Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada tahun ke-10 Hijriyyah yang merupakan Tahun terakhir hidup Nabi Muhammad (saw): Hijjatul Wada (Haji perpisahan dan satu-satunya Haji yang Nabi (saw) laksanakan) dan berbagai kejadian terkait Hadhrat Abu Bakr (ra).
Kelahiran Muhammad putra Hadhrat Abu Bakr (ra) di kesempatan Hijjatul Wada.
Sabda Nabi Muhammad (saw) mengenai Nabi Hud dan Nabi Salih ‘alaihimas salaam pernah berhaji ke Makkah.
Doa pujian Hadhrat Abu Bakr (ra) melihat Suhail bin Amru yang dulunya penentang Nabi (saw) menjadi pecinta Nabi (saw).
Uraian kitab-kitab Tarikh dan Hadits perihal Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) yang menjadi imam shalat di masa sakit terakhir Nabi yang mulia (saw). Berbagai riwayat Hadits.
Penjelasan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra).
Kewafatan Rasulullah (saw) dalam riwayat ‘Urwah bin Zubair dari istri suci Nabi (saw), Hadhrat Aisyah (ra) dan berbagai riwayat lainnya.
Penjelasan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra)
ijma’ pertama umat Islam dalam penjelasan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra)
Hadhrat Masih Mau’ud (as) membicarakan mengenai begitu besarnya ihsan (jasa) Hadhrat Abu Bakr (ra).
Peristiwa Saqifah Banu Sa’idah. Pembaiatan Hadhrat Abu Bakr (ra) sebagai Khalifah berdasarkan rujukan beberapa Kitab sejarah.
Upaya kaum Anshar Madinah mengadakan rapat dan perkumpulan di masa kepengurusan jenazah Nabi (saw) oleh kaum Muhajirin. Kaum Anshar sedang membicarakan Khalifah yang harus dari kalangan Anshar dan mereka hampir membaiat Hadhrat Sa’d bin Ubadah (ra) dari kaum Khazraj, Anshar Madinah.
Kedatangan Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat ‘Umar dan Hadhrat Abu Ubaidah ke Saqifah Banu Saidah dan perbincangan yang terjadi.
Riwayat dalam as-Sirah al-Halbiyah dan Musnad Ahmad bin Hanbal mengenai peristiwa Saqifah.
Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Hadhrat Abu Bakr radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.
Krisis dunia dan doa.
Dzikr-e-Khair dan shalat jenazah gaib untuk Almarhum yang terhormat Khushi Muhammad Shakir Sahib, seorang Muballigh Jemaat. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 25 Februari 2022 (25 Tabligh 1401 Hijriyah Syamsiyah/24 Rajab 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم
[بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم* الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يوْم الدِّين * إيَّاكَ نعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ]
(آمين)
Melanjutkan ulasan yang lalu tentang Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) (ra). Ada satu peristiwa pada saat Hijjatul Wada, yaitu tertera sebagai berikut: Rasulullah (saw) berangkat menunaikan Hijjatul Wada di tahun 10 Hijriah, pada hari kamis saat bulan Dzulqa’dah masih tersisa 6 hari. Menurut penuturan lain, beliau (saw) berangkat di hari Sabtu.
Jadi, tentang ini ada satu riwayat bahwa Hadhrat Asma binti Abi Bakr (أسماء بنت أبي بكر الصديق رضي الله تعالى عنهما) menjelaskan, أن أبا بكر قال : يا رسول الله -لما أراد حجة الوداع- عندي بعير نحمل عليه زادنا ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فذاك إذن ، فكانت زاملة رسول الله صلى الله عليه وسلم وزاملة أبي بكر رضي الله تعالى عنه واحدة ، وأمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بزاد دقيق وسويق ، فجعل على بعير أبي بكر ، وأعطاه أبو بكر لغلام له “Ketika Rasulullah (saw) berkeinginan melakukan Hijjatul Wada’, maka Hadhrat Abu Bakr berkata, ‘Wahai Rasulullah (saw), saya memiliki seekor unta dan kita akan meletakkan perbekalan kita diatasnya.’
Rasulullah (saw) memerintahkan, ‘Lakukanlah seperti itu.’ Maka dari itu, satu unta saja yang digunakan untuk mengangkut barang bawaan Rasulullah (saw) maupun Hadhrat Abu Bakr. Beliau (saw) menyiapkan tepung gandum dan kacang panggang secukupnya sebagai perbekalan lalu menyimpannya di unta Hadhrat Abu Bakr. Hadhrat Abu Bakr lalu mengamanatkannya kepada budak beliau.”[1]
Hadhrat Asma binti Abu Bakr menjelaskan, خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حُجَّاجًا حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْعَرْجِ نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَنَزَلْنَا فَجَلَسَتْ عَائِشَةُ – رضى الله عنها – إِلَى جَنْبِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَجَلَسْتُ إِلَى جَنْبِ أَبِي وَكَانَتْ زِمَالَةُ أَبِي بَكْرٍ وَزِمَالَةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَاحِدَةً مَعَ غُلاَمٍ لأَبِي بَكْرٍ فَجَلَسَ أَبُو بَكْرٍ يَنْتَظِرُ أَنْ يَطْلُعَ عَلَيْهِ فَطَلَعَ وَلَيْسَ مَعَهُ بَعِيرُهُ قَالَ أَيْنَ بَعِيرُكَ قَالَ أَضْلَلْتُهُ الْبَارِحَةَ . قَالَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ بَعِيرٌ وَاحِدٌ تُضِلُّهُ قَالَ فَطَفِقَ يَضْرِبُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَتَبَسَّمُ وَيَقُولُ ” انْظُرُوا إِلَى هَذَا الْمُحْرِمِ مَا يَصْنَعُ ” . قَالَ ابْنُ أَبِي رِزْمَةَ فَمَا يَزِيدُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى أَنْ يَقُولَ ” انْظُرُوا إِلَى هَذَا الْمُحْرِمِ مَا يَصْنَعُ ” . وَيَتَبَسَّمُ “Kami berangkat untuk berhaji bersama Rasulullah (saw). ketika kami tiba di tempat bernama ‘Arj, Rasulullah (saw) turun dari tunggangan beliau dan kami pun turun. Hadhrat Aisyah duduk bersandar di salah satu bahu Rasulullah (saw), lalu saya pun duduk pada bahu ayah saya.
Barang-barang milik Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr diletakkan di satu unta yang sama sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu di unta yang ada pada budak Hadhrat Abu Bakr. Hadhrat Abu Bakr lalu menunggu kedatangannya.
Budak itu tiba namun ia tidak bersama unta tersebut. Hadhrat Abu Bakr berkata, “Ada dimana untamu?”
Ia menjawab, ‘Saya telah kehilangan unta itu sejak malam kemarin.’
Hadhrat Abu Bakr berkata, ‘Hanya satu unta yang ada, tetapi unta itu pun telah Anda hilangkan.’ Hadhrat Abu Bakr berdiri dan hendak memukulinya.
Namun, Rasulullah (saw) tersenyum dan bersabda, ‘Lihatlah orang yang sedang berihram ini, Apa yang tengah ia lakukan?’
Ibnu Abi Rizmah berkata: Rasulullah (saw) tidak bersabda lebih dari itu, yaitu agar Hadhrat Abu Bakr tidak melakukannya dan melihat orang lain yang tengah berihram, dan beliau pun tersenyum.”[2]
Alhasil, ketika sebagian sahabat mengetahui bahwa perbekalan Rasulullah (saw) telah hilang, mereka pun membawakue his untuk beliau (His adalah kue manis istimewa yang dibuat dari kurma, tepung gandum, dan mentega) lalu disuguhkan di hadapan beliau (saw).
Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat Abu Bakr yang saat itu marah kepada budaknya, هون عليك يا أبا بكر، فإن الأمر ليس لك ولا إلينا “Wahai Abu Bakr, berlaku lemah lembutlah. Permasalahan ini tidaklah ada dibawah kuasa Anda dan juga kita. Budak itu pasti telah berusaha agar unta itu tidak hilang namun pada akhirnya hilang.”
Kemudian beliau (saw) bersabda, يا أبا بكر هلم ، فقد جاءك الله تعالى بغذاء طيب “Lihatlah ini, sebuah hidangan suci telah tiba, Allah Ta’ala telah mengirimkannya untuk kita, dan ini merupakan pengganti makanan kita yang dititipkan ke budak itu.” Lalu Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr pun menyantap hidangan itu. Orang-orang yang bersama beliau pun menyantapnya hingga semua orang menjadi kenyang.[3]
Setelah itu Hadhrat Shafwan bin Mu’aththal tiba. Beliau diamanatkan untuk berjalan di belakang kafilah. Ini memang menjadi tugas beliau seperti telah dijelaskan di peristiwa ifk [fitnah], yaitu beliau mengamati jangan sampai ada yang tertinggal. Ketika Hadhrat Safwan tiba, ia datang bersama unta tersebut dengan perbekalan yang masih ada. Beliau menempatkan unta itu di pintu tempat Rasulullah (saw) berkemah. Maka Rasulullah (saw) bersabda kepada Abu Bakr, “Lihat, apakah ada yang hilang dengan barang-barang Anda?”
Hadhrat Abu Bakr menjawab, “Tidak ada barang yang hilang kecuali kantong air dari kulit yang darinya kita meminum air.” Saat itulah budak itu berkata, “Kantong air itu sejak awal ada pada saya.”[4]
Diriwayatkan, عَنْ أَبِي بَكْرٍ، أَنَّهُ خَرَجَ حَاجًّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَجَّةَ الْوَدَاعِ وَمَعَهُ امْرَأَتُهُ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ الْخَثْعَمِيَّةُ فَلَمَّا كَانُوا بِذِي الْحُلَيْفَةِ وَلَدَتْ أَسْمَاءُ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ فَأَتَى أَبُو بَكْرٍ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَهُ فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَأْمُرَهَا أَنْ تَغْتَسِلَ ثُمَّ تُهِلَّ بِالْحَجِّ وَتَصْنَعَ مَا يَصْنَعُ النَّاسُ إِلاَّ أَنَّهَا لاَ تَطُوفُ بِالْبَيْتِ “Dari Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) (ra) bahwa di kesempatan Hijjatul Wada, beliau berangkat bersama Rasulullah (saw) untuk menunaikan haji; dan istri beliau, Asma binti Umais (r.anha) pun ikut serta. Singkatnya, ketika mereka tiba di Dzul Hulaifah, Hadhrat Asma melahirkan Muhammad bin Abu Bakr di sana. (Dzul Hulaifah adalah tempat yang berjarak 6 atau 7 mil dari Madinah). Kemudian, Hadhrat Abu Bakr menemui Nabi Akram (saw), dan menyampaikan kepada beliau (saw) tentang kelahiran yang seperti itu. Rasulullah (saw) memerintahkan Hadhrat Abu Bakr agar Hadhrat Asma melakukan gusl ‘mandi nifas’ lalu berniat ihram, dan melakukan semua kegiatan sebagaimana orang yang berhaji lakukan, kecuali agar ia tidak bertawaf di Baitullah.”[5]
Ketika Rasulullah (saw) melewati Wadi Usfan, maka Rasulullah (saw) bertanya kepada Abu Bakr, يا أبا بَكرٍ، أيُّ وادٍ هذا؟ “Wahai Abu Bakr, wadi apakah ini?”
