Peristiwa-Peristiwa dalam Kehidupan Hazrat Rasulullah saw. – Persiapan Perang Tabuk
Khotbah Jumat Sayidina Amirulmukminin, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih Al-Khamis ayyadahullāhu ta’ālā binashrihil ‘azīz, pada 17 Oktober 2025 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهٗ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
أَمَّا بَعْدُ، فَأَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ١ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ٢ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ٣ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ ٤ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ٥ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ٦ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ ٧
Sebagaimana dalam khotbah yang lalu telah disebutkan secara ringkas tentang Gazwah Tabuk, hari ini saya akan memaparkan beberapa rincian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Hazrat Muslih Mau’ud r.a., dalam menjelaskan latar belakang perang ini yaitu Ghazwah Tabuk, bersabda:
Ketika Rasulullah saw. menaklukkan Makkah, ada seorang bernama Abu ‘Amir Madani yang berasal dari suku Khazraj, yang karena pergaulannya dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, ia telah terbiasa dengan zikir dan bacaan-bacaannya, dan karena hal ini orang-orang menyebutnya rahib [pendeta], namun secara agama ia bukanlah seorang Nasrani. Orang ini melarikan diri ke arah Makkah setelah Rasulullah saw. tiba di Madinah. Ketika Makkah juga ditaklukkan, ia mulai berpikir bahwa dirinya harus membuat siasat lain untuk menimbulkan pemberontakan melawan Islam. Akhirnya ia mengubah nama dan penampilannya dan mulai tinggal di sebuah desa bernama Quba yang berada dekat Madinah.
Karena bertahun-tahun tinggal di luar, dan karena melakukan beberapa perubahan pada penampilan dan pakaian, orang-orang Madinah pada umumnya tidak mengenalinya. Hanya orang-orang munafik saja yang mengenalnya, yaitu mereka yang dengannya ia telah menjalin hubungan. Ia mengajukan usulan kepada orang-orang munafik Madinah dengan mengatakan, “Aku akan pergi ke Syam dan menghasut pemerintahan Nasrani serta suku-suku Arab Nasrani dan akan menggerakkan mereka untuk menyerang Madinah. Di sini kalian mulailah menyebarkan isu bahwa pasukan Syam sedang menyerang Madinah (yakni orang-orang munafik yang ada di Madinah hendaklah memulai penyebaran isu ini). Jika rencanaku berhasil, maka akan terjadi pertempuran di antara kedua belah pihak dan jika rencanaku tidak berhasil, maka karena isu ini kaum Muslimin mungkin akan pergi berperang ke Syam dan dengan cara ini akan terjadi peperangan antara mereka dengan pemerintahan Kaisar [Romawi], dan usaha kita akan berhasil. Dalam kedua kondisi tersebut, kita akan mendapat keuntungan”,
Demikianlah perkataan pembuat fitnah ini. Oleh karena itu, setelah melakukan penghasutan ini, orang tersebut pergi ke Syam dan orang-orang munafik Madinah mulai menyebarkan berita-berita ini setiap hari di Madinah bahwa mereka bertemu dengan kafilah tertentu yang memberitahu bahwa pasukan Syam sedang bersiap untuk menyerang Madinah. Keesokan harinya mereka kembali mengatakan bahwa telah bertemu dengan orang-orang dari kafilah tertentu dan mengatakan bahwa pasukan dari Syam akan menyerang Madinah. Berita-berita ini mulai tersebar dengan sangat hebat sehingga Rasulullah saw, menganggap tepat bahwa beliau pun akan pergi dengan pasukan Islam untuk menghadapi pasukan-pasukan Syam.
Ini adalah masa yang sangat sulit bagi kaum Muslimin. Tahun itu adalah tahun kelaparan. Pada musim panen sebelumnya, hanya sedikit biji-bijian dan buah-buahan yang dihasilkan, sementara hasil musim ini belum dipanen. Waktu keberangkatan beliau untuk misi ini adalah akhir September atau awal Oktober.
Orang-orang munafik mengetahui bahwa semua ini adalah kejahatan dan bahwa mereka telah melakukan semua tipu muslihat ini agar jika pasukan Syam tidak menyerang, maka kaum Muslimin pasti akan pergi berperang melawan orang-orang Syam dan dengan demikian mereka akan binasa. Peristiwa Perang Mu’tah ada di hadapan mereka. pada waktu itu kaum Muslimin harus menghadapi pasukan yang begitu besar, walaupun akhirnya dapat selamat dengan susah payah setelah menderita kerugian yang sangat besar. Sekarang mereka ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri Mu’tah kedua di mana menurut pikiran mereka Rasulullah saw. sendiri juga akan syahid na‘ūżu billāh. Oleh karena itu, di satu sisi orang-orang munafik setiap hari menyebarkan isu bahwa dari sumber tertentu mereka mendapat informasi bahwa musuh akan menyerang; dari sumber tertentu kami mendapat informasi bahwa pasukan-pasukan Syam sedang datang, di sisi lain, mereka menakut-nakuti semua orang bahwa menghadapi pasukan yang begitu besar tidaklah mudah, kalian tidak seharusnya pergi untuk berperang.
Melalui tindakan-tindakan ini tujuan mereka adalah bahwa kaum Muslimin dapat saja pergi untuk menyerang Syam, tetapi sedapat mungkin pergi dengan jumlah yang paling sedikit agar kekalahan mereka menjadi semakin pasti. Jika jumlah mereka sedikit, kekalahan akan menjadi pasti. Bagaimanapun juga, mengingat berita-berita yang datang, maka Rasulullah saw., setelah meninjau berbagai keadaan dan peristiwa yang terjadi, beliau sampai pada kesimpulan bahwa jika beliau menunda menghadapi orang-orang Romawi atau memberi mereka kesempatan untuk memasuki wilayah-wilayah yang berada di bawah pengaruh kaum Muslimin, maka kerugiannya akan lebih besar; oleh karena itu, meskipun dalam kesempitan dan kesulitan, beliau memutuskan bahwa tanpa memberi kesempatan kepada orang-orang Romawi untuk maju, beliau sendiri akan pergi ke wilayah mereka dan berperang melawan mereka dalam suatu peperangan yang menentukan.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. di suatu tempat menjelaskan hal ini dengan cara berikut:
Ketika isu-isu ini sampai kepada Rasulullah saw., maka beliau memerintahkan, “Daripada orang-orang Romawi menyerang kita dan menyerbu kita, kita hendaknya pergi ke perbatasan untuk menghadang mereka.” Beliau lalu memerintahkan kaum Muslimin untuk bersiap-siap. Sebelumnya, satu rujukan telah saya berikan dari sebuah kitab sejarah. Ini adalah dari Hazrat Muslih Mau’ud r.a. Bagaimanapun juga, Rasulullah saw. biasanya menjaga kerahasiaan misi-misi peperangan, tetapi setelah misi Khaibar, misi Tabuk adalah sedemikian rupa sehingga beliau saw. membuat pengumuman secara terbuka dan sejak awal memberitahukan tentang kesulitan-kesulitan kelak di perjalanan dan banyaknya musuh; alhasil, beliau menasihati untuk bersiap-siap; riwayat ini terdapat dalam Bukhari.
