengan demikian, merupakan tanggung jawab besar bagi kita para Ahmadi yakni setelah beriman kepada Hadhrat masih Mauud berusahalah untuk melaksanakan kewajiban puasa seperti yang Allah Ta’ala perintahkan. Berusahalah untuk memahami apa itu ketakwaan dan bagaimana jalan kita dapat meraihnya.
Dalam berbagai kesempatan Hadhrat Masih Mau’ud (as) telah memberitahukan kepada kita perihal ketakwaan yakni siapakah orang muttaqi (bertakwa)? Sebenarnya ketenangan hakiki ditimbulkan oleh ketakwaan bukan dalam kelezatan duniawi sebagaimana telah beliau jelaskan tentang bagaimana kita seharusnya meraih kebaikan? Manusia seyogyanya melakukan segala perbuatan sesuai dengan kehendak Ilahi dan demi meraih keridhaan-Nya. Hal inilah yang menjadikannya seorang beriman sejati dan yang membedakan antara seorang mukmin dan kafir.
Beliau (as) juga memberitahukan kepada kita supaya meningkat dalam makrifat Ilahi yakni pengenalan Allah Ta’ala. Setiap hari yang datang harus membawa kita terus maju dalam makrifat Ilahi janganlah terus stagnan pada satu tempat atau seperti halnya mereka yang berpuasa untuk tujuan pamer karena tekanan lingkungan dan yang tujuannya bukan untuk peningkatan ketakwaan sebagaimana yang telah saya contohkan baru saja.
Ketakwaan
Saat ini saya akan sampaikan berbagai kutipan sabda Hadhrat Masih Mau’ud (as) berkenaan dengan ketakwaan. Dalam menasihatkan kita untuk melangkah di atas jalan takwa demi meraih keridhaan Ilahi, Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan satu ilham yang beliau terima dan juga perihal ketakwaan merupakan ringkasan segenap kitab-kitab suci terdahulu. Beliau bersabda dalam sebuah Jalsah:
“Kemarin yakni 22 Juni 1899 telah turun ilham dari Allah ta’ala berkali-kali yang menyatakan, ‘Kalian jadilah muttaqi (orang yang bertakwa) dan tempuhlah ketakwaan sampai yang sehalus-halusnya, maka Allah akan menyertai kalian.’
“Mendengar hal itu timbul rasa perih dalam hati saya. Saya berkata dalam hati, apa yang harus saya lakukan supaya Jemaat saya menempuh ketakwaan dan kesucian yang sejati?!Begitu banyaknya doa yang saya panjatkan sehingga membuatsaya lemas dan terkadang membuatsaya pingsan. Sebelum ada Jemaat yang bertakwa dalam pandangan Allah, tidak mungkin Allah Ta’ala akan menyertainya dengan dukungan dan pertolongan. Takwa merupakan ringkasan segenap kitab-kitab suci. Ia juga ajaran Taurat dan Injil. Quran Karim telah menyatakan kehendak Allah Ta’ala yang agung dan segenap keridhaannya. (yakni pada kata takwa.)
Saya terus memikirkan untuk memisahkan dari antara Jemaat saya yaitu orang-orang muttaqi yang mendahulukan agama diatas duniawi dan orang-orang yang meraih pemutusan hubungan dunia menuju kepada Allah lalu menyerahkan kepada mereka tugas agama. Lalu, saya tidak akan memperdulikan orang-orang yang larut dalam urusan duniawiyang fana dan yang menghabiskan siang-malam untuk mencarinya.”[2]
Inilah rintihan hati beliau yakni bagaimana supaya setiap anggota Jemaat beliau bertakwa bukannya menjadi orang yang setiap saat larut dalam kesedihan dunia. Kemudian, beliau as menekankan perihal menapaki jalan-jalan ketakwaan yang merupakan ringkasan syariat. Tempuhlah jalan-jalan ketakwaan.
Beliau bersabda:
“Jika kalian mengharapkan terkabulnya doa, tempuhlah jalan takwakarena ketakwaan ialah sesuatu dalam ketauhidan yang dapat dikatakan sebagai inti pokok syariat. Jika kita ingin menjelaskan syariat secara singkat saja maka ketakwaanlah yang dapat menjadi inti syariat. Banyak sekali tingkatan ketakwaan namun jika seseorangmenempuh tingkatan permulaan dengan istiqomah dan penuh ketulusan, maka dia akan dapat meraih derajat yang tinggi disebabkan oleh istiqamah dan ketulusannya tersebut.” (Walhasil adalah penting untuk menaruh perhatian pada kebaikan secara dawam baik itu kebaikan yang kecil maupun besar.)
Beliau (as) bersabda,
“Allah Ta’ala berfirman:إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ ‘innamaa yataqabbaluLlaahu minal muttaqiin‘… Sesungguhnya Allah hanya mengabulkan dari orang-orang yang bertakwa.’ [Al-Maidah, 5:28] Artinya, Allah Ta’ala tidak mengabulkan doa-doa kecuali doa-doa dari orang muttaqi. Ini merupakan janji yang mana tidak ada pengingkaran dalam janji Allah, Allah tidak mengingkari janji-Nya sebagaimana firman-Nya:إِنَّ اللَّهَ لا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ ‘Innallaaha laa yukhliful mii’aad’ – ‘Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.’ [Ar-Rad, 13:32]. Selama ketakwaan merupakan syarat pokok pengabulan doa, syarat pokok yang tidak dapat dipisahkan untuk pengabulan doa maka jika manusia mengharapkan doanya terkabul namun menjalani kehidupannya dalam kelalaian dan tidak berusaha, tidakkah dia amat bodoh? Karena itu, adalah suatu kelaziman bagi setiap orang dalam Jemaat kami untuk sedapat mungkin melangkah pada jalan takwa supaya dapat meraih kebahagiaan dan kelezatan pengabulan doa dan meningkatkan keimanan.”
