Peristiwa-peristiwa dalam Kehidupan Rasulullah – Berbagai Sariyyah Semasa Kehidupan Rasulullah saw

khotbah 27 Desember 2024 berbagai sariyyah Rasulullah

Khotbah Jumat Sayyidinā Amīrul Mu’minīn, Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalīfatul Masīḥ al-Khāmis (أيده الله تعالى بنصره العزيز, ayyadahullāhu Ta’ālā binashrihil ‘azīz) pada 27 Desember 2024 di Masjid Mubarak, Islamabad, Tilford (Surrey), UK (United Kingdom of Britain/Britania Raya)

أَشْھَدُ أَنْ لَّا إِلٰہَ إِلَّا اللّٰہُ وَحْدَہٗ لَا شَرِيْکَ لَہٗ وَأَشْھَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُہٗ وَ رَسُوْلُہٗ

أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللّٰہِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ۔

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ﴿۱﴾ اَلۡحَمۡدُلِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ۙ﴿۲﴾ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ۙ﴿۳﴾ مٰلِکِ یَوۡمِ الدِّیۡنِ ؕ﴿۴﴾إِیَّاکَ نَعۡبُدُ وَ إِیَّاکَ نَسۡتَعِیۡنُ ؕ﴿۵﴾ اِہۡدِنَا الصِّرَاطَ الۡمُسۡتَقِیۡمَ ۙ﴿۶﴾ صِرَاطَ الَّذِیۡنَ أَنۡعَمۡتَ عَلَیۡہِمۡ ۬ۙ غَیۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا الضَّآلِّیۡنَ﴿۷﴾

Hari ini saya juga akan menyampaikan tentang beberapa Sariyah [ekspedisi militer]. Dalam sejarah, disebutkan satu Sariyyah yang disebut Sariyah Zaid bin Haritsah. Sariyah ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun 6 Hijriah menuju Hasmi di wilayah Bani Juzam. Hasmi adalah sebuah pemukiman Bani Juzam yang terletak delapan malam perjalanan dari Madinah. Dengan cara perjalanan di zaman itu, ini merupakan perjalanan yang cukup panjang.

Allamah Ibnu Qayyim menulis dalam Zādul Ma’ād bahwa Sariyyah ini secara pasti terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah, yaitu tahun 7 Hijriah. Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. juga telah memberikan penjelasan setelah mempelajari berbagai buku sejarah. Beliau r.a. menyatakan:

Ada satu permasalahan terkait tanggal Sariyah ini yang perlu dibahas. Ibnu Sa’ad dan para penulis sejarah lain yang mengikutinya menulis bahwa misi Sariyah ini terjadi pada Jumadil Akhir tahun 6 Hijriah dan ini dianggap benar. Namun Allamah Ibnu Qayyim dengan jelas menyatakan dalam Zādul Ma’ād bahwa ini terjadi pada tahun 7 Hijriah setelah Perjanjian Hudaibiyah. Kemungkinan besar dasar pendapat Ibnu Qayyim adalah bahwa penyebab Sariyah ini dijelaskan sebagai berikut: Ketika Hz. Dihyah Kalbi kembali ke Madinah setelah bertemu Kaisar, beliau dirampok di jalan oleh Bani Juzam. dan telah terbukti bahwa Rasulullah saw. telah mengutus Hz. Dihyah untuk mengirimkan surat kepada Kaisar setelah Perjanjian Hudaibiyah. Oleh karena itu, kejadian ini tidak mungkin terjadi sebelum Hudaibiyah. Alasan ini sangat jelas dan berdasarkan hal ini riwayat Ibnu Sa’ad pasti ditolak.

Namun Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis: Menurut pendapat saya, ada satu penjelasan yang diabaikan oleh Allamah Ibnu Qayyim, yaitu mungkin Hz. Dihyah pergi ke Syam dua kali untuk bertemu Kaisar. Pertama beliau pergi sendiri untuk berdagang sebelum Perjanjian Hudaibiyah dan bertemu Kaisar, kedua beliau pergi membawa surat Rasulullah saw. setelah Perjanjian Hudaibiyah, dan Rasulullah saw. memilih beliau sebagai utusan kepada Kaisar karena beliau sudah pernah bertemu Kaisar sebelumnya. Pendapat ini diperkuat oleh riwayat Ibnu Ishaq yang menulis bahwa dalam perjalanan ini Hz. Dihyah r.a. membawa barang dagangan, sementara dalam perjalanan setelah Hudaibiyah tampaknya tidak ada hubungan dengan perdagangan. Mungkin juga perjalanan Hz. Dihyah r.a. ini murni untuk perdagangan dan perawi Ibnu Sa’ad mencampurkannya dengan perjalanan keduanya dengan menambahkan cerita pertemuan dengan Kaisar dan hadiah berdasarkan perkiraan. Wallāhu A’lam (Allah Yang Lebih Mengetahui).

Rincian lebih lanjut tentang keadaan dan kejadian Sariyyah ini adalah dijelaskan sebagai berikut:

Ibnu Ishaq menyatakan bahwa Rifa’ah bin Zaid Juzami membawa surat Rasulullah saw. kepada kaumnya. Rasulullah saw. menyeru mereka kepada Islam. Mereka lalu menerima Islam. Pada masa itu, Hz. Dihyah bin Khalifah Kalbi sedang kembali dari Kaisar Romawi. Rasulullah saw. telah mengutus beliau kepada Kaisar Romawi. Kaisar memberi beliau hadiah dan pakaian. Di tengah jalan, beliau bertemu Hunaid bin Aus dan putranya, Aus bin Hunaid. Menurut Ibnu Sa’ad, yang ditemui adalah Hunaid bin ‘Aridh dan putranya ‘Aridh bin Hunaid Sulai’i, dan Sulai’ adalah cabang dari kabilah Juzam. Keduanya menyerang dan merampas semua barang Hz. Dihyah r.a.. Mereka tidak menyisakan apapun kecuali pakaian usang.

Berita ini sampai kepada Bani Zubaib yang merupakan kabilah Rifa’ah bin Zaid. Kabilah ini telah masuk Islam. Mereka berangkat menuju Hunaid dan putranya. Mereka berperang dengan keduanya dan berhasil merebut kembali harta Hz. Dihyah r.a.. Hz. Dihyah r.a. menghadap Rasulullah saw. dan memberitahukan kejadian tersebut serta meminta pembalasan terhadap Hunaid dan putranya.

Rasulullah saw. mengutus Hz. Zaid bin Haritsah r.a. dengan 500 orang dan mengirim kembali Hz. Dihyah r.a. bersama pasukan. Hz. Zaid r.a. berjalan di malam hari dan bersembunyi di siang hari. Bersamanya ada seorang pemandu dari Bani ‘Uzra. Sementara itu beberapa kabilah Bani Juzam berkumpul, termasuk kabilah Ghathafan, Wa’il serta beberapa dari Salman dan Sa’d bin Huzaim.

Ketika Rifa’ah bin Zaid membawa surat Rasulullah saw. kepada kaumnya, mereka berada di Harratur-Rajla, tanah berbatu hitam di wilayah Juzam, dan Rifa’ah berada di tempat bernama Qura Rabwah. Rifa’ah tidak mengetahui kejadian ini. Pemandu Bani ‘Uzra membawa Hz. Zaid bin Haritsah r.a. dan pasukannya ke tempat tinggal Hunaid dan putranya pada pagi hari secara mendadak. Para sahabat menyerang dan membunuh mereka, terjadi pertumpahan darah besar. Hunaid dan putranya dibunuh. Para sahabat mengambil hewan ternak dan unta mereka serta menawan wanita mereka. Ada 1000 unta dan 5000 kambing. 100 tawanan dari wanita dan anak-anak ditangkap.

Setelah serangan ini, diriwayatkan mengenai kedatangan Bani Zubaib, cabang kabilah Juzam, ke Madinah. Sebelum Hz. Zaid r.a. tiba di Madinah, orang-orang Bani Zubaib mendengar berita tentang misi Hz. Zaid r.a. ini dan mereka menghadap Rasulullah saw. bersama pemimpin mereka, Rifa’ah bin Zaid. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah saw.! Kami telah masuk Islam dan telah ada jaminan keamanan tertulis untuk sisa kaum kami. Bahkan untuk yang belum masuk Islam pun ada jaminan keamanan, namun pasukan yang Anda kirim telah menyerang, membunuh sebagian dari mereka, menawan yang lain dan mengambil harta rampasan, padahal kami telah masuk Islam dan ada jaminan keamanan tertulis untuk mereka. Lalu mengapa kabilah kami diserang?” Rasulullah saw. bersabda, “Ya, ini benar,” tanpa memberikan alasan. Beliau saw. bersabda, “Kalian benar, tapi Zaid tidak mengetahuinya” dan kemudian beliau saw. berulang kali menyatakan penyesalan atas orang-orang yang terbunuh dalam kejadian itu.

Mendengar ini, Abu Zaid, rekan Rifa’ah berkata, “Wahai Rasulullah saw.! Kami tidak menuntut apa-apa atas orang-orang yang terbunuh. Ini adalah insiden kesalahpahaman, tetapi orang-orang yang masih hidup dan harta benda yang diambil Zaid dari kabilah kami harus dikembalikan.” Beliau saw. bersabda, “Ya, ini sangat benar” dan untuk ribuan kambing, unta, perlengkapan serta seratus tawanan, beliau saw. segera mengutus Hz. Ali r.a. kepada Hz. Zaid r.a. dengan memberikan pedang beliau sebagai tanda, dan memerintahkan Hz. Zaid r.a. untuk membebaskan semua tawanan dan harta yang diambil dari kabilah tersebut. Begitu menerima perintah ini, Hz. Zaid r.a. segera membebaskan semua tawanan dan mengembalikan harta rampasan. Hartanya sangat banyak.

Ada tuduhan bahwa serangan dilakukan untuk mengumpulkan harta rampasan. Ini adalah contoh yang menunjukkan standar yang ingin ditegakkan Islam. Adapun saat ini bahkan Muslim membunuh sesama Muslim dalam permusuhan, jangankan berlaku baik kepada orang-orang yang hanya terikat perjanjian.

Kemudian disebutkan Sariyah lain Hz. Zaid bin Haritsah r.a.. Sariyah ini terjadi di Wadiul Qura pada bulan Rajab tahun 6 Hijriah, sekitar sebulan setelah Sariyyah Hasmi. Rasulullah saw. kembali mengutus Hz. Zaid bin Haritsah r.a. ke Wadiul Qura. Tentang Wadiul Qura tertulis bahwa letaknya sekitar 350 kilometer di utara Madinah ke arah Syam. Satu riwayat menyebutkan bahwa di tempat itu berkumpul kabilah Mazhaj dan Qadha, ada juga yang mengatakan beberapa keluarga dari kabilah Mudhar berkumpul di sana, tetapi tidak terjadi pertempuran.