Bersamaan dengan itu, Rasulullah saw. mengirim orang-orang ke Makkah dan suku-suku Arab yang lain agar mereka bergabung dalam pasukan. Di sisi lain, beliau menekankan kepada siapa saja yang memiliki kelapangan harta agar membelanjakan harta mereka di jalan Allah. Rasulullah saw. mengirim pesan kepada berbagai suku untuk bergabung dalam peperangan dan mengirim para utusan beliau kepada berbagai suku sebagaimana telah disebutkan. Maka Hazrat Buraidah bin Usaid r.a. diutus kepada suku Bani Aslam; Hazrat Abu Rahm Ghifari r.a. kepada kaumnya, Bani Ghifar; Hazrat Abu Waqid Laitsi r.a. kepada kaumnya, Bani Laith; Hazrat Abu Ja’d Zamri r.a. kepada kaumnya; Hazrat Rafi’ bin Muqais r.a. diutus kepada Juhainah, demikian pula Hazrat Nu’aim bin Mas’ud r.a. kepada Bani Asja’, dan Hazrat Budail bin Warqa’ r.a., Hazrat ‘Amr bin Salim r.a., dan Busr bin Sufyan r.a. kepada Bani Ka’b dan Bani ‘Amr, dan demikian pula Hazrat ‘Abbas bin Mirdas r.a. diutus kepada Bani Sulaim.
Pada waktu itu di Madinah terdapat suasana ketakutan dan kecemasan yang besar, dan sebabnya adalah bahwa musuh yang kuat itu dapat menyerang kapan saja; maka menurut sebuah riwayat Bukhari, Hazrat Umar r.a. menuturkan, “Kami saling berbincang bahwa seorang Raja Ghassani telah memasang sepatu pada kuda-kudanya untuk berperang melawan kami.” Maksudnya, ia telah melakukan persiapan penuh, dan dalam sebuah riwayat Bukhari juga terdapat pernyataan Hazrat Umar r.a., “Kami merasa takut kepada seorang Raja Ghassani. Kami diberi kabar bahwa ia sedang mempersiapkan diri untuk menyerang kami. Dalam suasana ini dada kami dipenuhi ketakutan.”
Bagaimanapun, meskipun demikian, tampak jelas kesiapan para sahabat dan peristiwa pengorbanan harta yang menggugah iman. Dalam rinciannya tertulis sebagai berikut. Bersamaan dengan ketakutan dan kecemasan ini, Madinah pada waktu itu menghadapi kekeringan yang parah, sementara tanaman serta buah-buahan sudah akan dipanen. Dalam kekeringan ini, ketika pengumuman untuk berangkat jihad diumumkan, orang-orang sedang memikirkan dan mempersiapkan diri untuk memanen tanaman mereka. Selain itu, musim panas yang sangat terik dan perjalanan sejauh ratusan mil, serta kesulitan bekal perjalanan adalah masalah tersendiri. Meskipun adanya semua masalah ini, ketika Rasulullah saw. mengumumkan untuk berangkat jihad, maka orang-orang yang rela mengorbankan jiwanya ini, yang merupakan perwujudan ketulusan dan kesetiaan, mulai mempersiapkan perjalanan dengan meninggalkan tanaman mereka yang sudah siap panen dan buah-buahan yang sudah matang.
Meskipun persiapan perjalanan yang begitu panjang bukanlah perkara mudah bagi para sahabat yang tulus namun miskin ini, dan Rasulullah saw. juga sangat mengetahui kesulitan-kesulitan pada saat-saat tersebut, beliau saw. tetap memberikan seruan untuk pengorbanan harta dengan mendorong orang-orang muslim yang memiliki kelapangan untuk infāq fī sabīlillāh, dan menyediakan tunggangan dengan bersabda:
مَنْ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ فَلَهُ الْجَنَّةُ
Barangsiapa yang memberikan perbekalan dan perlengkapan kepada Jaisy al-‘usrah [Pasukan yang penuh kesulitan], yaitu pasukan Perang Tabuk, maka baginya Surga.
Pada kesempatan ini orang yang pertama kali datang membawa harta adalah Hazrat Abu Bakar Siddiq r.a. Beliau membawa seluruh harta dari rumahnya yang berjumlah 4.000 dirham. Rasulullah saw. bertanya kepada Hazrat Abu Bakar r.a., “Apakah Anda meninggalkan sesuatu untuk keluarga Anda atau tidak?” Maka beliau menjawab, “Untuk keluarga, saya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya.”
Dalam satu riwayat, Hazrat Umar r.a. menuturkan, “Rasulullah saw memerintahkan kami untuk bersedekah dan pada waktu itu saya memiliki harta. Saya sebelumnya tidak pernah dapat mengungguli Abu Bakar, oleh karena itu pada hari ini saya akan mengunggulinya. Saya membawa separuh harta, maka Rasulullah saw bersabda, ‘Apa yang Anda tinggalkan untuk keluarga?’ Saya menjawab, ‘Sebanyak yang saya bawa, sebanyak itu pula yang saya tinggalkan untuk keluarga.’ Sementara itu Abu Bakar membawa semua yang beliau miliki. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, apa yang engkau tinggalkan untuk keluarga?’ (Yakni beliau saw. bertanya di hadapan Hazrat Umar r.a.) Hazrat Abu Bakar r.a. menjawab, “Saya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya saw untuk mereka.” Hazrat Umar r.a. menuturkan, “Saya berkata, ‘Demi Allah, saya tidak akan pernah dapat mendahului beliau dalam hal apapun.'”