Ini merupakan resep mendasar untu kmeraih manfaat Ramadhan yang utama yakni puasa kita dan setiap amalan kita semata-mata bertujuan untuk meraih ketakwaan. Banyak sekali orang yang mengatakan bahwa doa-doa tidak dikabulkan, mereka telah banyak berdoa namun tidak dikabul. Pertama, mereka harus menilik ke dalam diri sendiri apakah sisi agama dominan di dalam dirinya? Apakah mereka melangkah di jalan takwa atau kekotoran duniawilah yang dominan? Sebab, ketakwaan merupakan syarat pengabulan doa.
Lalu beliau (as) bersabda:
“Sebenarnya terdapat janji-janji yang besar bagi para muttaqi dan yang lebih besar dari hal itu ialah Allah Ta’ala menyatakan bahwa Dia akan menjadi Wali (pelindung) bagi mereka. Dusta orang yang mengatakan, ‘Kami adalah kekasih Allah namun tidak bertakwa, bahkan hidup dengan dipenuhi dosa-dosa dan melakukan kezaliman.’ Dia hanya menganggap diri saja sebagai wali dan kekasih Tuhan maksudnyaorang-orang itu menganggap diri suci. Karena, Allah ta’ala menetapkan syarat takwa. Selanjutnya, Dia memberikan satu syarat lagi atau memberitahukan ciri-ciri orang muttaqi, إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ ‘Innallaaha ma’alladziinat taqou..’ – Allah ta’ala beserta orang-orang muttaqi. (Surah An-Nahl, 16:129) Allah ta’ala menyertai orang yang bertakwa yaitu menolong mereka. PertolonganAllah ta’ala adalah dalil kebesertaan-Nya.
Mereka yang mengaku-ngaku Wali itu telah terlebih dahulu telah tertutup dalam wajah mereka wilayat (kewalian) pintu pertama, dengan demikian secara otomatis telah tertutup pula pintu selanjutnya, yaitu kebesertaan dan pertolongan Ilahi. Ingatlah bahwa terdapat janji bahwa Allah Ta’ala akan berbicara.”
Beliau (as) bersabda,
“Ingatlah! Pertolongan Allah Ta’ala tidak akan pernah dapat diraih orang-orang yang tidak suci dan fasiq. Sebab, orbit bagi itu ialah takwa. Pertolongan Allah Ta’ala diperuntukkan bagi orang muttaqi. Pertolongan Allah Ta’ala ialah hanya bagi orang-orang bertakwa. Lalu ada satu jalan lain bagi makrifat mereka yaitu manusia terjerumus di dalam kesulitan, musibah dan memiliki beragam keinginan, dan Allah Ta’ala menjadikan solusi dari kesulitan itu dan untuk memenuhi keinginan tersebut telah ditetapkan prinsip ketakwaan.”
“Cara untuk terhindar dari kesulitan ekonomi dan kesukaran-kesukaran lainnya pun adalah takwa. Allah Ta’ala berfirman, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ()وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ ‘wa man yattaqillaaha yaj’al lahuu makhrajan wa yarzuqhu minhaitsu laa yahtasib..’ – ‘Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menunjukkan kepadanya jalan keluar dari kesusahan, dan diberikan-Nya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka, dan siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah mencukupkan keperluannya.” (Surah At-Talaq ayat 2-3). Artinya, Tuhan menciptakan solusi dalam setiap kesulitan bagi seorang muttaqi dan menciptakan sarana baginya dengan cara ghaib untuk terhindar dari kesulitan itu. Tuhan memberikan rezeki kepadanya dengan cara yang tidak disangka olehnya.”
Jika manusia senantiasa mengingatnya sebagai prinsip maka akan terus timbul perhatian untuk melangkah diatas jalan takwa.
Beliau (as) bersabda:
“Sekarang coba renungkan dengan baik, apa yang didambakan manusia di dunia ini? Cita-cita terbesar manusia di dunia ini adalah mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan yang mana untuk itu Allah Ta’ala telah menetapkan satu cara yang disebut jalan takwa. Dengan kata lain disebut juga dengan jalan Al-Quranul Karim atau dinamainya sirathal mustaqim. Jangan ada yang mengatakan orang-orang kafir juga memiliki harta kekayaan dan kemakmuran serta mereka hidup dalam ketentraman dan kebahagiaan.
Saya katakan dengan sejujurnya kepada kalian bahwa dalam pandangan duniawi bahkan dalam pandangan orang-orang duniawi yang hanya memandang segi lahiriah saja orang-orang seperti itu tampak bahagia, namun sebenarnya mereka terjerumus didalam kesedihan dan keperihan. Kalian melihat penampilan luarnya, namun saya memandang pada hati mereka. Mereka terbelenggu di dalam neraka, belenggu dan rantai besi dan terbakar didalam api. Terbelenggu dalam rantai sebagaimana difirmankan, إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا innaa a’tadnaa lil kaafiriina salaasila wa aghlaalan wa sa’iira. Artinya, ‘Pastilah kami telah mempersiapkan rantai, belenggu dan Jahannam bagi orang kafir.’ (Surah ad-Dahr/Al-Insaan, 76:5)
“Mereka tidak mampu kembali melangkah ke arah kebaikan. Bahkan, belenggunya mencengkeram sedemikian rupa sehingga membuat mereka tidak mampu memandang Allah dan mereka menjadi lebih buruk dari hewan. Mata mereka setiap saat tertuju pada dunia dan terus tunduk ke bumi dan di dalam diri mereka terdapat keperihan dan gejolak. Jika harta mereka berkurang atau jika usahanya tidak berhasil seperti yang diinginkan, mereka terbakar, sampai-sampai terkadang menjadi gila atau terus menghadapi persidangan dalam keadaan cemas. Adalah benar bahwa orang yang kosong ruhaninya tidak bebas dari api seolah tengah berjalan diatas api.”
