Banyak tuduhan kepada pribadi Mirza Ghulam Ahmad, diantaranya seputar hubungan beliau dengan Muhammadi Begum, banyak judul-judul dengan bumbu-bumbu provokatif seperti “wahyu cinta Mirza Ghulam Ahmad’, ‘Kisah Cinta Mirza Ghulam Ahmad di dalam Tadzkirah, ‘ dll.
Sebagian orang yang tidak tahu menahu tentang Muhammadi Begum yang disebutkan didalam beberapa wahyu Hadhrat Ahmad a.s secara gegabah telah menuduh bahwa Hadhrat Ahmad a.s berambisi ingin menikahi Muhammadi Begum karena cinta. Siapa yang menikahkan dia, akan dimatikan Allah dalam tempo hingga 3 tahun. Dan orang yang menikahinya maka Allah Swt akan mematikan dia dalam tempo 2 tahun setelah pernikahan berlangsung.
Untuk menjelaskan permasalahan ini akan kami sampaikan penjelasan dari B.A Rafiq, Imam Mesjid london di dalam tulisannya berikut ini:
Latar belakang turunnya wahyu tersebut:
Latar belakang nubuatan itu adalah, bahwa beberapa kerabat Hadhrat Ahmad a.s adalah golongan Atheis dan sering menghujat Islam. Allah Yang Maha Perkasa berkehendak menunjukkan suatu tanda kepada mereka, sehingga siapa yang mengambil manfaat dari tanda/peringatan Ilahi tersebut, maka diri mereka akan terselamatkan; dan siapa saja yang menolak dan menentang peringatan itu, maka mereka akan mendapatkan hukuman. Kondisi mereka telah digambarkan oleh beliau sebagai berikut:
“Allah Yang Maha Perkasa mengetahui beberapa sepupu saya dan beberapa kerabat saya telah menjadi korban akidah Atheis dan berperilaku buruk serta sering terlibat perbuatan kotor. Mereka terbelenggu oleh hawa nafsu, mengingkari keberadaan Allah dan sering berbuat onar.”[1]
Sehubungan dengan wahyu yang menyatakan rencana Hadhrat Ahmad a.s. akan menikahi Muhammadi Begum, beliau menjelaskan sebagai berikut:
“Pada suatu malam seseorang datang kepada saya sambil menangis tersedu–sedu. Ketika menyaksikan hal itu, saya pun waktu itu menjadi sangat khawatir. Kemudian saya bertanya kepadanya, apakah dia telah mendapatkan berita sedih tentang kematian seseorang? Ia terdiam, kemudian ia mengatakan bahwa perkara itu jauh lebih berat lagi. Ia telah duduk bersama, berbicara-bicara dengan beberapa orang yang ternyata mereka itu sangat mengingkari agama dan salah seorang dari mereka telah menyebutkan kata-kata yang sangat keji dan kotor terhadap junjungan kita Nabi Muhammad saw, perkataan yang tidak pernah ia dengar sebelumnya; sekali pun dari mulut orang kafir. Katanya, orang-orang tersebut telah menghina Alqur’an dan mengatakan perkataan yang begitu kotornya sehingga ia tidak sanggup untuk mengucapkannya. Mendengar apa yang dituturkannya itu, maka saya menasihati dia agar ia jangan bergaul lagi dengan orang kotor seperti mereka itu.”[2].
Lebih lanjut Hadhrat Ahmad a.s. menuliskan:
“Orang–orang itu telah melayangkan sepucuk surat kepada saya yang isinya sangat menghina Nabi Muhammad saw dan mengingkari keberadaan Allah Swt.. Ia menuntut bukti-bukti kebenaran saya. Ia mengirimkan surat ini dengan mendapat dukungan dari non-Muslim di India serta menampilkan keburukan–keburukan yang sangat keterlaluan.“ (Ainah Kamalat Islam, hlm. 568; Ibid, hlm. 76)
Atas tuntutan mereka yang meminta suatu tanda, Hadhrat Ahmad a.s. memanjatkan do’a dan memohon kehadirat-Nya untuk menampilkan tanda yang berhubungan dengan mereka. Do’a beliau sebagai berikut:
ُقلْتُ يَا رَبِّ انْصُرْ عَبْدَكَ وَ اخْزُل اَعْدَاك
“Aku berkata, “Ya Tuhan-ku, tolonglah hamba-Mu ini dan hinakanlah musuh -musuh-Mu itu.”
Ternyata Allah Ta’ala Yang Maha Perkasa telah mendengar do’a beliau dan memberikan wahyu sebagai berikut:
“Aku mengetahui kejahilan dan keburukan-keburukan mereka itu, maka Aku akan segera membinasakan mereka melalui bencana dengan cara yang berbeda dan engkau akan segera melihat dengan cara bagaimana Aku menangani mereka. Aku memiliki kekuatan untuk berbuat apa yang Aku kehendaki. Perempuan–perempuan itu akan Aku jadikan janda; anak-anak mereka menjadi yatim dan akan membuat rumah tangga mereka kacau balau dan mereka akan dihukum karena akibat perbuatan mereka. Aku akan menghancurkan mereka tidak secara sekaligus, melainkan secara bertahap, sehingga mereka dapat kembali dan bertobat. Azab-Ku akan turun melalui dinding-dinding rumah mereka, atas orang tua mereka, pemuda–pemuda mereka, pada perempuan-perempuan mereka, pada laki-laki dan juga atas tamu–tamu mereka. Semua akan diazab, kecuali dia yang percaya dan memisahkan diri dari mereka, maka mereka itu akan mendapatkan ampunan dari AllahSwt.” (Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 569)
Kronologi tentang Muhammadi Begum dan pernikahan yang disyaratkan itu dapat kita simak dari beberapa uraian berikut ini:
Ketika Hadhrat Ahmad a.s. didatangi oleh kerabat beliau, Mirza Ahmad Beg, ayah dari Muhammadi Begum, demi untuk kepentingan anaknya, saat itu ia berkeinginan memperoleh kepemilikan akte tanah saudara perempuan Hadhrat Ahmad a.s yang mana ipar beliau, suaminya, sudah beberapa tahun hilang tanpa berita, tidak tentu hutan rimbanya. Kebetulan suami saudaranya yaitu adalah sepupu kami; Menurut hukum adat kami, ia tidak dapat mengalihkan hak kepemilikan tanahnya itu tanpa persetujuan kami, sebagai pemegang jaminan dari suaminya. Untuk itulah kemudian Mirza Ahmad Beg datang kepada saya secara hormat dan sopan, meminta saya untuk memberikan persetujuan atas pengalihan kepemilikan (tanah) yang dimintanya itu dan agar saya menanda tangani akte pemberian itu. Sebagaimana kebiasaan saya, pertama-tama, saya berdo’a memohon petunjuk dari Allah Swt., kemudian saya pun menerima wahyu sebagai berikut:
“Katakanlah kepadanya, bahwa untuk membuat ikatan dengan engkau, ia harus menikahkan anak perempuan sulungnya dengan engkau, sehingga mereka akan menerima cahaya dari cahaya engkau. Katakanlah kepadanya, bahwa engkau akan menyetujui pengalihan akte kepemilikan tanah itu sebagaimana yang dimintanya dan akan memberikan pula bantuan lainnya saat pernikahan terjadi nanti.
Katakanlah kepadanya bahwa ini merupakan perjanjian dengan engkau. Dan jika ia menerima (syarat) itu, ia akan mendapatkan engkau sebagai satu anugerah yang terbaik untuknya. Tetapi, jika ia menolaknya, lalu anaknya itu menikahi laki-laki lain, yang mana pernikahannya itu tidak akan membuahkan keberkatan bagi anak perempuan tersulungnya itu dan juga bagi dirinya sendiri.