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. juga telah menyebutkan peristiwa ini dengan cara beliau sendiri sebagai berikut. Berkenaan dengan suatu peperangan, Hazrat Umar r.a. menuturkan, “Saya berpikir bahwa Hazrat Abu Bakar r.a. selalu mengungguli saya, maka hari ini saya akan mengunggulinya. Dengan pemikiran ini saya pulang ke rumah, dan dari seluruh harta saya, saya keluarkan separuh harta dan membawanya untuk dipersembahkan di hadapan Rasulullah saw. Masa itu adalah masa yang sangat sulit bagi Islam, akan tetapi Hazrat Abu Bakar r.a. membawa seluruh harta beliau dan mempersembahkannya di hadapan Rasulullah saw. Rasulullah saw bertanya, “Abu Bakar, apa yang engkau tinggalkan di rumah?” Beliau menjawab, “Allah dan Rasul-Nya.” Hazrat Umar r.a. berkata: Mendengar ini, saya merasa sangat malu dan saya memahami bahwa hari ini saya telah berusaha sekuat tenaga untuk mengungguli Abu Bakar, tetapi hari ini pun Abu Bakar telah mendahului saya.”
Kemudian mengenai pengorbanan harta Hazrat Usman r.a., terdapat satu riwayat dimana Hazrat Abdur Rahman bin Habbab r.a. meriwayatkan, “Saya hadir di hadapan Rasulullah saw. dan beliau sedang menyerukan mengenai Jaisy al-‘usrah, maka Hazrat Usman bin Affan r.a. berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah saw., saya menanggung seratus unta beserta perlengkapannya di jalan Allah.”
Kemudian beliau saw. memberikan seruan lagi mengenai pengiriman pasukan tersebut, lalu Hazrat Usman bin Affan r.a. berdiri lagi untuk kedua kalinya dan berkata, “Wahai Rasulullah saw., saya menanggung 200 unta beserta perlengkapannya di jalan Allah.” Kemudian beliau saw. memberikan himbauan lagi mengenai pengiriman pasukan, maka setelah ini, Hazrat Usman bin Affan r.a. berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah saw., saya menanggung 300 unta beserta perlengkapannya di jalan Allah.” Saya melihat Rasulullah saw. turun dari mimbar dan bersabda,
مَا عَلٰى عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ هٰذِهِ – مَا عَلٰى عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ هٰذِهِ
“Tidak ada tuntutan atas ‘Utsman atas apa pun yang ia lakukan setelah ini. Tidak ada tuntutan atas ‘Utsman atas apa pun yang ia lakukan setelah ini.”
Dalam riwayat lain disebutkan, Hazrat Abdurrahman bin Samrah r.a. Meriwayatkan bahwa Hazrat Usman r.a. mempersembahkan seribu dinar di hadapan Rasulullah saw. ketika beliau mempersiapkan Jaisyul ‘Usrah dan Hazrat Utsman r.a. meletakkannya di pangkuan beliau. Hazrat Abdur Rahman r.a. berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. membolak-balik dinar-dinar itu di pangkuan beliau dan bersabda,
مَا ضَرَّ عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ الْيَوْمِ
“Tidak akan membahayakan ‘Utsman apa pun yang ia lakukan setelah hari ini.” Beliau saw. bersabda demikian dua kali.
Menurut satu riwayat, Hazrat Usman r.a. memberikan 10.000 dinar pada saat itu, maka Rasulullah saw. berdoa untuk Hazrat Usman r.a.:
غَفَرَ اللّٰهُ لَكَ يَا عُثْمَانُ مَا أَسْرَرْتَ وَمَا أَعْلَنْتَ وَمَا هُوَ قَائِمٌ إِلٰى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، مَا يُبَالِي مَا عَمِلَ بَعْدَهَا
Yakni, “Wahai Usman, semoga Allah mengampuni engkau atas apa yang engkau lakukan secara tersembunyi dan apa yang engkau lakukan secara terang-terangan dan apa yang akan terjadi hingga Hari Kiamat. Setelah ini, apa pun perbuatan yang ia lakukan, ia tidak perlu khawatir.”
Menurut satu riwayat, Hazrat Usman r.a. mempersembahkan 1.000 unta dan 70 kuda untuk persiapan perang ini. Menurut satu riwayat, Rasulullah saw. berdoa untuk Hazrat Usman r.a. pada kesempata tersebut:
اللّٰهُمَّ ارْضَ عَنْ عُثْمَانَ فَإِنِّي عَنْهُ رَاضٍ
“Wahai Allah, ridailah Usman karena aku juga rida kepadanya.”
Ibnu Ishaq r.a. menyatakan, “Hazrat Utsman r.a. menyerahkan begitu banyak uang pada kesempatan Gazwah Tabuk sehingga tidak ada sahabat lain yang dapat menyerahkan uang sebanyak itu. Ketika satu kafilah dagang Hazrat Utsman r.a. kembali dari negeri Syam dengan membawa banyak keuntungan, maka beliau mengambil tanggung jawab atas sepertiga dari seluruh pengeluaran pasukan. Hazrat Utsman r.a. berkata, “Sepertiga dari pasukan akan saya tanggung biayanya”. Hazrat Usman r.a. menyediakan perlengkapan untuk lebih dari 10.000 pasukan dan mengatur sedemikian rupa sehingga bahkan satu tali pengikat untuk setiap prajurit juga dibiayai dari beliau sendiri, yakni bahkan untuk barang yang terkecil sekalipun. Untuk keperluan tersebut, 10.000 dinar beliau serahkan, dan ini di luar unta dan kuda. Selain itu, ada 1.000 unta, 100 kuda, dan perlengkapannya, beserta 1.000 dinar juga dipersembahkan di hadapan Rasulullah saw. 1.000 dinar ini terpisah dari 10.000 dinar yang telah beliau keluarkan untuk persiapan 10.000 prajurit.
Pada kesempatan ini, Hazrat Abdur Rahman bin Auf r.a. mempersembahkan 100 uqiyah perak. Menurut beberapa riwayat, beliau menyerahkan 200 uqiyah perak. Uqiyah adalah satuan berat yang setara dengan sepuluh setengah tola, yakni antara 1.050 hingga 2100 tola perak atau antara 1,25 kilogram hingga 2,5 kilogram perak, jika dibandingkan dengan zaman sekarang. Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah suatu khazanah dari antara khazanah-khazanah Allah di muka bumi, yang menyerahkan hartanya demi keridaan Allah”. Mereka telah memberikan banyak harta.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Hazrat Abdurrahman bin Auf r.a. mempersembahkan 400 uqiyah emas, yakni 4.200 tola emas; sebagian juga ada menyebutkan beliau memberikan 900 unta. Alhasil, diriwayatkan bahwa beliau banyak memberikan pengorbanan-pengorbanan. Menurut satu riwayat, Hazrat Abdur Rahman bin Auf r.a. menghadap Rasulullah saw. dan berkata, “Saya memiliki 8.000 dirham; 4.000 dirham telah saya simpan untuk keluarga dan 4.000 saya persembahkan di hadapan Engkau.” Rasulullah saw memberikan doa keberkatan kepada beliau dengan bersabda,
بَارَكَ اللّٰهُ فِيمَا أَمْسَكْتَ وَفِيمَا أَعْطَيْتَ
Yakni, “Semoga Allah memberikan keberkahan dalam harta yang telah engkau simpan untuk keluarga dan yang telah engkau berikan di jalan Allah.”