Namun Ibnu Hisyam menyatakan bahwa di Wadiul Qura terjadi pertempuran antara para sahabat dengan Bani Fazarah dan akibatnya beberapa sahabat pun syahid. Hz. Zaid r.a. juga terluka parah tetapi Allah Taala menyelamatkan beliau. Dalam Sīrat Khātamun Nabiyyīn, Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. juga menyatakan bahwa pertempuran ini memang terjadi.

Kemudian disebutkan tentang Sariyah Hz. Abdurrahman bin Auf r.a.. Sariyah ini terjadi pada bulan Sya’ban tahun 6 Hijriah ke Dumatul Jandal. Dumatul Jandal terletak sekitar 450 kilometer di utara Madinah dekat perbatasan Syam. Ibnu Ishaq dan Muhammad bin Umar meriwayatkan dari Hz. Abdullah bin Umar bin Khattab r.a. bahwa Rasulullah saw. memanggil Hz. Abdurrahman bin Auf dan bersabda, “Bersiaplah, hari ini atau besok insya Allah saya akan mengirim engkau dalam sebuah Sariyyah.” Rinciannya ditulis oleh Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. sebagai berikut,

Terkait:   Riwayat Utsman bin 'Affan (Seri-8)

Berkenaan dengan persiapan dan keberangkatan misi ini, Ibnu Ishaq meriwayatkan sebuah riwayat menarik dari Abdullah bin Umar: Suatu ketika, beberapa orang termasuk Hz. Abu Bakar r.a., Hz. Umar r.a., Hz. Utsman r.a., Hz. Ali r.a., dan Hz. Abdurrahman bin Auf r.a. sedang duduk bersama Rasulullah saw.. Seorang pemuda Ansar datang dan bertanya, “Wahai Rasulullah saw.! Siapakah mukmin yang paling utama?” Beliau saw. menjawab, “Yang paling baik akhlaknya.” Ini adalah tanda seorang mukmin, yaitu akhlak yang tinggi menjadikannya meraih keutamaan.

Di tengah pembicaraan umum tentang Sariyah dan peperangan, ada beberapa nasihat juga di dalamnya yang sangat penting bagi kita. Pemuda itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah saw.! Siapakah yang paling bertakwa?” Beliau saw. menjawab, “Yang paling sering mengingat kematian dan mempersiapkan diri sebelum waktunya.” Persiapannya adalah takut kepada Allah, menunaikan hak-Nya dan mengikuti perintah-Nya. Inilah persiapan menghadapi kematian. Pemuda Ansar itu terdiam, lalu Rasulullah saw. menghadap kami dan bersabda, “Wahai kaum Muhajirin!” kemudian beliau memberikan nasihat: “Ada lima keburukan yang aku berlindung kepada Allah darinya dan berharap tidak terjadi pada umatku karena akan menghancurkan umat yang mengalaminya:

  1. Jangan sampai menyebar kekejian dan ketidaksenonohan dalam suatu kaum, sampai-sampai mereka melakukannya secara terang-terangan, yang karenanya muncul penyakit dan wabah yang belum terjadi pada generasi sebelum mereka. Hal ini umum kita lihat di dunia dewasa ini, dan dari hal seperti inilah Rasulullah saw. memohon perlindungan. Umat Muslim harus memperhatikan hal ini.
  2. Jangan sampai muncul dalam suatu kaum ketidakjujuran dalam hal timbangan dan takaran, yang karenanya mereka ditimpa paceklik, kesulitan, dan kezaliman penguasa. Ini juga harus direnungkan. Ketidakjujuran ini sudah banyak terjadi di kalangan umat Islam. Semoga umat Islam memahaminya dan para Ahmadi harus memberi perhatian khusus dalam hal ini.
  3. Jangan sampai suatu kaum lalai dalam membayar zakat dan sedekah, hingga akhirnya mereka ditimpa kekurangan hujan. Bahkan jika bukan karena Allah memperhatikan hewan ternak ciptaan-Nya, hujan akan menjadi benar-benar berhenti bagi kaum seperti itu. Ini juga adalah tanda azab dari Allah yang mana kita harus memohon perlindungan darinya. Rasulullah saw. bersabda, “Mohonlah perlindungan, aku pun memohonnya.”
  4. Jangan sampai suatu kaum melanggar perjanjian dengan Allah dan Rasul-Nya, hingga akhirnya musuh asing berkuasa atas mereka yang merampas hak-hak mereka. Ini terlihat dari keadaan umat Islam sekarang yang secara nyata melanggar perjanjian mereka. Semoga Allah Taala mengasihi dan memberi pemahaman kepada mereka.
  5. Jangan sampai para ulama dan imam suatu kaum mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syariat, hingga mengubah syariat sesuai keinginan mereka, dan pada akhirnya timbul perselisihan dan perpecahan di antara mereka. Ini juga tampak umum dengan adanya fanatisme golongan di dalam umat Islam sekarang. Hal-hal yang Rasulullah saw. mohon perlindungan darinya, kita lihat terjadi dalam umat Islam saat ini. Semoga Allah Taala mengasihi.

Ini adalah nasihat Rasulullah saw.. yang sangat berharga, dan ini adalah penjelasan terbaik beliau saw.. tentang sebab-sebab kemajuan dan kemunduran suatu umat. Jika umat Islam menginginkan, ini adalah suatu pelajaran yang terbaik bagi mereka di zaman sekarang ini. Semoga umat Islam merenungkannya.