Beliau as bersabda,
“Itu semua terjadi karena mereka tidak mendapatkan kedamaian yang merupakan konsekwensi dari ketentraman dan kebahagiaan. Sebagaimana seorang pemabuk setelah meneguk arak dia terus minta lagi gelas demi gelas, dan tercipta seperti rasa perih, begitu jugalah seorang duniawi terbakar dalam api, apinya tidak dapat padam seketika. Kebahagiaan sejati pada hakikatnya diperuntukan bagi orang muttaqi yang untuk itu telah Allah janjikan baginya ada dua surga.”
Lalu, beliau menjelaskan perihal kebahagiaan dan kelezatan hakiki terletak pada ketakwaan,
“Seorang yang bertakwa dapat meraih kebahagiaan yang hakiki dalam sebuah gubuk yang mana hal itu tidak mungkin dapat diraih oleh seorang duniawi yang walaupun tinggal di dalam istana megah sekalipun.”
“Semakin banyak mendapatkan dunia, sebesar itu pula-lah musibah yang menimpa. Ingatlah! Ketenangan dan kebahagiaan hakiki tidaklah didapatkan oleh orang-orang duniawi. Janganlah beranggapan bergelimang harta, pakaian yang mewah dan makanan yang lezat dapat memberikan kebahagiaan. Sama sekali tidak. Melainkan, sumber ketentraman dan kebahagiaan bergantung pada ketakwaan.
Ketika diketahui dari semua itu tidak ada ketenangan dan kebahagiaan yang dapat diraih tanpa ketakwaan sejati, maka hendaklah diketahui bahwa ketakwaan memiliki banyak sekali cabang yang melebar menyerupai jaring laba-laba. Jaring-jaringnya sangat halus. Ketakwaan berkaitan dengan segenap anggota tubuh manusia, berkaitan dengan aqidah, lidahnya, akhlaknya dan selain itu juga.”
Orang berpuasa hendaklah senantiasa menjaga mulut. Berkenaan dengan puasa terdapat satu hadits Hadhrat Rasulullah saw bersabda, ‘Jika ada orang yang menantangnya berkelahi dan mencacinya hendaklah menjawab segala keburukan tersebut dengan berkata: إِنِّي صَائِمٌ ‘inni shaa-im’ “Saya sedang berpuasa. Saya tidak dapat menerima tantangan Anda.”’[3]
Beliau as bersabda,
“Urusan yang paling rentan sekalipun bermula dari mulut. Terkadang seseorang mengatakan sesuatu setelah mengesampingkan ketakwaan setelah itu merasa senang telah mengatakan sesuatu pada si Fulan, padahal perkataannya buruk.
Saya teringat satu kisah. Dikisahkan ada orang suci yang diundang makan oleh seorang hamba dunia. Kisah ini perlu diperhatikan sampai kekedalaman, bukan hanya cacian kasarnya atau berselisih atau berkelahi melainkan ada juga rasa egois dan pamer. Kesalahan yang ditimbulkan oleh mulut dan dosa yang disebabkan oleh mulut atau berkurangnya ketakwaan disebabkan oleh mulut, termasuk juga didalamnya.
Saya kisahkan dalam hal ini sebuah hikayat.” (Hikayat ini mengandung perkara mendalam dan patut diperhatikan. Tidak hanya cukup menghindari pertengkaran dan perkelahian saja, bahkan wajib juga menghindari bangga diri dan sifat pamer. Orang yang menampakkan hal itu dengan lisan. Dosa-dosa terkadang dihasilkan dibawah lisan dan hal ini menandakan kurangnya ketakwaan.)
“Ada seorang suci yang diundang makan oleh seorang hamba duniawi. Ketika orang suci tersebut akan mulai makan, orang duniawi yang sombong itu mengatakan kepada pelayannya, ‘Ambillah wadah yang saya bawa dari ibadah haji saya yang pertama’, lalu mengatakan, ‘Ambilkan juga wadah yang saya bawa dari ibadah haji saya yang kedua.’ Kemudian, ia mengatakan, ‘Ambilkan juga wadah yang saya bawa dari ibadah haji saya yang ketiga.’
Orang suci tadi mengatakan, ‘Kondisi Anda perlu dikasihani, disebabkan oleh tiga kalimat Anda itu, Anda telah membinasakan ketiga ibadah haji mu itu.’
“Orang suci tadi mengatakan, ‘Tujuan kamu melakukan ini adalah untuk memamerkan telah naik haji tiga kali. Karena itulah, Tuhan telah mengajarkan untuk menjaga mulut dan jauhilah ucapan yang tidak bermakna, sia-sia, tidak pada tempatnya dan tidak perlu.’”
(Jadi, tidak hanya terdapat perintah kepada mulut untuk menghentikan perbuatan menyakiti orang lain, bahkan juga perhatian untuk tidak bersifat membanggakan diri, egoisme dan pamer karena itu pun dapat menjauhkan manusia dari kebaikan dan ketakwaan.)
Beliau bersabda:
“Coba perhatikan bahwa Allah ta’ala mengajarkan إيَّاكَ نَعْبُدُ ‘iyyaaka na’budu – ‘Hanya kepada Engkau, kami menyembah’, mungkin saja manusia yakin sepenuhnya pada kemampuannya sendiri lalu terjauh dari Tuhan. Untuk itu seiring dengan itu Dia ajarkan juga, إيَّاكَ نَسْتَعينُ Iyyaaka nasta’iin – ‘Hanya kepada Engkau, kami memohon pertolongan’. Artinya, janganlah beranggapan ibadah yang telah dilakukan ialah karena kekuatan dan kemampuan sendiri, sama sekali tidak. Melainkan, sebelum turun pertolongan Allah Ta’ala dan sebelum Zat Yang Maha Suci itu memberikan taufik dan kekuatan, mustahil dapat melakukannya.