Hazrat Asim bin Adi r.a. mempersembahkan 70 wasaq kurma. 1 wasaq setara dengan 60 sha’, dan 1 sha’ kira-kira 3 ser, yakni keseluruhannya sekitar 12.600 kilogram kurma. Di antara mereka, yang membawa harta ke hadapan Rasulullah saw., ada nama-nama seperti Hazrat Abbas bin Abdul Muttalib r.a., Hazrat Talhah bin Ubaidullah r.a., Hazrat Sa’d bin Ubadah r.a., dan Hazrat Muhammad bin Maslamah r.a. juga tercatat dalam hal pengorbanan-pengorbanan yang besar.
Hazrat Masih Mau’ud a.s. bersabda:
“Dahulu ada suatu masa ketika kaum Muslimin mengorbankan nyawa mereka di jalan agama Ilahi seperti halnya kambing dan domba, apalagi harta benda. Hazrat Abu Bakar Siddiq r.a. lebih dari satu kali mengorbankan seluruh harta kekayaannya, bahkan tidak menyisakan sebuah jarum pun di rumahnya. Demikian pula Hazrat Umar r.a. sesuai dengan kemampuan dan kelapangan hatinya, dan Hazrat Usman sesuai dengan kekuatan dan kedudukannya, ‘alā hāẓal-qiyās [demikian seterusnya para sahabat lainnya] sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Seluruh sahabat siap berkorban dengan jiwa dan harta mereka di jalan agama Ilahi ini.”
Kemudian Beliau as. bersabda: Allah Taala berfirman,
لَن تَنَالُوا۟ ٱلْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا۟ مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kalian sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai.” (Ali Imran: 83)
“Selama kalian tidak menginfakkan harta yang paling kalian cintai di jalan Allah Jalla Sya’nuhū, maka kalian tidak akan memperoleh kebajikan, dan para sahabat telah menginfakkan harta mereka untuk meraih kebajikan-kebajikan itu.”
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. bersabda:
“Para Sahabat terkadang menjual harta benda di rumah mereka untuk memenuhi biaya peperangan, bahkan terlihat bahwa terkadang mereka menjual properti mereka dan membelanjakannya untuk orang lain serta menyediakan semua keperluan bagi mereka yang berangkat ke medan perang. Suatu ketika Rasulullah saw. bersabda di hadapan orang-orang, ‘Pasukan kita akan berangkat untuk misi tertentu, tetapi orang-orang mukmin tidak memiliki apa-apa. Adakah di antara kalian yang siap meraih pahala?’ Hazrat Usman r.a. segera bangkit setelah mendengar ini, mengeluarkan uang yang ditabungnya dan mempersembahkannya di hadapan Rasulullah saw. untuk biaya kaum Muslimin. Ketika Rasulullah saw. melihat ini, maka beliau bersabda, ‘Usman telah membeli surga.’”
Hazrat Khalifatul Masih III r.h. menyebutkan peristiwa ini dalam salah satu khotbahnya saat membahas mengenai pengorbanan harta:
“Pada suatu kesempatan diperlukan banyak harta untuk persiapan perang, sedangkan pada masa itu juga tengah terjadi kesulitan keuangan. Memang demikianlah dunia ini, terkadang ada masa kelimpahan dan terkadang ada masa kesulitan. Saat itu adalah masa kesulitan dan dibutuhkan perlengkapan untuk perang. Rasulullah saw. menyampaikan segala yang dibutuhkan ini di hadapan para sahabat dan menyerukan kepada mereka untuk mempersembahkan pengorbanan harta yang hasilnya adalah Hazrat Abu Bakar Siddiq r.a. datang membawa seluruh hartanya. Hazrat Umar r.a. datang membawa separuh hartanya; Hazrat Usman r.a. berkata, ‘Mohon terimalah persembahan saya ini, saya akan menanggung seluruh biaya sepuluh ribu Sahabat.’ Selain itu beliau memberikan sebanyak 1.000 unta dan 70 kuda. Demikian pula, semua Sahabat yang tulus mempersembahkan pengorbanan harta sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan mereka masing-masing dan Allah Taala menganugerahkan hasil terbaik dari pengorbanan-pengorbanan tersebut.”
Allah Taala telah memberikan karunia yang besar bahwa para anggota Jemaat Ahmadiyah memahami apa pentingnya pengorbanan-pengorbanan harta. Saya sering menyebutkan dalam berbagai kesempatan bahwa sebagian Ahmadi telah secara hakiki mengorbankan apa pun yang mereka miliki. Orang-orang yang kaya dan yang berkemampuan pun harus menjadikan teladan Hazrat Abu Bakar r.a., Hazrat Umar r.a., dan Hazrat Usman r.a. di hadapan mereka dan kemudian meningkatkan standar pengorbanan mereka. Orang-orang yang miskin dan kelas menengah, mereka sudah melakukan pengorbanan. Atas karunia Allah Taala, ada banyak orang-orang kaya yang melakukan pengorbanan dengan standar tinggi; mereka yang masih lemah juga harus tampil ke depan untuk penyebaran agama. Pada zaman ini, mereka juga memiliki kesempatan untuk melakukan pengorbanan. Para sahabat r.a. telah mempersembahkan hartanya sejauh yang mungkin dilakukan dan menyediakan tunggangan, senjata, dan perlengkapan perang lainnya untuk para prajurit yang miskin dan tidak mampu. Beberapa sahabat yang miskin atau sahabat wanita, ketika hanya mempersembahkan 1 atau 2 mudd gandum, hati mereka penuh dengan keinginan, seandainya mereka memiliki lebih banyak harta maka mereka akan mempersembahkannya juga, tetapi orang-orang munafik justru menertawakan mereka dan berkata bahwa orang-orang ini [bermimpi] akan mengalahkan Kaisar Romawi dengan segenggam biji-bijian ini. Mudd adalah takaran yang sangat kecil, setara dengan beberapa genggaman. Mengenai ejekan orang-orang munafik ini, Allah Taala berfirman:
اَلَّذِيْنَ يَلْمِزُوْنَ الْمُطَّوِّعِيْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ فِى الصَّدَقٰتِ وَالَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ اِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُوْنَ مِنْهُمْ ۗسَخِرَ اللّٰهُ مِنْهُمْ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
Yakni, “Orang-orang yang mencela orang-orang beriman yang dengan tulus hati bersedekah, dan juga memperolok orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa kecuali hasil jerih payah mereka sendiri — maka mereka pun mengejek mereka. Allah akan membalas ejekan mereka itu, dan bagi mereka telah disiapkan azab yang pedih.” (At-Taubah: 79)
Kemudian, para sahabat yang melakukan pengorbanan harta dengan rela bekerja keras, di antaranya adalah Hazrat Abu Aqil r.a. yang menimba air dari sumur sepanjang malam dan akhirnya memperoleh 2 sha’ kurma. 1 sha’ kira-kira setara dengan 2,5 kg, artinya total 5 kg kurma diperoleh. Dari jumlah tersebut, 1 sha’ disimpan untuk keluarganya dan 1 sha’ kurma dibawa untuk dipersembahkan kepada Rasulullah saw. Ini adalah pengorbanan, sesuai dengan apa yang mampu mereka lakukan.
