Peristiwa-Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Peristiwa-Peristiwa Setelah Pertempuran Hunain
Khotbah Jumat Sayidina Amirulmukminin, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih Al-Khamis ayyadahullāhu ta’ālā binashrihil ‘azīz, pada 3 Oktober 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهٗ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ١ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ٦ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ٧
Sebelumnya masih membahas tentang harta ganimah setelah Perang Hunain dan pembagiannya. Mengenai hal ini, peristiwa-peristiwa selanjutnya adalah sebagai berikut. Setelah kemenangan di Perang Hunain, Rasulullah saw.memerintahkan agar semua harta rampasan perang dikumpulkan di tempat yang bernama Ji’ranah dan seraya memberikan perintah ini, beliau berangkat menuju Thaif. Kira-kira satu bulan kemudian, beliau kembali dari Thaif dan pergi ke Ji’ranah.
Setelah tiba di sana, Rasulullah saw. tidak langsung membagi harta ganimah, melainkan menunggu beberapa hari. Menurut sebagian riwayat, Rasulullah saw. menunggu selama 13 atau 14 hari dengan harapan barangkali Bani Hawazin akan bertobat sehingga keluarga mereka dan harta ternak mereka dapat dikembalikan kepada mereka.
Di satu sisi, Rasulullah saw. terus menunggu mereka, di sisi lain, Bani Hawazin berada dalam kebimbangan, apakah kedatangan mereka akan bermanfaat atau tidak. Akhirnya setelah menunggu begitu lama dan melihat bahwa mereka tidak datang, beliau membagikan harta ganimah dan para tawanan.
Setelah pembagian ini selesai, 14 tokoh terhormat Bani Hawazin menghadap beliau. Mereka telah memeluk Islam dan memberitahukan bahwa seluruh sukunya juga telah memeluk Islam. Kemudian sambil memohon belas kasihan kepada beliau, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami adalah orang-orang keturunan terpandang dan terhormat. Musibah dan kesulitan yang kami hadapi tidaklah luput dari pandangan engkau. Berbuat ihsanlah kepada kami, Allah Taala akan melakukan hal yang sama kepada engkau.” Pemimpin utusan ini adalah Abu Surat Zuhair bin Jarwal. Ia juga seorang orator dan penyair. Ia memohon belas kasihan di hadapan Rasulullah saw. dengan cara yang sangat menyentuh hati dan berkata, “Wahai Rasulullah saw., di antara para tawanan ini terdapat bibi-bibi engkau dari pihak ayah maupun ibu, dan saudara-saudara perempuan engkau yang telah membesarkan engkau dan memberikan makan minum kepada engkau.” Ia mengatakan hal ini karena Rasulullah saw. pernah menghabiskan masa menyusu di suku Bani Sa’d dan dibesarkan di sana, dan ibu susu beliau memiliki hubungan dengan Bani Sa’d yang merupakan cabang dari Bani Hawazin.
Kemudian ia berkata, “Seandainya kami pernah memberikan kebaikan menyusui kepada Raja Ghassan, Harits bin Abi Syamar, atau raja Irak, Nu’man bin Munzir, dan musibah seperti ini menimpa kami, maka mereka pasti akan mengasihani kami, sedangkan engkau adalah yang paling pengasih dan pemilik kedermawanan serta kemurahan hati.” Setelah itu, ia juga membacakan sebuah kasidah puji sanjung kepada beliau saw. Dalam utusan ini juga terdapat paman susu beliau, ia juga memberikan ungkapan dengan nada yang kurang lebih serupa dan berkata, “Ketika engkau masih kecil dan berada di antara mereka, saat itu juga saya telah melihat engkau. Engkau sangat baik. Kemudian pada saat engkau muda pun saya mendapat karunia untuk dapat melihat engkau. Di masa muda pun tidak ada seorang pun yang melebihi engkau dalam hal sifat kebaikan dan kemuliaan jiwa. Engkau adalah perwujudan kebaikan dan kebajikan serta lautan kemurahan dan kedermawanan. Kami adalah milik engkau dan dari keluarga engkau sendiri. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada kami. Allah pasti akan memberikan balasan atas kebaikan ini kepada engkau.”
Rasulullah saw. mendengarkan permohonan mereka yang menyentuh ini. Beliau tidak menolak permintaan mereka, melainkan bersabda, “Aku telah menunggu kalian dalam waktu yang sangat lama hingga aku yakin bahwa kalian tidak akan datang, dan sekarang kalian melihat bahwa dari para tawanan yang ada padaku hanya tinggal sangat sedikit, dan sudah dibagikan semua, dan menurutku perkara yang paling disukai adalah yang paling benar, oleh karena itu sekarang kalian dapat memilih salah satu dari dua hal: para tawanan laki-laki dan perempuan, atau harta benda. Dari keduanya, kalian boleh mengambil yang ingin kalian ambil. Aku sungguh telah menunggu kalian sangat lama, dan sebenarnya aku ingin memberikan keduanya.”
Ketika utusan Bani Hawazin melihat seluruh situasi tersebut, mereka berkata bahwa mereka ingin mengambil kembali para tawanan mereka, yaitu laki-laki dan perempuan mereka. Atas hal ini, beliau saw. bersabda, “Para tawanan yang menjadi bagianku dan bagian Bani Abdul Muththalib adalah milik kalian. Aku membebaskan mereka dan memberikan mereka kembali kepada kalian. Adapun mengenai para tawanan lainnya, aku akan berbicara dengan kaum Muslimin lainnya karena aku telah memberikannya kepada mereka.”