Allah Ta’ala tidak mengajarkan, Iyyaaka a’budu – ‘Hanya kepada Engkau, aku menyembah’ – atau – iyaaka asta’iin – Hanya kepada Engkau, aku memohon pertolongan’ – karena di dalam perkataan itu terdapat aroma mengutamakan diri sendiri.” Hal ini bertentangan dengan ketakwaan.
Orang yang bertakwa menaruh perhatian pada manusia seutuhnya. Disebabkan mulut (ucapan), manusia dapat terjauh dari ketakwaan. Disebabkan mulut (ucapan), manusia dapat terjauh dari ketakwaan. Disebabkan mulut (ucapan), manusia dapat menyombongkan diri. Disebabkan mulut (ucapan), sifat-sifat Firaun bermunculan. Begitu juga, disebabkan mulut (ucapan), amalan yang tersembunyi (tidak diketahui) berubah menjadi dipamerkan. Mulut dapat menimbulkan kerugian dengan cepat.
Terdapat riwayat di dalam hadits, مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ ‘Siapa yang dapat menjamin untuk saya apa yang berada di antara dua rahangnya (mulut) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka saya akan menjamin baginya surga.’[4]
Memakan barang haram tidak sedemikian berbahaya seperti halnya berkata dusta. Namun, dari itu jangan juga seseorang beranggapan memakan barang haram adalah tidak apa-apa. Berpemahaman demikian adalah amat keliru. Maksud saya ialah berdusta merupakan sesuatu yang lebih dapat menimpakan kerugian dibanding memakan barang haram adalah baik.
Maksud saya adalah bahwa jika ada orang yang secara terpaksa memakan daging babi maka ini adalah soal lain. Namun jika mulut memfatwakan memakan babi halal, berarti dia telah terjauh dari Islam karena dengan begitu berarti menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Walhasil, dari ini dapat diketahui bahwa kerugian yang dapat ditimbulkan lidah sangat berbahaya, untuk itu seorang muttaqi sangat mengendalikan mulutnya. Tidak keluar dari mulutnya sesuatu yang bertentangan dengan ketakwaan. Kalian kuasailah lidah kalian. Bukannya berbicara yang menguasai lidah kalian sehingga keluar darinya kalimat-kalimat yang keji.”[5]
Telah terjadi peningkatan dalam dzikr Ilahi seiring berpuasa dan banyak orang yang memperbanyak dzikr Ilahi, seiring dengan peningkatan tersebut, harus dikurangi juga mengucapkan hal-hal yang tidak perlu. Seseorang harus berusaha untuk itu supaya tujuan puasa dapat terpenuhi yakni ketakwaan.
Kemudian, beliau (as) bersabda,
“Senantiasa perhatikan sampai mana kemajuan yang telah kita raih dalam hal ketakwaan dan kesucian? Tolok ukurnya adalah Al Quran. Allah Ta’ala telah menjelaskan tanda-tanda orang muttaqi, yaitu mereka Allah ta’ala selamatkan dari hal-hal yang dibenci di dunia dan Dia Sendiri Yang menjadi pencukup akan urusan-urusan mereka sebagaimana Dia firmankan, وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ()وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ ‘Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menunjukkan kepadanya jalan keluar dari kesusahan, dan diberikan-Nya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka, dan siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah mencukupkan keperluannya.” (Surah At-Talaq ayat 2-3).
Artinya, orang yang bertakwa kepada Allah ta’ala, maka Allah Ta’ala akan memberikan jalan baginya dalam menghadapi musibah dan menciptakan sarana untuk nafkahnya yang mana sedikitpun ia tidak pernah mengiranya. Merupakan tanda orang muttaqi yaitu Allah Ta’ala tidak membiarkan orang muttaqi mengemis-ngemis kebutuhan yang tidak berguna dan Allah Ta’ala menyediakan sarana keperluannya. Keperluan atau hasrat yang tidak jelas tujuannya tidak muncul di dalam hati mereka atau mereka tidak dibiarkan mengemis-ngemis untuk mendapatkan itu semua dan tidak terpikirkan untuk itu atau memerlukannya. Ini pun merupakan ciri ketakwaan dan merupakan tanda perlakuan Allah Ta’ala kepada orang muttaqi.”
“Misalnya seorang pedagang beranggapan bahwa tanpa menipu, usahanya tidak akan jalan, untuk itu dia tidak menghentikan perbuatan menipu dan mengungkapkan keterpaksaannya untuk berdusta. Namun perkara ini sama sekali tidak benar. Allah Ta’ala Sendiri-lah yang menjadi pelindung bagi orang muttaqi. Dia menyelamatkannya dari peluang yang dapat memaksanya untuk bertentangan dengan kebenaran.” “Ingatlah ketika seseorang meninggalkan Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala pun meninggalkannya. Jika Allah Yang Maha Rahman telah meninggalkannya, maka pasti setan akan menjalin hubungan dengannya.”
Lalu beliau bersabda:
“Janganlah beranggapan Allah Ta’ala lemah. Tidak demikian! Bahkan, Dia Maha Kuat. Jika kalian yakin sepenuhnya kepada-Nya dalam suatu urusan, Dia pasti akan menolong kalian. وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ ‘Wa man yatawakkal alaLlahi fahuwa hasbuhuu.’ – ‘Siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia akan menjadi Pencukup baginya.’
Namun orang-orang yang menjadi lawan bicara pertama dari ayat-ayat ini, mereka adalah orang-orang saleh dan para ruhaniawan. Segenap pikiran mereka untuk urusan agama semata. Urusan duniawi mereka serahkan kepada Allah. Maka dari itu, Allah Ta’ala memberikan ketentraman kepada mereka bahwa Dia menyertai mereka. Walhasil, diantara segala keberkatan takwa salah satunya adalah Allah Ta’ala membebaskan orang-orang muttaqi dari musibah-musibah yang dapat mengganggunya dalam mengkhidmati urusan agama.”