Hazrat Muslih Mau’ud r.a. pada suatu tempat menyatakan:
Rasulullah saw. suatu kali menyampaikan seruan pengorbanan harta, maka seorang sahabat pergi melakukan kerja fisik, mungkin ia pergi ke sumur seseorang untuk menimba air dan sebagai imbalannya memperoleh setengah seer atau 3 pau biji-bijian yang kemudian ia serahkan sebagai pengorbanan harta. Pada saat itu dibutuhkan ribuan rupiah, namun orang-orang munafik menertawakan dan berkata bahwa inilah yang mereka persiapkan untuk perang; ini adalah peristiwa perang Tabuk yang akan melawan bangsa Romawi dan pemerintahan Romawi pada masa itu adalah seperti halnya pemerintahan Inggris saat ini.
Ketika Hazrat Muslih Mau’ud r.a. menyampaikan hal ini, pada waktu itu Inggris adalah negara adidaya di dunia. Untuk berperang melawan pemerintahan yang begitu besar, sahabat tersebut membawa beberapa genggam gandum untuk dipersembahkan. Orang-orang munafik menertawakan hal ini. Tetapi, ketika Rasulullah saw. mengetahui tentang hal ini, beliau bersabda, “Apa yang mereka ketahui tentang nilai gandum ini dalam pandangan Allah?”; jadi, gandum inilah yang memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dan membawa kekalahan kepada bangsa Romawi, dan bukan hanya kepada bangsa Romawi, tetapi juga kepada bangsa Persia yang pemerintahannya juga setara dengan pemerintahan Romawi; kaum Muslimin juga telah mengalahkan mereka.
Kemudian ada juga riwayat tentang suatu peristiwa luar biasa dari seorang sahabat. Sebagaimana telah disebutkan bahwa dalam persiapan untuk perang ini, para sahabat yang tulus, dengan berbagai cara, sibuk dalam upaya-upaya mereka untuk ikut serta dalam persiapan misi dan gerakan pengorbanan harta ini. Para sahabat yang kaya mempersembahkan harta dan kekayaan mereka; para sahabat yang miskin mempersembahkan upah dari kerja keras yang mereka peroleh meskipun sedikit jumlanya. Dalam keadaan-keadaan ini, disebutkan seorang sahabat, Hazrat ‘Urwah bin Zaid r.a. Beliau menempuh suatu cara yang begitu tulus dan sederhana untuk memperoleh keridaan Allah Taala dan ini berbeda dari semua orang lainnya. Beliau miskin dan tidak memiliki apa pun untuk dipersembahkan dan tidak pula memiliki kekuatan untuk ikut serta dalam jihad. Oleh karena itu, pada suatu malam beliau berdiri untuk salat dan sambil menangis dengan merintih memanjatkan doa, “Ya Allah, Engkau telah memerintahkan untuk berjihad dan memberikan dorongan untuk itu, tetapi aku tidak memiliki apa-apa dan Rasul Engkau saw. juga tidak memiliki cukup perlengkapan yang dapat beliau berikan kepadaku sehingga aku dapat pergi dan berperang. Dan Nabi Engkau telah menyerukan untuk pengorbanan harta, tetapi aku tidak dapat ikut serta dalam hal ini juga, namun aku mengampuni setiap kezaliman dan penindasan yang terjadi terhadap nyawa, harta, dan kehormatanku dan aku menyedekahkan itu kepada kaum Muslimin. Ketika pagi tiba, ia hadir bersama para Sahabat lainnya di hadapan Rasulullah saw.. Beliau bertanya, “Di mana orang yang tadi malam menyedekahkan kehormatannya?” Karena tidak ada yang berdiri, beliau bertanya lagi tetapi tetap tidak ada yang berdiri. Akhirnya Hazrat Urwah r.a. berdiri dan menyampaikan semuanya kepada beliau. Beliau bersabda:
أَبْشِرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ كُتِبْتَ فِي الزَّكٰوةِ الْمُتَقَبَّلَةِ
“Bergembiralah, aku bersumpah demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, engkau telah ditulis di antara orang-orang yang sedekahnya telah diterima.”
Alangkah indah dan istimewanya keikhlasan dan semangat pengorbanan ini, dan Allah Taala yang mengetahui keadaan di dalam hati, dan Maha mengetahui segala hal, Dia pun telah menerima gejolak semangat yang dimiliki oleh sahabat ini dan memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw.
Para wanita juga tidak tertinggal pada kesempatan ini dan mempersembahkan perhiasan-perhiasan mereka untuk persiapan perang ini. Hazrat Ummu Sinan Aslamiyyah r.a. menuturkan, “Aku melihat sebuah kain digelar di hadapan Rasulullah saw. di rumah Siti Aisyah r.a. yang di dalamnya terdapat wewangian, gelang lengan, gelang tangan, sisir, cincin, dan gelang kaki yang semuanya telah diberikan oleh para wanita untuk persiapan jihad kaum Muslimin.
