Keteladanan Para Sahabat Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam (Manusia-Manusia Istimewa seri 129, Khulafa’ur Rasyidin Seri 03, Hadhrat ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyAllahu ta’ala ‘anhu Seri 19)
Konteks Historis dan sebab-sebab futuuhat (Penaklukan-Penaklukan) di masa Khilafat ‘Umar (ra) berdasarkan uraian ‘Allamah Syibli Nu’mani, sejarawan Muslim India;
Luas keseluruhan wilayah yang telah ditaklukkan oleh Hadhrat ‘Umar (ra) adalah 2.251.030 (dua juta dua ratus lima puluh satu ribu tiga puluh) mil persegi.
Sudut pandang beberapa sejarawan Barat yang menyajikan berbagai aspek tentang Persia dan Romawi Bizantium, yang membuat mereka tidak terhindarkan untuk akhirnya jatuh ke tangan Muslim.
Uraian bersifat bantahan dari ‘Allamah Syibli Nu’mani terhadap argumentasi pihak Sejarawan Eropa.
Mengapa Umat Islam Mampu Mengalahkan Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Persia?
Perbedaan antara kemenangan-kemenangan di masa Hadhrat ‘Umar (ra) dengan kemenangan Alexander the Great (Iskandar Agung dari Makedonia) dan kemenangan Jengkhis Khan (dari Mongol) serta para penakluk besar lainnya. Dua Contoh kebengisan Iskandar Agung yang tercatat dalam sejarah.
Rincian Kesyahidan Hadhrat ‘Umar (ra); Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Kepemimpinan Agung Hadhrat ‘Umar (ra).
Riwayat Hadits dan Atsar dalam kaitannya dengan Kesyahidan Hadhrat ‘Umar (ra). Beberapa ru-ya (mimpi) yang dilihat para Sahabat Nabi (saw) perihal kesyahidan dan kewafatan Hadhrat ‘Umar (ra).
Kutipan dari Hadhrat Khalifatul Masih kedua radhiyAllahu ta’ala ‘anhu.
Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Khalifah ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.
Dimulainya Jalsah Salanah Jerman.
Setelah shalat Jumat Hudhur akan mengimami shalat jenazah gaib bagi Almarhum Mln. Qomaruddin Sahib dan Almarhumah Sabiha Harun Sahiba.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 08 Oktober 2021 (08 Ikha 1400 Hijriyah Syamsiyah/ 01 Rabi’ul Awwal 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Sebelumnya telah disampaikan tentang kemenangan-kemenangan di masa Hadhrat ‘Umar (ra). Allamah Syibli Nu’mani, seorang sejarawan penulis Sirat dan peri kehidupan Hadhrat ‘Umar, dalam menjelaskan terkait kemenangan-kemenangan Hadhrat ‘Umar beserta latar belakang dan peristiwa-peristiwa di dalamnya, ia menulis: “Dalam kalbu seorang sejarawan, seketika [pasti] akan muncul pertanyaan, bagaimana mungkin penghuni gurun yang hanya beberapa saja jumlahnya tersebut dapat menggulingkan tahta Persia dan Romawi? Apakah ini adalah satu pengecualian di dalam sejarah dunia? Apakah sebenarnya yang melatarbelakanginya? Apakah peristiwa-peristiwa itu dapat diserupakan dengan kemenangan yang didapat oleh Iskandar dan Jengkhis Khan? Seberapa banyak peran para wakil khilafat atas semua yang telah terjadi itu?
Kami sampaikan pada kesempatan ini bahwa inilah pertanyaan-pertanyaan yang ingin kami jawab. Namun, sebelum menjawab itu ada hal yang harus kami sampaikan secara umum yaitu seberapa luas kemenangan-kemenangan yang diraih oleh Hadhrat ‘Umar Faruq (ra) dan batas-batasnya. Luas keseluruhan wilayah yang telah ditaklukkan oleh Hadhrat ‘Umar (ra) adalah 2.251.030 (dua juta dua ratus lima puluh satu ribu tiga puluh) mil persegi. Dari Makkah al-Mukarramah ke arah utara berjarak 1036 mil, lalu ke arah timur berjarak 1087 mil, dan ke arah selatan berjarak 483 mil… Ini semua adalah kemenangan-kemenangan yang secara khas diraih oleh Hadhrat ‘Umar (ra) dalam kurun waktu 10 tahun lebih.” [1]
Latar belakang sesuai sejarah yang tengah saya sampaikan ini harus diketahui untuk memahami kemenangan-kemenangan tersebut. Saya akan sampaikan bagaimana pendapat dari para sejarawan Eropa tentang kemenangan tersebut, “Jawaban para sejarawan Eropa atas pertanyaan pertama adalah, saat itu kedua kekaisaran yaitu Persia dan Romawi telah terjatuh dari kejayaannya; mereka (Romawi dan Persia) telah sampai pada titik puncak kejayaan mereka, dan merupakan hukum alam bahwa mereka pun turun dari puncak (jatuh).
Kemudian, sejarawan Eropa menyampaikan bahwa setelah Khosrau Parwez, kekaisaran Persia sama sekali mengalami kehancuran karena saat itu tidak ada seorang pun yang layak untuk dapat mengatur jalannya pemerintahan dan memperbaiki keadaan negara. Rencana-rencana jahat [konspirasi penggulingan Raja] timbul dari orang-orang kepercayaan Raja dan anggota kerajaan; dan akibat berbagai rencana jahat itulah terus terjadi pergantian pemimpin kerajaan sehingga dalam kurun waktu 3 (tiga) atau 4 (empat) tahun saja kekaisaran silih berganti hingga 6 (enam) atau 7 (tujuh) orang Raja.
Para sejarawan Eropa mengatakan bahwa salah satu sebab [kejatuhan Persia] lainnya adalah beberapa masa sebelum Nosherwan (selah seorang Kisra atau Raja Persia) menjadi Raja, golongan Mazdakiyah tengah sangat gencar. Mereka adalah orang-orang yang condong ke arah penyimpangan dan kesesatan.” [2]
Golongan Mazdakiyah ini mengajarkan cara mereka menghilangkan iri hati antar sesama dan berupaya menjauhkan perselisihan yaitu dengan menjadikan para wanita dan harta benda mereka sebagai milik bersama yang artinya mereka sama sekali tidak menghargai wanita dan kesucian di dalam agamanya. Inilah anggapan para sejarawan Eropa. Sebagian ada yang beranggapan bahwa golongan Mazdakiyah ini ialah suatu gerakan di masyarakat yang tujuannya untuk memurnikan agama Zoroaster.
“Raja Nosherwan menekan mereka (golongan Mazdakiyah) dengan kekuatan pedang, namun ia tidak sanggup menghancurkan mereka. Tatkala Islam menapakkan kakinya di Persia, orang-orang dari golongan tersebut menjadikan kaum Muslim sebagai tempat berlindungnya karena kaum Muslim tidak membenci suatu agama atau ajaran tertentu. Ini adalah pendapat para sejarawan Eropa.
Kemudian, mereka (para sejarawan Eropa) menulis, ‘Di dalam Kristen terdapat golongan Nestorian dimana mereka tidak mendapat perlindungan pada pemerintahan manapun lalu mereka memilih di bawah naungan kaum Muslim untuk berlindung dari kezaliman musuh mereka. Dengan demikian kaum Muslim telah berhasil membantu dan menaungi dua golongan besar tersebut. Saat itu kekaisaran Romawi telah lemah dan di masa itu perselisihan di antara kaum Kristen sangat hebat. Karena saat itu agama telah masuk ke dalam sendi pemerintahan, maka perselisihan itu tidak hanya berpengaruh pada pemikiran-pemikiran keagamaan saja, bahkan akibatnya pemerintah sendiri pun menjadi lemah.’” [3]
Allamah [Syibli Nu’mani] dalam menolak pendapat ini sejarawan Eropa tersebut menjelaskan, “Jawaban mereka ini memang tidak kosong dari kebenaran, namun ini banyak melakukan penarikan kesimpulan yang bercorak menutupi kenyataan yang merupakan cara khas Eropa. Tidak diragukan lagi, saat itu kekaisaran Persia dan Romawi tidak lagi berada di puncak kejayaan mereka. Hal ini menyebabkan mereka tidak sanggup lagi menghadapi kekaisaran besar. Namun, tidak mungkin mereka (Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Persia) dapat hancur berkeping-keping oleh kaum yang tiada memiliki kemampuan dan perlengkapan memadai seperti bangsa Arab.
Bangsa Romawi dan Persia keduanya mahir dalam ilmu peperangan. Berbagai buku tentang prinsip-prinsip peperangan” – yang tertulis dalam bahasa Yunani – “dan masih ada hingga sekarang, terus diamalkan bangsa Romawi hingga masa yang lama. Termasuk di dalamnya tentang pengaturan jumlah pasukan, pengaturan jumlah perlengkapan, penentuan alat-alat pertempuran dan berbagai hal lainnya. Mereka tidak pernah kurang dalam hal jumlah prajurit; dan yang terutama adalah, mereka tidak berkeinginan untuk menyerang suatu negeri, mereka hanya ingin menjaga negerinya dengan bertahan di benteng-benteng dan tempat-tempat bermukim mereka.
Beberapa masa yang dekat sebelum pertempuran dengan kaum Muslim yaitu di masa Khosrau Parweiz yang merupakan masa kejayaan dan keemasan Persia, Kaisar Romawi menyerbu Iran (Persia) dan ia meraih kemenangan di setiap lini, dan telah sampai di kota Isfahan sebagai pemenang. Wilayah Syam yang sebelumnya telah diambil oleh Iran direbut kembali oleh mereka dan mereka menegakkan kembali pemerintahan mereka di sana.
Kerajaan Iran hingga masa Khusrou Parwaiz secara umum dianggap sangat berjaya. Dari sejak kematian Khusrow Parwaiz hingga penyerangan dari umat Islam ke Iran hanya berjarak 3 atau 4 tahun.Bagaimana mungkin kerajaan kuat dan telah ada sejak lama itu menjadi lemah dalam masa sesingkat itu?
Banyaknya pergantian dalam kepemimpinan memang dapat mengubah pemerintahan, namun karena dalam jalannya pemerintahan tidak ada kekurangan yakni dalam harta kerajaan, [pembiayaan] kemiliteran dan sumber-sumber pendapatan sehingga tatkala Yazdegerd menaiki tahta [kerajaan Persia], muncul di kalangan para abdi dalem kerajaannya ide kecenderungan ke arah reformasi [perbaikan kerajaannya] dan mendapatkan kembali prestise dan kebesaran yang sama lagi seperti halnya sebelumnya.
Golongan Mazdakiyyah memang ada di Iran, namun dari semua acuan kitab-kitab sejarah, kami tidak menemukan adanya apapun jenis pertolongan dari mereka (yakni bantuan yang mereka berikan) kepada kaum Muslim. Demikian pula kami tidak mengetahui adanya pertolongan dari golongan Nestorian [kepada kaum Muslim].” [4]
Nestoria adalah satu golongan dalam Kristen yang akidahnya adalah, di dalam zat Hadhrat Isa terdapat baik sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan secara terpisah. Terkait pengaruh dari perselisihan agama di dalam Kristen ini, para sejarawan Eropa tidak menyebutkan tentang peristiwa ini dimanapun.[5]
“Kini, perhatikanlah keadaan bangsa Arab. Jumlah semua pasukan yang tengah sibuk di pertempuran di Mesir, Iran, dan Romawi pun tidak sampai 100.000 tentara. Dalam hal penguasaan ilmu peperangan, perang Yarmuk adalah perang pertama di mana bangsa Arab dapat mengatur barisan mereka dengan taktik ta’bi–ah (التعبئة). Ta’bi–ah adalah pengaturan barisan di dalam pertempuran dimana panglima atau Raja yang memimpin pasukan berada di tengah-tengah pasukan. Ini disebut dengan taktik Ta’bi–ah. Setiap prajurit Iran (Persia) memakai pakaian perang yang harus dikenakan berupa pelindung kepala, zirah, caltah (pakaian yang terbuat dari besi atau baja), joshan (suatu jenis zirah), baktar (empat lembaran baja yang dijadikan sebagai pelindung untuk dada, punggung, dan kedua paha kaki), sarung tangan dari besi (jehlum),gelang-gelang besi, penutup muka dan sepatu. Sementara itu, pasukan Arab hanya memiliki zirah (baju pelindung tubuh tebal dan kuat) yang kebanyakan hanya terbuat dari kulit.”[6] (Semua perlengkapan pelindung pasukan Iran terbuat dari besi [logam], sementara yang dimiliki oleh bangsa Arab saat itu jika ada pun yang dari besi atau logam hanya beberapa saja dan kebanyakan terbuat dari kulit.)
