Pidato pada Simposium Perdamaian Tahunan yang ke-6
Jamaah Muslim Ahmadiyah Inggris mengadakan Simposium Perdamaian Tahunan ke-6 pada 21 Maret 2009 di Masjid Baitul Futuh, Morden. Para tamu yang hadir termasuk para pejabat terkemuka dan perwakilan dari berbagai partai politik, kelompok agama, dan organisasi masyarakat. Siobhain McDonagAh, anggota parlemen untuk Mitcham dan Morden; Justine Greening, Menteri Bayangan untuk Komunitas dan Pemerintah Daerah; Chris Grayling, Sekretaris Bayangan dalam negeri dan anggota Parlemen Eropa, Baroness Emma Nicholson semuanya menyampaikan kata sambutan pada pertemuan tersebut. Berikut ini adalah naskah pidato utama yang disampaikan oleh Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V, Pemimpin Dunia Jamaah Muslim Ahmadiyah (ayyadahullahu Ta’ala binashrihil aziiz)
Hadirin yang terhormat, Assalamualaikum warohmatullahi wa barokaatuhu
Sebagian besar dari Anda sudah terbiasa dengan acara ini, karena selama beberapa tahun terakhir kegiatan ini telah menjadi wadah bagi orang-orang dari berbagai latar agama dan kebangsaan, saling berbagi kepentingan yang sama, bersatu untuk menyebarkan cinta, kasih sayang dan mengungkapkan itikad kuat dalam membangun perdamaian. Wajah-wajah baru di antara kita tentu akan setuju bahwa perasaan cinta, kasih sayang dan saling menghargai adalah nilai-nilai kemanusiaan hakiki yang membedakan kita dengan makhluk hidup lainnya.
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para tamu yang telah hadir di sini untuk memperbarui semangat dan berbagai pandangan dengan kami. Meskipun banyak mendengar banyak pandangan negatif terhadap Islam, sebagian yang datang ke sini untuk pertama kali, tetap berpartisipasi dalam pertemuan ini untuk mempelajari kebenaran tentang Islam. Saya berdoa semoga Tuhan menjadikan sifat baik yang ada dalam diri kita semakin cemerlang dari sebelumnya.
Seperti yang telah saya sebutkan, kita semua memiliki keinginan kuat untuk membangun perdamaian. Saya sengaja menggunakan kata ‘keinginan’, karena kendati mendambakan perdamaian, kita semua yang hadir di sini, pada akhirnya tidak dapat mengambil langkah-langkah praktis untuk membangun perdamaian. Di sini hadir beberapa Anggota Parlemen, tetapi kita tidak tahu apakah upaya mereka untuk menciptakan perdamaian akan berhasil seratus persen.
Jadi, kendati kita memiliki keinginan untuk membangun perdamaian, kita tidak memiliki kemampuan untuk mengambil langkah-langkah praktis. Meskipun kita mengharapkan dunia menjadi tempat tinggal yang damai, tetapi karena keterbatasan kita upaya untuk menjadikan dunia seperti surga menjadi terhalang. Bagi sebagian orang, mewujudkan perdamaian berada di luar kekuatan dan kendali mereka. Dan bagi sebagian lagi, kebijakan pemerintah telah membuat mereka terbatasi. Walaupun terdapat perbedaan pendapat, mereka terikat oleh aturan pemerintah atau politik partai. Saya tidak menyalahkan siapa pun secara khusus karena mereka berkewajiban untuk mematuhi aturan tersebut.
Sedangkan orang-orang yang bebas dari sebuah ikatan biasanya memiliki standar ganda dan hanya ingin memenuhi kepentingan sendiri. Mereka akan membantu untuk sesuatu hal yang baik selama ada kepentingan untuk diri mereka, tetapi jika mereka tidak mendapatkan keuntungan darinya, mereka akan tetap membantu atau menjauh. Jika terjadi sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka, maka untuk menjaga kepentingan itu, mereka tidak akan berhenti sekalipun harus melanggar hak dan kepentingan orang lain. Itulah jiwa manusia. Hal tersebut bukan milik suatu bangsa, kelas atau agama. Orang-orang seperti itu ada di Timur dan Barat dan Utara dan Selatan. Mereka ada di antara umat Islam dan Kristen dan orang-orang dari semua agama dan juga ada di antara orang-orang yang tidak beragama.
Di zaman yang penuh keegoisan dan materialistis ini, lebih banyak perhatian ditujukan untuk kepentingan sendiri, baik di tingkat individu maupun kolektif, bahkan hal itu tetap dilakukan walaupun dengan menyembunyikan kebenaran. Beberapa pihak mengatakan bahwa politik ini – jika itu untuk kepentingan negara sendiri, atau kadang-kadang ketika negara-negara tertentu bersatu dalam perserikatan – merupakan sarana politik untuk melindungi kepentingan mereka sendiri di tingkat internasional.
Ketika satu negara mulai mendahulukan kepentingannya sendiri daripada kepentingan negara lain, maka standar keadilan menjadi rusak. Sehingga nampaknya, kepentingan politik negara mulai berubah menjadi kepentingan material dan ekonomi. Tetapi ini adalah sebuah lingkaran setan yang tidak memungkinkan seseorang lepas dari lingkaran ego dan kepentingan pribadi.
Manusia adalah makhluk yang paling unggul dari semua ciptaan, dan kecerdasan mereka adalah sesuatu yang membedakannya dari binatang. Mereka telah diberi kemampuan untuk berpikir, baik saat tenang maupun marah. Tetapi meski memiliki pengetahuan dan kecerdasan, mereka mulai memangsa satu sama lain layaknya binatang.
Sayangnya, dalam kebodohannya, orang-orang yang tidak beragama yang mungkin juga memiliki perilaku yang sama, telah menyalahkan agama untuk keadaan ini, meskipun realitasnya agama mengajarkan akhlak yang baik, toleransi dan kesabaran.
Karena saya berbicara atas nama Islam, saya akan membahas beberapa perintah Islam dalam konteks situasi dunia saat ini.
Islam mengajarkan cara menghapus kebencian di setiap tingkatan. Jika kita menganalisis situasi di tingkat individu dan nasional maka banyaknya permasalahan yang muncul dikarenakan manusia tidak bersabar. Akibatnya, orang-orang mulai berpikir buruk satu sama lain dan kemudian perilaku baik mereka berubah menjadi jahat, sehingga membuat orang lain terampas haknya.
Apa yang telah diajarkan Al-Qur’an kepada kita untuk menghindari hal ini? Al-Qur’an menyatakan:
… dan kebaikan apapun yang kamu dahulukan untuk dirimu, kamu akan memperolehnya di sisi Allah; sesungguhnya Allah Maha Melihat apapun yang kamu kerjakan.
(QS Al-Baqarah [2]: 111)
Dan apa yang didahulukan itu? Saya harus menjelaskan satu aspek di sini. Al-Qur’an menyatakan bahwa:
“Dan, jika kamu memutuskan akan menghukum, maka hukumlah setimpal dengan kesalahan yang dilakukan terhadap kamu; tetapi jika kamu bersabar, maka sesungguhnya itulah yang paling baik bagi orang-orang yang bersabar.”
(QS An-Nahl [16]: 127)
Kesabaran adalah salah satu bentuk kebajikan dan dalam pandangan kami kesabaran adalah nilai yang sangat penting, karena di tempat lain dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala telah berfirman bahwa Dia mencintai orang-orang yang sabar. Biasanya dunia menganggap kesabaran sebagai tindakan penakut, tetapi dalam ayat yang dikutip di atas, kesabaran diajarkan sebagai prinsip dalam situasi peperangan. Mungkin tampak aneh bahwa ada perang dan kesabaran pada saat yang sama, karena jika meletus pertumpahan darah lalu bagaimana perang dan kesabaran bisa bersatu?
Sebuah contoh pertumpahan darah mengerikan yang kita kenal di zaman yang disebut beradab ini terjadi persis beberapa dekade sebelumnya. Menurut satu perkiraan, 60-70 juta orang tewas selama Perang Dunia Kedua, sekitar 40 juta di antaranya adalah warga sipil. Sungguh sayang, andai saja orang bertindak dengan sabar dan tidak menyebabkan banyak orang mati. Tetapi umat manusia yang telah membuktikan dirinya sangat tidak sabar, sehingga setelah beberapa waktu ia melupakan kekejaman mereka yang telah menumpahkan darah darah yang menodai kemanusiaan itu.
Umat manusia seharusnya mengambil pelajaran, tetapi orang-orang zaman sekarang gagal belajar dari kesalahan masa lalu. Bahkan mereka yang menyebut diri Muslim telah menumpahkan darah sebagaimana halnya dengan pihak-pihak yang bekerja dengan dalih membangun perdamaian. Dalam satu atau lain cara mereka menumpahkan darah.
Allah Ta’ala menegaskan bahwa kesabaran, keberanian, dan keadilan harus diterapkan untuk menyelamatkan umat manusia. Ini artinya hukuman harus ditegakkan secara proporsional dengan kejahatan yang dilakukan. Telah dijelaskan dengan gamblang bahwa tidak boleh melampaui batas. Jika hak-hak Anda terampas atau perbatasan Anda diserang secara ilegal atau jika mereka mencoba mengendalikan ekonomi Anda, maka ya, Anda diizinkan untuk berperang dan menghukum serta mencari bantuan dari sekutu Anda.
Di tempat lain disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dan jika dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah di antara keduanya; maka jika sesudah itu salah satu dari mereka menyerang yang lain, maka dengan besatu padu, perangilah pihak yang menyerang, hingga kembali kepada kepada perintah Allah. Kemudian sekiranya ia kembali, damaikanlah di antara keduanya dengan adil dan berbuatlah adil. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.”
(QS Al-Hujurat [49]: 10)
Meskipun yang dibahas dalam ayat ini adalah umat Islam, kami mengamati bahwa prinsip emasnya adalah pihak yang tertindas harus dibantu oleh semua bangsa yang bersatu untuk mendukungnya.
Mereka harus menghentikan agresor. Dan ketika perang berakhir, maka dalam kondisi apapun pihak manapun tidak boleh mengendalikan ekonomi pihak agresor tadi atau mendikte suatu aturan pada negara mereka. Jika ada ancaman terulangnya kekejaman, maka dapat diterapkan suatu kondisi bahwa jika agresor melampaui batas, ia akan dihukum atau menghadapi konsekuensi yang berat. Namun, kondisi ini hanya mungkin terjadi jika negara-negara besar dan kecil derajatnya setara.
Bahkan di PBB, terdapat pengistimewaan untuk negara-negara tertentu. Jika PBB ingin menetapkan standar keadilan yang lebih tinggi, maka PBB harus memperhatikan hak yang sama untuk semua anggota. Jangankan negara-negara kecil, bahkan negara-negara berkembang dibelenggu oleh rantai sanksi.
Sebagai contoh, Jepang membuat kemajuan ekonomi yang luar biasa setelah Perang Dunia Kedua.
Kesan yang saya terima dari beberapa orang Jepang yang saya temui, mereka mengungkapkan pandangannya baik secara terbuka atau dengan nada tersembunyi, bahwa meskipun mereka negara independen, tetapi adanya suatu pembatasan tertentu telah mengikat mereka sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat menyuarakan kebijakan mereka dengan bebas, apakah itu terkait dengan kebijakan pembentukan perdamaian atau kebijakan ekonomi.
PBB dibentuk untuk menegakkan perdamaian. Namun upaya mereka untuk mewujudkan perdamaian di suatu negara yang bergejolak, belum pernah mencapai tingkat keberhasilan yang bisa diharapkan dari lembaga sebesar itu. Dan inilah alasan mengapa dunia kembali bergerak cepat menuju ancaman perang dunia selanjutnya.
Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, untuk memenuhi persyaratan keadilan seseorang harus menerapkan kejujuran dalam mendamaikan pertikaian. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan absolut dan itu hanya dapat terjadi ketika hati Anda benar-benar tulus tanpa terselip unsur kedengkian.
Jika kita menilai situasi saat ini, keadilan seperti itu belum kita ditemukan di mana pun di dunia. Karena kita tidak dapat menemukan standar keadilan seperti itu, maka dampak besarnya adalah semakin merebaknya permusuhan dan kedengkian. Hasil akhirnya hal ini akan menjadi bencana besar yang dengan membayangkannya saja setiap orang akan bergidik.
