Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 157, Khulafa’ur Rasyidin Seri 04, Hadhrat ‘Abdullah Abu Bakr ibn ‘Utsman Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu, Seri 23)
- Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hadhrat Abu Bakr ibn Abu Quhafah, radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
- Uraian rinci mengenai kemenangan-kemenangan pasukan Muslim dalam berbagai tugas peperangan di penuh berkah Khilafat (kekhalifahan) Hadhrat Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) yang telah menugaskan 11 (sebelas) Amir (Komandan) perang beserta ekspedisi perjalanan menuju wilayah tugas yang tengah bergejolak penentangan dan kemurtadan.
- Selesainya pembahasan pertama hingga ke-6 ekspedisi militer utusan Hadhrat Abu Bakr (ra) dalam menghadapi kaum Murtadin dan munafik yang memberontak.
- Pembahasan ekspedisi pasukan ketujuh (ke-7) pimpinan Hadhrat Khalid bin Sa’id bin al-’Ash (ra). Biodata mengenai beliau. Peranan dan tugas beliau. Kerjasama beliau dengan Hadhrat ‘Amru ibn al-‘Ash (ra). Riwayat keislaman beliau di masa awal dakwah Nabi Muhammad (saw).
- Pembahasan ekspedisi pasukan kedelapan (ke-8) pimpinan Hadhrat Thuraifah ibn Hajiz (ra). Biodata mengenai beliau. Peranan dan tugas beliau di masa Khalifah Abu Bakr (ra).
- Munculnya komandan gadungan yang mengaku utusan Khalifah Abu Bakr (ra) lalu menimbulkan kekacauan berupa perampokan dan pembunuhan bertentangan dengan misi utama semula. Hukuman bakar terhadapnya sebagai qishash atas perbuatannya yang serupa terhadap kaum Muslim.
- Pembahasan ekspedisi pasukan kesembilan (ke-9) pimpinan Hadhrat al-‘Alaa ibn al-Hadhrami (ra). Biodata mengenai beliau. Peranan dan tugas beliau. Riwayat keislaman beliau di masa hidup Nabi Muhammad (saw). Tugas beliau sebagai kurir (pembawa surat) Nabi Muhammad (saw) dan utusan beliau (saw) kepada Raja Bahrain, Mundzir ibn Sawa, yang merupakan seorang vassal (raja bawahan) Iran saat itu. Nama wilayah Bahrain di masa Nabi (saw) dengan di masa kini lebih luas di masa dulu.
- Sajak-sajak Abdullah ibn Auf al-‘Abdi, tokoh kabilah ‘Abdul Qays yang Muslim meminta bantuan Khalifah karena tengah dikalahkan dan dikepung pasukan musuh dari kalangan murtadin yang dibantu pasukan Iran (Persia).
- Maraknya kemurtadan sesudah wafatnya Nabi (saw). Banyaknya bangsa Arab dan bukan Arab yang berusaha keras menghancurkan Madinah dengan dukungan dan bantuan Iran.
- Upaya Hadhrat al-Jaaruud (ra) membawa kembali kaumnya yang telah keluar dari Islam untuk masuk Islam kembali dengan dialog sederhana penuh kebenaran.
- Peristiwa mukjizat yang memungkinkan terjadi dalam perjalanan tugas ikhlas karena Allah yang dialami para Sahabat Nabi (saw). Mengalirnya sebuah sumber air sebagai buah doa Hadhrat al-‘Alaa (ra) dalam perjalanan yang kehabisan air.
- Pidato memotivasi dari Hadhrat al-‘Alaa (ra) kepada pasukannya.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 24 Juni 2022 (Ihsan 1401 Hijriyah Syamsiyah/Dzulqa’idah 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ- (آمين)
Pada khotbah yang lalu saya telah menyampaikan bahwa kisah mengenai orang-orang murtad atau munafik yang kaitannya dengan Yamamah, Musailamah Al-Kadzdzaab beserta komplotannya telah usai. Pembahasan mengenai orang-orang murtad yang mengangkat senjata di masa Hadhrat Abu Bakr (ra) masih terus berlanjut.
Sebelumnya masih menjelaskan tentang upaya-upaya penanggulangan berbagai pemberontakan di masa Hadhrat Abu Bakr Siddiq (ra). Mengenai ekspedisi ke-7 dalam mengatasi para pemberontak, secara rinci adalah sebagai berikut: ini merupakan ekspedisi Hadhrat Khalid bin Sa’id bin al-’Ash yang dikirim untuk menghadapi orang-orang yang murtad dan para pemberontak. Hadhrat Abu Bakr (ra) menyerahkan bendera kepada Hadhrat Khalid bin Sa’id bin al-’Ash dan mengutus beliau menuju wilayah perbatasan Syam yaitu Hamqatain (حَمْقَتَیْن).[1]
Terkait pribadi Hadhrat Khalid bin Sa’id bin al-’Ash (خَالِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ بْنِ أُمَيَّةَ بْنِ عَبْدِ شَمْسٍ), nama beliau adalah Khalid dan sebutan beliau adalah Abu Sa’id. Ayahanda beliau bernama Sa’id bin al-’Ash bin Umayyah dan ibunda beliau bernama Lubainah binti Habab, yang masyhur dengan sebutan Ummu Khalid.[2]
Hadhrat Khalid termasuk diantara yang sangat awal memeluk Islam. Ada beberapa yang meriwayatkan bahwa beliau memeluk Islam setelah Hadhrat Abu Bakr (ra) sehingga beliau adalah orang Muslim ketiga atau keempat. Ada juga yang menyampaikan bahwa beliau adalah orang Muslim yang kelima, dan sebelum beliau hanya ada Hadhrat Ali bin Abi Ta’lib, Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Zaid bin Haritsah, dan Hadhrat Sa’ad bin Abi Waqqas yang telah menerima Islam.
Peristiwa masuk Islamnya Hadhrat Khalid bin Sa’id bin al-’Ash (ra) adalah sebagai berikut: Hadhrat Khalid bermimpi bahwa beliau tengah berdiri di sisi api, dan ayahnya tengah berusaha untuk memasukkannya ke dalam api. Lalu beliau melihat Rasulullah (saw) tengah menahan punggung beliau agar jangan sampai sampai beliau jatuh ke dalam api.
Hadhrat Khalid yang melihatnya terkejut dan terjaga lalu berkata, “Demi Allah, mimpi ini adalah benar.” Beliau lalu berjumpa Hadhrat Abu Bakr dan menceritakan mimpinya ini kepada Hadhrat Abu Bakr. Hadhrat Abu Bakr berkata, “Suatu kebaikan telah dikehendaki untuk Anda. Allah Ta’ala berkehendak untuk menyelamatkan Anda. Ikutilah orang ini yakni Muhammad Rasulullah (saw); Karena tatkala Anda menerima Islam dan mengikutinya, maka ia akan menyelamatkanmu dari jatuh ke dalam api, sementara Ayahmu adalah yang akan masuk ke dalam api itu.
Maka dari itu Hadhrat Khalid pun hadir ke hadapan Rasulullah (saw). Beliau (saw) saat itu berada di tempat bernama Ajyad di Makkah. Ajyad adalah nama sebuah tempat yang menyatu dengan bukit Safa, tempat Rasulullah (saw) dahulu menggembalakan kambing.
Hadhrat Khalid menyampaikan kepada Rasulullah (saw), يَا مُحَمَّدُ إِلَى مَا تَدْعُو؟ “Wahai Muhammad (saw), kemanakah Anda menyeru?”
Beliau (saw) bersabda, أَدْعُو إِلَى اللَّهِ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَخَلْعَ مَا أَنْتَ عَلَيْهِ مِنْ عِبَادَةِ حَجَرٍ لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يَضُرُّ وَلا يَنْفَعُ وَلا يَدْرِي مَنْ عَبَدَهُ مِمَّنْ لَمْ يَعْبُدْهُ “Aku menyeru kepada Tuhan yang Maha Esa, dan tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad (saw) adalah hamba dan rasul-Nya. Anda tinggalkanlah menyembah batu-batu itu, yang tidak mendengar dan tidak melihat; yang tidak dapat memberi kerugian dan juga faedah, dan ia tidak mengetahui siapa yang sedang dan tidak memujanya.”
Mendengar ulasan ini, Hadhrat Khalid berkata, فَإِنِّي أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ “Aku bersaksi bahwa tidak ada yang layak disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa engkau adalah Rasul Allah.”
Rasulullah (saw) sangat gembira dengan masuk Islamnya Hadhrat Khalid. Setelah memeluk Islam, Hadhrat Khalid pun bersembunyi.[3]
Ketika ayahnya mengetahui Hadhrat Khalid telah masuk Islam, maka ia mengutus putranya yang lain yang bukan Muslim untuk mencari Hadhrat Khalid. Kemudian mereka mencari dan menemukan beliau lalu membawa ke ayahnya. Ayahnya lalu mencaci Hadhrat Khalid dan mulai memukuli beliau dengan tongkat yang ada di tangannya hingga ia secara terus-menerus memukul kepala beliau sampai tongkatnya patah dan berkata, “kamu telah mengikuti Muhammad (saw), padahal kamu melihat bagaimana permusuhan kaumnya terhadapnya, bagaimana ia memburuk burukkan sembahan mereka, serta keburukan-keburukan leluhur mereka”.
Hadhrat Khalid menjawab, “Demi Allah, saya telah mengikuti Rasulullah (saw)”.
Atas hal ini, ayahnya sangat marah dan berkata kepada beliau, “Hai bodoh! Menjauhlah dari pandanganku dan pergilah kemana pun kau suka. Kamu tidak dapat lagi makan di sini”.
Atas hal ini Hadhrat Khalid berkata, “Jika Ayah tidak mengizinkan saya makan di sini maka Allah akan menganugerahkan saya rizki agar saya tetap hidup”. Alhasil, ayahnya mengusirnya dari rumah dan berkata kepada putra-putranya agar tidak ada yang satu pun yang berbicara dengannya. Maka dari itu Hadhrat Khalid pun keluar dari sana lalu beliau mulai tinggal bersama Rasulullah (saw).[4]
Biasanya beliau mengasingkan diri dari ayahnya dan tinggal di daerah sekitar Makkah agar jangan sampai beliau kembali tertangkap dan mengalami penganiayaan. Ayah Hadhrat Khalid sangat berlaku aniaya kepada kaum Muslim dan termasuk di antara para pemuka Makkah.
