Benarkah Rasulullah Melanggar Aturan Puasanya Sendiri?
Benarkah Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) melanggar aturan puasanya sendiri?
Geert Wilders dalam bukunya Marked for Death: Islam’s War Against the West and Me mengkritik Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bahwa seakan Beliau melanggar aturan puasa yaitu dengan bercumbu selama puasa. Ia menulis:
“The prophet himself did not restrain from all forms of intimacy either.” [1]
Tuduhan ini muncul karena tidak memahami makna dan luasnya aturan tentang puasa dalam Islam. Para kritikus selalu mencari-cari kesempatan yang dapat mereka manfaatkan, meskipun tidak masuk akal.
Tujuan puasa dalam Islam adalah untuk meningkatkan kerohanian. Tertera di dalam Al-Qur’an:
“Hai, orang-orang yang beriman! Diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, supaya kamu terelihara dari segala keburukan.” (QS Al-Baqarah [2]:184)
Orang-orang Mukmin mencapai perkembangan rohani ini dengan melepaskan segenap kesenangan jasmani yang diperbolehkan, seperti makan, minum, hubungan suami istri, dan segala macam keburukan, semata-mata karena Allah.
Abu Hurairah (rhadiyallahu ‘anhu) meriwayatkan bahwa Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh rasa lapar dan haus yang ditahannya.” (HR Bukhari)
Selanjutnya, umat Islam hendaknya bersungguh-sungguh meningkatkan shalat mereka, mempelajari Al-Qur’an, dan memperbanyak sedekah. Disebutkan pula bahwa selama bulan Ramadhan, “Kepedulian dan perhatian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang miskin, orang-orang yang membutuhkan, orang sakit, dan anak yatim semakin meningkat, dan memperbanyak sedekah.” [2]
Dari pemahaman tentang puasa ini, kami akan membahas tuduhan tersebut. Para kritikus mengutip Hadits berikut ini sebagai bukti mereka:
Dari Abu Hurairah: “Ada seorang laki-laki (berusia tua) bertanya kepada Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) tentang mendekati istrinya ketika sedang berpuasa (yaitu untuk menciumnya, mencumbuinya, tanpa berhubungan seksual dengannya), Nabi lalu memberi keringanan kepadanya. Kemudian datang lagi seorang laki-laki (berusia muda) yang menanyakan hal yang sama, namun ternyata Nabi melarangnya. Jadi, yang diberi keringanan adalah orang tua, sedangkan yang dilarang adalah anak muda.” (HR Abu Daud) [3]
Penerjemah hadits itu sendiri menjelaskan arti al-mubasyaroh atau “mendekati istrinya,” dalam tanda kurung, karena dalam konteks lain, istilah ini dapat berarti hubungan seksual. Hubungan seksual dilarang selama puasa, dan pengecualian seperti itu tidak pernah diberikan kepada siapa pun. Namun, tidak dirinci apakah seseorang dapat terlibat dalam bentuk percumbuan yang ringan (makna lain dari al-mubasyaroh). Karena pemuda yang dipertanyakan itu mungkin terbawa oleh hasratnya selama bercumbu ringan, dia tidak diberikan kelonggaran.
Laki-laki yang lebih tua diizinkan, termasuk Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) sendiri yang sudah berusia empat puluh tahun pada saat kedatangan Islam, dan lebih tua lagi ketika menikah dengan Aisyah (rhadiallahu ‘anha). Dalam riwayat lain tentang Aisyah (rhadiallahu ‘anha) yang dikutip oleh Wilders juga disebutkan bahwa keduanya bermesra selama puasa tanpa melakukan hubungan seksual. Ini adalah perbedaan penting yang diabaikan Wilders — mungkin karena hal tersebut sangat mengacaukan pendapatnya.
Sumber: MuhammadFactCheck.org – Did Muhammad violate his own rules of fasting?
Penerjemah: Ine Siti Nurul
Referensi:
[1] Geert Wilders, Marked for Death: Islam’s War against the West and Me, 62 (2012).
[2] Muhammad Zafrullah Khan, “Islamic Worship,” hal. 77, London, 1970.
[3] Sunan Abu Dawud, Riwayat 14:2387, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 56 (2008). Wilders mengutip Hadits Abu Dawud 13:2381 dari edisi lain.