Katakan juga kepadanya, jika ia tetap bersikukuh akan melakukan langkah yang berbeda, maka ia akan menerima serangkaian kemalangan. Dalam masa 3 tahun setelah pernikahan anak perempuannya itu dengan orang lain, maka ia akan mengalami kematian. Peringatkanlah kepadanya bahwa waktu kematian itu sangatlah dekat dan itu akan terjadi pada saat dia benar–benar tidak mengharapkannya. Lalu suami anak perempuannya itu juga akan mati dalam 2,5 tahun. Ini merupakan keputusan Ilahi. Sekarang terserah padanya, ia dapat melakukan apa yang ia kehendaki; yang penting, saya sudah menyampaikan peringatan Allah Swt. itu kepadanya.”[3]
Di hari yang penuh perhatian tertuju pada masalah itu, pada suatu malam beliau menerima wahyu yang berbunyi sebagai berikut:
كَذَّ بُوْا بِاَ يَتِنَا وَ كَا نُوْا بِهَا يَسْتَهْزِءُوْن – فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَ يَرُدُّ وْهَا اِلَيْك – لاَ تَبْدِيْلَ لِكَلِمَتِ اللهِ
“Mereka telah mendustakan tanda-tanda Kami dan dengan itu mereka memperolok-olokkan. Untuk menghadapi mereka, maka cukuplah Allah bagi engkau (untuk menghukum mereka itu—pen.) dan Ia akan mengembalikan perempuan itu kepada engkau. Firman Allah tidak berubah.” (Isytihar, 10 Juli 1888)
Maka pada tanggal 15 Juli-nya, beliau mengumumkan lagi sebuah rukya yang merupakan syarat untuk mengembalikan Muhammadi Begum kepada beliau, yang mana nubuatan itu merupakan satu nubuatan wa’id/nubuatan bersyarat yaitu perlu adanya pertobatan. Faktanya adalah, pada nubuatan bersyarat itu berisikan satu peringatan hukuman syaratnya adalah harus bertobat (ada pertobatan). Wahyu yang diterima oleh Hadhrat Ahmad a.s menjadi lebih jelas, dimana di dalam wahyu itu beliau melihat nenek dari Muhammadi Begum dari pihak ibunya di wajahnya terlihat sembab di dalam kasyaf itu beliau mengatakan:
ايتها المرءة تُوْبِيْ تُوْبِيْ فَاِنََّ الْبَلاَءَ عَلَى عَقِبِكَ وَ الْمُصِيْبَةٌ نَازِلَةٌعلََيْكِ يَمُوْتُ وَ يَبْقَىَ مِنْهُ كِلاَ بٌ مُتَعَدِّ دَةٌ
“Wahai perempuan, bertobatlah kamu! Bertobatlah kamu! Kemalangan sudah hampir tiba menimpamu, keturunanmu dan sekaligus juga akan menimpa keturunan mereka. Seseorang akan mati tanpa daya. Banyak kecaman akan tetap muncul pada siapa yang menurutkan ucapan yang lancang.” (Isytihar/Pengumuman, 10 Juli 1888; Ibid, hal. 77)
Dari ungkapan kabar suka tersebut jelas kepada kita, bahwa anak perempuan dari neneknya Muhammadi Begum dan cucu perempuannya, yakni Muhammadi Begum, bala akan turun bertubi-tubi, yang karenanya nenek Muhammadi Begum akan mengalami bencana dan musibah ini baru akan dapat dihapuskan hanya dengan bertobat. Ilham ini mengisyaratkan akan kematian seseorang. Kemudian akan bangkit seseorang dari antara para penentang itu yang akan mengangkat bicara dengan cara yang tidak selayaknya diucapkan.
Jadi, masalah mendasar yang patut untuk diingat ialah bahwa perempuan itu akan dikembalikan kepadamu. Itu merupakan satu syarat yang harus dipenuhi dari wahyu yang berbunyi:
يَرُ دُّهَا اِلَيْكَ لاَ تَبْدِيْلَ لِكَلِمَا تِ اللهِ
Begitu tobat dia lakukan, maka bagian dari wahyu yang menyatakan bahwa Muhammadi Begum akan dikembalikan kepadamu, itu otomatis batal jadinya. Dan memang itulah yang terjadi. Ketika bapak dari Muhammadi Begum menikah lagi dengan seseorang perempuan yang lain, maka ayah dari Muhammadi Begum itu yakni Mirza Ahmad Beg, sesuai dengan wahyu tersebut 6 bulan setelah pernikahannya itu di dalam tempo (3 tahun) yang ditetapkan kabar gaib tersebut, dia pun mati.
Ternyata peristiwa kematian sang ayah tersebut memberikan dampak yang sangat hebat atas keluarga tersebut. Baik Muhammadi Begum, maupun suaminya, kemudian mereka segera bertobat dan ruju’ ilalloh dan berkat bertobat dan ruju’ ilalloh-nya itu, dia pun terselamatkan dari kematian. Karena kabar gaib tentang akan kembalinya Muhammadi Begum kepada Mirza Ghulam Ahmada.s. itu bersyarat dengan pertobatan dan hal itu baru mungkin terjadi bila suaminya Muhammadi Begum, Mirza Sultan Ahmad mati dan Muhammadi Begum sudah menjadi seorang janda. Oleh karena itu, kabar gaib pernikahan ini bukan merupakan syarat yang harus dipenuhi, sebab Mirza Sultan Muhammad sudah mengambil faedah dari syarat bertobat itu, jadi dia selamat dari kematian yang akan dialaminya dalam tempo yang ditetapkan kabar gaib mengenai dirinya itu. Maksud kandungan nubuatan ini menjadi lebih jelas lagi kepada kita dari pernyataan Hadhrat Ahmada.s sebagai berikut:
“Secara pribadi sejatinya saya tidak perlu menuntut ikatan ini, sebab Allah Swt Yang Maha Perkasa sudah memenuhi segala keperluan saya. Dia telah menganugerahkan anak–anak kepada saya, Dia telah berjanji pula bahwa Dia akan menganugerahi saya seorang anak laki-laki yang akan berkhidmat, sebagai pelita agama dan dia akan dinamai Mahmud Ahmad. Dia akan terbukti menjadi orang yang sangat teguh dalam menjalankan segala ikhtiarnya.
Adapun permintaan untuk ikatan pernikahan ini hanya sebagai satu tanda saja, sehingga Allah Yang Maha Perkasa dapat mendemonstrasikan kekuatan-Nya yang sangat menakjubkan kepada para pembangkang yang tidak sepakat dalam keluarga ini. Sebaliknya, jika mereka mau menerima permintaan saya ini, maka Allah akan melimpahkan kepada mereka tanda-tanda keberkatan dan akan mengampuni mereka serta akan menjauhkan kemalangan yang akan segera menimpa mereka. Jika mereka menolak ikatan ini, maka Dia akan memperingatkan mereka melalui tanda-tanda kemurkaan – Nya.” (Isytihar, 15 Juli 1888; Ibid, hal. 77-78)
Jadi, jelas sekali di sini, bahwa kemalangan yang membayangi neneknya Muhammadi Begum dan juga Muhammadi Begum sendiri akan dapat dihindarkan jika dia melakukan pertobataan, sebagaimana telah disebutkan dalam kata–kata pada kalimat awal dari wahyu beliau itu, yaitu:
اَيُّتْهَا الْمَرْءَةُ تُوُْ بَى – تُوُْ بَى فَاِنَّ اْلبَلاَءَ عَلىَ عَقْبِكَ و المصيبة نازل عليك بموت و يبقى منه كلا ب متعدِّدة” (تتمه اشتهار 10 جولائ 1888)
“Wahai perempuan! Bertobatlah kamu! Bertobatlah kamu!”
Apa yang terjadi kemudian? Mirza Ahmad Beg, yang menikahkan Muhammadi Begum dengan laki-laki lain, sesuai dengan nubuatan wahyu Hadhrat Ahmad, maka ia menemui ajalnya (maksimal) 3 tahun dalam masa pernikahan anaknya itu. Ternyata nyawanya direnggut maut 6 bulan setelah pernikahan tersebut, yang mana Hadhrat Ahmada.s. di dalam bukunya Ainah Kamalaat-e-Islam, hal. 573, telah menulis peringatan kepada Mirza Ahmad Beg sebagai berikut:
أ َخِرُ المَصَا ئِب مَوْتُكَ تَمُوْتُ اِلىَ ثَلاَث سِتِيْنَ بَلْ مَوْتُك قَرِيْبٌ
“Musibah terakhir bagimu adalah kematianmu tiga tahun, bahkan lebih dekat lagi engkau akan mati!”
Itu sebagai akibat mulutnya yang lancang dan pelanggarannya. Di dalam wahyu ini dijelaskan bahwa Mirza Sultan Muhammad akan mati dalam waktu 2 tahun. Jadi, semula mungkin saja menantunya akan mati lebih dahulu. Di dalam wahyu itu diisyaratkan bahwa kalau Mirza Ahmad Beg lebih dahulu mati dari mertuanya, maka Mirza Sultan Muhammad, dengan bertobat, maka nyawanya akan terselamatkan dan kabar gaib tentang hal ini (Muhammadi Begum harus menikah dengan Hadhrat Ahmad pun) jadi batal.