Abu Bakr menjawab, وادي عُسْفانَ “Ini adalah Wadi Usfan”. Rasulullah (saw) bersabda, لقد مرَّ به هودٌ وصالحٌ على بَكْرَيْنِ أحْمَرَينِ خُطُمُهما اللِّيفُ، وأُزُرُهمُ العَباءُ، وأرْديَتُهمُ النِّمارُ، يُلَبُّونَ يَحُجُّونَ البيتَ العَتيقَ “Nabi Hud dan Nabi Salih melewati tempat ini di atas dua unta merah dengan tali kekang dari pelepah kurma, mengenakan jubah panjang dan ditutupi selimut hitam bercorak, seraya terus mengucapkan talbiyah menuju Baitul ‘Atiq untuk menunaikan haji.”[6]
Di perjalanan Hijjatul Wada, Hadhrat Abu Bakr termasuk diantara mereka yang membawa serta hewan kurban. Hadhrat Abu Bakr menjelaskan, لقد نظرت إلى سهيل بن عمرو في حجه قائماً عند المنحر يقرب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم بدنه، ورسول الله صلى الله عليه وسلم ينحرها بيده، ودعا الحلاق فحلق رأسه، وأنظر إلى سهيلٍ يلقط من شعره، وأراه يضعه على عينيه، وأذكر إباءه أن يقر يوم الحديبية بأن يكتب بسم الله الرحمن الرحيم، ويأبى أن يكتب أن محمداً رسول الله، فحمدت الله الذي هداه للإسلام؛ وصلوات الله وبركاته على نبي الرحمة الذي هدانا به وأنقذنا به من الهلكة “Di saat Hijjatul Wada, saya melihat Suhail bin ‘Amru berdiri di tempat penyembelihan kurban, dimana beliau tengah mendekatkan hewan kurban Rasulullah (saw) kepada beliau (saw). Rasulullah (saw) menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri lalu beliau memanggil petugas mencukur rambut, kemudian rambut beliau dicukur.”
Hadhrat Abu Bakr berkata, “Saya melihat Suhail tengah mendekatkan rambut beberkat Rasulullah (saw) ke kedua matanya. Saat itu saya teringat bahwa inilah sosok Suhail yang di waktu perjanjian Hudaibiyah melarang beliau (saw) untuk menuliskan بسم الله الرحمن الرحيم yang saat itu hendak dicantumkan di perjanjian.” Hadhrat Abu Bakr berkata, “Saya memanjatkan puji sanjung kepada Allah Ta’ala yang telah memberi hidayah kepadanya (Suhail) untuk menerima Islam. Saat Tuhan telah memberinya petunjuk, maka keikhlasan dan kesetiaannya menjadi sangat maju.”[7]
Mengenai Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra) yang menjadi imam shalat di masa sakit terakhir Nabi yang mulia (saw) tertera: عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ ـ رضى الله عنها ـ أَنَّهَا قَالَتْ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي مَرَضِهِ ” مُرُوا أَبَا بَكْرٍ يُصَلِّي بِالنَّاسِ “. قَالَتْ عَائِشَةُ قُلْتُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ مِنَ الْبُكَاءِ، فَمُرْ عُمَرَ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ لِحَفْصَةَ قُولِي لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يُسْمِعِ النَّاسَ مِنَ الْبُكَاءِ، فَمُرْ عُمَرَ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ. فَفَعَلَتْ حَفْصَةُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” مَهْ، إِنَّكُنَّ لأَنْتُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ، مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ لِلنَّاسِ “ Hadhrat Aisyah menjelaskan, “Rasulullah (saw) di masa sakit pernah bersabda, ‘Sampaikan ke Abu Bakr agar ia mengimami orang-orang shalat.’
Saya (Hadhrat Aisyah) berkata, ‘Jika Hadhrat Abu Bakr menggantikan tempat Hudhur menjadi Imam shalat, maka beliau tidak akan dapat mengimami orang-orang karena mudah menangis. Oleh karena itu, perintahkan Hadhrat Umar agar beliau mengimami orang-orang shalat.’
Saya menyampaikan kepada Hadhrat Hafsah, ‘Anda mohon sampaikan kepada Rasulullah (saw) bahwa jika Hadhrat Abu Bakr menggantikan tempat Hudhur, maka beliau tidak akan dapat mengimami orang-orang karena mudah menangis. Oleh karena itu perintahkanlah Hadhrat Umar agar mengimami orang-orang shalat.’ Hadhrat Hafsah pun menyampaikannya, lalu Rasulullah (saw) pun bersabda (saat itu beliau marah), ‘Harap Anda diam! Mengapa menjadi seperti perempuan di masa Yusuf. Sampaikanlah kepada Abu Bakr agar ia mengimami orang-orang shalat.’”[8]
Sebelum kewafatan, tatkala Rasulullah (saw) sakit, Hadhrat Bilal meminta Hadhrat Umar untuk mengimami shalat saat Hadhrat Abu Bakr tidak ada. Ketika Rasulullah (saw) mendengar suara Hadhrat Umar dari kamar beliau, maka beliau bersabda, فَأَيْنَ أَبُو بَكْرٍ يَأْبَى اللَّهُ ذَلِكَ وَالْمُسْلِمُونَ يَأْبَى اللَّهُ ذَلِكَ وَالْمُسْلِمُونَ “Dimana Abu Bakr? Allah dan umat muslim tidak menghendaki jika selain Abu Bakr ada sosok lain yang memimpin shalat.” Lalu Hadhrat Abu Bakr pun dipanggil, dan beliau tiba saat Hadhrat Umar selesai mengimami shalat. Setelah itu, selama masa sakit Rasulullah (saw) hingga kewafatan beliau, Hadhrat Abu Bakr lah yang terus mengimami shalat.[9]
Hadhrat Aisyah menuturkan, أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَبَا بَكْرٍ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فِي مَرَضِهِ، فَكَانَ يُصَلِّي بِهِمْ “Di masa sakit, Rasulullah (saw) bersabda kepada Hadhrat Abu Bakr agar beliau mengimami shalat. Maka beliau pun selalu mengimami shalat.” ‘Urwah menuturkan, فَوَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي نَفْسِهِ خِفَّةً، فَخَرَجَ فَإِذَا أَبُو بَكْرٍ يَؤُمُّ النَّاسَ، فَلَمَّا رَآهُ أَبُو بَكْرٍ اسْتَأْخَرَ، فَأَشَارَ إِلَيْهِ أَنْ كَمَا أَنْتَ، فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حِذَاءَ أَبِي بَكْرٍ إِلَى جَنْبِهِ، فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ أَبِي بَكْرٍ “Satu saat Rasulullah (saw) merasakan penyakit beliau yang sedikit mereda, maka beliau keluar dan masuk menuju masjid. Maka apa yang beliau lihat, Hadhrat Abu Bakr tengah maju untuk mengimami shalat. Tatkala Hadhrat Abu Bakr melihat Rasulullah (saw), beliau pun mundur. Atas hal ini, Rasulullah (saw) mengisyaratkan kepada beliau agar tetap di tempat dan Rasulullah (saw) pun duduk sejajar di samping Hadhrat Abu Bakr. Lalu Hadhrat Abu Bakr shalat bersama-sama shalat Rasulullah (saw), dan orang-orang mengikuti shalat Hadhrat Abu Bakr.”[10]
Di dalam Sahih Bukhari pun terdapat riwayat, عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ الأَنْصَارِيُّ ـ وَكَانَ تَبِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَخَدَمَهُ وَصَحِبَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ كَانَ يُصَلِّي لَهُمْ فِي وَجَعِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ، حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ الاِثْنَيْنِ وَهُمْ صُفُوفٌ فِي الصَّلاَةِ، فَكَشَفَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم سِتْرَ الْحُجْرَةِ يَنْظُرُ إِلَيْنَا، وَهْوَ قَائِمٌ كَأَنَّ وَجْهَهُ وَرَقَةُ مُصْحَفٍ، ثُمَّ تَبَسَّمَ يَضْحَكُ، فَهَمَمْنَا أَنْ نَفْتَتِنَ مِنَ الْفَرَحِ بِرُؤْيَةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، فَنَكَصَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى عَقِبَيْهِ لِيَصِلَ الصَّفَّ، وَظَنَّ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم خَارِجٌ إِلَى الصَّلاَةِ، فَأَشَارَ إِلَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَتِمُّوا صَلاَتَكُمْ، وَأَرْخَى السِّتْرَ، فَتُوُفِّيَ مِنْ يَوْمِهِ “Diriwayatkan oleh Hadhrat Anas bin Malik Ansari bahwa saat Nabi yang mulia (saw) jatuh sakit hingga kewafatan beliau, Hadhrat Abu Bakr terus mengimami shalat. Hingga saat hari Senin tiba, dan Hadhrat Abu Bakr tengah ada di barisan shalat, Nabi (saw) menyingkapkan tirai kamar. Beliau (saw) lalu memandang kami, dan saat itu beliau tengah berdiri. Wajah beberkat beliau seakan-akan merupakan lembaran Al-Qur’an Majid. Lalu beliau (saw) tampak senang dan tersenyum. Saat itu kami berpikir bahwa karena memandang Nabi yang mulia (saw), karena kegembiraan ini maka kami akan masuk dalam suatu cobaan. Saat itu juga Hadhrat Abu Bakr mundur dari tempatnya menuju saf shalat, dan Hadhrat Abu Bakr menganggap bahwa Nabi (saw) akan datang untuk shalat. Namun, Nabi (saw) mengisyaratkan seolah bersabda agar Hadhrat Abu Bakr menyempurnakan shalatnya. Lalu Rasulullah (saw) menutup tirai, dan di hari itulah beliau wafat.”[11]
Mengenai riwayat yang pertama tadi, di satu tempat Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Hadhrat Aisyah menuturkan, لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَأُذِّنَ، فَقَالَ ” مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ ” ‘Ketika Rasulullah (saw) menderita sakit menjelang wafat, beliau tidak sanggup mengimami shalat karena sangat lemah. Oleh karena itu beliau memerintahkan Hadhrat Abu Bakr untuk mengimami shalat. Ketika Hadhrat Abu Bakr mulai mengimami shalat, saat itu Rasulullah (saw) merasa lebih baik dan keluar untuk shalat.’