“Pelindung untuk kuda mereka (umat Muslim bangsa Arab) itu pun terbuat dari kayu, bukan besi. Tentang peralatan perang, seperti palu gada dan cemeti, bangsa Arab sama sekali tidak mengenalnya.”
Gada ini adalah alat bertempur tongkat besi yang ujungnya bulat dan tebaldan memiliki gagang di bawahnya dan ini digunakan untuk memukul kepala musuh lalu cemeti yang terbuat dari jalinan tali atau rotan.
“Kaum Arab memiliki panah; namun sedemikian kecil dan berkadar rendah dimana tatkala pertempuran Qadisiyah, ketika pasukan Iran melihat gempuran awal bangsa Arab, mereka menganggap itu sebagai ranting atau jarum.”
Sang penulis [Allamah Syibli] dalam menjelaskan sebab sebenarnya kesuksesan penaklukan oleh kaum Muslimin, “Menurut kami, jawaban yang benar atas pertanyaan ini hanyalah: pada saat itu, semangat, kebulatan tekad, keteguhan hati, gelora yang tinggi dan keberanian yang telah dimiliki oleh kaum Muslim melalui sosok utusan Islam (saw), dimana Hadhrat ‘Umar pun semakin menguatkan dan mempertajam itu. Sungguh kekaisaran Romawi dan Persia pun tidak dapat menandinginya meskipun keduanya ada di masa kejayaannya.
Selain itu, ada pula beberapa hal yang turut mendukung, meskipun tidak di dalam mendukung kemenangan tetapi dalam berdirinya pemerintahan; dalam hal ini yang paling utama adalah ketakwaan dan kejujuran kaum Muslim. Di negeri yang telah ditaklukkan, para penduduk di sana menjadi sedemikian kagum dan menyenangi ketakwaan dan kejujuran kaum Muslim sehingga meskipun bertentangan dalam hal keyakinan agama, mereka tidak menginginkan kemunduran atas pemerintahan Muslim. Sebelum pertempuran Yarmuk, tatkala kaum Muslim bergerak mundur dari wilayah Syam untuk bertempur di tempat lain, seluruh penduduk Kristiani menyeru, ‘Semoga Tuhan menjadikan Anda semua kembali ke negeri ini’; sementara itu kaum Yahudi berkata seraya meletakkan Taurat di tangannya, ‘Selama kami hidup, Kaisar Romawi tidak akan sanggup datang di sini.’
Sementara itu, pemerintahan Romawi yang saat itu berada di Syam dan Mesir sungguh sewenang-wenang. Maka dari itu, apa yang dilakukan bangsa Romawi dalam menghadapi kaum Muslimin adalah dengan kekuatan politik dan militer. Rakyat di sana tidak mengikuti mereka. Tatkala kaum Muslim menundukkan kekuatan kerajaan mereka, jalan selanjutnya pun menjadi bersih dan tidak menemui rintangan. (yakni tidak ada pertentangan apapun dari para rakyatnya).
Tetapi, keadaan di Iran adalah berbeda. Di sana, ada banyak pemimpin dan penguasa daerah di bawah kerajaan yang menguasai wilayah-wilayah dan daerah yang luas. Mereka tidak bertempur demi kekaisaran mereka, namun demi pemerintahan mereka sendiri. Inilah sebabnya meskipun kekaisaran mereka sudah ditaklukkan dengan penguasaan ibukotanya oleh kaum Muslimin, kaum Muslimin tetap menghadapi berbagai macam perlawanan di Persia.
Namun, saat itu para penduduk secara umum semakin condong terhadap kaum Muslim sehingga dengan demikian, setelah meraih kemenangan, ini sangat membantu dalam keberlangsungan pemerintahan. (yaitu membantu dalam berdirinya pemerintahan).
Satu sebab lain yang utama adalah: pada mulanya, kaum Muslim menyerang Syam dan Irak dan di kedua wilayah tersebut telah banyak bangsa Arab yang bermukim. Penguasa Damaskus di Syam adalah Dinasti Ghassani, yang sekadar nama ia berada di bawah Kaisar Romawi. Adapun Dinasti Lakhm di Irak pun sebenarnya adalah penguasa yang sesungguhnya di negerinya meski mereka memang memberi upeti kepada Kisra Persia. Kaum Arab tersebut (Dinasti Ghassani di Syam dan Dinasti Lakhm di Irak) meskipun mereka telah memeluk Kristen, pada awalnya mereka memang bertempur melawan kaum Muslim. Namun, semangat persatuan kebangsaan mereka tidak luntur. Para pemimpin [bangsa Arab non Islam] di Irak kemudian lekas memeluk Islam dan setelahnya mereka menjadi tulang punggung kaum Muslimin. Kaum Arab di Syam pada akhirnya menerima Islam dan mereka pun terbebas dari pemerintahan Romawi.
Menyebutkan Iskandar (Alexander the Great), Jenghis Khan dan para penakluk lain dalam hal ini tidak tepat. Tidak dipungkiri keduanya telah meraih kemenangan-kemenangan besar. Namun yang seperti apa dan bagaimana? Yang ada pada mereka adalah kekerasan, keaniayaan dan pembantaian (pembunuhan secara serentak dalam jumlah banyak atas mereka yang tidak mampu melawan). Tentang Jengkhis Khan, semua orang mengetahui kelakukannya terkait hal ini.
Jika kita pelajari kemenangan yang diraih oleh Iskandar, yang dilakukannya adalah, tatkala ia menaklukkan kota Shur di Syam dan para penduduk di sana terus bertempur dengan gagah berani melawan Iskandar lalu Iskandar telah mampu mengalahkan mereka maka ia pun memerintahkan untuk melakukan pembantaian. Iskandar juga memerintahkan ribuan kepala penduduk Shur agar diletakkan di dinding kota. Artinya, digantung diatas dinding benteng kota. Ia juga menjadikan 30.000 penduduknya baik laki-laki dan perempuan sebagai budak lalu menjualnya. Para penduduk di kota itu yang menginginkan hidup bebas pun sama sekali tidak Iskandar sisakan seorang pun. Demikian pula, perilaku Iskandar di Persia pun tidak berbeda. Di Istakhar, satu kota kuno di Persia, tatkala Iskandar menaklukkannya, tidak ia sisakan seorang pria pun kecuali ia habisi. Banyak sekali tindakan pembantaian brutal seperti itu yang tertulis dalam sejarah penaklukannya (yaitu yang dilakukan oleh Iskandar). Oleh karena itu, bagaimana bisa kemenangannya ini dibandingkan dengan kemenangan-kemenangan yang diraih oleh Islam?
Secara umum diketahui bahwa suatu kerajaan hancur dan terhabisi karena kekejaman dan sikap aniaya, namun hal ini sungguh benar, kekejaman tidak membawa kelanggengan. Akibatnya, kekaisaran Iskandar tidak berlangsung lama dan demikian pula Jengkhis Khan. Namun, pembantaian seperti itu yang mereka lakukan membantu dalam kemenangan secara cepat karena mereka (penjajah dan penyerang) menyebarkan teror ketakutan di hati seluruh penduduk yang akan ditaklukan, dan karena sebagian besar rakyat menjadi sasaran pembunuhan dan pemusnahan sehingga tidak ada bahaya pemberontakan dan revolusi. Demikianlah cara para penjajah dan penakluk besar seperti Jenghis Khan, Bakhtnasir (Nebukadnezar), Timur Leng, Nadirshah dan lain-lain yang haus darah.
Namun, dalam kemenangan yang diraih Hadhrat ‘Umar (ra) tidak ada melampaui hukum dan aspek keadilan. Jangankan pembantaian, menebang pohon sekalipun tidak diizinkan dan tidak dibenarkan menyerang anak-anak dan orang-orang yang tua. Tidak diperkenankan untuk membunuh kecuali di waktu pertempuran (artinya, membunuh adalah di waktu bertempur; di luar waktu itu tidak boleh membunuh). Dalam corak apapun, tidak boleh melanggar perjanjian dengan musuh atau menipu musuh.
Kepada para panglima, diperintahkan secara tegas, ‘Apabila musuh bertempur dengan Anda, maka janganlah menipu mereka. Janganlah melakukan mutslah (semacam mutilasi dengan memotong hidung dan telinga mereka). Janganlah membunuh anak-anak. Selain mereka yaitu para prajurit musuh yang memerangi maka hadapilah dalam pertempuran dengan keberanian. Jika mereka telah menyatakan kepatuhan (menyerah) lalu memberontak kemudian cenderung lagi kepada perdamaian maka ambillah perjanjian lagi dari mereka untuk yang kedua kalinya dan maafkanlah mereka. Bahkan, tatkala para penduduk Arbasus yang telah melanggar hingga tiga kali ikrar taat dan kepatuhan mereka – Arbasus adalah nama kota yang terletak di perbatasan ujung Syam (Suriah) yang berbatasan langsung dengan Asia Kecil atau Turki – , mereka hanya diperintahkan agar keluar dari negeri mereka dan segenap perbendaharaan mereka yang dikuasai pihak Muslim pun dibayarkan harganya kepada mereka.
Kemudian, ia (Allamah Syibli) menulis, “Jika orang-orang Yahudi di Khaibar dikeluarkan dari sana akibat rencana buruk dan sikap pemberontakan mereka. Meski demikian, tanah-tanah mereka yang telah dikuasai pihak Muslim dibayar harganya kepada mereka. Selanjutnya, kepada para penguasa Muslim diperintahkan melalui surat, ‘Dimana pun kaum Yahudi itu ingin bermukim, bantulah mereka dalam segala hal. Kemudian jika mereka tinggal di suatu kota, janganlah mengambil jizyah (pajak) dari mereka selama satu tahun lamanya.’”[7]
Lalu ia (‘Allamah Syibli) menulis, “Mereka yang mengurangi kehebatan yang ada dalam kemenangan-kemenangan agung Hadhrat ‘Umar al-Faruq (ra) dengan mengatakan di dunia ini pun ada banyak penakluk lain, hendaknya mereka menyodorkan sendiri apakah ada satu penguasa yang menaklukkan sejengkal tanah musuhnya di dunia ini yang seperti beliau dalam hal memenuhi syarat-syarat kehati-hatian (mengendalikan diri), pemaaf dan adil?
Kemudian dikatakan bahwa Iskandar, Jengkhis Khan dan para penakluk lainnya terus ikut dalam setiap pertempuran dan senantiasa memimpin pertempuran sebagai panglima perang. Dengan cara ini, di samping para prajurit dipimpin oleh sosok panglima perang yang tangguh, semangat para prajurit pun terus tinggi dan secara alami timbul gejolak untuk berkorban demi pemimpinnya. Namun, Hadhrat ‘Umar (ra) dalam seluruh masa kekhalifahannya, beliau [memang] tidak ikut dalam pertempuran manapun. Kendati pun para prajurit berjuang di berbagai tempat, namun komando utama terus ada di tangan Hadhrat ‘Umar (ra).