Suatu saat ia jatuh sakit, dan dalam sakit yang keras itu ia berkata, “Jika Allah menyembuhkanku dari penyakit ini (apakah ia memang menyebut Allah atau nama sembahannya). Jadi ia berkata, Jika saya sembuh dari penyakit ini, maka tidak akan ada lagi penyembahan terhadap Tuhan Ibnu Abi Kabsyah yakni Muhammad (saw) di Makkah. saya akan sedemikian rupa bertindak keras dan akan mengeluarkan segenap umat Muslim dari Makkah. Tatkala Hadhrat Khalid mengetahuinya, maka beliau berdoa, “Ya Allah, saya memanjatkan doa yang bertentangan dengan Ayah saya yaitu janganlah Engkau sembuhkan ia”. Alhasil, ia pun meninggal dalam penyakitnya itu.[5]
Tatkala kaum Muslim melakukan Hijrah kedua ke Habsyah, saat itu Hadhrat Khalid pun ikut pergi bersama mereka. Istrinya, yaitu Umaimah binti Khalid Khuzaiah pun ikut bersamanya. Salah satu saudara Hadhrat Khalid, yaitu Hadhrat Amru bin Sa’id pun ikut Hijrah bersamanya.
Di masa Perang Khaibar, Hadhrat Khalid kembali dari Habsyah dan hadir di hadapan Rasulullah (saw) bersama Hadhrat Ja’far bin Abi Talib. Beliau tidak ikut di dalam Perang Khaibar, tetapi Rasulullah (saw) pun memberikan bagian harta ganimah untuknya. Setelah itu, beliau terus ikut bersama Rasulullah (saw) di ‘Umratul Qadha, Fatah Makkah, Perang Hunain, Taif, dan Tabuk.[6]
Beliau tidak ikut di dalam Perang Badr yang mana hal ini selalu beliau sesali. Beliau bertanya kepada Rasulullah (saw), “Wahai Rasulullah, kami tidak sanggup ikut di Perang Badr bersama engkau.”
Rasulullah (saw) bersabda, “Apakah Anda tidak suka bahwa orang lain mengalami satu kali Hijrah, sementara Anda mengalami dua kali Hijrah?”[7]
Hadhrat Khalifatul Masih Tsani di dalam buku Pengantar Mempelajari Al-Quran terkait nama-nama para penulis wahyu, di dalamnya pun terdapat nama Hadhrat Khalid bin Sa’id bin As.[8]
Rasulullah (saw) mengangkat Hadhrat Khalid bin Sa’id sebagai Pejabat untuk mengumpulkan pengorbanan sedekah di Yaman. Beliau memegang amanat ini hingga kewafatan Nabi Karim (saw). Setelah kewafatan Rasulullah (saw) beliau datang ke Madinah, lalu Hadhrat Abu Bakr bersabda kepadanya, “Mengapa Anda kembali kemari?”
Beliau menjawab, “Saya tidak mau bekerja untuk siapapun sepeninggal Rasulullah (saw).”
Dikatakan bahwa saat itu beliau menunda berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), tetapi tatkala Banu Hasyim [keluarga besar Nabi dari pihak ayah] baiat kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), Hadhrat Khalid pun berbaiat kepada Hadhrat Abu Bakr. Setelah itu, Hadhrat Abu Bakr di berbagai kesempatan mengangkat dan mengutus beliau sebagai Amir pasukan Islam.
Hadhrat Khalid disyahidkan di masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr di perang Marjus Safar. Beberapa riwayat menjelaskan bahwa perang Marjus Safar terjadi pada tahun 14 Hijriyyah yaitu di masa awal kekhalifahan Hadhrat Umar. Diriwayatkan bahwa Hadhrat Khalid telah disyahidkan di Perang Ajnadin di negeri Syam, yaitu 24 hari sebelum kewafatan Hadhrat Abu Bakr.[9]
Di dalam Kitab sejarah Tarikh ath-Tabari, rincian mengenai ekspedisi-ekspedisi Hadhrat Khalid melawan golongan murtad adalah sebagai berikut, “Tatkala Hadhrat Abu Bakr telah bersiap dan telah membagikan tugas kepemimpinan pasukan untuk menanggulangi orang-orang murtad, salah satu diantara mereka yang terpilih adalah Hadhrat Khalid bin Sa’id.
Hadhrat Umar melarang Hadhrat Abu Bakr untuk mengangkatnya sebagai Pemimpin dan berkata, ‘Janganlah Anda sekalipun menugaskannya.’
Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, ‘Tidak, saya menolak pendapat Hadhrat Umar. Hadhrat Khalid telah diangkat sebagai pasukan bantuan di Tayma.’ Tayma pun adalah satu kota masyhur di antara Syam dan Madinah. Alhasil tatkala Hadhrat Abu Bakr memerintahkan Hadhrat Khalid bin Sa’id untuk pergi ke Tema, beliau bersabda, ‘Janganlah sekali-kali menyingkir dari tempatmu, dan undanglah orang-orang yang ada di sekitarmu untuk berjumpa denganmu. Terimalah hanya mereka yang tidak murtad, dan janganlah berperang dengan siapapun, kecuali mereka yang datang menyerangmu, hingga tiba perintah-perintah saya selanjutnya. Hadhrat Khalid lalu bermukim di Tema, dan beliau berjumpa dengan banyak sekali kelompok-kelompok di sana.’
Berita tentang kehebatan pasukan Muslim pun tiba hingga ke telinga Romawi. Mereka lalu mencari pasukan dari antara bangsa Arab yang masih ada di bawah pengaruh mereka untuk pertempuran di Syam. Hadhrat Khalid lalu menyampaikan kepada Hadhrat Abu Bakr tentang persiapan-persiapan kaum Romawi dan kedatangan kabilah-kabilah Arab.
Hadhrat Abu Bakr menjawab, ‘Anda bergeraklah maju. Jangalah gentar sedikit pun dan carilah pertolongan dari Allah.’
Mendapat jawaban ini, Hadhrat Khalid segera bergerak saat itu juga ke arah musuh. Tatkala jarak mereka sudah dekat, timbul ketakutan sedemikian rupa di dalam pasukan musuh dimana mereka meninggalkan barisan mereka dan pergi kesana-kemari melarikan diri. Hadhrat Khalid lalu menguasai kedudukan musuh. Sebagian besar orang yang berkumpul di dekat Hadhrat Khalid kemudian menjadi Muslim. Hadhrat Khalid lalu menyampaikan berita keberhasilan ini kepada Hadhrat Abu Bakr. Hadhrat Abu Bakr menulis, “Anda bergeraklah maju, tetapi janganlah terlalu jauh maju supaya musuh tidak mendapat kesempatan untuk menyerang Anda dari belakang.”[10]
Di dalam Kutub-i-Tarikh (buku-buku sejarah), hanya ini yang tertera perihal peran Hadhrat Khalid bin Sa’id dalam menanggulangi golongan murtad di masa Hadhrat Abu Bakr. Adapun tentang peristiwa-peristiwa kemenangan di Syam di era Hadhrat Abu Bakr akan dijelaskan di kesempatan selanjutnya.
Ekspedisi kedelapan adalah pertempuran dibawah Hadhrat Thuraifah bin Hajiz (طريفة بن حاجز) untuk menghadapi kelompok murtad dan pemberontak. Hadhrat Abu Bakr menyerahkan satu bendera kepada Hadhrat Thuraifah bin Hajiz dan memerintahkan kepadanya untuk menghadapi Banu Sulaim dan Banu Hawazin.[11] Di dalam satu riwayat tertera bahwa Hadhrat Abu Bakr mengutus Ma’n bin Hajiz untuk menghadapi Kabilah Banu Sulaim dan Banu Hawazin. Meski demikian, Allamah Ibni Abdul Bar di dalam bukunya Al-Isti’ab menulis ayah Hadhrat Thuraifah dan Ma’n dengan nama Hajiz dengan huruf za. Allamah Ibnu Atsir di dalam Usdul Gabah menulisnya dengan nama Hajir dengan huruf ra.[12]
Setelah Hadhrat Abu Bakr terpilih sebagai khalifah, beliau mengangkat Hadhrat Thuraifah bin Hajiz sebagai wali bagi orang-orang Arab Banu Sulaim yang teguh dalam keislamannya. Beliau adalah sosok pengkhidmat yang mukhlis dan bergelora. Beliau menyampaikan pidato-pidato yang sedemikian memberi pengaruh sehingga banyak orang Arab Banu Sulaim yang datang menemui beliau.[13]
Di dalam satu riwayat tertera bahwa Hadhrat Abdullah bin Abu Bakr menyampaikan tentang keadaan Banu Sulaim sebagai berikut,”Setelah kewafatan Nabi yang mulia (saw), beberapa orang diantara mereka pun menjadi murtad dan kembali kepada kekafiran, namun sebagian dari mereka ada yang tetap teguh di dalam Islam bersama Amir kabilah mereka yakni Ma’n bin Hajiz (atau menurut sebagian yang lain adalah saudara Ma’n yakni Thuraifah bin Hajiz). Tatkala Hadhrat Khalid bin Walid telah berangkat untuk menghadapi Tulaihah, Hadhrat Abu Bakr lantas menulis kepada Ma’n agar membawa siapa saja di antara Banu Sulaim yang tetap teguh di dalam Islam untuk bergerak bersama Hadhrat Khalid. Hadhrat Ma’n mengangkat saudara beliau, Hadhrat Thuraifah bin Hajiz sebagai penggantinya lalu bergerak keluar bersama Hadhrat Khalid.[14]
Terdapat juga satu riwayat dari Hadhrat Abdullah bin Abu Bakr bahwa ada seseorang dari Banu Sulaim yang menghadap Hadhrat Abu Bakr. Orang itu bernama Iyas bin Abdullah dan disebut Fajaa-ah (الفجاءة وهو إياس بن عبد الله). Kata Fajaa-ah mengandung arti tiba-tiba, karena orang ini kerap menyerang para musafir dan desa-desa secara tiba-tiba lalu merampas harta mereka. Oleh karena itulah ia mendapat sebutan Fajaa-ah. Alhasil, ia menghadap Hadhrat Abu Bakr dan berkata, “Saya adalah Muslim dan saya ingin berjihad untuk melawan orang-orang yang kafir dan mereka yang telah murtad. Mohon Anda memberi tunggangan kepada saya dan tolonglah saya.”
