Riwayat ‘Umar Bin Al-Khaththab (4)

Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam(Manusia-Manusia Istimewa seri 115, Khulafa’ur Rasyidin Seri 21), Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu

Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 04 Juni 2021 (Ihsan 1400 Hijriyah Syamsiyah/Syawal 1442 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)

Pada khotbah-khotbah yang lalu masih dibahas tentang Hadhrat ‘Umar ra dan juga beberapa Ghazwah dan Sariyah.

Ekspedisi Militer Hamra al-Asad

Berkenaan dengan perang Hamraul Asad diriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) kembali ke Madinah setelah perang Uhud dan kaum Kuffar menempuh jalan ke arah Mekah. Namun Rasulullah (saw) mendapatkan kabar akan adanya serangan pasukan Quraisy lagi. Untuk itu Rasulullah (saw) bersama para sahabat berangkat ke Hamraul Asad.

Hamraul Asad adalah sebuah tempat yang berjarak 8 mil dari Madinah. Berkenaan dengan perang tersebut Hadhrat Mirza Bashir Ahmad ra menjelaskan sebagai berikut:

“Meskipun pada lahiriahnya pasukan Quraisy mendapatkan kemenangan pada perang Uhud lalu kembali ke Makkah, tetap ada kekhawatiran jangan-jangan gerakan mereka itu untuk mengecoh umat Muslim supaya lalai tanpa waspada sehingga tiba-tiba saja pasukan Quraisy dapat menyerang ke Madinah. Maka dari itu, pada malam itu diatur penjagaan di Madinah dan segenap para Sahabat menjaga rumah Rasulullah (saw) secara khusus.[1]

Ketika pagi, diketahui kekhawatiran itu bukan ilusi karena menjelang shalat subuh, Rasulullah (saw) mendapat berita-berita bahwa laskar Quraisy berhenti di suatu daerah yang berjarak beberapa mil dari Madinah dan tengah terjadi perdebatan hangat diantara para pembesar Quraisy yaitu untuk mengambil keuntungan dari kemenangan ini, kenapa tidak lantas menyerang Madinah?

Beberapa orang Quraisy saling mencaci satu terhadap yang lain dengan mengatakan, ‘Kalian tidak dapat membunuh Muhammad. Tidak juga kalian berhasil menjadikan para wanitanya sebagai budak. Tidak juga dapat menguasai harta kekayaannya. Justru setelah mendapatkan kemenangan dari pasukan Muslim dan mendapatkan kesempatan untuk menghabisi mereka, kalian malah meninggalkannya begitu saja dan pulang sehingga mereka akan mendapatkan kekuatan lagi. Karena itu, sekarang kesempatan baik untuk kembali menyerang Madinah dan menghabisi umat Muslim sampai ke akar-akarnya.’

Sebagian lagi mengatakan sebaliknya, ‘Kalian telah mendapat kemenangan. Anggap saja itu suatu ghanimah dan kembalilah ke Makkah supaya jangan sampai kemasyhuran yang telah kalian raih ini hilang lagi. Jangan sampai kemenangan ini berubah menjadi kekalahan. Sebab, jika saat ini kalian kembali menyerang Madinah, umat Muslim pasti akan mati-matian melawan. Begitu juga umat Muslim yang tidak ikut perang Uhud, akan muncul ke medan perang.’[2]

Namun pada akhirnya, pendapat mereka yang berdarah panas [bersemangat perang] yang lebih unggul dan orang-orang Quraisy itu pun bersiap untuk berbalik mengarah ke Madinah. Ketika RasuluLlah (saw) mendapatkan kabar kejadian tersebut, beliau segera mengumumkan supaya umat Muslim bersiaga. Seiring dengan itu, beliau menginstruksikan mereka yang ikut bersama dengan beliau ialah hanya yang telah berpartisipasi pada perang Uhud.”[3]

Disebutkan juga dalam riwayat, ketika Rasulullah (saw) mengetahui kabar perdebatan di antara kaum Quraisy tersebut, beliau memanggil Hazrat Abu Bakar (ra) dan Hazrat Umar (ra) serta mengabarkan hal tersebut kepada mereka. Keduanya memberikan saran bahwa mereka seharusnya berangkat untuk mengikuti musuh. [4]

Hazrat Mirza Bashir Ahmad Sahib (ra) melanjutkan, “Dengan demikian, para pejuang Uhud yang diantara mereka banyak yang terluka, setelah mengikat lukanya lalu ikut bersama dengan junjungan mereka. Dikisahkan pada saat itu umat Muslim berangkat dengan penuh bahagia dan semangat layaknya laskar penakluk yang berangkat untuk menguasai musuh setelah kemenangan. Setelah menempuh jarak 8 mil, Rasulullah (saw) sampai di Hamraul Asad…Karena sudah masuk sore, Rasulullah (saw) memerintahkan untuk memasang tenda di sana dan menyalakan api di sekitar tempat tersebut sehingga di lapangan Hamraul Asad terpasang 500 nyala api yang dapat menimbulkan ru’b (kegentaran) di dalam hati orang yang melihatnya dari kejauhan.[5] Orang-orang menganggap di tempat itu terdapat penduduk dan terpasang tenda-tenda besar.

Suatu kebetulan pada kesempatan itu ada seorang pemuka Musyrik dari kabilah Khuza’ah yang bernama Ma’bad hadir ke hadapan Rasulullah (saw). Ia menyampaikan ucapan belasungkawa atas korban dari pihak Muslim pada perang Uhud lalu melanjutkan perjalanan. Hari berikutnya ketika sampai di daerah Rawahah, area yang berjarak 40 mil dari Madinah, apa yang terlihat, ternyata laskar Quraisy telah memasang tenda di sana. Mereka telah berbalik setelah sebelumnya berdebat lalu bersiap-siap untuk menuju Madinah.

Ma’bad segera pergi kepada Abu Sufyan dan mengatakan, ‘Apa yang akan kalian lakukan? Demi Tuhan! Baru saja saya meninggalkan laskar Muhammad (saw) di Hamraul Asad. Saya tidak pernah melihat laskar penuh ru’b (wibawa) seperti itu dan penuh penyesalan atas kekalahan yang mereka alami pada perang Uhud. Disebabkan penyesalan itu, mereka bergejolak semangat sehingga jika melihat kalian, mereka akan melahap kalian.’

Abu Sufyan dan laskarnya begitu gentar setelah mendengar kisah yang disampaikan Ma’bad sehingga mengurungkan niatnya untuk pergi ke Madinah dan kembali ke Makkah. Setelah Hadhrat Rasulullah (saw) mendapatkan kabar kembalinya pasukan Quraisy, beliau bersyukur kepada Allah Ta’ala dan bersabda, ‘Ini adalah ru’b (kegentaran) dari Allah Ta’ala yang Dia masukkan ke dalam hati orang-orang kuffar.’ Setelah itu beliau tinggal selama dua atau tiga hari di Hamraul Asad.”[6]

Ghazwah Bani Mustaliq

Ghazwah (ekspedisi militer) Banu Mustaliq – Perang Banu Mustaliq terjadi pada bulan Syaban 5 Hijriah. Peperangan tersebut dinamai juga perang Muarisi’. Dalam menjelaskan hal itu Hadhrat Mirza Bashir Ahmad menulis sbb:

“Penentangan Bangsa Quraisy hari demi hari semakin membahayakan. Dengan segala tipudaya mereka menghasut banyak sekali kabilah Arab untuk menentang Islam dan pendirinya. Namun sekarang penentangan mereka menimbulkan marabahaya baru yaitu kabilah-kabilah Hijaz yang memiliki hubungan baik dengan umat Islam, mulai bangkit untuk menentang umat Islam karena hasutan bangsa Quraisy.[7]

Dalam hal ini yang mendahului adalah kabilah terkenal bernama Banu Khuzaah yang salah satu rantingnya, Banu Mustaliq mulai bersiap untuk menyerang Madinah.[8] Pemimpinnya, Haris Bin Abi Dhirar melakukan kunjungan ke kabilah-kabilah lain di daerah itu dan mengajak kabilah kabilah lain bergabung bersamanya.[9]

Ketika Rasulullah (saw) mengatahui kabar tersebut, untuk kehati-hatian lebih, memberangkatkan seorang sahabat bernama Buraidah Bin Hasib ke banu Mustaliq untuk mencari informasi perihal keadaan di sana. Rasulullah (saw) memerintahkan beliau untuk segera pulang dan mengabarkan tentang kejadian sesungguhnya. Buraidah pergi dan melihat memang benar tengah ada satu perkumpulan besar dan tengah dilakukan persiapan besar-besaran untuk menyerang Madinah. Beliau segera pulang dan mengabarkan temuannya itu kepada Rasulullah (saw). [10] Sesuai kebiasaan, Rasulullah (saw) memerintahkan umat Muslim ke Banu Mustaliq sebagai antisipasi. Banyak sekali sahabat yang bersedia untuk ikut bersama dengan beliau, bahkan sekelompok besar orang munafik yang mana sebelumnya tidak pernah ikut serta dalam jumlah sebanyak itu, ikut serta.[11]

Rasulullah (saw) menetapkan Abu Dzar al-Ghifari atau dalam beberapa Riwayat lain Zaid Bin Haritsah sebagai Amir Madinah. [12]

Kemudian dengan menyebut nama Allah beliau berangkat dari Madinah pada bulan Syaban 5 Hijriah.[13] Laskar pasukan Muslim hanya membawa 30 kuda, namun jumlah unta sedikit lebih banyak, untuk itu pasukan silih berganti mengendarai kuda-kuda dan unta-unta itu.