Bersamaan dengan itu, kepada para utusan itu juga diberitahukan caranya bagaimana mereka harus melakukannya, “Kalian setelah salat zuhur berdirilah di hadapan orang-orang dan katakanlah bahwa kami menjadikan Rasulullah saw. sebagai pemberi syafaat kami untuk kaum Muslimin dan melalui kaum Muslimin kami meminta syafaat kepada Rasulullah saw. agar anak-anak kami dan perempuan-perempuan kami dilepaskan.” Bersamaan dengan itu, Rasulullah saw. bersabda, “Di hadapan kaum Muslimin, nyatakanlah keislaman kalian dan katakanlah bahwa kami adalah saudara-saudara kalian, kemudian aku akan memberi syafaat untuk kalian”, yakni Rasulullah saw. bersabda, “Aku akan memberikan syafaat”.
Ini adalah gambaran indah dari sikap kedermawanan dan kemurahan hati Rasulullah saw. bahwa beliau sendiri mengajarkan untuk membebaskan para tawanan agar martabat kaum Muslimin secara umum juga terjaga karena para tawanan tersebut telah menjadi milik mereka dan sekaligus kehormatan Hawazin juga terangkat. Setelah salat zuhur, para utusan itu berdiri dan menyampaikan permohonan, dan dijawab sebagaimana yang telah beliau sabdakan.
Menurut riwayat Bukhari, Rasulullah saw. berdiri dan berpidato kepada orang-orang dengan bersabda, “Saudara-saudara kalian telah datang kepada kalian dengan bertobat, aku ingin mengembalikan tawanan kepada mereka; siapa saja yang ingin melakukannya dengan senang hati boleh melakukannya, dan siapa yang ingin mengambil sesuatu dari kami sebagai gantinya juga boleh melakukannya. Aku akan mengembalikan haknya dari ganimah yang pertama kali diperoleh.”
Bersamaan dengan itu beliau mengumumkan pengembalian tawanan milik beliau dan keluarga beliau yaitu Bani Abdul Muthalib. Adapun Para sahabat yang mulia adalah orang-orang yang mencintai beliau lebih dari cinta mereka kepada jiwa mereka sendiri, istri, anak-anak, serta orang tua mereka. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, demi kebahagiaan engkau, kami dengan senang hati mengembalikan tawanan kami dari suku Hawazin.” Rasulullah saw. menjadi sangat gembira melihat semangat mereka ini, namun beliau menganggap perlu untuk memastikan persetujuan dan kerelaan semua orang, maka beliau bersabda, “Aku tidak dapat mengetahui siapa di antara kalian yang telah rela dan siapa yang belum memberikannya, karena dalam pertemuan umum ini semua orang berbicara. Oleh karena itu, kembalilah kalian dan kirimlah para pemimpin serta pengawas kalian kepadaku untuk menyampaikan sikap orang-orang kalian.”
Atas arahan beliau ini, semua orang dengan gembira menyatakan kesediaan mereka untuk mengembalikan tawanan mereka, dan para pemimpin mereka menyampaikan hal tersebut kepada Rasulullah saw. Demikianlah kebaikan agung beliau kepada kaum musuh tersebut sehingga seluruh tawanan dikembalikan tanpa imbalan apa pun, dan perasaan para sahabat yang tulus, setia, dan penuh kecintaan itu pun dijaga oleh beliau, sebagaimana beliau bersabda, “Sebagai ganti setiap tawanan akan diberikan enam ekor unta”.
Kemudian ada contoh kecintaan dan ketaatan Hazrat Umar r.a. kepada Rasulullah saw. bahwa pada saat pembebasan tawanan tersebut Hazrat Umar r.a. tidak hadir di sana. Ketika kembali, Hazrat Umar r.a. melihat para budak bergembira ria, demikian juga para tawanan. Ketika bertanya, Hazrat Umar r.a. mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah membebaskan semua tawanan, maka mendengar hal ini Hazrat Umar r.a. tidak merasa perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut, dan segera berkata kepada putranya, “Wahai Abdullah, pergilah dan bebaskanlah hamba sahaya perempuanku yang telah diberikan Rasulullah saw. kepadaku.”
Rasulullah saw. tidak hanya membebaskan para tawanan Bani Hawazin tersebut tanpa imbalan apa pun, tetapi juga memberikan pakaian kepada mereka, dan beliau saw. bersabda dengan penekanan:
فَلَا يَخْرُجُ الْحُرُّ مِنْهُمْ إِلَّا كَاسِبًا كَاسِعًا
Artinya tidak ada seorang pun dari mereka yang dibebaskan, boleh pergi tanpa pakaian baru. Maka untuk melaksanakan perintah ini, seorang sahabat bernama Busr bin Sufyan dikirim untuk membeli pakaian baru, lalu ia membawa kain-kain baru dan setiap tawanan diberi pakaian baru.
Kemudian menurut riwayat, ada tiga orang yang menolak mengembalikan tawanan mereka. Aqra’ bin Habis berkata, “Sejauh menyangkut diriku dan Bani Tamim, kami menolak.” Uyainah bin Hisn Fazari berkata, “Aku dan suku Bani Fazarah menolak”, dan Abbas bin Mirdas berkata, “Aku dan Bani Sulaim tidak akan mengembalikan tawanan.” Tetapi begitu mendengarnya, Bani Sulaim langsung menolak untuk mematuhi perkataan pemimpin mereka dan berkata, “Apa saja yang kami miliki, telah kami serahkan kepada Rasulullah saw.” Menurut beberapa riwayat lain, Rasulullah saw., “Semua tawanan Bani Hawazin dibebaskan dan siapa saja yang tidak ingin membebaskan tawanannya akan diberikan enam ekor unta muda sebagai ganti rugi dari Baitul Mal”.