Hadhrat Abu Bakr lalu memberi tunggangan dan senjata kepadanya. Di dalam tempat lain tertera rincian bahwa Hadhrat Abu Bakr telah memberinya 2 kuda. Menurut riwayat lainnya, beliau telah memberinya 30 unta dan 30 persenjataan untuk tentara dan menyerahkan 10 prajurit Muslim bersenjata untuknya. Orang ini lalu keluar dari sana dan merampas harta benda siapa saja baik orang Muslim atau murtad yang ada di hadapannya. Bagi yang menolaknya maka ia membunuhnya. Inilah yang ia lakukan kepada setiap orang. Ia pun membunuh dan mensyahidkan orang-orang Muslim. Ada seorang dari Banu Syarid (بني الشريد) bersamanya yang bernama Najabah bin Abu Maitsa (نجبة بن أبي الميثاء).
Di dalam satu riwayat tertera bahwa Fajaa-ah pergi menuju kabilahnya. Di perjalanan, ia membawa orang-orang Arab murtad untuk bersamanya. Tatkala jumlah kelompoknya telah menjadi banyak, hal pertama yang dilakukannya ialah membunuh teman-teman Muslimnya dan merampas segenap hartanya. Lalu ia mulai mengalirkan darahnya. Satu demi satu kabilah ia serbu. Pada satu waktu ada sekelompok kafilah Muslim yang tengah pergi ke Madinah. Ia merampas mereka dan membunuhnya. Pertama ia merampasnya lalu mensyahidkannya.
Hadhrat Abu Bakr pun mengetahui hal ini, lalu beliau menulis kepada Hadhrat Thuraifah bin Hajiz (sebagian menuturkan bahwa Hadhrat Abu Bakr sebenarnya mengirimkan perintah ini kepada Ma’n, karena ia telah memberangkatkan saudaranya yakni Thuraifah). Alhasil, Hadhrat Abu Bakr menulis: أن عدو الله الفجاءة أتاني يزعم أنه مسلم ويسألني أن أقوِّيه على من ارتدَّ عن الإسلام فحملتُه وسلَّحتُه ثم انتهى إلي من يقينِ الخبر أن عدو الله هذا قد استعرض الناس المسلم والمرتديأخذ أموالهم ويقتل من خالفه منهم. فسِرْ إليه بمن معك من المسلمين حتى تقتله أو تأخذه فتأتيني به “Musuh Tuhan, Fajaa-ah telah datang menemui saya dan ia berkata bahwa dirinya adalah Muslim. Ia meminta kepada saya untuk menyiapkan bala tentara untuk melawan orang-orang yang murtad dari Islam. Maka dari itu, saya memberi tunggangan dan persenjataan kepadanya. Kini saya telah yakin sepenuhnya bahwa musuh Allah ini mendatangi baik Muslim maupun murtad lalu ia kerap merampas harta mereka dan ia membunuh siapa saja yang melawannya. Maka dari itu, berangkatlah bersama segenap kaum Muslim yang ada bersamamu dan bunuhlah dia atau tangkap dan bawalah kepada saya.”
Di dalam satu riwayat tertera bahwa Hadhrat Abu Bakr pun memberangkatkan Hadhrat Abdullah bin Qais untuk membantu Hadhrat Thuraifah. Hadhrat Thuraifah bin Hajiz lalu pergi untuk melawannya. Tatkala kedua pasukan tersebut berhadapan, awal pertempuran hanyalah berupa serangan anak panah. Satu anak panah menghujam Najabah bin Abu Maitsa sehingga ia pun tewas. Fajaa-ah yang melihat keberanian dan keteguhan pasukan Muslim tersebut lantas berkata kepada Hadhrat Thuraifah, “Kamu tidaklah lebih berhak dari saya untuk tugas ini. Kamu hanyalah Amir yang telah diangkat oleh Hadhrat Abu Bakr dan saya pun adalah Amir yang telah diangkatnya”.
Dengan cara licik ini ia berupaya untuk menghentikan pertempuran. Hadhrat Thuraifah berkata kepadanya, “Jika kamu memang benar maka letakkanlah senjatamu karena Hadhrat Abu Bakr telah mengutus saya untuk menangkapmu. Letakkan senjatamu dan pergilah bersama saya menuju Hadhrat Abu Bakr. Di sanalah akan diputuskan apakah benar kamu Amir atau tidak.”
Alhasil, Fajaa-ah berangkat ke Madinah bersama Hadhrat Thuraifah. Tatkala keduanya ada di hadapan Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Abu Bakr lalu memerintahkan kepada Hadhrat Thuraifah untuk membawanya ke Baqi’ dan membakarnya. Ia diperlakukan demikian karena ini setara dengan perlakuannya dahulu secara terus-menerus kepada orang-orang Muslim. Hadhrat Thuraifah lalu membawanya ke sana dan membakarnya lalu menjatuhkannya.
Di dalam satu riwayat tertera bahwa Fajaa-ah melarikan diri di tengah pertempuran lalu Hadhrat Thuraifah mengejarnya dan menahannya. Beliau mengirimnya kepada Hadhrat Abu Bakr. Tatkala ia tiba di hadapan Hadhrat Abu Bakr, beliau lalu menyiapkan satu api unggun besar di Madinah lalu mengikat kaki tangannya dan melemparkanya ke dalamnya.[15]
Ekspedisi kesembilan adalah dibawah Hadhrat al-‘Alaa-u bn al-Hadhrami (الْعَلاءُ بْنُ الْحَضْرَمِيِّ) untuk menghadapi kaum murtad dan pemberontak. Hadhrat Abu Bakr menyerahkan satu bendera kepada Hadhrat al-’Alaa ibn al-Hadhrami dan memerintahkannya untuk pergi menuju Bahrain.[16] Wilayah Bahrain terletak di antara Yamamah dan Teluk Persia. Di masa itu, daerah Qatar yang sekarang dan Uni Emirat Arab juga termasuk wilayah Bahrain. Bahrain yang dulu ini bukan negara Bahrain saat ini; dahulu [Bahrain] merupakan wilayah yang sangat luas. Ibukotanya adalah Darin. Di masa Rasulullah (saw), daerah ini dipimpin oleh Mundzir bin Sawa yang kemudian memeluk Islam. Di masa kini daerah diantara wilayah Saudi Arabia dengan Bahrain disebut dengan nama[provinsi atau governorate] Al-’Ahsa (اَلْاَحْسَاء).[17]
Mengenai Hadhrat al-’Alaa ibn al-Hadhrami, nama beliau adalah al-‘Alaa. Nama ayah beliau adalah Abdullah (واسم الْحَضْرَمِيّ عَبْد الله بْن ضماد بْن سلمى بْن أكبر من حضرموت من اليمن). Beliau berasal dari Hadramaut di daerah Yaman.
Beliau memeluk Islam di masa awal dakwah Islam. Salah satu saudara Hadhrat al-’Alaa ibn al-Hadhrami yaitu Amru bin Al-Hadhrami adalah orang musyrik pertama yang telah terbunuh di tangan seorang Muslim dan hartanya menjadi harta khumus pertama yang diterima Islam. Diantara sebab-sebab mendasar terjadinya Perang Badr pun tertera bahwa salah satunya adalah disebabkan ia telah terbunuh.[18] Salah seorang saudara Hadhrat al-’Alaa ibn al-Hadhrami yakni Amir bin Al-Hadhrami telah terbunuh di hari perang Badr dalam keadaan kafir.
Tatkala Rasulullah (saw) mengirimkan surat-surat pertabligan kepada raja-raja, saat itu yang diamanatkan untuk menyampaikan surat kepada Munzir bin Sawa yang seorang Pemimpin Bahrain adalah Hadhrat al-’Alaa ibn al-Hadhrami. Selanjutnya Rasulullah (saw) mengangkat beliau sebagai pejabat Amil di Bahrain. Ketika Hadhrat al-’Alaa ibn al-Hadhrami menyerahkan pesan dakwah Islam kepada beliau, maka Munzir bin Sawa pun lantas menerima Islam.
Tatkala Munzir menerima ajakan [memeluk] Islam, jawaban yang diberikannya saat itu adalah, “Saya telah merenungi dengan seksama akan hal ini. Adapun yang kini ada di tangan saya, saya melihatnya adalah untuk dunia, bukan untuk akhirat. Artinya, apa saja yang saat ini ada di tangan saya hanyalah hal keduniaan dan saya tidak mempersiapkan apapun untuk akhirat. Lalu saat saya telah merenungkan dengan seksama ajaran agama Anda, maka saya melihatnya sangat bermanfaat baik untuk dunia dan juga akhirat. Maka dari itu kini tiada hal apapun yang dapat menghalangi saya untuk menerima agama ini. Saya telah meyakini kebenaran Islam. Di dalam agama ini terletak harapan akan kehidupan, serta ketenangan akan kematian.”
Ia menuturkan, “Kemarin saya takjub dengan orang-orang yang telah menerima Islam, dan saat ini saya heran terhadap mereka yang menolak Islam. Saya telah mengetahui keindahan ajaran ini, sehingga kini kecenderungan saya pun menjadi berubah.”
Ia menuturkan, “Sesuai dengan kemuliaan syariat yang dibawa oleh beliau (saw), maka hendaknya beliau (saw) diagungkan dan dimuliakan. Hadhrat ‘Ala terus mengemban amanat sebagai Amil di Bahrain hingga kewafatan Rasulullah (saw). kemudian di masa kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr pun beliau terus mengemban amanat ini; Hadhrat Umar di masa kekhalifahannya, tetap mengangkat beliau untuk tugas ini, hingga tiba kewafatan beliau di masa kekhalifahan Hadhrat Umar.[19]
Menurut kitab sejarah ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad, suatu waktu ketika penduduk Bahrain mengadukan Hadhrat al-’Alaa ibn al-Hadhrami ke hadapan Rasulullah (saw) sehingga saat itu Rasulullah (saw) memakzulkannya dan mengangkat Hadhrat Aban bin Sa’id bin al-’Ash (أَبَانُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ) sebagai Wali [pemimpin atau kepala daerah] di sana.[20]
Dan paska kewafatan Rasulullah ketika kemurtadan dan pemberontakan merebak di sana, Hadhrat Aban kembali ke Madinah dan meninggalkan jabatan tersebut. Ketika Hadhrat Abu Bakr ingin mengutus beliau lagi ke Bahrain, beliau meminta maaf dengan mengatakan, “Sepeninggal Rasulullah sekarang saya tidak akan menjadi amil bagi siapapun.” Atas hal itu Hadhrat Abu Bakr mengutus Hadhrat al-’Alaa bin Al-Hadhrami kembali ke Bahrain sebagai Amil dan terus menjabat hingga wafat.
Hadhrat al-’Alaa dikenal dalam hal pengabulan doanya. Berkenaan dengan beliau terdapat beragam Riwayat. Hadhrat Abu Hurairah selalu menceritakan, “Saya sangat terkesan dengan keistimewaan-keistimewaan dan pengabulan doa beliau. Diriwayatkan dan selain dari banyak hal dikisahkan bahwa suatu hari kami berangkat ke Bahrain dari Madinah, di jalan kami kehabisan air. Hadhrat al-’Alaa berdoa kepada Allah lalu apa yang terjadi, air memancar dari bawah pasir lalu kami minum hingga puas.
Hadhrat Abu Hurairah meriwayatkan, “Suatu hari saya bersama al-’Alaa berangkat ke Basrah dari Bahrain diikuti oleh pasukan. Singkat kata ketika kami berada di Layas (لياس), Hadhrat al-’Alaa wafat.” Layas merupakan satu kampung yang terdapat di daerah Banu Tamim.
“Kami berada di suatu tempat tidak ada air lalu Allah Ta’ala menampakkan belahan awan kepada kami yang menurunkan hujan kepada kami. Kami memandikan jenazah beliau dengan air tersebut lalu menggali kuburan untuk beliau dengan pedang pedang kami. Kami tidak membuatkan lubang lahat untuk beliau. Setelah sekian lama kami kembali untuk membuat lahat namun kami tidak menemukan area kuburan beliau.”[21]
Berkenaan dengan kewafatan beliau pun ada beda beragam pendapat. Sebagian berpendapat bahwa beliau wafat pada tahun 14 Hijriyyah. Sebagian lagi menyatakan 21 Hijriyyah.[22]
Berkenaan dengan keadaan Bahrain diriwayatkan bahwa Bahrain berada di bawah pemerintahan Raja Hirah (الحيرة) [al-Hirah ialah tempat bertahta raja-raja keturunan Arab di wilayah Irak sekarang-editor]. Raja-raja Hirah berada di bawah kekuasaan para Kisra (raja Iran). Sebelum Islam, Hirah merupakan istana raja-raja Iraq.
Kota pesisir dan komersial Bahrain memiliki populasi campuran yang terdiri dari Persia (Iran), Kristen, Yahudi, dan juga Az-Zuth (الزُّطّ). Perdagangan Arab didominasi oleh bangsa Persia. Daerah-daerah tersebut dihuni juga oleh kelompok-kelompok pedagang yang datang dari Hindustan (India) dan Iran. Mereka menetap di daerah antara muara Sungai Efrat dan pantai Aden. Para pedagang tersebut menjalin hubungan pernikahan dengan penduduk setempat. Keturunan yang terlahir dari mereka disebut juga dengan nama Abna (الأبناء) [arti bahasa indonesianya ialah keturunan peranakan atau campuran].[23]
Di belakang kota-kota pesisir ada tiga suku besar dan banyak cabang mereka. Pertama, Bakr bin Wail, ‘Abdul Qays dan Rabiah. Banyak sekali keluarga mereka yang Kristen. Mereka memelihara kuda, kambing dan unta. Berkebun kurma merupakan profesi mereka yang khusus. Para kepala urusan suku-suku ini adalah para pemimpin lokal yang mendapat kepercayaan dari pemerintah. Diantaranya adalah Mundzir bin Sawa yang tinggal di daerah Hajar, Bahrain. Ia memerintah kabilah ‘Abdul Qays di sekitar Hajar.[24]
Ada dua perwakilan kabilah ‘Abdul Qays yang datang menemui Rasulullah (saw). Perwakilan pertama datang pada 5 Hijriyyah yang terdiri dari 13 atau 14 orang. Sedangkan perwakilan kabilah ‘Abdul Qays yang kedua pada ‘Amul Wufud [tahun terjadinya banyak kedatangan delegasi berbagai kaum ke Madinah] yakni 9 Hijriyyah datang ke hadapan Rasulullah (saw) yang diantaranya ialah Al-Jaaruud beserta 40 orang. Al-Jaaruud sebelumnya adalah seorang Nasrani lalu baiat masuk Islam setelah datang ke sana (Madinah).[25] Menurut satu pendapat, perwakilan tersebut telah menerima Islam sebelum datang menemui Rasulullah (saw).[26]
Orang-orang di Hajar yang beragama Parsi, Kristen dan Yahudi menyetujui untuk membayar jizyah dengan sukarela. Kampung-kampung dan kota-kota selebihnya di Bahrain tetap sebagai non Muslim. Namun, ketika mereka mendapatkan kesempatan waktu demi waktu melakukan pemberontakan.[27]
Segera setelah masuk Islamnya Mundzir bin Sawa, Rasulullah (saw) menetapkan beliau sebagai gubernur Bahrain. Setelah menerima Islam, ia pun mulai menyeru kaumnya kepada Islam dan Al-Jaaruud bin Mu’alla diberangkatkan untuk menemui Rasulullah (saw) guna mendapatkan tarbiyat ruhani. Setibanya di Madinah, Al-Jaaruud mendapatkan pengetahuan ajaran dan hukum hukum Islam dan setelah kembali kepada kaumnya, ia mulai melakukan tugas untuk menyampaikan tabligh Islam dan memperkenalkan ajaran Islam kepada orang-orang.
Setelah kewafatan Rasulullah (saw) yakni beberapa hari setelah 11 Hijriyyah, Mundzir wafat. Atas hal itu orang-orang Arab dan bukan Arab kesemuanya menyatakan pemberontakannya. Kabilah ‘Abdul Qays mengatakan, “Seandainya Muhammad (saw) adalah seorang Nabi, ia tidak akan pernah meninggal.” Selanjutnya, semuanya murtad.
Hadhrat Al-Jaaruud mendapatkan kabar tersebut. Hadhrat Al-Jaaruud merupakan orang terpandang dalam kaumnya. Ia telah pernah berada di Madinah untuk mendapatkan tarbiyat (pendidikan Islam) dan termasuk yang hijrah kepada Rasulullah (saw) dan juga seorang orator yang baik.[28] Hadhrat Al-Jaaruud mengumpulkan mereka semua yang murtad karena berpikiran kenapa Rasulullah wafat.
Ia berdiri untuk menyampaikan pidato dan berkata, يَا مَعْشَرَ عَبْدِ الْقَيْسِ، إِنِّي سَائِلُكُمْ عَنْ أَمْرٍ فَأَخْبِرُونِي بِهِ إِنْ عَلِمْتُمُوهُ وَلا تُجِيبُونِي إِنْ لَمْتَعْلَمُوا Wahai kelompok ‘Abdul Qays! Saya ingin menanyakan satu hal kepada kalian. Jika kalian mengetahuinya, beritahu saya namun jika kalian tidak tahu, tidak perlu memberitahukan.
Mereka menjawab, سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ Silahkan bertanya apa saja.
Hadhrat Al-Jaaruud berkata, تَعْلَمُونَ أَنَّهُ كَانَ للهِ أَنْبِيَاءٌ فِيمَا مَضَى؟ “Tahukah kalian pada zaman dahulu para nabi Allah datang ke dunia ini?”
Mereka menjawab, “Ya benar.”
Hadhrat Al-Jaaruud berkata: تَعْلَمُونَهُ أَوْتَرَوْنَهُ؟ “Kalian mengetahuinya atau kalian melihat mereka juga?”
Mereka menjawab: لا بَلْ نَعْلَمُهُ “Kami tidak melihatnya, hanya sebatas mengetahuinya.”
Hadhrat Al-Jaaruud berkata: فَمَا فَعَلُوا؟ “Lalu apa yang terjadi dengan mereka?”
Mereka menjawab: ماتوا “Mereka – yaitu para nabi itu – telah wafat!”
Hadhrat Al-Jaaruud berkata: فإن محمدا مَاتَ كَمَا مَاتُوا، وَأَنَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدا عبده ورسوله Demikian pula, Muhammad (saw) telah wafat, sebagaimana mereka semua telah wafat. Saya nyatakan Laa ilaaha illallaah wa anna muhammadan abduhuu wa rasuuluhuu. Yakni tidak ada yang patut di sembah, selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.
Setelah mendengar pidato dan soal jawab dengan Hadhrat Al-Jaaruud, mereka berkata: وَنَحْنُ نَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ سَيِّدُنَاوَأَفْضَلُنَا Kami pun bersaksi bahwa tidak ada sembahan hakiki selain Allah dan sesungguhnya Muhammad (saw) adalah hambaNya dan RasulNya. Kami mengakui engkau sebagai orang pemimpin kami dan orang terbaik terpilih diantara kami.” Seperti itulah mereka tetap teguh dalam Islam dan wabah kemurtadan tidak sampai kepada mereka. [29]
Namun, selebihnya, bangsa Arab dan ‘Ajam (non Arab) berjuang keras untuk menghabisi kekuatan Madinah. Pemerintahan Iran memberikan dukungan kepada mereka dan menyerahkan komando pemberontakan kepada seorang pemimpin besar Arab.
Setelah melihat awan kelam pemberontakan di Hajar, perwakilan Rasulullah (saw), Aban bin Said bin al-’Ash berangkat ke Madinah.[30]
Meskipun pada penampakan lahirnya sebagian orang dari antara Banu ‘Abdul Qays telah menerima Islam, namun kabilah Bahrain lainnya tetap bersikeras pada keadaan murtad di bawah kepemimpinan Hutham bin Zabi’ah (حطم بن زبيعه). Mereka memindahkan lagi kerajaan ke keluarga Mundzir dan menetapkan Mundzir bin Numan bin Mundzir (المنذر بن النعمان) sebagai raja mereka.
Di dalam satu riwayat dikatakan bahwa ketika mereka berencana untuk mengangkat Mundzir bin Numan sebagai raja mereka, para tokoh dan para pemuka mereka datang menemui Kisra raja Iran. Mereka meminta izin untuk dapat bertatap muka dengan raja Kisra dan raja mengizinkannya. Mereka hadir kehadapan raja dengan menyampaikan kebesaran dan keistimewaan raja-raja.
Kisra berkata, مَا الَّذِي أَقْدَمَكُمْ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ “Wahai orang Arab, apa yang telah membuat kalian datang kemari?”
Mereka menjawab, أَيُّهَا الْمَلِكُ، إِنَّهُ قَدْ مَضَى ذَلِكَ الرَّجُلُ مِنَ الْعَرَبِ الَّذِي كَانَتْ قُرَيْشٌ وَسَائِرُ مُضَرَ يَعْتَزُّونَ بِهِ يَعْنُونَ بِذَلِكَ رسول الله وَقَدْ قَامَ بَعْدَهُ خَلِيفَةٌ لَهُ ضَعِيفُ البدن ضَعِيفُ الرَّأْيِ “Wahai Raja! Orang yang diyakini mulia oleh kaum Quraisy dan Mudhar telah wafat.” (Yang dimaksud oleh mereka adalah Rasulullah (saw)). “Sebagai penggantinya telah terpilih seseorang yang memiliki fisik dan gagasan yang lemah.” (Mereka mengatakan itu perihal Hadhrat Abu Bakr) وَقَدِ انْصَرَفَ عَامِلُهُ إِلَى أَصْحَابِهِ، وَبِلادُ الْبَحْرَيْنِ الْيَوْمَ ضَائِعَةٌ لَيْسَ بِهَا أَحَدٌ مِمَّنْ هُوَ عَلَى دِينِ الإِسْلامِ، إِلا شِرْذِمَةٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ، وَلَيْسَ هُمْ عِنْدَنَا بِشَيْءٍ، وَنَحْنُ أَكْثَرُ مِنْهُمْ خَيْلا وَرَجْلا، وَلَوْ بَعَثْتَ إِلَى الْبَحْرَيْنِ رَجُلا يَأْخُذُهَا، لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ يُمَانِعُهُ عَلَيْهَا “…dan para Amil (pejabat perwakilan)nya telah kembali ke rekan-rekan mereka untuk mendapatkan bimbingan. Hari ini daerah Bahrain telah lepas dari genggaman tangan mereka kecuali satu kelompok kecil ‘Abdul Qays. Saat ini tidak ada yang bertahan dalam Islam. Menurut kami, mereka tidak memiliki tempat di mata kita. Mayoritas berpihak pada kita dari sisi kendaraan dan infanteri. Mohon Anda kirimkan seseorang yang jika dia ingin menduduki Bahrain, tidak ada yang bisa menghentikannya.”
Kisra berkata kepadanya, “Siapa yang Anda sukai untuk saya kirim ke Bahrain bersama kalian?”
Mereka menjawab: Siapapun yang raja kehendaki.
Kisra berkata, “Apa pendapat kalian tentang Mundzir bin Nu’man bin Mundzir?”
Mereka berkata, “Ya, Raja, kami menyukainya dan kami tidak menginginkan selainnya.”
Kemudian Kisra memanggil Mundzir bin Nu’man. Mundzir adalah seorang pemuda yang baru saja tumbuh janggutnya. Raja memberikannya jubah dan mengenakannya mahkota serta memberinya seratus penunggang kuda dan tujuh ribu infanteri dan kavaleri lainnya. Dia memerintahkannya untuk pergi ke Bahrain dengan suku Bakr ibn Wa’il (بَكْرِ بْنِ وَائِلٍ). Bersamanya ada Abu Dhubay’ah al-Hutham bin Zayd (أَبُو ضُبَيْعَةَ الْحُطَمُ بْنُ زَيْدٍ), Namanya Sharih bin Dhubay’ah (شريح بن ضبيعة). Dia dari Banu Qais bin Tsa’labah (بني قيس بن ثعلبة) dan julukannya adalah al-Hutham. Dia masuk Islam dan kemudian murtad. Begitu pula Dhabyan ibn ‘Amru (ظَبْيَانُ بْنُ عَمْرٍو) dan Musma’ ibn Malik (مُسْمِعُ بْنُ مَالِكٍ).[31] Hal pertama yang mereka lakukan ialah mencoba untuk menjauhkan Al-Jaaruud dan suku ‘Abdul Qays dari Islam tetapi gagal. Karena hal ini, al-Hutham bin Zabi’ah ingin menaklukkan mereka dengan paksa. Dia bersama-sama para pedagang asing yang berbasis di Qatif dan Hajar dan mereka yang tidak masuk Islam menyerang mereka (umat Islam di sana). [32]
Orang-orang dari suku ‘Abdul Qays berkumpul di dekat pemimpin mereka, Hadhrat Al-Jaaruud ibn Mu’alla al-‘Abdi (الْجَارُودُ بْنُ الْمُعَلَّى الْعَبْدِيُّ) dalam jumlah empat ribu dengan sekutu dan budak mereka, sedangkan suku Bakr ibn Wa’il mendekati mereka dengan sembilan ribu orang Iran dan tiga ribu orang Arab. Kemudian pertempuran sengit pecah antara kedua belah pihak dan suku Bakr bin Wael menderita kerugian besar. Banyak dari mereka dan banyak orang Iran terbunuh. Kemudian mereka berjuang keras untuk kedua kalinya. Kali ini ‘Abdul Qays menderita kerugian besar. Dengan begitu, mereka terus membalas dendam satu sama lain dan perang di antara mereka berlanjut selama beberapa hari sampai banyak orang terbunuh dan orang-orang dari suku ‘Abdul Qays mengajukan perdamaian kepada Bakr bin Wail.
Pada saat itu, kalangan ‘Abdul Qays menyadari tidak lagi memiliki kekuatan apa pun untuk menghadapi Bakr ibn Wa’il sehingga mereka dikalahkan dan terkepung di bentengnya yang disebut Juwaatsa di tanah Hajar, yang juga merupakan pemukiman Bahrain di mana Sholat Jum’at dilakukan setelah di Masjid Nabawi. Oleh karena itu, terdapat riwayat dalam Shahih al-Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, إِنَّ أَوَّلَ جُمُعَةٍ جُمِّعَتْ بَعْدَ جُمُعَةٍ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللهِ فِي مَسْجِدِ عَبْدِ الْقَيْسِ بِجُوَاثَي مِن الْبَحْرَيْنِ inna awwala Jumu’atin jummu’at ba’da Jumu’atin fii masjidi Rasulillah (saw) fi masjidi Abdil Qays bi Juwaatsa minal Bahrain – “Jumat pertama yang dilakukan setelah dilakukan di masjid Nabi (saw) ialah yang dilakukan di masjid suku Abdul Qays di pemukiman Juwaatsa di Bahrain.”
Banu Bakr ibn Wa’il disertai orang-orang Irannya melakukan agresi (penyerangan terhadap kaum Muslim kabilah ‘‘Abdul Qays) dan mencapai benteng mereka dan mengepung mereka lalu menahan suplai makanan dari mereka.
Abdullah ibn Auf al-‘Abdi (عَبْدُ اللهِ بْنُ عَوْفٍ الْعَبْدِيُّ) atau ada juga yang menyebut Abdullah ibn Hadzf (عبد الله بن حذف), seorang pria dari Banu Bakr ibn Qalab, berbicara kepada Abu Bakr dan orang-orang Madinah pada kesempatan itu dan membacakan beberapa syair di mana dia mengungkapkan ketidakberdayaan, semangat dan kesabarannya.
[وَفِتْيَانَ الْمَدِينَةِ أَجْمَعِينَا — أَلا أَبْلِغْ أَبَا بَكْرٍ رَسُولا]
Alaa abligh Abaa Bakrin rasuulaa – wa fityaanal Madinati ajma’iina
[جِيَاعًا فِي جَوَاثِيَ مُحْصَرِينَا — فَهَلْ لِي فِي شَبَابٍ مِنْكَ أَمْسَوْا]
Fa-hal lii fii syabaabin minka amsau – jiyaa’an fii Jawatsiya muhshariina
[شُعَاعُ الشَّمْسِ یَغْشَی النَّاظِرِیْنَا — کَاَنَّ دِمَاؤَھُمْ فِیْ کُلِّ فَجٍّ]
Ka-anna dimaa-uhum fi kulli fajjin – syu’aa’usy syamsi yaghsyan naazhiriinaa
[وَشَيْبَانَ وقيس ظَالِمِينَا — تُحَاصِرُهُمْ بَنُو ذُهْلٍ وَعِجْلٍ]
Tuhaasiruhum banu dzuhlin wa ‘ijlin – syaibaana wa qais zhaalimiinaa
[لِیَسْتَلِبَ الْعَقَائِلَ وَالْبَنِیْنَا — يَقُودُهُمُ الْغَرُورُ بغير حقّ]
Yaquuduhumul gharuuru bi-ghairi haqqin – liyastalibal ‘aqaa-ila wal baniina
[أَكُفُّهُمُ بِمَا فِيهِ بُلِينَا — فَلَمَّا اشْتَدَّ حَصْرُهُمُ وَطَالَتْ]
Falamma isytadda hashruhum wa thaalat – akuffuhumu bimaa fiihi buliina
[وَجَدْنَا الْفَضْلَ لِلْمُتَوَكِّلِينَا — تَوَكَّلْنَا عَلَى الرَّحْمَنِ إِنَّا]
Tawakkalnaa ‘alar Rahmaani innaa – wajadnal fadhla lil-muttakiliinaa
[وبالإسلام دينا قد رضينا — وقلنا قد رضينا الله ربّا]
Wa qulnaa qad radhiinaLlaha rabban – wa bil islaami diinan qad radhiinaa
[وَقَدْ سَفِهَتْ حُلُومُ بَنِي أَبِينَا — وَقُلْنَا وَالأُمُورُ لَهَا قَرَارٌ]
Wa qulnaa wal umuuru lahaa qaraarun – wa qad safihat huluumu bani abiinaa
[تَكُونُوا أَوْ نَكُونَ الذَّاهِبِينَا — نُقَاتِلُكُمْ عَلَى الإِسْلامِ حَتَّى]
Nuqaatiluukum ‘alal islaami hattaa – takuunuu au nakuunudz dzaahibiina
[يَقُدُّ الْبِيضَ وَالزُّرْدَ الدَّفِينَا — بِكُلِّ مُهَنَّدٍ عَضْبٍ حُسَامٍ]
Bi-kulli muhannidin ‘adhbin husaamin – yaquddul biidha waz zardad dafiinaa
Karena nazm (sajak atau puisinya) panjang, terjemahannya adalah sebagai berikut,
“Para pendengar! Sampaikanlah pesan pada Abu Bakr dan seluruh pemuda Madinah!
Akankah mengenai para pemuda pelawat malam di Juwatsa dalam lapar dan terkepung dapatkan bantuan dari Anda?
Di setiap jalan, darah mereka tertumpah banyaknya bak sinar matahari menyilaukan hingga buta bagi pelihatnya.
Mereka dikepung dan ditindas suku Banu Dzihl, ‘Ijl, Syaiban dan Qais.
Seorang arogan secara tanpa hak memimpin mereka – nama asli orang sombong itu adalah Mundzir bin Nu’man bin Mundzir – …agar dia secara zalim mengambil istri dan anak-anak kami.
Ketika pengepungan oleh mereka begitu parah dan lama, mereka kalahkan kami dan akibatnya kami diuji.
Kami menaruh kepercayaan pada Yang Maha Pemurah, karena kami telah saksikan orang-orang yang menaruh kepercayaan pada rahmat-Nya.
Kami katakan, ‘Kami ridha Allah Tuhan kami dan kami ridha Islam adalah agama kami. Kami yakin keadaan akan lebih baik, namun anak keturunan kakek moyang kami telah kehilangan akal. Kami akan terus memerangi kalian sambil tetap berpegang pada Islam sampai kalian atau kami yang terbunuh. Kami akan bertarung dengan setiap pedang tajam al-Hindi yang ketajamannya akan memotong helm (penutup kepala) dan baju besi.’”[33]
Syair ini dikirim oleh Abdi dalam bentuk pesan. Ketika Hadhrat Abu Bakr membaca puisi ini, beliau sangat sedih mengetahui keadaan ‘Abdul Qays. Beliau memanggil al-’Alaa ibn Al-Hadhrami dan menyerahkan komando tentara kepadanya dan memerintahkannya untuk pergi ke Bahrain dengan dua ribu Muhajirin dan Ansar untuk membantu Abdul Qays dan menginstruksikan, انْظُرْ يَا عَلاءُ، لا تَمُرُّوا بِحَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ إِلا اسْتَنْهَضْتَهُمْ إِلَى مُحَارَبَةِ بَنِي بَكْرِ بْنِ وَائِلٍ، فَإِنَّهُمْ قَدْ أَتَوْا بِالْمُنْذِرِ بْنِ النُّعْمَانِ بْنِ الْمُنْذِرِ مِنْ عِنْدِ كِسْرَى مَلِكِ الْفُرْسِ، وَقَدْ عَقَدُوا التَّاجَ عَلَى رَأْسِهِ، وَقَدْ عَزَمُوا عَلَى إِطْفَاءِ نُورِ اللَّهِ، وَقَتْلِ أَوْلِيَاءِ اللهِ، فَسِرْ وَقُلْ لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بالله “Bujuklah kabilah-kabilah yang Anda lewati untuk berperang dengan Bani Bakr ibn Wa’il karena mereka telah datang bersama Mundzir ibn Nu’man ibn Mundzir yang telah diangkat oleh Kisra raja Iran yang mana raja ini telah meletakkan mahkota di kepala orang itu dan bermaksud untuk memadamkan cahaya Allah dan mereka telah membunuh para wali Allah. Maka dari itu, berangkatlah kalian dengan mengucapkan, ‘laa haula walaa quwwata illaa billaah – artinya, tidak ada kekuatan untuk menghindari dosa atau kekuatan untuk berbuat baik kecuali dengan pertolongan Allah.” [34]
Hadhrat al-’Alaa bin Al-Hadhrami berangkat. Ketika dia lewat di dekat Yamamah, dia dijumpai oleh Hadhrat Tsumamah bin Utsal (ra) yang disertai sekelompok Banu Hanifah yang ikut bergabung. Selain mereka, Qais bin Asim pun bergabung dengan tentara al-’Alaa ibn Al-Hadhrami bersama kabilahnya Banu Tamim. Sebelumnya, Qais ibn Asim adalah salah satu pengingkar Zakat dan dia telah berhenti mengirim Zakat dari sukunya ke Madinah dan telah mengembalikan akumulasi kekayaan kepada orang-orang, tetapi Hadhrat Khalid ibn Walid mengalahkan Banu Hanifah di Yamamah, Qais ibn Asim menganggap aman untuk tunduk di hadapan umat Islam dan mengumpulkan Zakat dari sukunya yaitu Bani Tamim lalu bergabung dengan tentara Hadhrat al-’Alaa bin Al-Hadhrami.[35]
Tentara Hadhrat al-’Alaa bergerak ke Bahrain melalui Dahna. Dahna merupakan tempat di Diyar Banu Tamim, dalam perjalanan dari Basrah ke Makkah. Ketika mereka mengatakan kami sampai di tengahnya, mereka memerintahkan kami untuk berkemah.
Perawi mengatakan: Di kegelapan malam, unta-unta mereka lari ketakutan sampai tak tersisa satu pun, dengan membawa semua perbekalan dan tenda. Kesemuanya hilang di gurun pasir yakni unta yang dimuati dengan perbekalan lari. Ini terjadi ketika ketika orang-orang sudah turun dari kendaraan, namun masih belum bisa menurunkan barang barangnya. Saat itu mereka diliputi kesedihan dan merasa putus asa akan keberlangsungan hidup mereka dan saling memberikan wasiyat satu sama lain.
Selanjutnya, pemberi aba-aba menyuruh mereka berkumpul. Hadhrat ‘Ala Al-Hadhrami kemudian berkata: “Saya melihat raut kesedihan dan duka di wajah kalian, kenapa kalian begitu khawatir?” Orang-orang mengatakan kepadanya, Ini bukanlah sesuatu yang bis akita salahkan “Unta-unta kita telah melarikan diri. Jika keadaan kita seperti ini hingga esok, maka mungkin kita telah binasa sebelum matahari terbit sepenuhnya.
Hadhrat al-’Alaa Al-Hadhrami berkata: “Jangan takut! Bukankah kalian orang-orang Muslim? Bukankah kalian berjuang di jalan Allah! Bukankah kalian penolong-penolong Allah?”
Mereka menjawab, “Ya, tentu.”
Hadhrat al-’Alaa berkata lagi, “Bergembiralah! Demi Allah, Allah Yang Maha Suci dan Maha Luhur tidak akan menelantarkan kalian dalam keadaan seperti ini.”
Seiring dengan terbitnya fajar dikumandangkanlah adzan subuh dan Hadhrat al-’Alaa mengimami shalat. Sebagian dari mereka bersuci dengan tayammum dan sebagian lagi masih dalam keadaan suci [tidak berwudhu lagi karena sebelum itu telah berwudhu dan tidak batal]. Selesai salat, Hadhrat ‘Ala Al-Hadhrami berlutut diikuti oleh pasukannya. Beliau berdoa dengan sungguh-sungguh begitu juga pasukannya, hingga terbit matahari. Ketika memancar seberkas sinar di ufuk timur, Hadhrat al-’Alaa mengarah ke arah saf dan berkata, apakah ada yang akan mengecek, sinar apa ini?
Ada seseorang yang pergi untuk mengecek. Sekembalinya mengatakan: ini adalah cahaya fatamorgana bukan air. Kemudian Hadhrat al-’Alaa menyibukkan lagi untuk berdoa dan lagi-lagi tampak cahaya, setelah diperiksa ternyata itu adalah fatamorgana. Kemudian muncul lagi untuk yang ketiga kali, setelah diperiksa dikatakan bahwa itu adalah air.
Hadhrat al-’Alaa Al-Hadhrami berdiri dikuti oleh pasukannya. Mereka mendekati air itu lalu minum dan mandi. Di sana ada mata air memancar. Saat matahari belum begitu tinggi, unta-unta mereka yang hilang itu datang dari berbagai arah mendekati mereka. Setiap orang memegang kendaraannya dan tidak ada satu pun perbekalan yang hilang dari atas kendaraan itu.
Merupakan mukjizat doa yakni Allah Ta’ala mengeluarkan air dan unta unta pun kembali, orang-orang memberikan untanya minum dan minum lagi hingga puas dan juga membawanya sebagai bekal, kemudian bersitirahat.
Minjab bin Rasyid (مِنجاب بن راشد) berkata, “Saat itu Hadhrat Abu Hurairah bersama saya. Setelah pergi jauh dari tempat itu, Abu Hurairah bertanya kepada saya, ‘Apakah kamu mengetahui area dimana air itu muncul?’
Saya menjawab, ‘Aku orang yang paling mengetahui seluk-beluk daerah ini.’
Abu Hurairah berkata, ‘Kalau begitu, kamu bisa menunjukkan kepadaku sumber air tersebut.’ Saya membalikkan unta dan membawanya ketempat air itu muncul. Setibanya kembali di tempat itu, kami tidak menemukan kolam dan jejak air itu.
Saya berkata kepada Abu Hurairah, ‘Demi Allah, meski saya tidak melihat kolam air, saya yakin ini tempat kita tadi, dan saya tidak pernah melihat air di tempat ini sebelumnya, padahal saat itu wadah sudah dipenuhi dengan air.’
Hadhrat Abu Hurairah berkata, ‘Hai Abu Sahm, demi Allah, inilah tempat itu, untuk itu saya mengajakmu kesini. Saya memenuhi wadah dengan air lalu meletakkannya di tepi kolam.’
Saya berkata, ‘Jika ini merupakan anugerah dan mukjizat dari Allah, saya akan mencari tahu. Namun jika ini hanya air hujan saja, saya pun akan mencari tahu.’
Ternyata memang benar benar satu mukjizat dari Allah Ta’ala yang Allah munculkan untuk menyelamatkan kita. Lalu Hadhrat Abu Hurairah memanjatkan puji sanjung kepada Allah Ta’ala dan Kembali dari sana lalu berangkat dan berkemah di daerah Hajar (هَجَر).”[36]
Hadhrat al-’Alaa menulis surat kepada Hadhrat Abu Bakr sebagai berikut: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَجَّرَ لَنَا الدَّهْنَاءَ فَيْضًا لا تُرَى غَوَارِبُهُ، وَأَرَانَا آيَةً وَعِبْرَةً بَعْدَ غَمٍّ وَكَرْبِ، لِنَحْمَدِ اللَّهَ وَنُمَجِّدْهُ، فَادْعُ اللَّهُ وَاسْتَنْصِرْهُ لِجُنُودِهِ وَأَعْوَانِ دِينِهِ “Amma Ba’du (adapun sesudah itu)! Allah Ta’ala telah mengalirkan air dari sumbernya bagi kami di lembah Dahna, padahal tidak ada tanda-tanda sumber mata air di sana. Setelah diliputi oleh kegelisahan dan kedukaan mendalam, Allah Ta’ala telah memperlihatkan mukjizatnya kepada kami. Ini memberikan satu nasihat kepada kami semua supaya kami memanjatkan puji sanjung kepada-Nya. Untuk itu mohonlah doa ke hadapan Allah Ta’ala dan mohonlah pertolongan untuk para penolong agama-Nya.” Beliau mengirimkan laporan tersebut kepada Hadhrat Abu Bakr.
Hadhrat Abu Bakr memanjatkan puji syukur ke hadirat Ilahi, memohon doa kepada-Nya dan bersabda, مَا زَالَتِ الْعَرَبُ فِيمَا تُحَدِّثُ عَنْ بُلْدَانِهَا يَقُولُونَ: إِنَّ لُقْمَانَ حِينَ سُئِلَ عَنِ الدَّهْنَاءِ: أَيَحْتَفُرُونَهَا أَوْ يَدَعُونَهَا؟نَهَاهُمْ، وَقَالَ: لا تبلغها الأرشية، وَلَمْ تقر الْعُيُونُ، وَأَنَّ شَأْنَ هَذَا الْفَيْضِ مِنْ عَظِيمِ الآيَاتِ، وَمَا سَمِعْنَا بِهِ فِي أُمَّةٍ قَبْلَهَا “Berkenaan dengan lembah Dahna, orang-orang Arab selalu menceritakan bahwa ketika ditanyakan kepada Hadhrat Luqman perihal lembah tersebut, ‘Apakah harus kami gali untuk mendapatkan air atau tidak?’ Beliau melarang untuk menggalinya dan bersabda, ‘Di sini tidak akan pernah muncul air.’ Karena itu, memancarnya sumber mata air di lembah tersebut merupakan satu tanda agung Qudrat Ilahi yang kami belum pernah dengar dari kaum-kaum sebelumnya.”[37]
Para sahabat pun biasa mengalami mukjizat seperti itu, para sahabat yang berangkat untuk memenuhi misi demi Allah Ta’ala. Selebihnya akan saya sampaikan pada kesempatan yang akan datang, insya Allah.[38]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], p. 657 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 257مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ لبنان2012ء).
[2] ‘Ali ibnu al-Atsir, Usdul Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008], p. 124 (اسد الغابہ جلد2 صفحہ124 مطبوعہ دارالکتب العلمیۃ بیروت2008ء); Hakim al-Nishapuri, al-Mustadrak ‘alash Shahihain, Vol. 5, Hadith 5081 [Riyad: Nazar Mustafa al-Baz, 2000], p. 1896 (المستدرک علی الصحیحین لحاکم جزء5 صفحہ 1896 حدیث 5081۔ مطبوعہ نزار مصطفیٰ الباز ۔الریاض2000ء).
[3] Ath-Thabaqaat al-Kubra.
[4] Ath-Thabaqaat al-Kubra.
[5] Ath-Thabaqaat al-Kubra.
[6] ‘Ali ibnu al-Atsir, Usdul Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008], pp. 124-125 (اسد الغابہ جلد2 صفحہ124-125 مطبوعہ دارالکتب العلمیۃ بیروت2008ء); Sayyid Fadl al-Rahman, Farhang-e-Sirat [Karachi, Pakistan: Zawwar Academy Publications, 2003], p. 30 (فرہنگ سیرت صفحہ30 زوار اکیڈمی کراچی).
[7] Muhammad ibnu Sa’d dalam karyanya ath-Thabaqaat al-Kubra Vol. 4 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], p. 75 (طبقات ابن سعد جلد4صفحہ75 مطبوعہ دارالکتب العلمیۃ بیروت2012ء).
[8] Dibachah Tafsirul Qur’aan – Pengantar Mempelajari al-Qur’an karya Hadhrat Mushlh Mau’ud (ra), Anwar-ul-Ulum, Vol. 20, p. 425 (دیباچہ تفسیر القرآن، انوار العلوام جلد20صفحہ425).
[9] ‘Ali ibnu al-Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2008], p. 125 (اسد الغابہ جلد2 صفحہ125 مطبوعہ دارالکتب العلمیۃ بیروت2008ء).
[10] Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], pp. 331-332 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 331-332مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ لبنان2012ء); Sayyid Fadl al-Rahman, Farhang-e-Sirat [Karachi, Pakistan: Zawwar Academy Publications, 2003], p. 78 (فرہنگ سیرت صفحہ78 زوار اکیڈمی کراچی).
[11] Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], p. 257 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 257مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ لبنان2012ء).
[12] al-Kaamil fit Taarikh (الکامل فی التاریخ جلد 2صفحہ208دارالکتب العلمیۃ بیروت 2006ء); al-Isti’aab (الاستیعاب جلد 2صفحہ326 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2010ء); Usdul Ghaabah (اسدالغابۃ جلد 3 صفحہ 73 دارالکتب العلمیۃ بیروت 2016ء). Ibnu Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006], p. 208; Ibn Abd al-Barr, Al-Isti‘ab fi Ma‘rifat al-Ashab, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010], p. 326; ‘Ali ibnu al-Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 3 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2016], p. 73.
[13] Hadhrat Abu Bakr ke Sarkari khuthuuth – Surat-Surat administrasi pemerintahan Hadhrat Abu Bakr, penerbit Nadwatul Mushannifiin, Dehlh-India (حضرت ابوبکرؓ کے سرکاری خطوط صفحہ3349، ندوۃ المصنفین دہلی) atau penerbit Idarah Islamiyaat, Anarkali, Lahore-Pakistan (ادارہ اسلامیات، انارکلی، لاہور، پاکستان، مئی ۱۹۷۸ء۔ بحوالہ فتوح الشام، ازدی۔) penulis bernama Khursheed Ahmad Fariq (ڈاکٹر خورشید احمد فارِق),yang dalam versi lain tertulis Khursyid Ahmad Faruqi (خورشید احمد فاروقی) atau Khursheed Ahmad Farooqi. Beliau adalah pengajar adab-arabi (sastra Arab) Universitas Dehli, India. Peranan dan kepeloporan Prof. Khursheed Ahmad Fariq di departeman bahasa Arab Universitas Delhi, India membuat Universitas Delhi membuat acara khusus mengenang beliau setelah beliau meninggal yaitu “Prof. Khursheed Ahmad Fariq Memorial Lecture” atau Kuliah Kenangan tentang Prof. Khursheed Ahmad Fariq sejak 2008. https://www.indcareer.com/university-delhi/Departments/department-arabic.
[14] Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], p. 266 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 266 مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ لبنان2012ء).
[15] Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], p. 266 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ 266مطبوعہ دارالکتب العلمیۃ لبنان2012ء); Hadhrat Abu Bakr ke Sarkari khuthuuth – Surat-Surat administrasi pemerintahan Hadhrat Abu Bakr, penulis bernama Khursheed Ahmad Fariq, pp. 33-34 (ڈاکٹر خورشید احمد فارِق) (حضرت ابوبکرؓ کے سرکاری خطوط از خورشید احمد فارق صفحہ33-34); Imam Abu al-Hasan Ahmad bin Yahya al-Buladhari, Futuh al-Buldan – translated [Karachi, Pakistan: Nafees Academy], p. 152 (فتوح البلدان لبلاذری مترجم صفحہ152 مطبوعہ نفیس اکیڈمی کراچی).
[16] Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], p. 257.
[17] Athlas Siratun Nabi (اٹلس سیرت النبیﷺ صفحہ 68).
[18] ‘Amru bin al-Hadhrami terbunuh di tangan pasukan Muslim yang tengah melakukan patroli di seputar Madinah. Peristiwa ini terjadi sebelum perang Badr.
[19] Ali ibnu al-Atsir, Usdul Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 4 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2016], p. 71 (اسدالغابہ جلد4صفحہ71دارالکتب العلمیۃ2016ء); Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi, Siyarush Shahaabah, Vol. 4, pp. 397-398 (سیرالصحابہ جلد4صفحہ397-398); Doktor ‘Ali Muhammad Muhammad ash-Shalabi (عَلي محمد محمد الصَّلاَّبي) dalam karyanya Al-Insyirahu wa Raf’udh Dhayyiq fi Sirati Abi Bakr ash-Shiddiq syakhshiyatuhu wa ‘ashruhu (نام کتاب : الانشراحُ وَرَفعُ الضِّيق في سِيرة أبي بَكْر الصِّديق شخصيته وَعَصره نویسنده : الصلابي، علي محمد), penerbit Darut Tauzi’ wa Nasyr, Kairo-Mesir (دار التوزيع والنشر الإسلامية، القاهرة – مصر), tahun 1423 Hijriyyah atau 2002 (عام النشر: 1423 هـ – 2002 م), versi terjemahan Urdu terbitan Maktabah al-Furqan, Muzhaffaragah, Pakistan dengan judul Sayyiduna Abu Bakr Siddiq (ra) (ماخوذ از سیدناابوبکر شخصیت اور کارنامے از ڈاکٹر علی محمد صلابی مکتبہ الفرقان مظفرگڑھ پاکستان).