Bagaimanapun, di satu sisi ini adalah keadaan para sahabat yang beriman dan tulus ikhlas, sementara itu di sisi lain pada saat itu orang-orang munafik juga telah mengerahkan seluruh kekuatan mereka, dan ini adalah tipu daya dan rencana keji terakhir dari pihak orang-orang munafik, dan mereka sangat yakin akan keberhasilan mereka. Mereka berkeyakinan bahwa kaum Muslimin akan berangkat dalam perjalanan panjang menuju Syam, dan dengan keji mereka juga yakin bahwa, na‘ūżu billāh, Rasulullah saw. tidak akan dapat kembali ke Madinah, oleh karena itu sekarang seluruh upaya mereka adalah agar sedikit mungkin kaum Muslimin yang berangkat bersama Rasulullah saw., dan menurut pemikiran mereka, semakin sedikit jumlah kaum Muslimin yang ikut dalam pasukan, maka kekalahan serta kematian pasukan ini akan semakin pasti. Oleh karena itu mereka membesar-besarkan kesulitan dan kesempitan yang terjadi pada saat itu dan juga hambatan-hambatan di perjalanan. Mereka lantas menakut-nakuti kaum Muslimin. Dengan berbagai alasan seperti cuaca yang sangat panas, perjalanan yang sangat panjang, sarana perjalanan yang sangat terbatas, mereka terus membujuk agar orang-orang Islam tidak ikut serta.
Karena sebagian besar penduduk Madinah bekerja sebagai petani, saat itu tanaman sudah siap dipanen, dan saat itu adalah masa paceklik, kemudian mereka [orang-orang munafik], di berbagai tempat di Madinah berbicara kepada kaum Muslimin, “Kalian tidak tahu bahwa betapa kuatnya pasukan yang akan kalian hadapi sekarang, dan betapa ahlinya mereka dalam berperang. Melawan mereka bukanlah pekerjaan yang mudah. Kami melihat bahwa kalian semua akan terbunuh atau kalian semua akan menjadi tawanan mereka”. Beginilah biasanya orang-orang munafik berkata.
Meskipun propaganda orang-orang munafik ini tidak berpengaruh terhadap orang-orang mukmin yang berderajat tinggi dan penuh keikhlasan, namun hati sebagian orang yang lemah imannya menjadi begitu ketakutan sehingga mereka mulai mengajukan berbagai alasan dan dalih untuk tidak pergi berperang, akan tetap sebagian besar orang-orang yang mengajukan alasan seperti itu adalah orang-orang munafik. Al-Qur’an menyebutkan tentang usaha orang-orang munafik ini, dan tentang mereka yang tertinggal dengan berbagai alasan, yaitu:
فَرِحَ الْمُخَلَّفُوْنَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلٰفَ رَسُوْلِ اللّٰهِ وَكَرِهُوْٓا اَنْ يُّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَقَالُوْا لَا تَنْفِرُوْا فِى الْحَرِّۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ اَشَدُّ حَرًّاۗ لَوْ كَانُوْا يَفْقَهُوْنَ
فَلْيَضْحَكُوْا قَلِيْلًا وَّلْيَبْكُوْا كَثِيْرًاۚ جَزَاۤءًۢ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Orang-orang munafik yang tinggal di belakang dari (keikutsertaan dalam) jihad merasa sangat senang duduk di tempat mereka karena mereka mendurhakai perintah Rasulullah; mereka menganggap buruk berjihad dengan jiwa dan harta mereka, dan saling berkata, “Janganlah kalian keluar menghadapi peperangan pada panas yang amat terik ini.” Katakanlah kepada mereka: “Api neraka lebih dahsyat panasnya daripada itu.” alangkah baiknya kalau mereka mengerti. Maka biarkanlah mereka tertawa sedikit atas tipu daya mereka itu, dan biarlah mereka banyak menangis atas balasan perbuatan mereka.” (At-Taubah: 81-82)
Menurut riwayat-riwayat, orang-orang ini menghadap kepada Rasulullah saw dan mengajukan berbagai alasan untuk tidak pergi berjihad dan meminta izin agar mereka tidak pergi.
Rasulullah saw. pun memberikan izin kepada mereka. Ada lebih dari 80 orang yang dengan berbagai alasan dan dalih berhasil memperoleh izin untuk tidak ikut berangkat. Mereka ini berbeda dengan kelompok munafik yang bersama Abdullah bin Ubay dan lainnya.
Allah Taala menyingkap semua alasan palsu kaum munafik itu dan menjelaskannya secara terang-terangan dalam Al-Qur’an, bahwa ketertinggalan mereka disebabkan oleh lemahnya iman, dan bahwa mereka berdusta dalam alasan yang mereka kemukakan.
Ketika ayat-ayat tentang mereka diturunkan dalam Al-Qur’an, maka pada saat itu juga setiap orang mendapat peringatan untuk masa yang akan datang: bahwa apabila dari pihak imam datang suatu seruan atau ajakan, maka harus segera menyambutnya dengan semangat, melangkah maju, dan berusaha sekuat tenaga untuk ikut serta dalam panggilan itu.
Karena itu, Allah Taala berfirman:
لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيْبًا وَّسَفَرًا قَاصِدًا لَّاتَّبَعُوْكَ وَلٰكِنْۢ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُۗ وَسَيَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْۚ يُهْلِكُوْنَ اَنْفُسَهُمْۚ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ ࣖ
عَفَا اللّٰهُ عَنْكَۚ لِمَ اَذِنْتَ لَهُمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَتَعْلَمَ الْكٰذِبِيْنَ
لَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ اَنْ يُّجَاهِدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌۢ بِالْمُتَّقِيْنَ
اِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوْبُهُمْ فَهُمْ فِيْ رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُوْنَ
وَلَوْ اَرَادُوا الْخُرُوْجَ لَاَعَدُّوْا لَهٗ عُدَّةً وَّلٰكِنْ كَرِهَ اللّٰهُ انْۢبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيْلَ اقْعُدُوْا مَعَ الْقٰعِدِيْنَ
لَوْ خَرَجُوْا فِيْكُمْ مَّا زَادُوْكُمْ اِلَّا خَبَالًا وَّلَاَوْضَعُوْا خِلٰلَكُمْ يَبْغُوْنَكُمُ الْفِتْنَةَۚ وَفِيْكُمْ سَمّٰعُوْنَ لَهُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌۢ بِالظّٰلِمِيْنَ
لَقَدِ ابْتَغَوُا الْفِتْنَةَ مِنْ قَبْلُ وَقَلَّبُوْا لَكَ الْاُمُوْرَ حَتّٰى جَاۤءَ الْحَقُّ وَظَهَرَ اَمْرُ اللّٰهِ وَهُمْ كٰرِهُوْنَ
“Jika jarak itu dekat dan perjalanan mudah, niscaya mereka akan mengikutimu; tetapi menanggung kesusahan sangatlah jauh dari [kesiapan] mereka. Mereka bersumpah dengan nama Allah, “Seandainya kami diberi kemampuan, niscaya kami pasti akan keluar bersama kalian.” Mereka sedang menjerumuskan diri mereka sendiri. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka adalah orang-orang pendusta.”
