Berdirinya Khilafah Islam, Keruntuhan dan Kebangkitannya kembali

khilafah islam

Berdirinya Khilafah Islam, Keruntuhan dan Kebangkitannya Kembali
Rafi Ahmad

Dalam esai ini, kita akan membahas tentang konsep Khilafah Islam, bagaimana berdirinya, kejatuhan dan kebangkitannya kembali, dan mendiskusikan relevansinya di zaman modern.

Dalam bahasa Arab Khalifah berarti pengganti. Istilah caliph hanyalah versi bahasa inggris dari Khalifah. Istilah Khilafah dan caliphate meskipun berasal dari Khalifah dan caliph masing-masing memiliki konotasi yang berbeda. Khilafah mengacu pada lembaga suksesi Islam yang bersifat rohani, sedangkan caliphate menyiratkan kepada sebuah negara Islam politik-religius yang dipimpin oleh seorang caliph. [6,14]

Landasan Teologis Khilafah Islam

Al-Qur’an menyebut beberapa referensi untuk istilah Khalifah, tetapi tidak menjelaskan lebih rinci tentang hak prerogatif, ruang lingkup, wewenang, atau cara pembentukan Khilafah. Pemahaman kami tentang Khilafah dan bagaimana gambaran legitimasinya pada dasarnya didasarkan pada ayat berikut.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari antara kamu dan berbuat amal shaleh, bahwa Dia pasti akan menjadikan mereka itu khalifah di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan khalifah orang-orang yang sebelum mereka; dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah Dia ridhai bagi mereka; dan niscaya Dia akan menggantikan mereka sesudah ketakutan mereka dengan keamanan.  (An Nur 24: 56)

Dalam ayat ini, Al-Quran menjanjikan lembaga Khilafah sebagai hadiah untuk sebuah kesalehan kolektif. Hal ini sering ditafsirkan menjadi dasar untuk berdirinya sebuah pemerintahan Islami diatas garis demokrasi yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang jabatannya, pada dasarnya dipilih dan dibatasi oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

Dalam sebuah hadis terkenal, Nabi Muhammad saw diriwayatkan telah bersabda:

Kenabian akan tetap di antara kamu selama Allah menghendaki. Kemudian diikuti Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajjin-nubuwwah) akan tetap berada selama dikehendaki-Nya. Kemudian diikuti kerajaan monarki yang korup (Mulkan ‘Adhan) dan akan tetap ada selama Allah menghendaki. Kemudian muncul kerajaan tirani yang lalim (Mulkan Jabariyyah) yang akan tetap ada selama Allah menghendaki. Kemudian sekali lagi muncul Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah). [Musnad-Ahmad, Mishkat, Bab Al-Anzar Wal Tahzir].

Hadits ini tidak hanya meyakinkan kita tentang kebangkitan kembali Khilafah dibawah bimbingan Ilahi tetapi juga melalui sebuah fakta sejarah yang mengikuti masa-masa awal Khilafah.

Khilafah Islam dan Negara

Dalam pandangan Islam pemilik dari alam semesta adalah Allah, tetapi manusia, sebagai wakil Allah, dianugerahi wewenang atas bidang-bidang tertentu, sebagai sebuah amanah yang dipertanggungjawabkan kepada Allah. Zafrullah Khan menulis:

“Sebagaimana kekuasaan Allah meliputi seluruh alam semesta, cita-cita utama sebuah pemerintahan dalam Islam adalah sebuah perkumpulan atau persatuan global dari negara-negara yang otonom, yang saling bekerjasama untuk menegakkan kebebasan hati nurani, pemeliharaan perdamaian, dan kerjasama mengembangkan kesejahteraan manusia di seluruh dunia … ” [5]

Peran yang di jalankan oleh Khalifah adalah bersifat rohani dan duniawi. Menurut Hazrat Mirza Tahir Ahmad rh, Khalifatul Ahmadiyah IV, pengertian Khalifah sebagai pemimpin rohani dari suatu perserikatan negara-negara adalah jika Ia memandang perlu  dapat menyerahkan sebagian besar atau semua kewenangan duniawinya kepada perwakilan terpilih dari anggota-anggota negara yang bersatu. [3] Dengan demikian konsep Khilafah melampaui kedaulatan bangsa dan perbedaan etnis dan membentuk entitas supra-nasional yang benar-benar universal.

Seorang Khalifah mendapatkan janji dukungan Ilahi selama ia tetap berpegang teguh pada ajaran kenabian – yaitu prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang dicontohkan oleh nabi. Ia terikat oleh peraturan hukum Ilahi. Ia memutuskan pertanyaan-pertanyaan tentang kebijakan setelah berkonsultasi dengan wakil rakyat yang terpilih. Dengan demikian konsep Khilafah Islam dijiwai dengan karakteristik duniawi dan religius.

Terkait:   Pentingnya Ketaatan pada Nizam Jemaat

Institusi Khilafah didasarkan pada ajaran kenabian, karenanya, seperti halnya kenabian, ia dapat tumbuh dan berkembang tanpa sebuah negara.

Khalifah Rasyidah

Sepeninggal Rasulullah saw (632 M), Hazrat Abu Bakar ra menggantikan fungsi kerohanian, politik dan administratif beliau sebagai penerus utusan Tuhan (Khalifah Rasulullah). Bernard Lewis, seorang ahli sejarah Islam, menulis :

“Abu Bakar ra. diberi gelar Khalifah atau ‘wakil’ (dari Rasulullah) … dan pengangkatan beliau menandai awal bersejarah terbentuknya kekhalifahan yang luar biasa. Para pemilih beliau bisa saja tidak menyadari tentang fungsi dan perkembangannya di kemudian hari. Pada saat itu, mereka tidak berusaha membatasi tugas-tugas dan wewenang beliau. Satu-satunya  syarat pengangkatannya adalah pemeliharan warisan Sang Nabi. [10]

Bernard Lewis menangkap esensi institusi Khilafah pada kalimat terakhir dengan menyatakan kembali ungkapan hadits “diatas jejak kenabian”. Empat Khalifah pertama, Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, Usman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib ra, adalah sahabat terdekat Nabi Muhammad saw yang dikenal akan integritas dan pengabdiannya yang tinggi. Derajat pangkat Rasyidah telah disematkan kepada mereka untuk membedakan mereka dengan khalifah-khalifah kerajaan setelahnya.

Periode Khalifah Rasyidah (632 – 661) merupakan masa yang oleh generasi umat Islam kemudian mengingatnya sebagai masa keemasan Islam yang murni. Kaum muslimin sering menetapkan diri dan teologi mereka sesuai dengan cara para Khalifah itu meraih kemuliaan, meskipun terjadi pergolakan dan berumur pendek, dari periode perkembangan itu. [7]

Ahli sejarah Islam yang terkenal, Muhammad Ibnu Jarir Al Tabari, menuliskan sebuah peristiwa dibawah ini, [10]

“Umar bertanya kepada Salman,” Apakah aku seorang Khalifah atau seorang Raja?” Salman Menjawab, “Jika tuan mengumpulkan pajak dari tanah orang-orang Islam satu Dirham, atau lebih, atau kurang, dan menggunakannya dengan tidak sah, maka tuan adalah seorang Raja bukan Khalifah.” Kemudian Umar menangis.” (At Tabari, Tarikh al-Rusul wal Muluk)

Di sini Umar, Khalifah yang kedua, yang merupakan seorang yang shaleh, adil dan selalu berpegang teguh pada nilai-nilai agama menangis hanya ketika mendengar kemungkinan penyalahgunaan satu koin dari pembendaharaan umat. Peristiwa ini menegaskan karakteristik khusus dari Khalifah yang mendapat petunjuk.

Para Khalifah Rasyidah memerankan sisi kerohanian dan sekuler secara aktif. Mereka adalah pemimpin persatuan Islam; dan dalam menjalankan wewenang bersifat sekuler, secara tidak langsung, seringkali melalui gubernur yang ditunjuk di berbagai propinsi.

Setelah pembunuhan Ali (661 M), Khalifah Rasyidah terakhir, persoalan tentang siapa yang berhak menjadi Khilafah menyebabkan terjadinya perpecahan yang besar dalam Islam menjadi aliran Sunni dan Syi’ah. [9] Muawiyyah mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah ummat dan Kerajaan Islam dan dengan demikian ia telah meletakkan pondasi sejarah panjang dinasti monarki – benar-benar sesuai dengan nubuatan dari Nabi Muhammad saw.

Monarki dan Despotisme

Setelah berakhirnya masa Khilafah Rasyidah, Gelar Khalifah dipakai oleh 14 raja-raja bani Umayyah di Damaskus (661-750 M) dan setelah itu 38 raja-raja Bani Abbasiyah di Baghdad (750-1258 M). Setelah kejatuhan Dinasti Umayyah, Gelar itu juga diambil oleh kelompok Spanyol yang berkuasa di Cordoba (755-1032 M) dan oleh bani Fatimiyyah penguasa Mesir (909-1171 M). Jadi banyak Khalifah-Khalifah yang hidup sezaman dari abad ke-7 sampai abad ke-12. [6]

Khalifah Abbasiyah terakhir Kairo ditangkap pada tahun 1517 M oleh Sultan Ottoman Selim I. Sultan-sultan Ottoman kemudian mengklaim gelar Khalifah dan mematenkannya selama 4 abad sampai berakhir pada tahun 1924 oleh Mustafa Kamal Ataturk, Pendiri Republik Turki.

Adalah suatu hal yang umum bagi banyak sarjana [14,20] yang berpendapat bahwa masa kekhalifahan berakhir pada tahun 1924. Tetapi, yang sebenarnya, masa khalifah telah mencapai titik nadir sudah sejak lama. Apa yang berakhir pada tahun 1924 itu hanyalah sebuah sisa gelar hampa yang disalahgunakan oleh kerajaan-kerajaan dekaden, yang bahkan di masa kejayaanpun, mereka tidak pernah mewakili umat Islam, dan juga tidak menunjukkan pengaruh-pengaruh positif bagi mereka sejak abad ke-13.

Terkait:   Konspirasi Besar Menentang Khilafat Ahmadiyah

Angan-Angan Pikiran

Pada tahun 2005, Presiden Bush memperingatkan [12]: “Teroris Al Qaeda ini digerakkan oleh sebuah pandangan Islam yang radikal dan sesat yang menolak toleransi, menafikan semua perbedaan pendapat, dan membenarkan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak bersalah, wanita dan anak-anak dalam mengejar kekuasaan politik. Mereka berkeinginan untuk membangun utopia politik kekerasan di Timur Tengah, yang mereka sebut sebagai khilafah… yang semua orang diatur menurut ideologi kebencian mereka. Khalifah ini akan menjadi kerajaan Islam totaliter yang meliputi semua daerah Muslim saat ini dan dahulu.”

Bush tidak sendiri dalam mengungkapkan momok dari Khilafah Islam. Setelah berbagai kerusuhan dan tuntutan akan kebebasan dan keadilan baru-baru ini di negeri Arab, banyak tokoh akademisi masyarakat dan para think thank mengungkapkan pandangan kegelisahan yang serupa, sementara beberapa media ramai menyebarkan teori-teori konspirasi liar tentang  Khilafah.

Di spektrum yang lain, semangat umat Islam secara keseluruhan merindukan sebuah kekhilafahan global, yang didambakan sebagai memori akan kemuliaan masa lalu dan cita-cita abadi. Dalam beberapa tahun terakhir ini, keinginan umat Islam untuk membentuk persatuan secara Internasional dan Khilafah telah berkembang. Gerakan-gerakan Islam populer mengidentifikasi bahwa menurunnya kerohanian dan ketaatan kepada agama secara personal adalah akar berbagai permasalahan di dunia Islam, dan mereka menyatakan bahwa Khilafah tidak akan berhasil dibangkitkan kembali sampai kelemahan ini diatasi.

Osama bin laden telah menyerukan [12] serangan 11 September sebagai ”langkah yang luar biasa ke arah penyatuan umat Islam dan membangun Khilafah yang benar.” Sejumlah kelompok politik fundamentalis telah menyerukan pembentukan kembali Khilafah dengan menyatukan negara-negara Islam, baik melalui pemberontakan politik, secara damai atau melalui paksaan [13]. Dua kelompok Islam radikal dan berpengaruh, Jamaat-e-Islami dan Ikhwanul Muslimin, berusaha untuk membangun kembali kekhalifahan, tetapi gagal dalam membedakan antara negara Islam yang militan [16,17] dan Khilafah rohaniah yang mendapatkan petunjuk. Beberapa memandang Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sebuah organisasi internasional dengan 57 anggota negara-negara Islam, sebagai cikal bakal bagi terbentuknya kekhalifahan. Cendikiawan lainnya, seperti Tarek Masoud dari Harvard Kennedy, mengambil pandangan yang lebih sederhana yang membayangkan kekhalifahan itu seperti layaknya Uni Eropa bagi Umat Islam [19].

Jelas sekali, inti gagasan restorasi kekhalifahan yang berbeda-beda itu terletak pada sebuah prasyarat minimal persatuan politik umat Islam [13]. Tetapi hal itu nampaknya tak dapat dibayangkan untuk iklim saat ini. Dalam ingatan akhir-akhir ini, negara-negara Islam belum menampakkan persatuan dan kerukunan. Dunia telah menjadi saksi September Hitam yang terjadi di Yordania (1970), kegagalan gerakan Pan Arabisme dan Republik Arab Bersatu (1971), Perpecahan Pakistan (1971), Perang Iran-Irak (1980 – 1988), Konflik Darfur (2003 – 2008) dan keputusan Sudan Selatan untuk memisahkan diri dari Sudan Utara (2011). Dalam Khutbah Jum’at [18] Hazrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V, secara ringkas menyatakan, “Bagaimana bisa mereka mengusulkan untuk membangun Khilafah di setiap negara-negara Islam, saat mereka tidak bersepakat tentang siapa yang berhak memimpin shalat diantara mereka?”

Khilafah Ahmadiyah

Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as, Al-Masih dan Mahdi, mengumpamakan Khilafat sebagai manifestasi kedua dari kekuasaan Tuhan – kedatangan Nabi adalah manifestasi pertamanya. Beliau menggambarkan sebuah kesamaan dan menyodorkan tipikal Khilafat Abu Bakar sebagai manifestasi kedua. Beliau mengutip ayat Al-Qur’an  Surah An Nur: 56 dan membuat sebuah nubuatan, “manifestasi kedua tidak akan datang hingga aku pergi. Tetapi setelah aku pergi, Tuhan akan mengirimkan sebuah manifestasi kedua untuk kalian yang akan terus bersama kalian selamanya.” [1] Manifestasi kedua ini secara jelas mengacu kepada Khilafah Ahmadiyah.

Terkait:   Untold Story: Khalifatul Masih, Muazin, Masjid yang Kosong dan Jamaah Seluruh Dunia

Setelah kewafatan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as pada tahun 1908, sejumlah anggota penting dari Jemaat Ahmadiyah bermusyawarah dan dengan suara bulat memutuskan bahwa Hazrat  Maulana Hakim Nuruddin ra  sebagai Khalifah pertama. Pada tahun 1914, pada saat pemilihan Khalifah kedua – Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad ra – kelompok penentang kecil membentuk sebuah organisasi terpisah yang dikenal sebagai Lahori; perbedaan utama mereka dengan Ahmadi pada umumnya terpusat pada ruang lingkup dan perlunya institusi Khilafah [4]. Sejak saat itu pergantian tiga Khalifah berlangsung dengan penuh rahmat dan harmonis. Khalifah-Khalifah ini adalah sosok-sosok yang kesalehan, kejujuran, ketulusan dan kesederhanaan mereka didedikasikan untuk Islam, mengabdi kepada agama dan mendidik orang-orang beriman.

Setelah kekosongan selama 1300 tahun, Khilafah Islam Ahmadiyah yang dibimbing Allah taala, telah muncul kembali sesuai dengan nubuatan Nabi Muhammad saw dan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as. Ini adalah salah satu peristiwa yang paling penting dalam sejarah Islam yang pengaruhnya sudah mulai terlihat.[11]

Khilafah Islam Ahmadiyah secara tegas menolak militansi dalam bentuk apapun dan mencanangkan jihad intelektual dengan pena. Ketika dihadapkan dengan penganiayaan pahit, mereka menerapkan kesabaran dan ketabahan. Ketika dihadapkan pada sikap intoleran yang menyakitkan, mereka mengajarkan perdamaian dan toleransi. Mereka membela orang-orang yang terampas dan bekerja mengangkat hak-hak orang tertindas.

Khilafah Islam Ahmadiyah tidak menaklukkan negara, tidak juga memiliki kekuasaan duniawi, tetapi ia menebarkan pengaruh atas hati dan pikiran jutaan orang dengan memenangkan hati mereka. Ini adalah suatu kekuatan bagi kebaikan dunia, dan sekali lagi menunjukkan sebuah institusi yang didasarkan pada ajaran kenabian.

Referensi :

  1. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, The Will, Islam International Publication, Ltd., 2001
  2. Hadhrat Mirza Bashiruddin Mehmud Ahmad, Islam May Ikhtilafat Ka Aghaz (The Origin of Dissention in Islam), Ahmadiyya Movement in Islam, Qadian, India, 1978.
  3. Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, Islam’s Response to Contemporary Issues, Islam International Publication, Ltd., 1992
  4. Yohanan Friedmann, Prophecy Continuous, University of California Press, 1989
  5. Sir Muhammad Zafrulla Khan, Islamic Concept of the State, Review of Religions, February 1993
  6. “Caliphate”, Encyclopædia Britannica 2006, Ultimate Reference Suite DVD.
  7. Phillip K. Hitti, A History of the Arabs, Macmillan & Co. Ltd., New York, 1961
  8. Muhammad Zafrulla Khan, Islam and Human Rights, Islam International Publications, 1967
  9. Karen Armstrong, Islam: A Short History, Modern Library, New York, 2000
  10. Bernard Lewis, The Arabs in History, Oxford University Press, New York, 1993
  11. Muhammad Zafrulla Khan, Ahmadiyyat: The Renaissance of Islam, Tabshir Publications, London, 1978
  12. http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/09/05/AR2006090500656.html
  13. http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/01/13/AR2006011301816_pf.html
  14. Noah Feldman, The Fall and Rise of the Islamic State, Princeton University Press, 2008.
  15. Osama Saeed, The Return of the Caliphate, The Guardian, November 1, 2005.
  16. Kalim Bahadur, The Jamaat-e-Islami of Pakistan, Chetana Publications, New Delhi, 1977.
  17. S. Leiken and S. Brooke, The Moderate Muslim Brotherhood, Foreign Affairs Magazine, Vol. 86, No. 2, March 2007.
  18. Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Friday (25-2-2011) Sermon, http://www.alislam.org/friday-sermon/20110225.html#summary-tab
  19. Global Public Square, CNN, February 20, 2011.
  20. Samuel Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Simon & Schuster, 1996

Penerjemah: Mln. Muzaffar Ahmad

Sumber: Alislam.org

Editor: Khaeruddin Ahmad Jusmansyah

Leave a Reply

Begin typing your search above and press return to search.
Select Your Style

You can choose the color for yourself in the theme settings, сolors are shown for an example.