[20] Muhammad ibnu Sa’d dalam karyanya ath-Thabaqaat al-Kubra Vol. 4 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990], p.266.
[21] Muhammad ibnu Sa’d dalam karyanya ath-Thabaqaat al-Kubra – Translated, Vol. 4 [Karachi, Pakistan: Nafees Academy], p. 375, 377 (طبقات ابن سعد (مترجم) جلد 4 صفحہ375، 377 مطبوعہ نفیس اکیڈمی کراچی); Kitab Al-A’laam karya Az-Zirikli, Vol. 4 [Beirut, Lebanon: Dar al-Ilm, 2002], p. 245 (الأعلام للزرکلی جلد4 صفحہ245 مطبوعہ دارالعلم2002ء). Kitab Al A’laam merupakan karya besar Syaikh Khairuddin Az-Zirikli Ad Dimsyaqi rh, yang wafat tahun 1396 H/1976 M. Nama sebenarnya ialah Khairuddin bin Mahmud bin Muhamad Ali bin Faris Az-Zirikly al-Dimasyqi (خير الدين بن محمود بن محمد بن علي بن فارس، الزركلي الدمشقي). Beliau warga negara Arab Saudi dan meninggal di Mesir.
[22] Usdul Ghabah (اسد الغابہ جلد 4 صفحہ 71، دارالکتب العلمیۃ بیروت).
‘Ali ibnu al-Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma‘rifat al-Sahabah, Vol. 4 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2016], p. 71)
[23] Doktor Muhammad Husain Haikal (محمد حسين هيكل ،الدكتور) dalam karyanya Ash-Shiddiq Abu Bakr (الصديق أبو بكر – رضي الله عنه) yang terjemahan Urdunya ialah Hadhrat Sayyidina Abu Bakr Shiddiq terbitan Book Corner Show Room, Jehlum-Pakistan (حضرت سیدنا ابو بکر صدیق ؓ از محمد حسین ہیکل مترجم مطبوعہ بک کارنر شو روم جہلم) dan (حضرت ابوبکرصدیقؓ ،ازمحمدحسین ہیکل ، اردوترجمہ صفحہ 237); Sayyid Fadl al-Rahman, Farhang-e-Sirat [Karachi, Pakistan: Zawwar Academy Publications, 2003], p. 110 (فرہنگ سیرت صفحہ 110 زوار اکیڈمی کراچی).
[24] Khurshid Ahmad Fariq dalam karyanya Hadhrat Abu Bakr ke Sarkari khuthuuth – Surat-Surat administrasi pemerintahan Hadhrat Abu Bakr, penerbit Nadwatul Mushannifiin, Delhi-India (حضرت ابوبکرؓ کے سرکاری خطوط صفحہ 48، ندوۃ المصنفین دہلی).
[25] Athlas Sirat Nabawi (sa), p. 438 (اٹلس سیرت نبویؐ صفحہ 438).
[26] az-Zurqani dalam Sharh al-Zurqani ‘ala al-Mawahib al-Laduniyyah, Vol. 5 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996], p. 141 (زرقانی جلد 5 صفحہ 141 مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ بیروت 1996ء).
[27] Khurshid Ahmad Fariq dalam karyanya Hadhrat Abu Bakr ke Sarkari khuthuuth – Surat-Surat administrasi pemerintahan Hadhrat Abu Bakr, penerbit Nadwatul Mushannifiin, Dehli-India (حضرت ابوبکرؓ کے سرکاری خطوط صفحہ 48، ندوۃ المصنفین دہلی), p. 48; Siyaarush Shahaabah (ماخوذ از سیرالصحابہ جلد 4 صفحہ 398) atau penerbit Idarah Islamiyaat, Anarkali, Lahore-Pakistan (ادارہ اسلامیات، انارکلی، لاہور، پاکستان، مئی ۱۹۷۸ء۔ بحوالہ فتوح الشام، ازدی۔) penulis bernama Khursheed Ahmad Fariq (ڈاکٹر خورشید احمد فارِق),yang dalam versi lain tertulis Khursyid Ahmad Faruqi (خورشید احمد فاروقی) atau Khursheed Ahmad Farooqi. Sheikh Shah Moinuddin Ahmad Nadvi dalam karyanya Siyaarush Shahaabah Vol. 4, p. 398 (ماخوذ از سیرالصحابہ جلد 4 صفحہ 398).
[28] al-Bidaayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsir, Vol. 9 [Beirut, Lebanon: Dar al-Hajr, 2001], pp. 475-476 (البدایۃ و النھایۃ جلد9 صفحہ 475-476 مطبوعہ دار ھجر).
[29] Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], p. 285 (تاریخ طبری جلد2 صفحہ 285 مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ لبنان2012ء).
[30] Khurshid Ahmad Fariq dalam karyanya Hadhrat Abu Bakr ke Sarkari khuthuuth – Surat-Surat administrasi pemerintahan Hadhrat Abu Bakr, penerbit Nadwatul Mushannifiin, Dehli-India (حضرت ابوبکرؓ کے سرکاری خطوط صفحہ 49، ندوۃ المصنفین دہلی) atau penerbit Idarah Islamiyaat, Anarkali, Lahore-Pakistan (ادارہ اسلامیات، انارکلی، لاہور، پاکستان، مئی ۱۹۷۸ء۔ بحوالہ فتوح الشام، ازدی۔) penulis bernama Khursheed Ahmad Fariq (ڈاکٹر خورشید احمد فارِق),yang dalam versi lain tertulis Khursyid Ahmad Faruqi (خورشید احمد فاروقی) atau Khursheed Ahmad Farooqi.
[31] Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi dalam karyanya Kitab ar-Riddah Dar al-Gharb al-Islami, 1990], pp. 147-149 (کتاب الردۃ للواقدی صفحہ 147 تا 149، دارالغرب الاسلامی 1990ء).
[32] Muhammad Husain Haikal dalam karyanya Ash-Shiddiq Abu Bakr (الصديق أبو بكر) yang terjemahan urdunya ialah Hadhrat Abu Bakr Shiddiq (ra) – Urdu Translation [Lahore, Pakistan: Islami Kutub Khana], pp. 238-239 (حضرت ابوبکر صدیق ؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ 238-239، اسلامی کتب خانہ لاہور). Terjemahan bahasa Indonesianya ialah Abu Bakr as-Siddiq Yang Lembut Hati Sebuah Biografi Dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi oleh Muhammad Husain Haekal yang Diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah. Judul asli As-Siddiq Abu Bakr, cetakan ke-8, oleh Dr. Muhammad Husain Haekal, Ph.D., Penerbit Dar al-Maaref, 119 Corniche, Cairo, Egypt, dan atas persetujuan ahli waris, Dr. Ahmad Muhammad Husain Haekal, kepada penerjemah ke dalam bahasa Indonesia. Diterjemahkan oleh Ali Audah. Cetakan pertama, 1995. Cetakan kedua, 2001. Cetakan ketiga, 2003. Diterbitkan oleh PT. Pustako Utera AntarNusa, Kalimalang-Pondok Kelapa, Jakarta 13450.
[33] Kitab ar-Riddah karya Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi. Tercantum juga dalam Asma-ul mughtaliin yang terjemahan bahasa Inggrisnya ialah Prominent Murder Victims of the Pre- and Early Islamic Periods Including the names of the murdered poets karya Muḥammad ibn Ḥabīb (d. AH 245/AD 860). Tarikh ath-Thabari (نام کتاب : تاريخ الطبري تاريخ الرسل والملوك وصله تاريخ الطبري نویسنده : الطبري، ابن جرير جلد : 3 صفحه : 304). Al-Bidaayah wan Nihaayah karya Ibnu Katsir (البداية والنهاية » سنة إحدى عشرة من الهجرة » الحوادث الواقعة في الزمان ووفيات المشاهير والأعيان سنة إحدى عشرة من الهجرة » ردة أهل البحرين)
[34] Kitab ar-Riddah karya Muhammad bin ‘Umar al-Waqidi, [Dar al-Gharb al-Islami, 1990], pp. 152-154 (ماخوذ از کتاب الردۃ للواقدی صفحہ 152-154، دارالغرب الاسلامی 1990ء); Shahih al-Bukhari, Kitab al-Jumu’ah, Bab al- Jumu‘ah fi al-Qura wa al-Mudun atau bab Jumatan di desa dan kota (صحیح بخاری ، کتاب الجمعہ باب الجمعہ فی القریٰ و المدن حدیث 892); Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], p. 286 (تاریخ الطبری جلد2صفحہ 286 دار الکتب العلمیۃ بیروت).
[35] Muhammad Husain Haikal dalam karyanya Ash-Shiddiq Abu Bakr (الصديق أبو بكر) yang terjemahan urdunya ialah Hadhrat Abu Bakr Shiddiq – Urdu Translation [Lahore, Pakistan: Islami Kutub Khana], p. 239 (ماخوذ ازحضرت ابوبکرصدیقؓ از محمد حسین ہیکل صفحہ 239، اسلامی کتب خانہ لاہور).
[36] Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], pp. 286-288 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ286تا 288مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ لبنان2012ء); Sayyid Fadl al-Rahman, Farhang-e-Sirat [Karachi, Pakistan: Zawwar Academy Publications, 2003], p. 123 (فرہنگ سیرت صفحہ 123 زوار اکیڈمی کراچی).
[37] Muhammad ibnu Jarir ath-Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. 2 [Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2012], p. 290 (تاریخ الطبری جلد2 صفحہ290مطبوعہ دار الکتب العلمیۃ لبنان2012ء).
[38] Sumber referensi: Majalah al-Fadhl International https://www.alfazl.com/2022/07/10/51042/; www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab). (Official Urdu transcript published in Al Fazl International, 15 July 2022, pp. 5-10.Translated by The Review of Religions.) Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono.