Khilafah Muslim Ahmadiyah: Petunjuk Penting untuk Dunia yang Bermasalah
Pidato di hadapan para Pejabat tinggi Kanada 25 Juni 2008
Berikut ini adalah transkip pidato yang disampaikan oleh Hazrat Mirza Masroor Ahmad, pada jamuan makan malam yang diadakan di Hilton Conference Centre, Markham, Ontario, Kanada, Rabu, 25 Juni 2008, sebagai bagian dari kegiatan yang diselenggarakan untuk memperingati 100 Tahun Khilafah Ahmadiyah. Sejumlah tamu terhormat hadir jamuan tersebut termasuk Perdana Menteri Ontario, Hon. Dalton McGuinty dan Hon. Jason Kenney, Sekertaris Negara Federal untuk Multikularisme dan Identitas Kanada.
Bismillahirrahmanir-rahim. Semua tamu yang terhormat, Assalamu’alaikum wa rahmatullah wabarakatuh.
Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua tamu undangan yang terhormat yang telah menerima undangan dan mengadiri acara ini. Saya tahu ini adalah hari kerja, jadi sangat sulit bagi Anda sekalian untuk datang menghadiri acara ini. Jelaslah kalian diberkati dengan jiwa kemanusiaan dan nilai-nilai etika yang sangat tinggi. Oleh karena itu sudah sepantasnya saya berterimaksih kepada orang -orang yang mempunyai nilai moral yang tinggi.
Saya sudah dua kali datang ke sini sebelumnya, untuk menghadiri Jalsah Salanah Ahmadiyah, dan sebgian dari Anda telah bertemu dengan saya pada kesempatan itu. Namun acara seperti ini belum pernah diselenggarakan sebelumnya. Saya secara langsung menyampaikan kepada orang-orang yang bersimpati kepada Jemaat Ahmadiyah, atau orang-orang yang mempunyai kontak personal dengan anggota dari Jamaah kami. Dan terdapat juga beberapa tamu undangan yang belum pernah berhubungan dengan Jamaah Ahmadiyah.
Seperti anda tahu pemerintah setempat telah mengatur acara ini, karena Jamaah Ahmadiyah tengah merayakan 100 Tahun Khilafah pada tahun 2008. Karena setelah wafatnya pendiri Ahmadiyah, penerusnya kini telah melewati 100 tahun pertama mereka. Penerus beliau dikenal sebagai ‘Khilafah’, dan sehubungan dengan ini lah kami merayakan 100 Tahun Khilafah.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, banyak di antara Anda sekalian yang memiliki hubungan Ahmadiyah dan telah mengenal dengan sangat baik.
Jamaah ini adalah sebuah kelompok dalam Islam, dan menurut ajaran dan keyakinan kami, Jamaah dari Hazrat Masih Mau’ud (as) didirikan sesuai dengan nubuatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Almasih yang Dijanjikan akan muncul pada abad ke-14 setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk menjadikan umat Islam dan non-muslim menyadari akan Pencipta sejati mereka dan untuk menjadikan mereka tunduk kepada-Nya.
Seiring berjalannya waktu, muncul beberapa kelemahan dalam memahami ajaran Islam, dan kelemahan tersebut harus disingkirkan. Demikian pula, keberatan-keberatan terhadap Islam harus ditanggapi. Manusia harus diingatkan tentang hak-hak manusia lainnya. Suasana penuh kecintaan, kasih sayang, dan kedamaian harus dibangun di dunia ini. Denngan kata lain, hak-hak yang menjadi hak Allah Ta’ala dan hak-ham sesama manusia harus ditegakkan supaya dunia ini menjadi surga.
Pengantar dan klarifikasi singkat ini saya sampaikan kepada orang-orang yang belum mengenal Jamaah Muslim Ahmadiyah, dan juga supaya rasa takut terhadap Islam yang mungkin ada di daam hati sebagian orang dapat dihilangkan.
Kesalahampahaman tentang Islam
Saat ini merupakan sebuah fakta ketika nama Islam digunakan maka kesan umum yang muncul adalah rasa takut. Ini bukan kesalahan orang-orang yang takut. Sayangnya, kelompok-kelompok tertentu di dalam Islam dan sebagian kelompok lainnya, telah sedemikian rupa menggambarkan Islam sehingga tampak sebagai agama yang tidak beradab, ekstrimis, penuh dengan kekerasan, dan suka berperang. Hanya mendengar kata Islam saja kesan orang-orang langsung mengarah kepada pedang, pengeboman, dan serangan bunuh diri.
Bagaimanapun, tujuan dari tugas-tugas yang telah saya uraikan dan yang telah diamanahkan kepada Al-Masih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam — tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh Khilafahnya — tidak dapat diselesaikan dengan paksaan, tetapi dengan memenangkan hati dengan cinta dan kasih sayang. Tidak mungkin mencapai kedekatan dengan Allah, atau menunaikan hak-hak orang lain melalui paksaan.
Al-Qur’an dengan sangat jelas mengatakan bahwa: “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS Al-Baqarah [2]:257)
Pendiri Jamaah Ahmadiyah telah memaparkan ajaran yang indah ini. Beliau bersabda:
“Al-Qur’an dengan jelas memerintahkan untuk tidak mengangkat pedang dalam menyebarkan agama, tetapi sebaliknya kita harus menampilkan keindahan agama dan menarik orang lain dengan teladan akhlak. “Jangan terpikir bahwa sejak awal Islam itu sudah ada perintah untuk mengangkat pedang. Sesungguhnya pedang TIDAK digunakan untuk menyebarkan agama. Pedang hanya digunakan sebagai alat mempertahankan diri dari musuh untuk tujuan membangun perdamaian. Sesungguhnya pedang tidak pernah digunakan untuk memaksa dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama.”
Masalah keimanan berkaitan dengan hati. Harus ada suatu pengorbanan demi kepentingan agama. Maka banyak nyawa telah dikorbankan selama 13 Tahun pertama di kota Mekkah. Dan bahkan setelah hijrah ke Madinah, ketika para musuh terus menyerang, dan mekispun mereka tidak memiliki perlengkapan yang memadai, mareka akhirnya melawan.
Dapatkah seseorang seorang yang dipaksa masuk Islam, mempersembahkan pengorbanan seperti itu? Sebaliknya, orang itu akan senang jika Islam diserang. Dia akan berpikir bahwa itu adalah hal yang baik karena seseorang datang untuk menyelamatkannya. Karena itu, pengorbanan seperti ini membuktikan bahwa siapapun yang menjadi Muslim maka ia akan menjalankan dengan sepenuh hati. Dan jika dia berperang, maka dia berperang demi suatu tujuan. Dan apa tujuannya?
Tujuan peperangan dalam Islam
TUJUAN PERTAMA adalah untuk mempertahankan diri. Para musuh terus ingin menyerang dan umat Islam terpaksa mengangkat senjata mereka demi membela diri.
TUJUAN KEDUA adalah ketika para Muslim yang tidak bersenjata diserang dan dibunuh dengan kejam, maka sebagai balasan atas pertumpahan darah, dan juga sebagai hukuman atas kekejaman, pertempuran terjadi. Ini adalah kebiasaan bangsa Arab, dan ini memang diperlukan untuk menjaga perdamaian dan ini juga berlanjut hingga masa kini.
KETIGA, kalaupun terjadi peperangan maka itu dilakukan untuk melemahkan pihak penentang yang bersatu untuk memusnahakan umat Islam hanya karena mereka menyembah Satu Tuhan yang Benar. Jika dalam kondisi itu mereka tidak melawan, maka para penyerang tidak akan mengampuni umat islam. Bahkan Allah Ta’ala berfirman, mereka pasti akan merobohkan biara, gereja, sinagog, dan masjid dan kemudian kekejaman akan terus meningkat.
Sejarah menjadi saksi bahwa setiap kali umat Islam terlibat dalam perang, tidak ada seorangpun yang dipaksa menjadi Muslim. Setiap orang mempunyai kebebasan dalam beribadah.
Dalam suatu kesempatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “JANGAN melukai orang tua, wanita dan anak- anak, dan juga JANGAN merusak tempat ibadah”, dan bahkan lebih jauh lagi beliau bersabda bahwa pohon-pohon pun tidak boleh ditebang.
Umat nasrani dan juga penganut agama-agama lain tinggal di negara-negara Islam, dan hak-hak mereka terlindungi. Jizyah (pajak perlindungan) diambil dari non-Muslim, dan jika seseorang tidak mampu membayarnya maka orang tersebut akan dibebaskan dari kewajiban membayarnya.