Hadhrat Aisyah menuturkan, فَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى، فَوَجَدَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً، فَخَرَجَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنَ الْوَجَعِ، فَأَرَادَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَتَأَخَّرَ، فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ مَكَانَكَ، ثُمَّ أُتِيَ بِهِ حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِهِ. قِيلَ لِلأَعْمَشِ وَكَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلاَتِهِ، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ أَبِي بَكْرٍ فَقَالَ بِرَأْسِهِ نَعَمْ ‘Setelah memerintahkan Hadhrat Abu Bakr untuk mengimami shalat, lalu saat shalat telah dimulai, Rasulullah (saw) merasa sakit beliau lebih ringan. Maka beliau pun keluar dengan dipapah oleh dua orang.’ Hadhrat Aisyah menuturkan, ‘Saat itu, pemandangan di hadapan mata saya adalah, langkah kaki Rasulullah (saw) terus menempel ke tanah karena sakit yang sangat. Melihat Rasulullah (saw), Hadhrat Abu Bakr pun hendak mundur ke belakang. Mengetahui keinginan tersebut, Rasulullah (saw) memberi isyarat kepada Abu Bakr agar tetap di tempatnya. Lalu beliau (saw) dibawa hingga duduk di dekat Hadhrat Abu Bakr. Setelah itu, Rasul yang mulia (saw) memulai shalat dan Hadhrat Abu Bakr memulai shalat bersamaan dengan shalat beliau, lalu semua orang pun mengikuti shalat Hadhrat Abu Bakr.’[12]”
Mengenai kewafatan Rasulullah (saw), ‘Urwah bin Zubair di satu tempat meriwayatkan dari istri suci Nabi (saw), Hadhrat Aisyah, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَاتَ وَأَبُو بَكْرٍ بِالسُّنْحِ ـ قَالَ إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي بِالْعَالِيَةِ ـ فَقَامَ عُمَرُ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم. قَالَتْ وَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ مَا كَانَ يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلاَّ ذَاكَ وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ. فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَبَّلَهُ قَالَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يُذِيقُكَ اللَّهُ الْمَوْتَتَيْنِ أَبَدًا. ثُمَّ خَرَجَ فَقَالَ أَيُّهَا الْحَالِفُ عَلَى رِسْلِكَ. فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ جَلَسَ عُمَرُ. فَحَمِدَ اللَّهَ أَبُو بَكْرٍ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ أَلاَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَىٌّ لاَ يَمُوتُ. وَقَالَ {إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ} وَقَالَ {وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ} قَالَ فَنَشَجَ النَّاسُ يَبْكُونَ “Ketika Rasulullah (saw) wafat, saat itu Hadhrat Abu Bakr (ra) tengah berada di Sunh.” Sunh adalah sebuah desa di pinggir Madinah. “Mendengar berita ini, Hadhrat ‘Umar (ra) lalu berdiri.” Pada waktu kewafatan Nabi (saw), beliau (Hadhrat Abu Bakr (ra)) tidak ada di tempat, dan yang ada adalah Hadhrat ‘Umar (ra) yang lantas berdiri dan berkata, ‘Demi Allah, Rasulullah (saw) tidaklah wafat.’” Hadhrat Aisyah berkata, “Hadhrat ‘Umar (ra) terus saja mengatakan, ‘Demi Tuhan, saat itu inilah hal yang ada dalam pikiran saya. Allah pasti akan membangkitkan Nabi (saw) dan pasti akan menyingkirkan tangan dan kaki sebagian mereka (kaum munafik) sampai terputus.’
Seketika itu Hadhrat Abu Bakr (ra) tiba. Beliau mengangkat kain dari wajah Rasulullah (saw) lalu mencium beliau, dan bersabda, ‘Ayah dan Ibuku berkurban demi Anda. Rasulullah (saw) adalah suci baik di masa beliau hidup dan di waktu beliau wafat. Demi Dzat yang jiwa saya ada di tangan-Nya. Allah sama sekali tidak akan memberikan dua kali kematian kepada Anda.’
Setelah mengatakan ini, Hadhrat Abu Bakr pergi keluar dan bersabda, ‘Wahai sosok yang bersumpah, kemarilah!’ (yakni beliau menyeru kepada Hadhrat Umar agar berhenti). Tatkala Hadhrat Abu Bakr mulai berbicara, Hadhrat Umar pun duduk.
Hadhrat Abu Bakr (ra) mengucapkan tahmid (puji sanjung kepada Allah) lalu bersabda, أَلاَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَىٌّ لاَ يَمُوت ‘Ketahuilah, siapa saja yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan siapa saja yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah hidup dan tidak akan pernah mati.’
Hadhrat Abu Bakr (ra) menilawatkan ayat ini, إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ yakni, ‘Engkau akan meninggal dan mereka pun akan meninggal.’ (Surah az-Zumar, 39:31) Kemudian beliau menilawatkan ayat ini: وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ ‘Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh telah berlalu rasul-rasul sebelum beliau. Apakah jika ia mati atau terbunuh, kamu akan berbalik atas tumitmu? Dansiapa berbalik atas tumitnya maka ia tidak akan memudaratkan Allah sedikitpun. Dan Allah pasti akan memberi ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur.’ (Al-Qur’an, Surah Ali Imran, 3:145)” Sulaiman (perawi Hadits ini) berkata, “Setelah mendengar ini, orang-orang pun sedemikian rupa menangis hingga tersedu-sedu.”[13]
Hadhrat Ibnu Abbas berkata, فَواللَّهِ لَكَأنَّ النّاسَ لَمْ يَعْلَمُوا أنَّ اللَّهَ أنْزَلَ هَذِهِ الآيَةَ حَتّى تَلاها أبُو بَكْرٍ، فَتَلاها النّاسُ مِنهُ كُلُّهُمْ، فَما أسْمَعُ بَشَرًا مِنَ النّاسِ إلّا يَتْلُوها “Demi Allah, hingga Hadhrat Abu Bakr (ra) menilawatkan ayat tersebut, orang-orang saat itu seolah-olah tidak mengetahui dan baru menyadari bahwa Allah Ta’ala pun pernah menurunkan ayat ini. Seolah, saat itu semua orang lantas menyadari ayat ini dari beliau dan saat itu saya mendengar semua orang menilawatkan ayat ini.” [14]
Perawi (yaitu Az-Zuhri) berkata, فَأَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ قَالَ وَاللَّهِ مَا هُوَ إِلاَّ أَنْ سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ تَلاَهَا فَعَقِرْتُ حَتَّى مَا تُقِلُّنِي رِجْلاَىَ، وَحَتَّى أَهْوَيْتُ إِلَى الأَرْضِ حِينَ سَمِعْتُهُ تَلاَهَا أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَدْ مَاتَ. “Sa’id ibn Musayyab berkata kepada saya bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Demi Allah, ketika saya mendengar Abu Bakr menilawatkan ayat ini, seketika itu saya sedemikian gemetar dan sangat takut hingga kaki saya menjadi lemas dan saya pun terjatuh. Ketika saya mendengar Abu Bakr (ra) menilawatkan ayat ini, pada akhirnya saya menyadari bahwa Nabi (saw) memang telah wafat.’”[15]
Hadhrat Abdullah bin Umar menuturkan, فَلَمَّا خَرَجَ مَرَّ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَهُوَ يَقُول : ” مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا يَمُوتُ حَتَّى يَقْتُلَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ , قَالَ : وَكَانُوا قَدِ اسْتَبْشَرُوا بِمَوْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَفَعُوا رُءُوسَهُمْ , فَقَالَ : أَيُّهَا الرَّجُلُ , ارْبَعْ عَلَى نَفْسِكَ , فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَدْ مَاتَ , أَلَمْ تَسْمَعِ اللَّهَ يَقُولُ : { إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ } وَقَالَ : { وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ } قَالَ : ثُمَّ أَتَى الْمِنْبَرَ فَصَعِدَهُ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ “Ketika itu Hadhrat Abu Bakr lewat di dekat Hadhrat Umar, dan saat itu Hadhrat Umar tengah berkata, ‘Rasulullah (saw) tidaklah wafat, dan beliau tidak akan wafat selama Allah belum menghabisi orang-orang yang munafik.’” Hadhrat Abdullah bin Umar menuturkan, “Setelah mendengar hal itu, para sahabat memperlihatkan kebahagiaan dan menengadahkan kepala mereka. Hadhrat Abu Bakr bersabda (kepada Hadhrat Umar), ‘Wahai manusia! Sesungguhnya Rasulullah (saw) telah wafat. Apakah engkau tidak mendengar bahwa Allah Ta’ala berfirman, إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ “Innaka mayyitun wa innahum mayyituuna – Engkau pun akan mati begitupun mereka.” Selanjutnya Dia berfirman, وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ “Wa maa ja’alnaa libasyarim ming qoblikal khuld – “Kami tidak memberikan keabadian kepada seorang manusia pun sebelum kalian.”’ Kemudian Hadhrat Abu Bakr berdiri di mimbar dan menyampaikan pidato.”[16]
Alhasil, dalam menjelaskan hadis tersebut, Hadhrat Abu Abdullah al-Qurthubi menjelaskan, هذه الآية أدل دليل على شجاعة الصديق وجراءته ، فإن الشجاعة والجرأة حدهما ثبوت القلب عند حلول المصائب ، ولا مصيبة أعظم من موت النبي – صلى الله عليه وسلم – كما تقدم بيانه في ” البقرة ” فظهرت عنده شجاعته وعلمه “Kejadian tersebut memberikan bukti yang sangat besar akan keberanian Hadhrat Abu Bakr Ash-Shiddiq (ra), karena puncak keberanian adalah hati tetap teguh Ketika menghadapi berbagai musibah dan pada saat itu tidak ada musibah yang lebih besar bagi umat Islam daripada musibah wafatnya Rasulullah (saw). Pada saat itu terbukti jelas keberanian dan wawasan keilmuan Hadhrat Abu Bakr. Keberanian beliau zahir yakni bersikap tabah Ketika diliputi kedukaan Adapun dari ayat Al Quran yang beliau jelaskan darinya zahir ketinggian pengetahuan beliau ra.”[17]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Di dalam kitab-kitab Hadis dan sejarah tercantum riwayat berikut bahwa kewafatan Rasulullah (saw) sedemikian rupa memberikan pengaruh yang sangat mendalam bagi para sahabat. Mereka diliputi ketakutan, Sebagian lagi hingga tidak dapat berbicara, ada yang tidak mampu berjalan dan ada juga yang bahkan tidak dapat mengontrol perasaan dan akal sehatnya. Sebagian sahabat bahkan begitu terpukul hingga dalam beberapa hari saja mereka wafat.