Inilah sebabnya mengapa Al-Qur’an telah memerintahkan kita:
“Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang teguh karena Allah, dengan menjadi saksi yang adil; dan janganlah kebencian suatu kaum mendorongmu bertindak tidak adil. Berlakulah adil, itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahawaspada dengan apa -apa yang kamu kerjakan.”
(QS Al-Maidah [5]: 9)
Karena itu, kita perlu menilai apakah orang-orang siap memberikan bukti untuk mendukung keadilan. Jika kita menganalisis ini lebih jauh, maka kita tidak akan menemukan contoh keadilan. Sebaliknya, kita menyaksikan unsur-unsur kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi telah menyebar sedemikian rupa sehingga mereka menjadi penghalang persyaratan keadilan.
Jika kita membiarkan saja permusuhan yang terjadi di antara negara-negara, maka karena nilai politik, geografis, atau ekonomi negara-negara tertentu, negara-negara lain akan berupaya menguasai mereka melalui keserakahan atau mungkin dengan cara memenuhi kepentingan sendiri. Akibatnya aliansi baru mulai terbentuk.
Penyebab utama dari semua ini adalah bahwa manusia telah melupakan Sang Pencipta dan ajaran-ajaran-Nya.
Keinginan untuk mendapatkan keuntungan, kemasyhuran dan wibawa telah membutakan dunia. Inilah alasan mengapa tidak ada yang memperhatikan perintah Tuhan. Dan ketika tidak ada penghormatan terhadap perintah-perintah Tuhan maka manusia hanya akan memenuhi hak-hak orang lain sejauh kepentingan mereka sendiri tidak terganggu. Kepedulian hanyalah ungkapan di bibir belaka. Langkah kongkrit yang seharusnya diambil tidak dilaksanakan sampai saat ini, sehingga konsekuensinya selalu menyedihkan. Walaupun kita berusaha mengabaikan situasi buruk ini, kita terpaksa menyaksikan pemandangan mengerikan yang dapat mengguncang seseorang sampai ke hati.
Pada saat Perang Dunia Kedua, baik di Asia maupun di Eropa, terdapat beberapa negara yang terlibat konflik antara satu sama lain dalam skala kecil. Pada akhirnya, konflik tersebut memuncak dalam perang dunia antara dua blok kekuatan. Liga Bangsa-Bangsa terbukti tidak berdaya. Bahkan hari ini kita melihat di Timur Tengah, khususnya di Israel, Palestina, Suriah dan Libanon, permusuhan terus meningkat. Demikian juga, ada tindakan yang tengah diambil terhadap Iran, dan Iran bereaksi dengan membuat ancaman terhadap Israel dan Barat.
Ada negara-negara yang mengalami kerusuhan karena perjuangan politik dan kekuasaan internal mereka, misalnya Afghanistan, Pakistan, dan Irak. Di sisi lain, dengan mengumbar kekuatan besarnya, Perang Dingin berlanjut di negara-negara seperti Georgia dan Polandia dll. Semua ini tidak dapat dikategorikan sebagai konflik agama. Ketika terjadi perang perang saudara, seperti di Afghanistan atau Irak, maka terjadi juga perebutan kekuasaan. Karena nilai strategisnya yang ada di dalamnya, beberapa negara mencoba untuk mengeruk keuntungan dan memanfaatkan posisi geografis mereka dan mengeksploitasi sumber daya alam dari negara-negara itu. Dengan memanfaatkan politisi setempat atau dengan memberikan bantuan, mereka mencoba untuk mempertahankan kendali atas negara-negara tersebut.
Meskipun demikian, kesan yang terus muncul di negara-negara itu adalah bahwa janji-janji yang dibuat oleh PBB untuk memberikan kemerdekaan untuk tiap negara belum juga terpenuhi. Karena pengaruh negara adikuasa dan PBB, maka lingkup kerusuhan meluas. Kita tidak bisa begitu saja menutup mata terhadap hal ini. Penyebab Perang Dunia Kedua adalah adanya keresahan dan perang kecil semacam itu.
Hal lain yang memaksa kita untuk merenung, dan menjadi sebab keprihatinan adalah krisis keuangan dan resesi yang mendalam saat ini. Kami mengamati bahwa pada tahun 1929 terjadi krisis ekonomi yang parah. Hari ini, kita melewati kesulitan yang sama. Pada saat itu stagnasi dimulai di Amerika ketika pasar sahamnya ambruk. Krisis saat ini, yang telah menyebabkan kesulitan di dunia, juga berakar di Amerika Serikat. Pada Forum Ekonomi Dunia yang baru-baru ini diadakan di Swiss, Cina dan Rusia secara terang-terangan menyatakan Amerika Serikat bertanggung jawab atas penurunan tersebut.
Pada tahun 1929, setiap negara di dunia dilanda krisis ekonomi, dan krisis kredit macet saat ini tidak jauh berbeda. Perdagangan internasional sangat terpengaruh saat itu. Hal yang sama berlaku juga saat ini. Pendapatan dari pajak penghasilan, retribusi dan laba turun secara dramatis. Hal yang sama kita saksikan juga sekarang.
Pada tahun 1929 industri mengalami kemunduran besar dan hal itu terulang juga hari ini.
Baru-baru ini terdapat berita yang mengatakan bahwa industri mobil terpaksa mengurangi produksinya lebih dari 50%. Ini hanya satu contoh. Semua industri lain juga menghadapi kesulitan yang sama. Bidang konstruksi, khususnya konstruksi perumahan juga mengalami penderitaan sebagaimana halnya sekarang. Karena ketidakmampuan untuk membayar hipotek, rumah-rumah diambil alih oleh para pemberi pinjaman. Untuk mengharapkan keuntungan di masa depan, para kapitalis telah melakukan banyak investasi di bidang real estat, tetapi sekarang mereka mendapati bisnis mereka hancur.
Dengan tidak adanya daya beli masyarakat, rumah-rumah yang baru dibangun di Amerika, di Inggris dan di negara-negara lain kosong melompong. Proyek konstruksi telah terhenti di tengah jalan. Skenario serupa dapat diamati dalam bisnis lain. Di berbagai negara ratusan ribu orang menganggung dan hanya menjadi beban Departemen Keuangan. Dengan kata lain, dunia sedang mengalami masa yang sangat sulit.
Para analis berpendapat bahwa akhir dari Krisis tahun 1929 terkait dengan dimulainya Perang Dunia Kedua. Pada saat itu, sebagian negara memperbesar api persaingan mereka untuk kepentingan pribadi. Ditambah lagi dalam keadaan seperti itu, uang mulai menumpuk di beberapa tangan individu atau kelas tertentu di mana uang selalu mengalir. Orang-orang semacam itu menjaga kepentingan mereka dan pada saat yang sama memberikan modal kepada pemerintah yang akibatnya pemerintah berhutang budi kepada mereka. Ini bukan rahasia. Hutang yang timbul selama Perang Dunia Kedua oleh berbagai pemerintah memberikan kesaksian atas fakta ini.
Hari ini bank-bank tengah ditalangi oleh pemerintah untuk menyelamatkan mereka dan dana talangan semacam itu telah mencapai triliunan dolar. Namun, dalam skala lebih besar, ini adalah jumlah yang tidak signifikan dibandingkan dengan total kerugian yang terjadi.
Sungguh aneh bahwa di satu sisi pemerintah mengumumkan terdapat paket bantuan sebesar 700 miliar dolar sebagai sarana untuk menahan kredit macet, tetapi di sisi lain diketahui bahwa sejumlah besar dari jumlah ini telah dilakukan sebagai bonus. Kemudian diketahui juga bahwa paket tersebut telah menghasilkan 100 miliar dolar. Setelah itu hening dan kita tidak mendengar apa-apa lagi. Masyarakat diberi pil pahit yang tidak meningkatkan kesehatannya, tetapi dalam bentuk pengangguran harian, pil-pil itu sebenarnya adalah pil pahit dan beracun. Bukankah situasi seperti itu menyebabkan keresahan?