Jika ketakwaan kalian benar, maka Allah Ta’ala dengan sendirinya akan menyelesaikan kesedihan-kesedihan duniawi kalian sehingga kalian mendapatkan taufik untuk mengkhidmati agama. Jika ada orang yang mengatakan bahwa keadaan-keadaan duniawi secara khusus telah membuatnya terhalang dari berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan maka hendaknya mereka mengetahui bahwa jika mereka menjalani hidup dalam ketakwaan sejati maka Allah Ta’ala akan menanggungnya Sendiri perihal bagaimana menghilangkan kesulitan-kesulitan duniawi orang itu yang selanjutnya mereka mendapat kesempatan untuk mengkhidmati agama.
Dua Macam Kebaikan
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menjelaskan perihal kebaikan terdiri dari dua bagian, dan bagaimana perlakuan Allah Ta’ala kepada orang yang berbuat kebajikan,
“Kebaikan-kebaikan yang dilakukan manusia terbagi menjadi dua bagian yaitu amal kebajikan yang sifatnya fardhu (diwajibkan) dan yang sifatnya nawafil (tambahan, sukarela). Fardhu-fardhu ialah kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi seperti melunasi hutang atau membalas kebaikan dengan kebaikan.
Sebagai tambahan yang fardhu-fardhu, terdapat nawafil pada setiap kebajikan, artinya, itu kebaikan yang melebihi dari yang diwajibkan seperti membalas kebaikan orang lain dengan melakukan kebaikan yang lebih besar dari pada perbuatan orang tersebut. Nawafil memenuhi dan menyempurnakan fardhu-fardhu.”
Kemudian, beliau as menyebutkan sebuah Hadits,
“Tercantum dalam riwayat bahwa para Wali Allah menyempurnakan fardhu-fardhu (kewajiban-kewajiban) keagamaan dengan nawaafil. Misalnya disamping membayar Zakat, mereka pun memberikan sedekah-sedekah sebagai tambahan bagi Zakat. Allah Ta’ala menjadi Wali (sahabat) bagi orang-orang semacam itu. Persahabatan tersebut begitu kuatnya sehingga seakan-akan Allah Ta’ala menjadi kaki dan tangan mereka dan bahkan menjadi lidah mereka yang dengannya mereka berbicara.”[6]
Lalu, beliau (as) bersabda:
“Ketika manusia membersihkan diri dari gejolak hawa nafsu lalu meninggalkan segala hasrat duniawi dan mengosongkan diri dari keakuan kemudian mengikuti kehendak Ilahi, maka tidak akan ada lagi perbuatanya yang tidak jaiz, bahkan segala perbuatannya sesuai dengan kehendak Ilahi. Musibah dan kesulitan manusia bermula ketika amal kita tidak sesuai dengan kehendak-Nya, bahkan bertentangan dengan keridhaan-Nya. Orang seperti itu melangkah mengikuti hawa nafsunya.
Misalnya ketika seseorang marah, ia melakukan satu perbuatan yang dapat menimbulkan pelanggaran yaitu berbuat kriminal. Maka, ia akan dihukum.Namun jika seseorang beriradah untuk tidak akan melakukan amal apa puntanpa mengetahui apa pendapat Kitabullah mengenai hal itu dan jika dalam setiap perkara selalu merujuk kepada Kitabullah, maka sudah barang tentu Kitabullah akan memberikan bimbingannya mengenai itu kepadanya.
Hal demikian karena Allah Ta’ala berfirman, وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ ‘wa laa rathbin wa laa yaabisin illaa fii kitaabin mubiin. – ‘Tidak ada benda basah maupun kering yang tidak dijelaskan dalam satu kitab yang terang.’ (Surah Al-An’aam, 60) Artinya, Al-Quran telah menjelaskan dengan gamblang setiap kebaikan dan keburukan. Siapa yang mengamalkan keterangan jelas ini, dia akan selamat.”
Beliau (as) bersabda:
“Jika kita beriradah untuk meminta nasihat dari Kitabullah, pasti kita akan mendapatkan nasihat.”
Kesukaran-kesukaran yang dialami manusia dalam urusan duniawi atau jika ada yang melakukan perbuatan yang salah, itu karena mereka tidak mengamalkan perintah-perintah Al-Qur’an. Jika berjalan tanpa merujuk kepada Al Quran Karim, jika ada yang melakukan perbuatan tanpa memperhatikan hukum-hukumnya, maka manusia akan terperangkap dalam kesulitan.Dalam hal ini harus dibedakan bahwa dalam urusan agama, Allah terkadang memasukan seseorang kedalam ujian. Dalam hal itu Allah Ta’ala berfirman bahwa ujian-ujian ini pun adalah untuk menguji kebaikan-kebaikan. Mengenai itu Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda: “Para Nabi paling banyak mengalami ujian dibandingkan orang-orang selain mereka.”
Selanjutnya adalah urusan duniawi yang karenanya manusia terjerumus dalam kesulitan. Hal demikian karena tenggelam dalam berpikir dengan alur fikir duniawi. Dia mengaku sebagai seorang beriman namun jalan petunjuk bagi kita yakni Al-Quran tidak dia upayakan untuk diamalkan. Karena itulah terpaksa menghadapi berbagai kesulitan dan itu mengakibatkan munculnya ujian-ujian.