Hadhrat Umar sedemikian rupa terpukul hingga tidak meyakini kabar wafatnya Rasulullah (saw) lalu berdiri sambil menghunus pedang dan berkata jika ada yang mengatakan bahwa Rasulullah (saw) telah wafat, akan saya bunuh, beliau Saw telah dipanggil seperti halnya nabi Musa as, sebagaimana nabi Musa kembali lagi setelah 40 hari, begitu jugalah beliau saw setelah sekian lama akan Kembali lagi lalu akan membunuh dan menyalib orang-orang yang melontarkan tuduhan kepada beliau dan munafiq. Sedemikian bergejolaknya Hadhrat Umar dalam pernyataan itu, sehingga diantara para sahabat tidak ada yang berdaya untuk membantah perkataan Hadhrat Umar tersebut.
Setelah melihat gejolak Hadhrat Umar tersebut sebagian orang menjadi yakin apa yang beliau katakan adalah benar bahwa Rasulullah (saw) masih belum wafat. Sahabat yang meyakini perkataan Hadhrat Umar dari wajah mereka tampak raut bahagia di wajah mereka. Ada yang menundukkan kepala dan ada juga yang mengangkat kepala dengan bahagia.
Setelah melihat keadaan demikian beberapa sahabat yang berpandangan jauh menyuruh seorang sahabat untuk memanggil Hadhrat Abu Bakr yang saat itu tengah pergi menuju sebuah kampung dekat Madinah atas seizin Rasulullah (saw), karena saat itu keadaan Kesehatan Rasululah sudah membaik. Sahabat yang disuruh menjemput Abu Bakr, menemui Hadhrat Abu Bakr di perjalanan pulang. Seketika melihat Hadhrat Abu Bakr, sahabat tersebut tidak bisa lagi menahan derasnya air mata.
Hadhrat Abu Bakr telah paham apa yang terjadi lalu bertanya kepada sang sahabat, ‘Apakah Rasulullah (saw) telah mangkat?’
Beliau menjawab, ‘Hadhrat Umar berkata, “Siapa yang mengatakan bahwa Rasulullah (saw) telah wafat, aku akan penggal lehernya.”’
Kemudian Hadhrat Abu Bakr bergegas menuju kediaman Rasulullah (saw). Hadhrat Abu Bakr menyingkapkan kain yang menutupi jasad penuh berkat Rasulullah (saw) lalu memandangnya dan mengetahui bahwa memang benar beliau saw telah wafat. Duka perpisahan dari sang kekasih membuat air mata beliau mengalir lalu menundukkan kepala.
Beliau mencium kening Rasulullah (saw) dan bersabda: Demi Tuhan! Allah Ta’ala tidak akan mengumpulkan dua kematian bagi engkau. Kematianmu telah menimpakan kerugian bagi dunia yang mana hal serupa tidak pernah dirasakan paska kematian nabi manapun. Zat Engkau lebih tinggi dari sifat, kemuliaanmu sedemikian rupa sehingga tangisan duka tidak dapat mengurangi nestapa perpisahan denganmu. Seandainya kami mampu untuk mencegah kematianmu, maka kami akan mencegah kematianmu dengan mempersembahkan semua jiwa kami.
Setelah mengucapkan itu lalu beliau menutupkan kembali kain cadar ke jasad Rasulullah (saw) lalu beranjak menuju tempat dimana Hadhrat Umar mengumpulkan para sahabat. Hadhrat Umar mengatakan kepada para sahabat bahwa Rasulullah (saw) tidaklah wafat melainkan hidup. Hadhrat Abu Bakr bersabda kepada Hadhrat Umar, ‘Sekarang mohon anda diam!’
Namun, Hadhrat Umar tidak menuruti perkataan Hadhrat Abu Bakr dan terus berbicara.
Kemudian Hadhrat Abu Bakr beranjak ke arah lain dan mulai berbicara kepada para sahabat bahwa sebenarnya Rasulullah (saw) telah wafat. Para sahabat meninggalkan Hadhrat Umar lalu berkumpul di sekeliling Hadhrat Abu Bakr, sehingga akhirnya Hadhrat Umar pun terpaksa mendengarkan apa yang dikatakan Hadhrat Abu Bakr.
Hadhrat Abu Bakr bersabda: seperti yang telah disebutkan sebelumnya. وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ artinya, ‘Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu rasul-rasul sebelumnya. Apakah jika beliau mati atau terbunuh kamu akan berbalik atas tumitmu?’ إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ ‘Sesungguhnya kamu akan wafat dan mereka pun akan wafat.’ أَلاَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَىٌّ لاَ يَمُوت ‘Wahai manusia! Siapa saja yang menyembah Muhammad (saw) maka sesungguhnya Muhammad telah wafat, dan siapa saja yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu hidup dan tidak akan pernah mati.’
Ketika Hadhrat Abu Bakr membaca ayat-ayat yang disebutkan diatas dan memberitahukan kepada orang-prang bahwa Rasulullah (saw) telah wafat, kebenaran pun terbuka kepada para sahabat sehingga mereka spontan menangis. Hadhrat Umar sendiri bersabda, ‘Ketika Hadhrat Abu Bakr membuktikan kewafatan Rasulullah (saw) dengan ayat ayat Al Quran, saya menjadi tahu bahwa seolah olah kedua ayat tersebut baru turun hari ini. Hal itu membuat lutut saya tidak mampu lagi untuk mengangkat kepala saya. Langkah saya terpapah dan tak berdaya hingga akhirnya jatuh tersungkur ke tanah disebabkan oleh kedukaan yang teramat pahit.’”
Berkenaan dengan ijma’ pertama umat Islam, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Sebelum Rasulullah (saw) datang, segenap para nabi telah wafat yang diantaranya termasuk juga Hadhrat Isa Almasih. Sebagaimana ketika umat Islam dicekam ketakutan paska wafatnya Rasulullah (saw) dan duka lara tersebut sudah tidak tertahankan lagi, dalam keadaan demikian Hadhrat Umar menghunus pedang dan berkata, ‘Jika ada yang mengatakan bahwa Rasulullah (saw) telah wafat, saya akan penggal lehernya. Rasul yang mulia saw tidaklah wafat melainkan seperti halnya Hadhrat Musa as, Rasulullah (saw) sedang pergi menemui Allah Ta’ala dan akan Kembali lagi untuk membunuh orang-orang munafik lalu wafat.’
Seolah olah Hadhrat Umar meyakini bahwa sebelum orang-orang munafik sirna, Rasulullah (saw) tidak mungkin akan wafat. Sebagaimana orang-orang munafik masih ada Ketika Rasulullah (saw) wafat, untuk itu beliau beranggapan bahwa Rasulullah (saw) belum wafat. Hadhrat Abu Bakr yang saat itu tengah pergi ke suatu kampung didekat Madinah Kembali lalu pergi ke kediaman Rasulullah (saw).
Beliau melihat jasad berkat Rasulullah (saw), dan mengetahui bahwa Rasulullah (saw) benar benar telah wafat. Lalu Hadhrat Abu Bakr beranjak keluar dan bersabda Allah Ta’ala tidak akan memberikan dua kematian kepada Rasulullah (saw) yakni kematian pertama jasmani dan kedua adalah ruhani yakni kerusakan umat Islam paska wafatnya beliau. Lalu beliau langsung menuju kumpulan para sahabat dan berkata kepada orang-orang: Saya ingin mengatakan sesuatu. Hadhrat Umar saat itu membawa pedang dan beriradah untuk membunuh siapapun yang menyatakan bahwa Rasulullah (saw) telah wafat. Hadhrat Abu Bakr berdiri dan mengatakan hal yang sama kepada orang-orang sebagai berikut, أَلاَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صلى الله عليه وسلم فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَىٌّ لاَ يَمُوت ‘Siapa saja yang menyembah Muhammad (saw) maka sesungguhnya Muhammad telah wafat, dan siapa saja yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah itu hidup dan tidak akan pernah mati.’
Kemudian membaca ayat berikut – seperti yang telah disebutkan sebelumnya – وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu rasul-rasul sebelumnya. Semuanya telah wafat lantas bagaimana mungkin beliau tidak akan wafat Apakah jika beliau mati atau terbunuh kamu akan berbalik atas tumitmu dan meninggalkan Islam?
Hadhrat Umar bersabda, ‘Ayat yang dibacakan oleh Hadhrat Abu Bakr, ayat tersebut membuat mata saya terbuka dan saya merasa ayat tersebut baru saja diturunkan. Tampaklah kepada saya bahwa Rasulullah (saw) telah wafat. Kaki saya bergetar lalu saya jatuh ke tanah.’”