Maka atas dasar ini, semua orang yang tidak bersedia menyerahkan tawanan mereka pun setuju dan dengan demikian 6.000 tawanan Bani Hawazin dibebaskan. Menurut beberapa riwayat, Uyainah bin Hisn Fazari tetap tidak mengembalikan tawanannya, tetapi karena ketidaktaatan ini ia harus menanggung rasa malu yang besar dan juga luput dari kebaikan dan keberkatan.
Diriwayatkan, ketika diberitahukan kepada Rasulullah saw. bahwa semua orang telah mengembalikan tawanan mereka kecuali Uyainah, maka beliau saw. bersabda, “Semoga Allah menjadikannya rugi.” Mengenai tawanannya, kejadiannya sebagai berikut. Ia telah mengambil seorang wanita tua sebagai tawanan, bukan seorang wanita muda, dan ketika orang-orang bertanya, ia menjelaskan, “Ketika keluarganya datang untuk membebaskannya—yaitu nenek tua ini—maka aku akan mendapat tebusan yang kuminta karena keturunannya pasti sudah banyak.” Sekarang ketika semua tawanan dibebaskan tetapi ia menolak untuk membebaskan, maka anak laki-laki wanita tua itu datang kepada Uyainah dan berkata kepadanya, “Bebaskanlah ibu kami dengan imbalan seratus ekor unta”. Uyainah berpikir bahwa sekarang ia akan menaikkan harga lebih lanjut, maka ia menolak untuk membebaskan, sehingga anaknya pergi kembali.
Setelah beberapa saat, ketika Uyainah menyadari bahwa ia tidak akan kembali lagi, maka Uyainah sendiri pergi kepada anak itu dan berkata, “Unta yang sebelumnya kamu tawarkan, apakah sekarang kamu masih akan memberikannya.” Anak muda itu berkata, “Sekarang aku akan memberikan 50 ekor unta”. Dengan cara seperti ini, pembicaraan sampai pada 10 ekor unta. Uyainah lalu meminta sesuatu yang lain, maka ia berkata, “Baiklah aku juga tidak akan memberikan ini.”
Akhirnya ini terus berkurang dan sampai pada titik bahwa Uyainah berkata, “Ambillah nenek tua itu dariku dengan cuma-cuma”. Atas hal ini anak laki-laki itu berkata, “Rasulullah saw telah memberikan pakaian juga bersama dengan membebaskan setiap tawanan, dan nenek tua ini telah luput dari hal itu, oleh karena itu, kamu juga berikanlah pakaian untuknya.” Uyainah berkata, “Aku tidak memiliki apa-apa, aku memang sudah sangat miskin sejak awal, karena keserakahanlah aku telah berkata demikian dan dalam hal ini juga aku rugi.” Tetapi anak laki-laki itu tetap bersikeras, “Kamu harus memberikan sesuatu”.
Akhirnya Uyainah harus memberikan selendangnya dan dengan demikian anak laki-laki itu membawa pergi wanita tawanan itu juga dan bersama pakaian juga, dan sambil pergi ia terus berkata kepada Uyainah, “Otakmu sama sekali kosong dari pemahaman dan kecerdasan. Kamu sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan”. Teman-temannya yang lain juga terus mencela dan menghinanya. Karena keserakahan, akhirnya Uyainah tidak mendapatkan apa-apa sama sekali.
Mengenai masuk Islamnya pemimpin Bani Hawazin dan Malik bin Auf tertera bahwa Rasulullah saw. bertanya kepada utusan Bani Hawazin tentang keberadaan pemimpin mereka Malik bin Auf. Maka mereka memberitahu, “Ia berada di Thaif di antara Bani Tsaqif”. Beliau lalu bersabda, “Beritahukanlah kepadanya bahwa jika ia datang dengan menerima ketaatan dan kepatuhan, maka keluarga dan anak-anaknya yang telah menjadi tawanan juga akan dikembalikan kepadanya.” Menurut beberapa riwayat, Rasulullah saw. telah memberikan perintah khusus untuk keluarga dan anak-anaknya bahwa mereka tidak boleh diberikan kepada siapa pun sebagai hamba sahaya dan sebagainya, dan pengaturan tempat tinggal mereka adalah di Makkah, di rumah Umm Abdullah binti Abi Umayyah. Mereka segera menyampaikan berita ini kepadanya; ia langsung bersiap untuk datang menghadap Rasulullah saw, tetapi ia takut kepada Bani Tsaqif karena jika mereka mengetahui bahwa ia akan pergi menemui Muhammad saw, jangan-jangan mereka akan menahannya.
Oleh karena itu, ia menyiapkan seekor kuda dan unta. Kemudian dalam kegelapan malam dia keluar dari Thaif dan datang menghadap Rasulullah saw. di Ji’ranah. Lalu Rasulullah saw. mengembalikan keluarga dan anak-anaknya kepadanya serta memberikan seratus ekor unta sebagai hadiah. Melihat kemurahan hati dan anugerah dari beliau, ia pun masuk Islam dan sepanjang hidupnya tetap menjadi seorang Muslim yang tulus ikhlas, dan Rasulullah saw. kemudian mengangkatnya sebagai pemimpin bagi orang-orang Islam dari kaum Hawazin dan sebagai panglima tentaranya.
Inilah Malik bin Auf yang sebelumnya pernah mengumpulkan seluruh Bani Hawazin, Tsaqif, dan suku-suku lainnya untuk membinasakan kaum Muslimin. Ia dahulu haus akan darah Rasulullah saw., tetapi teladan, sikap memaafkan, serta pengampunan beliau telah menjadikan dirinya haus akan bimbingan dan petunjuk beliau saw. Ketika ia datang sebagai pencari petunjuk, bukan hanya semuanya Rasulullah saw. maafkan, bahkan beliau saw. juga menganugerahkan seratus ekor unta kepadanya. Ini adalah harta yang sangat berharga pada masa itu.
Di antara tawanan perang ini ada seorang wanita bernama Shaima, ini adalah nama panggilannya dan nama aslinya adalah Huzafah. Ketika ditawan, ia berkata kepada para penawannya, “Aku adalah saudara sepersusuan Nabi kalian Muhammad saw.” Tetapi para Sahabat tidak mempercayainya. Sekelompok Ansar menangkapnya dan membawanya menghadap beliau saw. Ia berkata, “Muhammad, aku adalah saudara sepersusuan engkau.” Rasulullah saw. bertanya, “Apakah ada tandanya?”, maka ia menunjukkan bekas gigitan gigi dan berkata, “Engkau dulu pernah menggigit tanganku ketika saat masih kecil aku mengangkat engkau di pangkuanku.” Kemudian beliau pun teringat kembali peristiwa itu dan ia berkata, “ Kami pada waktu itu sedang menggembalakan kambing-kambing dan ayah susuan engkau adalah ayah kandungku, ibu susuan engkau adalah ibu kandungku. Wahai Rasulullah, ingatlah bahwa aku memerah susu kambing untuk engkau.”
Rasulullah saw. mengenalinya dari tanda tersebut dan berdiri lalu membentangkan selendang beliau untuknya. Beliau bersabda, “Duduklah di atasnya”. Rasulullah saw. menyambutnya dengan mengucapkan selamat datang dan air mata beliau pun mengalir. Beliau menanyakan tentang keadaan orang tua susuan beliau. Ia memberitahu bahwa mereka telah meninggal dunia. Rasulullah saw. bersabda, “Jika engkau pikir lebih baik, maka tinggallah bersama kami, engkau akan mendapat kehormatan, kemuliaan, serta kasih sayang, dan jika engkau ingin kembali kepada kaum engkau, maka aku akan berbuat baik kepada engkau, pergilah ke sana.”
Ia berkata, “Aku ingin kembali kepada kaumku.” Alhasil, ia pun menerima Islam. Beliau saw. memberikan kepadanya tiga budak laki-laki dan satu budak perempuan dan memerintahkan untuk memberikan satu atau dua unta kepadanya. Beliau pada waktu itu berada di Hunain, oleh karena itu beliau bersabda kepadanya, “Pergilah ke Ji’ranah dan tinggallah bersama kaummu, aku akan pergi ke Thaif”. Maka ia pun datang ke Ji’ranah. Rasulullah saw. bertemu dengannya di Ji’ranah dan memberikan kepadanya kambing-kambing dan domba-domba juga. Menurut satu riwayat, beliau bersabda, “Apa yang engkau minta akan diberikan kepada engkau, dan rekomendasi yang engkau berikan akan diterima.” Maka ia memberikan rekomendasi untuk seorang laki-laki dari kaumnya, Bani Sa’d yang bernama Bijad. Orang ini telah membunuh seorang Muslim kemudian membakarnya dan melarikan diri tetapi para sahabat telah menangkapnya. Sekarang, saat Syaimah merekomendasikan untuk pengampunannya, maka beliau saw. pun mengampuninya; tetapi rincian tentang ini tidak ada, dan pasti diat dan syarat lainnya juga telah dibayar kemudian setelah itu.”
Menurut riwayat Abu Dawud, di tempat Ji’ranah juga disebutkan pertemuan Rasulullah saw. dengan ibu susuan beliau. Hal ini telah disebutkan tetapi tertera bahwa sanadnya lemah dan tidak ada pertemuan dengan Ibu susuan. Kemungkinan pertemuan dengan ibu susuan itu berkaitan dengan peristiwa lain, atau perawi juga keliru, karena menurut riwayat yang umum, sebelum perang Hunain ibu susuan Rasulullah saw. telah wafat.
Ketika Rasulullah saw. hijrah dari Makkah ke Madinah, pada waktu itu penduduk Makkah telah mengumumkan bahwa siapa saja yang menangkap Rasulullah saw. hidup atau mati akan diberi hadiah seratus unta. Peristiwa ini sangat terkenal dan telah disebutkan berkali-kali. Mendengar hal ini, Suraqah bin Malik mengejar Rasulullah saw. dan sampai kepada beliau tetapi pada waktu itu secara mukjizat Allah Taala melindungi Rasulullah saw. dan membuat Suraqah tidak berdaya. Pada waktu itu Rasulullah saw. bersabda kepada Suraqah, “Suraqah, bagaimana keadaanmu kelak ketika gelang-gelang Kisra berada di tanganmu.” Pada waktu itu Suraqah juga meminta agar diberikan surat jaminan keamanan dari Rasulullah saw. dan surat itu pun diberikan. Suraqah inilah yang dengan membawa surat jaminan keamanan itu datang ke tempat Ji’ranah dan masuk Islam.
Pada kesempatan ini juga disebutkan tentang nazar yang diikrarkan oleh Hazrat Umar r.a. Hazrat Umar r.a. menghadap Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, pada masa jahiliyah aku pernah bernazar bahwa aku akan beriktikaf satu hari di Masjidilharam, apa perintah Rasulullah saw?” Rasulullah saw. bersabda, “Pergilah dan penuhilah nazarmu.” Maka Hazrat Umar r.a. pergi dan memenuhi nazarnya.
Saat masih berada di Ji’ranah, pada suatu malam Rasulullah saw. berangkat dari sana menuju Makkah dengan niat umrah, dan menurut riwayat beliau pergi pada malam hari dan kembali pada malam itu juga. Orang-orang mengira seolah-olah Rasulullah saw. tidak pergi ke mana-mana karena beliau pergi hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Tentang kepulangan Rasulullah saw. ke Madinah tertulis sebagai berikut. Saat masih tersisa 12 hari dari bulan Zulkaidah, dan hari itu adalah hari Kamis, beliau saw. memulai perjalanan kembali ke Madinah. Sebelumnya, Rasulullah saw telah mengangkat Hazrat ‘Uttab bin Usaid sebagai Amil (pemimpin) di Makkah. Rasulullah saw. juga memerintahkan Hazrat Mu’az bin Jabal r.a. dan Hazrat Abu Musa Asy’ari r.a. agar tetap di Makkah untuk mengajarkan Al-Qur’an dan agama kepada orang-orang. Rasulullah saw. juga membawa serta beberapa hewan agar dapat diberikan kepada orang-orang yang ditemui di perjalanan. Beliau berangkat dari lembah Ji’ranah melalui Sarif kemudian tiba di Marruz-Zahran dan setelah perjalanan sembilan hari sampailah beliau di Madinah. Saat itu masih tersisa tiga malam di bulan Zulkaidah. Dalam semua misi ini yaitu Fatah Makkah, Fatah Hawazin, dan misi pengepungan penduduk Thaif, telah memakan waktu 2 bulan dan 16 hari.
Para orientalis pun mengajukan keberatan-keberatan tentang Fatah Makkah, Gazwah Hunain, Gazwah Thaif dan lain-lain. Meskipun para orientalis tidak sanggup menemukan hal yang benar-benar dapat dipermasalahkan, namun ada satu dua tuduhan dari mereka yang akan disebutkan disini. Orientalis masa kini, yaitu William Montgomery Watt mengatakan, yang terjemahannya adalah: “Kecuali beberapa tawanan wanita, yang diberikan kepada para sahabat utama, harta rampasan lainnya dan juga tawanan disimpan di Ji’ranah di bawah pengawasan Mas’ud bin ‘Amr Ghifari.” Demikian pula, Sir William Muir menulis bahwa di antara para tawanan ada tiga wanita cantik yang dibawa kepada Muhammad saw. di mana beliau memberikan satu kepada Hazrat Ali r.a., satu kepada Hazrat Usman r.a. dan satu kepada Hazrat Umar r.a., lalu Hazrat Umar r.a. memberikan wanita yang menjadi bagiannya kepada putranya yaitu Hazrat Abdullah r.a.. Mengenai dua yang lain tidak diketahui apa yang terjadi dengan mereka. Bagaimanapun juga, dalam hal ini ia menulis tentang sejarah Hazrat Muhammad Rasulullah saw. yang dari sini dapat diketahui kedalamannya tentang sejarah Rasulullah saw: [Ia menulis bahwa] Rasulullah saw. memberikan para perempuan muda yang menjadi tawanan itu kepada mereka yang salah satunya adalah ayah istri beliau, dan dua orang adalah suami putri-putri beliau, yaitu beliau telah memberikan kepada kerabat terlebih dahulu. Jadi, Sir William Muir berusaha menyampaikan suatu peristiwa dengan disertai tuduhan atau dengan niat jahat, namun apa yang dikatakannya pun tidaklah bernilai karena pada perang Hunain pembagian tawanan seperti itu (di mana disebutkan pemberian budak wanita dengan cara itu), penyebutan ini tidak ditemukan dalam Sirat Halabiyyah dan Tabaqat Ibnu Sa’d, dan yang disebutkan hanyalah tentang pembagian ganimah.
Dalam Tabaqat Ibnu Sa’d tertulis: Pada hari itu kaum Muslimin memperoleh 6.000 tawanan. Orang-orang musyrik masuk Islam dan datang kepada Rasulullah saw seraya berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah yang terbaik di antara manusia. Engkau telah menawan harta kami, wanita-wanita kami dan anak-anak kami.” Rasulullah saw bersabda kepada kaum Muslimin, “Barangsiapa di antara kalian yang memiliki sesuatu dari mereka dan hatinya rela untuk mengembalikannya, maka jalan ini adalah lebih baik. Barangsiapa yang tidak rela, maka hendaklah ia menyerahkannya kepada kami, ini akan menjadi hutang atas kami. Apabila kami memperoleh sesuatu, maka kami akan melunasi hutang ini.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah saw., kami rela dan kami menyerahkan.” Beliau bersabda, “Aku tidak tahu, mungkin saja di antara kalian ada yang tidak rela (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya), oleh karena itu kirimkanlah wakil-wakil kalian yang akan menyampaikan hal ini kepada kami.” Lalu para wakil dihadapkan kepada beliau dan mereka menyampaikan bahwa semuanya telah rela dan menerima.
Sebelumnya telah dijelaskan secara rinci mengenai pengaturan tawanan perang Hunain dan strategi Rasulullah saw yang penuh belas kasih dengan membebaskan mereka dan ini berdasarkan referensi sejarah yang terpercaya. Sir William Muir sendiri sangat menyadari fakta sejarah ini. Oleh karena itu, meskipun Muir menyebutkan hal ini dengan disertai tuduhan, ia tidak dapat memungkiri dan mengungkapkan kebenaran ini. Ia telah menulis bahwa semua tawanan Hunain telah dibebaskan. Jadi, Pernyataannya ini dengan sendirinya telah membantah keberatannya.
Pembahasan tentang peristiwa-peristiwa di gazwah ini menunjukkan bahwa pada awalnya para tawanan diserahkan kepada para sahabat untuk pengawasan, namun juga jelas bahwa di pengaturan yang akhir, mereka semua dikirim ke Ji’ranah di bawah pengawasan Hazrat Mas’ud bin Amr Ghifari r.a. Kemudian ketika Rasulullah saw. kembali dari Thaif dan mengadakan pembicaraan dengan orang-orang Hawazin, maka beliau dengan sikap penuh kasih sayang yang khas, membebaskan setiap tawanan yang diserahkan kepada setiap orang. Semua ini telah dijelaskan dalam rincian yang telah disebutkan sebelumnya. Saya telah menyebutkan sebelumnya juga bahwa orientalis terkenal Montgomery Watt sangat menyadari fakta ini, karena ia menulis di tempat yang sama yaitu: Tampaknya dalam waktu yang lama setelah [kewafatan] Muhammad saw., mereka yang mendengar kisah, telah menambahkan anggapan-anggapan dalam cerita-cerita semacam itu, atau mungkin cerita-cerita ini adalah buatan dan rekaan manusia.
Ada tuduhan lain yang dikemukakan Margoliouth mengenai pemimpin Thaif Malik bin Auf Nasri bahwa Malik bin Auf telah dipaksa menjadi Muslim. Keberatan Margoliouth ini sama sekali tidak berdasar, dan justru menjadi contoh dari sikap umum para orientalis terhadap sirah (riwayat hidup) Rasulullah saw., yakni bagaimana kisah kasih sayang Sang Rahmat bagi seluruh alam pun mereka putar balikkan seolah-olah sebagai bentuk pemaksaan, padahal sama sekali tidak ada hubungannya dengan kenyataan.
Rincian peristiwa ini tercatat dalam Sirah Ibnu Hisyam, bahwa ketika Rasulullah saw. menerima permohonan belas kasihan dari delegasi Hawazin, maka para tawanan dan harta benda mereka dikembalikan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Rasulullah saw. juga teringat kepada pemimpin di Thaif, yaitu Malik bin ‘Auf. Beliau bertanya, “Ceritakan kepadaku tentang Malik bin ‘Auf, bagaimana keadaannya?”
Dijawab bahwa ia berada di Thaif bersama Bani Tsaqif. Maka sekali lagi kasih sayang Rasulullah saw. ditunjukkan kepada Malik bin ‘Auf. Beliau bersabda, “Pergilah dan sampaikan kabar kepadanya, jika ia masuk Islam, maka keluarga dan hartanya akan dikembalikan kepadanya. Tidak hanya itu, bahkan akan diberikan kepadanya seratus ekor unta.”
Hal yang patut diperhatikan ialah: Rasulullah saw. adalah seorang pemenang, dan tidak ada maksud ataupun keuntungan apa pun yang beliau butuhkan dari Malik bin ‘Auf. Menurut hukum mana pun, Rasulullah saw. tidak memiliki kewajiban sedikit pun terhadap Malik bin ‘Auf. Namun, dengan sifat kasih sayang beliau yang abadi, Rasulullah saw. mengirim pesan itu—mengajaknya menerima Islam dan menjanjikan pengembalian keluarga, harta, serta tambahan seratus ekor unta.
Ternyata dalam hati Malik bin ‘Auf sendiri, Islam sudah mulai bersemi. Karena itu, ketika ia menerima pesan Rasulullah saw., ia segera berangkat menemui beliau. Dari Thaif ia berangkat dan bertemu dengan Rasulullah saw. di Ji‘ranah atau Makkah. Malik kemudian memeluk Islam. Rasulullah saw. mengembalikan keluarga dan harta bendanya, serta memberikan seratus ekor unta kepadanya.
Ketika masuk Islam, Malik juga melantunkan beberapa bait syair, salah satunya berbunyi:
مَا إِنْ رَأَيْتُ وَلَا سَمِعْتُ بِمِثْلِهِ
فِي النَّاسِ كُلِّهِمْ بِمِثْلِ مُحَمَّدِ
“Tidak pernah aku melihat, dan tidak pernah aku mendengar, seorang pun di antara seluruh manusia yang sebanding dengan Muhammad saw.”
Demikianlah seluruh peristiwa Hunain. Adapun sariyyah-sariyyah lainnya, insya Allah akan disebutkan kemudian.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyebutkan dua almarhum, dan nanti juga saya akan memimpin salat jenazah mereka.
Yang pertama adalah almarhum Dr. Layiq Ahmad Farrukh. Beliau wafat di Kanada. Beliau selama bertahun-tahun telah mengkhidmati agama sebagai seorang dokter waqaf zindegi, khususnya di Afrika. Beliau wafat beberapa hari yang lalu dalam usia 83 tahun. Innā lillāhi wa-innā ilaihi rāji‘ūn. Beliau juga seorang musi.
Yang ditinggalkan almarhum adalah seorang istri, seorang putra, dan dua putri. Pada tahun 1974, di bawah program Majlis Nusrat Jahan, beliau diutus ke Ghana. Hingga tahun 1978, beliau bertugas di Central Hospital di sana. Setelah menyelesaikan tiga tahun pengabdian, karena kesehatan beliau yang terganggu, beliau meminta izin untuk berhenti. Namun, Khalifatul Masih III r.h. meminta beliau untuk melanjutkan lagi selama setahun.
Kasus-kasus medis yang rumit dan sulit biasanya datang kepada beliau. Kadang-kadang ada kasus yang dokter lain sarankan untuk dibawa ke rumah sakit pemerintah, tetapi para pasien berkata, “Tidak, jika saya harus berobat, maka saya ingin berobat di Rumah Sakit Ahmadiyah dan ditangani oleh dokter Ahmadi.” Banyak operasi sulit yang—dengan karunia Allah Taala—berhasil dengan baik, padahal awalnya tidak diharapkan bisa berhasil.
Suatu ketika, datang kasus hernia strangulata, yang sangat sulit. Beliau menanganinya seraya berdoa kepada Allah Taala, dan Allah menganugerahkan keberhasilan.
Pada tahun 1984, beliau sekali lagi diutus ke Afrika, kali ini ke Gambia, dan beliau terus mengabdi di sana hingga tahun 1993. Beliau berkhidmat dengan penuh ruh waqaf.
Putra beliau menulis kesaksian yang sangat benar: bahwa beliau adalah sosok yang berkepribadian tenang, banyak berdoa, penuh kerendahan hati, tawaduk, sabar, dan tabah. Seluruh hidupnya dihabiskan dalam pelayanan kemanusiaan.
Selama masa waqaf, khususnya di Gambia, beliau pernah bertugas di desa kecil yang sangat terpencil, yaitu N’jwara, di mana kondisi sangat sulit. Tidak ada makanan yang layak, tidak ada listrik, tidak ada air, dan cuaca pun sangat panas. Namun, beliau tetap berkhidmat di sana. Putranya menuturkan, “Ketika saya sakit dan kaki saya melepuh, beliau menggendong saya pergi ke sekolah. Beliau antar saya ke sekolah tanpa pernah mengeluh.”
Sang putra juga mengatakan, “Kami mendapat kehormatan besar ketika Khalifatul Masih IV r.h. berkunjung ke sana pada tahun 1988. Beliau secara khusus datang ke rumah kami. Bahkan di rumah kami ketika itu tidak ada kursi untuk duduk, tetapi Huzur bersabda, ‘Saya akan makan bersama kalian di sini.’ Lalu beliau meminta seluruh staf yang lain untuk keluar. Itu adalah kemuliaan besar bagi kami.”
Almarhum juga pernah menceritakan satu pengalaman selama bertugas di Lahore. Beliau berkata: “Tekanan darah saya pernah turun sangat rendah. Saya sampai berbaring di atas meja dan merasa bahwa saya akan segera meninggal. Para dokter terkadang suka berprasangka terhadap diri sendiri, tetapi juga mengetahui kondisi mereka. Namun, pada saat itu, saya mendengar sebuah suara berkata: ‘Belum waktunya, engkau akan wafat setelah pergi ke Kanada.’” Dan benar saja, bertahun-tahun kemudian, Allah Taala mewujudkan hal itu dengan cara yang sangat menakjubkan.
Suatu ketika, setelah beliau kembali dari Ghana pada tahun 1978, rombongan jemaat pergi menemui Hazrat Khalifatul Masih III r.h. Pada saat itu, Hazrat Khalifatul Masih III r.h. bersabda kepadanya: “Engkau telah kembali, tetapi Aku akan mengirimmu kembali lagi ke tempat engkau datang.” Beliau mengatakan, “Saat itu saya tidak terlalu mengerti maksudnya, karena saya tidak mewaqafkan diri lagi.”
Namun, pada tahun 1983, beliau menerima surat dari Sekretaris Nusrat Jahan di Rabwah yang menyatakan bahwa penugasan beliau sedang dipertimbangkan, dan beliau diminta datang. Lalu pada tahun 1984, Hazrat Khalifatul Masih IV r.h. mengutus beliau kembali ke Afrika, kali ini ke Gambia.
Beliau menuturkan, “Hal ini terasa sangat luar biasa, bahkan seperti sebuah mukjizat bagi saya, bahwa apa yang pernah diucapkan oleh seorang Khalifah, kemudian dipenuhi oleh Khalifah yang lain.”
Almarhum Tn. Wahab Adam, Sabiq Amir Ghana, mengatakan, “Setiap kali Tuan Dokter melihat kondisi seorang pasien yang kritis, beliau segera menunaikan salat nafal.”
Saya sendiri juga pernah tinggal di Ghana pada masa beliau bertugas, dan saya berkesempatan tinggal di sana bersama beliau. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa beliau adalah pribadi yang sangat mulia, rendah hati, dan penuh semangat dalam melayani. Beliau juga sangat menghormati para waqifin.
Sifat keramahan terhadap tamu begitu kuat melekat pada diri beliau dan istrinya; banyak sekali sifat-sifat luhur yang mereka miliki—sifat-sifat yang jarang ditemukan pada diri seseorang.
Tn. Daud Hanif, yang saat ini menjabat sebagai Principal Jamiah Kanada, dahulu adalah Amir Jemaat di Gambia. Beliau menuturkan tentang Tuan Dokter, “Beliau selalu siap sedia untuk melayani kemanusiaan. Tidak pernah memandang siang atau malam, yang beliau perhatikan hanyalah: apakah ada orang yang sedang dalam kesusahan? Jika ada, maka segera beliau bergegas untuk menolongnya.”
Daerah tempat beliau ditugaskan memiliki sebuah rumah sakit kecil. Untuk sampai ke sana, harus menyeberang dua kali dengan feri. Tempat tinggal beliau pun hanyalah sebuah gudang tua yang sudah tidak terpakai, yang kemudian dibersihkan dan dijadikan rumah. Namun, beliau tinggal di sana dengan penuh kegembiraan.
Tidak ada listrik, tidak ada air, dan tidak ada telepon. Air harus diambil sendiri dari sumur atau dari sungai. Penerangan hanya menggunakan lilin atau lampu minyak. Operasi-operasi pembedahan biasanya dilakukan pada siang hari dengan memanfaatkan cahaya matahari. Alat-alat operasi beliau sterilkan di atas kompor gas.
Dalam kondisi seperti itulah beliau terus melaksanakan tugas-tugas medis dan pelayanan kemanusiaan. Di zaman sekarang, dokter-dokter bahkan tidak akan sanggup menerima kondisi seperti itu. Mereka pun tidak bisa membayangkan bagaimana semuanya bisa dijalani.
Suatu ketika, ketika beliau sedang bertugas di sana, terjadi peristiwa perampokan. Para pencuri masuk ke sebuah rumah, lalu orang-orang sekitar segera mengepung mereka. Pada saat itu, salah seorang pencuri menghunus cutlass (semacam pedang tradisional) dan memukul kepala seseorang hingga menimbulkan luka parah.
Tuan Dokter segera dipanggil pada malam itu juga. Beliau langsung melakukan operasi darurat hanya dengan penerangan senter dan cahaya lilin—sesuatu yang hampir tak bisa dibayangkan pada masa sekarang. Dengan karunia Allah Taala, operasi tersebut berhasil dengan baik dan pasien itu pun terselamatkan.
Suatu ketika, seorang pria miskin datang kepada Tuan Dokter dan berkata: “Desa saya sangat jauh, tidak ada alat transportasi, dan saya tidak dapat membawa pasien kemari. Mohon dengan kemurahan hati Anda datang sendiri melihat pasien.”
Saat itu juga, Tuan Dokter langsung berangkat bersamanya, memeriksa pasien itu, dan memberikan pengobatan. Dengan karunia Allah Taala, pasien tersebut sembuh.
Ketika anggota parlemen dari daerah itu mengetahui peristiwa ini, ia datang khusus ke klinik Tuan Dokter untuk menyampaikan terima kasih. Sejak itu, setiap kali ia berkunjung, ia tidak pernah lupa untuk menemui Tuan Dokter, dan selalu menyatakan, “Pelayanan kemanusiaan yang sejati hanya Anda yang sedang melaksanakannya.”
Semoga Allah Taala melimpahkan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau, meninggikan derajatnya, melindungi istri serta anak-anaknya, dan menganugerahkan kepada mereka kesabaran serta keteguhan hati.
Jenazah kedua adalah almarhum Tn. Hameed Ahmad Ghori dari Hyderabad, India. Beliau wafat beberapa hari yang lalu dalam usia 74 tahun. Innā lillāhi wa-innā ilaihi rāji‘ūn. Beliau juga seorang musi.
Beliau meninggalkan seorang istri, seorang putri, dan empat putra, serta cucu-cucu. Semua anak beliau, dalam berbagai kapasitas, terlibat dalam pengkhidmatan terhadap jemaat. Beliau adalah adik dari Tn. In‘am Ghori, Nazeer A‘la Qadian, dan ayah dari Tn. Shahmad Ghori, mubaligh Jemaat sekaligus Ketua Jemaat Albania.
Beliau adalah seorang yang teguh dalam menunaikan salat, berpuasa, serta rajin tahajud. Almarhum sangat mencintai Al-Qur’an; beliau sering membacanya dan berusaha untuk menghafalnya. Selama kesehatan masih memungkinkan, setelah menunaikan salat nawafil sebelum Subuh, beliau berkeliling ke rumah-rumah Ahmadi di lingkungan tempat tinggalnya untuk mengetuk pintu mereka, mengajak dan membawa mereka ke masjid untuk salat Subuh berjamaah.
Beliau juga mendapat taufik untuk menunaikan ibadah haji dan umrah.
Beliau berusaha menjalankan setiap perintah Khilafat, baik kecil maupun besar. Beliau selalu berusaha, pertama-tama beliau sendiri harus mengamalkannya, baru kemudian menyampaikan kepada jemaat melalui khotbah. Dengan karunia Allah Taala, beliau dianugerahkan keberhasilan dalam hal itu.
Almarhum juga memberikan pengobatan homeopati. Beliau menyimpan persediaan obat di rumah dan memberikannya secara cuma-cuma kepada para pasien. Dalam hal pengorbanan harta, beliau selalu berada di barisan terdepan.
Seorang kerabat dekat menuturkan bahwa suatu ketika ia memiliki tunggakan Hissa ‘Amad. Almarhum sendiri pergi kepada Sekretaris Mal dan melunasi tunggakan tersebut atas nama kerabatnya itu. Setelah itu beliau menasihatinya agar jangan sampai ada tunggakan lagi dan supaya selalu mendahulukan pembayaran candah.
Beliau sangat menjaga silaturahmi, sering mengumpulkan kerabat di rumah, dan senantiasa hadir dalam suka maupun duka mereka. Almarhum juga sangat menghormati para wakil pusat dan para mubalig.
Beliau mendapat taufik untuk berkhidmat sebagai Naib Amir Hyderabad, Sekretaris Ta‘limul Qur’an, juga sebagai Ketua Jemaat di lingkungannya. Selain itu, beliau pernah menjadi Nazim Ansarullah, serta menjabat sebagai Naib Sadr Majelis Ansarullah India Selatan.
Dengan demikian, beliau memiliki banyak pengkhidmatan terhadap jemaat. Beliau juga senantiasa hadir dalam berbagai Jalsah.
Semoga Allah Taala melimpahkan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau.
Salah seorang putranya, yang saat ini bertugas sebagai mubalig di Albania, tidak dapat hadir pada pemakaman. Semoga Allah Taala menganugerahkan kepadanya kesabaran dan ketabahan.
Salat jenazah untuk keduanya akan dilaksanakan setelah ini.[1]
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ وَنُؤْمِنُ بِهٖ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ – وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَرَسُوْلُهٗ -عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوْ االلهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd., dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim