Apakah Islam Melarang Melindungi Tempat Tinggal Non Muslim?
Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) mendirikan pemerintahan yang berdaulat dan bersatu berdasarkan kebebasan beragama, saling menghormati dan saling percaya. Sebagai pemimpin Madinah, Beliau mengupayakan Piagam tersebut memasukkan Pasal 39 — yaitu meminta saran dan nasihat dari orang Yahudi — agar tidak ada pihak-pihak yang menuduh pihak lain melakukan tindakan sepihak atau tidak adil. Akhirnya, Pasal 44 dan 49 meminta pertanggungjawaban umat Islam dan Yahudi jika mereka tidak memenuhi kesetiaan satu sama lain.
Pertama-tama kita perlu menghargai status yang dinimati orang Yahudi di bawah pemerintahan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam).
Islam tidak menganggap orang Yahudi sebagai ‘orang kafir’. Mereka disebut sebagai ‘Ahli Kitab’ dan diberikan posisi kesetaraan [1].
Ketika Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) tiba di Madinah, beliau mengumumkan Piagam Madinah. Piagama yang dibangun bersama ini berfungsi sebagai konstitusi untuk mengatur Madinah dan membentuk aliansi antara Yahudi dan Muslim. [2]
Di antara banyak pasal progresif, pasal 16-19 menjelaskan pendirian Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) terhadap orang Yahudi dan hak-hak mereka di Madinah:
- Kaum Yahudi yang mengikuti kaum Mukminin berhak mendapat bantuan dan diperlakukan dengan penuh kesetaraan. (Kesetaraan sosial, hukum, dan ekonomi dijanjikan kepada semua warga negara yang loyal).
- Tidak boleh ada orang Yahudi yang dianiaya karena ia seorang Yahudi.
- Musuh-musuh Yahudi yang mengikuti kita tidak akan mendapat bantuan.
- Perdamaian mukminin tidak dibeda-bedakan. (Ini bisa berupa perdamaian atau peperangan untuk semua. Tidak boleh jika sebagian penduduk berperang dengan pihak luar dan sebagian lagi dalam kondisi damai) [3]
Jadi, Rasulullah tidak hanya hanya menetapkan kebebasan beragama bagi orang Yahudi, tetapi juga memastikan bahwa umat Islam dilarang mendukung musuhnya orang Yahudi.
Pasal selanjutnya dari Piagam Madinah yaitu pasal 21, 30 dan 31 berbunyi:
- Kondisi perdamaian dan perang, kemudahan dan kesulitan yang menyertainya harus berlaku sama dan merata bagi semua warga negara.
- Kaum Yahudi Bani ‘Awf akan diperlakukan sebagai satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Kecuali orang-orang yang zalim dan jahat. Hal demikin akan merusak diri dan keluarga.
- Hal yang sama berlaku untuk kuam Yahudi Bani An-Najjar, Bani Al-Hárits, Bani Sa’idah, Bani Jusyam, Bani Al-Aus, Tsa’labah, dan Jafnah, dan Bani Ash-Syutaibah. [4]
Pasal-pasal ini jelas — kaum Yahudi yang diperlakukan sebagai satu umat, mendapatkan kebebasan beragama, kecuali mereka yang bertindak melawan prinsip keadilan. Lebih lanjut Piagam ini menguraikan hak dan tanggung jawab dalam Pasal 38-42:
- Jika ada yang menyerang kelompok dalam Perjanjian ini, maka yang lain harus membantunya.
- Mereka (pihak-pihak dalam Perjanjian ini) harus saling memberi saran dan nasihat.
- Kesetiaan memberikan perlindungan dari pengkhianatan. Mereka yang menghindari saran bersama, mereka melakukannya karena kurangnya ketulusan dan kesetiaan.
- Seorang tidak bertanggung jawab atas kesalahan sekutunya.
- Siapa pun (individu atau pihak mana pun) yang teraniaya harus dibela. [5]
Jadi, Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) mendirikan pemerintahan yang berdaulat dan bersatu berdasarkan kebebasan beragama, saling menghormati dan saling percaya. Sebagai pemimpin Madinah, Beliau mengupayakan Piagam tersebut memasukkan Pasal 39 — yaitu meminta saran dan nasihat dari orang Yahudi — agar tidak ada pihak-pihak yang menuduh pihak lain melakukan tindakan sepihak atau tidak adil.
Akhirnya, Pasal 44 dan 49 meminta pertanggungjawaban umat Islam dan Yahudi jika mereka tidak memenuhi kesetiaan satu sama lain.
- Yatsrib akan menjadi tempat perlindungan (tanah suci) bagi orang-orang dalam piagam ini.
- Para pendukung Piagam ini terikat untuk saling membantu jika terjadi serangan terhadap Yatsrib.
Dengan demikian, umat Islam dan Yahudi sepakat untuk saling melindungi dari serangan dan bertindak sebagai warga negara dari pemerintah yang berdaulat. Pemberontakan melawan Piagam yang demokratis ini adalah pengkhianatan. Bahkan sampai hari ini, hampir setiap negara berdaulat, termasuk Amerika Serikat dan sebagian besar Eropa, menetapkan hukuman mati untuk pengkhianatan.