Ketika masa ke-Khalifahan Hazrat Umar, Khalifah kedua dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang Yahudi telah dibunuh oleh seorang pembunuh tidak dikelam. Hazrat Umar menjadi sangat cemas; maka beliau mengumpulkan semua orang di masjid Madinah, dan setelah membangkitkan rasa takut mereka kepada Allah dalam diri mereka, beliau menanyakan tentang peristiwa itu kepada mereka. Salah satu Muslim yang hadir pada saat itu, mengakui bahwa pembunuhan itu telah dilakukan olehnya. Jadi dia diharuskan untuk membayar uang tebusan (dengan persetujuan keluarga Yahudi)
Ini hanyalah beberapa kejadian yang telah saya ceritakan, tapi itu semua merupakan bukti bahwa dalam keadaan perang sekalipun, Islam mengharuskan perlakuan yang baik terhadap musuh; sementara dalam masa damai, hak-hak non-Muslim tetap dilindungi.
Jika kekerasan digunakan, maka contoh-contoh nyata dari kehidupan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifahnya tidak akan pernah muncul dalam catatan sejarah.
Tujuan dari penyebutan sejarah ini adalah untuk menghilangkan kesalahpahaman bahwa Islam adalah agama yang radikal. Hadrat Masih Mau’ud a.s telah mengajarkan kepada kita untuk mengamalkan ajaran ini dan menyebarkannya. Seperti yang tertera dalam kutipan yang baru saja saya baca, bahwa Jamaah Muslim Ahmadiyah hanya mengenal satu Islam, yaitu Islam yang penuh cinta dan kasih sayang, yang menyebarkan pesan perdamaian dan keamanan.
Cara menciptakan perdamaian?
Sekarang saya akan memaparkan beberapa petunjuk Al-Qur’an yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyrakat. Sering kali terdapat anggapan bahwa Islam adalah agama yang suka berperang. Tetapi pada kenyataannya, dalam situasi apa Allah Ta’ala mengizinkan umat Islam untuk berperang? Mari kita liat.
Jangan melampaui batas
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan perangilah orang-orang yang memerangi kamu di jalan Allah, dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S Al-Baqarah ayat 191)
Tidak dibenarkan untuk memulai permusuhan. Bahkan, Anda hanya boleh berperang jika telah diserang. Dan disini pun perintahnya adalah jangan melampaui batas. Apa yang dimaksudkan dengan melampaui batas?
Pada masa itu, para musuh Islam biasa memutilasi tubuh tentara musuh yang gugur. Karena tindakan ini merupakan penghinaan terhadap mayat, ini tindakan ini dilarang dalam Islam. Islam juga melarang untuk membunuh perempuan dan juga anak-anak. Dan juga dilarang untuk membunuh para pemimpin agama-agama lain – para pendeta dan para rabi – di dalam tempat-tempat ibadah mereka.
Dalam kata lain, pertempuran hanya terjadi di medan pertempuran. Atau jika tidak lagi pilihan lain dan mereka terpaksa untuk berperang di dalam kota. Tapi meskipun begitu, mereka hanya bisa berperang dengan pihak yang telah memulai permusuhan.
Pada masa ini kita menyaksikan tidak ada pihak-pihak yang bertindak sesuai ajaran-ajaran ini. Para pelaku bunuh diri tanpa pandang bulu membunuh wanita, anak-anak, dan orang tua, sementara pasukan penyerang menjatuhkan bom di kota-kota, dan melepaskan tembakan dengan cepat. Mereka menyebabkan kehancuran besar di kota-kota dan infrastrutur. Pada saat ini, setiap negara besar memiliki gudang senjata nuklir, termasuk negara-negara miskin pun ikut ikut serta dalam perlombaan senjata ini. Umat manusia tengah berada di pinggir jurang kehancuran.
Sementara Al-Qur’an mengajarkan kita untuk tidak menyakiti orang-orang yang tak bersalah. Dampak dari bom atom dapat menyebabkan kecacatan fisik dari generasi ke generasi, sehingga kejahatan bahkan lebih buruk daripada pembunuhan. Setelah penggunaan bom atom pada perang dunia kedua, orang-orang mengira bahwa dunia tidak akan memproduksi kembali senjata seperti ini. Namun faktanya, mereka terus mengembangkannya dan, bahkan telah terjadi perlombaan dalam mengembangkan senjata pemusnah massal ini.