Tentang rincian Sariyah ini, Hz. Abdullah bin Umar r.a. menerangkan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan Hz. Abdurrahman bin Auf r.a. berangkat malam hari ke Dumatul Jandal. Pasukan beliau berkemah di Jurf dengan 700 orang. Jurf adalah tempat yang berjarak tiga mil di utara Madinah.

Tentang perang ini, Hazrat Mirza Bashir Ahmad r.a. menulis: Pengaruh Islam menyebar dengan cepat dan dakwah Islam mencapai pelosok Arab yang jauh. Namun bersamaan dengan itu, penentangan di daerah yang jauh juga meningkat. Orang-orang yang condong kepada Islam menghadapi penganiayaan berat dari kabilah mereka, dan karena takut penganiayaan ini, banyak orang lemah menahan diri dari menyatakan keislamannya.

Maka dari itu, tujuan misi pasukan Islam sekarang adalah juga mengirim pasukan ke kabilah-kabilah yang sebagian anggotanya condong kepada Islam tapi takut menerimanya karena khawatir penganiayaan. Jadi tujuan pengiriman pasukan ini adalah untuk menegakkan kebebasan beragama yang sangat ditekankan oleh Islam. Untuk tujuan ini, pada bulan Sya’ban tahun 6 H, Rasulullah saw. mengirim pasukan di bawah pimpinan Hz. Abdurrahman bin Auf r.a. ke Dumatul Jandal yang berjarak jauh. Beliau saw. sendiri pernah pergi ke sana pada tahun 4 H untuk menegakkan perdamaian. Dengan demikian, daerah ini telah masuk dalam lingkup pengaruh Islam sejak dua tahun sebelumnya dan penduduknya tidak asing dengan ajaran Islam. Bahkan mungkin sebagian dari mereka condong kepada Islam tapi tidak berani karena penentangan dari pemimpin dan sesama anggota kabilah mereka. Alhasil, Rasulullah saw. menyampaikan kepada seorang sahabat terkemuka, Hz. Abdurrahman bin Auf r.a., “Ibnu Auf, aku ingin mengutusmu sebagai pemimpin sebuah misi Sariyah, bersiaplah.” Keesokan paginya, Hz. Abdurrahman bin Auf r.a. menghadap beliau saw., dan beliau saw. mengikatkan sorban beliau di kepalanya dengan tangan beliau saw. sendiri dan memerintahkan Hz. Bilal r.a. untuk menyerahkan bendera kepadanya. Kemudian beliau saw. menetapkan satu pasukan sahabat di bawah pimpinan Hz. Abdurrahman bin Auf r.a. dan bersabda:

“Wahai Ibnu Auf! Ambillah bendera ini dan berangkatlah kalian semua untuk berjihad di jalan Allah dan berperanglah melawan orang-orang kafir. Tapi ingat, jangan berlaku tidak jujur, jangan mengkhianati perjanjian, jangan mencederai tubuh musuh yang terbunuh, dan jangan membunuh anak-anak. Ini adalah perintah Allah dan sunnah Nabi-Nya.”

Dalam riwayat ini, tampaknya perawi lupa menyebutkan tentang wanita, karena di tempat lain jelas disebutkan bahwa ketika mengirim pasukan, Rasulullah saw. juga menekankan untuk tidak membunuh wanita, orang tua renta, dan orang-orang yang hidupnya diabdikan untuk pengkhidmatan agama.

Setelah itu, beliau saw. memerintahkan Hz. Abdurrahman bin Auf r.a. untuk pergi ke Dumatul Jandal dan berusaha mencapai penyelesaian secara damai, karena jika mereka menerima ketaatan tanpa melalui peperangan, itu adalah yang terbaik. Beliau saw.. bersabda kepada Hz. Abdurrahman bin Auf r.a.: Dalam hal ini, akan baik jika Anda menikahi putri pemimpin mereka, jika mereka setuju.

Kemudian beliau r.a. melepas pasukan muslim ini dan Hz. Abdurrahman bin Auf r.a. berangkat bersama 700 sahabat menuju Dumatul Jandal yang terletak di utara Arab, timur laut Tabuk dekat perbatasan Syam. Ketika pasukan Islam tiba di Dumah, awalnya penduduk Dumah tampak siap berperang dan mengancam orang-orang Islam dengan pedang, tetapi perlahan-lahan setelah diberi penjelasan oleh Hz. Abdurrahman bin Auf r.a., mereka mengurungkan niat itu.

Beberapa hari kemudian, pemimpin mereka, Asbagh bin Amr Kalbi yang beragama Kristen dengan senang hati menerima Islam setelah ditabligi oleh Hz. Abdurrahman bin Auf r.a.. Bersamanya, banyak anggota kaumnya yang mungkin sudah condong kepada Islam di dalam hatinya yang juga masuk Islam. Mereka yang tetap pada agama mereka juga dengan lapang dada menerima untuk berada di bawah pemerintahan Islam. Tidak ada yang dipaksa. Banyak orang yang tidak menerima Islam, tapi mereka berjanji taat kepada pemerintah.

Demikianlah misi ini berakhir dengan sangat baik, dan sesuai petunjuk Rasulullah saw., Hz. Abdurrahman bin Auf r.a. menikah dengan Tumadhir, putri pemimpin Dumatul Jandal, Asbagh bin Amr, dan kembali ke Madinah. Dengan karunia Allah dan berkat perhatian Rasulullah saw., dari Tumadhir ini lahir seorang putra yang kelak menjadi salah seorang pejuang Islam terkemuka dan mencapai tingkat keilmuan dan keutamaan yang sedemikian rupa sehingga ia dianggap sebagai salah satu ulama Islam terkemuka pada zamannya. Namanya adalah Abu Salamah Zuhri.

Ibnu Sa’ad menulis tentang Abu Salamah Zuhri:

کَانَ ثِقة فقیھًا کثیرُالحدیث

Yakni Abu Salamah adalah seorang yang terpercaya, ahli fikih dan banyak meriwayatkan hadits. Ketika Sa’id bin ‘Ash bin Umayyah pertama kali menjadi gubernur Madinah dari Muawiyah bin Abu Sufyan, ia mengangkat Abu Salamah sebagai hakim Madinah. Abu Salamah hidup hingga usia 72 tahun dan wafat pada tahun 94 Hijriah.

Terkait:   Setia pada Amanah

Kemudian disebutkan Sariyah Hz. Ali bin Abi Thalib r.a. yang pergi ke Fadak. Sariyah ini terjadi pada bulan Sya’ban tahun 6 Hijriah. Rasulullah saw. mengutus Hz. Ali r.a. dengan seratus orang ke Bani Sa’d bin Bakr di Fadak. Tentang Fadak tertera bahwa ini adalah pemukiman dekat Khaibar dan berjarak enam malam perjalanan dari Madinah. Daerah ini ditaklukkan tanpa perang pada saat Perang Khaibar tahun 7 Hijriah. Sekarang ini adalah kota besar dengan banyak kurma dan pertanian. Sekarang disebut Al-Haith.

Rasulullah saw. mendapat kabar bahwa mereka (musuh) telah mengumpulkan pasukan dan ingin membantu orang-orang Yahudi di Khaibar. Hz. Ali r.a. berjalan di malam hari dan bersembunyi di siang hari. Dalam Sīrat Khātamun Nabiyyīn dijelaskan:

Kehancuran yang menimpa kaum Yahudi di Madinah akibat pengkhianatan dan hasutan mereka sendiri menjadi duri di hati Yahudi seluruh Arab. Setelah Perang Bani Quraizah, ketika orang-orang Yahudi di Madinah berakhir, pemukiman Khaibar yang merupakan pusat terbesar Yahudi di Hijaz menjadi pusat berbagai rencana perlawanan terhadap Islam. Yahudi di tempat ini, yang secara alami sangat menyimpan dendam, merasa iri dan zalim, terus berusaha untuk menghapus Islam dan menghancurkan kaum Muslimin.

Pada bulan Sya’ban tahun 6 Hijriah, Rasulullah saw. mendapat kabar bahwa kabilah Bani Sa’d bin Bakr dan orang-orang Yahudi di Khaibar sedang berkomplot melawan Islam, dan Bani Sa’d sedang mengumpulkan kekuatan untuk membantu Yahudi Khaibar. Begitu menerima informasi ini, Rasulullah saw. mengirim pasukan sahabat di bawah pimpinan Hz. Ali r.a. yang bersembunyi di siang hari dan melakukan perjalanan di malam hari hingga tiba di dekat Fadak, tempat mereka berkumpul. Di tempat tersebut, kaum Muslimin menemukan seorang Badui yang adalah mata-mata Bani Sa’d. Hz. Ali r.a. menangkap dan menahannya dan menanyakan tentang keadaan Bani Sa’d dan penduduk Khaibar. Awalnya ia menyatakan ketidaktahuan dan ketidakterlibatan, tapi akhirnya setelah dijanjikan pengampunan, ia mengungkapkan semua rahasia. Kemudian kaum Muslimin menjadikannya pemandu menuju tempat Bani Sa’d berkumpul dan melancarkan serangan mendadak. Karena serangan mendadak ini, Bani Sa’d panik dan melarikan diri, dan Hz. Ali r.a. kembali ke Madinah dengan harta ganimah, sehingga bahaya ini untuk sementara dapat diatasi.

Kemudian disebutkan tentang misi Sariyah Hz. Abu Bakar r.a. menuju Bani Fazarah. Misi ini terjadi pada tahun 6 Hijriah. Bani Fazarah tinggal di Wadiul Qura di Najd, yang terletak sekitar 350 kilometer di utara Madinah ke arah Syam. Dalam Thabaqat Al-Kubra dan Sirah Ibnu Hisyam tertera bahwa misi ini dikirim di bawah pimpinan Hz. Zaid bin Haritsah r.a., tetapi dari Shahih Muslim dan Sunan Abu Dawud diketahui bahwa Rasulullah saw. menunjuk Hz. Abu Bakar r.a. sebagai pemimpin misi ini.

Dalam riwayat Shahih Muslim, Iyas bin Salamah meriwayatkan bahwa ayahnya, Hz. Salamah bin Akwa r.a. menuturkan: “Kami berperang dengan kabilah Fazarah dan pemimpin kami adalah Hz. Abu Bakar r.a.. Rasulullah saw. menunjuk beliau sebagai pemimpin kami. Ketika jarak antara kami dan sumber air di sana tinggal satu jam – di sana ada sumur, tempat air – Hz. Abu Bakar r.a. memerintahkan kami berkemah di akhir malam. Kemudian kami dan mereka (yakni musuh) tiba di sumber air dan Hz. Abu Bakar r.a. melancarkan serangan dari segala arah. Beberapa terbunuh dan beberapa ditawan. Saya melihat sekelompok orang termasuk wanita dan anak-anak. Saya khawatir mereka akan mendaki gunung sebelum saya, maka saya melepaskan anak panah ke arah antara mereka dan gunung agar mereka takut dan mundur. Ketika mereka melihat anak panah, mereka berhenti.”

Saya menggiring mereka, di antaranya ada seorang wanita Bani Fazarah yang mengenakan mantel lama dan bersamanya ada putrinya yang sangat cantik. Saya mengepung mereka dan membawa mereka kepada Hz. Abu Bakar r.a.. Hz. Abu Bakar r.a. memberikan putri itu kepada saya sebagai hadiah. Ketika kami tiba di Madinah, Rasulullah saw. mengambil gadis itu dan mengirimkannya ke penduduk Makkah. Hz. Abu Bakar memang memberikannya kepada saya, tapi Rasulullah saw. mengambilnya dan mengirimnya ke Makkah untuk ditukar dengan banyak Muslim yang masih ditawan di Makkah. Ini adalah riwayat Shahih Muslim. Dalam Sariyyah ini, seruan Muslim adalah “اَمِت اَمِت”.

Hz. Salamah bin Akwa r.a. menyatakan: “Saya sendiri menjatuhkan tujuh orang.” Menurut sebuah riwayat, beliau membunuh sembilan orang. Sisanya insya Allah akan dibahas selanjutnya.

Sekarang saya ingin menyebutkan beberapa almarhum. Pertama adalah yang terhormat Tn. Tayyib Ahmad Bengali, seorang darwis Qadian. Beliau wafat pada 11 Desember di usia 97 tahun. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn. Beliau lahir di Bangladesh. Pada 1942, beliau mendapat taufik masuk Ahmadiyah dengan mengisi formulir baiat di Dhaka. Pada 1945, beliau pertama kali menghadiri Jalsah Qadian dan mendapat karunia bermulaqat dengan Hazrat Mushlih Mau’ud r.a. Beliau jatuh cinta pada Qadian sehingga tidak kembali lagi ke tanah airnya. Beliau belajar dua tahun di kelas khusus muballighin untuk desa-desa di Qadian. Selama itu, terjadi partisi India Pakistan pada 1947 dan beliau memohon izin untuk tetap tinggal di Qadian dan disetujui.

Selama masa sebagai darwis, beliau berkesempatan melaksanakan tugas keamanan di berbagai tempat. Beliau mendapat taufik berkhidmat di berbagai kantor Sadr Anjuman Ahmadiyah. Pada tahun 1955-1956 ketika Jemaat lemah secara finansial, Sadr Anjuman Ahmadiyah Qadian mengumumkan bahwa para darwis yang bisa menghasilkan pendapatan sendiri harus mencari pekerjaan karena Jemaat tidak bisa memberikan tunjangan. Mengikuti petunjuk ini, beliau membuka membuka kedai cae di luar Darul Masih dan sering memberi cae gratis kepada para tamu dan orang-orang yang miskin.

Beliau menikah dengan seorang wanita dari Kerala bernama ny.Aminah yang sebelumnya memiliki seorang putri. Beliau membesarkan putri ini. Beberapa waktu lalu, beliau pernah mengalami sakit lutut parah dan sulit berjalan. Dokter menyarankan operasi tetapi beliau menolak dan memilih berdoa dengan penuh rintihan dan keperihan. Suatu malam beliau bermimpi melihat Hazrat Masih Mau’ud a.s. datang dan memberi beberapa tanaman obat dari Bahesyti Maqbarah. Setelah itu, sakit lututnya berangsur sembuh dan sesuai keinginan, beliau dapat kembali salat berjamaah di Masjid Aqsa dan Masjid Mubarak. Beliau memiliki kecintaan tak terhingga pada Khilafat. Karena memiliki ketertarikan terhadap olahraga, beliau memiliki hubungan khusus dengan para pemuda, memberi semangat dan datang ke lapangan olahraga, sehingga tarbiyat para pemuda juga terlaksana melalui ini.

Sesuai perintah Hazrat Muslih Mau’ud r.a., saat pemisahan India-Pakistan, ada 313 darwis yang tetap tinggal di Qadian. Beliau adalah darwis terakhir yang wafat. Sekarang tidak ada lagi darwis di Qadian. Jalsah Qadian kali ini adalah Jalsah pertama yang berlangsung tanpa kehadiran seorang darwis. [Jalsah] dimulai hari ini. Jadi, Sekarang menjadi tugas generasi baru yang tinggal di Qadian untuk meneruskan tradisi para sesepuh yang telah berkorban ini dan menjalani kehidupan di Qadian dengan penuh kesetiaan dan keikhlasan. Semoga Allah Taala memberi mereka taufik.

Jenazah selanjutnya adalah Tn. Mirza Muhammad Din Naz, Sadr Sadr Anjuman Ahmadiyah Rabwah, Pakistan. Beliau adalah putra Tn. Mirza Ahmad Din. Beliau wafat beberapa hari yang lalu. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn. Dengan karunia Allah beliau adalah seorang Musi. Ahmadiyah masuk ke keluarga beliau melalui ayah beliau yang menjadi Ahmadi pada 1942 melalui tablig seorang Ahmadi yang merupakan aparat desa bidang pertanahan bernama Tn. Hasymatullah. Tn. Muhammad Din menikah dengan Ny. Sayyidah Nusrat Jahan binti Sayyid Abdul Hadi. Mereka memiliki seorang putra yang meninggal di usia muda. Kemudian mereka mengasuh seorang keponakan laki-laki dan perempuan, dan mengasuhnya seperti anak sendiri. Keponakan laki-laki beliau sedang sakit, semoga Allah Taala menganugerahkan kesembuhan kepadanya.

Pada 1965 beliau masuk Jamiah Ahmadiyah. Sebelumnya beliau lulus BA dan bekerja di luar untuk beberapa waktu, kemudian beliau masuk Jamiah dan lulus pada tahun 1971. Penugasan pertama beliau di lapangan, kemudian beliau diangkat sebagai dosen Jamiah untuk mengajar Sharaf Nahwu, Adab, Fiqih, Sejarah dan Tasaw.uf. Beliau juga mendapat taufik berkhidmat sebagai Wakil Principal Jamiah. Selama 37 tahun beliau berkhidmat di Jamiah. Kemudian ditugaskan sebagai Additional Nazir Islah wa Irsyad, Ta’limul Quran dan Waqaf Arzi. Pada tahun 2018, saya mengangkat beliau sebagai Sadr Sadr Anjuman Ahmadiyah dan beliau tetap pada jabatan ini hingga akhir hayat. Beliau juga mendapat taufik berkhidmat di tingkat pusat Majlis Khudamul Ahmadiyah dan Ansarullah. Beliau pernah menjadi Sadr Shaff Dom Ansarullah dan editor majalah Khalid dan Ansarullah. Pada 1994, beliau mendapat karunia menjadi tahanan dipenjara di jalan Allah selama lebih dari sebulan. Beliau berkhidmat sebagai anggota Dewan Qadha di Darul Qadha, anggota Majelis Ifta, anggota Komite Fiqih, Sekretaris Buyutul Hamd, dan Ketua Dewan Bahasa Arab. Bahasa Arab beliau sangat bagus. Istri beliau menuturkan, “Inti seluruh dari kehidupan beliau, dan saya bersaksi atas hal ini, adalah ‘Cinta untuk semua, tidak ada kebencian bagi siapapun.’”

Terkait:   Peristiwa-peristiwa Sebelum Perjanjian Hudaibiyah

Keponakan beliau menceritakan bahwa Tn. Mirza Naz mengatakan: sejak usia 10 atau 12 tahun saya mulai melaksanakan salat tahajud dan terus melakukannya secara teratur kecuali saat sakit. Begitu juga di usia 10 atau 11 tahun beliau mulai salat berjamaah dan tetap melakukannya di masjid kecuali saat dilarang dokter atau sakit.

Seorang kerabat lain menceritakan pernah bermalam bersama beliau. Pada malam musim dingin yang panjang, beliau bangun dan salat tahajud terus-menerus selama hampir empat jam. Beliau mengatakan: pada malam musim dingin yang panjang, tahajud juga harus panjang. Kemudian ada seorang kerabat beliau, paman beliau menuturkan, Almarhum pernah menuturkan: “Saya memulai salat nafal sejak masa Hz. Khalifatul Masih ketiga r.h. dan saya mengamalkannya secara dawam hingga saat ini.”

Beliau sangat menunjukkan keikhlasan dan kesetiaan saat menghadiri Jalsah di sini. Saya selalu melihat kecintaan dan kasih sayang di mata beliau dan standar ketaatan yang tinggi. Disini, jika ada yang mengundang beliau, Syarat beliau datang adalah harus salat berjamaah di belakang Khalifah, Kalau bisa beliau ingin berangkat sebelum waktu shalat.

Saudara beliau, Tn. Musytaq Beg yang tinggal di sini menuturkan: Atas keinginan ayahnya, saudara saya mewaqafkan hidup untuk Jemaat dan menunaikannya dengan baik hingga akhir hayat. Setelah lulus Jamiah, sebuah universitas di Mesir menawarkan pekerjaan dengan gaji tinggi tapi beliau menolak karena telah mewaqafkan hidup di jalan Allah. Ini terjadi saat tunjangan muballigh hanya 40 rupee, hampir tidak cukup untuk biaya hidup.

Tn. Mubashir Ayaz, Principal Jamiah Ahmadiyah Rabwah, menulis tentang sebuah kejadian di mana beliau menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Menuturkan, “Saya ingat ketika kami belajar di kelas dua atau tiga, Tn. Naz mengajar kami bahasa Arab. Pada waktu itu, salah satu saudari beliau mungkin menderita kanker darah. Dokter sudah menyerah. Ia tinggal bersama almarhum di Jamiah. Suatu hari, ia mendapatkan transfusi darah. Setelah itu, beliau datang ke kelas untuk mengajar kami dan tidak melewatkan kelas. Kondisi saudari beliau cukup buruk saat itu.” Tn. Mubashir Ayaz menuturkan, “Saat mengajar, seorang kerabatnya datang dan berdiri di luar ruang kelas memanggil beliau. Tn. Naz mendengar panggilan itu dan [setelah pergi] kemudian kembali untuk melanjutkan mengajar kami.” Tn. Mubashir Ayaz menuturkan, “Pada saat itu, ketika beliau mengajar, ada sebuah puisi Arab yang sangat indah yang juga memiliki bait-bait yang menyentuh. Ketika membacakan puisi tersebut, suara Tn. Naz tersendat dan air mata mengalir dari mata beliau.” Tn. Mubashir Ayaz mengatakan, “Saat itu kami sangat terkejut, karena Tn. Naz adalah orang yang sangat berani, mengapa beliau mengalami keadaan seperti itu. Namun beliau mengajar dengan penuh wibawa hingga selesai, lalu bergegas pulang. Kemudian kami tahu kerabat tadi memberi kabar kondisi kritis saudarinya, tapi beliau mengutamakan tugas dan mengajar dulu. Tak lama setelah itu saudari beliau wafat.”

Beliau memiliki banyak sifat-sifat istimewa dan menunaikan hak waqafnya dengan sempurna. Beliau memiliki hubungan keikhlasan dan kesetiaan yang tak terhingga dengan Khilafat. Semoga Allah Taala memberikan ampunan dan rahmat-Nya serta meninggikan derajatnya.

Jenazah ketiga adalah tentang yang terhormat Tn. Akmurad Haikiyo. Beliau adalah Presiden Nasional Jemaat Turkmenistan. Beliau wafat beberapa hari yang lalu. Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn. Beliau mengenal Ahmadiyah melalui Tn. Dr. Abdul Alim. Melalui tablig bersama oleh Tn. Ravil Bukharev dan Tn. Abdul Alim, beliau baiat karena dalam hati sudah menjadi Ahmadi namun belum baiat secara resmi. Pada tahun 2010, beliau pertama kali menghadiri Jalsah dan bertemu saya, kemudian mengikuti baiat internasional dan sangat bahagia bisa baiat di tangan Khalifatul Masih.

Penulis menyatakan, “Ketika kata-kata baiat diucapkan, raut wajah beliau berubah karena keikhlasan, kesetiaan dan kuatnya keimanan, hingga sulit dipercaya ini adalah orang yang sama yang sebelumnya sempat bercanda dengan kami.” Beberapa tahun lalu beliau mulai menerjemahkan Al-Quran ke bahasa Turkmen dan menyelesaikannya tahun lalu. Setelah menghadiri Jalsah inggris tahun lalu, beliau meminta izin untuk tinggal lebih lama dan setelah mendapat izin, beliau tinggal di sini. Beliau sangat disiplin menjaga salat dan selama itu juga menyiapkan terjemahan Al-Quran dalam bentuk buku dengan bantuan Russian Desk pusat.

Tn. Akmaran tidak hanya seorang Ahmadi awalin Turkmenistan, tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk berkhidmat sebagai Presiden Jemaat Ahmadiyah Turkmenistan hingga wafatnya. Dalam sebuah wawancara, beliau menulis, “Saya adalah seorang Muslim sejak lahir, tetapi saya adalah seorang Muslim tradisional. Pada masa itu adalah zaman Uni Soviet dan saya juga mendukung komunisme, tetapi nilai-nilai Islam tertentu tetap terjaga dalam diri kami. Saya belajar matematika, tetapi pada dasarnya saya selalu mencari Tuhan, Tuhan yang mana? Allah Ta’ala atau ada Tuhan lain?. Alhasil, saya terus mencari Tuhan. Pada dasarnya, saya tahu beberapa ayat Al-Qur’an dalam bahasa Arab. Setelah wafatnya ayah saya, saya mengatakan bahwa saya melihat sebuah mimpi di mana ada seorang suci yang datang dengan pakaian yang sangat putih, pakaian itu sangat putih sehingga saya tidak bisa menggambarkannya. Orang suci itu mengisyaratkan dengan satu tangan dan memanggil saya untuk mendekat, dan ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memanggil saya untuk datang. “Datanglah kepadaku.” Ini adalah kejadian pada tahun 2001,” tutur beliau. Setelah itu, melalui tablig Tn. Raveel dan Dr. Aleem, beliau mengetahui tentang kedatangan Hazrat Masih Mau’ud a.s.. Ketika ditunjukkan foto Hazrat Masih Mau’ud a.s., almarhum berkata, “Beliau adalah orang yang memanggil saya [dalam mimpi].” Dengan demikian beliau menerima Ahmadiyah dan seperti yang beliau ceritakan, pada 2010 melakukan baiat secara resmi. Beliau mengatakan: perasaan yang ada dalam diri saya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata karena cahaya yang diberikan Ahmadiyah kepada saya dirasakan dalam hati saya jauh lebih besar dari semua kata yang bisa diucapkan.

Beliau sangat menunjukkan keikhlasan dan kesetiaan. Beliau menuturkan: setiap khotbah dan pidato saya resapi dalam hati dan jiwa saya. saya mendengarkan dengan begitu saksama hingga hafal. Beliau juga mengatakan, “Saya memahami bahwa keberlangsungan dunia dan pemenuhan kesetaraan hak di dunia adalah terkait erat dengan Jemaat Ahmadiyah.”

Kemudian, tinggal di Inggris untuk Jalsah Salanah tahun lalu tidaklah mudah bagi beliau. Beliau menerangkan: “Ada pernikahan di Turkmenistan yang di dalamnya semua kerabat hadir dan sebagai kepala keluarga seharusnya saya ada di sana, tetapi saya merasa tidak ada yang lebih penting saat itu daripada menerjemahkan Al-Quran ke bahasa Turkmen. Yang terpenting adalah saya mengkhidmati Al-Quran Karim.” Semoga Allah Taala menganugrahkan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau, meninggikan derajat beliau, dan memberi taufik kepada anak keturunan beliau untuk menerima dan mengamalkan Ahmadiyah jika mereka belum baiat.

Saya akan memimpin salat jenazah gaib untuk mereka setelah salat.[1]


[1] Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi, Shd., Mln. Fazli Umar Faruq, Shd. dan Mln. Muhammad Hasyim. Editor: Mln. Muhammad Hasyim

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.