Di jalan, pasukan Muslim mendapati seorang mata-mata kaum Kuffar lalu menangkapnya dan menghadirkannya ke hadapan Rasulullah (saw). Setelah diselidiki dan memang benar orang itu adalah mata-mata, Rasulullah (saw) menanyakan kepadanya berkenaan dengan keadaan kaum kuffar dan lainn sebagainya. Namun, ia menolak untuk memberikan indormasi. Karena keadaan orang itu mencurigakan, untuk itu sesuai dengan peraturan perang pada masa itu, Hadhrat ‘Umar membunuh mata mata itu.[14] Setelah itu laskar Islam berangkat.

Ketika Banu Mustaliq mendapatkan kabar kedatangan pasukan Muslim dan sampai juga kabar bahwa mata-mata mereka telah dibunuh, mereka sangat ketakutan, karena tujuan mereka sebenarnya adalah supaya mendapatkan kesempatan untuk dapat menyerang Madinah secara diam-diam. Namun disebabkan oleh kesiagaan Rasulullah (saw), mereka menjadi ketakutan. Adapun kabilah kabilah lain yang bergabung untuk membantu mereka, disebabkan oleh campur tangan Ilahi, mereka menjadi ketakutan sehingga segera meninggalkan mereka lalu pulang ke rumah masing masing. Namun Banu Mustaliq sendiri telah terhasut oleh Quraisy untuk memusuhi umat Islam sehingga mereka tidak mau mengurungkan niatnya untuk berperang dan dengan segenap persiapan mereka telah bersiap siap untuk bertempur dengan laskar Islam. Ketika Rasulullah (saw) tiba di Muraisi yang mana Banu Mustaliq tidak jauh darinya. Merupakan nama dari suatu tempat yang terletak tidak jauh dari pantai laut, lalu Rasulullah (saw) memerintahkan untuk memasang tenda.

Setelah menyiapkan barisan dan membagikan bendera dll, beliau saw memerintahkan Hadhrat ‘Umar untuk berangkat dan umumkanlah pada Banu Mustaliq, yakni jika mereka tidak berhenti memusuhi Islam dan mengakui pemerintahan Rasulullah (saw), maka mereka akan diberikan keamanan dan pasukan Muslim akan Kembali. Namun mereka menolaknya dengan keras dan bersiap untuk berperang.[15]

Tertulis, anak panah pertama yang dilontarkan dalam perang tersebut dilontarkan oleh salah seorang dari mereka.[16] Ketika Rasulullah (saw) melihat keadaan tersebut, Rasulullah (saw) pun memerintahkan para sahabat untuk melawannya. Peperangan dimulai oleh pihak musuh. Kedua pihak saling melontarkan anak panah sampai beberapa saat. Setelah itu, Rasulullah (saw) memerintahkan para sahabat untuk menggempur musuh secara tiba-tiba. Sebagai akibat dari gempuran tiba tiba itu, pasukan kuffar melarikan diri. Namun pasukan Muslim dengan cerdiknya mengepung mereka sehingga seluruh pasukan musuh terkepung dan terpaksa menjatuhkan senjata. Akhirnya peperangan yang dapat sangat membahayakan itu berakhir dengan jumlah korban jatuh di pihak musuh sebanyak 10 orang dan pihak Muslim 1 orang.”[17]

Hadhrat Mirza Bashir Ahmad Sahib menulis dalam Sirat Khatamun Nabiyyin, “Pada kesempatan ini, perlu juga disampaikan bahwa berkenaan dengan peperangan ini terdapat Riwayat dalam Sahih Bukhari bahwa Hadhrat Rasulullah (saw) melancarkan serangan terhadap Banu Mustaliq pada saat mereka tengah tidak siap yakni tengah memberikan minum pada hewan-hewan ternaknya.”[18]

Namun jika diperhatikan dengan seksama, riwayat ini tidaklah bertentangan dengan Riwayat yang dikutip oleh para sejarawan, melainkan pada hakikatnya, dua Riwayat ini berkaitan dengan dua waktu yang berbeda, yakni kisahnya sebagai berikut, Ketika lsykar Islam sampai di dekat Banu Mustaliq, pada saat itu karena mereka tidak tahu bahwa posisi pasukan Muslim sudah semakin dekat, meskipun mereka pastinya sudah mengetahui kabar perihal laskar Muslim, mereka tengah dalam keadaan santai dan tidak teratur. Keadaan itu jugalah yang diindikasikan dalam Bukhari.

Namun, ketika mereka mengetahui kabar bahwa pasukan Muslim sudah tiba, maka sesuai dengan tingkat persiapan mereka, mereka segera membuat barisan dan siap untuk bertempur. Keadaan inilah yang disampaikan oleh para pakar sejarah. Inilah penjelasan yang disampaikan oleh Allamah Ibnu Hajar dan beberapa peneliti lainnya atas perbedaan pendapat ini dan ini jugalah yang tampaknya benar.”[19]

Ketika kembali dari perang Banu Mustaliq, terjadi satu peristiwa. Terdapat Riwayat dalam Sahih Muslim. Hadhrat Jabir Bin Abdillah meriwayatkan, “Ketika kami tengah berada dalam satu peperangan bersama dengan Rasulullah (saw) yaitu perang Banu Mustaliq, salah seorang dari antara Muhajirin memukul pinggang salah seorang dari antara kalangan Anshar.

Anshar mengatakan, ‘Hai Muhajir!’

Muhajir berkata, ‘Hai Anshar!’ (Maksudnya, kedua belah pihak tersebut memanggil orang-orangnya masing-masing untuk meminta bantuan.)

Ketika mendengar keributan itu, Rasulullah (saw) bersabda, ‘Dari mana suara-suara jahiliyah ini?’

Mereka mengatakan kepada Rasulullah (saw), ‘Wahai Rasulullah (saw)! Salah seorang dari antara Muhajirin memukul punggung salah seorang dari antara anshar.’

Rasulullah (saw) bersabda, ‘Tinggalkan perbuatan buruk dan sia-sia seperti ini. Kalian bertengkar disebabkan oleh hal hal yang sepele.’

Ketika Abdullah Bin Ubay – yang saat itu tengah berada di sana – mendengarnya, ia berkata, ‘Seorang Muhajir telah memukul pinggang seorang Anshar, apakah itu satu atau dua pukulan. Namun, demi Tuhan! Jika kami kembali kearah Madinah, maka pasti orang yang paling terhormat akan mengusir orang yang paling hina.’ (naudzubillah).

Hadhrat ‘Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Mohon izinkan saya untuk memenggal orang munafik ini.’

Rasulullah (saw) bersabda, ‘Biarkan dia pergi! Jangan sampai orang-orang mulai mengatakan bahwa Muhammad (saw) membunuh kawan-kawannya.’”[20]

Riwayat selengkapnya dijelaskan sebagai berikut dalam buku Sirat Khatamun nabiyyin, namun tidak akan saya sampaikan karena sebelum ini pernah disampaikan. Alhasil, dalam menjelaskan keadaan terakhir Abdullah Bin Ubay, tertulis di dalam Kitab Sirat Ibnu Hisyam, “Setelah itu, ketika Abdullah Bin Ubay mengatakan ini dan itu, kaumnya sendiri mengatakan sangat malas padanya. Setelah Rasulullah (saw) mengetahui keadaannya, beliau bersabda kepada Hadhrat ‘Umar Bin Al-Khaththab, ‘Wahai ‘Umar! Pada hari ketika kamu meminta izin kepada saya untuk membunuhnya, jika saya perintahkan untuk membunuhnya, maka orang-orang akan memprotesnya. Namun jika saya perintahkan kepada orang-orang yang memprotes itu untuk membunuhnya sekarang, mereka akan membunuhnya. Mereka yang mendukungnya, coba lihat sekarang, berkat kesabaran karena keadaan tampak jelas di hadapan mereka, mereka sendiri mulai menentangnya dan bisa saja membunuhnya.

Hadhrat ‘Umar berkata, ‘Demi Tuhan! Saya telah mengetahui, tidak diragukan lagi, dari sisi keberkatan, ucapan tuan sangat mulia dibandingkan dengan ucapan saya.’”[21]

Ketika Rasulullah (saw) akan menyalatkan shalat jenazah pemimpin orang munafik yang bernama Abdullah Bin Ubay, Hadhrat ‘Umar berkata, “Allah Ta’ala telah melarang tuan untuk menshalatkan jenazah orang-orang munafik.”

Rasulullah (saw) bersabda, “Telah diberikan wewenang kepada saya untuk memohon ampunan baginya atau tidak.”