Tidak membuat pembatasan pada pihak yang kalah
Demi terciptanya perdamaian, Allah Ta’ala berfirman bahwa jangan memaksakan pembatasan-pembatasan yang tidak masuk akal kepada bangsa yang telah ditaklukkan. Sebaliknya, jika aggressor condong ke arah perdamaian, maka kalian harus segera menghentikan penyerangan. Jangan mencari-cari alasan dan jangan mengambil kesempatan untuk mempermalukan bangsa mana pun, karena hal ini juga dapat berdampak buruk.
Jika kamu menekan suatu bangsa untuk sementara waktu, akan tiba saatnya ketika harga mereka bangkit, perselisihan dan pertempuran lama akan terulang kembali. Pembatasan-pembatasan seperti itu hanya diberlakukan oleh negara penakluk untuk mencegah negara yang ditaklukan untuk bangkit lagi.
Ditanamkan suatu ketakutan dalam diri mereka sehingga mereka tidak akan pernah mengambil langkah tanpa izin dari penakluk mereka; dan mereka mungkin akan tetap tunduk di bawah mereka. Oleh karena itu bangsa-bangsa penakluk dapat mengawasi dan bahkan memata-matai di daerah tetangga, sambil tetap berada dalam batas geografis negara yang ditaklukkan. Atau mereka mampu memperoleh keuntungan dari sumber daya bangsa tersebut.
Jangan serakah pada kekayaan bangsa lain
Allah Ta’ala memerintahkan umat Islam untuk tidak berperang hanya karena kepentingan duniawi. Allah Ta’ala berfirman:
“Janganlah engkau tujukan pandangan matamu ke arah yang telah Kami berikan sebagai bahan kesenangan sementara kepada beberapa golongan di antara mereka.” (QS Al-Hijr [15]:89)
Allah Ta’ala mengajarkan bahwa kekayaan duniawi bersifat sementara. Meskipun anda memperolehnya, kekayaan ini pasti akan hilang dan bukan hanya itu, ia akan menimbulkan kekacauan terus-menerus. Maka dari itu, ini sangat penting demi perdamaian dunia bahwa setiap negara focus memperoleh keuntungan dari sumber dayanya masing-masing, dan tidak boleh memandang kekayaan orang lain dengan serakah.
Ringkasnya, seorang Muslim tidak diperbolehkan terlibat dalam peperangan apapun, kecuali jika itu dilakukan terhadap orang-orang yang menghalangi ibadah dan dakwah dari agama Allah atau mereka menjadi penyebab hancurnya perdamaian di dunia ini. Bukankah ini ajaran yang indah untuk mejaga perdamaian?
Kemudian, Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan jika mereka cenderung kepada perdamaian, maka cenderung pulalah engkau kepadanya dan bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS Al-Anfal [8]:62)
Jadi, inilah ajaran Islam. Tidak ada konsep ekstrimisme di sini. Menurut salah satu hadits yang sahih dalam agama Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau supaya mereka jangan memiliki keinginan untuk berhadapan dengan musuh. Mereka harus selalu mencari perdamaian dan keselamatan dari Allah Ta’ala. Ini adalah ajaran yang paling indah yang tidak ada bandingannya.
Pentingnya keadilan
Untuk memenuhi tuntutan keadilan, Allah Ta’ala telah menetapkan standar yang sangat tinggi dan mengharapkan semua supaya umat Islam melaksanakan kewajiban ini. Allah Ta’ala berfirman
“…janganlah kebencian suatu kaum mendorongmu bertindak tidak adil. Berlakulah adil, itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Ma’idah [5]:9)
Ini adalah ajaran yang luar biasa untuk menjaga perdamaian dalam masyarakat, dan untuk mengakhiri permusuhan. Sungguh ini merupakan tugas yang sangat sulit memenuhi persyaratan keadilan dalam hubungannya dengan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan terhadap sanak saudaranya sendiri. Tapi sejarah menjadi saksi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengamalkan contoh-contoh seperti itu. Bahkan beliau memenuhi kebutuhan para musuhnya.
Suatu ketika, setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetap di Madinah, terjadilah bencana kelaparan di Mekkah. Meskipun penduduk Mekkah telah dengan keji telah membatasi pasokan makan dan air bagi umat Islam selama dua setelah tahun ketika mereka tinggal di Mekkah, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim makanan pokok kepada mereka selama bencana kelaparan ini sebagai bentuk belas kasihan.
Pada kesempatan yang lain, seorang pemimpin suku yang telah menjadi Muslim ditangkap dan dipukuli saat menunaikan ibadah haji dipenjara. Akhirnya, ia dibebaskan atas permintaan beberapa pimpinan lainnya. Sukunya dahulu sering mengirimkan gandum ke Mekkah. Jadi tawanan yang dibebaskan itu mengatakan gandum tidak akan dikirim lagi ke Mekkah, dan ia pun menghentikannya. Akibatnya, terjadilah kelangkaan gandum di Mekkah.
Penduduk Mekkah datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Perintahkanlah dia supaya jangan menghentikan pengiriman gandum.” Meskipun orang-orang Mekkah bermusuhan dengan umat Islam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim pesan kepada pemimpin tersebut supaya mengirimkan kembali gandum ke Mekkah.
Ini adalah wujud nyata dari ajaran yang menyatakan “janganlah kebencian suatu kaum mendorongmu bertindak tidak adil”. Jadi, inilah ajaran Al-Qu’an. Dan ini adalah teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tetapi terlepas dari semua contoh itu, terdapat tuduhan bahwa Al-Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarakan ekstremisme dan melakukan terorisme. Apa yang bisa dikatakan? Meskipun berpendidikan, para kritikus ini tidak memiliki pengetahuan akan ajaran dan sejarah Islam. Bahkan karena kedengkian dan dendam mereka tidak mau tahu. Jadi merekalah orang-orang yang menjadi alat perusak perdamaian.
Saya akui bahwa beberapa kelompok teroris telah mencemarkan nama baik Islam. Tindakan mereka sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Meskipun mereka menggunakan dukungan Al-Qur’an untuk berjihad dan membunuh, mereka melupakan syarat-syarat yang menjadi bagian integralnya.
Al-Qur’an melarang keras aksi bom bunuh diri yang menyebabkan kematian para warga sipil. Kalaupun terdapat izin untuk berperang dalam kondisi tertentu, maka izin itu adalah kewenangan pemerintah, bukan beberapa kelompok dalam pemerintah. Apa yang mereka lakukan bukan Jihad melainkan tindakan terorisme.
Adalah suatu tuntutan keadilan bahwa dalam menilai suatu agama, kita harus memperhatikan ajaran dan amalan yang dilakukan pendirinya dan kita tidak boleh mendasarkan penilaian kita pada tindakan orang-orang yang mengikutinya jauh di kemudian hari. Kita hendaknya tidak menjadikan perilaku mereka sebagai alasan untuk menyerang ajaran agama mereka, padahal tindakan mereka itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan ajaran sejati agama mereka.
Pandangan Masih Mau’ud tentang jihad dan terorisme
Jadi, sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya, sekarang saya akan memaparkan beberapa ajaran pendiri Jamaah Ahmadiyah tentang jihad dan terorisme. Ajaran ini, seperti telah saya sebutkan, merupakan ajaran Islam yang sejati.
Pendiri Jamaah Ahmadiyah, Al-Masih untuk zaman ini menyampaikan pemahaman sejati tentang ajaran Islam agar dunia dapat mengenali Tuhan mereka dan dapat menciptakan suasana saling mencintai, menjadikan dunia ini seperti surga di bumi.
Seperti yang Anda ketahui, anak benua India dan Pakistan pernah berada di bawah kekuasaan Inggris untuk waktu yang lama. Pendiri Ahmadiyah mendirikan Jamaah ini dan mendakwahkan diri sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi pada saat pemerintahaan Inggris berada di puncak kejayaannya.
Meskipun pemerintah Inggris menguasai dan memerintah India secara penuh, sebagian besar penduduk Muslim menentang pemerintah, dan mereka menyebarkan banyak pengaruh buruk tentang hal itu. Bahkan pada saat itu, para ulama Islam (mullah) menggunakan masjid-masjid mereka untuk mengobarkan api kebencian terhadap pemerintah. Mereka mencoba menciptakan pemberontakan di berbagai tempat. Mereka mencoba memprovokasi kerusuhan kepada pemerintah.
Meskipun beliau mendakwahkan diri bahwa beliau adalah penggenapan dari nubuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan bahwa Al-Masih dan Mujaddid akan datang di zaman ini – Literatur dan kitab-kitab agama lain, termasuk Kristen, juga menubuatkan hal yang sama – tetapi pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah, ketika memberikan nasihat kepada pengikutnya, mengumumkan bahwa pemerintah Inggris tidak diragukan lagi merupakan pemerintahan Kristen, namun faktanya mereka telah memenuhi hak-hak warganya secara semestinya; oleh karena itu, tidak diizinkan untuk mengambil Langkah-langkah keras untuk melawannya. Dan dilarang menciptakan kekacauan apa ppun dengan dalih Jihad.
Perdebatan hebat telah terjadi antara para misionaris Kristen dan Hadrat Masih Mau’ud a.s mengenai agama Kristen dan Islam. Dan hal ini telah disebutkan dalam litelatur beliau. Tetapi, dengan kebaikan dan kebijaksanaannya, beliau selalu berusaha menarik perhatian pada pentingnya menguraikan keindahan Islam.
Pada masa hidup beliau Ratu Victoria merayakan Diamond Jubilee-nya, dan pada saat itulah Pendiri Jamaah Ahmadiyah mengucapkan selamat kepada Yang Mulia Ratu. Kemudian beliau menyampaikan cara-cara untuk membangun perdamaian dan kerukunan antar agama sehingga dapat tercipta perdamaian abadi di dunia.
Kemudian, beliau mengungkapkan rasa terima kasihnya atas keadilan pemerintah Inggris dan beliau menyampaikan pesan Islam kepada Ratu Victoria. Pesan beliau tentang hidup damai di bawah kekuasaan Inggris bukan karena rasa takut, tetapi sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Sehubungan dengan hal ini, saya akan menyajikan beberapa kutipan dari tulisan beliau. Beliau bersabda:
“Insan yang mendoa ini, yang telah datang dengan menyandang nama Isa Almasih a.s., menyanjung Maharani India yang Agung beserta zaman kekuasaannya, sebagaimana halnya Sang Pemimpin di kedua alam Yang Mulia Hadhrat Muhammad Mustafa saw. dahulu telah menyanjung zaman kekuasaan Raja Nausherwan yang Adil.
Oleh karena itu, meskipun atas adanya perayaan yang penuh berkat, setiap orang—dengan mengingat kebaikan-kebaikan Ratu yang Agung— berkewajiban menyampaikan ucapan selamat disertai doa-doa yang tulus ikhlas, dan menyampaikan hadiah ungkapan terima kasih ke hadapan Yang Mulia Maharani India dan Inggris; akan tetapi saya melihat, bahwa sayalah yang paling wajib melaksanakannya. Allah Taala-lah yang telah memilih saya agar dalam menjalankan tugas samawi ini, saya mengambil naungan perlindungan dari pemerintahan Sang Ratu Agung yang penuh dengan kedamaian. Oleh karena itu, Tuhan telah mengutus saya pada waktu dan tempat yang seperti demikian ini; yakni suatu tempat di mana demi penjagaan kehormatan, kepemilikan, dan jiwa seluruh manusia, masa pemerintahan Yang Mulia Maharani yang penuh berkat ini adalah laksana suatu benteng besi yang kokoh.
Terhadap keamanan yang dengannya saya tinggal di negeri ini dan dengannya saya dapat menyebarkan kebenaran, maka mensyukurinya adalah paling wajib bagi saya.” (Tohfah-e-Qaisariyyah hal.3)
Beliau menulis dalam sebuah buku, dan mengirimkan buku itu kepada Ratu.
Prinsip Dasar dalam Kerukunan antar Agama
Kemudian, untuk mengakhiri kebencian antar umat beragama, beliau bersabda:
“Maka dari itu, asas ini sungguh benar dan sangat mulia, serta bahkan menjadi peletak fondasi perdamaian, karena kita menyatakan bahwa seluruh nabi seperti demikian sebagai nabi yang benar; yakni agama yang telah tertanam kuat dan telah meraih usia yang panjang, serta jutaan orang telah masuk ke dalam agama tersebut.
Asas ini adalah asas yang sangat terpuji. Apabila seluruh dunia berpegang teguh pada asas ini, maka beribu-ribu kekisruhan dan penghinaan keagamaan—yang bertentangan dengan perwujudan kedamaian umum antar umat manusia—akan terangkat sirna. Hal ini pun jelas yakni orang-orang yang menyatakan kepada pemeluk suatu agama, bahwa menurut anggapan mereka ia adalah pengikut sosok yang sebenarnya adalah pendusta dan pengada-ada, maka tentu saja dengan anggapan ini, mereka meletakkan fondasi fitnah-fitnah yang sangat banyak; dan mereka sungguh termasuk orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan penistaan, karena mereka menyampaikan kata-kata yang sangat memperolok-olok kemuliaan nabi itu, dan kalimat-kalimat mereka berujung hingga penggunaan segala caci-makian keji; dan menimbulkan kerusakan bagi keharmonisan dan perdamaian diantara umat manusia. Padahal [ketahuilah], pemikiran mereka ini sungguh amat salah; dan ucapan-ucapan penghinaan yang mereka lancarkan itu, dalam pandangan Tuhan adalah tindakan zalim.
Alhasil, asas ini sangatlah indah dan memberikan kedamaian, dan merupakan peletak fondasi keharmonisan, serta penunjang keadaan-keadaan akhlaki manusia; yakni kita meyakini, bahwa seluruh nabi-nabi itu —yang telah datang di dunia ini—adalah benar, meskipun ia bangkit di India, Persia, Tiongkok, atau di negeri mana pun; karena Tuhan telah menanamkan keagungan dan kemuliaan mereka pada jutaan kalbu manusia, dan telah mengokohkan akar agama mereka, dan agama-agama itu telah menempuh hingga berabad-abad lamanya. Inilah asas yang Alquran ajarkan kepada kita.
Atas panduan asas inilah, kita memandang junjungan setiap agama—yang segala jejak kehidupannya sesuai dengan definisi tadi—dengan pandangan penghormatan, meskipun ia merupakan junjungan para pemeluk agama Hindu, para pemeluk agama Persia, para pemeluk agama Tiongkok, para pemeluk agama Yahudi, atau para pemeluk agama Kristen. Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa para penentang kami tidak dapat memperlakukan ini kepada kami.” (Tohfah-e-Qaisariyyah hal. 7)
Ini adalah kutipan dari salah satu buku beliau.
Hadrat Masih Mau’ud juga selanjutnya bersabda:
“Orang-orang yang menganggap bahwa para nabi dari berbagai kaum adalah pendusta dan terus menerus menjelek-jelekkan mereka, maka mereka adalah musuh perdamaian dan kerukunan. Sebab, tidak ada hal yang lebih buruk daripada menimbulkan kekacauan dengan mencaci maki wujud-wujud suci dalam berbagai kaum.”
Dewasa ini, orang-orang yang menyebarkan pemikiran seperti itu tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kepada Al-Qur’an, tentu saja termasuk orang-orang yang merusak perdamaian. Tindakan ini bukanlah kebebasan berpikir, juga bukan kebebasan berbicara, tetapi hal ini merupakan cara mempermainkan perasaan orang lain, yang akibatnya perdamaian menjadi rusak.
Hadrat Masih Mau’ud juga bersabda terkait pandangan tentang Jihad:
Adapun asas kedua yang karenanya saya dibangkitkan adalah melakukan islah terhadap pemahaman salah tentang jihad yang telah masyhur di antara sebagian kalangan Muslim yang dangkal.
Jadi, Allah Taala telah memberikan pemahaman kepada saya, bahwa jalan-jalan yang dewasa ini dipahami sebagai jihad, semua itu sama sekali berlawanan dengan ajaran Alquran. Tidak diragukan, bahwa di dalam Alquran Syarif terdapat perintah-perintah untuk berperang, namun [perintah berperang] yang ada di dalamnya adalah lebih masuk akal dibandingkan dengan peperangan-peperangan Nabi Musaa.s., dan lebih dapat diterima dibandingkan peperangan-peperangan Yusya’ bin Nun [Yosua] a.s.; dan dasar pengamalannya hanyalah atas [syarat] ini, yaitu kepada mereka yang secara tidak adil telah banyak menghunuskan pedang untuk membunuh orang-orang Islam, dan secara tidak adil mereka telah menumpahkan darah, serta telah menimpakan kezaliman hingga melampaui batas, maka perangilah mereka itu dengan mengangkat pedang juga.” (Tohfah-e-Qaisariyyah hal. 10)
Kemudian Beliau Bersabda:
“Alhasil, inilah yang merupakan akar jihad Islam di zaman nabi kita [Nabi Muhammad], yakni kemurkaan Tuhan berkobar terhadap mereka yang berlaku zalim. Tetapi, bagi seorang yang tinggal di bawah naungan keadilan dari suatu pemerintah yang bersikap adil —sebagaimana halnya kemaharajaan Ratu kita, Yang Mulia Maharani India— kemudian berniat untuk melakukan pemberontakan terhadapnya, maka langkah ini bukanlah bernama jihad; bahkan ini merupakan suatu pemikiran yang penuh dengan kejahilan dan kebiadaban. Suatu pemerintah, yang dengan perantaraannya seorang dapat menjalankan kehidupannya dengan kebebasan, secara sepenuhnya ia mendapatkan keamanan, dan kewajiban-kewajiban keagamaannya dapat diamalkan dengan sebagaimana mestinya, maka menjalankan niat buruk terhadapnya sungguh merupakan tindakan kejahatan, bukan jihad…”
“Maka, Allah Taala telah membangkitkan saya di atas asas ini: Yaitu kepada suatu pemerintah yang telah berbuat ihsan — seperti halnya Pemerintah Britania ini— hendaknya ia dipatuhi dengan sebenar-benarnya dan disyukuri secara sebaik-baiknya. Jadi, saya dan jemaat saya patuh terhadap asas ini.” (Tohfah-e-Qaisariyyah hal. 11)
Pesan Islam Ahmadiyah
Inilah ajaran yang diberikan kepada kita oleh Pendiri Jamaah Muslim Ahmadiyah berdasarkan Al-Qur’an. Ajaran ini diberikan kepda kita oleh sosok yang diutus di zaman ini sebagai Al-Masih dan Mujaddid oleh Allah Ta’ala, yang akan menegakkan perdamaian di dunia.
Saya berharap sebagian besar dari Anda sadar yang mengetahui ajaran dan amalan dari Jamaah Ahmadiyah dapat memberikan kesaksian bahwa terdapat perbedaan yang sangat jelas antara Muslim Ahmadi dan bukan Ahmadi atau yang lainnya.
Sesungguhnya keinginan kami hanyalah perdamaian, tidak ada yang lain. Kami menginginkan agar umat manusia mengenali Tuhan yang Mahakuasa. Untuk tujuan ini, kami sangat aktif di Afrika, Eropa dan Amerika, serta di pulau-pulau di penjuru dunia. Melayani umat manusia adalah tujuan utama kami.
Selain itu, Jamaah Muslim Ahmadiyah memberikan pengkhidmatan kepada mereka tanpa mengharapkan imbalan duniawi. Kami juga tidak tertarik pada pujian lisan. Semangat ini terdapat dalam pengikut Ahmadi karena terhubung dengan mata rantai lembaga khilafah. Dan setiap saat, Khilafah ini memerintahkan setiap anggota Ahmadiyah untuk mengamalkan ajaran damai ini.
Allah Ta’ala mengutus Hadrat Masih Mau’ud (as) untuk menegakkan prinsip-prinsip ini. Dengan kata lain, saat ini, kami tidak hanya menyebarkan semboyan Love for Alla, Hatred For None’, tetapi kami benar-benar berusaha menerapkan prinsip ini dalam amalan kami.
Sekarang saya akan mengakhiri pokok bahasan ini dengan doa supaya semua Muslim dan non-Muslim memiliki rasa takut kepada Sang Pencipta di dalam hati mereka, sehingga di hati mereka hanyalah perasaan baik kepada sesama Makhluk-Nya. Pada saat yang sama, saya sangat berterima kasih kepada Pemerintah Kanada dan masyarakat Kanada yang telah mempertemukan semua agama dan semua orang dengan hati yang terbuka. Para anggota Ahmadiyah juga hidup damai di sini dan bebas menjalankan dan mengeskpresikan agama mereka secara terbuka.
Mengingat Kanada yang kosmopolitan, di mana orang-orang dari berbagai agama dan keyakinan dapat hidup berdampingan secara damai, pendahulu saya, Hazrat Mirza Tahir Ahmad (rh), Khalifah keempat, menyatakan kekagumannya terhadap Kanada, yakni beliau berharap agar ‘seluruh dunia menjadi Kanada dan Kanada menjadi seluruh dunia.”
Semoga Allah Ta’ala tetap menjaga keistimewaan ini selamanya. Semoga kalian, rakyat dan pemerintah Kanada, dapat terus menjunjung tinggi harapan akan keadilan dan menunjukkan hati yang terbuka, sehingga hasilnya, karunia Allah yang dikaruniakan kepada kalian akan terus ada selamanya.
Sekali lagi, saya ingin mencugapkan terima kasih kepada semua tamu kami yang terhormat yang telah meluangkan waktu mereka yang berharga untuk kami. Sekali lagi terima kasih banyak.
Sumber: Alislam.org
Penerjemah: Salman Ahmad