Kemudian kita beralih ke Dunia Ketiga atau negara berkembang. Orang kaya merampas hak-hak orang miskin dan ini tidak ada habisnya. Dikabarkan bahwa akan ada investasi dan ekonomi akan menguat serta kekayaan ini akan mengalir ke masyarakat. Ini adalah hiburan kekanak-kanakan.
Semua negara terlibat dalam merampas hak-hak warga biasa, terlepas dari warna kulit atau agama. Negara-negara kaya membantu negara-negara lain dengan dalih bantuan tetapi mereka tidak mengikuti apa hasilnya. Karena itu, muncul banyak kecemasan di negara-negara ini.
Negara-negara adidaya memiliki andil dalam pembuatan kebijakan di negara-negara kecil, bahkan orang awam pun tahu akan hal ini. Negara adidaya memainkan peran dalam mendukung suatu pemerintahan politik atau menumbangkannya. Akibatnya masyarakat di negara-negara kecil ini memendam kebencian di hati mereka terhadap negara adikuasa, meskipun, menurut pendapat saya, para pemimpin negara-negara itulah yang paling disalahkan.
Saya harus menyebutkan melalui contoh bagaimana Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) mengatasi krisis keuangan dan menghindari kelangkaan pangan.
Suatu ketika ada kasus kelaparan dan beliau memerintahkan setiap orang untuk mengeluarkan apa pun yang terdapat di rumah mereka, dan merekapun mematuhinya. Kemudian semua makanan dibagikan secara merata ke seluruh masyarakat sehingga tidak ada yang dibiarkan kelaparan. Ini adalah perlakuan adil yang dicontohkan oleh Nabi Islam untuk menegakkan hak-hak orang lain dan menghilangkan keresahan.
Tidaklah patut jika hanya satu orang yang mendapat ratusan miliar sementara yang lain menganggur atau seseorang harus menarik kembali bonus besar dari dana publik, sementara yang lain bahkan kehilangan gaji pokok, atau meskipun seseorang membayar sebagian hipoteknya, dia lebih suka kehilangan rumahnya, karena dia tidak dapat melunasi pembayarannya secara penuh.
Harus diingat bahwa contoh yang dilakukan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bukanlah bentuk sosialisme; sebaliknya, beberapa sahabat beliau memiliki bisnis yang sangat menguntungkan dan memiliki cadangan emas yang besar. Faktanya, Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) telah menegakkan contoh terindah dalam memenuhi kebutuhan saat itu.
Sayangnya para pemimpin negara-negara Muslim hanya mengisi pundi-pundi mereka sendiri tetapi kurang memperhatikan kebutuhan rakyatnya. Negara adidaya dan PBB bertanggung jawab karena setelah membantu mereka, mereka tidak menganalisis apakah bantuan itu tepat atau tidak. Namun demikian, topik ini layaknya kotak Pandora. Ketika masalah baru muncul, masalah lain mengarah pada isu lain.
Saya tidak akan mengambil waktu Anda lagi dan hanya akan menyampaikan ini saja; bahwa setiap orang harus berdoa dan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu mencapai perdamaian. Demikian juga pemerintah dan pejabat penting di Perserikatan Bangsa-Bangsa harus memastikan bahwa perbaikan ekonomi tidak boleh dalam bentuk ekonomi perang, dan tidak mengulangi kesalahan pada Krisis tahun 1929 dan dampak yang diakibatkannya.
Pemerintah, penyandang dana, dan PBB harus memahami tanggung jawab mereka. Hal ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan keadilan dan untuk memperhatikan hak-hak satu sama lain. Mereka harus berpikir, berunding, dan menemukan solusi berdasarkan keadilan. Mereka harus bekerja keras tanpa pamrih untuk membangun perdamaian. Dan yang paling penting adalah mereka harus memenuhi hak-hak Pencipta mereka dan menghindari kemurkaan-Nya.
Semoga Allah memberikan kita taufik untuk dapat melakukannya.
Sebagai penutup, saya sekali lagi berterima kasih kepada semua tamu terhormat yang telah meluangkan waktu berharganya. Terima kasih banyak.
Sumber: Alislam.org – Discharging Equal Rights can Help Establish Peace
Penerjemah kedua: Amatul Wahid dan Aleem Ahmad Chusna