Lalu beliau bersabda:
“Orang yang mengikuti hawa nafsu, pasti dia akan mengalami kerugian.” Terkadang pada titik ini dia dicengkram di dunia ini juga. Sebaliknya dari itu, Allah ta’ala berfirman, ‘Para wali-Ku yang berbicara, melangkah dan berbuat bersama dengan-Ku seolah-olah telah larut di dalam Aku.’ Seberapa kurang kecenderungan fana tersebut, sejauh itulah dia dari Allah Ta’ala. Namun jika kecenderungan kefanaan dalam Allah itu seperti yang Allah Ta’ala sifatkan perihal para Wali-Nya, maka keimanannya tidak dapat diperkirakan kadarnya.
Allah Ta’ala berfirman, مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ Man ‘aadalii waliyyan faqod aadzantuhuu bil harb – ‘Barang siapa yang memusuhi Wali-Ku maka Aku berkata kepadanya, “Siapkah kamu berperang melawan-Ku?”’[7] Artinya, ‘Orang yang melawan wali-Ku, berarti dia melawanku. Sekarang perhatikanlah! Ketika orang-orang menentang jalan kebaikan dan kesalehan, maka Allah sendiri yang akan menyertai para wali-Nya dan dalam sekali waktu Dia akan menggagalkan musuh-musuh mereka.
Coba perhatikan betapa tingginya kualitas seorang muttaqi dan betapa tinggi derajatnya. Orang yang mana capaian kedekatannya kepada Allah ialah jika dia dizalimi maka sama halnya dengan menzalimi Allah. Dapatkah Anda bayangkan bagaimana Allah akan mendukung dan menolongnya.”
Kerendahan Hati dan Kesederhanaan
Kemudian, beliau as menjelaskan tentang menjalani kehidupan dengan kerendahan-hati dan kesederhanaan,
“Syarat (tuntutan) bagi ahli taqwa (orang-orang berTaqwa) ialah agar mereka senantiasa menjalani kehidupannya dalam ghurbat (tidak menonjolkan diri) dan miskiini (sederhana dan penuh kerendahan hati). Ini adalah ranting cabang ketakwaan yang dengan melaluinya kita dapat menahan na jaa-iz ghadhab (gejolak kemarahan yang tidak diperbolehkan atau tidak pada tempat dan situasi yang tepat, artinya ada kemarahan yang dibolehkan, penampakan marah pada situasi dan kondisi serta tempat yang tepat).
Tahap akhir dan berat bagi orang-orang besar dari kalangan arif dan shiddiq adalah menyelamatkan diri dari ghadhab (gejolak kemarahan). Sikap ‘ujub (memandang diri sendiri dengan bangga) dan kesombongan timbul dari ghadhab (kemarahan). Adakalanya, ghadhab tersebut pun dampak dari sikap ‘ujub dan keangkuhan. Kemarahan itu timbul di dalam diri seseorang ketika memandang tinggi dirinya sendiri di atas orang lain. Saya tidak menghendaki orang-orang dalam Jemaat saya, satu terhadap yang lain memandang rendah, atau satu dengan yang lain memandang lebih besar mulia, atau satu dengan yang lain saling membanggakan diri, ataupun memandang yang lain dengan. Hanya Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui siapakah yang lebih besar siapa pula yang lebih kecil. Kecenderungan ini sejenis perendahan yang mengandung kehinaan. Saya khawatir semua hal tersebut benih-benihnya bertumbuh dan menghancurkan pemiliknya.”
“Sebagian orang demikian hormatnya manakala berjumpa dengan orang besar. Namun, seorang yang mulia ialah dia yang dengan cara miskiini (dengan kerendahan hati) mau mendengarkan perkataan orang miskin. Ia mengupayakan dirinya merasa senang hati (tidak sempit pikiran berbincang-bincang dengan orang miskin tersebut). Ia menghormati kata-katanya. Ia tidak akan menimpalinya dengan sesuatu perkataan yang akan menyinggung perasaan orang tersebut. Allah Ta’ala menyatakan, وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ‘Janganlah menyebut satu sama lain dengan sebutan buruk. Setelah beriman lantas terjauh dari agama adalah perkara besar. Orang yang tidak bertaubat dan terus menyebut-nyebut sebutan buruk, maka merekalah orang yang zalim diantara orang-orang.’ (Surah Al-Hujuraat, 49 : 12)
Janganlah memanggil dengan sesuatu nama atau julukan buruk. Itu perbuatan fussaaq (sangat fasik) dan fujjaar (sangat berdosa). Siapa yang memanggil dengan nama buruk, ia tidak akan mati sebelum ia sendiri seperti keburukan yang ia panggilkan kepada orang lain itu. Janganlah merendahkan sesama saudaramu. Jika tuan-tuan sekalian meminum dari sumber mata air yang sama, siapa pula yang dapat mengetahui ada yang beruntung dapat mereguknya lebih banyak? Seseorang tidak dapat dimuliakan ataupun dihormati berdasarkan pertimbangan duniawinya. Sebab, dalam pandangan Allah Ta’ala, yang termulia ialah yang paling bertakwa إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ‘Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu pada pandangan Allah ialah yang paling berTaqwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui. Maha Waspada.’ (Surah Al-Hujuraat, 49: 14)”[8]
Allah Ta’ala mengetahui segala hakikat dan segala sesuatu Dia yang Maha Mengetahui ketakwaan yang sifatnya pamer ataukah yang hakiki. Untuk itu ketika Allah Ta’ala Maha Mengetahui maka kita dengan rasa takut dan mengevaluasi diri hendaknya berusaha untuk meraih ketakwaan yang hakiki yang telah Allah Ta’ala perintahkan untuk menempuhnya.