Karena itu, Rasulullah (saw) menyalatkan jenazahnya. Kemudian, setelah Allah Ta’ala melarang sepenuhnya supaya tidak menshalatkan orang seperti itu, Rasulullah (saw) tidak lagi menshalatkan jenazah orang-orang munafik.[22]

Terkait:   Riwayat Abu Bakr Ash-Shiddiiq Ra (Seri 24)

Penjelasan Tentang Shalat Saat Perang Khandaq

Abu Salamah meriwayatkan dari Hadhrat Jabir Bin Abdillah, “Hadhrat ‘Umar Bin Al-Khaththab pada saat perang Khandaq datang setelah matahari terbenam dan mulai melontarkan makian kepada Kuffar Quraisy. Hadhrat ‘Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Saya tidak mendapatkan kesempatan untuk shalat Ashar hingga matahari mulai terbenam.’

Nabi yang mulia (saw) bersabda, ‘Demi Tuhan! Saya pun belum shalat.’

Setelah ini, kami pergi menuju ‘Buthhaan’. Buthhaan adalah satu diantara lembah-lembah di Madinah. Kemudian Rasulullah (saw) wudhu untuk shalat dan kami pun wudhu dan setelah terbenam matahari kami mendirikan shalat Ashar. Setelah itu beliau melaksanakan shalat Maghrib.” (Bukhari) [23]

Berkenaan dengan ini timbul perdebatan bahwa selama perang Khandaq berapa shalat yang tidak bisa dilakukan oleh Rasulullah (saw) dan para sahabat beliau. Berkenaan dengan hal ini didapati beragam riwayat. Sebagaimana disebutkan dalam satu Riwayat, عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَعَلَ عُمَرُ يَوْمَ الْخَنْدَقِ يَسُبُّ كُفَّارَهُمْ وَقَالَ مَا كِدْتُ أُصَلِّي الْعَصْرَ حَتَّى غَرَبَتْ قَالَ فَنَزَلْنَا بُطْحَانَ فَصَلَّى بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى الْمَغْرِبَ Hadhrat Jabir meriwayatkan,  “Pada saat perang Khandaq, Hadhrat ‘Umar mulai melontarkan cacian kepada orang-orang kafir dengan berkata, ‘Saya tidak mendapatkan kesempatan untuk shalat Ashar hingga matahari telah terbenam.’” Dikatakan, “Setelah ini, kami pergi menuju ‘Buthhaan’ dan beliau (Hadhrat ‘Umar) melaksanakan shalat Ashar setelah terbenamnya matahari. Setelah itu beliau melaksanakan shalat Maghrib.”[24] Ini pun merupakan Riwayat Bukhari. Itu artinya, pada riwayat yang pertama, Rasulullah (saw) juga ikut serta.

(عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ) Hadhrat Ali meriwayatkan, عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ مَلَأَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ وَقُبُورَهُمْ نَارًا كَمَا شَغَلُونَا عَنْ صَلَاةِ الْوُسْطَى حَتَّى غَابَتْ الشَّمْسُ “Pada saat menggali parit (Khandaq) Nabi (saw) pernah bersabda, ‘Semoga Allah memenuhi rumah-rumah mereka dan kuburan-kuburan mereka (orang-orang Kafir) dengan api, karena mereka mencegah kita  dari melakukan ‘shalat al-wustha’ [shalat tengah-tengah] yakni shalat Ashar sehingga matahari telah terbenam.’” (Riwayat Bukhari).[25]

(عن أبي عبيدة بن عبد الله عن أبيه) Abu Ubaidah Bin Abdillah meriwayatkan dari ayahnya, ان المشركين شغلوا النبي صلى الله عليه و سلم يوم الخندق عن أربع صلوات حتى ذهب من الليل ما شاء الله قال قال فأمر بلالا فأذن ثم أقام فصلى الظهر ثم أقام فصلى العصر ثم أقام فصلى المغرب ثم أقام فصلى العشاء “Pada saat menggali parit, orang-orang Musyrik telah menghambat Rasulullah (saw) untuk melaksanakan 4 shalat, hingga berlalu bagian malam yang Allah kehendaki. Perawi mengatakan, Rasulullah (saw) memerintahkan Hadhrat Bilal untuk adzan lalu beliau adzan. Kemudian beliau memerintahkan untuk Iqamat lalu memimpin shalat zuhur. Kemudian beliau memerintahkan untuk Iqomat dan memimpin shalat ashar. Kemudian beliau memerintahkan untuk iqomat dan memimpin shalat magrib, Kemudian beliau memerintahkan untuk Iqamat dan memimpin shalat isya.” (Musnad Ahmad Bin Hanbal).[26]

Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud (as) menetapkan semua Riwayat ini dhaif (lemah) dan hanya membenarkan satu Riwayat yang menyebutkan bahwa beliau melaksanakan shalat ashar pada waktu yang sudah mendekati (magrib). Hal itu sebagaimana dalam menanggapi keberatan yang dilontarkan oleh pendeta Fateh Masih mengenai Rasulullah (saw) telah mengqadha 4 shalat pada saat perang Khandaq, Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda,

“Dan bisikan setan yang telah meliputi anda  (Fateh Masih) dimana anda menyatakan bahwa selama masa penggalian parit (khandaq), keempat shalat telah diqadha. Pertama, beginilah keadaan tingkat pengetahuan orang-orang seperti Anda perihal menggunakan kata ‘qadha’. Hai orang yang awam (tidak tahu)! Qadha artinya adalah mengerjakan shalat, bukan meninggalkan. Benar-benar tidak benar untuk menyebut tark namaaz (meninggalkan shalat) dengan kata ‘qadha’. Jika shalat seseorang hilang atau terlewat (tidak dilaksanakan), maka itu disebut Faut (فوت). Untuk alasan ini kami membuat tantangan sejumlah 5.000 (lima ribu) Rupee karena masih ada seorang yang sedemikian lugunya yang mengangkat tuduhan terhadap Islam padahal ia masih belum mengetahui arti kata ‘qadha’. Orang yang tidak mampu menempatkan kata-kata pada porsinya, bagaimana bisa orang bodoh seperti itu melontarkan ejekan terhadap suatu urusan yang bersifat dalam. Selebihnya dikatakan bahwa pada saat menggali parit empat shalat telah dijama. Sebagai jawaban atas keberatan yang bodoh ini adalah Allah Ta’ala berfirman bahwa agama tidaklah menghendaki kesulitan yakni tidak menghendaki kekerasan yang dapat merusak manusia sehiingga Dia telah memerintahkan untuk menjama atau mengqasar shalat ketika diperlukan dan ketika menghadapi bala musibah.

Namun dalam hal ini, di dalam hadits yang mu’tabar (terpercaya), tidak disebutkan perihal menjama 4 shalat tersebut. Bahkan, di dalam Fathul Bari yang merupakan Syarh (komentar) atas Sahih Bukhari tertulis bahwa yang terjadi pada saat itu hanyalah sebatas melaksanakan satu waktu shalat yakni shalat Ashar pada waktu yang tidak seperti biasanya. Jika Anda ada di depan kami…” Hadhrat Masih Mau’ud (as) as bersabda kepada penentang, “Jika Anda ada di depan kami maka kami akan meminta Anda untuk membuktikan dengan menyampaikan bukti yang otentik, benarkah semua hadits yang menyebutkan empat shalat dalam satu waktu terlewatkan semua (tidak dilaksanakan semua shalat itu) adalah muttafaq (disepakati banyak kitab hadits, terutama Bukhari dan Muslim, Red.)? Menurut sudut pandang syariat, empat shalat dapat dijamak [dengan cara] shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dapat dijamak sedangkan Maghrib dengan Isya dapat dijamak. Memang, ada sebuah riwayat yang lemah menyebutkan bahwa shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya semua digabungkan bersama-sama dilaksanakan di satu waktu. Namun, Hadits-Hadits Shahih lainnya meniadakannya (menolak riwayat ini) dan hanya ini yang kuat (terbukti benar) bahwa shalat Ashar dilaksanakan pada ‘tank waqt me’ (waktu yang sempit, tertekan, terpaksa, terlambat karena pada waktu yang sudah mendekati (magrib)” [27]

Partisipasi Hadhrat ‘Umar (ra) dalam Perjanjian Hudaibiyah

Berkenaan dengan peran Hadhrat ‘Umar di Perjanjian Hudaibiyah, tertulis, “Rasulullah (saw) memanggil Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab agar beliau pergi ke Makkah untuk menyampaikan kepada para pemuka Makkah tentang maksud kedatangan Baginda Nabi (saw). Hadhrat ‘Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), saya mengkhawatirkan jiwa saya terhadap Quraisy karena mereka mengetahui saya memusuhi mereka. Mereka tahu betapa saya memusuhi Quraisy. Saya telah sedemikian rupa memusuhi mereka hingga tidak ada seorang pun dari kaum saya, Banu ‘Adi bin Ka’ab yang dapat menyelamatkan saya.’ (Demikianlah beliau menyampaikan sedikit keengganannya).

Menurut satu riwayat lain, di kesempatan itu Hadhrat ‘Umar pun menyempaikan kepada beliau (saw), ‘Wahai Rasulullah (saw), jika tuan berkenan, saya akan pergi menemui mereka’, dimana Rasulullah (saw) tidak menjawabnya.

Hadhrat ‘Umar lantas berkata, ‘Saya akan mengusulkan satu sosok kepada tuan, yang lebih terpandang daripada saya di mata kaum Quraisy, yakni Hadhrat ‘Utsman bin Affan.’

Lantas Hudhur (saw) mencari ‘Utsman untuk menemui Abu Sufyan dan pemuka Quraisy lainnya, supaya ‘Utsman menyampaikan kepada mereka bahwa Huzur (saw) tidak datang untuk berperang, dan beliau hanyalah datang untuk ziarah Ka’bah dan demi menghormatinya.”[28]

Rincian ini telah disampaikan di pembahasan tentang Hadhrat Usman.

Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib menulis, “Ketika persyaratan Perjanjian Hudaibiyah tengah disusun, saat itu Abu Jandal, putra duta Quraisy Makkah, Suhail bin Amru seraya tertatih-tatih akibat terbelenggu rantai, tiba di perundingan itu. Sebelumnya, orang Makkah memenjarakan pemuda itu sebab ia menjadi Muslim dan ia pun diperlakukan sangat aniaya. Ketika ia mengetahui Rasulullah (saw) tidak lama lagi memasuki Makkah, maka ia dengan sedemikian rupa membebaskan diri dari tahanan orang Makkah dan tiba di Hudaibiyah seraya tertatih-tatih karena terbelenggu rantai. Namun, ia sampai di sana pada waktu ayahnya tengah menuliskan syarat perjanjian, yaitu siapapun orang Makkah yang ingin mengunjungi kaum Muslim, akan dikembalikan ke Makkah dikarenakan keMuslimannya itu.

Abu Jandal dengan tertatih-tatih mendatangi orang-orang Islam [di sana] seraya menyeru mereka dengan nada pilu, ‘Wahai orang-orang Islam, saya tertimpa musibah ini hanyalah karena Islam. Demi Tuhan, selamatkanlah saya.’

Orang-orang Islam iba melihatnya, namun Suhail bersikeras pada pendiriannya dan berkata kepada Nabi (saw), ‘Ini adalah permintaan pertama saya sesuai perjanjian ini kepada engkau. Yaitu serahkan Abu Jandal kepada saya.’

Beliau (saw) bersabda, “Perjanjian belumlah sempurna, sekarang masih sedang disusun dan belum final”.

Suhail berkata, ‘Jika Anda tidak mengembalikan Abu Jandal, anggaplah proses perjanjian berakhir di sini.’

Beliau (saw) bersabda, ‘Biarkanlah ia datang ke kami dan serahkanlah Abu Jandal kepada kami sebagai suatu kebaikan dan sikap kemanusiaan.’

Suhail berkata, ‘Tidak! Ini tidak akan terjadi.’

Beliau bersabda, ‘Suhail, janganlah berkeras hati, terimalah ucapanku ini.’

Suhail berkata, ‘Saya sama sekali tidak dapat menerima hal ini.’

Saat itu Abu Jandal kembali berseru, ‘Wahai para Muslim, apakah kalian akan menyerahkan seorang saudara Muslim kalian ini dalam keadaan yang amat teraniaya ini?’

Satu hal yang mengherankan mengapa Abu Jandal saat itu tidak meminta kepada Nabi (saw) tetapi kepada kaum Muslim? Mungkin alasannya adalah, Rasulullah (saw) sama sekali tidak akan mencederai suatu perjanjian meski bagaimanapun perihnya keadaan hati beliau, namun ia masih berharap kepada orang-orang Muslim yang mungkin saat itu akan mencari jalan keluar demi kebebasannya sementara persyaratan perjanjian masih tengah disusun. Namun, betapapun perihnya gejolak umat Islam saat itu, mereka tidak dapat mengambil langkah yang bertentangan dengan kehendak Nabi (saw).

Beliau (saw) setelah terdiam sejenak, bersabda kepada Abu Jandal dengan nada pilu, ‘Wahai Abu Jandal, bersabarlah, dan yakinlah akan [pertolongan] Tuhan. Tuhan pasti akan memberikan jalan keluar kepada engkau dan orang-orang Muslim lain yang teraniaya seperti engkau. Namun, saat ini kami terpaksa karena kami telah melakukan perjanjian dengan orang-orang Makkah dan kami tidak dapat mengambil tindakan yang bertentangan dengan perjanjian ini.’

Orang-orang Muslim menyaksikan pemandangan ini dan air mata mengalir disebabkan gejolak keislaman mereka, namun di hadapan Rasulullah (saw) mereka diam tidak melakukan apapun. Akhirnya, Hadhrat ‘Umar tidak sanggup menahannya lalu mendekati Nabi (saw) dan dengan gemetar beliau berkata, ‘Bukankah tuan benar-benar Nabi Allah?’

Beliau (saw) bersabda, ‘Ya, tentu saja.’

‘Umar berkata, ‘Bukankah kita ada diatas kebenaran dan musuh kita ada diatas kebatilan?’

Beliau (saw) menjawab, ‘Ya, sungguh benar.’

‘Umar berkata, ‘Lalu kini mengapa kita menanggung kehinaan jika agama kita adalah yang benar.’

Beliau (saw) melihat keadaan tabiat Hadhrat ‘Umar menjawab dengan singkat, ‘Perhatikan, ‘Umar. Aku adalah Rasul utusan Tuhan, dan aku mengetahui kehendak Tuhan, dan aku tidak dapat berjalan menentang kehendak-Nya, dan Dialah penolongku. Yakni, Allah Ta’ala lah penolongku.’

Namun tabiat Hadhrat ‘Umar membuatnya semakin bertanya. Beliau bertanya, ‘Bukankah tuan (saw) telah bersabda kepada kami bahwa kita akan Thawaf di Baitullah?’

 Beliau bersabda, ‘Ya, aku tentu telah mengatakannya. Namun apakah aku telah berkata bahwa thawaf itu pasti akan terjadi tahun ini?’

‘Umar berkata, ‘Tidak, tuan tidak mengatakannya.’

Beliau bersabda, ‘Oleh karena itu tunggulah, engkau pasti akan memasuki Makkah dan melakukan Thawaf di Ka’bah.’

Namun pergolakan ini tidak kunjung menenangkan Hadhrat ‘Umar. Namun karena ketinggian martabat Rasulullah (saw), Hadhrat ‘Umar pun beranjak dari beliau dan mendatangi Hadhrat Abu Bakr serta mengutarakan gejolak sama yang beliau rasakan itu. Hadhrat Abu Bakr pun memberi jawaban seperti demikian, dan lantas beliau memberi nasihat, ‘Wahai ‘Umar, jagalah dirimu, dan janganlah engkau membiarkan renggang, tali yang telah engkau eratkan kepada Rasul Allah. Karena demi Tuhan, wujud yang kepadanya kita telah menyerahkan tangan kita, ia adalah sosok yang benar.’

Hadhrat ‘Umar berkata, ‘Saat itu saya mengutarakan seluruhnya akibat gejolak saya sendiri dan setelahnya saya sangat menyesalinya. Dan untuk bertobat darinya, dan membersihkan kelemahan ini, saya telah banyak menunaikan amalan-amalan nafal, yakni saya bersedekah, berpuasa, menjalankan shalat-shalat nafal, dan memerdekakan budak-budak supaya saya terbebas dari kelemahan ini.’”[29]

Di satu ceramah Jalsah sebelum menjadi khalifah, Hadhrat Khalifatul Masih ar-Rabi (rha) dalam ceramah beliau, ada satu hal terkait ini yang hendak saya sampaikan. Beliau bersabda, “Tidak diragukan lagi, keperihan dan kepiluan hati yang menyebabkan Hadhrat ‘Umar bertanya saat itu, hal itu pun telah membekas di dada banyak orang. Dan tidak disangkal lagi perasaan yang saat itu tergambar melalui kata-kata Hadhrat ‘Umar, bukanlah perasaan Hadhrat ‘Umar saja, namun juga para sahabat lainnya; dan gejolak perasaan demikian ada di ratusan dada umat Muslim saat itu. Hadhrat ‘Umar yang saat itu pada akhirnya mengungkapkannya, itu adalah laksana petir yang membuat Hadhrat ‘Umar terus menyesalinya seumur hidup beliau. Lantas banyak puasa yang beliau jalankan, banyak ibadah, banyak sedekah dan banyak istighfar yang beliau lakukan seraya membasahi tempat sujud beliau, namun tidak dapat menghentikan beliau dari penyesalan itu.

Gejolak di Hudaibiyah hanyalah sementara, dimana dalam waktu singkat rahmat Tuhan turun bagaikan hujan yang mengubah semua menjadi ketentraman. Namun pergolakan akibat pertanyaan yang timbul dari ketidaksabaran beliau berubah menjadi satu pergolakan abadi yang terus ada dalam diri beliau. Dengan penyesalan beliau terus berkata, ‘Seandainya saya tidak pernah melontarkan pertanyan itu kepada Rasulullah (saw).’ Beliau bersabda bahwa saya terus-menerus memikirkannya. Hingga di waktu menghembuskan nafas terakhir, tatkala Hadhrat ‘Umar mengucapkan wirid, لاَ لِي وَلاَ عَلَىَّ laa lii wa laa alayya, yaitu, ‘Wahai Tuhan, aku tidak memohon ganjaran atas kebaikanku, aku hanya berharap Engkau memaafkan kesalahan-kesalahanku.’[30]

Diantara kekhilafan beliau, salah satunya adalah peristiwa di medan Hudaibiyah yang terus-menerus mengganggu beliau. Melihat kegelisahan dan perasaan tertunduk yang dialami para sahabat di saat penyusunan perjanjian tersebut, dan membayangkan bagaimana gejolak kalbu Rasulullah (saw) saat itu, dimana hanya Sahabat Sejati beliau [yaitu Allah Ta’ala] sajalah yang mengetahuinya, namun ketiga kalimat yang terucap dari lisan penuh berkat beliau (saw) ketika menjawab pertanyaan Hadhrat ‘Umar mengandung banyak pelajaran bagi orang-orang yang merenungkannya.”[31]

Pada perdamaian Hudaibiyah, tertera juga tanda-tangan Hadhrat ‘Umar di dalam perjanjian yang terjadi antara umat Islam dengan Quraish Makkah itu. Terkait ini Hadhrat Mirza Basyir Ahmad Sahib menulis, “Dibuatkan dua salinan dari perjanjian ini; dan sebagai saksi, banyak pemuka dari kedua belah pihak yang mencantumkan tanda tangan mereka. Yang menandatangani dari pihak Muslim adalah Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat ‘Umar, Hadhrat Usman, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Abu Ubaidah. Setelah perjanjian rampung, Suhail kembali sambil membawa satu salinan perjanjian tersebut ke Makkah dan salinan kedua ada pada Rasulullah (saw).”[32]

Terkait:   Ramadhan: Menjadi seorang Hamba Tuhan yang ar-Rahman (Maha Pemurah)

Terkait kepulangan setelah perdamaian Hudaibiyah, di dalam buku Sirat Khataman Nabiyyin tertulis, “Selepas peristiwa pengorbanan tersebut, Nabi (saw) memerintahkan untuk kembali ke Madinah. Telah berlalu kurang lebih 20 hari hingga beliau berada di Hudaibiyah. Di perjalanan pulang, ketika beliau tiba di Kura’ul Ghamim (کُرَاعُ الْغَمِیْم), yang berada di dekat ‘Usfan, (‘Usfan terletak sejauh 103 km dari Makkah, dan Kura’ul Ghamim adalah sebuah lembah yang berada 8 mil dari ‘Usfan dan saat itu adalah waktu malam), beliau mengumumkan dan mengumpulkan para sahabat, kemudian beliau bersabda, ‘Di malam ini ada satu surah yang turun atasku, yang ia sangat kucintai dibanding dunia dan seisinya, dan ini adalah: (yaitu surah Al-Fath): إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِينًا () لِّيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا () وَيَنصُرَكَ اللَّهُ نَصْرًا عَزِيزًا ()  “Sesungguhnya Kami telah memberi kepada engkau satu kemenangan nyata. Supaya Allah melindungi engkau di masa lalu dari dosa-dosa yang dibuat terhadap engkau dan di masa yang akan datang, dan Dia menyempurnakan nikmat-Nya atas engkau; dan memberi petunjuk kepada engkau pada jalan yang lurus; Dan Allah akan menolong engkau dengan pertolongan yang perkasa.” (Al-Qur’an Surah al-Fath, 48:2-4) Ini adalah ayat ke-2 hingga ke-4 surah Al-Fatah lalu selanjutnya hingga ayat ke-28 yaitu, لَّقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ ۖ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ ۖ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَٰلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا () Artinya,  “Wahai Rasul! Kami telah menganugerahkan kepada engkau satu kemenangan yang hebat. Dimana untuk engkau, Kami memulai suatu masa yang di dalamnya segenap kelemahan-kelemahan baik yang sudah maupun yang akan datang, tertutup dengan tirai maghfirat [Tuhan], dan supaya Tuhan menyempurnakan nikmat-Nya atas engkau dan supaya terbuka jalan lurus bagi engkau menuju keberhasilan dan Allah Ta’ala pasti akan menurunkan pertolongan yang luar biasa kepada engkau. Hal yang sebenarnya, Tuhan telah menyempurnakan mimpi yang telah diperlihatkan kepada Rasul-Nya itu, karena kini engkau semua Insya Allah pasti dan pasti akan memasuki Masjidil haram dalam suasana aman seraya mempersembahkan berbagai pengorbanan di jalan Allah, lalu mencukur dan menggunting rambut engkau, sementara tidak akan ada ketakutan menyelimuti engkau.”

Artinya, “Jika tahun ini engkau mendatangi Makkah, kedatangan ini bukan dalam keadaan aman, tetapi akan menjadi perang dan pertumpahan darah; namun, Tuhan Yang telah memperlihatkan di dalam mimpi kedatangan [engkau] dalam suasana aman, Dia pula Yang menciptakan suasana aman di tahun ini melalui hasil perjanjian; dan kini tidak lama lagi, sesuai mimpi yang telah Tuhan perlihatkan, engkau akan memasuki Masjidil Haram dalam keadaan sentosa.” (Al-Qur’an Surah al-Fath, 48:28) Maka seperti demikianlah yang terjadi.’

Ketika beliau (saw) menyampaikan ayat-ayat itu kepada para sahabat, karena di hati sebagaian sahabat masih tersisa rasa pahit akan peristiwa perdamaian Hudaibiyah, dimana mereka pun heran dan merasa bahwa secara lahiriah mereka pulang dengan menanggung kegagalan namun Tuhan justru memberi kabar suka kemenangan kepada mereka, sehingga ada beberapa sahabat yang bertabiat tergesa-gesa hingga berkata, ‘Apakah ini kemenangan, yaitu kita pulang setelah luput dari Thawaf Baitullah?’

Ucapan ini pun sampai hingga Nabi (saw), dan beliau memperlihatkan kemarahan beliau dan melalui satu pidato singkat dengan penuh gejolak beliau bersabda, ‘Ini adalah keberatan yang amat sia-sia; karena jika direnungkan, perdamaian Hudaibiyah sungguh satu kemenangan yang sangat besar bagi kita. Kaum Quraisy yang terus melawan melalui berbagai pertempuran, mereka sendiri yang meninggalkan pertempuran dan memilih menempuh perjanjian. Mereka telah berjanji membukakan pintu bagi kita untuk memasuki Makkah di tahun depan dan kita dengan aman dan selamat, terbebas dari perlawanan keji orang-orang Makkah, kini tengah pulang seraya merasakan harum kemenangan yang ada di depan kita. Jadi, sungguh ini adalah satu kemenangan yang luar biasa. Apakah engkau telah lupa bahwa Quraish inilah yang dahulu telah sedemikian rupa mencederai engkau di peperangan Uhud dan Ahzab, dan saat itu bumi yang luas telah menjadi sempit atasmu, dan mata engkau telah dilempari, dan engkau ditimpa kegetiran, namun kini Quraisy itulah yang melakukan janji damai dengan engkau.’

Sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), kini kami telah memahami. Kami tidak mampu melihat apa yang dapat engkau lihat. Namun kini kami telah mengerti bahwa sungguh perjanjian ini adalah kemenangan besar bagi kita.’

Sebelum beliau (saw) menyampaikan sabda ini, Hadhrat ‘Umar pun sangat bermuram hati. Beliau (ra) sendiri yang menjelaskan, ‘Sepulang [peristiwa] Hudaibiyah, di perjalanan ketika malam hari, saya datang ke hadapan Nabi (saw) dan hendak menyampaikan sesuatu kepada beliau, namun beliau tidak menjawab apapun. Untuk ketiga kalinya saya bertanya, namun beliau tetap diam seperti sebelumnya.

Saya sangat sedih akan diamnya beliau dan saya berkata kepada diri saya, “Celakalah engkau ‘Umar, engkau telah tiga kali bertanya kepada Rasulullah (saw), namun beliau tidak menjawab apapun.”

Oleh karena itu, saya keluar dari rombongan Muslim dan menanggung kesedihan seraya berpikir, “Apakah yang sebenarnya terjadi?”

Rasa takut pun menghantui saya, jangan sampai ada ayat Quran yang turun mengenai saya. Seketika itu ada seorang yang menyeru nama saya dan berkata bahwa Rasulullah (saw) memanggil ‘Umar bin Al-Khaththab. Saya berkata, “Pasti ada ayat Quran yang turun mengenai diri saya.”

Maka dari itu, dengan rasa takut, saya segera datang ke hadapan Rasulullah (saw). Dengan ketakutan saya cepat-cepat datang ke hadapan Rasulullah (saw) dan setelah mengucapkan salam saya menghampiri beliau (saw). Beliau (saw) bersabda, “Saat ini telah turun suatu surah kepada saya yang lebih saya cintai daripada semua barang-barang dunia.” Kemudian beliau (saw) menilawatkan surah al-Fath.

Saya (Hadhrat ‘Umar ra) berkata, “Ya Rasulullah (saw)! Apakah perjanjian damai ini benar-benar kemenangan Islam?”

Beliau (saw) bersabda, “Ya! Sungguh ini adalah kemenangan kita.”’