Satu perbedaan yang sangat kentara dan jelas dari al-Faruq adalah, kemenangan-kemenangan yang diraih Iskandar dan para penakluk lainnya adalah laksana awan besar yang lekas berlalu yang satu waktu ia datang secara dahsyat lalu keluar begitu saja dan mereka tidak mendirikan pemerintahan yang kuat di negeri-negeri tersebut sedangkan keunggulan dalam kemenangan-kemenangan Hadhrat ‘Umar al-Faruq (ra) adalah, hingga berlalu 1300 tahun lamanya sampai saat ini pun daerah itu tetap ada di bawah naungan Islam dan di bawah pemerintahan Hadhrat ‘Umar (ra)-lah segenap pengaturan pemerintahan mereka telah dikonsolidasikan.”[8]
Selanjutnya, Allamah Syibli menulis terkait peran istimewa yang dimainkan Hadhrat ‘Umar (ra) dalam kemenangan-kemenangan di masanya, “Jawaban atas pertanyaan terakhir yaitu sesuai pendapat umum Khalifah di masa itu tidak begitu memberikan peranan dalam kemenangan-kemenangan, melainkan disebabkan keadaan semangat dan kebulatan tekad mereka pada masanya sehingga kemenangan-kemenangan itu diraih.”
Namun penulis mengatakan, “Menurut kami pemikiran seperti ini tidak benar, apabila dikatakan bahwa Khalifah (‘Umar) tidak memiliki peranan. Umat Islam yang ada pada masa Hadhrat Utsman (ra) dan Hadhrat Ali (ra) pun adalah orang-orang yang sama dengan zaman beliau, namun apa hasilnya?
Gejolak semangat dan kebulatan tekad memang tidak diragukan lagi merupakan daya listrik, namun daya ini baru akan bekerja apabila yang menggunakannya pun memiliki daya dan kekuatan tersebut. Hal ini tidak diperlukan kias atau argumen, melainkan fakta peristiwa-peristiwa yang terjadi itu sendiri bisa memastikan hal ini. Dengan membaca rincian dari peristiwa-peristiwa penaklukkan dapat diketahui bahwa seluruh pasukan layaknya wayang (boneka) yang bergerak mengikuti isyarat dari Hadhrat ‘Umar (ra) dan kedisiplinan serta organisasi pasukan secara khusus adalah berkat strategi dan perencanaan beliau. Pengaturan pasukan, latihan-latihan militer, pembangunan barak-barak, perawatan kuda-kuda, penjagaan benteng-benteng, penentuan serangan berdasarkan musim dingin atau musim panas, pergerakkan pasukan, pengaturan korespondensi, pemilihan pejabat-pejabat militer, penggempuran benteng, penggunaan peralatan-peralatan, Hadhrat ‘Umar (ra) sendirilah yang telah menemukan hal-hal semacam ini, dan menegakkan semua itu dengan kekuatan yang menakjubkan adalah keistimewaan dari Hadhrat ‘Umar (ra).
Dalam penaklukkan-penaklukkan di Iraq, Hadhrat ‘Umar (ra) pada hakikatnya berperan sebagai komandan pasukan. Ketika pasukan berangkat dari Madinah, beliau sendiri yang menentukan setiap tujuan dan rute perjalanan, yakni berangkat dari mana, harus lewat mana, apa yang harus dilakukan di sana, dan beliau terus mengirimkan perintah tertulis sesuai dengan itu. Ketika pasukan tiba di dekat Qadisiyah, Hadhrat ‘Umar meminta untuk dikirimkan gambaran situasi, lalu berdasarkan itu beliau mengirimkan petunjuk-petunjuk berkenaan dengan pengaturan dan susunan pasukan. Sekian banyak pimpinan pasukan diberikan tugas masing-masing berdasarkan perintah khusus dari beliau.
Jika kita melihat rincian peristiwa-peristiwa di Iraq dalam Tarikh ath-Thabari, tampak dengan jelas bahwa seorang panglima besar sedang mengarahkan dari jauh serangan seluruh pasukan dan semua yang terjadi adalah atas petunjuknya.
Di antara semua pertempuran yang berlangsung dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, terdapat dua peristiwa yang paling berbahaya, yang pertama pertempuran Nahawand, ketika orang-orang Iran mengirimkan perwakilan ke seluruh negara bagian Persia dan menyulut api di seluruh negeri. Mereka mempersiapkan ratusan ribu pasukan dan maju menyerang orang-orang Islam. Peristiwa yang kedua, ketika Kaisar Roma dengan bantuan dari orang-orang Jazirah melakukan serangan kedua kalinya ke Homs. Dalam dua pertempuran tersebut, semata-mata keluwesan strategi Hadhrat ‘Umar (ra) lah yang di satu sisi telah menekan suatu topan yang tengah bangkit dan di sisi lain menjadikan suatu gunung besar hancur berkeping-keping.
Setelah rincian semua peristiwa tersebut kami sajikan, klaim ini telah terbukti secara jelas bahwa semenjak sejarah dunia diketahui hingga sekarang tidak ada seorang penakluk pun yang pernah berlalu yang setara dengan Sang Faruq A’zham (ra) yang telah mengkombinasikan penaklukkan dan keadilan. Di satu sisi kemenangan diraih dan di sisi lain beliau juga menegakkan keadilan.” [9]
Terdapat dalam riwayat mengenai Hadhrat Rasulullah (saw) mendoakan kesyahidan Hadhrat ‘Umar (ra). Diriwayatkan dari Hadhrat Abdullah bin ‘Umar (ra) bahwa suatu kali Rasulullah (saw) melihat Hadhrat ‘Umar (ra) mengenakan pakaian berwarna putih. Beliau (saw) bertanya, “Apakah pakaianmu ini baru atau kamu telah mencucinya?”
Hadhrat Ibnu ‘Umar (ra) mengatakan, “Saya tidak ingat apa jawaban yang disampaikan oleh Hadhrat ‘Umar (ra), namun sambil mendoakan Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat Rasulullah (saw) bersabda, الْبَسْ جَدِيدًا وَعِشْ حَمِيدًا وَمُتْ شَهِيدًا ‘ilbas jadiidan wa ‘isy hamiidan wa mut syahiidan’ – “Pakailah pakaian yang baru, jalanilah kehidupan yang terpuji dan raihlah kesyahidan.”
Hadhrat Ibnu ‘Umar (ra) menuturkan, “Saya rasa beliau (saw) juga bersabda, وَيُعْطِيكَ اللَّهُ قُرَّةَ عَيْنٍ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ “Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepadamu kesejukan mata di dunia dan akhirat.”[10]
Hadhrat Anas bin Malik (ra) meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم صَعِدَ أُحُدًا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ فَقَالَ ” اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ “ “Nabi yang mulia (saw), Hadhrat Abu Bakar (ra), Hadhrat ‘Umar (ra) dan Hadhrat Utsman (ra) naik ke atas gunung Uhud, lalu gunung itu mulai berguncang bersama mereka. Beliau (saw) bersabda, ‘Tenanglah Uhud! Di atas engkau ada seorang Nabi, seorang Shiddiq dan dua orang Syahid.’”[11]
Diriwayatkan dari Hadhrat Ubay bin Ka’ab (ra) bahwa Rasulullah (saw) bersabda, قَالَ لِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ: لِيَبْكِ الْإِسْلَامُ عَلَى مَوْتِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ “Jibril mengatakan kepadaku bahwa dunia Islam akan menangis atas kewafatan Hadhrat ‘Umar (ra).”[12]
Terdapat satu riwayat mengenai keinginan Hadhrat ‘Umar (ra) untuk mati syahid, bahwa istri suci yang mulia Nabi (saw), Ummul Mu’miniin, Hadhrat Hafshah (ra) meriwayatkan, “Aku mendengar ayahandaku mengatakan, اللَّهُمَّ ارْزُقْنِي قَتْلا فِي سَبِيلِكَ وَوَفَاةً فِي بَلَدِ نَبِيِّكَ yang artinya, ‘Ya Allah! Anugerahkanlah kepadaku kesyahidan di jalan Engkau dan wafatkanlah aku di kota Nabi Engkau.’”
Hadhrat Hafshah (ra) berkata, وَأَنَّى ذَلِكَ؟ “Bagaimana ini mungkin terjadi?”
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, إِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِأَمْرِهِ أَنَّى شَاءَ “Sesungguhnya Allah menetapkan keputusannya sebagaimana yang Dia kehendaki.”[13]
Mengenai doa kesyahidan yang dipanjatkan Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Begitu dekatnya Hadhrat ‘Umar (ra) dengan Allah Ta’ala. Rasulullah (saw) bersabda, لَوْ كَانَ بَعْدِي نَبِيٌّ لَكَانَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ‘Lau kaana ba’di Nabiyyun la-kaana ‘Umar’ – ‘Jika setelahku harus ada Nabi, itu adalah ‘Umar.’[14] Kata ‘setelahku’ di sini maksudnya adalah langsung setelah beliau (saw).
Jadi, sosok yang mengenainya Hadhrat Rasulullah (saw) pun menganggap layak bahwa jika sesuai dengan keperluan zaman itu Allah Ta’ala berkehendak untuk meninggikan seseorang dari derajat kesyahidan dan menganugerahkan kepadanya derajat luhur kenabian, yang berhak atas kedudukan itu adalah Hadhrat ‘Umar (ra). Dialah ‘Umar (ra) yang dengan melihat pengorbanan-pengorbanannya, penentang paling keras Eropa sekalipun mengakui sangat jarang ditemukan sosok yang melakukan pengorbanan semacam itu, sedemikian rupa meniadakan dirinya dan mengenai pengkhidmatannya sampai-sampai mereka (pengamat sejarah Eropa) menyatakan dengan berlebih-lebihan bahwa kemajuan Islam pun bergantung pada beliau.”
Hadhrat ‘Umar (ra) berdoa, ‘Wahai Tuhanku! Jadikanlah kewafatanku di Madinah dan dengan jalan kesyahidan.’
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menulis, “Doa tersebut Hadhrat ‘Umar (ra) panjatkan karena gejolak kecintaan. Jika tidak, doa ini sangat berbahaya. Ini artinya harus ada musuh yang hebat yang melakukan serangan dahsyat dan menaklukkan seluruh negeri Islam, sehingga sampai ke Madinah dan kemudian setibanya di sana mensyahidkan beliau. Namun, Allah Ta’ala yang mengetahui keadaan hati, Dia telah memenuhi keinginan Hadhrat ‘Umar (ra) ini dan juga menyelamatkan Madinah dari malapetaka tersebut, yang seolah-olah tersembunyi di balik doa tersebut. Artinya, dengan cara Dia mensyahidkan beliau di Madinah melalui tangan seorang kafir. Alhasil, dari doa Hadhrat ‘Umar (ra) ini diketahui dalam pandangan beliau tanda kedekatan dengan Allah Ta’ala adalah dapat mendapatkan kesempatan mengorbankan nyawa beliau di jalan-Nya.”
Dalam khotbahnya, Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) memberikan wasiyat kepada para Ahmadi, “namun hari ini yang dianggap tanda kedekatan tersebut adalah menyelamatkan nyawa hamba Allah Ta’ala.”