“Allah akan menghilangkan [akibat-akibat buruk] kesalahan engkau. Mengapa engkau memberikan izin kepada mereka sebelum engkau dapat membedakan dengan jelas siapa yang berkata benar dan engkau pun mengenali orang-orang yang berdusta.”
“Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak meminta izin kepada engkau untuk tidak berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Dan Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang bertakwa.”
“Hanya orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir sajalah yang meminta izin dari engkau; hati mereka diliputi keragu-raguan dan mereka bimbang dalam keraguan mereka itu. Seandainya mereka berniat untuk keluar berjihad, tentulah mereka sudah menyiapkannya; namun Allah tidak menghendaki agar mereka bangkit untuk tujuan mulia itu, maka Dia membiarkan mereka tetap di tempatnya dan dikatakan kepada mereka, “Tinggal dan duduklah bersama orang-orang yang duduk.”
“Seandainya mereka turut bersama kalian pergi berjihad, mereka tidak akan menambah apa pun bagi kalian kecuali kekacauan; mereka akan memacu hewan-hewan tunggangan yang cepat di tengah-tengah kalian dengan menghendaki kekacauan bagi kalian, padahal di antara kalian ada orang-orang yang mendengarkan dengan saksama perkataan mereka. Dan Allah sangat mengetahui orang-orang zalim.”
“Sesungguhnya dahulu pun mereka menghendaki fitnah itu dan mereka memutarbalikkan urusan di hadapan engkau, sampai kebenaran datang dan ketetapan Allah menjadi nyata, padahal mereka sangat membencinya.” (At-Taubah: 42-48)
Alhasil, di dalamnya Allah Taala menjelaskan secara terang-terangan keadaan kaum munafik, dan berfirman kepada Rasulullah saw., “Engkau telah menerima alasan-alasan palsu mereka. Seandainya engkau tidak menerima dan tidak memberi izin, tentu kemunafikan mereka akan terbuka dan diketahui oleh semua orang.” Bagaimanapun juga, mereka tetap tidak akan berangkat ke medan perang. Namun demikian, Allah Taala berfirman bahwa tidak berangkatnya mereka itu justru lebih baik, karena jika mereka pergi pun, niscaya mereka akan melakukan hal-hal yang dapat merugikan kaum Muslimin di tengah peperangan.
Singkatnya, hasil akhirnya tidak terjadi sesuai dengan keinginan kaum munafik itu. Rinciannya yang lain, insyaallah, akan saya jelaskan pada kesempatan mendatang.
Dalam khotbah sebelumnya, saya telah menyebutkan tentang serangan yang terjadi di masjid Rabwah. Hendaknya kita berdoa bagi para Ahmadi dan Khuddam yang menjadi korban luka agar Allah Taala menganugerahkan kesembuhan yang sempurna kepada mereka, serta menyelamatkan mereka dari segala kesulitan.
Saat ini, tiga orang Khadim masih dalam kondisi luka yang cukup parah dan sedang dirawat di rumah sakit, sementara lima orang lainnya telah mendapatkan perawatan dan dipulangkan ke rumah. Namun demikian, luka-luka mereka tetap memerlukan waktu untuk benar-benar sembuh.
Semoga Allah Taala menganugerahkan kesembuhan yang sempurna kepada semuanya, dan melindungi seluruh anggota Jemaat dari segala bentuk kejahatan dan kerugian di mana pun mereka berada.
Setelah salat, saya akan memimpin salat jenazah gaib untuk yang terhormat almarhum Tuan Sam Ali Nina dari Kepulauan Marshall. Beliau wafat beberapa hari yang lalu di usia 83 tahun di California, Amerika Serikat. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.
Beliau pertama kali berkenalan dengan Islam melalui tablig yang disampaikan oleh Tuan Hafiz Jibril Saeed, mubalig kita, pada tahun 1980-an. Saat itu juga beliau menerima Islam dan Ahmadiyah. Meskipun menghadapi banyak penentangan, beliau tetap teguh dan berpegang kuat pada imannya.
Ketika seorang senator di parlemen menyatakan bahwa Islam adalah agama ilegal dan terkait dengan terorisme, beliau dengan penuh keberanian menulis pernyataan di surat kabar setempat, menyampaikan bahwa “Kami adalah Muslim Ahmadi, dan kami tidak memiliki hubungan apa pun dengan terorisme.” Pernyataan berani beliau ini menjadi sumber kekuatan dan semangat bagi Jemaat.
Senator itu memang berupaya untuk meloloskan undang-undang tersebut, namun berkat upaya-upaya beliau, hal itu tidak berhasil. Beliau dikenal di masyarakat setempat sebagai sosok yang berpengaruh dan dihormati.
Tn. Falahuddin Shams, Wakil Amir Amerika Serikat, mengatakan bahwa beliau mendapat kesempatan untuk bekerja selama lima tahun di Kepulauan Marshall. Karena wilayah itu berada di bawah tanggung jawab Jemaat Amerika, beliau sering berkunjung ke sana. Tn. Sam menjadi Ahmadi melalui tablig Tuan Hafiz Jibril. Pada awalnya hanya ada empat atau lima keluarga Ahmadi di sana, dan Jemaat masih sangat kecil bahkan belum terdaftar secara resmi. Namun, berkat kerja keras Tuan Hafiz dan upaya beliau, Jemaat akhirnya berhasil terdaftar secara resmi di negara tersebut.
Setelah Tn. Hafiz kembali, untuk waktu yang sangat lama tidak ada mubalig yang menetap di sana. Dalam masa itu, Tn. Sam sendiri yang memegang tanggung jawab Jemaat hingga wafatnya. Beliau tidak hanya mengurus Jemaat dengan penuh dedikasi, tetapi juga terus melakukan tablig dan tidak pernah membiarkan nama Jemaat redup.
Beliau selalu menunjukkan semangat tinggi dalam membantu Jemaat. Setiap kali ada delegasi yang datang dari markaz, beliau membantu mereka, dan selalu melangkah maju untuk bekerja hingga menghasilkan hasil yang nyata.
Beliau memiliki peranan utama dalam mendirikan Jemaat di Kepulauan Marshall. Sebagian besar para mubai’in di sana menjadi Muslim Ahmadi berkat usaha dan perjuangan beliau. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Jemaat di Kepulauan Marshall.
Tn. Falahuddin Shams menambahkan bahwa ketika beliau pergi ke Kosrae untuk mendirikan misi di sana, Tn. Sam juga turut membantu. Beberapa teman beliau juga bergabung, dan dengan karunia Allah, sebuah rumah misi berhasil dibeli dan dibangun di sana. Demikian pula, di Kiribati dan satu tempat lainnya, misi Ahmadiyah dapat berdiri berkat perantaraan dan bantuan beliau.
Tn. Falahuddin Shams bercerita bahwa suatu kali ia bertanya kepada Tn. Sam, “Apa amal kebajikan Anda yang membuat Anda mendapat taufik untuk berperan utama dalam berdirinya Jemaat di tiga pulau ini?” Dengan penuh kerendahan hati, Tn. Sam menjawab, “Ini semua semata-mata karunia Allah Taala. Tidak ada sedikit pun keistimewaan dari diri saya.”
Tn. Qasim Chaudhry, mubalig di Kepulauan Marshall, mengatakan bahwa meskipun menghadapi banyak rintangan, Tn. Sam tetap teguh dalam imannya. Bersama istrinya, beliau berdua mempersembahkan banyak pengorbanan. Bahkan, melalui pengorbanan istrinya, sebidang tanah telah diwakafkan — di atas tanah itulah kini berdiri masjid pertama di Kepulauan Marshall.
Menurut penuturan beliau sendiri, kisah penerimaan Islamnya adalah sebagai berikut.
Beliau menceritakan bahwa pada tahun 1987, saya dan istri saya, Mary sedang menginap di sebuah hotel di Long Island. Suatu pagi, ketika kami melihat keluar dari kamar, tampak seorang pria Afrika yang tinggi. Saya mengucapkan salam kepadanya, dan beliau pun menjawab salam. Setelah berkenalan, saya mengetahui bahwa beliau adalah Tn. Hafiz Jibril Said, mubalig pertama di wilayah Mikronesia.
Pertemuan kami pun terus berlanjut, hubungan semakin akrab, dan beliau mulai menyampaikan tabligh tentang Islam. Tuan Hafiz menunjukkan ayat-ayat dari Alkitab, menjelaskan bahwa setelah Nabi Isa a.s., telah dijanjikan kedatangan seorang nabi lagi. Saya terkejut mengetahui bahwa bukan hanya satu, melainkan banyak ayat dalam Alkitab yang menyinggung hal ini — bahkan dalam Perjanjian Baru sendiri, Nabi Isa a.s. bersabda, “Aku harus pergi, dan sesudahku akan diutus seorang lagi.” (Yohanes 16:7).
Beliau berkata, “Fakta-fakta ini belum pernah saya dengar sebelumnya. Tuan Hafiz menjelaskan semuanya dengan sangat jelas, dan selalu menunjukkan dalil langsung dari Alkitab. Akhirnya, Allah Taala memberi saya petunjuk, dan ketika melihat kebenaran-kebenaran itu, hati saya menjadi condong kepada Islam, lalu saya pun menerima Islam.”
Beliau melanjutkan, “Ketika orang-orang mengetahui bahwa saya telah masuk Islam, para pejabat pemerintah mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah membiarkan Islam menyebar di Kepulauan Marshall.” Saya pun menelepon Tn. Hafiz — namun saat itu beliau sudah tidak berada di sana. Beliau menenangkan saya dan berkata, “Jangan khawatir, Allah Taala akan membuka jalan.”
Kemudian Allah pun membuka jalan dengan cara berikut. Suatu hari, ketika saya sedang duduk di rumah, datang seorang pria dari kantor Jaksa Agung dan berkata, “Pendaftaran pendirian Jemaat Anda telah disetujui.” Padahal sebelumnya para tokoh berpengaruh berusaha menghalanginya, namun Allah sendiri mengatur urusannya sehingga izin itu tiba di rumah saya. Saya segera mengirimkan salinan dokumen itu kepada Tuan Hafiz.
Beliau berkata, “Seiring waktu, saya menyadari bahwa Ahmadiyah memiliki keistimewaan yang membedakannya dari kelompok Muslim lainnya, dan saya sangat bangga akan hal itu. Dalam hati saya selalu ada suara yang berkata: Saya seorang Muslim Ahmadi, dan saya bangga menjadi demikian.”
Selama 20 tahun berikutnya, tidak ada mubalig yang datang ke sana, dan saya sangat gelisah karenanya. Tuan Hafiz menasihati saya, “Teruslah menulis surat kepada Khalifatul Masih, insyaallah akan ada jalan.”
Akhirnya, pada tahun 2004, saya menerima pesan dari Markaz bahwa seorang tamu akan datang, dan saya diminta menjemputnya di bandara. Saya pun pergi ke bandara, dan tak lama kemudian datanglah seorang pria tersenyum. Ia menanyakan nama saya. Saya menjawab, “Sam.” Ia menjawab, “Nama saya Kautsar.” Beliau adalah Tuan Inamul Haq Kautsar.
Sejak hari itu, kami seperti dua saudara kandung. Kami bersama-sama melakukan perjalanan ke Kosrae dan Pohnpei, tinggal di sana selama seminggu, dan ketika berpisah pun, terasa seolah kami telah saling mengenal selama bertahun-tahun — itulah semangat persaudaraan Islam yang sejati.
Beliau berkata, “Dengan karunia Allah, setelah saya menjadi seorang Muslim, hati saya memperoleh ketenangan dan ruh saya mendapat kedamaian. Salat telah mengubah hidup saya. Istri saya pun menyadari perubahan besar dalam diri saya. Sejak saat itu, setiap kali saya membutuhkan sesuatu, saya memohon kepada Allah, dan Allah selalu segera mengabulkan permohonan saya. Berkali-kali saya menyaksikan pertolongan Ilahi dengan mata kepala sendiri, dan dalam setiap doa saya, saya selalu memanjatkan rasa syukur kepada Allah.”
Cucu perempuan beliau, Julia, mengatakan, “Beliau adalah seorang Muslim yang sangat mukhlis, yang memperoleh ketenangan dan kekuatan dari imannya. Sebagian besar waktunya dihabiskan dalam ibadah, dan beliau sangat mencintai pembacaan Al-Qur’an. Beliau juga gemar mempelajari berbagai buku Islam. Sering kali kami melihat beliau tenggelam dalam renungan yang mendalam dan penuh pemikiran.”
Semoga Allah Taala menganugerahkan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau. Beberapa anggota keluarga beliau belum menjadi Ahmadi, semoga Allah Taala memberikan taufik kepada mereka sehingga anak keturunan beliau yang lainnya pun menjadi Ahmadi.[1]
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ وَنُؤْمِنُ بِهٖ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَّهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهٗ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهٗ – وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَرَسُوْلُهٗ -عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ أُذكُرُوْ االلهَ يَذْكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd., Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim