Hudhur ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz menguraikan sifat-sifat terpuji Khalifah (Pemimpin Penerus) bermartabat luhur dan Rasyid (lurus) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hudhur (atba) akan terus menyebutkan lebih lanjut berbagai kejadian dalam masa Khalifah ‘Umar radhiyAllahu ta’ala ‘anhu di khotbah-khotbah mendatang.
Informasi kewafatan, dzikr-e-khair dan shalat jenazah setelah Jumatan atas para Almarhum/Almarhumah.
Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu-minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis (ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz) pada 12 November 2021 (12 Nubuwwah 1400 Hijriyah Syamsiyah/ 07 Rabi’ul Akhir 1443 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford, UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya).
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ. (آمين)
Pada khutbah-khutbah yang lalu telah dibahas mengenai Hadhrat ‘Umar (ra), dan hari ini pun masih berkenaan dengannya. Hadhrat Hafshah binti ‘Umar (ra) menyampaikan tentang ketidaktertarikan Hadhrat ‘Umar (ra) terhadap duniawi dan sikap zuhd (kebersahajaan) beliau, “Suatu ketika Hadhrat Hafshah (ra) berkata kepada ayahandanya, ‘Wahai Amirul Mukminin!’ Di dalam riwayat lain Hadhrat Hafshah (ra) berkata, ‘Wahai Ayahandaku, Allah telah meluaskan rezeki, telah menganugerahkan kemenangan-kemenangan kepada Ayah dan telah memberi harta yang banyak. Mengapa Ayah tidak memakan hidangan yang lebih halus dan mengenakan pakaian yang lebih lembut dari ini?’
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Saya ingin mendapat jawaban tentang hal ini dari Anda. Tidakkah kamu ingat bagaimana kesulitan-kesulitan yang harus dijalani oleh Rasulullah (saw)?’”[1]
Perawi berkata, “Hadhrat ‘Umar (ra) terus-menerus mengingatkan hal ini kepada Hadhrat Hafshah (ra), hingga beliau pun membuat Hadhrat Hafshah (ra) menangis lalu Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Demi Allah, selama di dalam diri saya ada kekuatan, saya akan terus mengikuti sukarnya kehidupan Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra), agar mungkin saya pun dapat ikut serta dalam kehidupan bahagia mereka berdua.’”[2]
Di dalam satu riwayat lain pun tertera bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda kepada Hadhrat Hafshah (ra), “Wahai Hafshah binti ‘Umar (ra), Anda telah berbuat baik kepada kaum Anda, tetapi Anda belum berbuat baik kepada ayah Anda. Anda memberi usulan kepada saya bahwa jika sesuatu terjadi, Anda akan mengkhidmati kaum Anda dengan lebih baik, namun tidak tentang saya.”[3]
Kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Anggota keluarga saya hanya berhak atas diri saya dan harta saya. Tetapi mereka tidak berhak atas agama dan amanat saya.’”[4] (Yakni tentang amanat yang tengah saya emban, dan dengan cara apa saya menjalankannya, atas hal ini Anda tidaklah perlu untuk mengatakannya. Anda tidak memiliki hak untuk berkata terkait hal ini)”.
Hadhrat Ikrimah bin Khalid menjelaskan, “Hadhrat Hafshah (ra) dan Hadhrat Abdullah (ra) serta beberapa orang selain beliau berdua menyampaikan kepada Hadhrat ‘Umar (ra), ‘Jika Tuan memakan makanan yang lebih baik, Tuan akan lebih kuat dalam bekerja demi kebenaran.’
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Apakah Anda semua berpendapat seperti ini?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Saya memahami keinginan baik Anda. Namun, itu berarti saya berpisah dengan kedua sahabat saya yakni Hadhrat Rasulullah (saw) dan Hadhrat Abu Bakr (ra) dalam jalan ini. Jika saya meninggalkan jalan mereka berdua ini, saya tidak akan dapat bertemu pada tujuan mereka berdua.’”[5]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) menjelaskan, “Pada masa Nabi yang mulia (saw) adalah masa penuh cemas dan bahaya. Kita dapat mengambil pelajaran dari ajaran-ajaran yang telah beliau berikan saat itu kepada umat muslim. Inilah jalan dan juga petunjuk beliau (saw); Rasulullah memberikan petunjuk agar tidak menyantap lebih dari satu lauk.” (Hal ini disampaikan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) di dalam salah satu khutbah beliau berkenaan dengan Tahrik Jadid). Beliau bersabda, “Rasulullah (saw) memberi petunjuk agar tidak menyantap lebih dari satu lauk dan beliau sedemikian menganjurkannya hingga beberapa sahabat pun keras dalam hal ini. – Maksudnya, mereka melampaui batas – Jadi, suatu ketika diletakkan cuka dan garam di hadapan Hadhrat ‘Umar (ra). Beliau lalu bersabda, ‘Mengapa meletakkan dua macam makanan, sementara Rasulullah (saw) memerintahkan untuk memakan hanya satu jenis makanan?’
Orang-orang berkata kepada Hadhrat ‘Umar (ra), ‘Ini bukan dua jenis makanan, tetapi keduanya yaitu (garam dan cuka yang jika dicampur) merupakan satu jenis lauk makanan.’ Namun Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Tidak, ini adalah dua.’ Meskipun yang dilakukan Hadhrat ‘Umar (ra) ini merupakan sikap berlebihan yang disebabkan gejolak kecintaan mendalam kepada Rasulullah (saw) dan tampaknya bukan seperti demikianlah yang diinginkan oleh Rasulullah (saw), namun dari contoh ini secara pasti diketahui bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) memandang perlunya kesederhanaan di dalam umat Muslim.
Jadi betapa telah ditekankan akan hal ini. Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Saya tidak meminta seperti yang diminta oleh Hadhrat ‘Umar (ra), dan saya tidak berkata bahwa garam adalah satu makanan dan cuka adalah satu makanan, tetapi yang saya minta adalah, dari hari ini sampai tiga tahun selanjutnya, yang mana saya akan berangsur-angsur mengumumkan di setiap tahunnya, sehingga jika keadaan penuh cemas ini berubah, perintah pun dapat berubah. Setiap Ahmadi yang ingin turut serta dalam perjuangan ini dan berikrar bahwa sejak hari ini ia akan menyantap satu jenis makanan saja, yaitu roti dengan lauk atau nasi dengan lauk – ini bukan dua makanan tetapi satu porsi yang terdiri dari dua makanan – jadi, tidak diizinkan untuk menyantap roti dengan dua lauk atau menyantap nasi dengan dua lauk.”
Ini adalah masa ketika beliau mengumumkan gerakan Tahrik Jadid. Saat itu jemaat sangat memerlukan, dan beliau mencetuskan untuk mengurangi pengeluaran pribadi dan memberikan candah. Dengan karunia Allah Ta’ala, saat ini keadaan telah berbeda sehingga saat ini tidak diharuskan demikian. Namun tetap, hendaknya tidak berlaku berlebih-lebihan.
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) dalam menafsirkan ayat, وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا dengan bersabda, “Allah Ta’ala berfirman bahwa jika ada yang ingin menjadi hamba Tuhan yang Maha Rahman, syaratnya, ketika ia membelanjakan hartanya, ia mempertimbangkan dua hal. Pertama, ia tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan hartanya. Kedua, makanan yang ia santap bukan untuk mencari kesenangan dan kelezatan, tetapi untuk menjaga ketahanan tubuh dan kesehatan. Apa yang ia kenakan bukan untuk perhiasan, tetapi untuk menutup tubuhnya. Yaitu untuk menjaga kedudukan yang telah diberikan Allah Ta’ala kepadanya. Alhasil, corak amalan para sahabat menyimpulkan bahwa jalan seperti itulah yang mereka tempuh.
Suatu saat Hadhrat ‘Umar (ra) pergi ke Syam. (Di negeri Syam, di sana ada beberapa sahabat yang mengenakan pakaian sutra. Maksud pakaian sutra dalam hal ini adalah pakaian yang sebagian kainnya mengandung sejumlah sutra di dalamnya, karena pakaian yang berbahan sutra murni [maksudnya semuanya sutra] itu dilarang untuk dikenakan kecuali bagi pria yang tengah sakit). Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda kepada para sahabat beliau,’Lemparkanlah tanah kepada mereka!’ (maksudnya, beliau menganggap buruk itu) dan bersabda kepada mereka, ‘Anda kini telah menyukai kesenangan lalu memakai pakaian sutra.’ Atas hal ini seorang diantara para sahabat tersebut membuka pakaian mengandung sutranya itu dan memperlihatkan baju sederhananya di balik baju sutra itu sehingga tampak bahwa di dalam ia mengenakan baju kurtah berbahan kasar. Ia berkata kepada Hadhrat ‘Umar (ra), ‘Kami mengenakan pakaian sutra ini bukanlah dikarenakan kami menyukainya, namun cara orang-orang negeri inilah yang memang seperti demikian. Mereka sejak kecil telah terbiasa melihat pemimpin mereka yang seperti ini, yaitu hidup dengan segala kebesaran dan keagungannya. Jadi, melihat keadaan tersebutlah kami mengganti pakaian-pakaian kami sesuai dengan cara pemerintahan negeri ini; adapun kami sama sekali tidak terpengaruh atas benda itu.’ Alhasil, amalan para sahabat tersebut melukiskan apa makna dari israf (berlebih-lebihan) tersebut. Maknanya adalah, janganlah membelanjakan harta pada sesuatu yang tidak berguna, yang hanya bertujuan untuk perhiasan. Singkatnya, Allah Ta’ala berfirman bahwa yang dimaksud Ibadurrahman adalah, وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا ‘orang yang tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan hartanya. Mereka tidak mengorbankan harta mereka untuk riya dan pamer, tetapi itu mereka gunakan untuk mendatangkan faedah dan manfaat. Mereka tidak menahan harta mereka untuk mereka belanjakan pada tempat dimana mereka harus memberinya, dan menjadi sarana untuk mendatangkan faedah. Janganlah Anda belanjakan harta Anda pada jalan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala, dan janganlah menghalanginya hingga hak-hak orang lain pun tidak Anda tunaikan.’[6] Inilah dua syarat bagi ibadurrahman dalam membelanjakan harta. Akan tetapi banyak sekali orang yang cenderung, baik pada sikap berlebih-lebihan atau sikap kikir.”
Hadhrat ‘Umar (ra) sungguh menolak sikap riya dan pakaian yang menandakan kebesaran dan kesombongan sehingga beliau tidak menyukai bila ada musuh yang telah ditaklukkan datang ke hadapan beliau dengan dengan pakaian seperti itu yang menandakan kesombongan. Maka dari itu, ada kisah rinci tentang peristiwa panglima Persia yaitu Hurmuzan. Kisah ini sebelumnya telah saya sampaikan secara rinci. Dalam hal ini saya akan menyampaikan sedikit bagiannya untuk memperjelas. Ketika di penaklukan Tustar, panglima bangsa Persia bernama Hurmuzan melemparkan senjatanya,dan menyerahkan dirinya kepada kaum Muslim. Kaum Muslim lalu mengirimnya ke hadapan Hadhrat ‘Umar (ra). Sebelum masuk ke Madinah, rombongan Muslim yang membawanya memakaikan pakaian sutra kebesarannya padanya supaya Hadhrat ‘Umar (ra) dan kaum Muslim dapat melihat keadaan aslinya.
Tatkala ia tiba di hadapan Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat ‘Umar (ra) bertanya, “Apakah Hurmuzan ada?”. Mereka menjawab, “Ya”. Hadhrat ‘Umar (ra) mengamati dirinya dan pakaiannya dengan seksama lalu bersabda, “Aku memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala dari Api, dan aku memohon pertolongan kepada Allah”. Orang-orang di kafilah tersebut berkata, “Ini adalah Hurmuzan. Bicaralah dengannya”. Beliau bersabda, “Sama sekali tidak, hingga ia menanggalkan pakaian kebesaran serta perhiasan-perhiasannya”. Semua pakaian kebesarannya pun ditanggalkan hingga akhirnya Hadhrat ‘Umar (ra) berbicara dengannya.
Mengenai derajat kerendahan hati dan ketakwaan Hadhrat ‘Umar (ra), dapat tergambar dari hal berikut. Diriwayatkan dari Hadhrat Urwah bin Zubair, “Saya pernah melihat Hadhrat ‘Umar (ra) tengah mengangkat satu mazkesyah (kantong dari kulit hewan) berisi air ke atas pundak beliau lalu saya berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, hal ini tidaklah cocok bagi Anda.’
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Ketika berbagai golongan datang kepada saya seraya memperlihatkan ketaatan dan kesetiaan mereka, dan wakil-wakil dari berbagai bangsa datang kepada saya seraya memperlihatkan kepatuhan mereka, maka saya pun merasa besar (sikap tinggi hati) di dalam diri saya. Maka dari itu, saya menganggap perlu untuk menghancurkan sikap tinggi hati ini. (Mengapa tinggi hati ini lahir?). Oleh karena itulah saya berpikir untuk menghancurkannya dengan membawa kantong kulit berisi air itu seperti halnya mereka.’”[7]
Hadhrat Yahya bin Abdurrahman bin Hathib (يَحْيَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَاطِبٍ) meriwayatkan dari ayahnya, أَقْبَلْنَا مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَافِلِينَ مِنْ مَكَّةَ ، حَتَّى إِذَا كُنَّا بِشِعَابِ ضَجْنَانَ وَقَفَ النَّاسُ “Kami semua bersama Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab pernah kembali dari Mekkah dalam bentuk kafilah lalu ketika kami tiba di lembah Dhajnan, orang-orang pun berhenti.” Dhajnan adalah tempat yang berada sejauh 25 mil dari Mekkah. Ia berkata bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, فَقَالَ : ” لَقَدْ رَأَيْتُنِي فِي هَذَا الْمَكَانِ وَأَنَا فِي إِبِلٍ لِلْخَطَّابِ ، وَكَانَ فَظًّا غَلِيظًا ، أَحْتَطِبُ عَلَيْهَا مَرَّةً وَأَخْتَبِطُ عَلَيْهَا أُخْرَى ، ثُمَّ أَصْبَحْتُ الْيَوْمَ يَضْرِبُ النَّاسُ بِجَنَبَاتِي ، لَيْسَ فَوْقِي أَحَدٌ ” ‘Tentang tempat ini, saya teringat tatkala saya berada di atas unta Al-Khaththab, ayah saya, dimana beliau adalah sosok yang keras. Ada satu saat saya meletakkan kayu-kayu diatas unta-unta tersebut lalu di waktu lain saya meletakkan rerumputan diatasnya. Sekarang keadaan saya adalah, orang-orang datang dari daerah-daerah yang jauh ke tempat saya dan tidak ada yang berada diatas saya.’” (Maksudnya, Hadhrat ‘Umar (ra) adalah pemimpin suatu negeri yang luas, dimana orang-orang melakukan perjalanan dari tempat yang jauh dan datang menemui beliau dan tidak ada pemerintahan lain di dunia yang memerintah beliau). Selanjutnya, Hadhrat ‘Umar (ra) membaca syair ini, لَا شَيْءَ فِيمَا تَرَى إِلَّا بَشَاشَتَهُ *** يَبْقَى الْإِلَهُ وَيُودِي الْمَالُ وَالْوَلَدُ – (laa syai-a fii-maa taraa illaa basyaasyaatahu – yabqol ilaahu wa yuudil maalu wal waladu) yang artinya, ‘Apapun yang tampak padamu, itu tidak memiliki hakikat apapun selain sebuah kesenangan sementara. Hanya Dzat Tuhanlah yang akan terus ada, sementara harta dan keturunan akan menjadi fana.’”[8]
Hadhrat Khalifatul Masih Awwal (ra) bersabda tentang hal ini, “Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) kembali dari Haji, beliau berdiri di dekat sebuah pohon. Hudzaifah saat itu tanpa segan memberanikan diri untuk bertanya sebab dari sikap beliau. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Ada satu waktu tatkala saya menggembalakan satu unta saya dan di bawah pohon ini, ayah saya saat itu sangat memarahi saya. Namun, kini adalah masa dimana jangankan unta, ratusan ribu orang pun bersedia untuk mengorbankan jiwanya hanya atas isyarat mata saya.’”
Mengenai hal ini Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Bukankah ini suatu hal yang menakjubkan, seorang yang dahulu adalah penggembala unta, menjadi sosok raja yang luar biasa dan beliau tidak hanya menjadi raja dunia, tetapi juga raja rohani. Inilah Hadhrat ‘Umar (ra) yang di awal kehidupannya beliau biasa menggembalakan Unta. Suatu saat, beliau pergi untuk menunaikan haji. Lalu beliau berhenti di satu tempat di tengah perjalanan. Saat itu siang sangat terik, sehingga orang-orang pun merasakan kesulitan. Namun tidak ada yang berani menanyakan kepada Hadhrat ‘Umar (ra), mengapa beliau berdiri di sana. Pada akhirnya, seorang sahabi yang merupakan sahabat dekat Hadhrat ‘Umar (ra), dan beliau kerap bertanya kepadanya tentang fitnah-fitnah. Orang-orang berkata agar ia bertanya langsung kepada Hadhrat ‘Umar (ra) bahwa mengapa beliau berdiri di sana? Ia berkata kepada Hadhrat ‘Umar (ra), ‘Mari berangkat, Apa sebab Tuan berdiri di sini?’
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Saya berdiri di sini karena dulu suatu kali saya merasa letih setelah menggembalakan unta lalu saya berbaring di bawah pohon ini. Ayah saya datang dan memukul saya seraya berkata, “Apakah saya mengirim kamu ke sini supaya setiba di sini kamu lantas tidur?” Alhasil, demikianlah suatu waktu keadaan saya dulu. Kini saya telah menerima Rasulullah (saw) lalu Allah Ta’ala telah memberikan kedudukan kepada saya yang mana jika saat ini saya berkata kepada ratusan ribu orang, maka mereka akan bersedia untuk mengorbankan jiwanya demi saya.’”
Dari peristiwa ini (dan dari berbagai corak peristiwa-peristiwa lainnya) dapat diketahui bagaimana keadaan para sahabat sebelumnya dan bagaimana keadaan mereka dengan mengikuti Rasul yang mulia (saw). Mereka meraih kedudukan dan keilmuan yang tidak didapatkan oleh siapapun.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Saya menyampaikan kisah ini untuk menggambarkan betapa seseorang yang sebelumnya adalah penggembala unta, ia telah diajarkan ilmu agama dan dunia yang tidak sanggup dipahami oleh siapapun. Satu sisi pandanglah keadaan para penggembala unta atau domba, betapa mereka tampak jauh dari keilmuan, namun di sisi lain renungkanlah hal ini, betapa kini orang-orang Eropa yang sangat paham dan pandai akan hukum-hukum pemerintahan, mereka memandang dengan hormat terhadap undang-undang yang diciptakan oleh Hadhrat ‘Umar (ra). Apakah ada hubungan antara seorang penggembala unta dengan sebuah kerajaan? Namun lihatlah, mereka telah melakukan sesuatu yang kini dunia tunduk hormat di hadapan mereka dan memuji kualitas kepemimpinan mereka.
Lihatlah! Hadhrat Abu Bakr (ra) yang sebelumnya beliau adalah pedagang biasa. Tetapi kini dunia pun takjub, bahwa dari manakah beliau telah meraih pemahaman, akal dan pikiran ini?. Saya sampaikan bahwa mereka meraih itu semua dari Al-Quran Suci. Mereka telah merenungi Al-Quran Suci, hingga mereka mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan oleh semua yang ada di dunia saat itu. Karena Al-Quran suci adalah sebuah senjata yang jika kalbu ditautkan dengannya, maka ia akan menjadi cemerlang, dan ilmu-ilmu yang ada di seluruh dunia tampak padanya, dan di hadapan insan terbuka suatu pintu, yang mana tidak ada suatu ilmu pun yang turun pada kalbunya dapat tertahan baginya. Alhasil, setiap insan harus berupaya untuk menelaah dan merenungkan Al-Quran.”[9]
Mengenai bagaimana sikap kerendahan hati Hadhrat ‘Umar (ra), di dalam suatu riwayat tertera sebagai berikut: diriwayatkan dari Jubair bin Nufair (جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ), أَنَّ نَفَرًا قَالُوا لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ : وَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا رَجُلًا أَقْضَى بِالْقِسْطِ ، وَلَا أَقْوَلَ بِالْحَقِّ ، وَلَا أَشَدَّ عَلَى الْمُنَافِقِينَ ، مِنْكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، فَأَنْتَ خَيْرُ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ عَوْفُ بْنُ مَالِكٍ : كَذَبْتُمْ وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْنَا خَيْرًا مِنْهُ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : مَنْ هُوَ يَا عَوْفُ فَقَالَ : أَبُو بَكْرٍ ، فَقَالَ عُمَرُ : صَدَقَ عَوْفٌ وَكَذَبْتُمْ ، وَاللَّهِ لَقَدْ كَانَ أَبُو بَكْرٍ أَطْيَبَ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ ، وَأَنَا أَضَلُّ مِنْ بَعِيرِ أَهْلِي “Ada satu Jemaat (sekelompok orang) yang berkata kepada Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Wahai Amirul Mukminin, Demi Allah, kami tidak pernah melihat seorang pun yang lebih adil, lebih memenuhi hak-hak dan lebih keras kepada orang-orang munafik selain Anda. Memang benar, setelah Rasulullah (saw), Anda-lah yang terbaik diantara orang-orang sekalian.’
Auf bin Malik berkata kepada orang yang mengatakan itu, ‘Demi Allah, kamu telah berkata dusta. Sesungguhnya kami melihat yang lebih baik darinya setelah Rasulullah (saw).’ (Maksudnya, ia telah melihat orang yang lebih baik dari Hadhrat ‘Umar (ra)). Hadhrat ‘Umar (ra) pun bertanya, ‘Wahai Auf, siapakah ia?’ Auf menjawab, ‘Abu Bakr (ra).’
Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Auf telah berkata benar’, dan beliau bersabda kepada orang itu, ‘Kamu berkata salah. Demi Allah, wangi dari Abu Bakr (ra) adalah bahkan lebih suci dari kesturi. Sementara saya adalah lebih keliru dari unta-unta keluarga saya sekalipun.’”[10]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda, “Di dalam Hadits tertera bahwa satu saat Hadhrat ‘Umar (ra) dan Hadhrat Abu Bakr (ra) saling bertentangan dalam suatu hal. Pertentangan itu bertambah. Hadhrat ‘Umar (ra) memiliki tabiat yang keras, sehingga Hadhrat Abu Bakr (ra) merasa lebih baik supaya beliau beranjak dari tempat tersebut, agar perselisihan tersebut tidak membesar. Hadhrat Abu Bakr (ra) berupaya untuk beranjak pergi, namun Hadhrat ‘Umar (ra) maju seraya memegang pakaian Hadhrat Abu Bakr (ra) dan berkata, ‘Jawablah pertanyaan saya sebelum pergi.’
Tatkala Hadhrat Abu Bakr (ra) mulai bertengkar dengannya, baju beliau pun robek. Beliau beranjak dari sana menuju rumahnya. Namun Hadhrat ‘Umar (ra) merasa ragu jangan sampai Hadhrat Abu Bakr (ra) pergi mengadukan dirinya kepada Rasulullah (saw). Hadhrat ‘Umar (ra) pun pergi mengikuti Hadhrat Abu Bakr (ra), supaya ia pun dapat menyampaikan alasannya di hadapan Rasulullah (saw). Namun di tengah perjalanan, Hadhrat Abu Bakr (ra) hilang dari pandangan Hadhrat ‘Umar (ra). Hadhrat ‘Umar (ra) berpikir bahwa beliau pergi ke hadapan Rasulullah (saw) untuk mengadu. Hadhrat ‘Umar (ra) pun langsung pergi menuju Rasulullah (saw). ketika tiba di sana, ia tidak melihat sosok Hadhrat Abu Bakr (ra).
Karena di dalam hati Hadhrat ‘Umar (ra) telah muncul penyesalan, maka ia pun menyampaikan, ‘Wahai Rasul Allah, saya telah melakukan kesalahan. Saya telah berlaku keras kepada Abu Bakr (ra). Hadhrat Abu Bakr (ra) tidak bersalah, dan sayalah yang melakukan kesalahan.’
Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) hadir di hadapan Rasulullah (saw), seseorang menyampaikan kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) bahwa Hadhrat ‘Umar (ra) pergi mengadu terkait dirinya ke hadapan Rasulullah (saw). Di dalam hati Hadhrat Abu Bakr (ra) timbul pemikiran agar ia pun hendaknya pergi untuk membersihkan tuduhan padanya supaya perkara tidak menjadi berat sebelah dan beliau pun dapat menyampaikan pandangannya sendiri. Tatkala Hadhrat Abu Bakr (ra) tiba di majlis di hadapan Rasulullah (saw), saat itu Hadhrat ‘Umar (ra) tengah berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya bersalah telah berselisih dengan Hadhrat Abu Bakr (ra), dan pakaian beliau telah robek karena saya.’
Tatkala Rasulullah (saw) mendengar hal ini, nada marah pun tampak di wajah beliau. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Wahai manusia, apa yang telah terjadi pada Anda semua. Tatkala seluruh dunia menolak saya dan Anda semua pun menolak saya, saat itu hanya Abu Bakr (ra)-lah yang telah beriman kepada saya dan dalam segala hal telah menolong saya.’ Dengan sedih beliau (saw) bersabda, ‘Apakah sekarang pun Anda semua tidak meninggalkan saya dan Abu Bakr (ra)?’ (Hadhrat Abu Bakr (ra) pun tiba saat Rasulullah (saw) bersabda demikian).
Inilah contoh dari kecintaan yang sejati. Artinya, Hadhrat Abu Bakr (ra) daripada menyampaikan, ‘Wahai Rasulullah (saw), ini bukan salah saya melainkan salah ‘Umar (ra)’, tatkala Hadhrat Abu Bakr (ra) datang dan melihat bahwa hati Rasulullah (saw) tengah sedemikian sedih, maka karena kecintaan sejati, beliau tidak sanggup menahan bahwa Rasulullah (saw) telah merasa sangat sedih akibat Hadhrat Abu Bakr (ra). Oleh karena itu, sesaat setelah tiba, Hadhrat Abu Bakr (ra) langsung duduk berlutut di hadapan Rasulullah (saw) seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, ‘Umar (ra) tidaklah bersalah, saya-lah yang bersalah.’”[11]
Diriwayatkan dari Hadhrat ‘Umar (ra) bahwa beliau melihat orang-orang yang menyampaikan usulan terkait wanita yang keguguran janin dan diyat (tebusan) untuknya. Mughirah berkata, “Nabi yang mulia (saw) telah memutuskan supaya pelakunya membayar diyat seharga seorang budak laki-laki atau perempuan.” Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, “Bawalah seseorang yang menjadi saksi bersamamu atas pernyataan ini.” Muhammad bin Maslamah lalu memberi kesaksian bahwa ia saat itu bersama Rasulullah (saw) dan seperti itulah yang dinyatakan oleh beliau (saw).[12] Itu artinya, seorang wanita yang keguguran akibat suatu penganiayaan atau pemaksaan, atau ia telah digugurkan, maka membayar diyat atas hal tersebut adalah suatu keharusan. Siapa yang melakukan kezaliman tersebut, maka ia akan membayar diyat yaitu memerdekakan seorang budak laki-laki atau perempuan.
Diriwayatkan dari Hadhrat Abu Said, اسْتَأْذَنَ أَبُو مُوسَى عَلَى عُمَرَ فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ قَالَ عُمَرُ وَاحِدَةٌ . ثُمَّ سَكَتَ سَاعَةً ثُمَّ قَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ قَالَ عُمَرُ ثِنْتَانِ . ثُمَّ سَكَتَ سَاعَةً فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَأَدْخُلُ فَقَالَ عُمَرُ ثَلاَثٌ . ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ عُمَرُ لِلْبَوَّابِ مَا صَنَعَ قَالَ رَجَعَ . قَالَ عَلَىَّ بِهِ . فَلَمَّا جَاءَهُ قَالَ مَا هَذَا الَّذِي صَنَعْتَ قَالَ السُّنَّةَ . قَالَ السُّنَّةَ وَاللَّهِ لَتَأْتِيَنِّي عَلَى هَذَا بِبُرْهَانٍ أَوْ بِبَيِّنَةٍ أَوْ لأَفْعَلَنَّ بِكَ . قَالَ فَأَتَانَا وَنَحْنُ رُفْقَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الأَنْصَارِ أَلَسْتُمْ أَعْلَمَ النَّاسِ بِحَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَلَمْ يَقُلْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “الاِسْتِئْذَانُ ثَلاَثٌ فَإِنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلاَّ فَارْجِع” . فَجَعَلَ الْقَوْمُ يُمَازِحُونَهُ “Abu Musa Asy’ari (ra) memohon izin kepada Hadhrat ‘Umar (ra) untuk berjumpa dengan beliau. Hadhrat Abu Musa berkata, ‘Assalamu’alaikum, dapatkah saya masuk?’ Hadhrat ‘Umar (ra) berkata di dalam hati bahwa ia baru meminta izin sekali. Setelah diam beberapa saat, Hadhrat Abu Musa berkata, ‘Assalamu’alaikum, dapatkah saya masuk?’ Hadhrat ‘Umar (ra) berkata – maksudnya menjawab di dalam hati – ‘Dia baru dua kali ia memohon izin.’ Setelah kembali diam beberapa saat, Hadhrat Abu Musa lalu berkata, ‘Assalamu’alaikum, dapatkah saya diizinkan masuk?’ Ketika beliau sudah meminta izin dua atau tiga kali, Hadhrat Abu Musa Asy’ari pun pulang. Ketika beliau meminta izin untuk ketiga kalinya dan tidak mendengar jawaban dari Hadhrat ‘Umar (ra), beliau pun pulang. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda kepada khadim di sana, ‘Apa yang telah dilakukan oleh Abu Musa?’
Ia menjawab, ‘Beliau telah pulang.’ Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Panggillah dia dan antarkan kemari.’ Kemudian, tatkala Abu Musa tiba di hadapannya, Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Apa yang Anda telah lakukan ini?’ Hadhrat Abu Musa berkata, ‘Saya telah mengamalkan sunnah.’ Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Sunnah apa? Demi Allah, Anda harus menyampaikan dalil dan bukti hal tersebut sebagai sunnah. Jika tidak, saya akan berlaku keras kepada Anda.’” Abu Sa’id Khudri menuturkan, “Beliau (Abu Musa) pun datang kepada kami. Saat itu kami tengah bersama satu jemaat Anshar. Hadhrat Abu Musa Asy’ari berkata, ‘Wahai Jemaat Anshar, bukankah kalian yang lebih mengetahui dari orang lain tentang Hadits Rasulullah (saw)? Bukankah Rasulullah (saw) pernah bersabda, الاِسْتِئْذَانُ ثَلاَثٌ فَإِنْ أُذِنَ لَكَ وَإِلاَّ فَارْجِع, Artinya, “Memohon izin itu adalah tiga kali. Jika Anda mendapatkan izin maka masuklah ke dalam rumah, dan jika tidak mendapat izin, maka pulanglah!”’ Mendengar hal ini, orang-orang pun mencandainya.”
Abu Sa’id Khudri menuturkan, ثُمَّ رَفَعْتُ رَأْسِي إِلَيْهِ فَقُلْتُ فَمَا أَصَابَكَ فِي هَذَا مِنَ الْعُقُوبَةِ فَأَنَا شَرِيكُكَ “Saya menengadahkan kepala saya ke arah Abu Musa Asy’ari dan berkata, ‘Dalam hal ini, apa pun hukuman yang akan Anda terima, saya akan ikut di dalamnya.’ Hadhrat Abu Sa’id berkata, ‘Ya, saya bersaksi bahwa Anda telah berkata benar.’
Perawi berkata, فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ بِذَلِكَ فَقَالَ عُمَرُ مَا كُنْتُ عَلِمْتُ بِهَذَا “Kemudian, beliau yaitu Hadhrat Abu Sa’id datang kepada Hadhrat ‘Umar (ra) dan memberitakan Hadits tersebut kepada beliau. Hadhrat ‘Umar (ra) bersabda, ‘Saya belum mengetahui hadits tersebut. Kini saya mengetahuinya.’”[13]
Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Hadhrat Abu Hurairah berkata, كُنَّا قُعُودًا حَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَعَنَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فِي نَفَرٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِنَا فَأَبْطَأَ عَلَيْنَا وَخَشِينَا أَنْ يُقْتَطَعَ دُونَنَا وَفَزِعْنَا فَقُمْنَا فَكُنْتُ أَوَّلَ مَنْ فَزِعَ فَخَرَجْتُ أَبْتَغِي رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى أَتَيْتُ حَائِطًا لِلأَنْصَارِ لِبَنِي النَّجَّارِ فَدُرْتُ بِهِ هَلْ أَجِدُ لَهُ بَابًا فَلَمْ أَجِدْ فَإِذَا رَبِيعٌ يَدْخُلُ فِي جَوْفِ حَائِطٍ مِنْ بِئْرٍ خَارِجَةٍ – وَالرَّبِيعُ الْجَدْوَلُ – فَاحْتَفَزْتُ كَمَا يَحْتَفِزُ الثَّعْلَبُ فَدَخَلْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ” أَبُو هُرَيْرَةَ ” . فَقُلْتُ نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ ” مَا شَأْنُكَ ” . قُلْتُ كُنْتَ بَيْنَ أَظْهُرِنَا فَقُمْتَ فَأَبْطَأْتَ عَلَيْنَا فَخَشِينَا أَنْ تُقْتَطَعَ دُونَنَا فَفَزِعْنَا فَكُنْتُ أَوَّلَ مَنْ فَزِعَ فَأَتَيْتُ هَذَا الْحَائِطَ فَاحْتَفَزْتُ كَمَا يَحْتَفِزُ الثَّعْلَبُ وَهَؤُلاَءِ النَّاسُ وَرَائِي فَقَالَ ” يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ” . وَأَعْطَانِي نَعْلَيْهِ قَالَ ” اذْهَبْ بِنَعْلَىَّ هَاتَيْنِ فَمَنْ لَقِيتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ ” فَكَانَ أَوَّلَ مَنْ لَقِيتُ عُمَرُ فَقَالَ مَا هَاتَانِ النَّعْلاَنِ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ . فَقُلْتُ هَاتَانِ نَعْلاَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَعَثَنِي بِهِمَا مَنْ لَقِيتُ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ بَشَّرْتُهُ بِالْجَنَّةِ . فَضَرَبَ عُمَرُ بِيَدِهِ بَيْنَ ثَدْيَىَّ فَخَرَرْتُ لاِسْتِي فَقَالَ ارْجِعْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَجْهَشْتُ بُكَاءً وَرَكِبَنِي عُمَرُ فَإِذَا هُوَ عَلَى أَثَرِي فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” مَا لَكَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ” . قُلْتُ لَقِيتُ عُمَرَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي بَعَثْتَنِي بِهِ فَضَرَبَ بَيْنَ ثَدْيَىَّ ضَرْبَةً خَرَرْتُ لاِسْتِي قَالَ ارْجِعْ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” يَا عُمَرُ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا فَعَلْتَ ” . قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَبَعَثْتَ أَبَا هُرَيْرَةَ بِنَعْلَيْكَ مَنْ لَقِيَ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ بَشَّرَهُ بِالْجَنَّةِ . قَالَ ” نَعَمْ ” . قَالَ فَلاَ تَفْعَلْ فَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَتَّكِلَ النَّاسُ عَلَيْهَا فَخَلِّهِمْ يَعْمَلُونَ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” فَخَلِّهِمْ ” . “Kami tengah duduk di sekeliling Rasulullah (saw), terdapat Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra) bersama orang yang lain. Rasulullah (saw) berdiri dan beranjak pergi dari tengah-tengah kami, namun telah cukup lama beliau tidak kembali dan saat itu kami takut jangan sampai kami akan terpisah dengan Rasulullah. Kami pun sangat cemas dan beranjak dari sana. Pertama-tama saya berpikir untuk keluar mencari Rasulullah (saw), hingga saya tiba di sebuah taman milik Banu Najjar. Saya mengelilingi taman mencari pintu masuk, tetapi tidak dapat menemukannya. Saya kemudian melihat sungai mengalir di dalam taman yang berasal dari sumur di luar lalu saya berjongkok seperti rubah dan memasuki taman melalui sungai dan pergi menuju Nabi (saw). Nabi (saw) bertanya, ‘Apakah itu Abu Hurairah?’ Saya mengiyakan.
Rasulullah (saw) bertanya, ‘Ada apa?’
Saya jawab, ‘Tuan berada di antara kami, setelah itu tuan berdiri dan pergi, tetapi tidak segera kembali. Kami khawatir ada yang mengganggu tuan. Saya adalah orang pertama yang khawatir. Jadi, saya mengikuti tuan ke taman ini. Saya harus berjongkok seperti rubah untuk masuk ke taman dan yang lainnya mengikuti di belakang saya.’
Nabi (saw) menyapa saya dengan mengatakan, ‘Wahai Abu Hurairah’ dan beliau (saw) memberikan sandal beliau kepada saya dan bersabda, ‘Ambil sandal saya dan beri tahu siapa pun yang Anda temui di luar taman ini, jika mereka bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan benar-benar memiliki keyakinan di hati mereka akan hal ini, maka sampaikanlah kepada mereka kabar gembira surga.’”
Hadhrat Abu Hurairah (ra) lebih lanjut meriwayatkan, “Ketika saya kembali, orang pertama yang saya temui adalah ‘Umar (ra). Beliau (ra) bertanya, ‘Wahai Abu Hurairah! Sandal apa ini?’ Saya berkata bahwa sandal ini milik Nabi (saw) dan beliau telah mengutus saya dengan menitipkan sandal ini sebagai tanda untuk memberikan kabar gembira tentang surga kepada orang yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan benar-benar memegang keyakinan ini di dalam hati mereka.
Setelah mendengar itu, Hadhrat ‘Umar (ra) memukul dada saya dengan marah hingga saya jatuh terlentang. Beliau berkata, ‘Wahai Abu Hurairah! Kembalilah.’ (yaitu tidak perlu mengatakan apa-apa kepada siapa pun). Saya kembali menemui Nabi yang mulia (saw) dan hampir menangis ketika Hadhrat ‘Umar (ra) tiba di belakang saya. Nabi (saw) bertanya, ‘Wahai Abu Hurairah! Ada apa?”
Saya memberitahunya bahwa saya bertemu dengan ‘Umar (ra) dan memberitahunya tentang pesan yang Hudhur kirimkan kepada saya, namun ‘Umar (ra) malah memukul dada saya hingga saya jatuh ke belakang dan ‘Umar (ra) menyuruh saya untuk kembali.
Nabi (saw) bertanya, ‘Wahai ‘Umar (ra)! Mengapa engkau melakukan hal seperti itu?’
Hadhrat ‘Umar (ra) menjawab, ‘Wahai Rasulullah (saw)! Semoga ibu dan ayah saya dikorbankan untuk tuan! Apakah Hudhur mengirim Abu Hurairah dengan sandal Hudhur dan mengatakan kepadanya untuk memberikan kabar gembira surga kepada orang yang bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan memiliki keyakinan yang teguh dalam hal ini?’
Setelah ini Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Mohon jangan lakukan hal seperti itu, karena saya khawatir orang-orang hanya akan mengandalkan hal ini. Oleh karena itu, lebih baik membiarkan mereka terus melakukan perbuatan baik dan menjalankan perintah sehingga mereka menjadi mukmin sejati. Jika tidak, mereka akan bersandar pada pernyataan “Tidak ada yang berhak disembah selain Allah” dan menganggapnya cukup bekal untuk masuk surga.’ Nabi yang mulia (saw) berkata, ‘Baiklah, tinggalkan saja.’”[14] Hadhrat ‘Umar (ra) memiliki tabiat yang sangat hati-hati.
Terdapat Riwayat yang mengisahkan bahwa setan pun kabur ketika melihat Hadhrat ‘Umar (ra). Berkenaan dengan hal ini, terdapat beberapa Riwayat. Dalam Shahih al-Bukhari terdapat satu Riwayat: Diriwayatkan dari Hadhrat Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqash dari ayahnya ia berkata, اسْتَأْذَنَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، وَعِنْدَهُ نِسْوَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ يُكَلِّمْنَهُ وَيَسْتَكْثِرْنَهُ، عَالِيَةً أَصْوَاتُهُنَّ عَلَى صَوْتِهِ فَلَمَّا اسْتَأْذَنَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قُمْنَ فَبَادَرْنَ الْحِجَابَ فَأَذِنَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَدَخَلَ عُمَرُ وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَضْحَكُ، فَقَالَ عُمَرُ أَضْحَكَ اللَّهُ سِنَّكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ” عَجِبْتُ مِنْ هَؤُلاَءِ اللاَّتِي كُنَّ عِنْدِي فَلَمَّا سَمِعْنَ صَوْتَكَ ابْتَدَرْنَ الْحِجَابِ “. فَقَالَ عُمَرُ فَأَنْتَ أَحَقُّ أَنْ يَهَبْنَ يَا رَسُولَ اللَّهِ. ثُمَّ قَالَ عُمَرُ يَا عَدُوَّاتِ أَنْفُسِهِنَّ، أَتَهَبْنَنِي وَلاَ تَهَبْنَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَ نَعَمْ، أَنْتَ أَفَظُّ وَأَغْلَظُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” إِيهًا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ سَالِكًا فَجًّا قَطُّ إِلاَّ سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ “Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab memohon agar diizinkan masuk ke rumah Rasulullah ﷺ. Ketika itu ada beberapa orang wanita dari Quraisy sedang berbincang-bincang dengan Rasulullah dan mengajukan dana bantuan lebih kepada beliau. Mereka berbicara dengan nada suara yang keras melebihi suara Rasulullah (saw).
Ketika Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab masuk, mereka segera berdiri dan menurunkan hijab (cadar). Setelah diberi izin Hadhrat ‘Umar (ra) masuk ke dalam. Sementara Rasulullah ﷺ tertawa. Hadhrat ‘Umar (ra) bertanya, ‘Apa yang membuat Anda tertawa wahai Rasulullah?’ Rasulullah ﷺ menjawab, ‘Aku heran terhadap wanita-wanita yang berada di sisiku ini, ketika mereka mendengar suaramu, segera mereka berdiri menarik hijab.’ Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Sebenarnya tuan yang lebih layak mereka segani, wahai Rasulullah ﷺ.’ Kemudian Hadhrat ‘Umar bin al-Khaththab berbicara kepada mereka, ‘Wahai para wanita yang menjadi musuh bagi nafsunya sendiri, bagaimana kalian segan terhadap diri saya dan tidak segan terhadap Rasulullah ﷺ?’ Mereka menjawab, ‘Ya, sebab Anda lebih keras dan lebih kasar daripada Rasulullah ﷺ.’
Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Wahai Ibnul al-Khaththab, demi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang jiwaku berada dalam genggaman tangan-Nya, sesungguhnya tidaklah setan menemuimu sedang berjalan di suatu jalan kecuali dia akan mencari jalan lain yang tidak engkau lalui.’”[15]
Hadhrat Aisyah (ra) meriwayatkan, كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَالِسًا فَسَمِعْنَا لَغَطًا وَصَوْتَ صِبْيَانٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَإِذَا حَبَشِيَّةٌ تُزْفِنُ وَالصِّبْيَانُ حَوْلَهَا فَقَالَ ” يَا عَائِشَةُ تَعَالَىْ فَانْظُرِي ” . فَجِئْتُ فَوَضَعْتُ لَحْيَىَّ عَلَى مَنْكِبِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَجَعَلْتُ أَنْظُرَ إِلَيْهَا مَا بَيْنَ الْمَنْكِبِ إِلَى رَأْسِهِ فَقَالَ لِي ” أَمَا شَبِعْتِ أَمَا شَبِعْتِ ” . قَالَتْ فَجَعَلْتُ أَقُولُ لاَ لأَنْظُرَ مَنْزِلَتِي عِنْدَهُ إِذْ طَلَعَ عُمَرُ قَالَ فَارْفَضَّ النَّاسُ عَنْهَا قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” إِنِّي لأَنْظُرُ إِلَى شَيَاطِينِ الإِنْسِ وَالْجِنِّ قَدْ فَرُّوا مِنْ عُمَرَ ” . قَالَتْ فَرَجَعْتُ “Suatu kali Rasulullah (saw) datang dan kami mendengar suara bising anak-anak. Rasulullah (saw) berdiri. Di sana terdapat seorang wanita Habsyah yang sedang menunjukkan atraksi permainan dan dikelilingi anak-anak. Rasulullah (saw) bersabda, ‘Kemari dan lihatlah ini’ Saya datang dan mulai menonton pertunjukan sambil menyandarkan dagu di atas pundak Rasulullah. Posisi dagu saya berada diantara pundak dan kepala beliau. Rasulullah (saw) lalu bersabda, ‘Belumkah kamu merasa cukup, wahai Aisyah?’ Saya berkata, ‘Belum, saya ingin melihat seberapa besar perhatian Anda kepada saya.’
Ketika Hadhrat ‘Umar (ra) datang, orang-orang mulai meninggalkan wanita itu.” Hadhrat Aisyah (ra) berkata: “Rasulullah (saw) bersabda, ‘Saya melihat, setan dari antara jin dan manusia melarikan diri dari ‘Umar (ra).’” Hadhrat Aisyah (ra) berkata, “Lalu saya kembali dari sana.”[16]
Hadhrat Buraidah (ra) meriwayatkan, خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى . فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلاَّ فَلاَ ” . فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ ” “Rasulullah (saw) pergi ke suatu peperangan. Ketika pulang, datang seorang budak perempuan hitam yang berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernazar (yang intinya) apabila Allah mengembalikanmu dalam keadaan selamat aku akan memukul gendang di hadapanmu dan bernyanyi.’ Rasulullah (saw). berkata kepada wanita itu: ‘Kalau memang demikian nazarmu, maka laksanakanlah. Tetapi kalau bukan demikian, tidak usah.’
Wanita itu kemudian menabuh gendangnya dan bernyanyi. Datanglah Hadhrat Abu Bakr (ra), wanita itu tetap menabuh gendang. Datanglah Hadhrat Ali (ra), wanita itu tetap menabuh gendang. Datanglah Hadhrat Usman (ra), wanita itu tetap menabuh gendang. Kemudian, datang Hadhrat ‘Umar (ra), wanita itu meletakkan gendang di bawah dan duduk di atasnya. Rasulullah bersabda: ‘Wahai ‘Umar! Setan pun takut kepada engkau. Ketika saya masih di sana, wanita itu tetap menabuh gendang. Kemudian Abu Bakr (ra) datang, wanita itu tetap menabuh gendang, Kemudian Ali (ra) datang, wanita itu tetap menabuh gendang, Kemudian Usman (ra) datang, wanita itu tetap menabuh gendang. Namun, wahai ‘Umar! Ketika kamu datang, wanita itu meletakkan gendangnya.’”[17]
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Nabi (saw) bersabda kepada Hadhrat ‘Umar, ‘Jika setan mendapati engkau di suatu jalan, maka setan akan mencari jalan lain dan takut denganmu.’ Dari dalil ini terbukti bahwa setan akan kabur dari Hadhrat ‘Umar (ra) layaknya seorang pengecut yang hina.”
Sabda Rasulullah (saw) berkenaan dengan kebenaran dan ketentraman pada kalbu dan lisan Hadhrat ‘Umar (ra), Hadhrat Abdullah Bin ‘Umar (ra) meriwayatkan, “Rasulullah (saw) bersabda, إِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ ‘Allah Ta’ala mengalirkan kebenaran pada lisan dan kalbu ‘Umar.’”[18]
Hadhrat Ibnu Abbas meriwayatkan dari saudaranya bernama al-Fadhl, “Saya mendengar Rasulullah (saw) bersabda, عُمَرُ مَعِي وَأَنَا مَعَ عُمَرَ وَالْحَقُّ بَعْدِي مَعَ عُمَرَ حَيْثُ كَانَ ‘‘Umar Bin Al-Khaththab (ra) bersama dengan saya di tempat yang saya sukai dan saya besertanya di tempat yang ia sukai. Sepeninggal saya, di manapun ‘Umar Bin Al-Khaththab (ra) berada, kebenaran akan selalu menyertainya.’”[19]
Hadhrat Ali meriwayatkan, مَا كُنَّا نُبْعِدُ أَنَّ السَّكِينَةَ تَنْطِقُ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ “Kami selalu mengatakan satu sama lain bahwa ketentraman selalu menyertai lisan dan kalbu Hadhrat ‘Umar (ra).”[20]
Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra) bersabda: “Nabi yang mulia (saw) pernah bersabda kepada salah seorang istri beliau, ‘Tolong siapkan perbekalan untuk perjalanan saya.’
Beliau mulai membuat persiapan untuk perjalanannya. kemudian Rasul (saw) meminta Hadhrat Aisyah (ra) untuk memanggang biji-bijian untuk beliau. Ini adalah jenis masakan yang biasa dibuat pada masa itu. Kemudian, Hadhrat Aisyah mulai menyaring debu atau tanah darinya.
Hadhrat Abu Bakr (ra) datang mengunjungi putrinya (Hadhrat Aisyah) di rumah dan melihat persiapan ini lalu bertanya kepadanya, ‘Apa yang terjadi? Apakah Nabi (saw) sedang mempersiapkan perjalanan?’
Aisyah menjawab, ‘Sepertinya begitu, karena Nabi (saw) menyuruh kami untuk membuat persiapan untuk perjalanan.’
Hadhrat Abu Bakr (ra) bertanya apakah ada rencana untuk berperang, dia menjawab, ‘Saya tidak tahu. Nabi (saw) baru saja menyuruh kami untuk membuat persiapan untuk perjalanan dan itulah yang kami lakukan.’
Dua atau tiga hari kemudian, Nabi (saw) memanggil Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra) dan memberi tahu mereka bagaimana hamba-hamba Tuhan itu datang dan tentang suatu peristiwa tertentu yang terjadi. Nabi yang mulia (sa) bersabda, ‘Allah telah memberitahu saya tentang kejadian itu sebelumnya, bahwa mereka (yaitu orang-orang Mekah) akan melakukan makar dan kita telah membuat perjanjian dengan mereka. Akan bertentangan dengan keimanan jika saat ini kita takut dan tidak mempersiapkan diri untuk berperang setelah menyaksikan keberanian dan kekuatan orang-orang Mekah. Kita harus pergi ke sana, bagaimana pendapat Anda tentang masalah ini?’
Hadhrat Abu Bakr (ra) berkata, ‘Wahai Rasulullah (sa), tuan telah membuat perjanjian dengan mereka dan mereka adalah umat Anda sendiri. (Dengan kata lain, apakah tuan akan berperang melawan kaum tuan sendiri?) Nabi (saw) bersabda, ‘Kita tidak akan memerangi kaum kita sendiri, kita akan memerangi mereka yang melanggar perjanjian.’
Nabi (saw) kemudian bertanya kepada Hadhrat ‘Umar (ra) yang kemudian Hadhrat ‘Umar (ra) berkata, ‘Bismillah, saya berdoa setiap hari agar kita dapat melihat hari ketika kita dapat memerangi orang-orang kafir untuk membela Nabi yang mulia (saw).’
Nabi (saw) bersabda, ‘Abu Bakr sangat lembut, tetapi ‘Umar (ra) lebih sering berbicara terus terang.’ Nabi (saw) melanjutkan, ‘Bersiaplah.’ Kemudian, Nabi (saw) mengumumkan kepada suku-suku sekitarnya bahwa setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (saw) harus berkumpul di Madinah pada hari-hari permulaan Ramadhan. Dengan demikian, laskar mulai berkumpul hingga ribuan laskar telah diorganisir lalu Rasul berangkat untuk perang.”
Berkenaan dengan keutamaan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra) terdapat satu Riwayat. Hadhrat Abu Said Khudri (ra) meriwayatkan, Nabi yang mulia (saw) bersabda: “Dari antara penghuni illiyyiin, akan ada orang yang mengintip ke arah penghuni surga, disebabkan oleh wajahnya, surga akan berkilauan seolah-olah merupakan sebuah bintang yang bersinar. Hadhrat Abu Bakr (ra) dan ‘Umar (ra) adalah termasuk diantaranya, betapa istimewanya mereka berdua.”
Abu ‘Utsman (أَبِي عُثْمَانَ) meriwayatkan, أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بَعَثَهُ عَلَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ “Rasulullah (saw) mengutus Hadhrat Amru Bin As (ra) sebagai komandan tentara ke Dzatus Salasil.” Dzatus Salasil ialah sebuah tempat yang jaraknya satu hari perjalanan dari Madinah. Ia merupakan jalan terusan menuju Wadiul Qura, daerah menetapnya kabilah Judzaam, terdapat nama sebuah sumur. Hadhrat Amru (ra) berkata: فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَىُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ قَالَ ” عَائِشَةُ ” . قُلْتُ مِنَ الرِّجَالِ قَالَ ” أَبُوهَا ” . قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ” عُمَرُ ” . فَعَدَّ رِجَالاً “Ketika saya kembali kepada beliau, saya bertanya kepada beliau, ‘Siapa yang paling Anda kasihi diantara orang-orang?’ Rasul (saw) bersabda, ‘Aisyah.’ Saya bertanya lagi, ‘Siapa dari kalangan pria?’ Rasul (saw) bersabda, ‘Ayahnya Aisyah.’ Saya bertanya lagi, ‘Siapa yang berikutnya?’ Rasul (saw) bersabda, ‘’Umar.’ Rasul pun menyebut beberapa nama pria.[21]
Hadhrat Anas (ra) meriwayatkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْرُجُ عَلَى أَصْحَابِهِ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنْصَارِ وَهُمْ جُلُوسٌ فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَلاَ يَرْفَعُ إِلَيْهِ أَحَدٌ مِنْهُمْ بَصَرَهُ إِلاَّ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَإِنَّهُمَا كَانَا يَنْظُرَانِ إِلَيْهِ وَيَنْظُرُ إِلَيْهِمَا وَيَتَبَسَّمَانِ إِلَيْهِ وَيَتَبَسَّمُ إِلَيْهِمَا “Rasulullah (saw) datang menuju perkumpulan sahabat dari antara para Anshar dan Muhajirin yang tengah duduk-duduk. Diantara mereka ada juga Abu Bakr (ra) dan ‘Umar (ra). Tidak ada diantara sahabat yang mengangkat pandangannya ke arah Rasulullah (saw) kecuali Abu Bakr (ra) dan ‘Umar (ra). Kedua sahabat tersebut melihat Rasul (saw) lalu tersenyum. Begitu juga Rasul memandang keduanya dan tersenyum.”[22]
Hadhrat Ibnu ‘Umar (ra) meriwayatkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ ذَاتَ يَوْمٍ وَدَخَلَ الْمَسْجِدَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِينِهِ وَالآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ وَهُوَ آخِذٌ بِأَيْدِيهِمَا وَقَالَ ” هَكَذَا نُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ” “Suatu hari Rasulullah (saw) keluar. Kemudian Rasulullah (saw), Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra) masuk ke dalam masjid. Salah satu di antara keduanya berada di sebelah kanan Rasulullah (saw) dan yang keduanya di sebelah kiri. Rasulullah memegang tangan keduanya. Rasul (saw) bersabda, ‘Seperti inilah kami akan dibangkitkan di hari kiamat.’”[23]
Abdullah bin Hanthab (عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْطَبٍ) meriwayatkan, أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَأَى أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقَالَ ” هَذَانِ السَّمْعُ وَالْبَصَرُ “ “Setelah melihat Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra), Rasulullah (saw) bersabda, ‘Kedua orang ini adalah telinga dan mata.’”[24]
Hadhrat Jabir Bin Abdillah (ra) meriwayatkan, قَالَ عُمَرُ لأَبِي بَكْرٍ يَا خَيْرَ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ . فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَا إِنَّكَ إِنْ قُلْتَ ذَاكَ فَلَقَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ مَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ عَلَى رَجُلٍ خَيْرٍ مِنْ عُمَرَ “Hadhrat ‘Umar (ra) berkata kepada Hadhrat Abu Bakr (ra), ‘Wahai sebaik-baik manusia setelah Rasulullah (saw).’ Hadhrat Abu Bakr (ra) menjawab, ‘Dengarlah! Jika engkau berkata demikian, saya pernah mendengar Rasululah (saw) bersabda, “Matahari tidak terbit pada seseorang yang lebih baik dari ‘Umar (ra).”’”[25]
Hadhrat Ibnu ‘Umar (ra) meriwayatkan, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ” أَنَا أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ ثُمَّ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ آتِي أَهْلَ الْبَقِيعِ فَيُحْشَرُونَ مَعِي ثُمَّ أَنْتَظِرُ أَهْلَ مَكَّةَ حَتَّى أُحْشَرَ بَيْنَ الْحَرَمَيْنِ ” ‘Rasulullah (saw) bersabda, ‘Saya akan menjadi orang pertama yang karenanya bumi akan terbelah, kemudian Abu Bakr (ra), kemudian ‘Umar (ra). Lalu saya akan datang menghampiri penghuni Baqi, mereka akan dibangkitkan bersama dengan saya, lalu saya akan menunggu penduduk Mekah, hingga saya akan dibangkitkan di tengah-tengah Haramain.’”[26]
Hadhrat Abdullah Bin Mas’ud (ra) meriwayatkan, أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ” يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” . فَاطَّلَعَ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ قَالَ ” يَطْلُعُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ” . فَاطَّلَعَ عُمَرُ “Nabi yang amat mulia (saw) bersabda, ‘Dari antara penghuni surga akan ada seseorang yang tengah datang menghampirimu.’ Kemudian, Hadhrat Abu Bakr (ra) datang. Kemudian beliau bersabda, ‘Dari antara penghuni surga akan ada seseorang yang tengah datang menghampirimu.’ Maka Hadhrat ‘Umar (ra) datang.[27]
Hadhrat Anas (ra) meriwayatkan berkenaan dengan Hadhrat Abu Bakr (ra) dan Hadhrat ‘Umar (ra), قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ “Rasulullah (saw) bersabda, هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ إِلا النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ ‘Dua orang ini (Abu Bakr dan ‘Umar) adalah dua pemimpin bagi segenap orang tua diantara para ahli surga dari kalangan awal dan akhir, terkecuali para Nabi dan Rasul ‘alaihimus salaam.’”[28]
Hadhrat Hudzaifah meriwayatkan, Rasulullah (saw) bersabda, اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ “Sepeninggalku ikutilah keduanya, Abu Bakr (ra) dan ‘Umar (ra).”[29]
Hadhrat Abu Said Khudri meriwayatkan, Rasulullah (saw) bersabda, مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ لَهُ وَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ وَوَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَمَّا وَزِيرَاىَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ وَأَمَّا وَزِيرَاىَ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ “Setiap nabi memiliki dua Menteri dari antara penduduk langit dan juga dari antara penduduk bumi. Dari antara penduduk langit, dua menteriku adalah Jibril dan Mikail, sedangkan dari antara penduduk bumi adalah Abu Bakr (ra) dan ‘Umar (ra).”[30]
Hadhrat Hudzaifah meriwayatkan, كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ” إِنِّي لاَ أَدْرِي مَا بَقَائِي فِيكُمْ فَاقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي ” . وَأَشَارَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ “Kami tengah duduk bersama dengan Rasulullah (saw), Rasululah (saw) bersabda, ‘Aku tidak tahu, sampai kapan aku akan berada di tengah-tengah kalian, bagi kalian ikutilah kedua orang ini sepeninggalku.’ Beliau (saw) mengisyaratkan kepada Hadhrat Abu Bakr (ra) dan ‘Umar.”[31]
Hadhrat Abu Bakrah meriwayatkan, “Nabi yang mulia (saw) suatu hari pernah bersabda, مَنْ رَأَى مِنْكُمْ رُؤْيَا ‘Siapakah diantara kalian yang melihat mimpi?’ Seseorang berkata, أَنَا رَأَيْتُ كَأَنَّ مِيزَانًا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ فَوُزِنْتَ أَنْتَ وَأَبُو بَكْرٍ فَرُجِحْتَ أَنْتَ بِأَبِي بَكْرٍ وَوُزِنَ عُمَرُ وَأَبُو بَكْرٍ فَرُجِحَ أَبُو بَكْرٍ وَوُزِنَ عُمَرُ وَعُثْمَانُ فَرُجِحَ عُمَرُ ثُمَّ رُفِعَ الْمِيزَانُ ‘Saya melihat mimpi. Di dalam mimpi itu terlihat seakan-akan ada timbangan yang turun dari langit lalu Anda (Hadhrat Rasulullah saw) dan Hadhrat Abu Bakr ditimbang dengan timbangan tersebut dan ternyata Anda lebih berat dari Hadhrat Abu Bakr. Kemudian Hadhrat Abu Bakr ditimbang dengan Hadhrat ‘Umar, Hadhrat Abu Bakr lebih berat timbangannya. Kemudian, ditimbanglah Hadhrat ‘Umar dengan Hadhrat ‘Utsman, ternyata Hadhrat ‘Umar lebih berat timbangannya. Setelah itu, timbangan diangkat.’” Perawi berkata, “فَرَأَيْنَا الْكَرَاهِيَةَ فِي وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم Setelah itu kami melihat raut ketidaksukaan pada wajah Rasulullah (saw).”[32]
Dalam satu Riwayat lagi yang menyatakan bahwa setelah mendengarkan mimpi tersebut Rasulullah (saw) bersabda, خِلاَفَةُ نُبُوَّةٍ ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ الْمُلْكَ مَنْ يَشَاءُ “Ini merupakan Khilafat paska nubuwwat, setelah itu Allah Ta’ala akan memberikan kerajaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”[33]
[عن عبد خير قال:] Abdu Khair meriwayatkan, قام علي على المنبر فقال: ألا أخبركم بخير هذه الأمة بعد نبيها ؟ قالوا : بلى ، قال : أبو بكر ، ثم سكت سكتة ثم قال : ألا أخبركم بخير هذه الأمة بعد أبي بكر ؟ عمر . “Hadhrat Ali (ra) berdiri di atas mimbar dan berkata, ‘Wahai manusia! Maukah kuberitahukan kepada kalian perihal manusia yang terbaik dalam umat ini sepeninggal Rasulullah?’ Orang-orang berkata: ‘Kenapa tidak!’ Hadhrat Ali (ra) bersabda: ‘Abu Bakr’, kemudian beliau diam sejenak lalu bersabda, ‘Wahai Manusia! Maukah kuberitahukan kepada kalian perihal manusia yang terbaik dalam umat ini sepeninggal Abu Bakr (ra)? Dia adalah ‘Umar (ra).’”[34]
[عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ:] Abu Juhaifah mengatakan, سَمِعْتُ عَلِيًّا يَقُولُ : خَيْرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ، وَلَوْ شِئْتُ لَحَدَّثْتُكُمْ بِالثَّالِثِ “Saya mendengar dari Hadhrat Ali yang berkata, ‘Yang terbaik dalam umat ini sepeninggal Rasulullah (saw) adalah Abu Bakr (ra) selanjutnya ‘Umar (ra).’”[35]
Kisah ini masih berlanjut dan ke depannya akan saya sampaikan. Riwayat Hadhrat ‘Umar (ra) tinggal sedikit lagi.
Saat ini saya akan menshalatkan jenazah untuk beberapa almarhum, almarhumah. Berikut akan saya sampaikan dulu perihal mereka. Pertama, Yth. Kamran Ahmad Sahib Syahid Bin Nasir Ahmad Sahib dari Peshawar yang disyahidkan pada tanggal 9 November oleh para penentang dengan cara ditembak di kantor beliau. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Usia beliau 44 tahun. Pada hari kejadian, beliau tengah bertugas di pabrik milik seorang Ahmadi bernama Syafiqur Rahman Sahib sebagai akuntan. Tiba-tiba datang seorang pria bersenjata api lalu menembaki beliau. Beliau terkena 4 peluru dan syahid di tempat. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Paska kejadian, pelaku langsung melarikan diri.
Jemaat masuk ke dalam keluarga beliau dengan perantaraan kakek buyut dari ayahanda beliau, Yth. Nasir Ahmad Sahib, yang bernama Hadhrat Nabi Bakhsy Sahib Bin Fatah Din Sahib dari Bhini Bangranzd Qadian yang baiat ditangan Hadhrat Masih Mauud (as). Beberapa waktu sebelumnya almarhum menyewa sebuah toko lalu memfungsikannya sebagai kantor bersama dengan saudaranya. Setelah mengetahui bahwa almarhum adalah Ahmadi, pemilik toko memerintahkan untuk mengosongkan toko tersebut dalam jangka waktu satu hari. Lalu perempatan tersebut diganti nama menjadi perempatan Khatam-e-Nubuwwat. Kemudian setelah mengetahui bahwa beliau menyewa toko lain yang letaknya tidak jauh dari sana, para penentang membawa masa untuk mengosongkan toko tersebut. Tidak jauh dari rumah almarhum, diadakan satu tabligh akbar pada bulan Oktober. Dalam acara tersebut disampaikan ceramah-ceramah hasutan untuk menentang jemaat. Dilaporkan, “Kami belum pernah melihat acara yang lebih besar dari itu sebelumnya di daerah itu.” Sebagai akibatnya semakin besar kebencian yang tertanam kepada jemaat di daerah itu.
Almarhum Syahid juga bekerja mengelola bagian akuntansi di sebuah Lembaga swasta. Disebabkan oleh penentangan, almarhum mengundurkan diri dari pekerjaan tersebut. Mengetahui hal itu, pihak Lembaga berkata: “Akhlak dan kejujuran Anda sedemikian rupa sehingga kami tidak dapat melepaskan Anda. Mohon Anda sering-sering datang walau hanya beberapa menit saja.” Setelah mengetahui kabar syahidnya beliau, para simpatisan itu sangat menyesalkannya.
Almarhum Syahid memiliki banyak sekali keistimewaan. Ayah beliau menuturkan, “Ketika terlambat tiba di rumah di malam hari, suatu hari saya bertanya kepadanya: ‘Hari ini kamu terlambat tiba di rumah, kenapa?’ Almarhum menjawab, ‘Ada seorang wanita yang berasal dari keluarga penentang jemaat yang memerlukan bantuan darah, tadi saya pergi untuk mendonorkan darah untuknya, karena mereka kurang mampu dari sisi ekonomi dan terpaksa. Biarkanlah mereka dengan sikapnya terhadap jemaat.’”
Almarhum selalu giat dalam memberikan pengkhidmatan, biasa hadir lebih dulu untuk melakukan pengkhidmatan dalam jemaat dan tugas-tugas penjagaan dan beliau sendiri biasa bertugas di tempat-tempat yang beresiko tinggi. Ketika disarankan kepada almarhum untuk berhijrah (ke tempat yang lebih aman), beliau menjawab: Jika kita meninggalkan daerah ini, maka permasalahan para Ahmadi yang masih lemah bisa meningkat. Dalam hal pengorbanan candah beliau memberikan dalam jumlah yang cukup besar dan selalu berusaha untuk membayarkannya di awal. Suatu ketika, pada usia 12 atau 13 tahun, karena membagikan pamflet Mubahalah, Polisi menangkap dan memasukkan beliau ke sel namun akhirnya bebas keesokan harinya. Dilaporkan, “Dua hari sebelum peristiwa pensyahidan, Almarhum melihat mimpi ada seorang wanita tua tengah membersihkan rumahnya mengatakan, ‘Khalifah keempat akan datang!’ Tidak lama kemudian Hudhur datang lalu memegang tangan almarhum dan bersabda dengan penuh kasih sayang: ‘Kita akan tinggal bersama dan kamu harus tinggal bersama saya.’”
Dengan karunia Allah Ta’ala almarhum adalah musi, bertabiat lembut, dicintai oleh warga sekitar, berkepribadian mulia, penyayang si miskin, dan sangat mencintai Khilafat. Beliau meninggalkan ayah ibu, istri dan tiga orang anak. Ayah beliau bernama Nasir Ahmad Sahib. Anak beliau berusia 13, 11 dan 8 tahun. Semoga Allah Ta’ala melindungi anak anak beliau, memberikan ketabahan kepada semuanya, memberikan magfirah, memberikan rahmat-Nya dan meninggikan derajatnya. Ibunda beliau juga sakit kanker, doakan semoga Allah Ta’ala mencurahkan karunia-Nya.
Yang kedua, Dr Mirza Nabeer Ahmad dan istri, Aisyah Anbar Sayyid yang wafat dalam suatu kecelakaan di Malwa, Amerika. Dr Mirza Nabeer Ahmad berusia 35 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kakek buyut Almarhum, Hadhrat Deputi Mia Muhammad Syarif Sahib (ra), sahabat Hadhrat Masih Mauud as. Nenek Almarhum dari garis ibu adalah putri dari Master Abdurrahman Sahib (ra). Kakek buyut beliau dari garis ibu pun adalah sahabat. Dalam keluarga beliau terdapat beberapa sahabat. Pada tahun 2012 beliau pindah ke Amerika. Beliau mendapatkan taufik untuk bergabung kedalam nizam wasiyyat pada usia 17 tahun. Beliau juga mendapatkan taufik untuk mengkhidmati Qaid Majlis Khuddamul Ahmadiyah. Untuk membeli satu bangunan baru guna dijadikan masjid, beliau termasuk salah satu diantara para penyumbang terbesar di jemaat lokalnya. Keluarga yang ditinggalkan di antaranya ayah, Mirza Nashir Ahmad Sahib, saat ini berkhidmat sebagai Sekr Umur Amah Islamabad, Ibunda beliau adalah saudari dari ketua lajnah wilayah Islamabad, Nadiya Sahibah dan juga meninggalkan dua saudara.
Istri beliau Aisyah Anbaar Sahibah yang wafat dalam kecelakaan bersama beliau adalah putri dari Sayyid Syujaat Syah Sahib dari Jepang dan merupakan saudari muballigh kita di Jepang saat ini, Ibrahim Shab. Jemaat Ahmadiyah masuk kedalam keluarga beliau melalui perantaraan Sayyid Abdurrahim Shah Sahib dari Phaglah yang baiat pada tahun 1930 di tangan Hadhrat Mushlih Mauud (ra). Seperti yang telah saya katakan, beliau juga wafat dalam kecelakaan yang sama dengan suami beliau, dua hari kemudian. Almarhumah merupakan anggota tim MTA Internasional yang aktif dan juga biasa menerjemahkan khutbah-khutbah saya secara langsung kedalam Bahasa Jepang dan juga membuatkan subtitlenya. Keluarga yang ditinggalkan diantaranya adalah ayah bernama Sayyid Sajjad Ahmad dan ibu bernama Sayyidah Durre Tsamin Sayyid. Beliau juga meninggalkan 3 saudara dan satu saudari.
Saudara beliau, Muballig di Jepang menuturkan, “Almarhumah banyak membantu saya dalam mengerjakan tugas-tugas jemaat. Membantu saya juga dalam menerjemahkan buku Lecture Lahore dan Hamara Khuda ke dalam Bahasa Jepang. Kualitas terjemahan beliau selalu membuat saya takjub yakni meskipun basic Pendidikan beliau adalah di bidang pharmacy namun bagaimana bisa mampu menerjemahkan dengan baik seperti ini.”
Kakak beliau, Fatimah Sahibah menuturkan, “Secara kebetulan saya dapat membaca catatan harian beliau, pada setiap halamannya tertulis beragam topik. Pada satu halaman tertulis ‘Kehidupan duniawiku dan pada halaman lain tertulis ‘Kehidupan ruhaniku’ Pada halaman duniawi dikhususkan berkenaan dengan urusan keseharian yang sifatnya keduniawian. Sedangkan pada halaman ruhani tertulis segala perkara keruhanian, catatan kejemaatan dan keilmuan agama. Beliau menulis dengan indah dan penuh pemikiran pada setiap halamannya. Beliau memiliki kekhasan dalam hal merenungkan setiap sabda khalifah, mengamalkannya dan menasihatkannya kepada saudara saudari beliau. Beliau juga sering menjelaskan perihal ajaran Islam yang penuh dengan kebijaksanaan kepada kawan-kawan yang berkebangsaan Jepang.”
Semoga Allah Ta’ala memberikan magfirah kepada kedua almarhum, mencurahkan rahmat-Nya dan meninggikan derajat-Nya.
Ketiga, Choudry Nasir Ahmad Sahib, Sekretaris Maal Karachi di Jemaat Kalfatan. Beliau adalah putra dari Choudry Nazir Ahmad Sahib dari Rabwah. Beliau wafat pada usia 69 tahun. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Pada hari kewafatan, beliau mengimami shalat subuh bagi saudari dan saudaranya, ketika sujud pada rakaat kedua, secara tiba tiba detak jantung beliau terhenti dan menyebabkan kewafatan. Dengan karunia Allah Ta’ala beliau adalah Musi. Hadhrat Masih Mau’ud (as) menyatakan kewafatan yang terjadi pada saat shalat sebagai kewafatan yang layak untuk dicemburui. Ayahanda almarhum, Choudry Nazir Ahmad mendapatkan taufik untuk berkhidmat di Jemaat paska pensiun sebagai Naib Nazir Ziroat dan Wakil Ziroat. Adik Beliau, Choudry Naim Ahmad Sahib saat ini berkhidmat sebagai Officer Khazanah Anjuman. Beliau meninggalkan istri, Nusrat Nasir Sahibah, beliau tidak memiliki anak. Pada tahun 1972 beliau pindah ke Karachi, beliau memiliki beberapa usaha dan mendapatkan taufik untuk berkhidmat dalam berbagai posisi di jemaat Karachi. Semoga Allah Ta’ala memberikan maghfirah dan rahmat-Nya kepada beliau.
Keempat, Sardaran Bibi Sahibah, istri Choudry Nabi Bakhsy Sahib di Darur Rahmat Gharbi Rabwah yang wafat beberapa hari lalu, Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Beliau berasal dari Pathankot, Gurdaspur-India lalu hijrah ke Pakistan. Pada awalnya di Sialkot lalu ke Sindh. Orang tua dan seluruh keluarga Almarhumah beraliran Syiah. Ketika almarhum baiat pada tahun 1949 bersama suami, orang tua beliau berkata kepada putrinya, “Suamimu telah kafir untuk itu kembalilah kemari.” Almarhumah baiat tidak bersama keluarga, hanya bersama suami rupanya. Keluarga selebihnya tidak ikut baiat. Keluarga mengatakan, “Suamimu telah kafir, tinggalkan saja dia.”
Beliau menjawab, “Sekarang saya telah menjadi Muslim yang benar. Sebelum baiat masuk Ahmadiyah, saya biasa melakukan shalat subuh saja, namun sekarang, saya tidak hanya melakukan shalat lima waktu bahkan tahajjud juga secara dawam, untuk itu saya tidak akan pulang.” Empat belas (14) tahun kemudian beliau menemui orang tua, pada saat itupun beliau bersikap hangat kepada orang tua, namun meskipun demikian hati mereka tidak luluh dan tidak pernah datang untuk menemui almarhum. Almarhumah memiliki kecintaan tulus terhadap jemaat dan Khilafat, penolong si miskin, dan seorang wanita yang mukhlis. Beliau seorang musiah. Beliau meninggalkan 3 putra dan 4 putri.
Putra sulung Almarhumah, Dr Abdurrahim Sahib mendapatkan taufik untuk berkhidmat di Sierra Leone selama 5 tahun dibawah skema Nusrat Jahan. Adik beliau, Abdul Khaliq Nayyar Sahib adalah seorang Muballigh, saat ini mendapatkan taufik untuk berkhirmat di Kamerun. Beliau juga sibuk berkhidmat di lapangan sebagai Missionary Incharge dan Amir, untuk itu beliau tidak dapat ikut serta dalam pengurusan jenazah almarhumah.
Semoga Allah Ta’ala memberikan ketabahan kepada mereka semua dan meninggikan derajat almarhumah.
Khotbah II
الْحَمْدُ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا – مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ – عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ – أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Syahid (London-UK), Mln. Hasyim dan Mln. Fazli ‘Umar Faruq. Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Sumber referensi: www.alislam.org (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Inggris dan Urdu) dan www.Islamahmadiyya.net (website resmi Jemaat Ahmadiyah Internasional bahasa Arab).
[1] Al Balaadzuriy, nama lengkapnya adalah Ahmad bin Yahya bin Jabir bin Dawud Al Baladzuri dalam karyanya Ansab Al Asyraaf: عن مصعب بن سعد قال: قالت حفصة لأبيها: يا أمير المؤمنين قد أوسع الله الرزق، وفتح عليك الأرض، وأكثر لك الخير، فلو أكلت ألين من طعامك ولبست ألين من لباسك فقال: سأخاصمك إلى نفسك، أما تذكرين ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يلقى من شدة العيش، أما تذكرين، أما تذكرين؟ فما زال يذكرها حتى أبكاها، ثم قال إني قد قلت لك: إني والله إن استطعت لأشاركنه وخليفته من بعده في عيشهما الشديد، لعلي ألقى معهما عيشهما الرخي، قال: يريد مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر رضي الله عنه.
[2] Al Balaadzuriy, dalam karyanya Ansab Al Asyraaf.
[3] Syarh Nahjul Balaghah karya Ibnu Abil Hadid (شرح نهج البلاغة – ابن أبي الحديد – ج ١٢ – الصفحة ٣٣): و جاء قوم من الصحابة إلى حفصة فقالوا لو كلمت أباك في أن يلين من عيشه لعله أقوى له على النظر في أمور المسلمين فجاءته فقالت إن ناسا من قومك كلموني في أن أكلمك في أن تلين من عيشك فقال يا بنية غششت أباك و نصحت لقومك .
[4] Ath-Thabaqaat al-Kubra: أخبرنا أبو عقيل قال الحسن إن عمر بن الخطاب أبى إلا شدة وحصرا على نفسه فجاء الله بالسعة فجاء المسلمون فدخلوا على حفصة فقالوا أبى عمر إلا شدة على نفسه وحصرا وقد بسط الله في الرزق فليبسط في هذا الفئ فيما شاء منه وهو في حل من جماعة المسلمين فكأنها قاربتهم في هواهم فلما انصرفوا من عندها دخل عليها عمر فأخبرته بالذي قال القوم فقال لها عمر يا حفصة بنت عمر نصحت قومك وغششت أباك إنما حق أهلي في نفسي ومالي فأما في ديني وأمانتي فلا قال أخبرنا عارم بن الفضل قال أخبرنا حماد بن زيد عن غالب يعني القطان عن الحسن قال كلموا حفصة أن تكلم أباها أن يلين من عيشه شيئا فقالت يا أبتاه أو يا أمير المؤمنين إن قومك كلموني أن تلين من عيشك فقال غششت أباك ونصحت لقومك .
[5] Kanzul ‘Ummal (كنز العمال – المتقي الهندي – ج ١٢ – الصفحة ٥٥٦)
[6] Surah Al Furqan, 25: 68, dengan bismillahir rahmanir rahim sebagai ayat pertama. “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
[7] Madarijus Salikin karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah (مدارج السالكين – ابن قيم الجوزية): ويذكر عن سفيان الثوري رحمه الله أنه قال : أعز الخلق خمسة أنفس : عالم زاهد وفقيه صوفي وغني متواضع وفقير شاكر وشريف سني وقال عروة بن الزبير رضي الله عنهما : رأيت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على عاتقه قربة ماء فقلت : يا أمير المؤمنين لا ينبغي لك هذا فقال : لما أتاني الوفود سامعين مطيعين دخلت نفسي نخوة فأردت أن أكسرها . Tarikh ibnu Asakir (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٤٤ – الصفحة ٣١٨): نا حماد بن سلمة نا عبيد الله بن عمر أن عمر بن الخطاب حمل قربة على عنقه فقال له أصحابه يا أمير المؤمنين ما حملك على هذا قال إن نفسي أعجبتني فأردت أن أذلها .
[8] Tarikh al-Madinah karya Ibnu Syabah (تاريخ المدينة لابن شبة أخبار عمر بن الخطاب رضي الله عنه حديث رقم 988). Di dalam Tarikh ath-Thabari (تاريخ الطبري) menyebutkannya, لا شَيْءَ فِيمَا تَرَى تَبْقَى بَشَاشَتُهُ *** يَبْقَى الإِلَهُ وَيُودَى الْمَالُ وَالْوَلَدُ – laa syai-a fii-maa taraa tabqa basyaasyaatuhu – yabqal ilaahu wa yuudal maalu wal waladu -. https://www.alsirah.com/%D8%B4%D9%8E%D9%8A%D9%92%D8%A1%D9%8C-%D9%85%D9%90%D9%86%D9%92-%D8%B3%D9%90%D9%8A%D9%8E%D8%B1%D9%90%D9%87%D9%90-%D9%85%D9%90%D9%85%D9%91%D9%8E%D8%A7-%D9%84%D9%8E%D9%85%D9%92-%D9%8A%D9%8E%D9%85%D9%92/
[9] Anwarul Khilafah, Anwarul ‘Ulum jilid 3 halaman 130 (أنوار الخلافة، أنوار العلوم ج3 ص130)
[10] Hilyatul Auliya (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء جبير بن نفير حديث رقم 6871); tercantum juga dalam Kanzul ‘Ummal (کنـز العمال، کتاب فضائل الصحابة).
[11] Khuthbaat-e-Mahmud jilid ke-27 halaman 313-314 (خطبات محمود، ج27 ص313-314)
[12] Sahih al-Bukhari 6905, 6906, Kitab Ad-Diyat atau uang darah (كتاب الديات), bab janin seorang perempuan (باب جَنِينِ الْمَرْأَةِ): عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، عَنْ عُمَرَ ـ رضى الله عنه ـ أَنَّهُ اسْتَشَارَهُمْ فِي إِمْلاَصِ الْمَرْأَةِ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ قَضَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِالْغُرَّةِ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ. فَقَالَ ائْتِ مَنْ يَشْهَدُ مَعَكَ، فَشَهِدَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ أَنَّهُ شَهِدَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَضَى بِهِ .
[13] Jami` at-Tirmidhi 2690, Kitab meminta izin dan adab (كتاب الاستئذان والآداب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), bab meminta izin itu tiga kali (باب مَا جَاءَ فِي الاِسْتِئْذَانِ ثَلاَثَةً).
[14] Shahih Muslim 31, (كتاب الإيمان), (باب مَنْ لَقِيَ اللَّهَ بِالإِيمَانِ وَهُوَ غَيْرُ شَاكٍّ فِيهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَحَرُمَ عَلَى النَّارِ)
[15] Sahih al-Bukhari 3683, Kitab Fadhail Ash-haabin Nabiyyi (كتاب فضائل أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم), bab Manaqib ‘Umar (باب مَنَاقِبُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَبِي حَفْصٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ)
[16] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3691 atau 4055.
[17] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3690 atau 4054.
[18] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3682 atau 4046.
[19] Kitab ats-Tsani min Fadhail ‘Umar ibnil Khaththab (كتاب الثاني من فضائل عمر بن الخطاب), karya (المقدسي، عبد الغني): عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ أَخِيهِ الْفَضْلِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: .
[20] Asy-Syari’ah karya al-Ajurri (الشريعة للآجري), Pembahasan Fadhail ‘Umar ibnil Khaththab (كتاب فضائل أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه), (باب ما روي أن الله عز وجل جعل الحق على قلب عمر ولسانه , وأن السكينة تنطق على لسانه حديث رقم 1327).
[21] Sahih Muslim 2384, Kitab Fadhailush Shahabah (كتاب فضائل الصحابة رضى الله تعالى عنهم), bab keutamaan Abu Bakr (باب مِنْ فَضَائِلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضى الله عنه).
[22] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3668 atau 4031.
[23] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3669 atau 4032.
[24] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3671 atau 4034.
[25] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3684 atau 4048.
[26] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3692 atau 4056.
[27] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3694 atau 4058.
[28] Tarikh Madinah Dimasyq (تاريخ مدينة دمشق – ابن عساكر – ج ٤٤ – الصفحة ١٧٠). Tercantum juga dalam Kitab ats-Tsaani min Fadhail ‘Umar bin al-Khaththab (كتاب الثاني من فضائل عمر بن الخطاب) Abdul Ghani bin ‘Abdul Wahid bin ‘Ali bin Surur al-Maqdisi al-Jama’ili ad-Dimasyqi al-Hambali, Abu Muhammad, Taqiyuddin (عبد الغني بن عبد الواحد بن علي بن سرور المقدسي الجماعيلي الدمشقي الحنبلي، أبو محمد، تقي الدين). Ada juga riwayat menurut Hadhrat ‘Ali (ra): عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ § (( هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ إِلا النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ لا تُخْبِرْهُمَا )) .
[29] Syarh Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (شرح أصول اعتقاد أهل السنة والجماعة) karya Abu al-Qasim Hibatullah bin Hasan bin Manshur ath-Thabari ar-Razi al-Kalaa-i (أبو القاسم هبة الله بن الحسن بن منصور الطبري الرازي اللالكائي) yang wafat pada 418 Hijriyyah, (بَابُ جِمَاعِ فَضَائِلِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ), (سِيَاقِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي فَضَائِلِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ), penerbit Dar Thayibah-Sa’udi Arabia (الناشر: دار طيبة – السعودية), edisi kedelapan pada tahun 2003 atau 1423 Hijriyyah (الطبعة: الثامنة، 1423هـ / 2003م); tercantum dalam al-Jami’ush Shaghir (الجامع الصغير من حديث البشير النذير); tercantum dalam Kanzul ‘Ummal (كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال) dalam bab (فضائل أبي بكر وعمر رضي الله عنهما); Faidhul Qadir syarh al-Jami ash-Shaghir (فيض القدير شرح الجامع الصغير من أحاديث البشير النذير 1-6 ج2) karya al-Munawi (محمد عبد الرؤوف/ابن تاج العارفين المناوي).
[30] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3680 atau 4044.
[31] Jami at-Tirmidzi, Kitab al-Manaqib (كتاب المناقب عن رسول الله صلى الله عليه وسلم), nomor 3663 atau 4025. Sunan Ibn Majah 97, Kitab al-Muqaddiamah (كتاب المقدمة), bab keutamaan Abu Bakr (باب فَضْلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رضى الله عنه)
[32] Sunan Abi Dawud, Kitab al-Sunnah (كتاب السنة), Bab fi al-Khulafa (باب فِي الْخُلَفَاءِ), Hadith 2634.
[33] Sunan Abi Dawud, Kitab al-Sunnah (كتاب السنة), Bab fi al-Khulafa (باب فِي الْخُلَفَاءِ), nomor Hadits 2635.
[34] Fadhailush Shahabah karya Ibni Hanbal (فضائل الصحابة لابن حنبل), bahasan Amirul Mu-minin ‘Umar (فضائل أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه), bab yang terbaik dari umat ini setelah Nabinya (باب : خير هذه الأمة بعد نبيها), 594.
Hilyatul Auliya (حلية الأولياء وطبقات الأصفياء), Abu Nu’aim al-Ashbahani (أبو نعيم أحمد بن عبد الله الأصبهاني), penerbit Darul Kitab al-‘Arabi, Beirut (دار الكتاب العربي – بيروت), (الطبعة الرابعة ، 1405).
[35] Fadhailush Shahabah karya Ibni Hanbal (فضائل الصحابة لابن حنبل), bahasan Amirul Mu-minin ‘Umar (فضائل أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه), bab yang terbaik dari umat ini setelah Nabinya (باب : خير هذه الأمة بعد نبيها), 382: عن أبي جحيفة قال : قال علي : خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ، وبعد أبي بكر عمر ، ولو شئت أخبرتكم بالثالث لفعلت .