Di tempat lain, dalam membahas peristiwa kesyahidan dan doa Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Tertulis mengenai Hadhrat ‘Umar (ra) bahwa beliau senantiasa berdoa, ‘Semoga aku wafat di Madinah dan wafat secara syahid.’ Lihatlah! Kematian adalah perkara yang begitu menakutkan. Pada saat kematian orang yang paling dicintai pun ditinggalkan. Dikisahkan, putri dari seorang wanita jatuh sakit.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menceritakan suatu kisah mengenai bagaimana manusia begitu takut dengan kematian, “Kisah yang menggambarkan rasa takut itu sebagai berikut. Ini adalah sebuah cerita. Alkisah, putri dari seorang perempuan jatuh sakit. Ia terus berdoa, ‘Wahai Tuhanku! Selamatkanlah putriku dan biarlah aku mati sebagai gantinya.’ Ia sedemikian rupa mengungkapkan kasih sayangnya kepada putrinya. Suatu malam, tiba-tiba tali pengikat sapi wanita tersebut lepas dan sapi itu memasukkan kepalanya ke dalam ember dan kepalanya terjebak di dalamnya. Ia mengangkat ember air itu di kepalanya dan berlari kesana-kemari. Sapi itu panik karena kepalanya terjebak. Melihat di atas tubuh sapi itu bukannya ada kepala, malah ada satu benda yang besar, wanita itu menjadi takut. Wanita itu membuka matanya, ia melihat apa yang terjadi, sapi berlari-lari, di bagian kepalanya tampak sesuatu yang lain. Ia menjadi takut, Ia beranggapan, ‘Mungkin doaku telah dikabulkan dan Izrail datang untuk mencabut nyawaku.’ Melihat itu secara spontan ia berkata, ‘Izrail! Yang sakit bukan aku, tapi dia yang sedang berbaring. Cabutlah nyawanya.’ Yakni dia menunjuk ke arah putrinya.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Nyawa adalah sesuatu yang sangat dicintai sehingga untuk menyelamatkannya manusia melakukan segala cara yang memungkinkan. Tadinya wanita itu berdoa seperti itu, namun ketika ia melihat bahaya itu benar-benar telah muncul, ia malah menunjuk ke arah putrinya supaya nyawanya yang dicabut.”
Beliau bersabda, “Manusia melakukan segala upaya yang memungkinkan untuk menyelamatkan nyawa. Ia berobat kesana-kemari hingga jatuh miskin. Namun, para sahabat begitu menginginkan untuk menyerahkan nyawa kepada Allah Ta’ala sehingga Hadhrat ‘Umar (ra) kerap berdoa, ‘Semoga aku mendapatkan kesyahidan di Madinah.’”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Terpikir oleh saya, betapa berbahayanya doa Hadhrat ‘Umar (ra) ini. Artinya, musuh harus menyerang Madinah dan mensyahidkan Hadhrat ‘Umar (ra) di lorong-lorong Madinah. Namun, Allah Ta’ala telah mengabulkan doa beliau ini dengan corak lain dan beliau disyahidkan di Madinah oleh tangan seorang yang dikatakan sebagai Muslim. Dikatakan bahwa orang yang mensyahidkan itu adalah seorang kafir, namun di beberapa tempat ditemukan juga riwayat mungkin ia seorang Muslim. Tapi bagaimanapun secara umum dinyatakan bahwa ia seorang kafir.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) di satu kesempatan mengatakan, “Pembunuh itu seorang kafir. Di tempat lain disebutkan ia seorang Muslim.” Yakni beliau sendiri tidak sepenuhnya yakin apakah pembunuh seorang Muslim atau bukan dan sebagian orang berpendapat bahwa ia seorang Muslim. Ya, beliau sendiri menulis dan bersabda, “Sebagian orang berpendapat bahwa ia bukanlah Muslim. Bagaimanapun ia adalah seorang budak yang melaluinya Allah Ta’ala telah mensyahidkan Hadhrat ‘Umar (ra). Maka sesuatu hal yang diidamkan dan diharapkan oleh seseorang itu sendiri, hal itu bukanlah musibah baginya.” Ini juga diriwayatkan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam satu khotbah beliau.
Ada beberapa ru-ya (mimpi) yang dilihat para Sahabat Nabi (saw) perihal kesyahidan dan kewafatan Hadhrat ‘Umar (ra). (عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ:) Hadhrat Abu Burdah meriwayatkan dari ayahnya, رَأَى عَوْفُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ النَّاسَ جُمِعُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَإِذَا رَجُلٌ قَدْ عَلا النَّاسَ بِثَلاثَةِ أَذْرُعٍ. قُلْتُ مَنْ هَذَا؟ قَالَ: عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ. قُلْتُ: بِمَ يَعْلُوهُمْ؟ قَالَ: إِنَّ فِيهِ ثَلاثُ خِصَالٍ. لا يَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لائِمٍ. وَإِنَّهُ شَهِيدٌ مُسْتَشْهَدٌ. وَخَلِيفَةٌ مُسْتَخْلَفٌ. “Hadhrat ‘Auf bin Malik (ra) melihat satu mimpi bahwa orang-orang berkumpul di satu lapangan. Di antara mereka ada satu orang yang lebih tinggi tiga hasta dari orang-orang lainnya. Saya bertanya, ‘Siapakah ini?’
Dikatakan, ‘Itu adalah ‘Umar bin Al-Khaththab (ra).’
Saya bertanya, ‘Apa sebabnya beliau lebih tinggi dari orang-orang yang lain?’
Dikatakan, ‘Di dalam diri beliau ada tiga kelebihan: 1). Beliau tidak takut dengan celaaan orang-orang yang mencela di jalan Allah Ta’ala. 2). Beliau mendapatkan kesyahidan di jalan Allah. 3). Dan beliau adalah seorang Khalifah, yakni seseorang yang akan diangkat menjadi Khalifah.’
فَأَتَى عَوْفٌ أَبَا بَكْرٍ فَحَدَّثَهُ فَبَعَثَ إِلَى عُمَرَ فَبَشَّرَهُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: قُصَّ رُؤْيَاكَ. قَالَ فَلَمَّا قَالَ خَلِيفَةٌ مُسْتَخْلَفٌ انْتَهَرَهُ عُمَرُ فَأَسْكَتَهُ. Kemudian mendengar hal ini Hadhrat Auf datang kepada Hadhrat Abu Bakar (ra) dan menceritakan ini kepada beliau. (Hadhrat Abu Bakar (ra) di masa itu menjabat sebagai Khalifah.) Lalu Hadhrat Abu Bakar (ra) memanggil Hadhrat ‘Umar (ra) dan menyampaikan kabar suka ini kepada beliau dan meminta Hadhrat Auf (ra) untuk menceritakan mimpinya. Ketika Hadhrat Auf (ra) mengatakan bahwa beliau – yaitu Hadhrat ‘Umar (ra) – akan diangkat menjadi Khalifah, maka Hadhrat ‘Umar (ra) memarahinya dan memintanya untuk diam. (Hal demikian karena itu peristiwa dalam masa hidup Hadhrat Abu Bakar (ra), Khalifah yang tengah menjabat.)
فَلَمَّا وَلِي عُمَرُ انْطَلَقَ إِلَى الشَّامِ فَبَيْنَمَا هُوَ يَخْطُبُ إِذْ رَأَى عَوْفَ بْنَ مَالِكٍ. فَدَعَاهُ. فَصَعِدَ مَعَهُ الْمِنْبَرَ فَقَالَ: اقْصُصْ رُؤْيَاكَ. فَقَصَّهَا. Kemudian ketika Hadhrat ‘Umar (ra) menjadi Khalifah, maka beliau pergi ke arah Syam. Ketika beliau sedang berpidato, beliau melihat Hadhrat Auf (ra). Beliau memanggilnya dan memintanya naik ke atas mimbar dan mengatakan kepadanya, ‘Ceritakanlah mimpimu.’ Beliau menceritakan mimpinya. فَقَالَ: أَمَّا أَلا أَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لائِمٍ فَأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَنِي اللَّهُ فِيهِمْ. وَأَمَّا خَلِيفَةٌ مُسْتَخْلَفٌ فَقَدِ اسْتُخْلِفْتُ فَأَسْأَلُ اللَّهَ أَنْ يُعِينَنِي عَلَى مَا وَلانِي. وَأَمَّا شَهِيدٌ مُسْتَشْهَدٌ فَأَنَّى لِيَ الشَّهَادَةُ وَأَنَا بَيْنَ ظَهْرَانَيْ جَزِيرَةِ الْعَرَبِ لَسْتُ أَغْزُو النَّاسَ حَوْلِي؟ ثُمَّ قَالَ: وَيْلِي وَيْلِي يَأْتِي بِهَا اللَّهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ Atas hal itu Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Sejauh berkenaan dengan perkara bahwa aku tidak takut celaan orang-orang yang mencela di jalan Allah, aku berharap semoga Allah Ta’ala menjadikan aku termasuk di antara mereka. Sejauh menyangkut hal bahwa aku akan diangkat menjadi Khalifah, aku telah diangkat menjadi Khalifah dan aku berdoa kepada Allah bahwa tugas yang telah Dia embankan kepadaku, semoga Dia menolongku di dalamnya. Sejauh mengenai aku akan disyahidkan, bagaimana aku bisa mendapatkan kesyahidan. Aku hanya tinggal di jazirah Arab dan tidak berperang dengan orang-orang di sekelilingku.’ Kemudian bersabda, ‘Jika Allah Ta’ala menghendaki, maka Dia akan mendatangkan kesyahidan ini.’”[15] Itu artinya, meskipun secara lahiriah tidak memungkinkan, namun jika Allah Ta’ala menghendaki, maka Dia bisa mendatangkannya.
Diriwayatkan dari Hadhrat Anas bin Malik (ra) bahwa Hadhrat Abu Musa Asy’ari (ra) meriwayatkan, “Saya melihat dalam mimpi bahwa saya menempuh banyak jalan, kemudian semua jalan itu terhapus. Hanya tersisa satu jalan dan saya berjalan di atasnya hingga sampailah di satu gunung. Lalu apa yang saya lihat, di atas gunung itu ada Rasulullah (saw) dan di samping beliau (saw) ada Hadhrat Abu Bakar (ra). Beliau (saw) dengan isyarat memanggil Hadhrat ‘Umar (ra) supaya datang. Maka saya berkata, إنا لله وإنا إليه راجعون مَاتَ وَاللَّهِ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ ‘Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun. Demi Allah! Amirul Mukminin telah wafat.’” Beliau mengatakan ini di dalam hati.
Hadhrat Anas (ra) mengatakan, “Apakah Anda tidak akan mengabarkan mimpi ini kepada Hadhrat ‘Umar (ra)?”
Beliau menjawab, “Saya tidak akan menyampaikan kepada Hadhrat ‘Umar (ra) kabar kewafatan beliau.”[16]
Diriwayatkan dari Sa’id bin Abu Hilal bahwa Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab (ra) menyampaikan pidato kepada orang-orang pada hari Jumat. Beliau menyampaikan puji sanjung kepada Allah Ta’ala, kemudian beliau bersabda, أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي أُرِيتُ رُؤْيَا لا أراها لِحُضُورِ أَجَلِي. رَأَيْتُ أَنَّ دِيكًا أَحْمَرَ نَقَرَنِي نَقْرَتَيْنِ. فَحَدَّثْتُهَا أَسْمَاءَ بِنْتَ عُمَيْسٍ فَحَدَّثَتْنِي أَنَّهُ يقتلني رجل من الأعاجم. “Wahai manusia! Kepada saya diperlihatkan suatu mimpi yang saya pahami bahwa ajal (waktu akhir)ku sudah dekat. Saya melihat seekor ayam berwarna merah yang mematuk saya dua kali lalu saya ceritakan mimpi ini kepada Asma binti Umais dan beliau menyampaikan takwilnya bahwa seorang bukan Arab akan membunuh saya.”[17]
Berkenaan dengan peristiwa kesyahidan Hadhrat ‘Umar (ra), tentang hari apa beliau diserang dan pada hari apa beliau dimakamkan, mengenai hal ini terdapat beragam riwayat. Di dalam ath-Thabaqat Kubra al-tertulis bahwa Hadhrat ‘Umar diserang pada hari Rabu dan wafat pada hari Kamis [sehari kemudian]. Hadhrat ‘Umar diserang dan dilukai pada tanggal 26 Dzulhijah tahun ke-23 Hijriah, dan pada pagi hari tanggal 1 Muharam tahun ke-24 Hijriah beliau dimakamkan. Utsman Akhnas menuturkan bahwa beliau wafat pada 26 Dzulhijah di hari Rabu. Abu Ma’syar menuturkan bahwa Hadhrat ‘Umar disyahidkan pada 27 Dzulhijah. Selain Tarikh ath-Thabari dan Tarikh Ibnu al-Atsir, sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) terluka diserang pada 26 Dzulhijah tahun ke-23 Hijriah dan wafat pada 1 Muharam 24 Hijriah dan di hari itu juga beliau dimakamkan.
Di dalam Shahih Bukhari rincian peristiwa kesyahidan dijelaskan sebagai berikut. Amru bin Maimun meriwayatkan, “Beberapa hari sebelum Hadhrat ‘Umar bin Al-Khaththab (ra) dilukai, saya melihat beliau di Madinah, beliau berhenti di dekat Hudzaifah bin Yaman dan Utsman bin Hanif, dan bersabda, ‘Apa yang telah kalian lakukan terhadap lahan-lahan di Irak yang pengaturannya telah diserahkan oleh Khilafat kepada mereka? Apakah kalian tidak takut bahwa kalian telah menetapkan pajak yang di luar kemampuan mereka?’
Keduanya berkata, ‘Kami telah menetapkan pajak yang berada dalam kemampuan mereka.(Yakni tanahnya sedemikian rupa potensial sehingga dapat menghasilkan sekian banyak panen darinya). Dalam hal ini tidak ada perlakuan kejam (tidak adil).’
Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Kalau begitu periksa lagi supaya kalian tidak menetapkan biaya sewa tanah yang melampaui batas kemampuan mereka.’”
Perawi mengatakan, “Mereka berdua berkata, ‘Tidak.’
Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Jika Allah masih memberikan kehidupan kepadaku, maka pasti aku akan meninggalkan para wanita janda di Iraq dalam keadaan yang begitu rupa sehingga mereka tidak akan memerlukan lagi bantuan siapapun sepeninggalku.’”[18]
Perawi berkata, “Setelah perbincangan tersebut, belum memasuki malam keempat, beliau sudah terluka diserang. Pada hari ketika beliau dilukai, saya tengah berdiri tidak ada orang yang berada diantara kami (saya dan beliau) selain Hadhrat Abdullah Bin Abbas.
Merupakan kebiasaan Hadhrat ‘Umar yakni ketika berjalan diantara saf saf, beliau mengucapkan, ‘Luruskanlah shaf-shaf!’ Ketika tidak ada lagi celah kosong, beliau baru ke depan dan mengucapkan, ‘Allahu Akbar’. Terkadang ketika shalat subuh beliau membaca surat Yusuf atau surah An Nahl atau surat-surat serupa pada rakaat pertama agar jamaah semakin berkumpul. Baru saja beliau mengucapkan, ‘Allahu Akbar’, saya mendengar beliau mengatakan, ‘Saya telah dibunuh!’ atau ‘Anjing telah mengigit saya!’
Setelah si penyerang menyerang beliau, ia kabur sambil menebas-nebaskan pisau ke dua sisi. Ia kabur sambil melukai semua orang yang dilewatinya kiri dan kanan karena takut jangan sampai orang-orang menangkapnya. Jika ada yang berusaha menangkapnya, ia tebaskan pisau kepada orang itu dan melukai orang-orang. Ia berhasil melukai 13 orang dan 7 diantaranya wafat.
Ada salah seorang jamaah Muslim yang saat itu mengenakan jubbah – Di dalam Kitab al-Bukhari digunakan kata burnus – yaitu pakaian yang pada bagian atasnya terdapat penutup kepala. (Jubah panjang yang terpasang penutup kepala diatasnya). Seorang jamaah Muslim itu melemparkan jubah tersebut kearah si penyerang. Ketika si penyerang yakin bahwa ia telah tertangkap, ia menusukkan pisaunya sendiri ke lehernya.
Hadhrat ‘Umar memegang tangan Hadhrat Abdurrahman Bin Auf lalu menariknya ke depan [untuk menjadi Imam]. Orang-orang yang berada di dekat Hadhrat ‘Umar melihat apa yang saya lihat. Orang-orang yang di sekeliling masjid tidak mengetahui kecuali mereka mendapati suara Hadhrat ‘Umar hilang dan mengucapkan subhanallah subhanallah. Abdurrahman Bin Auf mengimami shalat dengan singkat.”[19]
Setelah selesai shalat, Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Ibnu Abbas, coba lihat, siapa yang telah menyerang saya?’
Hadhrat Ibnu Abbas berkeliling sebentar lalu datang lagi dan berkata, ‘Budak belian Mughirah.’
Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Dia yang pekerja itu?’
Hadhrat Ibu Abbas berkata, ‘Benar.’
Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Semoga Allah membinasakannya, saya telah menginstruksikan untuk memperlakukannya dengan baik. Puji syukur ke hadirat Allah, karena Dia tidak memberikan kematian padaku melalui tangan orang menyatakan diri sebagai Muslim.’ (Dari ini pun terbukti bahwa si penyerang itu bukanlah Muslim). ‘Wahai Ibnu Abbas, Anda dan ayah Anda dulu menyukai agar jumlah budak diperbanyak sebanyak-banyaknya di Madinah ini.’ (Hadhrat Abbas paling banyak memiliki budak belian.)
Hadhrat Ibnu Abbas berkata, ‘Jika Anda menghendaki, kita bisa membunuh semua budak belian asing yang ada di Madinah.’
Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Tidak, itu tidak benar. Khususnya jika mereka sudah berbicara dalam bahasamu dan shalat kearah kiblatmu dan berhaji sepertimu.’ (Banyak sekali budak beliau yang sudah masuk Islam.)
Kami pun mengangkat Hadhrat ‘Umar dan membawanya ke kediaman beliau. Kami ikut serta ke kediaman beliau. Saat itu rasanya tidak pernah ada musibah serupa yang menimpa umat Islam sebelum itu. Ada orang yang mengatakan, ‘Tidak akan terjadi apa apa!’ Ada juga yang mengatakan, ‘Saya khawatir jangan sampai beliau tidak akan bertahan lama.’
Kemudian, ada orang yang membawakan minuman nabidz kepada beliau dan beliau meminumnya namun keluar lagi dari perut beliau. Dibawakan juga susu ke hadapan beliau lalu meminumnya namun susu itu keluar lagi melalui luka beliau. Orang-orang memahami bahwa beliau akan wafat.”[20]
‘Amru Bin Maimun menuturkan, “Kami pergi menemui beliau disertai beberapa orang lainnya dan mereka mulai menyampaikan pujian atas beliau. Datanglah seorang pemuda yang berkata, ‘Wahai Amirul Mu-minin, berbahagialah dengan kabar suka dari Tuhan yang Anda dapatkan disebabkan status Anda sebagai sahabat Rasul dan baiatnya Anda pada masa awal Islam yang mana Anda sungguh mengetahuinya. Anda juga telah diangkat sebagai Khalifah dan Anda juga memerintah dengan adil serta meraih syahid.’
Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Saya berkeinginan agar berimbang, yaitu saya tidak perlu mendapatkan pahala dan tidak pula sampai saya dihukum.’
Ketika pemuda itu membalikkan punggung dan kain selendangnya menyentuh tanah, Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Bawa kembali pemuda itu kehadapanku.’
Beliau bersabda, ‘Wahai keponakanku! Angkatlah kainmu dengan begitu kainmu akan dapat bertahan lama, karena jika kainmu terseret di tanah akan cepat robek dan amalan ini lebih mendekati takwa dalam pandanagn Allah Ta’ala.’ (Begitu juga terkadang timbul perasaan takabbur sebagaimana pada masa ini orang-orang mengenakan kain yang panjang untuk memberikan ciri bahwa dia kaya), karena itu Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Jangan sampai timbul ketakabburan dan amalan ini mendekati ketakwaan.’
Kemudian Hadhrat ‘Umar bersabda kepada Hadhrat Abdullah bin ‘Umar, ‘Coba diperiksa, berapa banyak hutang saya!’ Hadhrat ‘Abdullah menghitungnya dan diketahui jumlahnya 86 ribu dirham atau mendekati angka itu. Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Jika harta keluarga dapat mencukupinya, maka lunasilah dengannya, jika tidak cukup ajukan kepada Banu (keluarga besar) Adi Bin Ka’b. Jika harta mereka pun masih belum mencukupi, ajukanlah kepada kabilah Quraisy, selain itu, janganlah menghubungi siapapun. Lunasilah hutang tersebut atas nama saya. Pergilah temui Hadhrat Ummul Mukminin, Hadhrat Aisyah dan sampaikan bahwa ‘Umar menyampaikan salam kepada beliau, jangan sebutkan gelar Amirul Mu-minin (Pemimpin orang-orang beriman), karena pada hari ini saya bukanlah Pemimpin orang-orang beriman. Sampaikan bahwa ‘Umar putra Al-Khaththab memohon restu agar dapat dikuburkan bersama dengan kedua sahabatnya.’”[21]
Ucapan Hadhrat ‘Umar tersebut tertulis dalam Kitab Umdatul Qari yang merupakan Syarh (komentar atas) al-Bukhari yaitu ketika beliau merasa yakin bahwa kewafatan telah dekat dan didalamnya terdapat isyarah juga bagi Hadhrat Aisyah, agar jangan sampai ia takut atau segan disebabkan oleh adanya sebutan Amirul Mu-minin.
“Kemudian Abdullah mengucapkan salam dan meminta izin untuk masuk lalu ia pun masuk. Abdullah melihat Hadhrat Aisyah tengah menangis. Hadhrat Abdullah berkata, ‘‘Umar Bin Al-Khaththab mengirimkan salam untuk Anda dan memohon restu untuk dapat dimakamkan dengan kedua sahabatnya.’
Hadhrat Aisyah bersabda, ‘Tadinya saya telah cadangkan tempat ini untuk saya sendiri [sebagai calon makam beliau], namun pada hari ini saya akan memprioritaskan beliau diatas diri pribadi saya.’
Ketika Hadhrat Abdullah kembali, dikabarkan kepada Hadhrat ‘Umar bahwa Abdullah telah kembali.
Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Angkatlah saya!’
Seseorang mengangkat beliau dan memberikan sandaran. Hadhrat ‘Umar bertanya, ‘Kabar apa yang kamu bawa?’
Abdullah berkata, ‘Wahai Amirul Mu-minin, saya membawa kabar yang Anda inginkan. Hadhrat Aisyah telah mengizinkan.’
Hadhrat ‘Umar bersabda, ‘Alhamdulillah, tidak ada sesuatu apapun yang lebih menghawatirkan bagi saya dari ini. Jika saya mati nanti, angkatlah jenazah saya lalu ucapkan salam dan katakan bahwa ‘Umar Bin Al-Khaththab memohon izin. Jika Hadhrat Aisyah mengizinkan, kuburkanlah saya di dalam Hujrah (ruangan Nabi di rumahnya). Jika Hadhrat Aisyah meminta untuk mengembalikan jenazah saya, bawa dan kuburkanlah saya di pekuburan kaum Muslim.’
Datanglah Ummul Mu-minin Hadhrat Hafshah bersama dengan para wanita lainnya lalu kami meninggalkan tempat setelah melihat beliau-beliau semua. Hadhrat Hafshah masuk dan menangis beberapa saat di dekat Hadhrat ‘Umar. Setelah itu, beberapa pria mendapat izin untuk masuk ke ruangan dalam sehingga masuklah para pria sementara Hadhrat Hafsah memasuki ruangan lain dan kami mendengar suara tangisan mereka dari dalam.”[22]
Orang-orang memohon, أَوْصِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اسْتَخْلِفْ “Wahai Amirul Mu-minin! Berikanlah wasiyat dengan menetapkan seseorang yang akan menjadi Khalifah berikutnya.”
Beliau (ra) bersabda, “Saya tidak mendapati orang yang lebih berhak daripada beberapa orang ini atau tokoh-tokoh terkemuka ini untuk menjadi Khalifah. Mereka ialah orang-orang yang diridhai oleh Rasulullah (saw) ketika beliau (saw) wafat.”
Hadhrat Umar menyebut nama Hadhrat Ali, Hadhrat ‘Utsman, Hadhrat Zubair, Hadhrat Thalhah, Hadhrat Sa’d, Hadhrat Abdurahman bin Auf (radhiyallahu ‘anhum).
Hadhrat Umar berkata lagi, ‘Abdullah bin Umar akan ikut dalam Dewan ini namun ia tidak memiliki hak untuk dipilih menjadi Khalifah.’[23] Seolah-olah hal ini dikatakan untuk menentramkan Abdullah.
‘Jika Sa’d terpilih, dialah yang akan menjadi Khalifah. Jika tidak, siapapun diantara kalian yang ditetapkan sebagai yang berwenang [sebagai Khalifah], mintalah selalu bantuan dari Sa’d karena saya pernah memakzulkannya [memberhentikan dari jabatan Amir Kufah] bukan karena dia tidak mampu untuk melakukan tugas atau telah berkhianat.’ Selanjutnya beliau bersabda, ‘Saya berwasiat kepada Khalifah yang terpilih setelah kematian saya: pertama, mengenai kaum Muhajirin, perhatikanlah hak-hak mereka dan hormatilah mereka. Saya pun mewasiatkan kepadanya agar memperlakukan para Anshar dengan perlakuan mulia karena mereka ‘yaitu orang-orang yang memiliki negeri (Madinah) dan beriman sebelum kedatangan Muhajirin – (QS. Al-Hasyr [59]: 9) – sehingga terimalah orang yang berbuat baik diantara mereka dan maafkan orang yang berbuat buruk diantara mereka. Saya wasiatkan juga kepada Khalifah terpilih nanti supaya memperlakukan para warga ‘amshaar (wilayah-wilayah permukiman para petugas dan tentara utusan Khalifah) secara baik karena mereka merupakan pelindung Islam, sumber kekayaan dan dapat menimbulkan kegentaran bagi pihak penentang. Ambillah sesuatu pungutan dengan persetujuan mereka apa-apa yang merupakan kelebihan yang tidak diperlukan oleh mereka. Saya wasiatkan [kepada Khalifah terpilih nanti], perlakukanlah kaum Arab Badui dengan baik karena mereka merupakan akar dan jasad bangsa Arab. Mereka juga bahan mentah umat Islam. Ambillah harta dari orang-orang berkelebihan diantara mereka lalu berikanlah kepada orang-orang yang membutuhkan dari antara mereka. Saya juga mewasiatkan kepadanya mengenai mereka yang berada dalam janji perlindungan dengan jaminan Allah dan jaminan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa salam [yaitu kaum dzimmi – non Muslim yang berada dalam perlindungan pemerintah Islam sesuai perjanjian], hendaklah ia memenuhi perjanjian dengan mereka dan berperang untuk melindungi mereka [dari serangan musuh] serta janganlah ia membebani mereka di luar batas kesanggupan mereka.’
Setelah Hadhrat Umar wafat, kami (para Sahabat) membawa jenazah beliau dan mulai berjalan. Hadhrat Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada Hadhrat Aisyah dan berkata, ‘Umar putra al-Khaththab telah meminta izin.’
Hadhrat Aisyah menjawab, ‘Bawalah jenazahnya masuk.’
Jenazah beliau dimasukkan ke dalam rumah lalu dikuburkan di sana bersama dua Sahabatnya [yaitu Nabi (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra)]. Setelah penguburan beliau selesai, orang-orang yang namanya disebut oleh Hadhrat Umar (ra) berkumpul.”[24]
Berkenaan dengan ini insya Allah masih akan saya lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.
Pada hari ini juga Jalsah Salanah Jerman akan dimulai. Semoga Allah Ta’ala mencurahkan keberkatanNya. Semoga para Ahmadi Jerman diberikan taufik untuk dapat menarik manfaat sebanyak banyaknya dari jalsah ini. Jalsah akan berlangsung selama dua hari. Insya Allah besok sore saya akan menyampaikan pidato pada sesi penutupan yang akan ditayangkan secara langsung di MTA sekitar pukul 15:30 waktu di sini. Jalsah yang sedang berlangsung mulai hari ini akan ditayangkan melalui live streaming untuk orang-orang jerman. Semoga penduduk Jerman dapat menarik manfaat sebanyak banyaknya.
Setelah shalat nanti saya akan memimpin shalat jenazah ghaib. Sebelum itu saya akan sampaikan zikr e khair mereka. Jenazah pertama, Qomarudin sahib, muballig Indonesia yang beberapa hari lalu wafat pada usia 65 tahun. Inna lillaahi wa innaa ilaihi raajiuwn. Pada tahun 1972 beliau baiat di usia 15 tahun. Setelah menempuh Pendidikan dasar, beliau mewakafkan hidup untuk mengkhidmati Jemaat. Beliau lalu berangkat ke Pakistan untuk menempuh pendidikan keagamaan. Pada tanggal 30 Juni 1986 beliau meraih gelar syahid dan pada tahun 86 beliau ditugaskan sebagai muballigh. Beliau selalu menilawatkan Al Quran dengan lantunan yang merdu dan syahdu. Beliau adalah seorang pengkhhidmat yang sangat mukhlis dan gigih. Masa pengkhidmatan beliau sekitar 35 tahun.
Istri beliau menuturkan, “Almarhum selalu mengatakan kepada saya, ‘Kamu tidak hanya sebagai istri seorang muballigh, bahkan harus terdepan dalam pengkhidmatan Jemaat juga.’ Ketaatan dan kecintaan almarhum kepada Khilafat sangat kentara. Beliau bersikap penuh hormat kepada orang-orang yang tua maupun muda. Ketika berbicara dengan Ahmadi, beliau mesti menasihatkan untuk selalu mencintai dan setia terhadap Jemaat dan menekankan untuk berkhidmat sebanyak-banyaknya bagi Jemaat. Kapan pun berjumpa dengan ghair Ahmadi, beliau selalu menablighinya dan berbicara dengan penuh kecintaan dan ketulusan sehingga mereka pun bahagia. Ketika sakit pun beliau biasa melaksanakan tahajjud 1,5 hingga 2 jam sebelum shalat shubuh kemudian tilawat Al Quran dan selalu berusaha pergi shalat ke masjid dengan berjalan kaki.”
Putra beliau, ‘Umar Faruq Sahib, Muballigh dan dosen jamiah Ahmadiyah Indonesia menuturkan, “Ketika di rumah, bahkan saat berjalan-jalan di luar, beliau terkadang melantunkan berbagai ayat dari Al Quran. Beliau pun telah menerjemahkan serta mengedit terjemahan buku-buku Hadhrat Masih Mauud as. Pada masa penerjemahan tersebut beliau sering melantunkan qasidah. Ketika menceritakan peri kehidupan dan peristiwa-peristiwa Rasulullah saw, mata beliau basah dengan air mata.”
Faruq Sahib menuturkan, “Almarhum sering menceritakan kepada saya perihal berbagai cobaan, penederitaan dan pengorbanan para Ahmadi, dan beliau pun menceritakan pengalaman beliau pribadi dalam menempuh kesulitan-kesulitan.”
Putra bungsu beliau, Zafrullah Khan menuturkan, “Almarhum memiliki semangat yang luhur dan sosok yang pemberani. Beliau mengarungi kehidupan yang sederhana dan selalu menekankan pada sikap qonaah.”
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan magfirah kepada beliau dan meninggikan derajatnya.
Jenazah berikutnya yang kedua, nyonya Sabiha Harun, istri dari almarhum Sultan Harun Khan Sahib, wafat beberapa hari lalu pada usia 73 tahun, innaa lillaahi wa inna ilaihi raajiuwn. Ahmadiyah bermula di keluarga beliau dengan baiatnya ayahanda beliau. Beliau menyelidiki sendiri Jemaat dan baiat pada usia 18 tahun di tangan Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra). Kemudian kakek beliau menyusul baiat setelah baiatnya ayah beliau. Allah Ta’ala menganugerahi beliau dengan 3 putra dan 3 putri. Salah satu putra beliau adalah menantu Hadhrat Khalifatul Masih Ar Rabi (rha).
Putra sulung beliau, Sultan Muhammad Khan menuturkan, “Putra sulung ibu saya wafat karena kecelakaan pada usia dua tahun. Ketika prosesi jenazahnya, Hadhrat Khalifatul Masih ketiga bersabda, ‘Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan putra pengganti bagi anda, yang tampan dan panjang umur.’ Hudhur bersabda kepada Malik Sultan Sahib (suami almarhumah), ‘Saya tengah menyaksikannya tumbuh dewasa.’”
Putra beliau Sultan Ahmad Khan mengatakan, “Saya beruntung karena dari sejak kecil sampai saat ini sebagian besar waktu saya berlalu dengan ibu saya. Beliau adalah seorang ibu yang penuh kasih dan pemaaf. Beliau tidak pernah mengghibat siapa pun.”
Putri beliau Mahmud Sultanah menuturkan, “Ibu saya berfitrat baik, pendiam dan pemilik sifat yang luhur. Beliau pecinta hakiki Jemaat dan sangat mencintai dan setia terhadap khilafat dan itu jugalah yang selalu beliau nasihatkan. Beliau berakhlak baik dan penolong karib kerabat. Kecintaan beliau dalam mengkhidmati tamu sangat dikenal di kalangan keluarga. Beliau tidak pernah melukai hati siapapun. Beliau sangat membenci ghibat dan selalu menasihatkan kepada kami untuk menghindarinya. Beliau selalu meninggalkan obrolan yang diwarnai ghibat dan wajah beliau tampak gusar karenanya. Beliau selalu memaafkan dan tidak pernah mendoakan buruk bagi pembunuh ayah kami, bahkan selalu mengatakan, ‘Saya berdoa semoga Allah memberikan hidayah kepadanya.’ Beliau menaruh rasa simpati yang mendalam bagi orang yang sakit dan memberikan bantuan sedemikian rupa hingga tangan kiri beliau tidak mengetahuinya.”
Putri bungsu beliau, Wajiha Sahiba menuturkan, “Beliau adalah seorang figur yang tidak banyak bicara. Beliau banyak bersedekah dan melakukannya secara diam-diam dan juga sangat tidak suka menyebut-nyebutnya.”
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan maghfirah kepada Almarhumah dan semoga putra-putri beliau diberikan taufik untuk dapat melanjutkan segala kebaikan beliau.
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).
[1] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء); Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), juz yang ke-2, penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan nazharah ijmaliyah ‘alal futuhaat (pandangan umum atas penaklukan-penaklukan). Dalam kita ini disebutkan keluasan itu mencakup Syam, Mesir, al-Jazirah, Khuzistan, Iraq ‘ajam, Armenia, Adzerbaijan, Persia, Kerman, Khurasan, Makran dan sebagian Baluchistan. Pada tahun 20 H, Asia Minor (asia kecil, sekarang sebagian wilayah Turki) yang di kalangan bangsa Arab disebut ‘Rum’.
[2] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء); Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan bahasa Arab, penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir).
[3] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء); Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan bahasa Arab, penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir).
[4] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء); Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan bahasa Arab, penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir).
[5] Nestorianisme mengajarkan bahwa esensi kemanusiaan dan esensi keilahian Kristus itu terpisah dan oleh karena itu ada dua pribadi, yakni pribadi manusia Yesus Kristus, dan pribadi logos yang ilahi, yang berdiam dalam manusia Yesus Kristus itu. Sebagai konsekuensinya, kaum Nestorian menolak adanya istilah-istilah seperti “Allah menderita ” atau “Allah telah disalibkan”, karena kemanusiaan Yesus Kristus yang menderita itu terpisah dari keilahiannya. Demikian pula mereka menolak istilah Theotokos (Yang Melahirkan Allah/Bunda Allah) sebagai gelar Maria, sebaliknya mereka mengajukan gelar Kristotokos (Yang Melahirkan Kristus/Bunda Kristus), karena dalam pandangan mereka Maria hanya melahirkan pribadi manusia Yesus, bukan pribadi ilahinya. Doktrin ini dikaitkan dengan Nestorius (c. 386–c. 451), Patriark Konstantinopel. Pandangan mengenai Kristus ini dikutuk dalam Konsili Efesus tahun 431, dan konflik Skisma Nestorian, yang memisahkan Gereja Timur Asiria dari Gereja Byzantium. Kiril dari Alexandria dengan gigih berupaya menyingkirkan Nestorius beserta para pendukungnya dari tampuk kekuasaan. Sekalipun demikian, di pelbagai kawasan dunia yang dihuni penutur Bahasa Syria, Theodorus dari Mopsuestia (guru Nestorius) sangatlah dihargai, sehingga pengutukan terhadap Nestorius, muridnya itu, tidak dapat diterima baik. Para pendukung Nestorius diberi suaka.
[6] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء); Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), juz yang ke-2, penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan nazharah ijmaliyah ‘alal futuhaat (pandangan umum atas penaklukan-penaklukan). Ibnu Qutaibah dalam Kitab al-Akhbar ath-Thiwal mendeskripsikan perlengkapan dan pakaian prajurit Iran demikian.
[7] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء); Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), juz yang ke-2, penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan nazharah ijmaliyah ‘alal futuhaat (pandangan umum atas penaklukan-penaklukan), bab khashaish futuhat ‘umar (keistimewaan-keistimewaan penaklukan ‘Umar).
[8] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء); Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), juz yang ke-2, penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan nazharah ijmaliyah ‘alal futuhaat (pandangan umum atas penaklukan-penaklukan), bab khashaish futuhat ‘umar (keistimewaan-keistimewaan penaklukan ‘Umar).
[9] al-Faruq oleh Syibli Nu’mani bahasa Urdu (ماخوذ ازالفاروق از شبلی نعمانی ادارہ اسلامیات 2004ء); Sirah al-Faruq karya Syamsul ‘Ulama atau Matahari para Ulama, Maulana Syibli Nu’mani, terjemahan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab (سيرة الفاروق لشمس العلماء سلبي النعماني مترجم إلى العربية), juz yang ke-2, penerjemah Jalal as-Sa’id al-Hafnawi, Majlis ‘Ilmi wats Tsaqafah, 2000, Kairo (Mesir), bahasan nazharah ijmaliyah ‘alal futuhaat (pandangan umum atas penaklukan-penaklukan), bab khashaish futuhat ‘umar (keistimewaan-keistimewaan penaklukan ‘Umar).
[10] Musnad Imam Ahmad (مسند الإمام أحمد), Musnad al-Mukatsirin minash Shahabah (مسند المكثرين من الصحابة), Musnad ‘Abdullah bin ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma (مسند عبد الله بن عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنهما): 5588 حدثنا عبد الرزاق حدثنا معمر عن الزهري عن سالم [ ص: 89 ] عن ابن عمر قال رأى النبي صلى الله عليه وسلم على عمر ثوبا أبيض فقال أجديد ثوبك أم غسيل فقال فلا أدري ما رد عليه فقال النبي صلى الله عليه وسلم البس جديدا وعش حميدا ومت شهيدا أظنه قال ويرزقك الله قرة عين في الدنيا والآخرة . Sunan Ibni Maajah, Kitab al-Libas (كتاب اللباس), bab apa yang hendaknya seseorang katakan bila memakai pakaian baru (باب مَا يَقُولُ الرَّجُلُ إِذَا لَبِسَ ثَوْبًا جَدِيدًا). Kitab Majma’uz Zawaid (كتاب مجمع الزوائد ومنبع الفوائد), karya Nuruddin al-Haitsami (نور الدين الهيثمي), Kitab al-Manaqib bab Manaqib ‘Umar (كتاب المناقب باب مناقب عمر بن الخطاب رضي الله عنه باب عمر سراج أهل الجنة). Mifathul Haajah bi-syarh Sunan Ibni Majah (مفتاح الحاجة بشرح سنن ابن ماجه 1-4 ج4), Imam Muhammad bin Abd Allah al-Alawi al-Funjani al-Hindi (محمد بن عبد الله العلوي/الفنجاني الهندي).
[11] Sahih al-Bukhari 3675, Kitab tentang keutamaan para Sahabat Nabi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), keutamaan Hadhrat ‘Umar (باب مَنَاقِبُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَبِي حَفْصٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ). Sahih al-Bukhari, Kitab Fada‘il Ashab al-Nabi (sa), Bab Manaqib Uthman (ra) bin Affan, Hadith 3699.
[12] Al-Mu’jam al-Kabir karya ath-Thabrani (المعجم الكبير نویسنده : الطبراني جلد : 1 صفحه : 67), (سِنُّ عُمَرَ وَوَفَاتُهُ، وَفِي سِنِّهِ اخْتِلَافٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ): عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: . Tercantum juga dalam (زوائد ابن أبي شيبه على الكتب الستة من كتاب الحدود إلى نهاية كتاب فضائل)
[13] Ath-Thabaqaat al-Kubra karya Ibnu Sa’d: عَنْ هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عن أَبِيهِ عَنْ حَفْصَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهَا سَمِعَتْ أَبَاهَا يَقُولُ: . Tarikh al-Madinah (تاريخ المدينة): عن مالك بن أنس قال، بلغني أن عمر رضي الله عنه كان يقول: اللهم ارزقني الشهادة في سبيلك في حرم رسولك .
[14] Jami’ at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم): عَنْ مِشْرَحِ بْنِ هَاعَانَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم .
[15] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى) karya Ibnu Sa’d (محمد بن سعد بن منيع أبو عبدالله البصري الزهري):
[16] Tarikh Madinah Dimasyq oleh Ibnu Asakir (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٤٤ – الصفحة ٤٠٦): عن ثابت البناني عن أنس بن مالك عن أبي موسى الأشعري قال رأيت كأني أخذت جواد كثيرة فاضمحلت حتى بقيت جادة واحدة فسلكتها حتى انتهيت إلى جبل فإذا رسول الله (صلى الله عليه وسلم) فوقه إلى جنبه أبو بكر وإذا هو يومئ إلى عمر أن تعال فقلت إنا لله وإنا إليه راجعون مات والله أمير المؤمنين فقلت ألا تكتب بهذا إلى عمر فقال ما كنت لأنعي له نفسه.
[17] Ath-Thabaqaat al-Kubra (الطبقات الكبرى) karya Ibnu Sa’d (محمد بن سعد بن منيع أبو عبدالله البصري الزهري): عَنْ هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلالٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ خَطَبَ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ: .
[18] Shahih al-Bukhari, Kitab keutamaan para Shahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab mengenai kisah baiat dan kesepakatan terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan (بَابُ قِصَّةُ الْبَيْعَةِ، وَالاِتِّفَاقُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَفِيهِ مَقْتَلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا): رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ـ رضى الله عنه ـ قَبْلَ أَنْ يُصَابَ بِأَيَّامٍ بِالْمَدِينَةِ وَقَفَ عَلَى حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ وَعُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ، قَالَ كَيْفَ فَعَلْتُمَا أَتَخَافَانِ أَنْ تَكُونَا قَدْ حَمَّلْتُمَا الأَرْضَ مَا لاَ تُطِيقُ قَالاَ حَمَّلْنَاهَا أَمْرًا هِيَ لَهُ مُطِيقَةٌ، مَا فِيهَا كَبِيرُ فَضْلٍ. قَالَ انْظُرَا أَنْ تَكُونَا حَمَّلْتُمَا الأَرْضَ مَا لاَ تُطِيقُ، قَالَ قَالاَ لاَ. فَقَالَ عُمَرُ لَئِنْ سَلَّمَنِي اللَّهُ لأَدَعَنَّ أَرَامِلَ أَهْلِ الْعِرَاقِ لاَ يَحْتَجْنَ إِلَى رَجُلٍ بَعْدِي أَبَدًا.
[19] Shahih al-Bukhari, Kitab keutamaan para Shahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab mengenai kisah baiat dan kesepakatan terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan (بَابُ قِصَّةُ الْبَيْعَةِ، وَالاِتِّفَاقُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَفِيهِ مَقْتَلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا): قَالَ فَمَا أَتَتْ عَلَيْهِ إِلاَّ رَابِعَةٌ حَتَّى أُصِيبَ. قَالَ إِنِّي لَقَائِمٌ مَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ إِلاَّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ غَدَاةَ أُصِيبَ، وَكَانَ إِذَا مَرَّ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ قَالَ اسْتَوُوا. حَتَّى إِذَا لَمْ يَرَ فِيهِنَّ خَلَلاً تَقَدَّمَ فَكَبَّرَ، وَرُبَّمَا قَرَأَ سُورَةَ يُوسُفَ، أَوِ النَّحْلَ، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى حَتَّى يَجْتَمِعَ النَّاسُ، فَمَا هُوَ إِلاَّ أَنْ كَبَّرَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ قَتَلَنِي ـ أَوْ أَكَلَنِي ـ الْكَلْبُ. حِينَ طَعَنَهُ، فَطَارَ الْعِلْجُ بِسِكِّينٍ ذَاتِ طَرَفَيْنِ لاَ يَمُرُّ عَلَى أَحَدٍ يَمِينًا وَلاَ شِمَالاً إِلاَّ طَعَنَهُ حَتَّى طَعَنَ ثَلاَثَةَ عَشَرَ رَجُلاً، مَاتَ مِنْهُمْ سَبْعَةٌ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، طَرَحَ عَلَيْهِ بُرْنُسًا، فَلَمَّا ظَنَّ الْعِلْجُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ نَحَرَ نَفْسَهُ، وَتَنَاوَلَ عُمَرُ يَدَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَدَّمَهُ، فَمَنْ يَلِي عُمَرَ فَقَدْ رَأَى الَّذِي أَرَى، وَأَمَّا نَوَاحِي الْمَسْجِدِ فَإِنَّهُمْ لاَ يَدْرُونَ غَيْرَ أَنَّهُمْ قَدْ فَقَدُوا صَوْتَ عُمَرَ وَهُمْ يَقُولُونَ سُبْحَانَ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ. فَصَلَّى بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ صَلاَةً خَفِيفَةً، فَلَمَّا انْصَرَفُوا. .
[20] Shahih al-Bukhari, Kitab keutamaan para Shahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab mengenai kisah baiat dan kesepakatan terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan (بَابُ قِصَّةُ الْبَيْعَةِ، وَالاِتِّفَاقُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَفِيهِ مَقْتَلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا): قَالَ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، انْظُرْ مَنْ قَتَلَنِي. فَجَالَ سَاعَةً، ثُمَّ جَاءَ، فَقَالَ غُلاَمُ الْمُغِيرَةِ. قَالَ الصَّنَعُ قَالَ نَعَمْ. قَالَ قَاتَلَهُ اللَّهُ لَقَدْ أَمَرْتُ بِهِ مَعْرُوفًا، الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَجْعَلْ مَنِيَّتِي بِيَدِ رَجُلٍ يَدَّعِي الإِسْلاَمَ، قَدْ كُنْتَ أَنْتَ وَأَبُوكَ تُحِبَّانِ أَنْ تَكْثُرَ الْعُلُوجُ بِالْمَدِينَةِ وَكَانَ {الْعَبَّاسُ} أَكْثَرَهُمْ رَقِيقًا. فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَعَلْتُ. أَىْ إِنْ شِئْتَ قَتَلْنَا. قَالَ كَذَبْتَ، بَعْدَ مَا تَكَلَّمُوا بِلِسَانِكُمْ، وَصَلَّوْا قِبْلَتَكُمْ وَحَجُّوا حَجَّكُمْ فَاحْتُمِلَ إِلَى بَيْتِهِ فَانْطَلَقْنَا مَعَهُ، وَكَأَنَّ النَّاسَ لَمْ تُصِبْهُمْ مُصِيبَةٌ قَبْلَ يَوْمَئِذٍ، فَقَائِلٌ يَقُولُ لاَ بَأْسَ. وَقَائِلٌ يَقُولُ أَخَافُ عَلَيْهِ، فَأُتِيَ بِنَبِيذٍ فَشَرِبَهُ فَخَرَجَ مِنْ جَوْفِهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِلَبَنٍ فَشَرِبَهُ فَخَرَجَ مِنْ جُرْحِهِ، فَعَلِمُوا أَنَّهُ مَيِّتٌ،. Nabidz ialah air rendaman kurma. Dalam riwayat-riwayat Hadits, Nabi (saw) juga meminum air perasan anggur, namun bukan air perasan yang sudah lebih dari tiga hari [H.R. Abu Daud]. Terdapat perbedaan pendapat para ahli fiqh soal halal atau haramnya makanan dan minuman seperti nabidz yang lebih dari tiga hari, tapai, durian matang dan lain-lain yang mana itu sudah mengandung alkohol.
[21] Shahih al-Bukhari, Kitab keutamaan para Shahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab mengenai kisah baiat dan kesepakatan terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan (بَابُ قِصَّةُ الْبَيْعَةِ، وَالاِتِّفَاقُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَفِيهِ مَقْتَلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا): ، فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ، وَجَاءَ النَّاسُ يُثْنُونَ عَلَيْهِ، وَجَاءَ رَجُلٌ شَابٌّ، فَقَالَ أَبْشِرْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ بِبُشْرَى اللَّهِ لَكَ مِنْ صُحْبَةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَقَدَمٍ فِي الإِسْلاَمِ مَا قَدْ عَلِمْتَ، ثُمَّ وَلِيتَ فَعَدَلْتَ، ثُمَّ شَهَادَةٌ. قَالَ وَدِدْتُ أَنَّ ذَلِكَ كَفَافٌ لاَ عَلَىَّ وَلاَ لِي. فَلَمَّا أَدْبَرَ، إِذَا إِزَارُهُ يَمَسُّ الأَرْضَ. قَالَ رُدُّوا عَلَىَّ الْغُلاَمَ قَالَ ابْنَ أَخِي ارْفَعْ ثَوْبَكَ، فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ، يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ انْظُرْ مَا عَلَىَّ مِنَ الدَّيْنِ. فَحَسَبُوهُ فَوَجَدُوهُ سِتَّةً وَثَمَانِينَ أَلْفًا أَوْ نَحْوَهُ، قَالَ إِنْ وَفَى لَهُ مَالُ آلِ عُمَرَ، فَأَدِّهِ مِنْ أَمْوَالِهِمْ، وَإِلاَّ فَسَلْ فِي بَنِي عَدِيِّ بْنِ كَعْبٍ، فَإِنْ لَمْ تَفِ أَمْوَالُهُمْ فَسَلْ فِي قُرَيْشٍ، وَلاَ تَعْدُهُمْ إِلَى غَيْرِهِمْ، فَأَدِّ عَنِّي هَذَا الْمَالَ، انْطَلِقْ إِلَى عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ فَقُلْ يَقْرَأُ عَلَيْكِ عُمَرُ السَّلاَمَ. وَلاَ تَقُلْ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ. فَإِنِّي لَسْتُ الْيَوْمَ لِلْمُؤْمِنِينَ أَمِيرًا، وَقُلْ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنْ يُدْفَنَ مَعَ صَاحِبَيْهِ. .
[22] Shahih al-Bukhari, Kitab keutamaan para Shahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab mengenai kisah baiat dan kesepakatan terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan (بَابُ قِصَّةُ الْبَيْعَةِ، وَالاِتِّفَاقُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَفِيهِ مَقْتَلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا): فَسَلَّمَ وَاسْتَأْذَنَ، ثُمَّ دَخَلَ عَلَيْهَا، فَوَجَدَهَا قَاعِدَةً تَبْكِي فَقَالَ يَقْرَأُ عَلَيْكِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ السَّلاَمَ وَيَسْتَأْذِنُ أَنْ يُدْفَنَ مَعَ صَاحِبَيْهِ. فَقَالَتْ كُنْتُ أُرِيدُهُ لِنَفْسِي، وَلأُوثِرَنَّ بِهِ الْيَوْمَ عَلَى نَفْسِي. فَلَمَّا أَقْبَلَ قِيلَ هَذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَدْ جَاءَ. قَالَ ارْفَعُونِي، فَأَسْنَدَهُ رَجُلٌ إِلَيْهِ، فَقَالَ مَا لَدَيْكَ قَالَ الَّذِي تُحِبُّ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَذِنَتْ. قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ، مَا كَانَ مِنْ شَىْءٍ أَهَمُّ إِلَىَّ مِنْ ذَلِكَ، فَإِذَا أَنَا قَضَيْتُ فَاحْمِلُونِي ثُمَّ سَلِّمْ فَقُلْ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَإِنْ أَذِنَتْ لِي فَأَدْخِلُونِي، وَإِنْ رَدَّتْنِي رُدُّونِي إِلَى مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ. وَجَاءَتْ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ حَفْصَةُ وَالنِّسَاءُ تَسِيرُ مَعَهَا، فَلَمَّا رَأَيْنَاهَا قُمْنَا، فَوَلَجَتْ عَلَيْهِ فَبَكَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً، وَاسْتَأْذَنَ الرِّجَالُ، فَوَلَجَتْ دَاخِلاً لَهُمْ، فَسَمِعْنَا بُكَاءَهَا مِنَ الدَّاخِلِ. .
[23] Hadhrat ‘Abdullah bin ‘Umar (ra) menjadi anggota Tim Formatur bukanlah murni tunjukan Khalifah ‘Umar (ra) menjelang wafatnya layaknya ayah menunjuk anaknya di suatu jabatan bersifat kekeluargaan. Sebelum itu, sebagian Sahabat dan delegasi telah menyebut-nyebut dan mengusulkan Hadhrat ‘Abdullah bin ‘Umar (ra) sebagai calon Khalifah. Hadhrat ‘Umar (ra) adalah seorang yang berpandangan tidak benar seorang Khalifah mencalonkan anaknya menjadi calon Khalifah yang membuat beliau membatasi peran anaknya hanya sebatas sebagai pemberi saran dalam Dewan Pemilihan Khalifah bukan pemilih dan dipilih sebagai Khalifah. Namun, hal yang berbeda bila seorang putra menjadi Khalifah lewat pemilihan sepeninggal ayahnya yang Khalifah tanpa pencalonan atau pengusulan dari sang ayah. Sumber referensi: Khilafat Rashida karya Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad (ra) bahasan It is against the Sunnah of Companions (ra) that a Father Should propose His Son for Khilafat. Rujukan berdasarkan Kitab Al-Kamil fit Tarikh, Vol. 3, p. 65, by ‘Izzuddin Abul Hasan Ali bin Abul Karam Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdul Wahid Ash-shibani, known as Ibnil Athir, publisher Daru Sadir, Dar Beirut, AH 1385, AD 1965. Bahasan mendalam bisa dipelajari dalam buku Blessings of khilafat (An English rendering of Barakat-e-Khilafat), sub judul Dire Consequences of Abandoning the Robe of Khilafat.
[24] Shahih al-Bukhari, Kitab keutamaan para Shahabat (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab mengenai kisah baiat dan kesepakatan terpilihnya ‘Utsman bin ‘Affan (بَابُ قِصَّةُ الْبَيْعَةِ، وَالاِتِّفَاقُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَفِيهِ مَقْتَلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا): فَقَالُوا أَوْصِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اسْتَخْلِفْ. قَالَ مَا أَجِدُ أَحَقَّ بِهَذَا الأَمْرِ مِنْ هَؤُلاَءِ النَّفَرِ أَوِ الرَّهْطِ الَّذِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهْوَ عَنْهُمْ رَاضٍ. فَسَمَّى عَلِيًّا وَعُثْمَانَ وَالزُّبَيْرَ وَطَلْحَةَ وَسَعْدًا وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ يَشْهَدُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَلَيْسَ لَهُ مِنَ الأَمْرِ شَىْءٌ ـ كَهَيْئَةِ التَّعْزِيَةِ لَهُ ـ فَإِنْ أَصَابَتِ الإِمْرَةُ سَعْدًا فَهْوَ ذَاكَ، وَإِلاَّ فَلْيَسْتَعِنْ بِهِ أَيُّكُمْ مَا أُمِّرَ، فَإِنِّي لَمْ أَعْزِلْهُ عَنْ عَجْزٍ وَلاَ خِيَانَةٍ وَقَالَ أُوصِي الْخَلِيفَةَ مِنْ بَعْدِي بِالْمُهَاجِرِينَ الأَوَّلِينَ أَنْ يَعْرِفَ لَهُمْ حَقَّهُمْ، وَيَحْفَظَ لَهُمْ حُرْمَتَهُمْ، وَأُوصِيهِ بِالأَنْصَارِ خَيْرًا، الَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ، أَنْ يُقْبَلَ مِنْ مُحْسِنِهِمْ، وَأَنْ يُعْفَى عَنْ مُسِيئِهِمْ، وَأُوصِيهِ بِأَهْلِ الأَمْصَارِ خَيْرًا فَإِنَّهُمْ رِدْءُ الإِسْلاَمِ، وَجُبَاةُ الْمَالِ، وَغَيْظُ الْعَدُوِّ، وَأَنْ لاَ يُؤْخَذَ مِنْهُمْ إِلاَّ فَضْلُهُمْ عَنْ رِضَاهُمْ، وَأُوصِيهِ بِالأَعْرَابِ خَيْرًا، فَإِنَّهُمْ أَصْلُ الْعَرَبِ وَمَادَّةُ الإِسْلاَمِ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ حَوَاشِي أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، وَأُوصِيهِ بِذِمَّةِ اللَّهِ وَذِمَّةِ رَسُولِهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُوفَى لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ، وَأَنْ يُقَاتَلَ مِنْ وَرَائِهِمْ، وَلاَ يُكَلَّفُوا إِلاَّ طَاقَتَهُمْ. فَلَمَّا قُبِضَ خَرَجْنَا بِهِ فَانْطَلَقْنَا نَمْشِي فَسَلَّمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ. قَالَتْ أَدْخِلُوهُ. فَأُدْخِلَ، فَوُضِعَ هُنَالِكَ مَعَ صَاحِبَيْهِ، فَلَمَّا فُرِغَ مِنْ دَفْنِهِ اجْتَمَعَ هَؤُلاَءِ الرَّهْطُ .