Dalam menjelaskan hal itu Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Ini merupakan satu ijma’ sahabat karena pada saat itu semua sahabat hadir dan sebenarnya kesempatan seperti itu tiodak pernah datang sebelumnya pada umat Islam, karena umat Islam tidak penah berkumpul seperti itu. Dalam perkumpulan tersebut, Hadhrat Abu Bakr membaca ayat tersebut Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu rasul-rasul sebelumnya. Semuanya telah wafat. Jadi kewafatan beliau pun bukanlah sesuatu yang mengherankan. Semua sahabat tidak terkecuali sepakat dengan Hadhrat Abu Bakr ra.”[18]
Dalam menjelaskan hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud (as) pun bersabda, “Begitu besarnya ihsan (jasa) Hadhrat Abu Bakr atas umat ini yang mana rasa syukur kita tidak mungkin akan dapat membayarnya. Jika saja beliau tidak mengumpulkan para sahabat di masjid Nabawi lalu membacakan ayat tersebut bahwa segenap para nabi telah wafat, maka umat ini akan binasa karena dalam corak demikian para ulama yang gemar menciptakan kefasadan berpendapat bahwa Para sahabar ra pun memiliki keyakinan bahwa nabi Isa masih hidup. Namun sekarang setelah mendengar ayat yang dibacakan oleh Hadhrat Abu Bakr, segenap para sahabat berijma’ bahwa seluruh nabi terdahulu telah wafat. Bahkan dibuatkan syair atas ijma’ tersebut yakni: Semoga Allah Ta’ala menghujani ribuan rahmat atas ruh Abu Bakr, Ia telah menyelamatkan segenap ruh dari kebinasaan dan segenap para sahabat sepakat atas ijma’ tersebut, tidak terkecuali satupun. Itu merupakan ijma’ pertama para sahabat dan merupakan satu amalan yang sangat patut untuk disyukuri.
Dalam hal ini, Hadhrat Abu Bakr memiliki satu persamaan dengan Al-Masih yang dijanjikan yakni terdapat janji Allah Ta’ala dalam Al Quran berkenaan dengan keduanya bahwa Ketika keadaan mencekam meliputi Islam dan orang-orang mulai meninggalkan Islam, pada saat itu mereka zahir.
Demikianlah yang terjadi pada saat kedatangan Hadhrat Abu Bakr dan Masih Mau’ud yakni pada masa Hadhrat Abu Bakr, paska kewafatan Rasulullah (saw) ratusan orang Arab yang bodoh telah murtad dan hanya tersisa 2 mesjid saja yang digunakan untuk shalat. Hadhrat Abu Bakr menegakkan lagi mereka diatas Islam. Begitu jugalah pada masa Masih Mau’ud, ratusan ribu muslim murtad lalu masuk Kristen. Kedua keadaan tersebut tertulis dalam Al Quran sebagai satu nubuatan.”[19]
Berkenaan dengan Kekhalifahan Hadhrat Abu Bakr diriwayatkan bahwa ketika para sahabat mengetahui kabar kewafatan Rasulullah (saw) lalu anshar berkumpul di Tsaqifah Bani Saidah. Dalam perkumpulan tersebut dibincangkan perihal Khilafat golongan Anshar berkumpul di sekeliling pemimpin Khazraj yakni Sa’d Bin Ubadah.[20]
Hadhrat Sa’d Bin Ubadah saat itu tengah sakit. Ketika menjelaskan secara rinci perihal pengurbanan dan pengkhidmatan Anshar terhadap Islam Hadhrat Sa’d menyatakan bahwa Anshar berhak untuk Khilafat. Kaum Anshar menetapkan Hadhrat Sa’d Bin Ubadah sesuai untuk menjadi Khalifah.
Namun, belum saja mereka baiat kepada Sa’d Bin Ubadah, diantara mereka ada yang bertanya: jika Muhajirin tidak mengakui kekhalifahan Sa’d Bin Ubadah, apa yang akan terjadi?
Ada seorang pria mengusulkan bahwa hendaknya mengangkat satu Khalifah dari kalangan anshar dan satu lagi dari kalangan Muhajirin.
Hadhrat Sa’d Bin Ubadah menyatakan hal itu sebagai kelemahan Banu Aus.
Ketika kaum anshar memperbincangkan perihal Khilafat di Saqifah Banu Saidah, Hadhrat Umar Bin Khatab, Hadhrat Abu Ubaidah Bin Jarrah dan sahabat sahabat besar lainnya tengah membincangkan peristiwa agung kewafatan Rasulullah (saw) di masjid Nabawi. Adapaun Hadhrat Abu Bakr Sidiq, Hadhrat Ali dan para Ahli Bait lainnya tengah sibuk dalam mengatur pengurusan jenazah Rasulullah (saw). Tidak ada yang memikirkan perihal Khilafat dan tidak mengetahui bahwa kaum anshar telah berkumpul untuk membicarakan masalah Khilafat dan ingin menjatuhkan pilihannya sebagai Amir kepada salah seorang dari antara mereka sendiri.[21]
Tertulis dalam Tabaqatul Kubra, لما قبض رسول الله، صلى الله عليه وسلم، أتى عمر أبا عبيدة بن الجراح فقال: ابسط يدك فلأبايعك فإنك أمين هذه الأمة على لسان رسول الله فقال أبو عبيدة: لعمر ما رأيت لك فهة قبلها منذ أسلمت، أتبايعني وفيكم الصديق وثاني اثنين؟ “Hadhrat Umar pergi menemui Hadhrat Abu Ubaidah Bin Jarrah dan berkata tolong julurkan tangan Anda, saya akan baiat di tangan anda. Lisan beberkat Rasulullah (saw) menetapkan anda sebagai amin (penjaga amanat) dalam umat ini.
Hadhrat Abu Ubaidah berkata kepada Hadhrat Umar, ‘Semenjak anda menerima Islam, saya tidak melihat dalam diri anda hal hal yang sia sia seperti ini sebelum ini. Apakah anda akan baiat kepada saya padahal diantaramu terdapat ash-Shiddiq [sangat mempercayai Nabi] dan Tsaniyats naini [yang kedua dari dua orang dalam gua] yakni Hadhrat Abu Bakr.’”[22]
Saat berbincang seperti itu beliau mendapatkan kabar adanya perkumpulan kaum Anshar. Lalu Hadhrat Umar menyampaikan pesan kepada Hadhrat Abu Bakr yang tengah berada dikediaman Rasulullah (saw) dan memanggil beliau untuk suatu urusan yang sangat penting. Hadhrat Abu Bakr menolak untuk keluar dengan alasan sibuk dalam pengurusan jenazah Rasulullah (saw). Kemudian Hadhrat Umar memanggil beliau untuk yang kedua kalinya. Kehadiran anda disana diperlukan segera.[23] Lalu Hadhrat Abu Bakr keluar dan bertanya kepada Hadhrat Umar: saat ini apa yang lebih penting dari pengurusan jenazah Hadhrat Rasulullah (saw), sehingga anda memanggil saya?
Hadhrat Umar berkata: Apakah anda tahu bahwa kaum anshar telah berkumpul di Tsaqifah Banu Saidah dan beriradah untuk mengangkat Hadhrat Sa’d Bin Ubadah sebagai Khalifah. Salah seorang dari antara mereka berkata: Hendaknya ditunjuk satu amir dari antara mereka dan satu amir dari antara Quraisy.
Seketika mendengar hal itu, Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat ‘Umar dan Hadhrat Abu Ubaidah berangkat ke Tsaqifah Banu Saidah. Saat itu perbincangan masih berlangsung di sana. Hadhrat Abu Bakr, Hadhrat Umar dan Hadhrat Abu Ubaidah hadir di tengah tengah mereka dan duduk.[24]
Dalam satu Riwayat, Hadhrat Umar berkata, فَانْطَلَقْنَا نُرِيدُهُمْ فَلَمَّا دَنَوْنَا مِنْهُمْ لَقِيَنَا مِنْهُمْ رَجُلاَنِ صَالِحَانِ، فَذَكَرَا مَا تَمَالَى عَلَيْهِ الْقَوْمُ فَقَالاَ أَيْنَ تُرِيدُونَ يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ فَقُلْنَا نُرِيدُ إِخْوَانَنَا هَؤُلاَءِ مِنَ الأَنْصَارِ. فَقَالاَ لاَ عَلَيْكُمْ أَنْ لاَ تَقْرَبُوهُمُ اقْضُوا أَمْرَكُمْ. فَقُلْتُ وَاللَّهِ لَنَأْتِيَنَّهُمْ “Kami berangkat menuju kaum anshar dan ketika kami sudah dekat, bertemu dengan dua orang saleh dari antara mereka.” Mereka ialah Uwaim Bin Saidah dan Ma’n Bin Addi. Keduanya mengabarkan rencana anshar dan bertanya, ‘Anda akan pergi kemana?’ Mereka menjawab, ‘Kami tengah pergi menemui saudara saudara Anshar.’ Keduanya mengatakan, ‘Anda tidak perlu pergi kepada mereka. Putuskanlah perkara anda sendiri.’ Saya mengatakan, ‘Demi Allah! Kami harus pergi kepada mereka.’”[25] Singkatnya kemudian mereka pergi.
Hadhrat Umar (ra) meriwayatkan, فَانْطَلَقْنَا نُرِيدُهُمْ فَلَمَّا دَنَوْنَا مِنْهُمْ لَقِيَنَا مِنْهُمْ رَجُلاَنِ صَالِحَانِ، فَذَكَرَا مَا تَمَالَى عَلَيْهِ الْقَوْمُ فَقَالاَ أَيْنَ تُرِيدُونَ يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ فَقُلْنَا نُرِيدُ إِخْوَانَنَا هَؤُلاَءِ مِنَ الأَنْصَارِ. فَقَالاَ لاَ عَلَيْكُمْ أَنْ لاَ تَقْرَبُوهُمُ اقْضُوا أَمْرَكُمْ. فَقُلْتُ وَاللَّهِ لَنَأْتِيَنَّهُمْ “Kami sampai kepada kaum Anshor. Saya telah memikirkan dalam hati saya satu topik untuk disampaikan di hadapan kaum Anshor. Ketika saya sampai kepada mereka dan maju untuk memulai pembicaraan, namun Hadhrat Abu Bakr (ra) mengatakan kepada saya, ‘Tahanlah pembicaraan yang ingin anda sampaikan hingga saya selesai berbicara.’ Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) mulai berbicara, dan apa yang ingin saya sampaikan, hal tersebut telah disampaikan oleh Hadhrat Abu Bakr (ra), bahkan beliau menyampaikan lebih dari itu.”[26]
Ringkasan dari pidato yang disampaikan oleh Hadhrat Abu Bakr (ra) adalah sebagai berikut: Abdullah bin Abdurrahman (عبد الله بْن عبد الرحمن) meriwayatkan, فبدأ أبو بكر، فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: “Hadhrat Abu Bakr (ra) mulai berpidato. Setelah menyampaikan puji sanjung kepada Allah Ta’ala, beliau berkata, إن اللَّه بعث محمدا رسولا إلى خلقه، وشهيدا على أمته، ليعبدوا اللَّه ويوحدوه وهم يعبدون من دونه آلهة شتى، ويزعمون أنها لهم عنده شافعة، ولهم نافعة، وإنما هي من حجر منحوت، وخشب منجور، ثُمَّ قرأ: «وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هؤُلاءِ شُفَعاؤُنا عِنْدَ اللَّه ، وقالوا: مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونا إِلَى اللَّهِ زُلْفى، فعظم على العرب أن يتركوا دين آبائهم، فخص اللَّه المهاجرين الأولين من قومه بتصديقه، والإيمان به، والمؤاساة لَهُ، والصبر معه على شدة أذى قومهم لهم، وتكذيبهم إياهم ‘Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad (saw) kepada makhluk-Nya sebagai Rasul dan pengawas umatnya, supaya mereka beribadah kepada Allah dan menyatakan ketauhidan-Nya, meskipun sebelumnya mereka beribadah kepada sembahan-sembahan lain selain Allah dan mengatakan bahwa sembahan ini adalah pemberi syafa’at di hadapan Allah dan memberikan manfaat, padahal sembahan-sembahan itu dipahat dari batu dan dibuat dari kayu.’ Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) membacakan ayat ini, وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هؤُلاءِ شُفَعاؤُنا عِنْدَ اللَّه “Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kerugian kepada mereka dan tidak (pula) memberi manfaat, dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah.” مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونا إِلَى اللَّهِ زُلْفى “Kami tidak menyembah mereka melainkan dengan tujuan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Orang-orang Arab tidak menyukai bahwa mereka meninggalkan agama nenek moyang mereka.’ Setelah membaca ayat-ayat ini Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, فعظم على العرب أن يتركوا دين آبائهم، فخص اللَّه المهاجرين الأولين من قومه بتصديقه، والإيمان به، والمؤاساة لَهُ، والصبر معه على شدة أذى قومهم لهم، وتكذيبهم إياهم “Orang-orang Arab tidak menyukai bahwa mereka meninggalkan agama nenek moyang mereka. Alhasil, dari antara kaum beliau (saw), Allah telah memberikan keistimewaan kepada Awwalin Muhajirin untuk mengakui kebenaran beliau (saw) dan untuk mengimani beliau (saw) dan untuk bersimpati kepada beliau (saw) dan untuk bersiteguh bersama beliau (saw) di masa penganiayaan dan pendustaan oleh kaum beliau (saw).”
Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, وكل الناس لهم مخالف، زار عليهم، فلم يستوحشوا لقلة عددهم وشنف الناس لهم، وإجماع قومهم عليهم، فهم أول من عبد الله فِي الأرض وآمن بالله وبالرسول، وهم أولياؤه وعشيرته، وأحق الناس بهذا الأمر من بعده، ولا ينازعهم ذَلِكَ إلا ظالم، وأنتم يا معشر الأنصار، من لا ينكر فضلهم في الدين، ولا سابقتهم العظيمه في الاسلام، رضيكم الله أنصارا لدينه ورسوله، وجعل إليكم هجرته، وفيكم جلة أزواجه وأصحابه، فليس بعد المهاجرين الأولين عندنا احد بمنزلتكم، فنحن الأمراء وأنتم الوزراء، لا تفتاتون بمشورة، ولا نقضي دونكم الأمور “Meskipun semua orang menentang mereka dan menzalimi mereka, namun meskipun jumlah mereka sedikit dan penganiayaan yang dilakukan oleh semua orang dan kaum mereka bersatu untuk menentang mereka, mereka tidak pernah merasa takut dan mereka adalah yang pertama beribadah kepada Allah dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (saw). Dan mereka adalah sahabat dan keluarga Rasulullah (saw), dan sepeninggal Rasulullah (saw) merekalah yang paling berhak atas kedudukan ini. Tidak akan ada yang bersilisih dengan mereka dalam hal ini kecuali orang yang zalim. Wahai kelompok Anshor! Dan kalian adalah orang-orang yang keutamaannya dalam agama dan peranan pentingnya dalam Islam tidak dapat disangkal. Dikarenakan menjadi penolong agama Allah dan Rasul-Nya (saw), Allah telah ridha kepada kalian dan Dia pun telah menetapkan hijrah Rasulullah (saw) menuju kalian. Sebagian besar istri dan sahabat beliau (saw) tinggal bersama kalian di sini. Dalam pandangan kami, setelah Muhajirin Awalin, tidak ada orang lain yang memiliki kedudukan seperti kalian. Amir akan berasal dari kalangan kami dan kalian sebagai wazir. Dalam setiap perkara penting akan diambil musyawarah dari kalian dan kami tidak akan memutuskan perkara-perkara penting tanpa kalian.”[27]
Berkenaan dengan pidato yang disampaikan Hadhrat Abu Bakr (ra) di Tsaqifah Banu Sa’idah, dalam Sirat Halbiyah terdapat riwayat sebagai berikut. Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, أما بعد فما ذكرتم من خيرفانتم له أهل ولم تعرف العرب هذا الامر الا لهذا الحي من قريش هم أوسط العرب نسبا ودارا يعنى مكة ولدتنا العرب كلها فليست منها قبيله الا لقريش منها ولادة ودار وكلنا معاشر المهاجرين أول الناس اسلاما ونحن عشيرته صلى الله عليه وسلم وأقاربه وذوو رحمه فنحن أهل النبوة ونحن أهل الخلافة “Ammaa ba’du. Sejauh kaitannya dengan Khilafat, orang-orang Arab tidak akan menerima suku lain untuk kedudukan ini selain Quraisy. Quraisy adalah yang paling mulia dan paling tinggi ditinjau dari segi garis keturunan dan tanah air mereka, yakni Mekah. Dalam hal garis keturunan kami terhubung dengan semua orang Arab, karena tidak ada suatu kabilah yang dengan suatu dan lain cara tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan Quraisy. Kami para Muhajirin adalah orang-orang yang paling pertama menerima Islam. Kami juga merupakan handai tolan, sanak keluarga dan kerabat kandung (rehmi rishtah daar) beliau (saw). Kami adalah keluarga Nabi (ahlun Nubuwwah)dan yang memiliki hak atas Khilafat.”[28]
Seraya menceritakan peristiwa tersebut, Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya menjelaskan berkenaan dengan peranan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan setelah menjelaskan bahwa Hadhrat Abu Bakr (ra) datang pada kewafatan Hadhrat Rasulullah (saw) dan menyampaikan pidato kepada kaum Muslimin serta mengumumkan kewafatan beliau (saw), kemudian perawi menuturkan, فَانْطَلَقَ أَبُو بَكْرٍ ، وَعُمَرُ يَتَقَاوَدَانِ ، حَتَّى أَتَوْهُمْ ، فَتَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ ، وَلَمْ يَتْرُكْ شَيْئًا أُنْزِلَ فِي الْأَنْصَارِ وَلَا ذَكَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ شَأْنِهِمْ ، إِلَّا وَذَكَرَهُ “Setelah itu Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat Umar (ra) cepat-cepat pergi ke Tsaqifah Banu Sa’idah, hingga ketika sampai di sana, Hadhrat Abu Bakr (ra) memulai pembicaraan dan beliau tidak meninggalkan satu ayat pun dalam Al-Qur’an yang turun berkenaan dengan Anshor dan menyampaikan semua sabda Rasulullah (saw) berkenaan dengan keutamaan Anshor.” Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) bersabda, وَلَقَدْ عَلِمْتُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” لَوْ سَلَكَ النَّاسُ وَادِيًا ، وَسَلَكَتْ الْأَنْصَارُ وَادِيًا ، سَلَكْتُ وَادِيَ الْأَنْصَارِ ” ، وَلَقَدْ عَلِمْتَ يَا سَعْدُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ وَأَنْتَ قَاعِدٌ : ” قُرَيْشٌ وُلَاةُ هَذَا الْأَمْرِ ، فَبَرُّ النَّاسِ تَبَعٌ لِبَرِّهِمْ ، وَفَاجِرُهُمْ تَبَعٌ لِفَاجِرِهِمْ ‘Kalian mengetahui bahwa Rasulullah (saw) pernah bersabda, “Jika orang-orang pergi ke satu lembah dan Anshor pergi ke lembah lainnya, maka aku akan pergi ke lembah kaum Anshor.” Kemudian Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata kepada Hadhrat Sa’ad (ra), “Wahai Sa’ad! Engkau mengetahui bahwa engkau sedang duduk ketika Rasulullah (saw) bersabda bahwa, ”Yang akan berhak atas Khilafat adalah orang-orang Quraisy. Orang-orang yang saleh di antara orang-orang, mereka akan patuh kepada orang-orang Quraisy yang saleh, dan orang-orang yang buruk dari antara orang-orang, mereka akan tunduk kepada orang-orang Quraisy yang buruk.” Hadhrat Sa’d (ra) berkata, صَدَقْتَ ، نَحْنُ الْوُزَرَاءُ ، وَأَنْتُمْ الْأُمَرَاءُ “Anda berkata benar. Kami adalah Wuzara (para wazir, staf atau asisten) dan anda sekalian adalah umara (para Amir).”[29]
Kisah ini insya Allah masih akan terus berlanjut di kesempatan yang akan datang.
Berkenaan dengan situasi dunia saat ini, saya ingin menghimbau untuk berdoa. Keadaannya telah sangat berbahaya dan dapat terus meningkat. Tidak hanya satu negara, bahkan banyak negara akan bergabung di dalamnya. Jika terus meningkat seperti ini, maka dampak dan akibat mengerikannya akan terus berlangsung hingga ke generasi-generasi berikutnya. Semoga mereka dapat mengenal Allah Ta’ala dan tidak bermain-main dengan nyawa manusia demi memuaskan hawa nafsu-hawa nafsu duniawi mereka. Bagaimanapun kita bisa berdoa dan kita melakukannya, kita bisa memberikan nasihat dan kita melakukannya dan ini sudah lama kita lakukan, akan tetapi di hari-hari ini secara khusus para Ahmadi hendaknya banyak berdoa. Situasi perang dan keadaan yang mengerikan serta penghancuran-penghancuran yang bahkan tidak bisa dibayangkan oleh manusia ini, semoga Allah Ta’ala menyelamatkan umat manusia darinya.
Setelah sholat saya akan menyalatkan satu jenazah, yaitu yang terhormat Khushi Muhammad Shakir Sahib, seorang Muballigh Jemaat. Beliau wafat beberapa hari yang lalu pada usia 69 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau seorang Mushi.
Ahmadiyah masuk dalam keluarga beliau melalui kakek beliau Hadhrat Maulwi Karim Bakhs Sahib, sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as). Beliau baiat setelah melihat tanda tha’un. Demikian juga Hadhrat Haji Muhammad Abdullah Sahib yang merupakan saudara laki-laki dari istri Hadhrat Maulwi Karim Bakhs Sahib, Fazal Bibi Sahibah, juga mendapatkan karunia baiat di tangan Hadhrat Aqdas Masih Mau’ud (as). Nama Hadhrat Haji Muhammad Abdullah Sahib tertulis sebagai sahabat di urutan nomor 23 pada daftar para sahabat Hadhrat Masih Mau’ud (as) dalam Tarikh Ahmadiyah Jilid 8.
Berkenaan dengan Khushi Muhammad Shakir Sahib, beliau lulus ujian matrik pada 1969, kemudian mewaqafkan diri. Beliau masuk Jamiah Ahmadiyah. Pada 1977 beliau meraih gelar Syahid dari Jamiah. Pada 1978 beliau lulus ujian ‘Arabi Faazil, kemudian mengkhidmati Jemaat. Pada 1987 beliau juga meraih gelar MA di bidang Islamologi. Selain di berbagai kota di Pakistan, beliau juga mendapatkan taufik sebagai Mubaligh di Guinea Conakry. Di sana beliau meraih diploma di bidang bahasa Prancis. Allah Ta’ala menganugerahkan kepada beliau 6 putra. Satu putra beliau adalah sebagai mubaligh, Nashir Islam Sahib. Beliau saat ini bertugas di Rabwah.
Dari tahun 1977 hingga 1991, beliau mendapatkan taufik berkhidmat di berbagai wilayah di Pakistan dan dari 1991 hingga 2007 mendapatkan taufik berkhidmat di Sierra Leone dan Guinea Conakry. Sepulang dari sana, dari 2008 beliau mendapatkan taufik berkhidmat di kantor-kantor berbagai departemen di Anjuman. Beliau mendapatkan taufik berkhidmat sebagai Nazir Ishlah-o-Irshad Muqami dan Nazarat Umur ‘Ammah.
Ketika di Afrika, banyak orang-orang yang berfitrat baik mendapatkan taufik untuk masuk Ahmadiyah melalui perantaraan beliau. Beberapa Jemaat berdiri melalui beliau. Beliau adalah seorang mubaligh yang berhati tulus dan pekerja keras. Beliau mengalami banyak peristiwa menggugah iman di medan pertablighan. Banyak orang-orang menceritakan mengenai bagaimana Allah Ta’ala menolong beliau.
Pada Juli 1986 beliau mendapatkan karunia dipenjara di jalan Allah Ta’ala dalam kasus Kalimah Thoyyibah. Istri beliau menulis, “Seluruh hidup saya menjadi saksi bahwa beliau tidak pernah meninggalkan sholat dan juga tahajud. Ketika pulang dari kunjungan kejemaatan, meskipun dalam keadaan kelelahan beliau berusaha untuk melaksanakan sholat berjamaah. Meskipun sedang sakit keras hingga sulit berjalan, namun beliau tetap pergi untuk sholat berjamaah. Beliau memiliki banyak keistimewaan. Beliau senantiasa sibuk dalam memenuhi huquuqullah dan huquuqul ‘ibaad. Beliau adalah sosok yang menapaki jalan-jalan halus ketakwaan, sangat mencintai Khilafat, taat, rendah hati, menghormati para mubaligh dan pengurus Jemaat, menyayangi anak-anak, dermawan, menyantuni kaum kerabat dan orang-orang miskin, pandai bergaul dan memiliki kesenangan yang khas pada pertablighan.
Pada hari-hari terakhir sakitnya, ketika keadaan beliau telah sangat parah, hingga tiga hari tiga malam beliau dibawa ke ruang emergency. Setiap kali beliau pulang ke rumah, sesampainya di rumah beliau tidak pernah meninggalkan sholat tahajud. Suatu hari beliau pulang dari rumah sakit. Keadaannya buruk, Beliau melaksanakan sholat subuh, lalu bersiap dan pergi ke kantor. Ketika dicegah, beliau mengatakan, ‘Inilah pekerjaan seorang Waqaf Zindegi. Janganlah menghalangi saya dari pekerjaan saya.’”
Putra beliau, Nasir Islam Sahib yang adalah seorang mubaligh menuturkan, “Sejak kami mencapai usia dewasa, kami telah melihat ayahanda sebagai orang yang rajin sholat tahajud dan beliau meraih derajat ketaatan yang tinggi. Ketika ada pengurus Jemaat, entah itu besar atau kecil, beliau mentaatinya. Bersedekah dan beramal baik adalah merupakan kebiasaan beliau setiap hari. Beliau tidak suka membuang-buang waktu dalam bekerja. Seorang yang sangat pandai bergaul dan sangat hobi bertabligh.”
Nasir Islam Sahib menuturkan, “Saya melihat ayah saya ketika pulang sholat, jalan-jalan pagi, dalam perjalanan di Afrika atau duduk di suatu rumah makan, pada saat makan atau duduk di ruang tunggu, beliau sambil menunggu biasa bertabligh kepada polisi, tentara atau siapapun yang beliau jumpai dan tidak pernah melepaskan kesempatan untuk betabligh. Ketika nampak seseorang datang, kami biasa mengatakan, ‘Orang ini telah muncul, sekarang ayah kita tidak dapat melepaskannya begitu saja, beliau pasti akan menablighinya.’”
Kemudian seorang putra beliau menuturkan, “Ayahanda menceritakan bahwa di Afrika, beliau menghadapi banyak permasalahan dalam hal pertablighan. Beliau banyak berdoa dan melaksanakan sholat tahajud, maka dalam sujud terdengar suara, “dalam fitratku tidak ada istilah gagal.” Setelah itu, keesokan harinya rintangan dalam pertablighan tersebut telah hilang.
Singkatnya, banyak orang yang menulis peristiwa-peristiwa berkenaan dengan beliau dan setiap orang menulis bahwa beliau seorang yang pandai bergaul, rendah hati, rajin berdoa, memiliki jalinan yang kuat dengan Khilafat dan seorang yang bertawakal kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfiroh dan rahmat-Nya kepada beliau, meninggikan derajat beliau serta memberikan taufik kepada anak keturunan beliau untuk dapat meneruskan kebaikan-kebaikan beliau.[30]
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُاللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Subulul Huda war Rasyaad fi Sirat Khairil ‘Ibaadi (سبل الهدى والرشاد في سيرة خير العباد), Kumpulan bab tentang sifata-sifatnya (جماع أبواب صفاته المعنوية صلى الله عليه وسلم), bab tentang sifat kebaikan akhlaknya (الباب الثاني في حسن خلقه صلى الله عليه وسلم).
[2] Sunan Abi Dawud 1818, The Rites of Hajj (Kitab Al-Manasik Wa’l-Hajj) (كتاب المناسك), Chapter: The One In Ihram Who Disciplines His Slave (باب الْمُحْرِمِ يُؤَدِّبُ غُلاَمَهُ).
[3] Subulul Huda war Rasyaad fi Sirat Khairil ‘Ibaadi (سبل الهدى والرشاد في سيرة خير العباد), Kumpulan bab tentang sifata-sifatnya (جماع أبواب صفاته المعنوية صلى الله عليه وسلم), bab tentang sifat kebaikan akhlaknya (الباب الثاني في حسن خلقه صلى الله عليه وسلم).
[4] As-Sirah an-Nabawiyah (كتاب السيرة الحلبية = إنسان العيون في سيرة الأمين المأمون) karya Nuruddin al-Halabi (نور الدين الحلبي), (الجزء الثالث حجة الوداع): فلما بلغ بعض الصحابة أن زاملة رسول الله صلى الله عليه وسلم ضلت جاء بحيس ووضعه بين يديه صلى الله عليه وسلم، فقال صلى الله عليه وسلم لأبي بكر رضي الله تعالى عنه وهو يغتاط على الغلام: «هون عليك يا أبا بكر، فإن الأمر ليس لك ولا إلينا» وقد كان الغلام حريصا على أن لا يضل بعيره، وهذا غذاء طيب قد جاء الله به، وهو خلف عما كان معه، فأكل صلى الله عليه وسلم وأبو بكر ومن كان يأكل معهما حتى شبعوا، فأقبل صفوان بن المعطل رضي الله تعالى عنه وكان على ساقة القوم، أي لأن هذا كان شأنه كما تقدم في قصة الإفك والبعير معه وعليه الزاملة حتى أناخه على باب منزله صلى الله عليه وسلم، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأبي بكر: «انظر هل تفقد شيئا من متاعك؟» فقال: ما فقدت شيئا إلا قعباكنا نشرب فيه، فقال الغلام: هذا القعب معي .
[5] Zaadul Ma’ad (عبدالله بن عباس | المحدث : شعيب الأرناؤوط | المصدر : تخريج زاد المعاد). Majma’uz Zawaid karya al-Haitsami (الراوي : عبدالله بن عباس | المحدث : الهيثمي | المصدر : مجمع الزوائد); al-Badrul Munir kaya Ibnu al-Mulaqan (الراوي : عبدالله بن عباس | المحدث : ابن الملقن | المصدر : البدر المنير)
[6] Sunan an-Nasa’i, 2664, (كتاب مناسك الحج), (باب الْغُسْلِ لِلإِهْلاَلِ)
[7] Al-Waqidi (الواقدي) dalam al-Maghazi (المغازي). Subulul Huda (سبل الهدى والرشاد – الصالحي الشامي – ج ٥ – الصفحة ٦٤; Kanzul ‘Ummal (كنز العمال – المتقي الهندي – ج ١٠ – الصفحة ٤٧٢); as-Sirah al-Halbiyah (السيرة الحلبية 1-3 إنسان العيون في سيرة الأمين المأمون ج3) karya Nuruddin al-Halabi (أبي الفرج نور الدين علي بن برهان/الحلبي); Tafsir al-Mazhhari (التفسير المظهري 1-7 ج6) karya Muhammad Tsanaullah al-‘Utsmani al-Mazhhari (محمد ثناء الله العثماني المظهري), bahasan Surah fath. Hadyuth Thariq min Sirati Abi Bakr ash-Shiddiq (هدى الطريق من سيرة أبي بكر الصديق (رضي الله عنه)) karya ‘Ali Sa’d ‘Ali Hijazi (علي سعد علي حجازي ،لواء مهندس).
[8] Sumber: Shahih al-Bukhari, Kitab: Adzan (كتاب الأذان), bab yang paling berhak menjadi Imam shalat ialah ahli Ilmu dan orang berkedudukan (باب أَهْلُ الْعِلْمِ وَالْفَضْلِ أَحَقُّ بِالإِمَامَةِ), 679; Bukhari, Kitab: Adzan, Bab: Jika seorang imam menangis dalam shalatnya, No. Hadist : 675; Muwatta Malik » Shortening the Prayer – كتاب قصر الصلاة فى السفر
[9] Sunan Abi Dawud, Kitab as-Sunnah (كتاب السنة), bab istikhlaf Abi Bakr (باب فِي اسْتِخْلاَفِ أَبِي بَكْرٍ رضى الله عنه), 4660: عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَمْعَةَ، قَالَ لَمَّا اسْتُعِزَّ بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا عِنْدَهُ فِي نَفَرٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ دَعَاهُ بِلاَلٌ إِلَى الصَّلاَةِ فَقَالَ مُرُوا مَنْ يُصَلِّي لِلنَّاسِ . فَخَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَمَعَةَ فَإِذَا عُمَرُ فِي النَّاسِ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ غَائِبًا فَقُلْتُ يَا عُمَرُ قُمْ فَصَلِّ بِالنَّاسِ فَتَقَدَّمَ فَكَبَّرَ فَلَمَّا سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَوْتَهُ وَكَانَ عُمَرُ رَجُلاً مُجْهِرًا قَالَ ” فَأَيْنَ أَبُو بَكْرٍ يَأْبَى اللَّهُ ذَلِكَ وَالْمُسْلِمُونَ يَأْبَى اللَّهُ ذَلِكَ وَالْمُسْلِمُونَ ” . فَبَعَثَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ فَجَاءَ بَعْدَ أَنْ صَلَّى عُمَرُ تِلْكَ الصَّلاَةَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ . terccantum juga dalam ar-Riyadh an-Nadhirah (كتاب الرياض النضرة في مناقب العشرة) karya Muhibb ath-Thabari (الطبري، محب الدين), (المجلد الأول القسم الثاني: في مناقب الأفراد الباب الأول: في مناقب خليفة رسول الله أبي بكر الصديق الفصل التاسع: في خصائصه).
[10] Sumber: Shahih al-Bukhari, Kitab: Adzan (كتاب الأذان), bab shalat di samping Imam karena suatu sebab khusus (باب مَنْ قَامَ إِلَى جَنْبِ الإِمَامِ لِعِلَّةٍ), 683. Sahih Muslim 418h, Kitab shalat (كتاب الصلاة), bab (باب اسْتِخْلاَفِ الإِمَامِ إِذَا عَرَضَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ مَرَضٍ وَسَفَرٍ وَغَيْرِهِمَا مَنْ يُصَلِّي بِالنَّاسِ وَأَنَّ مَنْ صَلَّى خَلْفَ إِمَامٍ جَالِسٍ لِعَجْزِهِ عَنِ الْقِيَامِ لَزِمَهُ الْقِيَامُ إِذَا قَدَرَ عَلَيْهِ وَنَسْخِ الْقُعُودِ خَلْفَ الْقَاعِدِ فِي حَقِّ مَنْ قَدَرَ عَلَى الْقِيَامِ).
[11] Sumber: Shahih al-Bukhari, Kitab: Adzan (كتاب الأذان), bab yang paling berhak menjadi Imam ialah ahli Ilmu dan orang berkedudukan (باب أَهْلُ الْعِلْمِ وَالْفَضْلِ أَحَقُّ بِالإِمَامَةِ), 680.
[12] Sumber: Shahih al-Bukhari, Kitab: Adzan (كتاب الأذان), bab batas sakit seseorang yang mengharuskannya shalat berjamaah (باب حَدِّ الْمَرِيضِ أَنْ يَشْهَدَ الْجَمَاعَةَ), 664.
[13] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab Fadhail Ash-haabin Nabiyyi (saw) (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab Qaulin Nabiyyi saw, lau kuntu muttakhidzan khalilan (باب قَوْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم ” لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلاً ”), 3667: عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ ـ رضى الله عنها ـ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم . Furhang-e-Sirat, p. 157, Zawar Academy, Karachi, 2003
[14] Tafsir Ibnu al-Mundzir (تفسير ابن المنذر)
[15] Shahih al-Bukhari (صحيح البخاري), Kitab al-Maghazi (كتاب المغازى), bab sakitnya Nabi dan kewafatan beliau (saw) (بَابُ مَرَضِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوَفَاتِهِ ), 4452-4453.
[16] Mushannaf Ibni Abi Syaibah, Kitab al-Maghazi, bab tentang kewafatan Nabi, hadits nomor 36359 (مصنّف بن أبي شيبة كتاب المغازي ما جاء في وفاة النبي صلى الله عليه وسلم حديث رقم 36359); Fathul Bari (فتح الباري شرح صحيح البخاري), (كتاب المغازي), (باب مرض النبي صلى الله عليه وسلم ووفاته); (شرح العلامة الزرقاني على المواهب اللدنية بالمنح المحمدية 1-12 ج12) karya (أبي عبد الله محمد بن عبد الباقي/الزرقاني); (اسم الکتاب : المواهب اللدنيه بالمنح المحمديه المؤلف : القسطلاني الجزء : 3 صفحة : 569)
[17] Tafsir al-Qurthubi (تفسير القرطبي – القرطبي – ج ٤ – الصفحة ٢٢) Al-Qur’an, Surah Ali Imran, 3:145.
[18] Pandangan Islam mengenai Wahyu dan Nubuwwah, Anwarul ‘Ulum jilid 23, halaman 327-328 (النظرية الإسلامية عن قضية الوحي والنبوة، أنوار العلوم ج23، ص327-328)
[19] Barahin Ahmadiyah jilid 5 (البراهين الأحمدية ج5)
[20] Abu Bakr karya Ash-Shalabi (سيدنا أبوبكرللصلابي)
[21] Ashiddiq Abu Bakr karya Muhammad Husain Haikal (الصديق الأكبر لمحمد حسين هيكل ص53-)
[22] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى) karya Muhammad ibnu Sa’d bin Mani Abu ‘Abdullah al-Bashri az-Zuhri (محمد بن سعد بن منيع أبو عبدالله البصري الزهري), (ذكر بيعة أبي بكر), (الناشر : دار صادر – بيروت) , (الطبعة : 1 – 1968 م)
[23] Biharul Anwar (بحار الأنوار – العلامة المجلسي – ج ٢٨ – الصفحة ٣٣٢); (الخلفاء الراشدون لعبد الوهاب النجار).
[24] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الأمم والملوك) (محمد بن جرير الطبري أبو جعفر), (ذكر الخبر عما جرى بين المهاجرين والأنصار في أمر الإمارة في سقيفة بني ساعدة), (دار الكتب العلمية – بيروت), (الطبعة الأولى ، 1407): وأتى عمر الخبر فأقبل إلى منزل النبي صلى الله عليه و سلم فأرسل إلى أبي بكر وأبو بكر في الدار وعلي بن أبي طالب عليه السلام دائب في جهاز رسول الله صلى الله عليه و سلم فأرسل إلى أبي بكر أن اخرج إلي فأرسل إليه إني مشتغل فأرسل إليه أنه قد حدث أمر لا بد لك من حضوره فخرج إليه فقال أما علمت أن الأنصار قد اجتمعت في سقيفة بني ساعدة يريدون أن يولوا هذا الأمر سعد بن عبادة وأحسنهم مقالة من يقول منا أمير ومن قريش أمير فمضيا مسرعين نحوهم فلقيا أبا عبيدة بن الجراح فتماشوا إليهم .
[25] Sahih al-Bukhari 6830, Kitab al-Hudud (كتاب الحدود) Limits and Punishments set by Allah (Hudood), (باب رَجْمِ الْحُبْلَى مِنَ الزِّنَا إِذَا أَحْصَنَتْ) Chapter: The Rajm of a married lady pregnant through illegal sexual intercourse.
[26] Sahih al-Bukhari 4021, Kitab al-Maghazi (كتاب المغازى): عَنْ عُمَرَ ـ رضى الله عنهم ـ لَمَّا تُوُفِّيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قُلْتُ لأَبِي بَكْرٍ انْطَلِقْ بِنَا إِلَى إِخْوَانِنَا مِنَ الأَنْصَارِ. فَلَقِيَنَا مِنْهُمْ رَجُلاَنِ صَالِحَانِ شَهِدَا بَدْرًا. فَحَدَّثْتُ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ فَقَالَ هُمَا عُوَيْمُ بْنُ سَاعِدَةَ، وَمَعْنُ بْنُ عَدِيٍّ .
[27] Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري – الطبري – ج ٢ – الصفحة ٤٥٧)
[28] as-Sirah al-Halbiyah (السيرة الحلبية – الحلبي – ج ٣ – الصفحة ٤٨٠)
[29] Musnad Ahmad ibn Hanbal (مسند أحمد بن حنبل), Musnad Abi Bakr (مسند ابي بكر الصديق رضي الله عنه ), nomor 18: عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، قَالَ : تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ فِي طَائِفَةٍ مِنَ الْمَدِينَةِ ، قَالَ : فَجَاءَ ، فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ ، فَقَبَّلَهُ ، وَقَالَ : فِدَاكَ أَبِي وَأُمِّي ، مَا أَطْيَبَكَ حَيًّا وَمَيِّتًا ، مَاتَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَرَبِّ الْكَعْبَةِ . . . فَذَكَرَ الْحَدِيثَ ، قَالَ .
[30] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).