Pembunuhan Abu Rafi karena Pengkhianatan
Para kritikus menuduh bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) membunuh Abu Rafi, kepala suku Bani Nadir yang dibunuh karena ‘orang kafir tidak memiliki hak dalam Islam dan tempat tinggal mereka tidak dilindungi.’ [6] Mereka mengutip Ibn Ishaq untuk membenarkan tuduhan ini.
Ibn Ishaq menjelaskan mengapa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) memerintahkan hukuman mati untuk Abu Rafi, Kepala suku Banu Nadir:
Ketika pertempuran khandak dan pengkhianatan Bani Quraizah selesai, muncul masalah baru yaitu Sallam bin Abu’l-Huqayq yang dikenal sebagai Abu Rafi yang menjalin hubungan dengan orang-orang yang telah mengumpulkan suku-suku gabungan untuk melawan Rasulullah.[7]
Seperti yang telah ditetapkan oleh para sejarawan, dua suku Yahudi di Madinah, Bani Nadir dan Banu Quraizah, memberontak terhadap Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan kaum Muslimin saat Madinah diserang. [8] Suku-suku ini akhirnya diasingkan karena pengkhianatan tersebut. Dan, seperti yang ditulis Ibn Ishaq, Abu Rafi adalah pemimpin suku yang memerintahkan tindakan pengkhianatan sebagai pembangkangan langsung terhadap Piagam Madinah Pasal 19, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 38, Pasal 42, Pasal 44, dan Pasal 49. Pasal-pasal ini mengikat umat Islam dan Yahudi untuk saling membantu jika Madinah diserang.
Demikian juga, Bukhari mencatat, “Abu Rafiah biasa menyakiti Rasulullah dan membantu musuh-musuh untuk melawan Beliau.” [9]
Oleh karena itu, Abu Rafi dieksekusi bukan karena ia seorang kafir yang tidak mendapat perlindungan. Abu Ráfi dieksekusi karena dia mendorong pengkhianatan dan secara terang-terangan memberontak terhadap pemerintahan Madinah, meskipun ia turut menandatangani dan meratifikasi Piagam Madinah. Orang-orang tak berdosa kehilangan nyawa mereka karena pengkhianatan Abu Rafi. Adakah pemerintah saat ini yang mentolerir warganya yang dengan sukarela membantu musuh untuk merugikan negara?
Kemudian Ibn Ishaq juga menceritakan tentang hukuman terhadap Abu Rafi: “Ketika mereka pergi [untuk membunuh Abu Rafi karena pengkhianatannya, [Rasulullah) menunjuk ‘Abdullah bin’ Atik sebagai pemimpin mereka, dan Beliau melarang mereka untuk membunuh wanita atau anak-anak. ”[10] Sesuai dengan perintah, mereka tidak menyakiti istri Abu Rafi, meskipun istrinya tersebut hampir menggagalkan upaya mereka.
Wilders keliru jika menggambarkan bahwa hukuman terhadap Abu Rafi sebagai serangan pendahuluan. Hukuman Abu Rafi adalah bentuk penegakan keadilan, yang sebelumnya telah ditandatangani dan disepakati bersama, sebagai konsekuensi pengkhianatan terhadap pemerintah yang berdaulat.
Referensi
[1] Al-Qur’an 3: 65, misalnya, menjelaskan tentang orang-orang Yahudi dan Kristen, “Katakanlah, ‘Hai Ahli kitab, marilah kepada satu kalimat yang sama di antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan tidak pula kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.’ Tetapi jika mereka berpaling, maka katakanlah, “Jadilah saksi bahwa kami orang-orang yang berserah diri kepada Allah.”
[2] Piagam Madinah pasal 1 menyatakan, “Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) mengatur hubungan antara orang-orang mukmin yaitu Muslim Quraisy dan Yatsrib dan orang-orang yang mengikuti dan berjuang dengan mereka. Mereka membentuk satu umat,” tersedia di http://www.constitution.org/cons/medina/macharter.htm melalui The Constitution Society, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan pada tahun 1994 yang didedikasikan untuk penelitian dan publikasi pemerintahan republik konstitusional.
[3] Id.
[4] Id.
[5] Id.
[6] Geert Wilders, Marked for Death: Islam’s War Against the West and Me, 23 (2012).
[7] Alfred Guillaume, Life of Mohammed: A Translation of Ishaq’s Sirat Rasul Allah, 482 (Oxford University Press, 1955).
[8] PBS, Muhammad: Legacy of a Prophet, tersedia di http://www.pbs.org/muhammad/ma_jews.shtml (Last Visited August 12, 2012).
[9] Bukhari Vol. 5, Book 59, #371.
[10] Alfred Guillaume, Life of Mohammed: A Translation of Ishaq’s Sirat Rasul Allah 482 (Oxford University Press, 1955).
Sumber: Alislam.org – Does Islam Forbid Protection to Non-Muslim Dwellings?