Kalau setelah temponya habis, di masa hidup Hadhrat Ahmad dia mengingkari tobatnya, maka mengenai waktu datangnya kematiannya nantinya akan ada ketetapan yang baru, yang masih dalam tempo yang sudah ditetapkan yaitu 2 tahun.
Perkataan dia akan menikah baik dalam keadaan perawan ataupun janda, itu bukan perkataan wahyu melainkan hanya penafsiran semata. Sebab, ketika beliau, setelah itu sakit keras (tahun 1891) dan seakan-akan beliau sudah mendekati ajal, maka AllahSwt menurunkan wahyu yang berbunyi:
ألحقُّ مِنْ رَّبِّك فَلاَ تَكُن مِنَ المُمْتَرِيْنَ
“Kebenaran itu datangnya dari Rabb engkau, maka janganlah engkau merasa ragu sedikit pun.”
(Maksudnya engkau tidak akan mati lantaran wahyu ada kematian lawan-lawan engkau pent)
Sultan Muhammad Bertobat
Kematian Mirza Ahmad Beg itu sangat mempengaruhi anggota keluarga lainnya, maka suami Muhammadi Begum, Sultan Muhammad pun segera bertobat dan kembali kepada Allah, maka dengan begitu kematian yang akan menimpanya pun dapat terhindarkan. Dengan demikian, pernikahan Muhammadi Begum dengan Hadhrat Ahmada.s tidak terjadi dan batal.
Buktinya bertobat:
Timbul sebuah pertanyaan, bukti apa yang dapat dikemukakan, bahwa Mirza Sultan Ahmad, suami dari Muhammdi Begum benar–benar sudah bertobat dan kembali kepada Tuhan? Hadhrat Ahmad a.s. menyatakan:
Pertama:
“Untuk memutuskan itu sangatlah mudah; yaitu mintalah Mirza Sultan Muhammad, menantu Ahmad Beg, supaya dia menerbitkan satu penolakan (pernyataan mendustakan). Setelah itu, jika ia tidak mati dalam jangka waktu yang disebutkan Allah Yang Maha Perkasa itu, maka berarti saya adalah bohong.”
Kedua:
“Tentu saja, janji kematian akan tetap ditangguhkan baginya sampai tiba waktunya ia tidak merasa takut. Jadi, jika kalian ingin cepat terbukti, maka bangkitlah dan buatlah ia tidak merasa gentar dan jadikan dia sebagai orang yang mendustakan kemudian suruh dia menyiarkannya. Silahkan saksikanlah pertunjukan kekuasaan Allah Yang Maha Perkasa itu.” (Anjaam-e-Atham, hlm. 32)
Andai kata setelah adanya peringatan itu, Mirza Sultan Muhammad menuliskan pembangkangan atau menyuruh orang lain untuk mengumumkan sangkalannya, maka kematian dalam tempo yang telah ditentukan itu pastilah tidak akan terhindarkan dan pernikahan Muhammadi Begum dengan Hadhrat Ahmad a.s. akan terjadi. Dengan adanya tantangan dan peringatan dari Hadhrat Ahmad a.s. yang beliau publikasikan di dalam bukunya Anjam-e-Atham, maka beberapa orang Kristen mendatangi Mirza Sultan Muhammad dan mereka berjanji akan membayar dengan imbalan uang yang banyak supaya ia dapat mencelakakan Hadhrat Ahmada.s sesuai dengan tantangannya itu. Namun mereka gagal untuk dapat membujuknya guna melakukan tindakan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Pada tahun 1912, Mirza Sultan Muhammad menulis di dalam sepucuk surat yang mana isi surat tersebut telah dipublikasikan beberapa kali oleh Jemaat Ahmadiyah sebagai berikut:
“Saya selalu menjunjung tinggi almarhum Mirza Sahib dan masih menjunjung tinggi beliau sebagai seorang shaleh dan seorang khadim Islam yang terhormat, yang memiliki semangat yang mulia dan terus menerus mengingat Allah. Saya tidak menentang para pengikutnya dan untuk alasan tertentu, dengan sangat menyesal, saya tidak mendapat kehormatan untuk bertemu dengan beliau selama beliau hidup.”
Kesaksian Mirza Sultan Muhammad
Hafiz Jamal Ahmad, seorang Muballigh Ahmadiyah, pada suatu kesempatan mewawancarai Mirza Sultan Muhammad, suami Muhammadi Begum, yang mana hasil wawancara itu diterbitkan di dalam majalah ‘Al Fazl’, 9-13 Juni 1921, di masa Sultan Muhammad hidup. Ia memaparkan begini,
“Jika anda tidak berkeberatan, saya ingin menanyakan mengenai nubuatan Hadhrat Mirza Sahib mengenai pernikahannya!” Ia menjawab, “Silahkan, anda boleh bertanya sebebasnya!” Dan atas pertanyaan saya tersebut, ia menjawab, “Mertua saya, Mirza Ahmad Beg, menemui ajalnya sesuai dengan nubuatan itu, namun Allah Yang Maha Perkasa adalah Maha Pemaaf dan Maha Pemurah dan mendengar permohonan hamba-hamba-Nya dan mereka telah dianugerahi ampunan-Nya.”
Selanjutnya Mirza Sultan Muhammad ditanya:
“Apa anda punya komentar tentang nubuatan Mirza Sahib? Apakah nubuatan itu menimbulkan keraguan di hati anda?” Ia menjawab: “Tidak muncul sedikit pun keraguan di dalam hati saya tentang nubuatan itu. Saya bersumpah bahwa keyakinan dan kepercayaan yang saya miliki kepada Hadhrat Sahib adalah, saya pahami, lebih kuat daripada kalian yang telah berbai’at kepada beliau!” Ketika Hafiz Jamal Ahmad bertanya kepada beliau, “Lalu mengapa anda waktu itu tidak baiat kepada Hadhrat Ahmad?”
Mirza Sultan Muhammad menjawab:
“Ada alasan lain berkaitan dengan itu. Saya menganggap jika saya menjelaskan hal itu sekarang, maka hal ini bertentangan dengan kemaslahatan.”
Sehubungan dengan itu beliau juga menjelaskan:
“Keadaan jiwa saya pada waktu itu, tentunya anda dapat bayangkan. Pada waktu kabar gaib itu, orang-orang Ariya, karena akibat Lekhram, dan orang-orang Kristen, akibat dari Abdullah Atham, mereka siap untuk memberi saya uang beratus-ratus ribu Rupees[4] supaya saya dapat menjadikan Mirza Sahib sial. Kalau waktu itu saya mengambil uang itu, maka saya akan menjadi orang yang kaya raya. Namun toh pada akhirnya iman dan itikad itu jugalah yang membuat saya menolak hal itu.”[5]
Kesimpulan
Menurut nubuatan wahyu bersyarat itu, maka bagian yang tersisa setelah wafatnya Mirza Ahmad Beg dan disusul dengan pertobatan Muhammadi Begum dan juga suaminya yakni Mirza Sultan Muhammad, maka secara otomatis pernikahan yang dimintakan itu menjadi batal, tidak relevan dan tidak berlaku lagi.
Mengenai hal itu, Hadhrat Ahmad a.s. bersabda:
“Ketika orang-orang tersebut telah memenuhi syarat (nubuatan itu) dan menantu Ahmad Beg menjadi gentar dan bertobat, maka tuntutan pernikahan pun batal dan tidak berlaku lagi.”[6]
Bergabungnya keluarga Muhammadi Begum ke dalam Jemaat Ahmadiyah, putera Muhammadi Begum, yakni Mirza Ishaq Beg menyatakan sebagai berikut:
“Sesuai dengan nubuatan itu, kakek saya, Mirza Ahmad Beg wafat dan seluruh keluarga saya yang tersisa menjadi sangat ketakutan dan mereka cenderung berubah, yang hal itu merupakan satu bukti yang tak terbantahkan, yang menjadikan kebanyakan dari keluarga itu bergabung ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Allah Yang Maha Pengampun dan Pemurah merubah kemurkaan dengan ampunan.”[7]
Hadhrat Ahmad a.s. selanjutnya bersabda:
“Setiap orang yang mengetahui kisah Nabi Yunusa.s. dimana pada peristiwa itu tidak ada syarat dan tidak ada hukuman yang disangsikan bagi mereka dan mereka pun telah dihindarkan dari semua itu dikarenakan pertobatan dan permohonan ampun yang telah mereka panjatkan. Di dalam kasus ini, terdapat peringatan yang jelas, ‘Hai perempuan, bertobatlah kamu! Bertobatlah kamu! Sebab malapetaka hampir menimpa kamu’, yang artinya segala sesuatu dapat dihindarkan dengan pertobatan. Mereka tercekam dalam ketakutan. Dengan pertobatan maka sebagian nubuatan yang seyogianya akan ditimpakan pun dapat dihindarkan.” (Badr, 23 April 1908)
Dampak dari nubuatan wa’iid (kabar gaib bersyarat) itu adalah, Allah Yang Maha Perkasa telah memberikan sejumlah besar keluarga itu dan membawa mereka bergabung ke dalam Jemaat Ahmadiyah serta menjadikan Muslim yang baik dan setia. Berikut ini adalah pernyataan dari Mirza Ishaq Beg, putera Muhammadi Begum, seorang yang menjadi Ahmadi, katanya:
“Sesuai dengan nubuatan itu, kakek saya Mirza Ahmad Beg wafat dan semua keluarga yang tersisa mengalami ketakutan dan cenderung berubah; dengan perubahan yang signifikan ke arah kebaikan. Hal tersebut merupakan satu bukti yang tidak terbantahkan yang menjadikan kebanyakan dari keluarga mereka bergabung dengan Jemaat Ahmadiyah, sebagai konsekuensi dari Allah, Zat Yang Maha Pengampun dan Maha Pemurah, yang telah merubah kemurkaan-Nya dengan ampunan.” (Al Fazl, 26 Februari 1923)
Demikianlah secara ringkas peristiwa sesungguhnya yang telah terjadi berkaitan dengan nubuatan rencana pernikahan Hadhrat Ahmada.s. dengan Muhammadi Begum yang menjadi batal terjadi.
Keluarga Muhammadi Begum yang bergabung ke dalam Jemaat Islam Ahmadiyah:
- Isteri Mirza Ahmad Beg, Ibunda dari Muhammadi Begum.
- Saudara kandung perempuan Muhammadi Begum.
- Mirza Muhammad Ahsan Beg, menantu dan keponakan dari isteri Ahmad Beg.
- Inayah Begum, saudara perempuan dari Muhammadi Begum.
- Mirza Muhammad Beg, anak laki-laki Mirza Ahmad Beg; saudara Muhammadi Begum.
- Mirza Mahmud Beg, cucu dari Mirza Ahmad Beg.
- Mirza Gul Muhammad, putera Mirza Nizamud Din dan seluruh keluarga.
- Mahmudah Begum, saudara perempuan Muhammadi Begum.
- Mirza Muhammad Ishaq Beg, anak Muhamadi Begum.
- Isteri Mirza Ghulam Qadir (musiyah)
- Puteri Mirza Nizam Din dan seluruh keluarga.
Sebagaimana Rasulullah saw di masa hidupnya menikahi keluarga kabilah-kabilah yang belum masuk Islam, maka dengan melalui pernikahan itu, keluarga raja dan kepala-kepala suku serta rakyatnya akhirnya bergabung dengan Rasulullah saw masuk ke dalam Islam. [8]
[1] Ainah Kamalat-e-Islam, hal. 566; B.A Rafiq, op. cit. hal. 75
[2] ibid, hal. 568
[3] Ainah Kamalat-e-Islam, hlm 572; Ibid hal. 76-77
[4] Di awal tahun 1900-an, uang satu paisa / satu sen masih sangat berharga—Pen.)
[5] Ibid, hal 79-80.
[6] Tatimmah Haqiqatul Wahyi, hal 32; Ibid. hal 30
[7] Al-Fazl, 26 Februari 1923
[8] H.R. Munirul Islam Yusuf (2011). Bantahan Lengkap Menjawab Keberatan Atas Beberapa Wahyu di Dalam Tadzkirah & Tabayyun (Penjelasan). Bogor: Bintang Grafika