Islam mengizinkan perceraian, tetapi menurut Hadits, perceraian adalah salah satu tindakan yang paling tidak disukai Allah.
Ada seperangkat aturan dalam perceraian. Hal ini dirancang untuk memastikan bahwa perceraian tidak boleh dilakukan dengan begitu gampangnya atau terburu nafsu atau kebencian. Perceraian harus merupakan tindakan penyelesaian dengan sadar setelah pertimbangan yang cermat tentang konsekuensi baik bagi kedua belah pihak ataupun anak-anak. Mengingat tujuan ini, prosedurnya agak diulur-ulur, sehingga masing-masing pihak dapat memiliki kesempatan untuk refleksi diri yang tenang dan kesempatan untuk rekonsiliasi.
Perceraian dapat diprakarsai oleh suami atau istri. Proses perceraian dipisah-pisah dalam suatu periode, di mana setiap upaya harus dilakukan untuk meredakan perbedaan dan mencapai rekonsiliasi. Jika perbedaan menguat, nasihat dan bantuan perantara, satu dari pihak istri dan satu dari pihak suami harus dicari (4:36). Jika perceraian akhirnya diputuskan, suami tidak dapat mengambil kembali dari apa-apa yang telah diberikannya kepada istri istri (4:21-22), dan harus memberikan perbekalan yang sesuai untuknya selama enam bulan, yang biasanya diperlukan untuk proses perceraian. Dia juga bertanggung jawab secara finansial untuk anak-anaknya sampai mereka dewasa. Jika suami dan istri berdamai satu sama lain selama periode ini, proses perceraian dibatalkan (2:229-230). (Islam: It’s Meaning for Modern Man, Muhammad Zafrullah Khan – p. 247)
Beberapa alasan perceraian yang dapat diterima dalam Islam adalah: Perzinahan, tetapi diperlukan empat saksi mata jika pasangan tertuduh menyangkalnya, penolakan suami untuk memberikan nafkah keluarga, penolakan suami untuk melakukan hubungan suami istri selama lebih dari tiga bulan, kekerasan fisik atau terhadap pasangan atau anak-anak, atau ketidakcocokan yang sudah untuk didamaikan. (Woman in Islam – Sir Muhammad Zafrullah Khan (ra) pp. 13)