Sikap Orang Bertakwa Ketika Mendapatkan Kesuksesan
Kemudian, beliau menjelaskan perihal ketika seorang mukmin dan bertakwa mendapatkan kesuksesan, bagaimana pengungkapannya begitu juga bagaimana reaksi orang kafir ketika mendapatkan kesuksesan,
“Hendaknya perhatikanlah prinsip bahwa ketika seorang mukmin dianugerahi kesuksesan, dia menjadi malu lalu memuji Allah Ta’ala yakni dia menisbahkan keberhasilan itu kepada Allah ta’ala, dia memuji Allah Ta’ala dalam segala hal mengatakan bahwa Allah telah menurunkan karunia-Nya lalu melangkah maju dan keimanannya tetap teguh dalam menghadapi berbagai ujian.
Meskipun pada lahiriahnya kesuksesan orang Muslim dan Hindu memiliki corak yang sama namun ingatlah kesuksesan orang kafir adalah jalan yang sesat sedangkan dengan kesuksesan orang mukmin pintu-pintu nikmat menjadi terbuka baginya. Kesuksesan orang kafir membawa kepada kesesatan karena dia tidak kembali kepada Allah Ta’ala bahkan menjadikan kerja keras dan kemampuannya sebagai tuhan. Namun seeorang mukmin kembali kepada Allah Ta’ala lalu menciptakan pengenalan baru dengan Allah Ta’ala. Demikian setelah melewati setiap kesuksesan, dimulailah satu jalinan baru antara dia dengan Allah Ta’ala dan didalam dirinya tercipta revolusi.
Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ yakni Allah ta’ala beserta orang-orang muttaqi. (Surah An-Nahl, 16:129) Hendaknya diingat bahwa kata takwa disebutkan banyak sekali di dalam Al Quran, ditafsirkan dengan kata yang sebelumnya. Disini terdapat kata ma’a (beserta). Maknanya, siapa yang menganggap Allah Ta’ala lebih utama, maka Allah Ta’ala akan mengutamakannya dan menyelamatkannya dari berbagai kehinaan dunia. Keyakinan saya adalah jika manusia ingin terhindar dari berbagai kehinaan dan kekerasan ada satu jalan baginya yakni jadilah muttaqi, lalu dia tidak akan kekurangan apapun. Ringkasnya, kesuksesan-kesuksesan yang didapatkan oleh seorang mukmin akan membawanya terus maju dan tidak terhenti pada satu tempat.”
Beliau (as) bersabda:
“Dalam kitab-kitab tertulis bahwa keadaan mayoritas orang adalah pada awalnya hubungan mereka lekat dengan dunia dan terjalin dengan erat, namun mereka memanjatkan doa dan terkabul. Setelah itu kondisinya berubah. Untuk itu janganlah berbangga atas pengabulan doa dan kesuksesan sendiri melainkan anggaplah itu sebagai karunia dan pertolongan Allah Ta’ala. Adalah karunia Allah bahwa Dia telah mengabulkan doa kita, bukannya senang atas diri atau berbangga diri arahkanlah pandangan kepada karunia Ilahi. Suatu hal yang dapat dimaklumi adalah setelah mendapatkan keberhasilan timbul dalam diri orang itu satu kehidupan baru dalam semangat dan keberanian.
Ambillah manfaat dari keadaan ini. Tingkatkanlah pengenalan kepada Allah karena sesuatu yang paling tinggi derajatnya dan akan bermanfaat nantinya adalah makrifat ilahi. Dengan begitu akan memunculkan gerakan untuk merenungkan karunia Ilahi dan menghargainya. Tidak ada yang dapat menghentikan karunia Ilahi.
Kondisi yang sangat miskin juga dapat memasukkan manusia ke dalam musibah-musibah. Karena itu, dikatakan dalam hadits, الْفَقْرُ سَوَادُ الْوَجْهِ فِي الدَّارَيْنِ yakni kesempitan dapat merusak wajah atau dapat menodai wajah.[9]
Saya pernah melihat sendiri bagaimana orang-orang yang disebabkan oleh kemiskinan sehingga mereka berubah menjadi atheis. Namun orang beriman tidak berburuk sangka kepada Tuhan walaupun dalam keadaan yang sempit (kesusahan). Bahkan mengakui hal itu sebagai akibat dari kesalahannya sendiri lalu memohon kasih sayang dan karunia Allah Ta’ala. Setelah masa kesempitan itu berlalu dan doa-doanya mendatangkan hasil, maka dia tidak melupakan masa-masa yang sulit tadi, bahkan selalu mengingatnya.
Walhasil, jika memiliki keimanan bahwa kita memerlukan pertolongan Allah Ta’ala, maka tempuhlah ketakwaan. Beberkatlah mereka yang menempuh ketakwaan dalam kondisi sukses atau bahagia dan merugilah mereka yang tergelincir dan tidak kembali kepada-Nya. Allah Ta’ala melindungi dan mendukung orang yang bertakwa. Takwa adalah menjauhi keburukan sedangkan muhsinuun adalah tidak hanya cukup menjauhkan diri dari keburukan bahkan berbuat kebaikan juga. Lalu difirmankan لِّلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَىٰ وَزِيَادَةٌ ۖ Lilladziina ahsanul husna yakni mereka melakukan amalan saleh tadi dengan sebaik-baiknya. (Surah Yunus, 10:27)
Beliau (as) menjelaskan ayat إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
“Berkali-kali turun wahyu kepada saya yaitu, إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ. Begitu bertubi-tubinya turun sehingga saya tidak dapat menghitung jumlahnya. Mungkin dua ribu kali, Allah lebih mengetahui. Maksud dari hal itu ialah supaya Jemaat mengetahui bahwa seyogyanya jangan lantas merasa cukup telah bergabung dalam Jemaat ini atau merasa senang dengan iman secara pemikiran dan keyakinan. Melainkan, penyertaan dan pertolongan Allah Ta’ala akan diperoleh jika terdapat ketakwaan hakiki dan diiringi dengan kebaikan.”[10]
Salah satu arti ayat إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ adalah sesungguhnya Allah ta’ala menaungi perlindungan terhadap orang-orang yang memilih menempuh ketakwaan, kesucian dan juga berbuat ihsan, dan mereka selamanya takut berbuat dosa.”[11]
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ Allah Ta’ala pun membuat catatan harian amalan manusia. Jadi, manusia pun hendaknya membuat catatan harian keadaannya sendiri dan renungkanlah sampai dimana telah melangkah dalam kebaikan? Hari ini dan esoknya seseorang seharusnya tidak sama. Jika keadaan kemarin dan hari ini dari seseorang sama saja, berarti dia berada dalam kerugian. Jika seorang manusia meyakini Allah Ta’ala dan mengimani sepenuhnya, orang tersebut tidak akan pernah disia-siakan, bahkan demi dia seorang, ratusan ribu nyawa diselamatkan.
Ada seorang waliyullah yang sedang berada diatas kapal laut. Muncul badai ombak yang dahsyat dilaut sehingga membuat kapal hampir tenggelam. Namun akhirnya diselamatkan berkat doanya. Ketika berdoa dia mendapatkan ilham, ‘Kami telah menyelamatkan semua orang demi engkau.’
Namun hal ini tidaklah dapat diraih dengan hanya murni ucapan saja.”
Beliau bersabda:
“Allah pun telah berjanji kepada saya, إني أحافظ كل منفيالدارInnii uhaafizu kulla man fid daar– Aku akan melindungi semua orang yang berada di dalam rumah itu – namun untuk itu sebelumnya kalian harus menempuh ketakwaan. Sesungguhnya Anda sekalian perlu menjadikan diri kalian sendiri layak untuk menjadi penerima pengabulan doa-doa saya, barulah doa-doa saya akan dikabulkan dan untuk itu diperlukan ketakwaan.”
Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada kita untuk berpuasa di bulan Ramadhan ini, beribadah dengan takwa dan memungkinkan kita melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya. Semoga Ramadhan ini mencurahkan keberkatan dari berbagai sisi dan menjadi keberkatan bagi Jemaat dan umat Muslim umumnya, bahkan dunia. Doakan secara khusus bagi Jemaat Pakistan yang hari demi hari penentangan semakin keras. Semoga Allah ta’ala mencurahkan karunia-Nya supaya kita dapat memenuhi hak-hak ibadah dan hak puasa sembari menempuh ketakwaan dan menaruh perhatian terhadap doa-doa.
Begitu pula, semoga Allah Ta’ala mengasihi umat Muslim, memberikan kebijaksanaan dan pemahaman kepada para ulama dan penguasa mereka untuk mengimani Imam Zaman. Begitu juga di dunia pun setiap hari bermunculan kabar-kabar baru bahwa saat ini hampirakan bergejolak api peperangan. Negara-negara tangguh yang nampaknya berderap kearah peperangan dengan cepatnya dan sampai saat ini belum tampak gejala-gejala akan berakhir. Untuk itu semoga Allah Ta’ala menyelamatkan umat Muslim khususnya para Ahmadi dari dampak buruk peperangan dan secara umum bagi segenap umat manusia semoga terhindar dari pengaruh buruknya. Jika sampai saat ini dalam pandangan Allah Ta’ala mereka bisa diperbaiki, dapat menjadi sarana ishlaah dan dapat mengenal Allah Ta’ala maka semoga Allah Ta’ala menciptakan kondisi tersebut yakni mereka mengenali Allah Ta’ala dan terhindar dari kehancuran.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ ‑ وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ‑عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ ‑ أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah : Mln. Mahmud Ahmad Wardi (Indonesian Desk, London-UK)
Editor : Dildaar Ahmad Dartono
Referensi : www.alislam.org dan islamahmadiyya.net (bahasa Arab)
[1] Shahih al-Bukhari, Kitab tentang shaum, bab mal lam, no. 1903, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّٰهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه“”Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu mengamalkan keburukan maka Allah tidak memerlukan lapar dan hausnya.”
[2]Malfuzhat jiid 1.
[3][3] Shahih al-Bukhari, Kitab tentang puasa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا “Puasa adalah perisai. Maka janganlah dia berkata-kata kotor dan berbuat bodoh. Apabila ada orang lain yang memerangi atau mencacinya, hendaklah dia katakan, ‘Aku sedang puasa’ (dua kali). Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah ta’ala daripada bau minyak kasturi. Dia rela meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya.” (HR. Bukhari dalam Kitab as-Shiyam)
[4] Shahih Bukhari, Kita bar-Riqaaq, no. 6474
[5]Malfuzhat jilid 1.
[6]Malfuzhat jilid 1, h. 13-14, edisi 1985, UK
[7] Shahih al-Bukhari Kitab ar-Riqaaq, Bab at-Tawadhu (Kerendahan Hati) [Lengkapnya adalah sebagai berikut: Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, ” إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِي بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَىْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ، يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ ” “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang berupaya memusuhi wali-Ku, niscaya Aku umumkan perang terhadapnya.’ Hamba-Ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku sukai dari pada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sunnah-sunnah sampai Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengaran yang untuk mendengarnya, penglihatan yang untuk melihatnya, tangan yang untuk menamparnya dan kaki yang untuk berjalan olehnya. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar memberinya. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar melindunginya. Dan Aku tidak bimbang terhadap sesuatu yang Aku lakukan seperti kebimbangan-Ku terhadap jiwa hamba-Ku yang beriman yang mana ia tidak senang mati sedang Aku tidak senang berbuat buruk terhadapnya”.
[8]Malfuzat jilid 1, hal. 36, Edisi 1985, Terbitan UK
[9]Ash-shaghani dalam al-Maudhu’aat.
[10]Al-Hakam, jilid 10, edisi 22, 24 Juni 1907, h. 35-37
[11]Al-Hakam, jilid 10, edisi 34, 17 Mei 1908, h.2