Pada tanggal 4 November 2021. Pengurus Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Provinsi DIY melakukan pertemuan dengan mubaligh dan pelajar Ahmadiyah (AMSA) Yogyakarta di sebuah Café kekinian di Selatan Kota Yogyakarta. Mereka diantarnya Muhammad Akmal Hasan sebagai Ketua Umum DPD IMM Provinsi DIY yang sedang menempuh pendidikan di Magister Pendidikan Agama Islam FITK UIN Jogja, kemudian Muhammad Umar Al Farouq sebagai Ketua Riset Pengembangan Keilmuan IMM Kab. Sleman, dan Rohit Mahatir Ketua Bidang Riset Keilmuan IMM Prov. Sulawesi Utara namun baru selesai lulus Magister di Islamic Studies UIN Jogja dengan tesisnya mengenai SKB 3 Menteri 2008 tentang Ahmadiyah. Adapun dari pihak Ahmadiyah hadir Mln. Murtiyono Yusuf Ismail, Mubaligh JAI untuk Daerah DIY dan Cima Tahir Ahmad perwakilan AMSA DIY.
Pertemuan tersebut sebagai bentuk pertalian silaturahmi yang merupakan implementasi dari tujuan Muhammadiyah melalui pelajarnya IMM maupun Ahmadiyah melalui AMSA-nya yaitu membangun relasi dengan siapapun untuk saling mengenal, memahami dan kerjasama dengan wadah pendidikan intelektual para pelajar, sehingga kita semua mampu bersama-sama memberikan kemajuan bagi bangsa, agama, dan kemanusiaan tanpa membeda-bedakan keyakinan dan latar belakang.
Muhammad Akmal diawal obrolan menceritakan pengalamanya saat menjadi pembicara dalam diskusi online yang diadakan oleh IMM Cabang Ciputat pada 9 September 2021 dengan tema Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Berkeyakinan di Indoensia. Dalam forum itu Akmal membela Ahmadiyah bukan hanya dari kasus persekusinya saja tetapi juga tudingan sesat terhadap Ahmadiyah oleh MUI dan sebagian pengurus Muhamadiyah termasuk sebagian petinggi IMM dan HMI. Bagi Akmal tidak ada penafsiran tunggal baik itu mengenai ‘faham kenabian’ maupun tafsir lainya, selama seseorang melaksanakan Rukun Islam dan meyakini Rukun Iman maka ia adalah muslim. Bagi Akmal, Ahmadiyah adalah Islam Modernis yang memiliki tujuan yang sama dengan Muhamadiyah bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka dan banyak dikagumi inteletual Islam, sejak dahulu kini dan mendatang.
Akmal banyak sekali membaca buku, termasuk “Menemani Minoritas” karya Ahmad Najib Burhanudin, Intelektual muda Muhamadiyah yang isinya menguraikan krisis kemanusiaan tindakan diskriminasi terhadap Ahmadiyah. Karena stigma sesat dan tindakan anarkis dari kelompok tertentu, maka Ahmadiyah harus dibela dengan gagasan dan tindakan yang nyata. Akmal selama ini mengetahui Ahmadiyah secara mandiri melalui buku dan jurnal meski bukan konsennya. Ia pun sangat mengapresiasi motto Ahmadiyah “Cinta untuk semua tiada kebencian bagi siapapun”, yang juga mejadi landasan untuk saling mengenal, membantu dan bekerjasama demi kemajuan tanpa memandang latar belakang.
Saat ini Muhamadiyah kembali didorong untuk lebih dapat menjalin kerjasama dengan siapapun, termasuk minoritas seperti Ahmadiyah. Meski masih adanya pro-kontra yang membatasi hubungan dengan Ahmadiyah, namun Akmal sepakat dengan Bung Najib bahwa dengan siapapun kita harus dekat, mengenal, berdialog hingga bekerjasama untuk kemajuan bersama.
Sementara itu, Umar Al Farouq mengaku belum banyak mengetahui tentang Ahmadiyah, selain persepsi dan stigma yang negative yang telah banyak tersebar luas tentang Ahmadiyah. Namun, ketika ia beberapa tahun menempuh perkuliahan dan semakin terbuka dengan perbedaan ia merasa senang pada hari ini dapat bertemu langsung dengan penganut Ahmadiyah dan ingin melanjutkan pertemuan dengan beragam kegiatan yang bisa dilakukan bersama. Umar menyatakan, IMM rutin mengadakan diskusi dengan tema yang beragam dan ia ingin membuka kesempatan juga untuk bekerjasama dengan para pelajar Ahmadiyah.
Cima yang mewakili AMSA menanggapi dengan gembira pertemuan ini sebagai jembatan untuk menghidupkan kembali relasi Ahmadiyah Jogja dengan Muhamadiyah Jogja di tingkat pelajar melalui kolaborasi antara IMM dan AMSA. Dalam beberapa tahun terakhir AMSA ikut serta dalam kegiatan lintas iman baik diskusi dengan isu kekinian, umum, maupun teologis termasuk pameran lintas iman dengan banyak komunitas. Setelah pertemuan tersebut diharapkan bisa mulai bertukar ide mengenai kegiatan yang bisa dilakukan bersama.
Rohit Mahatir Ketua Bidang Riset Keilmuan IMM-Sulut, yang turut hadir dalam pertemuan itu membagi informasi dalam tesisnya mengenai Pengetahuan dan Relasi Kuasa: SKB 3 Menteri 2008 tentang Ahmadiyah. Ia mengamati bahwa diskriminasi yang dialami Ahmadiyah cukup kompleks dan banyak peran pemerintah seperti dengan adanya aturan yang diskriminatif dan multi tafsir sehingga pemerintah memproduksi pengetahuan yang tidak objektif dan tidak seimbang tentang Ahmadiyah. Hal tersebut membuat banyak kelompok melakukan tindakan anarkis terhadap rumah ibadah Ahmadiyah di sejumlah daerah.
Sementara itu Mln. Murtiyono, Mubaligh Daerah JAI Yogyakarta lebih banyak menceritakan pengalamanya sebagai pendakwah yang bertugas diberbagai tempat di Indonesia dan banyak menerima persekusi. Namun, saat bertugas di Jogja tidak ada persekusi. Masyarakat jogja pada umumnya toleran, perbedaan-perbedaan yang ada disikapi dengan banyaknya kegiatan dialog yang formal di kampus maupun non-formal dengan lintas iman di masjid maupun di tempat komunitas lain. Ia juga sangat mengapresiasi pertemuan dengan IMM ini dan berharap kerjasama ini dapat berkebang ke komunitas lainya untuk supaya saling mengenal sebagaimana yang dikatakan Akmal, bahwa kita diciptakan beragam untuk saling mengenal.
Diakhir obrolan Mln. Yusuf Ismail memberikan hadiah kepada mereka sebuah buku terbaru berjudul; “Ahmad The Guided One” karya Iain Adamson yang menceritakan kisah hidup pendiri Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Kontributor: Cima Tahir Ahmad
Editor: Harpan Ahmad