Atas hal ini Hadhrat ‘Umar (ra) merasa tenang lalu terdiam. Setelah itu Hadhrat Rasulullah (saw) pulang ke Madinah.”[33]

Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda: “Pada kesempatan perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah (saw) berdamai dengan Musyrikin Mekah yang mana hal itu membuat dalam diri para sahabat timbul kerisauan sedemikian rupa sehingga sosok seperti Hadhrat ‘Umar (ra) datang kepada Rasulullah (saw) dan mengatakan, ‘Ya Rasulullah (saw)! Bukankah Allah Ta’ala telah menjanjikan kepada anda bahwa kita akan melakukan Thawaf di Kabah? Atau bukankah kemenangan telah ditaqdirkan untuk Islam?’

Rasulullah (saw) bersabda, ‘Mengapa tidak?’

Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Lalu mengapa kita ditekan dan melakukan perjanjian ini?’

Rasulullah (saw) bersabda, ‘Memang Allah Ta’ala telah menjanjikan bahwa kita akan melakukan Thawaf, namun tidak mengatakan bahwa kita akan melakukannya tahun ini.’”[34]

Riwayat Hadhrat ‘Umar (ra) ini insya Allah masih akan terus berlanjut pada kesempatan yang akan datang.

Sekarang saya akan menyampaikan riwayat beberapa Almarhum yang akan dilakukan shalat jenazahnya. Jenazah yang pertama adalah yang terhormat Malik Muhammad Yusuf Salim Sahib yang merupakan penanggung jawab departemen penulisan cepat. Beliau wafat pada usia 86 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau satu-satunya Ahmadi dalam keluarga beliau. Beliau menerima Ahmadiyah pada tahun 1952. Kakak beliau memberikan beliau pekerjaan di Kereta Api. Waktu itu di sana beliau sebagai Kepala Teknisi.

Mir Hamidullah Sahib, yang merupakan seorang Ahmadi biasa datang ke sana dan bertabligh. Almarhum menjadi Ahmadi setelah membaca Al-Fazl. Ketika keluarga beliau mengetahui, mereka menakut-nakuti dan mengancam akan membunuh beliau jika tidak meninggalkan Ahmadiyah, namun kemudian beliau meninggalkan rumah dan tidak meninggalkan Ahmadiyah. Ketika beliau meninggalkan rumah situasinya sangat berbahaya sehingga ibunda beliau pada suatu malam dengan sembunyi-sembunyi mengatakan kepada beliau, “Pergilah dari sini dan jangan pernah datang ke sini, jika tidak, nyawamu dalam bahaya.”

Beliau menyelesaikan Master di bidang studi agama Islam dan pada 1958 beliau masuk ke Jamiah Qadian. Pada 1963 beliau lulus dari Jamiah, kemudian beliau bersama Mufti Silsilah Malik Saifurrahman Sahib, ditugaskan di kantor Dewan Ifta’.

Pada 1967 beliau dipindahkan ke Departemen Penulisan Cepat. Ketika Maulana Muhammad Yakub Tahir Sahib yang merupakan penanggung jawab di departemen tersebut wafat, Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits r.h. menempatkan Almarhum pada posisi beliau di Departemen Penulisan Cepat. Di kantor penulisan cepat beliau bertugas untuk menyiapkan laporan khutbah-khutbah, ceramah-ceramah, program-program dan lawatan-lawatan Hadhrat Khalifatul Masih. Pada 1978 Hadhrat Khalifatul Masih Ats-Tsalits r.h. ikut serta dalam Konferensi Kasr-e-Salib. Beliau juga turut serta bersama Huzur di dalamnya dan menyiapkan laporan.

Beliau juga banyak bekerjasama dengan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ r.h. dalam penyusunan Sawanih Fazl-e-Umar dan Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ menceritakan mengenai sosok beliau dengan cara yang sangat bagus. Pada 1983 Hadhrat Khalifatul Masih Al-Rabi’ r.h. melakukan lawatan ke Australia, Fiji dan Singapura, Malik Yusuf Salim Sahib juga menyertai beliau dan setelah hijrah beliau mengerjakan penyiapan salinan kaset audio khutbah-khutbah dengan sangat baik dan beliau sendiri pergi ke satu tempat di Faisal Abad karena harus berhati-hati. Beliau pergi ke satu rumah dan menyiapkan kaset audio tersebut di sana lalu membawanya pulang. Beliau juga untuk beberapa masa bertugas sebagai mubaligh di lapangan. Beliau mendapatkan taufik berkhidmat dalam pengerjaan Khutbat-e-Tahir di Tahir Heart Foundation. Beliau mendapatkan taufik mencatat agenda-agenda syuro di Private Secretary. Setelah pensiun beliau dikaryakan kembali, kemudian dikarenakan sakit pada 2013 beliau mengajukan pensiun.

Beliau menikah dua kali. Dari pernikahan pertama lahir seorang putri, setelah itu istri beliau wafat. Kemudian beliau melakukan pernikahan yang kedua yang darinya lahir 2 putra dan 3 putri. Putri beliau, Qudsiah Mahmud Sardar menulis, “Ayahanda kami memiliki jalinan dengan Allah ta’ala dan juga sering menasihatkan hal ini kepada kami. Beliau secara ketat mendisiplinkan kami dalam shalat. Beliau marah apabila kami terlambat shalat. Beliau biasa menangis dalam shalat tahajud. Beliau membaca satu juz Al-Qur’an setiap hari dan ketika sakit pun beliau selalu menanyakan apakah sudah waktu shalat atau belum? Beliau sangat memperhatikan shalat. Beliau memenuhi diri kami dengan kecintaan dan ketaatan pada Khilafat. Beliau sangat mencintai Khilafat. Beliau selalu mengatakan bahwa seluruh keberkatan terletak pada ketaatan pada Khilafat. Beliau telah menanggung banyak kesulitan demi Ahmadiyah.”

Asisten Sekretaris Pribadi, Rashid Tayyib Sahib menuturkan, “Di masa Khilafat ketiga, Mirza Salim Sahib bergabung di Departemen Penulisan Cepat. Di Departemen ini beliau mendapatkan taufik berkhidmat dalam waktu yang lama dan menuangkan pidato-pidato dan lain sebagainya ke dalam bentuk tulisan. Beliau menyiapkan laporan-laporan untuk suratkabar Jemaat, Al-Fazl. Beliau seorang yang bekerja dengan penuh tanggung jawab, terorganisasi dan dengan standar yang tinggi.”

Kualitas sastra beliau juga sangat tinggi dan sebagaimana telah saya sampaikan, beliau mendapatkan kesempatan pergi bersama Khalifatul Masih Ats-Tsalits r.h. dan Khalifatul Masih Al-Rabi’ r.h. dalam rombongan lawatan ke luar negeri, seperti Afrika dan Eropa.

Beliau bekerja dengan sangat teliti. Beliau menuliskan setiap kata dengan penuh kehati-hatian dan perenungan dan berdoa terlebih dahulu sebelum menulis supaya tidak melenceng dari pemahaman yang sebenarnya. Ketika beliau pensiun pada 2013, kapan pun timbul kesulitan dalam penyiapan laporan syuro, ketika dipanggil ke kantor private secretary beliau selalu hadir dengan segera dan selalu mengungkapkan, “Saya menganggap ini sebagai suatu kehormatan bagi saya.”

Dalam benak saya juga selalu tergambar mengenai Almarhum bahwa beliau seorang pribadi yang tenang yang menikmati pekerjaannya dan beliau pun memenuhi hak waqaf. Beliau melakukan semua pekerjaan tanpa banyak bicara, tidak pernah menuntut, dan sosok yang sangat sederhana.

Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan rahmat-Nya dan memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.

Jenazah kedua, yang terhormat Syuaib Ahmad Sahib, Waqif Zindegi, putra Almarhum Darwisy, Bashir Ahmad Sahib, dari Qadian. Beliau wafat pada usia 56 tahun. Innaa lillaahi wa innaa illaihi rooji’uun. Beliau mulai bekerja di Jema’at pada 1987. Beliau berkhidmat sebagai karyawan, kepaladan Nazir di berbagai departemen Sadr Anjuman Ahmadiyah.

Beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai penanggung jawab di Daftar Ulya dan Jalsah Salanah Ahmadiyah, Nazir Baitul Maal Kharac, Nazim Waqfi Jadid Maal, Officer Jalsah Salanah dan Sadr Khuddamul Ahmadiyah India. Masa pengkhidmatan beliau lebih dari 33 tahun. Beliau pun sangat perhatian terhadap ibadah, sangat dawam dalam melaksanakan shalat tahajud dan nafal-nafal dan memiliki standar tinggi ketaatan kepada Khilafat. Beliau selalu mengatakan, “Petunjuk apa pun yang datang harus secepatnya dilaksanakan.”

Beliau memiliki kedalaman ilmu Al-Qur’an. Beliau biasa menelaah buku-buku Hadhrat Masih Mau’ud (as) dan para Khalifah Jema’at. Pengetahuan agama beliau sangat luas dan beliau menguasai pidato dengan berbagai tema. Beliau adalah sosok yang berakhlak baik dan ramah. Beliau sosok yang penuh cinta kasih kepada semua lapisan masyarakat. Beliau sepenuhnya memperhatikan orang-orang yang membutuhkan dan para bawahan beliau. Setiap orang di Qadian sangat memuji beliau. Beliau pribadi yang bersemangat tinggi dan senantiasa bersyukur. Almarhum adalah seorang mushi. Di antara yang ditinggalkan selain istri, juga terdapat 2 orang putra. Beliau adalah menantu dari Jalaluddin Sahib Nayyar, Sadr Sadr Anjuman Ahmadiyah Qadian.

Rafiq Beg Sahib, Nazir Baitul Maal Aamad Qadian menulis, “Saya mendapatkan kesempatan berkhidmat bersama beliau di Majlis Khuddamul Ahmadiyah India dan Kantor Jalsah Salanah Qadian selama 18 tahun. Beliau membimbing para pengkhidmat dengan teladan amalan beliau. Pada hari-hari Jalsah beliau berada di kantor hingga pukul 3-4 dini hari dan memeriksa akomodasi. Ketika didapati kekurangan beliau segera pergi untuk memperbaikinya. Beliau selalu menasihatkan kepada setiap panitia untuk memperhatikan para tamu Hadhrat Masih Mau’ud (as) sebagaimana seharusnya. Jika ada perlakuan kurang menyenangkan dari seorang panitia maka beliau sendiri yang meminta maaf kepada tamu. Saudara ipar beliau juga menulis bahwa beliau selalu mengatakan, ‘Di dunia ini saya tidak pernah memusuhi siapa pun.’”

Terkait:   Riwayat Sahabat Rasulullah (saw), Mush’ab bin Umair (ra)

Seorang Inspektur Wakalat Maal Tahrik Jadid menulis, “Departemen beliau melakukan lawatan selama 75 hari ke Tamil Nadu, Kerala, India. Pada waktu itu saya sakit, maka beliau merawat saya layaknya seorang orang tua.”

Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfiroh dan rahmat-Nya kepada Almarhum, menganugerahkan kesabaran dan ketentraman kepada istri dan anak-anak beliau dan memberikan taufik untuk meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.

Jenazah selanjutnya yang terhormat Maqsud Ahmad Sahib Bhatti, Mubaligh Jema’at di Qadian yang wafat pada 18 Mei di usia 52 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Almarhum berasal dari Jema’at Ahmadiyah Charkor, Distrik Rajouri, Provinsi Jammu dan Kashmir. Masa pengkhidmatan beliau selama 30 tahun. Beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Amir Daerah Lucknow dan kurang lebih selama satu tahun menjadi Mubaligh In Charge Srinagar.

Dari 2017 hingga wafat beliau berkhidmat secara penuh sebagai Qazi pusat. Beliau melaksanakan tugasnya di Dewan Qadha dengan cekatan dan penuh ketulusan. Beliau memutuskan puluhan kasus. Beliau sangat memikirkan tanggung jawabnya, bahkan ketika sakit di rumah sakit, beberapa hari yang lalu beliau pun terkena corona, namun beliau masih tetap memikirkan tugas-tugas beliau.

Beliau seorang yang sangat ramah, berakhlak baik, berani, memahami permasalahan dan seorang waqif zindegi yang cekatan. Almarhum seorang Mushi. Di antara yang ditinggalkan selain ibu dan 3 saudara laki-laki, juga 3 orang putri. Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfiroh dan rahmat-Nya, menjaga putri-putri Almarhum dan menganugerahkan taufik untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan Almarhum.

Jenazah selanjutnya, Jawid Iqbal sahib, dari Faisalabad yang wafat di usia 66 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Putra beliau, Talha Jawid menulis, “Ahmadiyah masuk ke dalam keluarga beliau melalui kakek buyut beliau yang bernama Baba Chakira yang namanya masyhur dikarenakan profesinya sebagai pembuat penggilingan tepung dan memberikan jasa servisnya. Beliau biasa melakukan pekerjaan beliau dengan bersuara lantang di jalanan sambil melantunkan syair-syair Hadhrat Masih Mau’ud (as) dengan suara tinggi sehingga terbuka jalan-jalan pertablighan.

Dengan karunia Allah Ta’ala selain shalat fardhu, beliau juga rajin tahajud. Beliau menasihatkan kepada anggota keluarga untuk melaksanakan shalat berjama’ah, bahkan mengatur shalat berjama’ah di rumah. Beliau secara dawam menilawatkan Al-Quran beserta terjemahannya. Beliau secara khusus mengatur untuk menyimak Khutbah. Semua anggota keluarga dikumpulkan dan bersama-sama menyimak khutbah di MTA. Beliau begitu asyik dalam pengkhidmatan terhadap agama. Setelah tahun 1984, ketika khutbah Khalifah-e-waqt disiarkan melalui kaset audio, beliau memasukkan kaset ke dalam tas dan berkeliling dengan sepeda ke Jema’at di kampung-kampung untuk mengantarkan kaset tersebut dan ketika MTA diluncurkan beliau memasang parabola di rumahnya dan mengundang orang-orang ke rumah untuk menyimak MTA.”

Di antara yang ditinggalkan antara lain Ibunda beliau, istri beliau, Amatul Basith, 2 putra dan 1 putri. Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfiroh dan rahmat-Nya kepada Almarhum.

Jenazah selanjutnya yang terhormat Madiha Nawaz, istri dari Nawaz Ahmad Sahib, Muballigh Jema’at Ghana, yang wafat pada 16 April di usia 36 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Beliau wafat di Ghana. Pak Mubaligh, yakni suami beliau menulis, “Dalam masa pernikahan selama enam belas tahun saya mendapati begitu banyak kebaikan-kebaikan Almarhumah. Seorang wanita yang penuh semangat, penyabar, penuh simpati dan berjiwa pengorbanan. Seorang ibu yang terbaik dan istri yang setia. Di Ghana kapan pun ada kesempatan beliau mengadakan kelas-kelas untuk anak-anak. Beliau biasa duduk bersama anak-anaknya dan mengajarkan Al-Quran. Beliau bersikap sangat baik kepada keluarga mertua dan tidak pernah membalas kata-kata kasar seseorang, bahkan beliau bersabar dan meminta saya juga untuk bersabar. Beliau selalu menasihatkan untuk berdoa. Dalam hal tarbiyat anak beliau memperhatikan sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya. Untuk menghubungkan dengan Khilafat beliau sering membicarakan mengenai keberkatan Khilafat dengan anak-anak. Seorang wanita yang solehah dan menyayangi orang-orang miskin.”

Di antara yang ditinggalkan selain suami juga 3 orang anak, Farad Safih ‘Umar (13 tahun), Faizia ‘Umar (8 tahun) dan Zara ‘Umar (1 tahun). Semua anak maa syaa Allah tergabung dalam Waqf-e-nou.

Semoga Allah Ta’ala mengabulkan doa-doa Almarhumah untuk putra-putrinya dan meninggikan derajat Almarhumah serta memberikan maghfiroh dan rahmat-Nya.[35]

Khotbah II

اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَامَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Rujukan pembanding: https://www.Islamahmadiyya.net (bahasa Arab)


[1] Ath-Thabaqātul-Kubrā, By Muhammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 274, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Hamrā’al-Asad, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[2] Syarhul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah By Allāmah Shihābuddīn Al-Qasthalānī, Volume 2, pp. 464-465, Ghazwatu hamrā’il-Asad, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[3] Sirah Khataman Nabiyyiin oleh Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra), pp. 504-505 (سیرت خاتم النبیینﷺ از حضرت مرزا بشیر احمد صاحبؓ ایم۔ اے صفحہ 504-505); Mu’jamul Buldaan (معجم البلدان جلد 2 صفحہ346 حمراء الاسد۔ دار الکتب العلمیۃ بیروت); Kitab al-Maghazi karya al-Waqidi (کتاب المغازی للواقدی جلد 1 صفحہ 278۔ غزوۃ احد۔ دار الکتب العلمیۃ بیروت 2013ء). Tercantum juga dalam As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 546, Ghazwatu Ḥamrā’il-Asad, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001).

[4] Kitab al-Maghazi jilid 1, h. 278, ghazwah Uhud, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut, 2013 (کتاب المغازی للواقدی جلد 1 صفحہ 278۔ غزوۃ احد۔ دار الکتب العلمیۃ بیروت 2013ء).

[5] Ath-Thabaqātul-Kubrā, By Muhammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 274, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Hamrā’al-Asad, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[6] (سیرت خاتم النبیینﷺ از حضرت مرزا بشیر احمد صاحبؓ ایم۔ اے صفحہ 504-505) Sirah Khataman Nabiyyiin oleh Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra), pp. 504-505; tercantum juga dalam Lughat-ul-Hadith, Vol. 2, p. 149.

[7] The Life of Mahomet, By Sir William Muir, Chapter XVI, Mahomet attacks and takes captive the Bani Mustalick), pp. 306-307, Published by Smith, Elder & Co. London (1878).

[8] As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 670, Ghazwatu Banī Muṣṭaliq Bil-Muraisī‘, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001); Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 281, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Al-Muraisī‘, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[9] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 281, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Al-Muraisī‘, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[10] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 281, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Al-Muraisī‘, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[11] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 281, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Al-Muraisī‘, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[12] Yang menyebut Amir tersebut ialah Abu Dzar al-Ghifari ialah Kitab As-Sīratun-Nabawiyyah, By Abū Muḥammad ‘Abdul-Mālik bin Hishām, p. 670, Ghazwatu Banī Muṣṭaliq Bil-Muraisī‘, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (2001). Yang menyebut Amir tersebut ialah Zaid bin Haritsah ialah Kitab Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 281, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Al-Muraisī‘, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[13] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 281, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Al-Muraisī‘, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996); * Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī, Volume 3, p. 4, Ghazwatul-Muraisī‘, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[14] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 281, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Al-Muraisī‘, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996); * Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī, Volume 3, p. 6, Ghazwatul-Muraisī‘, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[15] Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī, Volume 3, pp. 6-7, Ghazwatul-Muraisī‘, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition.

[16] Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil-Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī, Volume 3, p. 7, Ghazwatul-Muraisī‘, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996).

[17] Aṭ-Ṭabaqātul-Kubrā, By Muḥammad bin Sa‘d, Volume 2, p. 281, Ghazwatu Rasūlillāhi saw Al-Muraisī‘, Dāru Iḥyā’it-Turāthil-‘Arabī, Beirut, Lebanon, First Edition (1996)

[18] Ṣaḥīḥul-Bukhārī, Kitābul-‘Itq, Bābu Man Malaka Minal-‘Arabi Raqīqan….., Ḥadīth No. 2541.

[19] Sharḥul-‘Allāmatiz-Zarqānī ‘Alal-Mawāhibil Ladunniyyah, By Allāmah Shihābuddīn Al-Qusṭalānī, Volume 3, pp. 8-9, Ghazwatul-Muraisī‘, Dārul-Kutubil-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, First Edition (1996). Sirah Khataman Nabiyyiin oleh Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra) halaman 557-559 (سیرت خاتم النبیین از حضرت مرزا بشیر احمد صاحبؓ ایم اے صفحہ557 تا 559)

[20] Shahih Muslim (صحيح مسلم), Kitab al-Birri wash Shilah wal Adab (كتاب البر والصلة والآداب), bab nashril akh zhaliman au mazhluman (باب نَصْرِ الأَخِ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا), nomor 6583 atau di versi lain nomor 6748.

[21] As-Siratun Nabawiyah karya Ibnu Hisyam (سیرت ابن ہشام صفحہ 672دارالکتب العلمیۃ بیروت لبنان2001ء)

[22] Al-Isti’aab fi Ma’rifaatil Ashhaab (الاستیعاب فی معرفۃ الاصحاب جلد3 صفحہ941 عبد اللّٰہ بن عبد اللّٰہ انصاری۔ دار الجیل بیروت)

[23] Shahih al-Bukhari, Kitab Mawaaqiitush Shalaah, Bab Man Shalla bin Naasi jamaa’atan ba’da dzihaabil Waqt (bab barangsiapa shalat berjamaah setelah waktunya lewat), 596 (صحیح البخاری کتاب مواقیت الصلوٰۃ باب من صلی بالناس جماعۃ بعد ذھاب الوقت حدیث 596). Mu’jamul Buldaan jilid 1, h. 529, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut (معجم البلدان جلد1 صفحہ529 دار الکتب العلمیۃ بیروت).

[24] Shahih al-Bukhari, Kitab Mawaaqiitush Shalaah, Bab Man Shalla bin Naasi jamaa’atan ba’da dzihaabil Waqt (bab barangsiapa shalat berjamaah setelah waktunya lewat), 598 (صحیح البخاری کتاب مواقیت الصلوٰۃ باب من صلی بالناس جماعۃ بعد ذھاب الوقت حدیث 598). Mu’jamul Buldaan jilid 1, h. 529, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, Beirut (معجم البلدان جلد1 صفحہ529 دار الکتب العلمیۃ بیروت).

[25] Shahih al-Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab ghazwah Khandaq wa hiyal Ahzaab, nomor 4111 (صحیح بخاری کتاب المغازی باب غزوۃ الخندق و ھی الاحزاب، حدیث 4111). Shahih al-Bukhari Kitab al-Jihad was Sair bab ad-Du’a ‘alal musyrikiina bil haziimah waz zilzalah: عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ الأَحْزَابِ قَالَ رَسُولُ اللهِ مَلأَ اللهُ بُيُوتَهُمْ وَقُبُورَهُمْ نَارًا شَغَلُونَا عَن الصَّلاةِ الْوُسْطَى حَتَّى غَابَت الشَّمْسُ” (البخاري، كتاب الجهاد والسير)Dari Ali (ra) mengatakan, “Pada hari perang Ahzab, Nabi (saw) mengatakan, ‘Semoga Allah memenuhi rumah mereka dan kuburan mereka dengan api, karena mereka mencegah kita  dari melakukan ‘shalat alwustha’ [shalat tengah-tengah] sehingga matahari telah tenggelam.. Tercantum juga pada Shahih Muslim Kitab al-Masaajid wa mawaadhi’ish Shalaah bab at-Taghlizh fii Tafwiiti Shalaatil ‘Ashr.

[26] Musnad Ahmad bin Hanbal nomor 3555 (مسند احمد بن حنبل جلد 2 صفحہ 6-7، مسند عبد اللّٰہ بن مسعود حدیث 3555، عالم الکتب بیروت 1998ء). Sekitar 10.000 orang dari berbagai golongan (ahzaab) musyrikin dan Yahudi anti Islam bersatu bersama-sama menyerbu Madinah. Kaum penyerang kesulitan memasuki kota Madinah karena dihalangi oleh parit-parit penuh lumpur yang dibuat oleh kaum Muslimin sebelumnya. Perang terjadi tatkala kaum Musyrikin berupaya melewati parit dan menyerbu kaum Muslimin sementara kaum Muslimin menghalangi mereka dengan menghujani anak-anak panah. Karenanya, perang ini juga disebut perang Parit (Khandaq). Lalu kaum penyerbu mengepung Madinah selama sekitar satu bulan. Dikarenakan perselisihan diantara mereka dan badai, akhirnya mereka bubar dan pulang.

[27] Nuurul Qur’aan number 2, Ruhani Khazain jilid 9, halaman 389-390 (نور القرآن نمبر 2: روحانی خزائن جلد 9 صفحہ 389-390).

[28] Sirah Ibnu Hisyam (سیرت ابن ہشام صفحہ685دارالکتب العلمیۃ بیروت 2001), Subulul Huda war Rasyaad (سبل الہدیٰ و الرشاد جلد5 صفحہ 46 فی غزوۃ الحدیبیۃ دارالکتب العلمیۃ بیروت 1993ء)

[29] Sirah Khataman Nabiyyiin oleh Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra) halaman 766-768 (سیرت خاتم النبیین از حضرت مرزا بشیر احمد صاحبؓ ایم اے صفحہ 766-768)

[30] Sahih Bukhari, Buku Penghakiman (Ahkaam) (كتاب الأحكام ), Hadis: (7218): عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ ـ رضى الله عنهما ـ قَالَ قِيلَ لِعُمَرَ أَلاَ تَسْتَخْلِفُ قَالَ إِنْ أَسْتَخْلِفْ فَقَدِ اسْتَخْلَفَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي أَبُو بَكْرٍ، وَإِنْ أَتْرُكْ فَقَدْ تَرَكَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ فَقَالَ رَاغِبٌ رَاهِبٌ، وَدِدْتُ أَنِّي نَجَوْتُ مِنْهَا كَفَافًا لاَ لِي وَلاَ عَلَىَّ لاَ أَتَحَمَّلُهَا حَيًّا وَمَيِّتًا Diriwayatkan oleh `Abdullah bin `Umar: Dikatakan kepada `Umar, “Maukah kamu melantik pengganti kamu? ” Umar berkata, “Sekiranya saya melantik seorang khalifah (sebagai pengganti saya) memang benar bahawa seseorang yang lebih baik daripada saya (yaitu, Abu Bakar) melakukannya dan jika saya membiarkan perkara itu tidak diputuskan, memang benar bahwa seseorang yang lebih baik daripada saya (iaitu, Rasulullah saw melakukannya).” Mengenai ini, orang memujinya. Umar berkata, “Orang-orang ada dua jenis: Baik orang yang ingin mengambil alih kekhalifahan atau yang takut memikul tanggungjawab seperti itu. Saya harap saya dapat bebas dari tanggungjawabnya kerana dengan demikian saya tidak akan mendapat ganjaran atau pembalasan. Saya tidak akan menanggung beban kekhalifahan dalam kematian saya seperti yang saya lakukan dalam hidup saya.”

[31] Khuthbaat-e-Tahir qabl az Khilafat (Pidato-Pidato Tahir sebelum masa Khilafat) (خطابات طاہر (تقاریر جلسہ سالانہ قبل از خلافت) صفحہ428)

[32] Sirah Khataman Nabiyyiin oleh Hadhrat Mirza Bashir Ahmad (ra) halaman 769 (سیرت خاتم النبیینؐ از حضرت مرزا بشیر احمد صاحبؓ ایم اے صفحہ 769)

[33] Sirat Khataman Nabiyyin halaman 770-772 (سیرت خاتم النبیینؐ صفحہ770تا 772), Farhang Sirat (فرہنگ سیرت صفحہ 200، 243).

[34] Khuthbaat-e-Mahmud jilid 30 h. 220 (خطبات محمود جلد30صفحہ220)

[35] Al-Fadhl International 25 Juni 2021 ((الفضل انٹرنیشنل 25؍جون2021ءصفحہ 5-10)

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.